halaman 1
Pasien Chronic Myeloid Leukemia (CML) pertama kali ada di
Skotlandia,Perancis, Jerman, pada tahun 1840-an. pasien mengalami pembesaran
limpa dan liver, dalam pembuluh darahnya penuh dengan bahan
tumpukan nanah pemicu kematian pasiennya yaitu supurasi dalam darah ,suatu neoplastic disorder yang dinamakan penyakit darah putih. Dengan memakai teknik pewarnaan darah dan
mikroskopis yang belum memadai, peneliti memperoleh sel-sel
yang berwarna putih atau tidak berwarna yang memiliki inti bergranular
atau inti yang beraneka bentuk. memakai istilah Weißes
Blut dan memberi nama Leukämie dan eucocythemia untuk itu,
Ernst Neumann pada tahun 1872 melihat bahwa sel-sel leukemia
berasal dari sumsum tulang. Paul Ehrlich pada tahun 1887 membuat
klasifikasi leukemia myeloid dan limfatik. William Dameshek pada tahun
1951 membuat konsep penyakit mieloproliferatif terdiri dari penyakit leukemia
myeloid kronis ,
polisitemia vera, trombositosis esensial, mielofibrosis primer, Kromosom Philadelphia atau kromosom Ph pertama kali dikabarkan
oleh David Hungerford dan Peter Nowell dari University of Pennsylvania
di Philadelphia, Amerika Serikat pada tahun 1960, sesudah meneliti contoh darah perifer pasien leukemia termasuk dua pasien CML. Pada tahun
1973, Janet Rowley mengabarkan bahwa kromosom Ph dibentuk oleh suatu
translokasi resiprokal antara lengan panjang gen ABL kromosom 9 dengan
lengan panjang gen BCR kromosom 22 yang biasanya ditulis dengan
t(9;22) (q34;q11.2). Basis genetik CML makin jelas saat pada tahun 1983,
para peneliti menandakan bahwa gen yang terlibat dalam translokasi
yaitu ABL1, dari kromosom 9 yang bertranslokasi ke dalam gen BCR,
pada kromosom 22 ,
Pada tahun 1865, Heinrich Lissauer menjelaskan pemakaian arsenik
pada pasien leukemia. pemakaian arsenik untuk terapi kanker sudah
dijelaskan dalam Ramayana India lebih dari 2000 tahun yang lalu. Pada
tahun 1920-an, radiasi limpa diperkenalkan untuk mengurangi gejala
klinis . Pada setengah abad ke-20 pasien diterapi dengan radioterapi,
dan lalu dengan busulfan (1959) atau hydroxycarbamide (1975). tidak beberapa lama lalu , interferon-α dipakai untuk mencapai complete
cytogenetic tanggapan es dan memberi daya tahan hidup yang lama walau hanya
pada contoh yang sedikit ,Sejak tahun 1980, stem cell transplantation (SCT) alogenik menjadi
terapi pilihan untuk pasien yang memenuhi syarat. Pada tahun 1992,
Alexander Levitzki mengusulkan inhibitor ABL untuk terapi leukemia
yang dipicu oleh onkogen ABL. Pada waktu yang sama, peneliti di CibaGeigy sudah mensintesis inhibitor ABL yang dinamakan GCP57148B dan
sekarang dinamakan imatinib. Era inhibitor tirosine kinase dimulai
pada tahun 1998 dan kini pemakaian imatinib menggantikan SCT sebagai
terapi awal untuk pasien CML tahap kronis ,
Pada tahun 2008, kebanyakan pasien CML tahap kronis menanggapi lebih baik dan bisa bertahan hidup lebih lama dengan
kualitas hidup yang baik. Untuk pasien yang gagal dengan imatinib
(21-35%) dipakai inhibitor tirosine kinase lini kedua, sebagai strategi
salvage yang efektif. Namun, jika progresif maka allotransplant masih merupakan pilihan pengobatan yang disarankan untuk semua
pasien yang memenuhi syarat ,pada
1845 John Hughes Bennett dan Rudolph Virchow masing-masing menemukan
peristiwa pertama CML
1846 diagnosa pertama leukemia pada pasien hidup
1865 pemakaian arsenik untuk terapi CML pertama yang dicatat
1880s Perkembangan metode staining blood cells
1895 Penemuan radiasi sinar x dan pemakaian nya pada CML
1946 Kemoterapi pertama yang efektif untuk leukemia – Nitrogen mustard
1951 Dameshek mengenalkan konsep myeloproliferative disorders
1956 Busulfan
1960 Peter Nowell dan David Hungerford mendata kromosom Philadelphia
(22q-)
1973 Janet Rowley menemukan bahwa kromosom Ph tidaknormal berasal dari
pertukaran bahan genetik antara dua kromosom
1975 Hydroxyurea
1979 Transplan kembar identik
1981 Allografting dengan donor saudara kembar
1982 pemakaian klinis interfon-alfa
1983 Penemuan bahwa gen kritis yang terlibat dalam translokasi yaitu ABL1, dari
9q34, yang bertranslokasi ke dalam suatu gen khusus, BCR, pada kromosom
22.
1984 Sistem penilaian prognostic Sokal
1985 Allografting dengan donor yang tidak terkait
1987 Nicholas Lydon and Alex Matter memulai program penemuan terapi target
protein seperti BCR-ABL
1988 Sistem penilaian prognostic Euro (Hasford)
1990 Demonstrasi bahwa BCR-ABL dapat menginduksi penyakit seperti CML pada
tikus
1993 Brian Druker menandakan bahwa STI571 (imatinib) yaitu
senyawa terbaik yang dikembangkan Lydon untuk membunuh sel CML
1996 Ditemukan peran selective blocking pada aktivitas Bcr-Abl kinase
1998 Brian Druker, Charles Sawyers, dan Moshe Talpaz memulai uji klinis
imatinib
1998 pemakaian klinis pertama inhibitor tirosine kinase BCR-ABL
2001 imatinib disetujui FDA untuk pasien CML
,
Charles Sawyers, mengabarkan bahwa mutasi BCR-ABL yaitu
mekanisme mayor Resistensi imatinib
2004 pemakaian klinis pertama inhibitor tirosine kinase generasi kedua
,Penemuan mutasi tidak acak pada domain Abl kinase
2007 Dasatinib dan nilotinib disetujui FDA untuk pasien CML yang resisten
terhadap imatinib
2011 Sistem penilaian prognostik EUTOS (Hasford)
Insiden CML di beberapa negara bervariasi walau tidak banyak
berbeda. Insiden CML di Afrika, Amerika Latin, negara-negara Asia
Pasifik Eropa, dan Amerika Utara berturut-turut yaitu 0,4; 0,7; 0,7; 1,2;
1,4; dan 2 peristiwa per 100.000/tahun. sedang prevalensi CML di Afrika,
Amerika Latin, negara-negara Asia Pasifik berpenghasilan rendah, negara-negara Asia Pasifik berpenghasilan tinggi, Eropa, dan Amerika Utara
berturut-turut yaitu 3, 5, 6, 10, 11, dan 15 peristiwa per 100.000 pada 2017. Di
Amerika Latin prevalensinya tertinggi selama 10 tahun
ke depan, yaitu sekitar 36% pada tahun 2027
pada tahun 2018 di Amerika Serikat, insiden leukemia myeloid kronis
baru 1,8 per 100.000 per tahun, cenderung meningkat rata-rata
0,2% setiap tahun selama 10 tahun terakhir. Tingkat kematian turun rata rata 1,3% setiap tahun selama 2004-2015. Kelangsungan hidup 5 tahun
diperkirakan sekitar 8.000 atau 0,4% dari semua keganasan. Lebih sering
pada pasien dewasa dan sering pada usia 55-70 tahun, dengan usia
median saat terdiagnosa 60 tahun. Angka kematian akibat leukemia
myeloid kronis lebih tinggi pada pasien yang berusia 70 hingga 80 tahun,
dengan usia median 70 tahun. diperkirakan angka kematian pada
tahun 2015 sekitar 800 atau 0,1 per 100.000 (300 pasien lakilaki dan 509 pasien perempuan ) per tahun berdasar data tahun 2010-2014,Sejak dikenalkan imatinib pada tahun 2001 mortalitas CML
menurun menonjol dari 10%-25% menjadi 1%-4% per tahun. Daya
tahan hidup 6 tahun pada pasien CML tahap kronis cenderung meningkat, yaitu dari 60,50% pada tahun 2013 menjadi 60% pada tahun 2014
sehingga , prevalensi CML di Amerika Serikat, diperkirakan meningkat
hingga 100.000 pada tahun 2016, dan mencapai plateu sekitar 170.000 peristiwa pada tahun 2040,Data dari Cancer Research UK, Inggris (2015) menandakan bahwa
CML merupakan keganasan yang jarang, ditemukan 700 peristiwa
baru pada tahun 2014 Selama dekade terakhir, angka kejadian CML tetap
stabil di Inggris. Diperkirakan kurang dari 1% dari semua peristiwa kanker
baru tiap tahun sekitar 120, atau sekitar 2 pasien setiap minggu (antara
tahun 2010-2014). biasanya menyerang usia 80-85 tahun dan lebih
banyak pada laki-laki. Tidak ada perubahan insiden antara tahun 2000 dan
2010, terjadi kecenderungan menurun sekitar 10 % dibandingkan
awal tahun 1995. ratarata pasien laki-laki menurun hampir 20% dan
ratarata pasien perempuan menurun 20% Kejadian
kematian pasien CML kurang dari 1% dari semua keganasan tiap tahunnya
(2016). Diperkirakan 5.000 pasien yang sebelumnya sudah terdiagnosa CML
masih hidup di Inggris pada akhir 2009,
Angka kejadian di Cina yaitu 0,2–0,3 per 100.000 populasi,
biasanya dengan median usia 40–60 tahun. Di Surabaya diperoleh peningkatan insiden, yaitu pada tahun 2009 hanya
40 pasien baru, pada tahun 2000-2017 diperoleh sekitar 250 pasien CML
Ada beberapa faktor yang meningkatkan risiko terjadinya CML
,Jenis kelamin. Laki-laki CML yang sedikit lebih tinggi
dibandingkan perempuan . Namun penjelasannya masih belum diketahui.
