leukemia 1






















merkuri

merkuri 

seperti yang tertulis pada Environmental Health Perspectives, peneliti di Universitas Michigan mengungkapkan bahwa  cara menghindari kontaminasi  merkuri, hindari makanan  dari laut yang mengandung toksin dosis   tinggi seperti pada  ikan bluefish, ikan gabus,  ikan tuna kalengan,  ikan paus,ikan lumba lumba ,ikan pari, ikan hiu martil,    ikan todak,ikan  hiu, ikan king mackerel, ikan gulf tilefish, ikan marlin, ikan tuna segar, ikan halibut,ikan kerapu, ikan kakap putih, .beberapa makanan laut yang kadar merkurinya rendah  juga aman dikonsumsi sebanyak banyaknya bahkan mampu mengurangi kandungan merkuri  dalam tubuh  seperti ikan  mackerel Atlantik kepiting,  ,ikan lele, kerang, ikan sarden, ikan salmon liar,ikan  flounder, udang, cumi-cumi, ikan  nila,  ikan  haddock, ikan pollock,  penyakit autoimun adalah penyakit yang  terjadi saat  sel tubuh menyerang sel tubuh yang sehat , penyakit autoimun ini antara lain IBD  Inflammatory Bowel Disease ,  lupus, artritis rematoid,  bahwa merkuri yang ada  pada ikan  hiu mampu  mengakibatkan  penyakit autoimun,namun ini terjadi apabila sesorang mengonsumsinya terlalu berlebihan diatas 1000 gram perhari, ini merupakan hasi pebelitian setelah  peneliti  meneliti melalui survei diet ,  tingkat merkuri pada  1.300  relawan wanita  berusia  16 hingga  49 tahun,  peneliti   menguji darah para relawan  guna  memonitor     protein yang menyerang jaringan tubuh sendiri  ( antibodi antinuclear) yang  merupakan pertanda adanya   autoimun dalam tubuh, 
wanita mempunyai  kemungkinan 5  kali  lebih tinggi menderita penyakit autoimun,daripada laki laki, hanya karena wanita  mempunyai   antibodi antinuclear   dalam darah, bukan berarti wanita  pasti memilikibpenyakit autoimun,bertambahnya  usia dan merokok pada wanita  tidak mempengaruhi   antibodi antinuclear ,merkuri  prediktor yang mengindikasikan   kondisi positif antibodi antinuclear  wanita yang terkontaminasi  merkuri organik  dosis tinggi akan mempunyai  tingkat antibodi antinuclear      tinggi daripada wanita sehat lainya,  15 %  dari wanita    positif  antibodi antinuclear  tetapi  masih sehat,  tetapi  antibodi antinuclear   tetap  dianggap sebagai prediktor  dari penyakit autoimun, sehingga para wanita  perlu mewaspadai , 

seperti yang tertulis pada jurnal Diabetes Care ,  Ka He, pakar epidemiologi di Indiana University School of Public Health mengungkapkan bahwa  keterkaitan  antara diabetes tipe 2  dan  kadar merkuri tampak saat   peneliti mengintai  pola gaya hidup para relawan,  
 hampir semua ikan  laut  dan kerang laut mengandung merkuri akibat kontaminasi merkuri di laut,kandungan merkuri yang sangat tinggi  pada seseorang dapat meningkatkan risiko menderita diabetes di kemudian hari, ini merupakan hasil penelitian setelah peneliti 
meneliti sejak dari  tahun 1987  hingga tahun 2005 pada   3.900  relawan laki laki  dan wanita berusia 20 hingga 32 tahun,  para relawan  tidak mengidap  diabetes dari  tahun 1987  hingga tahun 2005,  para relawan   diwajibkan   untuk diukur kadar merkuri nya di kuku jempol kaki ,    memperoleh  pemeriksaan diabetes, relawan yang mempunyai  kadar merkuri tinggi justru mempunyai  pola gaya hidup sehat, relawan yang mempunyai  kadar merkuri tinggi justru lebih  langsing kurus kering sering  olahraga, mempunyai kadar lemak tubuh  lebih sedikit,karena  makan ikan, hasil penelitian ini  memperingatkan agar kita wajib memilih makanan laut dengan kandungan merkuri yang rendah, namun hasil akhir  penelitian ini  tidak mampu membuktikan adanya hubungan sebab-akibat, sedangkan ikan hiu ,ikan cucut ,ikan paus, ikan belut listrik, ikan lumba lumba  mempunai  kadar merkuri  tinggi,ikan laut dengan  kandungan merkuri  agak rendah namun aman dikonsumsi asal tidak berlebihan  seperti  catfish, udang, salmon, 


halaman 1


Pasien Chronic Myeloid Leukemia (CML) pertama kali ada  di 
 Skotlandia,Perancis, Jerman,  pada tahun 1840-an.  pasien  mengalami pembesaran 
limpa dan liver,  dalam pembuluh darahnya penuh dengan  bahan 
tumpukan nanah   pemicu  kematian pasiennya yaitu   supurasi dalam darah ,suatu neoplastic disorder yang dinamakan penyakit darah putih. Dengan memakai  teknik pewarnaan darah dan 
 mikroskopis yang belum memadai,  peneliti memperoleh  sel-sel 

yang berwarna putih atau  tidak berwarna  yang memiliki inti bergranular 
atau inti yang beraneka bentuk.  memakai  istilah Weißes 
Blut dan memberi  nama Leukämie  dan eucocythemia untuk itu,
Ernst Neumann pada tahun 1872 melihat  bahwa sel-sel leukemia 
 berasal dari sumsum tulang. Paul Ehrlich pada tahun 1887 membuat 
 klasifikasi leukemia myeloid dan limfatik. William Dameshek pada tahun 
1951 membuat konsep penyakit mieloproliferatif terdiri dari penyakit  leukemia 
myeloid kronis ,
 polisitemia vera, trombositosis esensial, mielofibrosis primer,  Kromosom Philadelphia atau kromosom Ph pertama kali dikabarkan  
 oleh David Hungerford dan Peter Nowell  dari University of Pennsylvania 
 di Philadelphia, Amerika Serikat pada tahun 1960, sesudah  meneliti contoh   darah perifer pasien leukemia termasuk dua pasien CML. Pada tahun 
 1973, Janet Rowley mengabarkan  bahwa kromosom Ph dibentuk oleh suatu 
 translokasi resiprokal antara lengan panjang gen ABL kromosom 9 dengan 
 lengan panjang gen BCR kromosom 22 yang biasanya  ditulis dengan 

t(9;22) (q34;q11.2). Basis genetik CML makin jelas saat  pada tahun 1983, 
para peneliti menandakan  bahwa gen yang terlibat dalam translokasi 
 yaitu  ABL1, dari kromosom 9 yang bertranslokasi ke dalam gen BCR, 
pada kromosom 22 ,
Pada tahun 1865, Heinrich Lissauer menjelaskan pemakaian  arsenik 
pada pasien leukemia. pemakaian  arsenik untuk terapi kanker sudah  

dijelaskan dalam Ramayana India lebih dari 2000 tahun yang lalu. Pada 
tahun 1920-an, radiasi limpa diperkenalkan untuk mengurangi gejala 
klinis . Pada setengah abad ke-20 pasien diterapi dengan radioterapi, 
 dan lalu  dengan busulfan (1959) atau hydroxycarbamide (1975). tidak  beberapa lama lalu , interferon-α dipakai  untuk mencapai complete 
 cytogenetic tanggapan es dan memberi  daya tahan hidup  yang lama walau  hanya 
 pada contoh  yang sedikit ,Sejak tahun 1980, stem cell transplantation (SCT) alogenik menjadi 
terapi pilihan untuk pasien yang memenuhi syarat. Pada tahun 1992, 
Alexander Levitzki mengusulkan inhibitor ABL untuk terapi leukemia 
 yang dipicu  oleh onkogen ABL. Pada waktu yang sama, peneliti  di CibaGeigy sudah  mensintesis inhibitor ABL yang dinamakan  GCP57148B dan 
sekarang dinamakan  imatinib. Era inhibitor tirosine kinase dimulai 
pada tahun 1998 dan kini pemakaian  imatinib menggantikan SCT sebagai 

terapi awal untuk pasien CML tahap  kronis ,
Pada tahun 2008, kebanyakan  pasien CML tahap  kronis menanggapi  lebih baik dan bisa bertahan hidup lebih lama dengan 
kualitas hidup yang baik. Untuk pasien yang gagal dengan imatinib 

(21-35%) dipakai  inhibitor tirosine kinase lini kedua, sebagai strategi 
salvage yang efektif. Namun, jika  progresif maka allotransplant masih merupakan pilihan pengobatan yang disarankan  untuk semua 

pasien yang memenuhi syarat ,pada 
1845 John Hughes Bennett dan Rudolph Virchow masing-masing menemukan 
peristiwa  pertama CML

1846 diagnosa  pertama leukemia pada pasien hidup

1865 pemakaian  arsenik untuk terapi CML pertama yang dicatat 

1880s Perkembangan metode staining blood cells

1895 Penemuan radiasi sinar x dan pemakaian nya pada CML

1946 Kemoterapi pertama yang efektif untuk leukemia – Nitrogen mustard

1951 Dameshek mengenalkan  konsep myeloproliferative disorders

1956 Busulfan

1960 Peter Nowell dan David Hungerford mendata  kromosom Philadelphia 
(22q-)

1973 Janet Rowley menemukan bahwa kromosom Ph tidaknormal  berasal dari 
pertukaran bahan genetik antara dua kromosom

1975 Hydroxyurea

1979 Transplan kembar identik

1981 Allografting dengan donor saudara kembar

1982 pemakaian  klinis interfon-alfa

1983 Penemuan bahwa gen kritis yang terlibat dalam translokasi yaitu  ABL1, dari 
9q34, yang bertranslokasi ke dalam suatu gen khusus, BCR, pada kromosom 
22.

1984 Sistem penilaian prognostic Sokal

1985 Allografting dengan donor yang tidak terkait

1987 Nicholas Lydon and Alex Matter memulai program penemuan terapi target 
protein seperti BCR-ABL

1988 Sistem penilaian prognostic Euro (Hasford)

1990 Demonstrasi bahwa BCR-ABL dapat menginduksi penyakit seperti CML pada 

tikus

1993  Brian Druker menandakan  bahwa STI571 (imatinib) yaitu  
senyawa terbaik yang dikembangkan Lydon untuk  membunuh sel CML

1996 Ditemukan peran  selective blocking pada aktivitas Bcr-Abl kinase

1998 Brian Druker, Charles Sawyers, dan Moshe Talpaz memulai uji klinis 
imatinib
1998 pemakaian  klinis pertama inhibitor tirosine kinase BCR-ABL 

2001  imatinib disetujui FDA untuk pasien CML
,
 Charles Sawyers, mengabarkan  bahwa mutasi BCR-ABL yaitu  
mekanisme mayor Resistensi imatinib

2004 pemakaian  klinis pertama inhibitor tirosine kinase generasi kedua
,Penemuan mutasi tidak acak  pada domain Abl kinase
2007 Dasatinib dan nilotinib disetujui FDA untuk pasien CML yang resisten 
terhadap imatinib

2011 Sistem penilaian prognostik EUTOS (Hasford)
Insiden CML di beberapa negara bervariasi walau  tidak banyak 
berbeda. Insiden CML di Afrika, Amerika Latin, negara-negara Asia 
Pasifik  Eropa, dan Amerika Utara berturut-turut yaitu  0,4; 0,7; 0,7; 1,2; 

1,4; dan 2 peristiwa  per 100.000/tahun. sedang  prevalensi CML di Afrika, 
Amerika Latin, negara-negara Asia Pasifik berpenghasilan rendah, negara-negara Asia Pasifik berpenghasilan tinggi, Eropa, dan Amerika Utara 
berturut-turut yaitu  3, 5, 6, 10, 11, dan 15 peristiwa  per 100.000 pada 2017. Di 

Amerika Latin  prevalensinya tertinggi selama 10 tahun 
ke depan, yaitu sekitar 36% pada tahun 2027 
pada tahun 2018 di Amerika Serikat, insiden leukemia myeloid kronis 
baru 1,8 per 100.000 per tahun,  cenderung meningkat rata-rata 
0,2% setiap tahun selama 10 tahun terakhir. Tingkat kematian turun rata rata 1,3% setiap tahun selama 2004-2015. Kelangsungan hidup 5 tahun 
diperkirakan sekitar 8.000 atau 0,4% dari semua keganasan. Lebih sering 

pada pasien  dewasa dan sering  pada usia 55-70 tahun, dengan usia  
median saat terdiagnosa  60 tahun. Angka kematian akibat leukemia 

myeloid kronis lebih tinggi pada pasien  yang berusia 70 hingga 80 tahun, 
dengan usia  median 70 tahun.  diperkirakan angka kematian pada 
tahun 2015 sekitar  800 atau 0,1 per 100.000 (300 pasien  lakilaki  dan 509  pasien  perempuan ) per tahun berdasar  data tahun 2010-2014,Sejak dikenalkan imatinib pada tahun 2001  mortalitas CML   
menurun  menonjol  dari 10%-25% menjadi 1%-4% per tahun. Daya 

tahan hidup 6 tahun pada pasien CML tahap  kronis cenderung meningkat, yaitu dari 60,50% pada tahun 2013 menjadi 60% pada tahun 2014 
sehingga , prevalensi CML di Amerika Serikat, diperkirakan meningkat 
hingga 100.000 pada tahun 2016, dan  mencapai plateu sekitar 170.000 peristiwa  pada tahun 2040,Data dari Cancer Research UK, Inggris (2015) menandakan  bahwa 
CML merupakan keganasan yang  jarang, ditemukan 700 peristiwa  

baru pada tahun 2014  Selama dekade terakhir, angka kejadian CML tetap 
stabil di Inggris. Diperkirakan kurang dari 1% dari semua peristiwa  kanker 

baru tiap tahun sekitar  120, atau sekitar 2 pasien setiap minggu (antara 
tahun 2010-2014).  biasanya  menyerang  usia 80-85 tahun dan lebih 
banyak pada laki-laki. Tidak ada perubahan insiden antara tahun 2000 dan 
2010,  terjadi kecenderungan menurun sekitar 10 % dibandingkan 
awal tahun 1995. ratarata  pasien laki-laki menurun hampir 20% dan 

ratarata  pasien perempuan  menurun 20%  Kejadian 

kematian pasien CML kurang dari 1% dari semua keganasan tiap tahunnya 
(2016). Diperkirakan 5.000 pasien  yang sebelumnya sudah  terdiagnosa  CML 

masih hidup di Inggris pada akhir 2009,
Angka kejadian di Cina yaitu  0,2–0,3 per 100.000 populasi, 
biasanya  dengan median usia 40–60 tahun. Di Surabaya diperoleh  peningkatan insiden, yaitu pada tahun 2009 hanya 
40  pasien baru, pada tahun 2000-2017 diperoleh  sekitar 250  pasien CML 

 Ada beberapa faktor yang  meningkatkan risiko terjadinya CML 
,Jenis kelamin. Laki-laki   CML yang sedikit lebih tinggi 
dibandingkan  perempuan . Namun penjelasannya masih belum diketahui.
Usia tua. Risiko terjadinya CML meningkat seiring dengan bertambahnya  usia. Usia ratarata terdiagnosa  CML pada usia sekitar 60  tahun. CML jarang terjadi 
pada anak-anak dan remaja.
Paparan radiasi. Paparan radiasi tinggi sesudah  ledakan bom atom di 
Hiroshima atau sesudah  kecelakaan reaktor nuklir di Chernobyl berkaitan    dengan peningkatan insiden CML 
di antara korban yang selamat. pasien   yang terpapar radioterapi 

pada terapi kanker atau petugas yang terkena radiasi mungkin 
berisiko terkena CML. 

Pasien HIV/AIDS yang memiliki imunitas  rendah 

berisiko  3 kali lebih besar  leukemia dibandingkan 
pasien  sehat. juga pasien yang memperoleh  obat-obatan 
imunosupresan sesudah  transplantasi organ berisiko  dua kali 
lebih tinggi terjadi CML dibandingkan pasien  normal. adanya kenaikan dua kali 
lipat risiko terjadinya CML berkaitan dengan obesitas.  menyumbang 10 % dari keseluruhan risiko 

terjadinya CML ,
Kontak dengan bahan kimia (benzena) selama beberapa tahun 
 meningkatkan risiko CML. Benzena yaitu  salah satu bahan 
kimia dalam bahan bakar minyak dan  pelarut dalam industri karet.
Kolitis ulseratif atau penyakit Crohn.  penelitian   
menandakan  bahwa inflamasi radang usus, seperti kolitis ulseratif
atau penyakit Crohn, berisiko  lebih tinggi menderita CML.
pemakaian  pestisida. Petani yang terpapar 
pestisida memiliki 10%  risiko CML dibandingkan 
dengan yang tidak,
Nowell dan Hungerford (1960)   mendata  kromosom 

tidaknormal  pada CML, yang lalu  dinamakan  kromosom Philadelphia (Ph). 
Kromosom Philadelphia diperoleh  pada 90% pasien CML dewasa dan 
3% pasien CML anak-anak. Kromosom Ph itu  tidak hanya khusus  pada CML saja, namun  juga bisa diperoleh  pada pasien leukemia akut, 
baik ALL ataupun AML ,Gotlib dan kawan-kawan mengabarkan  bahwa kromosom Ph juga 
ditemukan pada pasien Acute Lymphoblastic leukemia (ALL) dewasa (9%-