Usia tua. Risiko terjadinya CML meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Usia ratarata terdiagnosa CML pada usia sekitar 60 tahun. CML jarang terjadi
pada anak-anak dan remaja.
Paparan radiasi. Paparan radiasi tinggi sesudah ledakan bom atom di
Hiroshima atau sesudah kecelakaan reaktor nuklir di Chernobyl berkaitan dengan peningkatan insiden CML
di antara korban yang selamat. pasien yang terpapar radioterapi
pada terapi kanker atau petugas yang terkena radiasi mungkin
berisiko terkena CML.
Pasien HIV/AIDS yang memiliki imunitas rendah
berisiko 3 kali lebih besar leukemia dibandingkan
pasien sehat. juga pasien yang memperoleh obat-obatan
imunosupresan sesudah transplantasi organ berisiko dua kali
lebih tinggi terjadi CML dibandingkan pasien normal. adanya kenaikan dua kali
lipat risiko terjadinya CML berkaitan dengan obesitas. menyumbang 10 % dari keseluruhan risiko
terjadinya CML ,
Kontak dengan bahan kimia (benzena) selama beberapa tahun
meningkatkan risiko CML. Benzena yaitu salah satu bahan
kimia dalam bahan bakar minyak dan pelarut dalam industri karet.
Kolitis ulseratif atau penyakit Crohn. penelitian
menandakan bahwa inflamasi radang usus, seperti kolitis ulseratif
atau penyakit Crohn, berisiko lebih tinggi menderita CML.
pemakaian pestisida. Petani yang terpapar
pestisida memiliki 10% risiko CML dibandingkan
dengan yang tidak,
Nowell dan Hungerford (1960) mendata kromosom
tidaknormal pada CML, yang lalu dinamakan kromosom Philadelphia (Ph).
Kromosom Philadelphia diperoleh pada 90% pasien CML dewasa dan
3% pasien CML anak-anak. Kromosom Ph itu tidak hanya khusus pada CML saja, namun juga bisa diperoleh pada pasien leukemia akut,
baik ALL ataupun AML ,Gotlib dan kawan-kawan mengabarkan bahwa kromosom Ph juga
ditemukan pada pasien Acute Lymphoblastic leukemia (ALL) dewasa (9%-
15%) dan 1%-7% pasien ALL anak-anak, lymphoma, myeloma, dan Ph-positive
Chronic Neutrophilic Leukemia (CNL) Rowley (1973)
mengabarkan bahwa pada kromosom Ph ada translokasi resiprokal
antara gen ABL1 kromosom 9 dengan gen BCR kromosom 22
GEN
ABL (Abelson Murine Leukemia Viral Oncogene Homolog 1) yang
secara normal diekspresikan pada semua sel memiliki berat molekul
145 kD (p145Abl) dan 11 exon. ABL berperan dalam transduksi sinyal
dari reseptor adhesi dan growth factor permukaan sel untuk mengatur
struktur sitoskeleton dari kromosom 9. walau belum sepenuhnya
dapat dijelaskan, fungsi protein ABL terlibat dalam
pengaturan siklus sel, perkembangbiakan sel, transkripsi gen, tanggapan stres,
dan transduksi sinyal.
Struktur protein ABL. Y393 merupakan tempat utama otofosforilasi dengan
domain kinase. Anak panah menandakan posisi breakpoint dari fusi protein Bcr-Abl
, bahwa di dalam gen ABL ada beberapa
domain, yaitu SH3, SH2, dan SH1 (Tyrosine-Kinase). Aktivitas domain tyrosine
kinase-Abl diatur oleh regio SH3 dan SH2. Supresi perkembangbiakan c-Abl
memerlukan aktivitas domain SH1 dan SH2 yang normal. Domain SH3
yaitu regulator negatif, sedang domain SH2 yaitu suatu regulator
positif. Delesi dari domain SH3 dan SH2 dari c-Abl atau ujung-N dari
Bcr, mengurangi aktifitas molekul-molekul transduksi sinyal dan
memicu penurunan transformasi ,
Gen BCR (Breakpoint Cluster) yang secara normal diekspresikan
pada semua sel merupakan protein yang memiliki berat molekul 160 kD. Struktur domain dari BCR yaitu DD, proline-serine, threonin
yang akan berikatan dengan domain SH2. Ekson N-terminal yang pertama
mengkode serine-threosine kinase. Di tengah-tengah molekul ada
domain dbl-like dan pleckstrin-homology (PH) yang merangsang pertukaran
GTP menjadi GDP pada RHO-GEF (Rho guanidine nucleotide exchange factors),
yang lalu mengaktifitas faktor-faktor transkripsi seperti NF-
κB. Bcr dapat memfosforilasi beberapa residu tirosin, khususnya tirosin
177 yang mengikat Grb-2 ,Struktur protein gen BCR. Y177 merupakan tempat otofosforilasi yang penting
untuk berikatan dengan Grb-2. RHO-GEF = Rho guanidine nucleotide exchange factors, CalB
= calcium- dependent,
Kromosom Ph terbentuk dari translokasi resiprokal antara lengan
panjang gen ABL1 kromosom 9 dengan gen BCR kromosom 22 lengan
panjang dan biasanya ditulis sebagai t(9;22) (q34;q11)
Fusi Gen hibrid yang terjadi membentuk 3 varian transkrip gen yang
berbeda-beda tergantung pada tempat pemotongan area BCR ,Major break cluster (M-bcr), patahan gen BCR ditemukan di area
5,8-kb atau area e13 -e14 pada ekson 2 gen ABL. Fusi dari Bcr exon
b2 atau b3 dengan Abl exon a2 akan membentuk 2 transkrip utama,
yaitu b2a2 atau b3a2 yang diterjemahkan sebagai protein dengan
berat 210 kD atau dinamakan sebagai p210.
Minor break cluster (m-bcr), patahan yang ditemukan di area 54,
4-kb atau fusi e1a2 merupakan bentuk CML yang cukup jarang dan
akan mensintesis protein dengan berat molekul 190 kD (p190). Secara
klinis laboratorium diperoleh monositosis yang prominen Micro break cluster (micro-bcr), patahan pada 3’ gen BCR antara exon
e19 dan e20b yang membentuk transkrip mRNA e19aq2 yang dinamakan
sebagai protein p230 Bcr-Abl. Transkrip itu cukup jarang, dengan
gambaran klinis berwujud netrofilia dan atau trombositosis.
Fusi protein dari ketiga jenis transkrip gen itu dapat
menghasilkan fosfoprotein yang beraktifitas tirosin kinase
konstitutif. Peningkatan aktivitas tirosin kinase inilah yang memicu
terjadinya transformasi selular yang mendasari munculnya CML. Ekspresi
enzim tirosin kinase secara konstitutif memicu berbagai jalur sinyal
transduksi, inhibisi apoptosis dan proliferasi sel induk pluripoten, yang
selanjutnya memicu proliferasi sel darah putih secara berlebihan
Secara klinis ketiga bentuk patahan itu biasanya memberi
manifestasi berbeda. CML yang terjadi akibat Transkrip yang
terbentuk sebab patahan pada M-Bcr berkaitan dengan manifestasi trombositopenia, patahan pada μ-Bcr yang sering memberi manifestasi
klinis berwujud trombositosis dan netrofilia. sedang patahan pada
m-bcr sering muncul monositosis . Dari hasil penelitian
tahun 2012 di Surabaya, diperoleh bahwa
transkrip b3a2 menandakan kadar lekosit yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kedua jenis transkrip lainnya , salah satu penyulit dari lekositosis jika jumlah lekosit
lebih dari 300 ribu/mm3 yaitu terjadinya lekostasis yang terjadi pada 16%
peristiwa ,
3 mekanisme dasar yang terjadi pada CML yang mengikutsertakan fusi
BCR-ABL yaitu gangguan adhesi terhadap sel-sel stroma dan terhadap
matriks ekstraseluler, jalur sinyal aktif mitogenik secara konstitutif dan
penurunan apoptosis
Pada kondisi normal sel progenitor hemopoetik terikat dengan
stroma bone marrow dan matriks ekstraseluler, yang diperantarai oleh
reseptor permukaan sel progenitor, terutama integrin. Diferensiasi sel
hemopoetik memerlukan faktor perkembangbiakan yang terlarut. Pengikatan
sel-sel progenitor hemopoetik pada stroma bone marrow akan mencegah
proliferasi sel hemopoetik secara berlebihan. Ikatan sel progenitor
hemopoetik pada stroma bone marrow dipengaruhi oleh focal adhesion
associated proteins. Defek adheren dari sel progenitor hematopoietik pada
stroma bone marrow itu mempermudah sel-sel progenitor ,itu masuk ke peredaran darah perifer dan lalu terjadilah
proliferasi sel ,Jalur transduksi merupakan mediator bagi stimulus onkogen
untuk perkembangbiakan sel-sel hematopoetik. Protein Bcr-Abl memiliki berbagai domain yang penting untuk transformasi melalui interaksi antara
domain-domain ini dengan protein-protein lain. Domain-domain Bcr Abl yang berfungsi pada transformasi yaitu domain SH2, SH3, Kinase,
prolin rich dan actin binding. Pada proses signaling dari Bcr-Abl, akibat dari
peningkatan aktivitas tyrosine kinase, Bcr-Abl dapat memfosforilasi
substrat (contoh : CRK-L protein, paxillin, CBL) dalam sitoplasma sel melalui
domain SH1, lalu terjadi aktifitas kaskade transduksi-sinyal jalur
Ras. Secara fisiologis protein Abl selalu berpindah-pindah antara nukleus
dan sitoplasma. Namun, saat terjadi fusi dengan BCR, maka sebagian
besar ABL ini dipertahankan dalam sitoplasma, dan berinteraksi dengan
sebagian besar protein yang terlibat dalam jalur onkogenik ,Interaksi yang tidak normal antara onkoprotein BCR-ABL dengan molekul
sitoplasma lainnya memicu gangguan jalur Ras-Mitogen-Activated
Protein kinase (MAPK) yang mengarah pada peningkatan proliferasi,
gangguan jalur Janus-Activated kinase (JAK)–STAT yang mengarah pada
gangguan aktivitas transkripsi, dan gangguan phosphoinositide 3-kinase
(PI3K)/Jalur AKT ,
BCR-ABL yang memiliki tirosin-terfosforilasi akan mengikat domain
SH2 dari protein GRB2, sehingga fosforilasi BCR Tyr177 penting
untuk leukemogenesis yang dimediasi BCR-ABL dan
mutasinya sebagian besar menghapus ikatan GRB2 dan mengurangi
aktifitas Ras yang diinduksi BCR-ABL ,Interaksi BCR-ABL dengan protein sitoplasma lainnya, yang
berfungsi sebagai molekul adaptor, sehingga terjadi kompleks sinyal
multiprotein. Kompleks BCR-ABL/GRB2 merekrut Son of Sevenless (SOS),
yang secara konstitutif terkait dengan domain GRB2 SH3 ,Kompleks BCR-ABL/GRB2/SOS merangsang konversi Ras-terikat
GDP yang tidak aktif menjadi GTP ,lalu kompleks GRB2/GAB2/SOS memicu aktifitas konstitutif
dari jalur hilir RAS, sehingga mengaktifkan MAP kinase, ERK dan MEK
1/2 yang memicu proliferasi sel tidaknormal
Selain itu, kompleks GRB2/GAB2/SOS mengaktifkan jalur PI3K/AKT
yang berperan dalam kelangsungan hidup dengan menekan aktivitas
faktor transkrip forkhead O (FOXO), dan meningkatkan proliferasi sel
Selain itu, BCR-ABL, melalui PI3K/AKT/FOXO4 dan akhirnya
melalui upregulasi mTOR berpotensi menghambat autophagy sesudah diaktifkan, PI3K mengaktifkan AKT kinase, yang berfungsi
sebagai efek hilir kunci dengan mengerahkan banyak efek seluler melalui
fosforilasi OF2 substrat hilir yang mengatur apoptosis contoh nya, Bad,
caspase 9, Mdm2, dan Ask1,sehingga terjadi prolonged daya tahan hidup dan ekspansi klon.