15%) dan 1%-7% pasien ALL anak-anak, lymphoma, myeloma, dan Ph-positive 
Chronic Neutrophilic Leukemia (CNL)  Rowley (1973) 
mengabarkan  bahwa pada kromosom Ph ada  translokasi resiprokal 
antara gen ABL1 kromosom 9 dengan gen BCR kromosom 22
GEN 
ABL (Abelson Murine Leukemia Viral Oncogene Homolog 1) yang 
secara normal diekspresikan pada semua sel memiliki  berat molekul 
145 kD (p145Abl) dan 11 exon. ABL berperan dalam transduksi sinyal 

dari reseptor adhesi dan growth factor permukaan sel untuk mengatur 
struktur sitoskeleton dari kromosom 9. walau  belum sepenuhnya 
dapat dijelaskan, fungsi protein ABL  terlibat dalam  
pengaturan  siklus sel, perkembangbiakan  sel, transkripsi gen, tanggapan  stres, 
dan transduksi sinyal.
 Struktur protein ABL. Y393 merupakan tempat utama otofosforilasi dengan 
domain kinase. Anak panah menandakan  posisi breakpoint dari fusi protein Bcr-Abl 
, bahwa di dalam gen ABL ada  beberapa 
domain, yaitu SH3, SH2, dan SH1 (Tyrosine-Kinase). Aktivitas domain tyrosine 

kinase-Abl diatur oleh regio SH3 dan SH2. Supresi perkembangbiakan  c-Abl 
memerlukan  aktivitas domain SH1 dan SH2 yang normal. Domain SH3 
yaitu  regulator negatif, sedang  domain SH2 yaitu  suatu regulator 
positif. Delesi dari domain SH3 dan SH2 dari c-Abl atau ujung-N dari 
Bcr,  mengurangi aktifitas  molekul-molekul transduksi sinyal dan 
memicu  penurunan transformasi ,
Gen BCR (Breakpoint Cluster) yang secara normal  diekspresikan 
pada semua sel merupakan protein yang memiliki  berat molekul 160 kD. Struktur domain dari BCR  yaitu  DD, proline-serine, threonin
 yang akan berikatan dengan domain SH2. Ekson N-terminal yang pertama 
mengkode serine-threosine kinase. Di tengah-tengah molekul ada  
domain dbl-like dan pleckstrin-homology (PH) yang merangsang pertukaran 
GTP menjadi GDP pada RHO-GEF (Rho guanidine nucleotide exchange factors), 

yang lalu    mengaktifitas  faktor-faktor transkripsi seperti NF-
κB. Bcr dapat memfosforilasi beberapa residu tirosin, khususnya tirosin 

177 yang mengikat Grb-2 ,Struktur protein gen BCR. Y177 merupakan tempat otofosforilasi yang penting 

untuk berikatan dengan Grb-2. RHO-GEF = Rho guanidine nucleotide exchange factors, CalB 

= calcium- dependent,

Kromosom Ph terbentuk dari translokasi resiprokal antara lengan 
panjang gen ABL1 kromosom 9 dengan gen BCR kromosom 22 lengan 
 panjang dan biasanya  ditulis sebagai t(9;22) (q34;q11)
Fusi Gen hibrid yang terjadi membentuk 3 varian transkrip gen yang 
 berbeda-beda tergantung pada tempat pemotongan area  BCR ,Major break cluster (M-bcr), patahan gen BCR ditemukan di area  
 5,8-kb atau area  e13 -e14 pada ekson 2 gen ABL. Fusi dari Bcr exon 
b2 atau b3 dengan Abl exon a2 akan membentuk 2 transkrip utama, 
yaitu b2a2 atau b3a2 yang diterjemahkan sebagai protein dengan 

berat 210 kD atau dinamakan  sebagai p210.
Minor break cluster (m-bcr), patahan yang ditemukan di area  54, 
4-kb atau fusi e1a2 merupakan bentuk CML yang cukup jarang dan 
akan mensintesis protein dengan berat molekul 190 kD (p190). Secara 

klinis laboratorium diperoleh  monositosis yang prominen  Micro break cluster (micro-bcr), patahan pada 3’ gen BCR antara exon 
 e19 dan e20b yang membentuk transkrip mRNA e19aq2 yang dinamakan  
sebagai protein p230 Bcr-Abl. Transkrip itu  cukup jarang, dengan 
gambaran klinis berwujud  netrofilia dan atau trombositosis.
Fusi protein dari ketiga jenis transkrip gen itu  dapat 
menghasilkan  fosfoprotein yang beraktifitas  tirosin kinase 
konstitutif. Peningkatan aktivitas tirosin kinase inilah yang memicu  
terjadinya transformasi selular yang mendasari munculnya  CML. Ekspresi 
enzim tirosin kinase secara konstitutif memicu berbagai jalur sinyal
transduksi, inhibisi apoptosis dan proliferasi sel induk pluripoten, yang 
selanjutnya   memicu  proliferasi sel darah putih secara berlebihan 

Secara klinis  ketiga bentuk patahan itu  biasanya  memberi  
manifestasi  berbeda. CML yang terjadi akibat Transkrip yang 
terbentuk sebab  patahan pada M-Bcr berkaitan dengan manifestasi trombositopenia, patahan pada μ-Bcr yang sering memberi manifestasi 
klinis  berwujud  trombositosis dan netrofilia. sedang  patahan pada 
m-bcr sering muncul  monositosis . Dari hasil penelitian 
 tahun 2012 di Surabaya, diperoleh  bahwa 
transkrip b3a2 menandakan  kadar lekosit yang lebih tinggi dibandingkan 
dengan kedua jenis transkrip lainnya , salah satu penyulit dari lekositosis jika  jumlah lekosit 
lebih dari 300 ribu/mm3 yaitu  terjadinya lekostasis yang terjadi pada 16% 
peristiwa ,
3 mekanisme dasar yang terjadi pada CML yang mengikutsertakan  fusi 
BCR-ABL yaitu  gangguan adhesi terhadap sel-sel stroma dan terhadap 
matriks ekstraseluler, jalur sinyal aktif mitogenik secara konstitutif dan 
penurunan apoptosis 
Pada kondisi  normal sel progenitor hemopoetik terikat dengan 
stroma bone marrow dan matriks ekstraseluler, yang diperantarai oleh 
reseptor permukaan sel progenitor, terutama integrin. Diferensiasi sel 
hemopoetik memerlukan faktor perkembangbiakan  yang terlarut. Pengikatan 
sel-sel progenitor hemopoetik pada stroma bone marrow akan mencegah 
proliferasi sel hemopoetik secara berlebihan. Ikatan sel progenitor 
hemopoetik pada stroma bone marrow dipengaruhi oleh focal adhesion 

associated proteins. Defek adheren dari sel progenitor hematopoietik pada 
stroma bone marrow itu   mempermudah sel-sel progenitor ,itu  masuk ke peredaran darah perifer dan lalu   terjadilah 

proliferasi sel ,Jalur transduksi merupakan mediator  bagi stimulus onkogen 
untuk perkembangbiakan  sel-sel hematopoetik. Protein Bcr-Abl memiliki  berbagai domain yang penting untuk transformasi melalui interaksi antara 
domain-domain ini dengan protein-protein lain. Domain-domain Bcr Abl yang berfungsi pada transformasi yaitu  domain SH2, SH3, Kinase, 

prolin rich dan actin binding. Pada proses signaling dari Bcr-Abl, akibat dari 
peningkatan aktivitas tyrosine kinase, Bcr-Abl dapat memfosforilasi 
substrat (contoh : CRK-L protein, paxillin, CBL) dalam sitoplasma sel melalui 
domain SH1, lalu   terjadi aktifitas  kaskade transduksi-sinyal jalur 
Ras. Secara fisiologis protein Abl selalu berpindah-pindah antara nukleus 
dan sitoplasma. Namun, saat  terjadi fusi dengan BCR, maka sebagian 
besar ABL ini dipertahankan dalam sitoplasma, dan berinteraksi dengan 
sebagian besar protein yang terlibat dalam jalur onkogenik ,Interaksi yang tidak normal antara onkoprotein BCR-ABL dengan molekul 
sitoplasma lainnya memicu  gangguan jalur Ras-Mitogen-Activated 
Protein kinase (MAPK) yang mengarah pada peningkatan proliferasi, 
gangguan jalur Janus-Activated kinase (JAK)–STAT yang mengarah pada 

gangguan aktivitas transkripsi, dan gangguan phosphoinositide 3-kinase 
(PI3K)/Jalur AKT ,
BCR-ABL yang memiliki tirosin-terfosforilasi akan mengikat domain 
SH2 dari protein GRB2, sehingga fosforilasi BCR Tyr177  penting 
untuk leukemogenesis yang dimediasi BCR-ABL  dan 

mutasinya sebagian besar menghapus ikatan GRB2 dan mengurangi 
aktifitas  Ras yang diinduksi BCR-ABL  ,Interaksi BCR-ABL dengan protein sitoplasma lainnya, yang 
berfungsi sebagai molekul adaptor, sehingga terjadi kompleks sinyal 
multiprotein. Kompleks BCR-ABL/GRB2 merekrut Son of Sevenless (SOS), 
yang secara konstitutif terkait dengan domain GRB2 SH3 ,Kompleks BCR-ABL/GRB2/SOS merangsang konversi Ras-terikat 
GDP yang tidak aktif menjadi GTP ,lalu   kompleks GRB2/GAB2/SOS memicu  aktifitas  konstitutif 
dari jalur hilir RAS, sehingga mengaktifkan MAP kinase, ERK dan MEK 

1/2 yang memicu  proliferasi sel tidaknormal   
Selain itu, kompleks GRB2/GAB2/SOS mengaktifkan jalur PI3K/AKT 
yang berperan dalam kelangsungan hidup dengan menekan aktivitas 
faktor transkrip forkhead O (FOXO), dan meningkatkan proliferasi sel 

 Selain itu, BCR-ABL, melalui PI3K/AKT/FOXO4 dan akhirnya 
melalui upregulasi mTOR berpotensi menghambat autophagy sesudah  diaktifkan, PI3K mengaktifkan AKT kinase, yang berfungsi 
sebagai efek hilir kunci dengan mengerahkan banyak efek seluler melalui 
fosforilasi OF2 substrat hilir yang mengatur apoptosis  contoh nya, Bad, 
caspase 9, Mdm2, dan Ask1,sehingga terjadi prolonged daya tahan hidup  dan ekspansi klon. 
Faktor-faktor transkripsi juga terlibat dalam sinyal BCR-ABL, yang 
diperankan oleh STAT1 dan STAT5 (transduser sinyal dan aktifitas  
transkripsi), yang terus-menerus aktif pada CML. aktifitas  STAT5 sebagian 
bertanggung jawab pada programmed cell dead melalui peningkatan molekul 
antiapoptotik BCL-xL, inaktifitas  molekul proapoptosis BAD. Target 
lain BCR-ABL yaitu  MYC protoonkogen, aktifitas  MYC tampaknya 

independen dari jalur RAS namun  langsung diregulasi oleh ABL SH2. 
Beberapa bukti menandakan  bahwa Myc sering diekspresikan berlebihan 
dalam tahap  krisis blastik, sehingga dapat dikaitkan ekspresi MYC dengan 
terjadinya progresivitas penyakit ,
Supresi apoptosis terlibat dalam patogenesis CML. aktifitas  
antiapoptosis bergantung pada aktivitas fosfotirosin kinase p210BCR–ABL 
selain dari struktural lain dalam fusi protein, termasuk ikatan protein 
adapter dan fosforilasi. Protein Bcr-Abl mengaktifitas  beberapa jalur signal 
yang sudah  diketahui berefek mitogen yang kuat. Autoposporilasi 

Y-177 memicu  ikatan dari adapter. lalu   aktifitas  RAS 
merangsang kaskade signaling melalui jalur MAPK (Mitogen Activated 
Protein kinase) yang akan memicu  ekspresi dari antiapoptosis BCL2 

Sekitar  40% pasien yang terdiagnosa  CML di Amerika Serikat 
memiliki   gejala klinis ,  diketahui pada waktu pemeriksaan 
fisik dan darah secara rutin. Manifestasi klinis CML bersifat insidious, 
selalu berubah sesuai dengan tahap  penyakit, yaitu tahap  kronis (CP), tahap  
akselerasi (AP), dan krisis blastik (BP). Sebagian besar (80%-90%) pasien 
CML berada dalam tahap  kronis (CP-CML)z
tahap  kronis ini diperoleh  pada sebagian besar pasien (80%-90%). 
Tanda dan gejala biasa  dari CP-CML akibat dari anemia dan splenomegali 
 berwujud  kurang gairah kurang tenaga , penurunan berat badan, rasa tidak enak, rasa kenyang, 
dan terasa penuh di kuadran kiri atas , Manifestasi yang 
jarang yaitu  perdarahan terkait dengan jumlah trombosit yang rendah 
dan atau disfungsi trombosit, trombosis, terkait dengan trombositosis 
dan atau  leukositosis, artritis gout (dari kadar asam yang meningkat), 
perdarahan retina, dan ulserasi gastrointestinal bagian atas dan 

pendarahan, pada tahun 2017 memperoleh  data ratarata  lekosit 
sekitar 90000 dari pasien surabaya, Gejala 
leukostatis akibat lekositosis yang biasanya  lekosit >25.000/mm3 pada 
sebagian besar pasien (30%-40%) berwujud  dispnea, mengantuk, kehilangan 
koordinasi, dan kebingungan sebab  sludge sel-sel leukemia pada pembuluh 
darah paru atau otak. Beberapa pasien (<5%) mengalami gejala klinis  

akibat lekostasis, yaitu lakilaki pismus yang  

biasanya  sering jika  lekosit melebihi 250.000/μL. Splenomegali atau 
hepatomegali diperoleh  pada 40%-70% peristiwa . Splenomegali bervariasi
mulai dari ringan sampai berat yang lebih dari 10 cm di bawah tepi bawah 
tulang iga. Ukuran limpa ini  berkorelasi dengan jumlah lekosit 
dalam darah. Pada tahap  kronis ini sumsum tulang mengandung sel muda 
(blast) kurang dari 6%. tahap  ini  berlangsung selama beberapa tahun ,
Pada tahap  ini penyakit makin progresif yang ditandai dengan leukosit 

makin meningkat, limpa makin membesar. berdasar  kriteria dari 
M.D Anderson Centre, tahap  akselerasi bila: blast di perifer ≥ 14%, dan 
promielosit di perifer ≥ 35%, basofil di perifer ≥ 15%, trombositopenia (<10 

x 109/L bukan akibat dari efek samping dengan terapi) . tahap  ini 
secara klinis menandakan  tanggapan  hematologi atau tanggapan  molekuler 

makin menurun dan cenderung ke arah krisis blastik
tahap  akselerasi
 yaitu Kriteria ELN 
– Basofil dalam darah ≥20%

– Persistent thrombocytopenia (< 100 x 109/L) tidak berkaitan dengan 

terapi

– CCA/Ph + on treatment
,
– Thrombocytosis (>1000 x 109/L) tidak menanggapi  terhadap terapi
,
– Peningkatan ukuran limpa dan peningkatan jumlah leukosit tidak 
menanggapi  terhadap terapi,
– Blast dalam darah atau bone marrow 15-29%, atau blast + 
promyelocytes dalam darah atau bone marrow > 30%, dengan blast
< 30%

– Basofil dalam darah ≥20%

– Persistent thrombocytopenia (< 100 x 109/L), tidak berkaitan dengan 
terapi

– CCA/Ph +, major route, on treatment

Kriteria WHO – Blast dalam darah atau bone marrow 10-19%

 tahap  krisis blastik
yaitu Pada tahap  ini sel-sel CML mulai berperilaku seperti leukemia akut. 
Pasien sering demam, malaise (merasa tidak sehat), pembesaran limpa, 
penurunan berat badan, dan gejala lain yang mirip  leukemia akut. 

tahap  ini menurut ELN ditandai dengan diperoleh  sel muda ≥ 30% baik 
pada darah perifer atau sumsum tulang, sedang  menurut kriteria WHO 

baik pada darah perifer atau sumsum tulang sel muda ≥ 30% ,
tahap  Krisis Blastik
:Kriteria ELN 
a. Blast dalam darah atau bone marrow ≥30%

b. Proliferasi blast ekstramedular, terpisah dari limpa

Kriteria WHO a. Blast dalam darah atau bone marrow ≥20%

b. Proliferasi blast ekstramedular, terpisah dari limpa

c. golongan  sel blast dari biopsi bone marrow
Untuk menentukan prognosis sebelum memulai terapi pasien CML 
tahap  kronis dengan TKI disarankan  memakai  sistem skor 
Sokal, Hasford atau EUTOS. Tiga sistem prognosis ini berdasar  data 
klinis dan hematologi sederhana. Belum ada bukti bahwa salah satu dari 
tiga skor prognosis ini lebih unggul, dan tidak ada bukti jelas bahwa 
pasien yang berisiko  sedang memiliki perilaku berbeda dari yang 

berisiko rendah ,Skor EUTOS pada awalnya dipakai  untuk mengetahui risiko 
relatif pasien CML yang memperoleh  imatinib. Skor prognosis EUTOS 

lebih sederhana hanya memasukkan persentase basofil darah perifer 
dan ukuran limpa. Skor prognosis EUTOS membagi 2 golongan  risiko, 

yaitu: 
a. risiko rendah (≤ 87)
,b. risiko tinggi (> 87).