Faktor-faktor transkripsi juga terlibat dalam sinyal BCR-ABL, yang
diperankan oleh STAT1 dan STAT5 (transduser sinyal dan aktifitas
transkripsi), yang terus-menerus aktif pada CML. aktifitas STAT5 sebagian
bertanggung jawab pada programmed cell dead melalui peningkatan molekul
antiapoptotik BCL-xL, inaktifitas molekul proapoptosis BAD. Target
lain BCR-ABL yaitu MYC protoonkogen, aktifitas MYC tampaknya
independen dari jalur RAS namun langsung diregulasi oleh ABL SH2.
Beberapa bukti menandakan bahwa Myc sering diekspresikan berlebihan
dalam tahap krisis blastik, sehingga dapat dikaitkan ekspresi MYC dengan
terjadinya progresivitas penyakit ,
Supresi apoptosis terlibat dalam patogenesis CML. aktifitas
antiapoptosis bergantung pada aktivitas fosfotirosin kinase p210BCR–ABL
selain dari struktural lain dalam fusi protein, termasuk ikatan protein
adapter dan fosforilasi. Protein Bcr-Abl mengaktifitas beberapa jalur signal
yang sudah diketahui berefek mitogen yang kuat. Autoposporilasi
Y-177 memicu ikatan dari adapter. lalu aktifitas RAS
merangsang kaskade signaling melalui jalur MAPK (Mitogen Activated
Protein kinase) yang akan memicu ekspresi dari antiapoptosis BCL2
Sekitar 40% pasien yang terdiagnosa CML di Amerika Serikat
memiliki gejala klinis , diketahui pada waktu pemeriksaan
fisik dan darah secara rutin. Manifestasi klinis CML bersifat insidious,
selalu berubah sesuai dengan tahap penyakit, yaitu tahap kronis (CP), tahap
akselerasi (AP), dan krisis blastik (BP). Sebagian besar (80%-90%) pasien
CML berada dalam tahap kronis (CP-CML)z
tahap kronis ini diperoleh pada sebagian besar pasien (80%-90%).
Tanda dan gejala biasa dari CP-CML akibat dari anemia dan splenomegali
berwujud kurang gairah kurang tenaga , penurunan berat badan, rasa tidak enak, rasa kenyang,
dan terasa penuh di kuadran kiri atas , Manifestasi yang
jarang yaitu perdarahan terkait dengan jumlah trombosit yang rendah
dan atau disfungsi trombosit, trombosis, terkait dengan trombositosis
dan atau leukositosis, artritis gout (dari kadar asam yang meningkat),
perdarahan retina, dan ulserasi gastrointestinal bagian atas dan
pendarahan, pada tahun 2017 memperoleh data ratarata lekosit
sekitar 90000 dari pasien surabaya, Gejala
leukostatis akibat lekositosis yang biasanya lekosit >25.000/mm3 pada
sebagian besar pasien (30%-40%) berwujud dispnea, mengantuk, kehilangan
koordinasi, dan kebingungan sebab sludge sel-sel leukemia pada pembuluh
darah paru atau otak. Beberapa pasien (<5%) mengalami gejala klinis
akibat lekostasis, yaitu lakilaki pismus yang
biasanya sering jika lekosit melebihi 250.000/μL. Splenomegali atau
hepatomegali diperoleh pada 40%-70% peristiwa . Splenomegali bervariasi
mulai dari ringan sampai berat yang lebih dari 10 cm di bawah tepi bawah
tulang iga. Ukuran limpa ini berkorelasi dengan jumlah lekosit
dalam darah. Pada tahap kronis ini sumsum tulang mengandung sel muda
(blast) kurang dari 6%. tahap ini berlangsung selama beberapa tahun ,
Pada tahap ini penyakit makin progresif yang ditandai dengan leukosit
makin meningkat, limpa makin membesar. berdasar kriteria dari
M.D Anderson Centre, tahap akselerasi bila: blast di perifer ≥ 14%, dan
promielosit di perifer ≥ 35%, basofil di perifer ≥ 15%, trombositopenia (<10
x 109/L bukan akibat dari efek samping dengan terapi) . tahap ini
secara klinis menandakan tanggapan hematologi atau tanggapan molekuler
makin menurun dan cenderung ke arah krisis blastik
tahap akselerasi
yaitu Kriteria ELN
– Basofil dalam darah ≥20%
– Persistent thrombocytopenia (< 100 x 109/L) tidak berkaitan dengan
terapi
– CCA/Ph + on treatment
,
– Thrombocytosis (>1000 x 109/L) tidak menanggapi terhadap terapi
,
– Peningkatan ukuran limpa dan peningkatan jumlah leukosit tidak
menanggapi terhadap terapi,
– Blast dalam darah atau bone marrow 15-29%, atau blast +
promyelocytes dalam darah atau bone marrow > 30%, dengan blast
< 30%
– Basofil dalam darah ≥20%
– Persistent thrombocytopenia (< 100 x 109/L), tidak berkaitan dengan
terapi
– CCA/Ph +, major route, on treatment
Kriteria WHO – Blast dalam darah atau bone marrow 10-19%
tahap krisis blastik
yaitu Pada tahap ini sel-sel CML mulai berperilaku seperti leukemia akut.
Pasien sering demam, malaise (merasa tidak sehat), pembesaran limpa,
penurunan berat badan, dan gejala lain yang mirip leukemia akut.
tahap ini menurut ELN ditandai dengan diperoleh sel muda ≥ 30% baik
pada darah perifer atau sumsum tulang, sedang menurut kriteria WHO
baik pada darah perifer atau sumsum tulang sel muda ≥ 30% ,
tahap Krisis Blastik
:Kriteria ELN
a. Blast dalam darah atau bone marrow ≥30%
b. Proliferasi blast ekstramedular, terpisah dari limpa
Kriteria WHO a. Blast dalam darah atau bone marrow ≥20%
b. Proliferasi blast ekstramedular, terpisah dari limpa
c. golongan sel blast dari biopsi bone marrow
Untuk menentukan prognosis sebelum memulai terapi pasien CML
tahap kronis dengan TKI disarankan memakai sistem skor
Sokal, Hasford atau EUTOS. Tiga sistem prognosis ini berdasar data
klinis dan hematologi sederhana. Belum ada bukti bahwa salah satu dari
tiga skor prognosis ini lebih unggul, dan tidak ada bukti jelas bahwa
pasien yang berisiko sedang memiliki perilaku berbeda dari yang
berisiko rendah ,Skor EUTOS pada awalnya dipakai untuk mengetahui risiko
relatif pasien CML yang memperoleh imatinib. Skor prognosis EUTOS
lebih sederhana hanya memasukkan persentase basofil darah perifer
dan ukuran limpa. Skor prognosis EUTOS membagi 2 golongan risiko,
yaitu:
a. risiko rendah (≤ 87)
,b. risiko tinggi (> 87).
Skor EUTOS sudah divalidasi berdasar riset cohort yang mengikutsertakan
1500 pasien CML tahap kronis yang memakai imatinib sebagai terapi
lini pertama Skor EUTOS lebih baik dari Sokal dan
Hasford dalam hal memprediksi kemungkinan tercapainya CCyR pada
18 bulan dan PFS 5 tahun namun belum dikonfirmasi dengan penelitian
lain. Sehingga diperlukan penelitian lanjutan untuk memvalidasi skor
EUTOS Skor Sokal ditentukan berdasar usia pasien, ukuran limpa,
trombosit, persentase sel blast darah perifer. berdasar sistem
skor Sokal, pasien CML tahap kronis digolongkan menjadi 3 golongan risiko:
a. risiko rendah (< 0,8)
b. risiko sedang (0,8 – 1,2)
c. risiko tinggi (> 1,2).
sedang Hasford (Skor Euro) menambahkan jumlah eosinophil
dan basophil darah perifer sebagai variabel tambahan pada sistem skor
Sokal ,
dalam penelitian tahun 2014 mengabarkan 40% pasien CML tahap kronis
memiliki skor Sokal sedang, 11,5% menandakan skor sokal tinggi dan
40,5% menandakan skor Sokal rendah ,Skor
Hasford dikembangkan tahun 1990 untuk mengevaluasi daya tahan hidup pasien
CML yang diobati dengan interferon-α , tanggapan
lengkap sitogenetik dan tanggapan lengkap molekuler lebih sering dilihat
pada golongan pasien yang memiliki nilai Sokal rendah ,Skor Hasford (Skor Euro) membedakan pasien menjadi 3 golongan ,
yaitu:
a. risiko rendah (<780)
b. risiko sedang (780-1480)
c. risiko tinggi (>1.480).