Skor EUTOS sudah  divalidasi berdasar  riset  cohort yang mengikutsertakan  
1500 pasien CML tahap  kronis yang memakai  imatinib sebagai terapi 

lini pertama  Skor EUTOS lebih baik dari Sokal dan 

Hasford dalam hal memprediksi kemungkinan tercapainya CCyR pada 
18 bulan dan PFS 5 tahun namun belum dikonfirmasi dengan penelitian 

lain. Sehingga diperlukan penelitian lanjutan untuk memvalidasi skor 
EUTOS  Skor Sokal ditentukan berdasar  usia  pasien, ukuran limpa, 
trombosit,  persentase sel blast darah perifer. berdasar  sistem 

skor Sokal, pasien CML tahap  kronis digolongkan  menjadi 3 golongan  risiko:
a. risiko rendah (< 0,8)

b. risiko sedang (0,8 – 1,2)

c. risiko tinggi (> 1,2).

sedang  Hasford (Skor Euro) menambahkan jumlah eosinophil 
dan basophil darah perifer sebagai variabel tambahan pada sistem skor 
Sokal ,  

dalam penelitian tahun 2014  mengabarkan  40% pasien CML tahap  kronis 
memiliki skor Sokal sedang, 11,5% menandakan  skor sokal tinggi dan 
40,5% menandakan  skor Sokal rendah ,Skor 
Hasford dikembangkan tahun 1990  untuk mengevaluasi daya tahan hidup  pasien 
CML yang diobati dengan interferon-α , tanggapan  
lengkap sitogenetik dan tanggapan  lengkap molekuler lebih sering dilihat  

pada golongan  pasien yang memiliki  nilai Sokal rendah ,Skor Hasford (Skor Euro) membedakan pasien menjadi 3 golongan , 
yaitu: 

a. risiko rendah (<780)

b. risiko sedang (780-1480) 

c. risiko tinggi (>1.480).

Peran basofil dari variabel pada skor Hasford yaitu  sebagai 
kontributor aktif pada evolusi penyakit dan progresi CML. Basofil yaitu  
sebagai sumber inflamasi, molekul angiogenik dan fibrogenik seperti 

VEGF atau HGF; mengeluarkan zat vasoaktif (histamin serta cytokine degrading enzyme dipeptidyl-peptidase) yang mendorong mobilisasi sel punca 

dan penyebaran sel punca dan progenitor sel ekstrameduler; menghasilkan  
faktor perkembangbiakan  otokrin pada sel mieloid ,
Peran eosinofil pada progresi CML yaitu  sebagai klonal eosinofilia 
mengikutsertakan  aberasi klonal seperti ketidaknormalan  PDGFRα, PDGFRβ, FGFR1; 

PDGFRα reaarangement terbanyak pada delesi gen CHIC2, yang berlokasi di 
kromosom 4q12, menghasilkan penjajaran FLIP1 terhadap PDGFRα. Fusi 
ini mengodekan protein FIP1L1/PDGFRα dengan aktivitas tirosin kinase 
yang tidak terkendali; kerusakan organ (jantung dan paru) terkait dengan 

pelepasan eosinofil dalam darah, yang memicu  fibrosis lapisan endotel ,sedang  parameter blas yaitu  
konsekuensi dari aktivitas BCR-ABL yang mengarah ketidakstabilan genetik, 
kerusakan DNA, dan kerusakan perbaikan DNA; spesies oksigen reaktif 

(ROS) yang diinduksi oleh BCR-ABL dianggap sebagai mediasi kerusakan 
DNA dan ketidakstabilan genetik  
diagnosa  CML biasanya mudah. Pada sebagian besar 
peristiwa , diagnosa  dapat dibuat berdasar  pada riwayat penyakit dan 
pemeriksaan fisik yang secara palpasi termasuk palpasi perut , dan 

pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis leukosit. Konfirmasi 
diagnosa  diperoleh dengan teridentifikasinya kromosom Philadelphia 
atau fusi gen BCR ABL  atau keduanya, dalam sel darah 

perifer atau bone marrow (BM). Pada beberapa peristiwa  (4%) kromosom 
Philadelphia atau pun BCR ABL tidak dapat dideteksi atau spesimen 
sumsum tulang tidak tersedia atau tidak mencukupi, maka diperlukan 
konfirmasi diagnosa  dengan metode fluorescent in situ hybriditation (FISH) 
 Namun 

bila kromosom Philadelphia atau BCR-ABL1 tetap tidak terdeteksi dengan 
metode FISH sekalipun, maka pasien-pasien ini menurut klasifikasi 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dinamakan  sebagai CML Philadelphia negatif (Ph-), BCR-ABL1 negatif, atau sebagai CML atipikal. Sel-sel 

leukemia BCR-ABL1 positif secara genetik tidak stabil dan cenderung 
terjadi kelainan genom multipel dan heterogen, sehingga memicu  
transformasi fenotip leukemia dari kronis ke akut, sehingga mengarah dari 
CML tahap  kronis menjadi tahap  akselerasi dan tahap  krisis blastik ,Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang atau Bone Marrow Aspiration 
(BMA) bertujuan untuk menentukan morfologi sel darah, menentukan tahap  
CML berdasar  persentase blas, menentukan kromosom Philadelphia 
dan kromosom tidaknormal  (analisa  sitogenetik). sedang  pemeriksaan molekular dengan memakai  metode RT-PCR quantitative berfungsi 
untuk menentukan jumlah mRNA BCR-ABL1 sebagai sarana untuk 
konfirmasi diagnosa . Pemeriksaan RT-PCR quantitative darah perifer 
merupakan metode yang paling peka  untuk mengukur mRNA BCR ABL1 dan dapat mendeteksi satu sel CML di antara > 100.000 sel normal 

 bahwa transkrip BCR-ABL1 juga diperoleh  dalam 

darah perifer dengan kadar sangat rendah (1-10 di antara 108 sel darah 
putih) pada 30% pasien  normal Insiden 
transkrip BCR-ABL1 meningkat seiring bertambahnya  usia  pada pasien  normal. Sebagian 

besar pasien (95%) memiliki subtipe transkrip BCR-ABL1 yang khas yaitu  
e13a2 (b2a2), e14a2 (b3a2) atau ekspresi keduanya secara bersamaan. 

Subtipe transkrip lain yang jarang yaitu  e1a2, e2a2, e6a2, e19a2, e1a3, 
e13a3 dan e14a3 , Subtipe transkrip yang berbeda 
akan mengkode fusi protein dengan ukuran yang berbeda dan dapat 
memicu  fenotipe penyakit yang berbeda. Transkrip e13a2 dan e14a2 
mengkode protein P210 BCR-ABL1, walaupun dengan ukuran yang sedikit 
berbeda. Pasien dengan transkrip e14a2 memiliki jumlah trombosit yang 

secara menonjol  lebih tinggi dibandingkan dengan transkrip e13a2. Pasien 
dengan transkrip e19a2, yang mengkode protein P230, sering diperoleh  

maturasi neutrofilik yang menonjol atau trombositosis, sedang  pasien 
dengan transkrip e1a2, yang mengkode protein P190, sering memicu  

monositosis, tidak adanya basofilia dan kecenderungan untuk berkembang 
ke tahap  krisis blastik deret limfoid berdasar  konsensus ESMO 2017, diagnosa  klinis CML harus 
dikonfirmasi secara sitogenetika yang menandakan  t(9;22) (q34;q11) dan 
secara PCR multiplex RT-PCR yang menandakan  transkrip BCR-ABL1. 
Penilaian sitogenetik diperlukan untuk mendeteksi kelainan kromosom 
tambahan. PCR Multiplex realtime kualitatif dari darah atau dari RNA bone 
marrow yang bertujuan untuk mendata  jenis transkrip e14a2, 
e13a2 (juga dinamakan  b3a2 dan b2a2). Penentuan tipe transkrip 
sangat penting untuk pemantauan, khususnya untuk penilaian tanggapan  molekuler yang akurat. analisa  mutasi awal pada pasien dengan CP CML yang baru didiagnosa  tidak disarankan, sebab  belum terbukti 

memberi  informasi tentang pemilihan obat yang optimal dan tidak 
untuk memprediksi hasil terapi.
Pada CML tahap  lanjut disarankan  pemeriksaan flowcytometer, 
analisa  mutasi, dan test HLA (bila diperlukan transplantasi alogenik). 
jika  dalam analisa  mutasi diperoleh  ketidaknormalan  kromosom 

(trisomi, isokromosom 17, trisomy 19, ketidaknormalan  kromosom 3q26), 
atau kromosom pH sekunder, maka dikatakan memiliki  prognosis 

unfavorable   penelitian 
di Surabaya tahun 2013 untuk diagnosa  CML berdasar  pada temuan 
klinis, yaitu diperoleh  splenomegali, darah lengkap berwujud  lekositosis, 
hapusan darah tepi, dan pemeriksaan BCR ABL kualitatif dan kuantitatif. 
Dengan PCR Multiplex realtime secara kualitatif sebagian besar terdeteksi 
BCR ABL1 dengan transkrip e13a2 (b2a2), atau e14a2 (b3a2),Pada kondisi  klinis yang tidak khas  CML, maka 
perlu dipikirkan beberapa kondisi  yang memicu  lekositosis atau 
splenomegali 
a. Polisitemia vera. Pasien itu  biasanya terjadi splenomegali dengan 
skor LAP normal atau meningkat, jumlah WBC kurang dari 25×109/L, 

dan tidak ada kromosom Ph.