Peran basofil dari variabel pada skor Hasford yaitu sebagai
kontributor aktif pada evolusi penyakit dan progresi CML. Basofil yaitu
sebagai sumber inflamasi, molekul angiogenik dan fibrogenik seperti
VEGF atau HGF; mengeluarkan zat vasoaktif (histamin serta cytokine degrading enzyme dipeptidyl-peptidase) yang mendorong mobilisasi sel punca
dan penyebaran sel punca dan progenitor sel ekstrameduler; menghasilkan
faktor perkembangbiakan otokrin pada sel mieloid ,
Peran eosinofil pada progresi CML yaitu sebagai klonal eosinofilia
mengikutsertakan aberasi klonal seperti ketidaknormalan PDGFRα, PDGFRβ, FGFR1;
PDGFRα reaarangement terbanyak pada delesi gen CHIC2, yang berlokasi di
kromosom 4q12, menghasilkan penjajaran FLIP1 terhadap PDGFRα. Fusi
ini mengodekan protein FIP1L1/PDGFRα dengan aktivitas tirosin kinase
yang tidak terkendali; kerusakan organ (jantung dan paru) terkait dengan
pelepasan eosinofil dalam darah, yang memicu fibrosis lapisan endotel ,sedang parameter blas yaitu
konsekuensi dari aktivitas BCR-ABL yang mengarah ketidakstabilan genetik,
kerusakan DNA, dan kerusakan perbaikan DNA; spesies oksigen reaktif
(ROS) yang diinduksi oleh BCR-ABL dianggap sebagai mediasi kerusakan
DNA dan ketidakstabilan genetik
diagnosa CML biasanya mudah. Pada sebagian besar
peristiwa , diagnosa dapat dibuat berdasar pada riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik yang secara palpasi termasuk palpasi perut , dan
pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis leukosit. Konfirmasi
diagnosa diperoleh dengan teridentifikasinya kromosom Philadelphia
atau fusi gen BCR ABL atau keduanya, dalam sel darah
perifer atau bone marrow (BM). Pada beberapa peristiwa (4%) kromosom
Philadelphia atau pun BCR ABL tidak dapat dideteksi atau spesimen
sumsum tulang tidak tersedia atau tidak mencukupi, maka diperlukan
konfirmasi diagnosa dengan metode fluorescent in situ hybriditation (FISH)
Namun
bila kromosom Philadelphia atau BCR-ABL1 tetap tidak terdeteksi dengan
metode FISH sekalipun, maka pasien-pasien ini menurut klasifikasi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dinamakan sebagai CML Philadelphia negatif (Ph-), BCR-ABL1 negatif, atau sebagai CML atipikal. Sel-sel
leukemia BCR-ABL1 positif secara genetik tidak stabil dan cenderung
terjadi kelainan genom multipel dan heterogen, sehingga memicu
transformasi fenotip leukemia dari kronis ke akut, sehingga mengarah dari
CML tahap kronis menjadi tahap akselerasi dan tahap krisis blastik ,Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang atau Bone Marrow Aspiration
(BMA) bertujuan untuk menentukan morfologi sel darah, menentukan tahap
CML berdasar persentase blas, menentukan kromosom Philadelphia
dan kromosom tidaknormal (analisa sitogenetik). sedang pemeriksaan molekular dengan memakai metode RT-PCR quantitative berfungsi
untuk menentukan jumlah mRNA BCR-ABL1 sebagai sarana untuk
konfirmasi diagnosa . Pemeriksaan RT-PCR quantitative darah perifer
merupakan metode yang paling peka untuk mengukur mRNA BCR ABL1 dan dapat mendeteksi satu sel CML di antara > 100.000 sel normal
bahwa transkrip BCR-ABL1 juga diperoleh dalam
darah perifer dengan kadar sangat rendah (1-10 di antara 108 sel darah
putih) pada 30% pasien normal Insiden
transkrip BCR-ABL1 meningkat seiring bertambahnya usia pada pasien normal. Sebagian
besar pasien (95%) memiliki subtipe transkrip BCR-ABL1 yang khas yaitu
e13a2 (b2a2), e14a2 (b3a2) atau ekspresi keduanya secara bersamaan.
Subtipe transkrip lain yang jarang yaitu e1a2, e2a2, e6a2, e19a2, e1a3,
e13a3 dan e14a3 , Subtipe transkrip yang berbeda
akan mengkode fusi protein dengan ukuran yang berbeda dan dapat
memicu fenotipe penyakit yang berbeda. Transkrip e13a2 dan e14a2
mengkode protein P210 BCR-ABL1, walaupun dengan ukuran yang sedikit
berbeda. Pasien dengan transkrip e14a2 memiliki jumlah trombosit yang
secara menonjol lebih tinggi dibandingkan dengan transkrip e13a2. Pasien
dengan transkrip e19a2, yang mengkode protein P230, sering diperoleh
maturasi neutrofilik yang menonjol atau trombositosis, sedang pasien
dengan transkrip e1a2, yang mengkode protein P190, sering memicu
monositosis, tidak adanya basofilia dan kecenderungan untuk berkembang
ke tahap krisis blastik deret limfoid berdasar konsensus ESMO 2017, diagnosa klinis CML harus
dikonfirmasi secara sitogenetika yang menandakan t(9;22) (q34;q11) dan
secara PCR multiplex RT-PCR yang menandakan transkrip BCR-ABL1.
Penilaian sitogenetik diperlukan untuk mendeteksi kelainan kromosom
tambahan. PCR Multiplex realtime kualitatif dari darah atau dari RNA bone
marrow yang bertujuan untuk mendata jenis transkrip e14a2,
e13a2 (juga dinamakan b3a2 dan b2a2). Penentuan tipe transkrip
sangat penting untuk pemantauan, khususnya untuk penilaian tanggapan molekuler yang akurat. analisa mutasi awal pada pasien dengan CP CML yang baru didiagnosa tidak disarankan, sebab belum terbukti
memberi informasi tentang pemilihan obat yang optimal dan tidak
untuk memprediksi hasil terapi.
Pada CML tahap lanjut disarankan pemeriksaan flowcytometer,
analisa mutasi, dan test HLA (bila diperlukan transplantasi alogenik).
jika dalam analisa mutasi diperoleh ketidaknormalan kromosom
(trisomi, isokromosom 17, trisomy 19, ketidaknormalan kromosom 3q26),
atau kromosom pH sekunder, maka dikatakan memiliki prognosis
unfavorable penelitian
di Surabaya tahun 2013 untuk diagnosa CML berdasar pada temuan
klinis, yaitu diperoleh splenomegali, darah lengkap berwujud lekositosis,
hapusan darah tepi, dan pemeriksaan BCR ABL kualitatif dan kuantitatif.
Dengan PCR Multiplex realtime secara kualitatif sebagian besar terdeteksi
BCR ABL1 dengan transkrip e13a2 (b2a2), atau e14a2 (b3a2),Pada kondisi klinis yang tidak khas CML, maka
perlu dipikirkan beberapa kondisi yang memicu lekositosis atau
splenomegali
a. Polisitemia vera. Pasien itu biasanya terjadi splenomegali dengan
skor LAP normal atau meningkat, jumlah WBC kurang dari 25×109/L,
dan tidak ada kromosom Ph.
b. CML kromosom Ph negatif atau chronic myelomonocytic leukemia
(CMML). Dalam beberapa peristiwa , gen hibrid BCR-ABL1 dapat
diperlihatkan walau ada pola sitogenetik yang normal atau
atipikal. Pasien yang Ph-negatif dan BCR-ABL1 negatif cukup jarang.
Pada jenis ini terjadi hiperplasia myeloid yang mengikutsertakan hampir
secara eksklusif garis keturunan sel neutrofil, eosinofil, atau basofil.
Pasien-pasien ini memiliki leukemia neutrofilik,
eosinofilik, atau basofilik kronis dan tidak memiliki bukti kromosom
Ph atau gen BCR-ABL1.
c. Reaksi leukemoid, biasanya jumlah sel darah putih, kurang dari 50 ×
109/L, toksik vakuolaasi granulositik, Döhle bodies dalam granulosit,
tidak adanya basofilia, dan kadar LAP normal atau meningkat.
d. Sindrom myeloproliferative atau myelodysplastic lainnya. Metaplasia
myeloid agnogenik dengan atau tanpa myelofibrosis sering mengalami
splenomegali, neutrofilia, dan trombositosis.
e. Hiperplasia megakaryocytic isolated, pada peristiwa ini diperoleh pada trombositemia esensial, dengan trombositosis dan splenomegali
yang nyata. Beberapa pasien datang dengan karakteristik klinis
trombositemia esensial Pengobatan CML sebelum era Inhibtor Tyrosine Kinase yaitu
memakai obat sitostatika. Kemoterapi pada CML memakai
obat untuk menghancurkan sel kanker. Regimen kemoterapi, atau jadwal,
biasanya terdiri dari beberapa siklus tertentu yang diberikan selama
jangka waktu tertentu. Kemoterapi pada CML bukan bertujuan sebagai
terapi kuratif, namun hanya sebagai terapi paliatif dan untuk mencapai sel
tumor menjadi regresi. Kemoterapi ini masih diindikasikan pada CML
BCR-ABL negatif atau CML dengan lekositosis yang bertujuan untuk
lekoreduksi.