b. CML kromosom Ph negatif atau chronic myelomonocytic leukemia 
(CMML). Dalam beberapa peristiwa , gen hibrid BCR-ABL1 dapat 
diperlihatkan walau  ada pola sitogenetik yang normal atau 

atipikal. Pasien yang Ph-negatif dan BCR-ABL1 negatif cukup jarang. 
Pada jenis ini terjadi hiperplasia myeloid yang mengikutsertakan  hampir 
secara eksklusif garis keturunan sel neutrofil, eosinofil, atau basofil. 
Pasien-pasien ini  memiliki leukemia neutrofilik, 
eosinofilik, atau basofilik kronis dan tidak memiliki bukti kromosom 
Ph atau gen BCR-ABL1. 

c. Reaksi leukemoid, biasanya jumlah sel darah putih, kurang dari 50 × 
109/L, toksik vakuolaasi granulositik, Döhle bodies dalam granulosit, 
tidak adanya basofilia, dan kadar LAP normal atau meningkat. 

d. Sindrom myeloproliferative atau myelodysplastic lainnya. Metaplasia 
myeloid agnogenik dengan atau tanpa myelofibrosis sering mengalami 
splenomegali, neutrofilia, dan trombositosis. 

e. Hiperplasia megakaryocytic isolated, pada peristiwa  ini diperoleh  pada trombositemia esensial, dengan trombositosis dan splenomegali 
yang nyata. Beberapa pasien datang dengan karakteristik klinis 

trombositemia esensial Pengobatan CML sebelum era Inhibtor Tyrosine Kinase yaitu  
memakai  obat sitostatika. Kemoterapi pada CML memakai  

obat untuk menghancurkan sel kanker. Regimen kemoterapi, atau jadwal, 
biasanya terdiri dari beberapa siklus tertentu yang diberikan selama 

jangka waktu tertentu. Kemoterapi pada CML bukan bertujuan sebagai 
terapi kuratif, namun  hanya sebagai terapi paliatif dan untuk mencapai sel 

tumor menjadi regresi. Kemoterapi ini masih diindikasikan pada CML 
BCR-ABL negatif atau CML dengan lekositosis yang bertujuan untuk 

lekoreduksi. 
Kemoterapi sitostatika juga dipakai  untuk pasien CML yang 
mengalami transformasi ke arah leukemia akut, jenis limfoid ataupun 
myeloid. Beberapa obat yang bisa dipakai untuk CML tahap  kronis 
yaitu  Busulfan dan Hydroxyurea. sedang , jenis kemoterapi untuk 
CML krisis blastik sesuai dengan jenis transformasi, biasanya  yaitu  

kombinasi vincristin-prednison, atau 6-thioguanine, 6-mercaptopurine, 
cytosine arabinoside, dan methotrexate, daunorubicin untuk jenis limfoid. 

sedang  bila transformasi ke arah myeloid dapat diberi kombinasi 
carboplatin, 
fludarabine,  decitabine ,antraciclin, cytosine arabinoside, 5-azacytidine, etoposide, 


Busulfan yaitu  antineoplastik non-khusus  alkylating agent  
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1953  merupakan obat 
pertama yang efektif pada pasien CML. Pada tahun 1999, Busulfan sudah  
disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat untuk pengobatan CML. Rumus kimia dari busulfan yaitu  1,4-butanadiol 
dimethanesulfonate. Busulfan yaitu  andalan dari kemoterapi untuk CML 

sampai akhirnya digantikan oleh standar emas baru, imatinib. Busulfan 
ini masih dipakai  sebab  biaya relatif murah. Busulfan juga masih 
menjadi terapi lini kedua sesudah  pasien resisten atau intoleran terhadap 
hidroksiurea. 
Dosis: Busulfan diberikan dengan dosis awal 0,1 mg/kg beratbadan  /hari 

maksimal 4 mg dosis tunggal sampai jumlah leukosit turun 50%, dan 
lalu   dosis dikurangi menjadi 0,05 mg/kg beratbadan  . Siklus pemberian 

diulangi dengan dosis 2-8 mg/hari selama 5-10 hari. Busulfan dihentikan 
bila jumlah lekosit turun mencapai 20–25×109/L sebab  lekosit akan 
menurun terus sampai 2-4 minggu lalu . 
Efek samping: Busulfan memberi  toksisitas interstitial fibrosis 
paru (Busulfan Lung), hiperpigmentasi, kejang, Venouse Occlusive 
Dissease (VOD), emesis, dan sindrom wasting. Selain itu Busulfan juga 
memicu  trombositopenia, menurunkan jumlah platelet. Pada dosis 
rendah, depresi selektif terlihat granulopoiesis dan trombopoiesis. Pada 
dosis yang lebih tinggi terlihat depresi eritropoiesis. Busulfan sering 

memicu  mielosupresi yang berat dan lama, sehingga pemeriksaan 
darah harus sering dilakukan. sedang  efek samping yang jarang 
yaitu  severe idiosyncratic pulmonary reaction, fibrosis interstitial. Gonadal 

failure (biasanya  ireversibel), aspermia pada laki-laki dan menopause 
sesudah  3-6 bulan terapi. 
 

Hidroksiurea atau Hydroxycarbamide yaitu  suatu ribonucleotida 
reductase inhibitor. Hidroksiurea pertama kali disintesis pada tahun 1869, 
yang dipakai  dalam penyakit mieloproliferatif, khususnya polisitemia 
vera dan thrombocythemia. Hidroksiurea diperkenalkan sebagai terapi 
CML pada tahun 1966 dan sebab  tingkat toksisitasnya lebih rendah dari 

busulfan, hidroksiurea lebih menjadi pilihan untuk pengobatan CML 
saat itu. Hidroksiurea (Hydrea) ini dapat ditoleransi dengan baik dan 
efektif untuk menekan lekositosis pada kebanyakan pasien CML sampai diagnosa  CML dapat dilakukan . Hidroksiurea diberikan dalam bentuk 
kapsul, dan dapat menurunkan sel darah putih menjadi normal dalam 

beberapa hari atau minggu dan mengurangi ukuran limpa, namun  tidak 
mengurangi persentase sel dengan kromosom Philadelphia dan tidak 
mencegah terjadinya krisis blastik. 
Hidroksiurea beraktifitas  antitumor pada hewan dan kita . ini  memicu  supresi sumsum tulang dan megaloblastosis 
yang reversibel sesudah  menghentikan pengobatan. Pengukuran 

sintesis asam nukleat pada tikus menandakan  hambatan sintesis asam 
deoksiribonukleat (DNA). Hampir 90% terjadi hambatan sintesis DNA 

pada konsentrasi hidroksiurea yang tinggi,
Dosis: Hidroksiurea diberikan dengan dosis 40 mg/kg beratbadan   perhari.
Efek Samping: Hidroksiurea berefek samping yang 
ringan, semuanya reversible bila pengobatan dihentikan. Meliputi mual mulas perih kembung  

muntah dan diare, anorexia, menggigil, nyeri tubuh, gejala flu, luka di 
mulut dan tenggorokan, halusinasi, kejang, gatal, mengantuk, sembelit, 
mukositis, anoreksia, stomatitis, toksisitas sumsum tulang (toksisitas 
yang terbatas dosis: 7-21 hari pulih sesudah  obat sudah  dihentikan), alopecia 

(rambut rontok), perubahan kulit, enzim hati yang tidaknormal , kreatinin 
dan nitrogen urea darah , hampir semua pasien CML tahap  kronis di  Surabaya diberi hidroxyurea sebelum memperoleh  imatinib 

Interferon (IFN) yaitu  suatu glikoprotein yang menanggapi   bila ada 
kuman patogen seperti virus, bakteri, parasit atau sel tumor. IFN memiliki 

aktivitas biologis termasuk Induksi sel T sitotoksik yang dianggap sebagai 
salah satu mekanisme antitumor. IFN-α secara langsung menghambat 

proliferasi dengan menekan produksi sitokin stimulasi hematopoietik, 
seperti GMCSF dan interleukin-1β. IFN-α juga meningkatkan antagonis 
reseptor interleukin-1 dan mengubah faktor perkembangbiakan -β. Selain itu,
IFN-α dapat menghambat proliferasi progenitor CML dengan memulihkanmekanisme hematopoietik yang normal,Berbeda dengan kemoterapi sitoreduktif konvensional, IFN-α bisa 
menginduksi CCyR hingga 26% pada pasien CP-CML ,dan memperpanjang daya tahan hidup  , IFN efektif terhadap 
CML, hairy cell leukemia (HCL), multiple myeloma, dan limfoma maligna. 
 IFN menanggapi hematologi pada 70-80% pasien CML. IFN 
 menanggapi sitogenetik mayor (MCR) pada 15-40% pasien CML 
tahap  kronis , Pasien CML dengan faktor risiko rendah (Skor 

Euro) menandakan  6 tahun  daya tahan hidup  sebesar 70 %, sedang  dengan risiko 
sedang 6 tahun  daya tahan hidup  sebesar 50%, dan yang berisiko  

tinggi memberi   6 tahun daya tahan hidup  sebesar 20%. IFN-α dipakai  dalam 
pengobatan CML sejak tahun 1985. Yang lalu   INF-α dibuat dalam 

bentuk rekombinan, IFNα-2α ,Dosis optimal IFN-α untuk CML tidak diketahui. analisa  retrospektif 

menandakan  bahwa dosis rendah sama efektifnya dengan dosis tinggi. The 
Dutch Hemato-Oncology Association (HOVON) dan British Medical Research 

Council (MRC) melakukan uji coba secara acak pada pasien CML baru yang 
membandingkan IFN dosis tinggi (5 MIU/m2 setiap hari) dengan IFN dosis 

rendah (3 MIU, 5 kali seminggu). Kedua golongan  memperoleh  terapi 
tambahan hydroxyurea untuk mempertahankan jumlah lekosit <5×109/L. 

Pada pengamatan 53 bulan, tidak ada perbedaan yang menonjol  dalam 
hal overall daya tahan hidup  (OR = 1,09; CI 95%) Efek samping IFN-α yaitu  anoreksia, demam, menggigil, mialgia, 
pusing,  sembuh dalam beberapa hari. Efek samping kronis termasuk kurang gairah kurang tenaga , sakit kepala, mual mulas perih kembung , muntah, gangguan dalam 
berpikir dan berkonsentrasi, penurunan berat badan, arthralgia, depresi, 

dan komplikasi yang diperantarai mekanisme imun, seperti anemia 
hemolitik autoimun/trombositopenia, gangguan kolagen vaskular, 
penurunan berat badan, neurotoksisitas, dan insomnia hipotiroidisme 

serta sindrom nefritik. peristiwa -peristiwa  aritmia dan gagal jantung kongestif 
jarang terjadi, namun  IFN-α harus segera dihentikan begitu muncul  gejala 

itu .pemakaian  interferon memang dibatasi sebab  adanya efek 
samping. Selain itu, interferon juga bersifat toksik terhadap hati, ginjal, 
sumsum tulang, dan jantung. Efek samping terus berlanjut selama obat 
dipakai . Oleh sebab  itu terapi IFN-α harus dihentikan jika tidak ada 
tanggapan  hematologi lengkap dalam 6-2 bulan sesudah  pemberian IFN-α. 

Sebelum pemberian Interferon, langkah pertama dalam terapi CML yaitu  
dengan pemberian Hidroksiurea untuk mengurangi beban tumor (tumor 

load) di bawah 20 x 109/L. Dosis IFN-α yang lebih rendah dari 3 MU/m2
lima kali seminggu menandakan  efektivitas yang sama dengan dosis 

standar 5 MU/m2 setiap hari.
 usaha yang  dilakukan untuk meningkatkan 
efektivitas IFN-α, yaitu mengoptimalkan dosis , memakai  pegylated Interferon-α  dan 
 kombinasi IFN-α dengan Cytarabine dosis rendah Ara C (10 mg/m2 hari 
 pertama sampai dengan hari ke-10) atau hydroxyurea (25 mg/kg tiap hari). 
 Bila IFN-α dikombinasikan dengan Ara-C akan meningkatkan tanggapan  
sitogenetik dan memperpanjang harapan hidup. Ara-C lebih selektif 

menekan perkembangbiakan  sel-sel CML dibandingkan  sel-sel hematopoietik 
normal secara in vitro. IFN-α diberikan setiap hari dan Ara-C dosis 

rendah 10-20 mg/hari selama 10 hari tiap bulan. Hitung leukosit sebaiknya 
dipertahankan antara 3–5x109/L. Dosis itu  sebaiknya diturunkan 

hanya bila hitung WBC <2x109/L atau hitung platelet <50x109/L atau adanya 
toksisitas derajat 2-4 ,
Tyrosine kinase berperan penting dalam modulasi sinyal faktor 
perkembangbiakan . Bentuk aktif dari enzim ini dapat memicu  
peningkatan proliferasi dan perkembangbiakan  sel tumor, menginduksi efek 

anti-apoptotis, dan mempromosikan angiogenesis dan metastasis. Pada 
pasien CML, dengan adanya gen BCR-ABL, tyrosine kinase yang konstitutif 

memicu  terjadinya transformasi selular sebagai patogenesis dari 
munculnya  CML. Dengan demikian BCR-ABL merupakan sasaran yang 
ideal sebagai target molekuler untuk pengobatan CML, dan Tyrosine 
Kinase Inhibitor (TKI) merupakan terapi yang efektif dan selektif untuk 
CML dengan BCR ABL yang positif.

Imatinib merupakan TKI generasi pertama yang dipakai  untuk 
pengobatan CML tahap  kronis. Imatinib merupakan turunan pirimidin2-
fenil amino yang berfungsi sebagai inhibitor khusus  enzim tyrosine 
kinase. Imatinib bekerja khusus  pada domain tyrosine kinase di ABL 
(proto-onkogen Abelson), kit-c, dan PDGF-R. Imatinib bekerja dengan 

mengikat tempat pengikatan ATP dari BCR-ABL, menguncinya dalam 
konformasi tertutup atau self-inhibited. Imatinib cukup selektif terhadap 

BCR-ABL. Imatinib juga menghambat protein ABL dari sel-sel non kanker, namun sel-sel ini biasanya memiliki tirosin kinase berlebihan, 
yang memungkinkannya terus berfungsi bahkan jika ABL tyrosine 

kinase dihambat ,
foto :Mekanisme kerja imatinib. (A) tirosin kinase BCR-ABL yang secara konstitutif 
aktif berfungsi dengan mentransfer fosfat dari ATP ke residu tirosin pada berbagai substrat 
yang memicu  proliferasi berlebihan sel mieloid. (B) Imatinib menghalangi pengikatan 
ATP ke tirosin kinase BCR-ABL, sehingga menghambat aktivitas kinase ,
Pada tahun 2001 FDA memberi  izin imatinib dipakai  sebagai 
pengobatan CML tahap  kronis lini pertama. Obat ini diberikan per oral 
1 atau 2 kali sehari dengan dosis 400 mg/hari. Hampir semua pasien 
CML tahap  kronis yang memperoleh  obat ini mengalami remisi hematologi 
lengkap. Sekitar  70%-80% pasien yang baru didiagnosa  pada tahap  kronis 
ini menanggapi sitogenetik lengkap (CCyR). adanya   tanggapan  

molekuler mayor pada 12 bulan pertama masih rendah, yaitu sekitar 40% ,
juga  pada pengamatan berikutnya tahun 2018, 
 memperoleh  MMR dalam 12 bulan sekitar 40% ,IRIS (The International randomized  Study of Interferon) dan STI571 
melakukan penelitian terhadap 2300 pasien CML tahap  kronis yang 
menerima Imatinib dosis 400 mg/hari atau IFN-plus cytarabine dosis rendah. 

sesudah  observasi selama 20 bulan, pasien yang menerima imatinib secara 
menonjol  menandakan  tanggapan  terapi sitogenetik lebih banyak dibandingkan golongan  pasien yang memperoleh  IFN plus cytarabine dosis rendah (CCyR 

73% vs 9%, P <0,001), dan lama progresivitas penyakit ke arah krisis blastik 
pada 13 bulan lebih tinggi dibandingkan  golongan  pasien yang memperoleh  

Interferon plus cytarabine dosis rendah (90% vs 94%, P < 0,001). Imatinib 
 dikabarkan  menandakan  bebas penyakit selama 7 tahun sebesar 80%, 
dan daya tahan hidup  sebesar  70 %. Namun dalam observasi selama 10 tahun itu  
hanya 30 % pasien yang tetap memakai  terapi imatinib, tanggapan  terapi akan lebih baik jika  dikombinasi 
dengan interferon.  tanggapan  molekuler lebih  menonjol  pada pasien CML 
tahap  kronis yang menerima imatinib dan peginterferon alfa-2a, dibandingkan  
yang menerima 400 mg imatinib saja (14%) (P = 0,001) , 
Penelitian  tahun 2017 terhadap 
pasien CML yang memperoleh  imatinib selama 8  tahun, sesudah  dilihat  

selama 15  tahun menandakan  progression-free daya tahan hidup  52%, overall daya tahan hidup 
70%, 50% mencapai MR  3 % mencapai MR 2,3,50% mencapai MR4, 73% 
mencapai major molecular remission dan 83% mencapai MR 2 ,Efek samping imatinib yaitu  demam, menggigil, nyeri tubuh, 
gejala mirip  influenza, mudah memar, pembengkakan di tubuh 
dan wajah, kenaikan berat badan  cepat, mual mulas perih kembung , nyeri perut bagian 
atas, gatal,  nafsu makan tidak ada , otot lemah lesu , pucat,
Dasatinib yaitu  TKI generasi kedua dengan kekuatan 300 kali 
dibandingkan dengan imatinib dengan dosis awal 100 mg sehari sekali ,Penelitian DASISION tahap  III 
yang dilakukan secara acak  membandingkan imatinib 400 mg sekali 
sehari dengan dasatinib dosis 100 mg sekali sehari terhadap pasien baru 
CML tahap  kronis menandakan  tanggapan  terapi sitogenetik lengkap lebih 
baik secara menonjol  pada golongan  pasien yang memperoleh  dasatinib 

dibanding golongan  pasien yang memakai  imatinib pada observasi 
selama 12 bulan (77% vs 66%; P 5 0.007), 
Selain itu selama pengamatan 6 tahun, terapi golongan  dengan terapi 
 dasatinib juga menandakan  deep molecular tanggapan es lebih cepat dan 

lebih baik dibandingkan golongan  imatinib. ini  ditunjukkan dengan 
 pemeriksaan transkrip BCR ABL <10 % pada 3 bulan pertama (84% vs 64%, 