Kemoterapi sitostatika juga dipakai untuk pasien CML yang
mengalami transformasi ke arah leukemia akut, jenis limfoid ataupun
myeloid. Beberapa obat yang bisa dipakai untuk CML tahap kronis
yaitu Busulfan dan Hydroxyurea. sedang , jenis kemoterapi untuk
CML krisis blastik sesuai dengan jenis transformasi, biasanya yaitu
kombinasi vincristin-prednison, atau 6-thioguanine, 6-mercaptopurine,
cytosine arabinoside, dan methotrexate, daunorubicin untuk jenis limfoid.
sedang bila transformasi ke arah myeloid dapat diberi kombinasi
carboplatin,
fludarabine, decitabine ,antraciclin, cytosine arabinoside, 5-azacytidine, etoposide,
Busulfan yaitu antineoplastik non-khusus alkylating agent
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1953 merupakan obat
pertama yang efektif pada pasien CML. Pada tahun 1999, Busulfan sudah
disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat untuk pengobatan CML. Rumus kimia dari busulfan yaitu 1,4-butanadiol
dimethanesulfonate. Busulfan yaitu andalan dari kemoterapi untuk CML
sampai akhirnya digantikan oleh standar emas baru, imatinib. Busulfan
ini masih dipakai sebab biaya relatif murah. Busulfan juga masih
menjadi terapi lini kedua sesudah pasien resisten atau intoleran terhadap
hidroksiurea.
Dosis: Busulfan diberikan dengan dosis awal 0,1 mg/kg beratbadan /hari
maksimal 4 mg dosis tunggal sampai jumlah leukosit turun 50%, dan
lalu dosis dikurangi menjadi 0,05 mg/kg beratbadan . Siklus pemberian
diulangi dengan dosis 2-8 mg/hari selama 5-10 hari. Busulfan dihentikan
bila jumlah lekosit turun mencapai 20–25×109/L sebab lekosit akan
menurun terus sampai 2-4 minggu lalu .
Efek samping: Busulfan memberi toksisitas interstitial fibrosis
paru (Busulfan Lung), hiperpigmentasi, kejang, Venouse Occlusive
Dissease (VOD), emesis, dan sindrom wasting. Selain itu Busulfan juga
memicu trombositopenia, menurunkan jumlah platelet. Pada dosis
rendah, depresi selektif terlihat granulopoiesis dan trombopoiesis. Pada
dosis yang lebih tinggi terlihat depresi eritropoiesis. Busulfan sering
memicu mielosupresi yang berat dan lama, sehingga pemeriksaan
darah harus sering dilakukan. sedang efek samping yang jarang
yaitu severe idiosyncratic pulmonary reaction, fibrosis interstitial. Gonadal
failure (biasanya ireversibel), aspermia pada laki-laki dan menopause
sesudah 3-6 bulan terapi.
Hidroksiurea atau Hydroxycarbamide yaitu suatu ribonucleotida
reductase inhibitor. Hidroksiurea pertama kali disintesis pada tahun 1869,
yang dipakai dalam penyakit mieloproliferatif, khususnya polisitemia
vera dan thrombocythemia. Hidroksiurea diperkenalkan sebagai terapi
CML pada tahun 1966 dan sebab tingkat toksisitasnya lebih rendah dari
busulfan, hidroksiurea lebih menjadi pilihan untuk pengobatan CML
saat itu. Hidroksiurea (Hydrea) ini dapat ditoleransi dengan baik dan
efektif untuk menekan lekositosis pada kebanyakan pasien CML sampai diagnosa CML dapat dilakukan . Hidroksiurea diberikan dalam bentuk
kapsul, dan dapat menurunkan sel darah putih menjadi normal dalam
beberapa hari atau minggu dan mengurangi ukuran limpa, namun tidak
mengurangi persentase sel dengan kromosom Philadelphia dan tidak
mencegah terjadinya krisis blastik.
Hidroksiurea beraktifitas antitumor pada hewan dan kita . ini memicu supresi sumsum tulang dan megaloblastosis
yang reversibel sesudah menghentikan pengobatan. Pengukuran
sintesis asam nukleat pada tikus menandakan hambatan sintesis asam
deoksiribonukleat (DNA). Hampir 90% terjadi hambatan sintesis DNA
pada konsentrasi hidroksiurea yang tinggi,
Dosis: Hidroksiurea diberikan dengan dosis 40 mg/kg beratbadan perhari.
Efek Samping: Hidroksiurea berefek samping yang
ringan, semuanya reversible bila pengobatan dihentikan. Meliputi mual mulas perih kembung
muntah dan diare, anorexia, menggigil, nyeri tubuh, gejala flu, luka di
mulut dan tenggorokan, halusinasi, kejang, gatal, mengantuk, sembelit,
mukositis, anoreksia, stomatitis, toksisitas sumsum tulang (toksisitas
yang terbatas dosis: 7-21 hari pulih sesudah obat sudah dihentikan), alopecia
(rambut rontok), perubahan kulit, enzim hati yang tidaknormal , kreatinin
dan nitrogen urea darah , hampir semua pasien CML tahap kronis di Surabaya diberi hidroxyurea sebelum memperoleh imatinib
Interferon (IFN) yaitu suatu glikoprotein yang menanggapi bila ada
kuman patogen seperti virus, bakteri, parasit atau sel tumor. IFN memiliki
aktivitas biologis termasuk Induksi sel T sitotoksik yang dianggap sebagai
salah satu mekanisme antitumor. IFN-α secara langsung menghambat
proliferasi dengan menekan produksi sitokin stimulasi hematopoietik,
seperti GMCSF dan interleukin-1β. IFN-α juga meningkatkan antagonis
reseptor interleukin-1 dan mengubah faktor perkembangbiakan -β. Selain itu,
IFN-α dapat menghambat proliferasi progenitor CML dengan memulihkanmekanisme hematopoietik yang normal,Berbeda dengan kemoterapi sitoreduktif konvensional, IFN-α bisa
menginduksi CCyR hingga 26% pada pasien CP-CML ,dan memperpanjang daya tahan hidup , IFN efektif terhadap
CML, hairy cell leukemia (HCL), multiple myeloma, dan limfoma maligna.
IFN menanggapi hematologi pada 70-80% pasien CML. IFN
menanggapi sitogenetik mayor (MCR) pada 15-40% pasien CML
tahap kronis , Pasien CML dengan faktor risiko rendah (Skor
Euro) menandakan 6 tahun daya tahan hidup sebesar 70 %, sedang dengan risiko
sedang 6 tahun daya tahan hidup sebesar 50%, dan yang berisiko
tinggi memberi 6 tahun daya tahan hidup sebesar 20%. IFN-α dipakai dalam
pengobatan CML sejak tahun 1985. Yang lalu INF-α dibuat dalam
bentuk rekombinan, IFNα-2α ,Dosis optimal IFN-α untuk CML tidak diketahui. analisa retrospektif
menandakan bahwa dosis rendah sama efektifnya dengan dosis tinggi. The
Dutch Hemato-Oncology Association (HOVON) dan British Medical Research
Council (MRC) melakukan uji coba secara acak pada pasien CML baru yang
membandingkan IFN dosis tinggi (5 MIU/m2 setiap hari) dengan IFN dosis
rendah (3 MIU, 5 kali seminggu). Kedua golongan memperoleh terapi
tambahan hydroxyurea untuk mempertahankan jumlah lekosit <5×109/L.
Pada pengamatan 53 bulan, tidak ada perbedaan yang menonjol dalam
hal overall daya tahan hidup (OR = 1,09; CI 95%) Efek samping IFN-α yaitu anoreksia, demam, menggigil, mialgia,
pusing, sembuh dalam beberapa hari. Efek samping kronis termasuk kurang gairah kurang tenaga , sakit kepala, mual mulas perih kembung , muntah, gangguan dalam
berpikir dan berkonsentrasi, penurunan berat badan, arthralgia, depresi,
dan komplikasi yang diperantarai mekanisme imun, seperti anemia
hemolitik autoimun/trombositopenia, gangguan kolagen vaskular,
penurunan berat badan, neurotoksisitas, dan insomnia hipotiroidisme
serta sindrom nefritik. peristiwa -peristiwa aritmia dan gagal jantung kongestif
jarang terjadi, namun IFN-α harus segera dihentikan begitu muncul gejala
itu .pemakaian interferon memang dibatasi sebab adanya efek
samping. Selain itu, interferon juga bersifat toksik terhadap hati, ginjal,
sumsum tulang, dan jantung. Efek samping terus berlanjut selama obat
dipakai . Oleh sebab itu terapi IFN-α harus dihentikan jika tidak ada
tanggapan hematologi lengkap dalam 6-2 bulan sesudah pemberian IFN-α.
Sebelum pemberian Interferon, langkah pertama dalam terapi CML yaitu
dengan pemberian Hidroksiurea untuk mengurangi beban tumor (tumor
load) di bawah 20 x 109/L. Dosis IFN-α yang lebih rendah dari 3 MU/m2
lima kali seminggu menandakan efektivitas yang sama dengan dosis
standar 5 MU/m2 setiap hari.
usaha yang dilakukan untuk meningkatkan
efektivitas IFN-α, yaitu mengoptimalkan dosis , memakai pegylated Interferon-α dan
kombinasi IFN-α dengan Cytarabine dosis rendah Ara C (10 mg/m2 hari
pertama sampai dengan hari ke-10) atau hydroxyurea (25 mg/kg tiap hari).
Bila IFN-α dikombinasikan dengan Ara-C akan meningkatkan tanggapan
sitogenetik dan memperpanjang harapan hidup. Ara-C lebih selektif
menekan perkembangbiakan sel-sel CML dibandingkan sel-sel hematopoietik
normal secara in vitro. IFN-α diberikan setiap hari dan Ara-C dosis
rendah 10-20 mg/hari selama 10 hari tiap bulan. Hitung leukosit sebaiknya
dipertahankan antara 3–5x109/L. Dosis itu sebaiknya diturunkan
hanya bila hitung WBC <2x109/L atau hitung platelet <50x109/L atau adanya
toksisitas derajat 2-4 ,
Tyrosine kinase berperan penting dalam modulasi sinyal faktor
perkembangbiakan . Bentuk aktif dari enzim ini dapat memicu
peningkatan proliferasi dan perkembangbiakan sel tumor, menginduksi efek
anti-apoptotis, dan mempromosikan angiogenesis dan metastasis. Pada
pasien CML, dengan adanya gen BCR-ABL, tyrosine kinase yang konstitutif
memicu terjadinya transformasi selular sebagai patogenesis dari
munculnya CML. Dengan demikian BCR-ABL merupakan sasaran yang
ideal sebagai target molekuler untuk pengobatan CML, dan Tyrosine
Kinase Inhibitor (TKI) merupakan terapi yang efektif dan selektif untuk
CML dengan BCR ABL yang positif.
Imatinib merupakan TKI generasi pertama yang dipakai untuk
pengobatan CML tahap kronis. Imatinib merupakan turunan pirimidin2-
fenil amino yang berfungsi sebagai inhibitor khusus enzim tyrosine
kinase. Imatinib bekerja khusus pada domain tyrosine kinase di ABL
(proto-onkogen Abelson), kit-c, dan PDGF-R. Imatinib bekerja dengan
mengikat tempat pengikatan ATP dari BCR-ABL, menguncinya dalam
konformasi tertutup atau self-inhibited. Imatinib cukup selektif terhadap
BCR-ABL. Imatinib juga menghambat protein ABL dari sel-sel non kanker, namun sel-sel ini biasanya memiliki tirosin kinase berlebihan,
yang memungkinkannya terus berfungsi bahkan jika ABL tyrosine
kinase dihambat ,
foto :Mekanisme kerja imatinib. (A) tirosin kinase BCR-ABL yang secara konstitutif
aktif berfungsi dengan mentransfer fosfat dari ATP ke residu tirosin pada berbagai substrat
yang memicu proliferasi berlebihan sel mieloid. (B) Imatinib menghalangi pengikatan
ATP ke tirosin kinase BCR-ABL, sehingga menghambat aktivitas kinase ,
Pada tahun 2001 FDA memberi izin imatinib dipakai sebagai
pengobatan CML tahap kronis lini pertama. Obat ini diberikan per oral
1 atau 2 kali sehari dengan dosis 400 mg/hari. Hampir semua pasien
CML tahap kronis yang memperoleh obat ini mengalami remisi hematologi
lengkap. Sekitar 70%-80% pasien yang baru didiagnosa pada tahap kronis
ini menanggapi sitogenetik lengkap (CCyR). adanya tanggapan
molekuler mayor pada 12 bulan pertama masih rendah, yaitu sekitar 40% ,
juga pada pengamatan berikutnya tahun 2018,
memperoleh MMR dalam 12 bulan sekitar 40% ,IRIS (The International randomized Study of Interferon) dan STI571
melakukan penelitian terhadap 2300 pasien CML tahap kronis yang
menerima Imatinib dosis 400 mg/hari atau IFN-plus cytarabine dosis rendah.
sesudah observasi selama 20 bulan, pasien yang menerima imatinib secara
menonjol menandakan tanggapan terapi sitogenetik lebih banyak dibandingkan golongan pasien yang memperoleh IFN plus cytarabine dosis rendah (CCyR
73% vs 9%, P <0,001), dan lama progresivitas penyakit ke arah krisis blastik
pada 13 bulan lebih tinggi dibandingkan golongan pasien yang memperoleh
Interferon plus cytarabine dosis rendah (90% vs 94%, P < 0,001). Imatinib
dikabarkan menandakan bebas penyakit selama 7 tahun sebesar 80%,
dan daya tahan hidup sebesar 70 %. Namun dalam observasi selama 10 tahun itu
hanya 30 % pasien yang tetap memakai terapi imatinib, tanggapan terapi akan lebih baik jika dikombinasi
dengan interferon. tanggapan molekuler lebih menonjol pada pasien CML
tahap kronis yang menerima imatinib dan peginterferon alfa-2a, dibandingkan
yang menerima 400 mg imatinib saja (14%) (P = 0,001) ,
Penelitian tahun 2017 terhadap
pasien CML yang memperoleh imatinib selama 8 tahun, sesudah dilihat
selama 15 tahun menandakan progression-free daya tahan hidup 52%, overall daya tahan hidup
70%, 50% mencapai MR 3 % mencapai MR 2,3,50% mencapai MR4, 73%
mencapai major molecular remission dan 83% mencapai MR 2 ,Efek samping imatinib yaitu demam, menggigil, nyeri tubuh,
gejala mirip influenza, mudah memar, pembengkakan di tubuh
dan wajah, kenaikan berat badan cepat, mual mulas perih kembung , nyeri perut bagian
atas, gatal, nafsu makan tidak ada , otot lemah lesu , pucat,
Dasatinib yaitu TKI generasi kedua dengan kekuatan 300 kali
dibandingkan dengan imatinib dengan dosis awal 100 mg sehari sekali ,Penelitian DASISION tahap III
yang dilakukan secara acak membandingkan imatinib 400 mg sekali
sehari dengan dasatinib dosis 100 mg sekali sehari terhadap pasien baru
CML tahap kronis menandakan tanggapan terapi sitogenetik lengkap lebih
baik secara menonjol pada golongan pasien yang memperoleh dasatinib
dibanding golongan pasien yang memakai imatinib pada observasi
selama 12 bulan (77% vs 66%; P 5 0.007),
Selain itu selama pengamatan 6 tahun, terapi golongan dengan terapi
dasatinib juga menandakan deep molecular tanggapan es lebih cepat dan
lebih baik dibandingkan golongan imatinib. ini ditunjukkan dengan
pemeriksaan transkrip BCR ABL <10 % pada 3 bulan pertama (84% vs 64%,
P < 0.0001). juga dengan lebih sedikitnya pasien yang mengalami
transformasi ke arah krisis blastik atau tahap akselerasi pada golongan
yang memperoleh dasatinib (4,6% vs 7,3%),
Penelitian multisenter di Amerika Utara terhadap pasien baru CML
tahap kronis yang membandingkan dasatinib 100 mg sekali sehari dengan
imatinib 400 sekali sehari juga menandakan hasil yang hampir sama
dengan penelitian DASISION. golongan dasatinib mencapai CCyR lebih
tinggi dibandingkan golongan yang memperoleh imatinib (84% vs 69%,
P 5 0.04). Namun dikabarkan efek toksik yang lebih banyak pada golongan
dasatinib, yaitu ESO derajat 3 atau 4 terutama efek samping hematologi.
Efek samping neutropenia dan trombositopenia terjadi pada sebagian
besar pasien CML tahap kronis yang awalnya diobati dengan dasatinib 70
mg dua kali sehari. Kejadian efusi pleura lebih rendah, juga
efusi perikardial juga jarang terjadi. Dasatinib meningkatkan kejadian
perdarahan gastrointestinal akibat trombositopenia,
Nilotinib yaitu TKI yang berbentuk kapsul yang diberikan per
oral dan berstruktur analog dengan imatinib. Dosis yang
disarankan yaitu 400 mg per oral dalam dua kali pemberian
per hari, dalam kondisi perut kosong, 2 jam sesudah atau 1 jam sebelum
makan. Nilotinib memiliki afinitas pada ATP- binding site pada BCR ABL1 30 -50 kali lebih kuat dari imatinib secara in vitro.
Nilotinib ditujukan untuk pasien yang gagal menanggapi
hematologi atau sitogenetik terhadap imatinib. Dalam riset praklinis,
nilotinib beraktifitas terhadap 32 dari 33 mutasi bcr-abl yang
resisten terhadap imatinib, kecuali terhadap mutasi T3151. Nilotinib sudah
disetujui oleh FDA tahun 2007 untuk pasien CML Philadelphia kromosom positif (Ph+) tahap kronis atau tahap akselerasi yang tidak menanggapi atau tidak
toleran terhadap imatinib. Efek samping nilotinib yang serius walaupun jarang yaitu
takiaritmia, pemanjangan QT interval, dan kematian mendadak, sehingga tidak disarankan pada pasien yang mengalami hipokalemia, hipomagnesia,
atau pemanjangan QT interval. ECG dilakukan lagi untuk memantau QT
interval 7 hari sesudah obat dimulai. Sitopenia yaitu efek samping
yang sering terjadi (frekuensi lebih besar dibandingkan imatinib).
Sitopenia itu reversibel, sesudah obat distop atau dosis
diturunkan sementara. Sering terjadi gangguan elektrolit dan peningkatan
enzim-enzim pankreas. Efek samping lain berwujud anemia, gatal dan
ruam di kulit, sakit kepala, dan mual mulas perih kembung . Efek samping serius yang lain namun
jarang yaitu kerusakan hepar dan akumulasi cairan. Nilotinib kurang
menanggapi terhadap pasien yang ada mutasi P-loop.
Penelitian uji klinis tahap II dilakukan pada pasien CML tahap kronis
yang intoleran atau resisten terhadap imatinib. dikabarkan bahwa nilotinib
memberi CCyR (Complete Cytogenetic tanggapan e) sekitar 40%, dan 70%
menandakan tanggapan hematologi lengkap (CHR). OS pada pengamatan
18 bulan yaitu 90%. Pasien yang progresif menjadi tahap akselerasi
menandakan tanggapan sitogenetik mayor 30%; tanggapan sitogenetik lengkap
sekitar 10%; dan yang memberi CHR sekitar 10%. Pada pengamatan
14 bulan, sekitar 36% pasien tidak mengalami progresivitas penyakit,
dan OS sekitar 60 %. dikabarkan juga toksisitas yang sering berwujud
ruam, pruritus, mual mulas perih kembung , kurang gairah kurang tenaga , sakit kepala, sembelit, diare,
Sekitar 10% menandakan toksisitas grade 3, yaitu berwujud trombositopenia,
neutropenia, lipase tinggi, hiperglikemia, dan hipofosfatemia ,Penelitian ENESTnd tahap III, terhadap pasien CML-baru tahap kronis
(CML-CP), bahwa nilotinib menandakan tanggapan terapi yang lebih
cepat, dan lebih tinggi dan risiko terjadinya tahap krisis dibandingkan imatinib.
Pada tahun ke lima lebih dari setengah dari semua pasien dalam setiap
golongan nilotinib (300 mg 2 kali sehari, 50%; 400 mg 2 kali sehari,
50%) mencapai tanggapan molekuler 4,5 (MR (4,5); BCR-ABL ≤ 0,0032%)
dibandingkan dengan pasien yang memperoleh imatinib. Penelitian
dilakukan pada semua golongan risiko Sokal. Secara keseluruhan, hasil
keamanan tetap konsisten dengan riset sebelumnya. lebih banyak kejadian kardiovaskular (CVE) pada pasien yang menerima
nilotinib dibandingkan yang memperoleh imatinib, dan naiknya kolesterol darah dan kadar glukosa pada golongan
yang diterapi dengan nilotinib. Berbeda dengan tingkat kematian yang
tinggi akibat progresivitas dari CML ,Pemantauan efek samping penting sebab berkaitan dengan penentuan dosis tidak boleh salah. jika salah dalam menentukan
efek samping, maka pemberian dosis bisa berlebihan yang akan
membahayakan pasien. Sebaliknya jika dosis terlalu sedikit,
hasil terapi tidak maksimal, Keharusan untuk pemberian obat TKI yang
berlangsung selama bertahun-tahun memicu efek
merugikan jangka panjang (adverse event = AE) dan memicu penurunan daya tahan hidup.
Setiap obat akan mengalami metabolisme di liver, ginjal atau paru
dan lalu hasil metabolisme itu akan disalurkan ke target
organ. Setiap efek samping obat (ESO) harus dievaluasi segera sesudah
obat masuk ke dalam tubuh baik sesudah dinjeksikan /diminum. juga dengan obat-obatan untuk pengobatan CML.
Efek samping obat harus dievaluasi segera sesudah obat diminum. Efek
samping obat digolobgkan menjadi 2 golongan , yaitu hematologik dan
non-hematologik
Toksisitas hematologik sesudah pemberian tirosin kinase
inhibitor generasi pertama berwujud myelosupresi sumsum tulang (imatinib induced myelosupresion), dari derajat ringan sampai berat. Mielosupresi
merupakan efek samping yang sering terjadi pada 75% pasien.
Anemia, neutropenia, dan trombositopenia memicu penurunan dosis sehingga pengobatan menjadi lebih lama. Insiden anemia derajat
3 atau 4 dikabarkan pada 9% pasien CML baru yang memperoleh imatinib
dan pada 9% CML tahap kronis sesudah gagal dengan interferon alfa.
Ini mungkin terkait dengan penurunan cadangan stemcell hematopoietik
normal, yang sudah ditekan oleh kromosom Philadelphia. Mielosupresi
selama terapi imatinib berkaitan dengan tanggapan terapi yang
kurang optimal dan prognosis jelek. Mielosupresi yang
terjadi belum bisa dipastikan apakah merupakan manifestasi dari
penyakit yang mengalami progresif atau tidak cukupnya transfer imatinib
ke tempat target. Terapi pendukung dengan hormon Erythropoietin dan
growth factor bisa memperbaiki anemia dan neutropenia sehingga
memungkinkan agar supaya terapi imatinib diteruskan dengan dosis yang efektif (300
mg setiap hari). munculnya mielosupresi lebih sering terjadi pada pasien
CML dibandingkan dengan pasien GIST yang memperoleh imatinib ,
tatalaksana yang disarankan NCCN 2019 , jika terjadi mielosupresi pada CML tahap kronis yaitu :
-menghentikan imatinib jika jumlah neutrofil absolut (ANC) menurun
di bawah 1.000/mm3 dan atau jumlah trombosit < 50.000/mm3;
-meneruskan terapi imatinib dosis 400 mg bila ANC pulih ≥ 1.500/
mm3 dan trombosit ≥ 75.000/mm3;
-jika pemulihan terjadi dalam waktu < 4 minggu, pemberian kembali
dimulai dengan dosis 400 mg/hari; dan
jika terjadi penurunan lagi ANC < 1.000/mm3 dan atau trombosit <
50.000, tunda sampai ANC ≥ 1500/mm3 dan trombosit ≥ 75.000 dan
imatinib dimulai dengan dosis 300 mg.
sedang pada CML tahap akselerasi dan krisis blastik, ANC <
0,5x109/L biasanya terkait dengan manifestasi klinis . tatalaksana
yang dilakukan jika sitopenia itu tidak terkait dengan manifestasi
klinis penyakit yaitu :
Dosis dikurangi hingga 400 mg/hari
Jika sitopenia menetap selama 2 minggu, dosis dikurangi lebih
banyak lagi hingga 300 mg
Jika sitopenia menetap selama 4 minggu, imatinib dihentikan sampai
ANC ≥ 1.0x109/L dan trombosit ≥ 20x109/L dan lalu diteruskan
dengan dosis 300 mg, tidak disarankan untuk memberi dosis
sub-terapeutik (< 300 mg/hari)
, Injeksi growth factor (filgastrim) dapat dikombinasi dengan imatinib,
namun harus dipertimbangkan sebab biasanya netropenia terjadi
pada tahap akselerasi dan krisis blastik,Pada peristiwa terjadi anemia derajat 3-4, harus dilakukan evaluasi
pemicu anemia, seperti pemeriksaan retikulosit, kadar zat besi,
B12, folat. Transfusi darah merah diberikan atas indikasi.
Efek samping yang sering terjadi dapat berwujud gangguan pada sistem
saluran pencernaan, muskuloskeletal, kulit, sistem pernafasan, sistem
pembuluh darah dan cairan, sistem hati dan empedu
Gangguan Pencernaan
mual mulas perih kembung yaitu efek samping dari imatinib yang sering terjadi
pada sekitar 49-80% pasien CML tahap kronis atau GISTs dan sekitar 80%
dari pasien CML stadium lanjut. Efek samping yang muncul biasanya
ringan (derajat 1) dan terkait dengan dosis ,
Imatinib diminum saat yang terbaik yaitu bersamaan dengan
makan selai kacang tanah sebab tidak mempengaruhi farmakokinetik obat. jika pasien
memiliki riwayat esophagitis atau hernia hiatus, imatinib harus diminum
minimal 2 jam sebelum tidur. Pemberian imatinib dalam 2 dosis terbagi
bisa meringankan keluhan pasien, terutama pasien yang terus mengalami
mual mulas perih kembung . jika masih diperoleh keluhan mual mulas perih kembung , dapat diberikan obat anti
mual mulas perih kembung (proklorperazin, ondansetron). Beberapa pasien yang mengalami
diare dapat diberikan obat anti diare ,
Edema merupakan efek samping yang sering terjadi (lebih
dari 10% pasien yang menerima imatinib). Edema ringan
sampai sedang, dan bisa terjadi retensi cairan yang berlebihan pusat
(gagal jantung kongestif, efusi pleura, efusi perikardial, edema paru,
asites, anasarka). Edema perifer sering terjadi di kaki. ada
korelasi antara usia pasien (> 75 tahun) dan jenis kelamin (perempuan).
Adanya riwayat penyakit jantung atau gagal ginjal merupakan faktor
risiko munculnya edema dan retensi cairan. Edema periorbital juga sering
terjadi pada pasien yang menerima imatinib dan cenderung terjadi di pagi
hari. Dalam hal ini Imatinib tidak perlu dihentikan dan tidak ada terapi
khusus yang diperlukan.
Edema periorbital ringan dipercaya merupakan efek samping yang
biasa dari Imatinib. Imatinib tidak kontraindikasi pada pasien edema
periorbital. Namun, pada pasien dengan edema berat, intervensi bedah
mungkin diperlukan. Pengurangan konsumsi garam
meringankan gejala. jika parah, terapi diuretik dapat
diberikan, Edema serebral dikabarkan pada dua pasien, berusia 50 dan 60 tahun,
yang memperoleh 600 mg/hari imatinib. Kejadian ini ditemukan pada
2 peristiwa di antara 19.000 pasien di seluruh dunia yang memperoleh terapi
imatinib . munculnya perikardial efusi sudah ada
pada leukemia akut namun sangat jarang pada CML. pemicu efusi
perikardial di CML mungkin infiltrasi leukemia, hematopoiesis
ekstramedular, infeksi, dan perdarahan pada CML. Komplikasi Tamponade
jantung diterapi dengan drainase bedah, dan imatinib dihentikan,Pemantauan berat badan, gejala klinis akibat komplikasi pada jantung
dan paru, dan pemantauan tonus jaringan perifer bisa mendeteksi lebih
dini kemungkinan adanya retensi cairan pada pasien yang menerima
imatinib. Semua pasien, tua atau pasien pengidap jantung atau ginjal, harus dipantau ketat terutama edema dan
retensi cairan yang tidak menanggapi secara optimal terhadap diuretik. Pada
pasien dengan faktor risiko edema, pemberian awal imatinib dengan dosis 300 mg/hari dan diikuti dengan eskalasi dosis sampai 400 atau 600 mg/
hari. Bila edema perifer atau berat badan meningkat secara menonjol ,
diperlukan pemberian diuretik. Jika muncul retensi cairan yang hebat,
imatinib harus dihentikan dan edema harus dikendalikan dengan diuretik.
Imatinib bisa diberikan lagi bersaman dengan pemberian diuretik
Efek samping pada kulit dari ruam ringan sampai berat hingga
muncul sindroma Stevens-Johnson diperoleh pada pasien yang
memperoleh terapi imatinib. biasanya ruam ini tidak muncul
lagi pada saat imatinib diteruskan kembali sesudah obat dihentikan.
Manifestasi lain berwujud urtikaria perubahan pigmentasi kulit dan
menggelapnya warna rambut. Selama pemberian imatinib, sekitar 50%
dari pasien mengalami reaksi kulit. Sebagian besar reaksi kulit yang terkait
dengan imatinib biasanya muncul ruam yang sembuh dengan sendirinya
dan terapi imatinib dapat diteruskan lagi. pemicu dari reaksi kulit yang
terkait imatinib belum diketahui. Hipotesis sementara bahwa reaksi kulit
terkait imatinib dimediasi oleh perubahan signaling tyrosine kinase. Imatinib
tidak imunogenik sebab berat molekul yang relatif rendah. C-Kit (yang
diekspresikan oleh sel mast dan melanosit epidermal) diperkirakan sebagai
mekanisme pemicu dermatitis atopik. muncul depigmentasi lokal pada
pasien CML sesudah 7 bulan pengobatan dengan imatinib, mungkin terkait
dengan penghambatan dari reseptor melanosit c-Kit tirosin kinase.
Di antara pasien CML dan GIST dalam riset tahap II imatinib, ruam,
dan dermatitis yaitu reaksi kulit yang sering dikabarkan dan
biasanya ringan atau sedang (derajat 1 atau 2). Kondisi dermatologis yang
serius jarang terjadi, sekitar 4%. Kejadian dan tingkat keparahan reaksi
kulit tergantung dosis. Ruam yang paling biasa ditandai dengan lesi
macropapular muncul paling menonjol di lengan, dada, dan kadang-kadang
di wajah. Ruam eksfoliatif berat (derajat 3 atau 4) sudah dikabarkan pada
0,7% pasien yang memperoleh imatinib. Pada semua riset , 13.000 pasien
yang diobati dengan imatinib, munculnya ruam eksfoliatif berat sekitar
1:500, dan biasanya terjadi pada awal pengobatan ,Terapi simtomatik dengan salep antihistamin sudah terbukti berguna
pada pasien dengan ruam yang terkait imatinib (ringan sampai sedang).
Glukokortikoid topikal atau oral jangka pendek dapat dipakai pada
pasien yang tidak menanggapi terhadap tindakan yang konservatif. Dosis
prednison (1 mg/kg/hari sampai 20 mg/hari) selama beberapa minggu).
Profilaksis antihistamin dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan
jumlah basofil yang sangat tinggi (>20%),Imatinib dengan dosis eskalasi bertahap diberikan lagi sesudah ruam
deskuamatif mengalami resolusi. Dosis imatinib 100 mg/hari ditingkatkan
sebesar 100 mg per minggu merupakan strategi yang efektif untuk
mencapai toleransi jangka panjang. , memulai
kembali dosis awal 100 mg imatinib setiap hari. Seminggu lalu dosis
ditingkatkan menjadi 200 mg bila tidak muncul ruam lagi dan sesudah
4 minggu dosisnya kembali meningkat, menjadi 300 mg, dan sesudah 6
minggu dosis ditingkatkan jadi 400 mg setiap hari ,
Artralgia, mialgia, dan nyeri tulang dan otot merupakan efek
samping imatinib yang sering terjadi Sekitar 50% pasien
yang memperoleh imatinib mengalami nyeri muskuloskeletal,
kram otot, mialgia, dan arthralgia. Nyeri otot ringan sampai
sedang dan biasanya dapat diatasi tanpa pengurangan dosis imatinib.
Kram otot terjadi di tangan, kaki, betis, dan paha, dan beberapa
pasien terjadi kontraksi tetanik. Kram biasanya mendadak tampak di tengah malam
pemakaian suplemen kalsium atau magnesium kadang mampu membantu mengurangi keluhan itu . Beberapa pasien juga terjadi
kesembuhan sesudah pemberian suplemen kina ,Peningkatan Transaminase Hati
pemicu pasti dari ketidaknormalan kadar transaminase pada pasien
yang memperoleh imatinib tidak diketahui, walau hasil biopsi hati
menandakan gambaran hipersensitivitas drug-induced. Imatinib metodenya dimetabolisme oleh sitokrom hati P-450 isoenzim. Peningkatan
kadar transaminase biasanya muncul dalam 2-3 bulan pertama terapi
imatinib dan biasanya berhenti dalam waktu 14-21 hari sesudah penghentian
obat ,Toksisitas hati onset lambat dikabarkan sekitar 289-535 hari sesudah
dimulainya pemberian imatinib. Toksisitas onset lambat itu akan
berakhir rata-rata 75 hari sesudah imatinib dihentikan. Tes fungsi hati
disarankan dilakukan sebelum memulai terapi imatinib, setiap minggu
selama bulan pertama pengobatan, dan sekali sebulan sesudah terapi
imatinib. Pasien dengan kadar transaminase tinggi harus dipantau lebih
sering.
Menurut NCCN 2019, imatinib dihentikan jika kadar bilirubin
meningkat lebih dari 3x batas atas normal atau kadar transaminase hati
lebih dari 5x batas atas normal. Imatinib dimulai lagi bila bilirubin sudah
mencapai kurang dari 1,5x batas atas normal dan kadar transaminase
kurang dari 2,5x batas atas normal. Dosis yang diberikan diturunkan (400
mg menjadi 300 mg, 600 mg menjadi 400 mg, atau 800 mg menjadi 600
mg) ,jika Hepatotoksis berat atau retensi cairan yang berat, maka
imatinib ditunda sampai resolusi. Imatinib dapat diteruskan dengan dosis
sebagaimana mestinya ,
Imatinib dan metabolitnya tidak diekskresikan secara menonjol
oleh ginjal. Sampai saat ini belum ada penelitian tentang pengaruh
imatinib pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Namun, penelitian
tahap I tentang farmakokinetik imatinib pada pasien dengan berbagai
tingkat gangguan fungsi ginjal dan berbagai jenis tumor (termasuk GIST)
sudah dikabarkan pada tahun 2003 oleh The American Society of Clinical
Oncology. Dalam penelitian itu , toksisitas imatinib tampaknya tidak
terpengaruh oleh disfungsi ginjal ringan sampai sedang.
Menurut NCCN 2019, dosis imatinib pada gangguan ginjal tergantung
pada derajat keparahannya sebagai berikut.
Intervensi khusus, jika terjadi retensi cairan (pleural efusion,
efusi pericardial, edema, ascites), dapat diuretik, pengurangan
dosis imatinib, atau penghentian imatinib dilakukan pemeriksaan
echocardiogram untuk memeriksa LVEF ,
Pasien dengan gangguan ginjal sedang (CrCl = 20 – 39 mL/menit)
dosis diturunkan 50% dosis awal, dan lalu dosis dapat ditingkatkan. Untuk pasien dengan gangguan ginjal sedang, dosis
lebih besar dari 400 mg tidak disarankan . Imatinib harus dipakai
dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal berat, Pasien dengan gangguan ginjal ringan (CrCl = 40 – 59 mL/menit) dosis
lebih dari 600 mg tidak disarankan ,
bahwa TKI tidak hanya bekerja pada tirosin kinase
BCR-ABL namun juga c-kit, reseptor faktor perkembangbiakan turunan trombosit
α dan β (PDGFR-α/β), ARG dan c-FMS. Beberapa protein ini diketahui
berfungsi yang mungkin berpengaruh pada perkembangan gonad,
implantasi, dan perkembangan janin ,Sampai saat
ini pemakaian TKI terutama imatinib pada kehamilan masih terbatas
pada hasil uji pada binatang percobaan dan kabar hasil pengamatan beberapa
peneliti terhadap pasien CML yang menerima imatinib.
Efek imatinib pada fungsi gonad binatang percobaan masih belum jelas. Dari
penelitian pra-klinis, golongan tikus jantan yang diberi imatinib dengan
dosis 60 mg/kg/hari sebelum kawin selama 70 hari dikabarkan terjadi
penurunan berat testis dan epididimis sebesar 60 mg/kg dan penurunan
motilitas sperma. sedang imatinib dosis 20 mg/kg/hari tidak ada
penurunan yang menonjol terhadap berat testis dan epididimis atau
motilitas sperma. juga kesuburan tikus jantan dan betina
tidak terpengaruh pada perubahan dosis ,pemberian imatinib (150 mg/kg) mengurangi proliferasi spermatogonia
tipe A dan menginduksi apoptosis germ cell. juga terjadi
penurunan proliferasi dari prekursor mioid mesenkim dan pengurangan
panjang corda seminiferus , Hasil penelitian itu
berkorelasi dengan penelitian yang dilakukan oleh Basciani , yaitu terjadi pengurangan spermatogonia yang sangat besar
sesudah pemberian imatinib dosis 50 mg/kg selama 5 hari pada tikus
yang baru lahir. Namun, kembali normal sesudah tikus beranjak dewasa.
Dalam riset nya, Prasad dan kawan-kawan mengabarkan penurunan
yang menonjol kadar testosteron intratestikular golongan tikus albino
jantan pada minggu ke 4 dan minggu ke 5 sesudah pemberian imatinib.
Dan terjadi peningkatan yang menonjol dari laktat dehidrogenase (LDH)
intra-testis yang menggambarkan terjadinya kerusakan luas pada germcell
dan reversibel sesudah obat dihentikan , efek pada fungsi ovarium akibat imatinib masih terbatas.
Kesuburan tikus betina tidak terpengaruh saat imatinib diberi selama 16
hari sebelum kawin dan sampai hari ke-7 kehamilan. Tikus yang diberi
imatinib dosis 45 mg/kg atau lebih akan mengalami kematian janin. Bila
imatinib diberikan selama tahap organogenesis dengan dosis 100 mg/kg
atau lebih, terjadi efek teratogenik, termasuk exencephaly atau encephalocele,
yaitu tidak terbentuk tulang frontal dan tulang parietal. Pada dosis lebih
tinggi dari 100 mg/kg terjadi kematian janin pada semua hewan. Kematian
janin tidak terjadi bila dosis 30 mg/kg/hari atau kurang (kira-kira setara
dengan 300 mg), penelitian tidak menemukan
perbedaan jumlah atau morfologi folikel ovarium tikus betina yang
memperoleh dosis yang sama dengan tikus jantan (150 mg/kg/hari secara
oral selama 2 bulan). Juga tidak terbukti peningkatan atresia folikuler pada
binatang coba yang terpapar Tirosin Kinase.