P < 0.0001). juga dengan lebih sedikitnya pasien yang mengalami 
transformasi ke arah krisis blastik atau tahap  akselerasi pada golongan  

yang memperoleh  dasatinib (4,6% vs 7,3%),
Penelitian multisenter di Amerika Utara terhadap pasien baru CML 
tahap  kronis yang membandingkan dasatinib 100 mg sekali sehari dengan 
imatinib 400 sekali sehari juga menandakan  hasil yang hampir sama 
dengan penelitian DASISION. golongan  dasatinib mencapai CCyR lebih 
tinggi dibandingkan golongan  yang memperoleh  imatinib (84% vs 69%, 

P 5 0.04). Namun dikabarkan  efek toksik yang lebih banyak pada golongan  
dasatinib, yaitu ESO derajat 3 atau 4 terutama efek samping hematologi. 

Efek samping neutropenia dan trombositopenia terjadi pada sebagian 
besar pasien CML tahap  kronis yang awalnya diobati dengan dasatinib 70
mg dua kali sehari. Kejadian efusi pleura lebih rendah, juga  
efusi perikardial juga jarang terjadi. Dasatinib meningkatkan kejadian 
perdarahan gastrointestinal akibat trombositopenia,
Nilotinib yaitu  TKI yang berbentuk kapsul yang diberikan per 
oral dan berstruktur   analog dengan imatinib. Dosis yang 
disarankan  yaitu  400 mg per oral dalam dua kali pemberian 
per hari, dalam kondisi  perut kosong, 2 jam sesudah  atau 1 jam sebelum 

makan. Nilotinib memiliki  afinitas pada ATP- binding site pada BCR ABL1 30 -50 kali lebih kuat dari imatinib secara in vitro.
Nilotinib ditujukan untuk pasien yang gagal menanggapi 
 hematologi atau sitogenetik terhadap imatinib. Dalam riset  praklinis, 
nilotinib beraktifitas  terhadap 32 dari 33 mutasi bcr-abl yang 

resisten terhadap imatinib, kecuali terhadap mutasi T3151. Nilotinib sudah  
disetujui oleh FDA tahun 2007 untuk pasien CML Philadelphia kromosom positif (Ph+) tahap  kronis atau tahap  akselerasi yang tidak menanggapi   atau tidak 
toleran terhadap imatinib. Efek samping nilotinib yang  serius walaupun jarang yaitu  
takiaritmia, pemanjangan QT interval, dan kematian mendadak, sehingga tidak disarankan  pada pasien yang mengalami hipokalemia, hipomagnesia, 

atau pemanjangan QT interval. ECG dilakukan lagi untuk memantau  QT 
interval 7 hari sesudah  obat dimulai. Sitopenia yaitu  efek samping 
yang sering terjadi (frekuensi  lebih besar dibandingkan   imatinib). 
Sitopenia itu  reversibel, sesudah  obat distop atau dosis 
diturunkan sementara. Sering terjadi gangguan elektrolit dan peningkatan 
enzim-enzim pankreas. Efek samping lain berwujud  anemia, gatal dan 

ruam di kulit, sakit kepala, dan mual mulas perih kembung . Efek samping serius yang lain namun  
jarang yaitu  kerusakan hepar dan akumulasi cairan. Nilotinib kurang 
menanggapi terhadap pasien yang ada mutasi P-loop.

Penelitian uji klinis tahap  II dilakukan pada pasien CML tahap  kronis
yang intoleran atau resisten terhadap imatinib. dikabarkan  bahwa nilotinib 

memberi  CCyR (Complete Cytogenetic tanggapan e) sekitar 40%, dan 70% 
menandakan  tanggapan  hematologi lengkap (CHR). OS pada pengamatan 

18 bulan yaitu  90%. Pasien yang progresif menjadi tahap  akselerasi 
menandakan  tanggapan  sitogenetik mayor 30%; tanggapan  sitogenetik lengkap 
sekitar 10%; dan yang memberi  CHR sekitar 10%. Pada pengamatan 
14 bulan, sekitar 36% pasien tidak mengalami progresivitas penyakit, 
dan OS sekitar  60 %. dikabarkan  juga toksisitas yang sering  berwujud  
ruam, pruritus, mual mulas perih kembung , kurang gairah kurang tenaga , sakit kepala, sembelit, diare,  
Sekitar 10% menandakan  toksisitas grade 3, yaitu berwujud  trombositopenia, 
neutropenia, lipase tinggi, hiperglikemia, dan hipofosfatemia ,Penelitian ENESTnd tahap  III, terhadap pasien CML-baru tahap  kronis 
(CML-CP), bahwa nilotinib menandakan  tanggapan  terapi yang lebih 
cepat, dan lebih tinggi dan risiko terjadinya tahap  krisis dibandingkan  imatinib. 
Pada tahun ke lima lebih dari setengah dari semua pasien dalam setiap 
golongan  nilotinib (300 mg 2 kali sehari, 50%; 400 mg 2 kali sehari, 

50%) mencapai tanggapan  molekuler 4,5 (MR (4,5); BCR-ABL ≤ 0,0032%) 
 dibandingkan dengan pasien yang memperoleh  imatinib. Penelitian  
dilakukan pada semua golongan  risiko Sokal. Secara keseluruhan, hasil 
keamanan tetap konsisten dengan riset  sebelumnya. lebih banyak kejadian kardiovaskular (CVE) pada pasien yang menerima 

nilotinib dibandingkan yang memperoleh  imatinib, dan naiknya  kolesterol darah dan kadar glukosa   pada golongan  
yang diterapi dengan nilotinib. Berbeda dengan tingkat kematian yang 
tinggi akibat progresivitas dari CML ,Pemantauan  efek samping  penting sebab  berkaitan dengan penentuan dosis tidak boleh salah. jika  salah dalam menentukan 

 efek samping, maka pemberian dosis bisa berlebihan yang akan 
membahayakan pasien. Sebaliknya jika  dosis terlalu sedikit,  
hasil terapi tidak maksimal, Keharusan untuk pemberian obat TKI yang 

berlangsung selama bertahun-tahun   memicu  efek 

merugikan jangka panjang (adverse event = AE) dan memicu  penurunan daya tahan hidup.
Setiap obat akan mengalami metabolisme di liver, ginjal atau paru 

dan lalu   hasil metabolisme itu  akan disalurkan  ke target 
organ. Setiap efek samping obat (ESO) harus dievaluasi segera sesudah  
obat masuk ke dalam tubuh baik sesudah  dinjeksikan /diminum. juga  dengan obat-obatan untuk pengobatan CML. 

Efek samping obat harus dievaluasi segera sesudah  obat diminum. Efek 
samping obat digolobgkan  menjadi 2 golongan , yaitu hematologik dan 

non-hematologik 

Toksisitas hematologik  sesudah  pemberian tirosin kinase 
inhibitor generasi pertama berwujud  myelosupresi sumsum tulang (imatinib induced myelosupresion), dari derajat ringan sampai berat. Mielosupresi 
merupakan efek samping yang sering terjadi pada  75% pasien. 
Anemia, neutropenia, dan trombositopenia memicu  penurunan dosis sehingga pengobatan menjadi lebih lama. Insiden anemia derajat 
3 atau 4 dikabarkan  pada 9% pasien CML baru yang memperoleh  imatinib 
dan pada 9% CML tahap  kronis sesudah  gagal dengan interferon alfa.  

Ini mungkin terkait dengan penurunan cadangan stemcell hematopoietik 
normal, yang sudah  ditekan oleh kromosom Philadelphia. Mielosupresi 
selama terapi imatinib berkaitan  dengan tanggapan  terapi yang 
kurang optimal dan prognosis jelek. Mielosupresi yang 
terjadi belum bisa dipastikan apakah merupakan manifestasi dari 
penyakit yang mengalami progresif atau tidak cukupnya transfer imatinib 
ke tempat target. Terapi pendukung  dengan hormon Erythropoietin dan 
growth factor bisa memperbaiki anemia dan neutropenia sehingga  

memungkinkan agar supaya terapi imatinib diteruskan  dengan dosis yang efektif (300 
mg setiap hari). munculnya  mielosupresi lebih sering terjadi pada pasien 
CML dibandingkan dengan pasien GIST yang memperoleh  imatinib ,
tatalaksana  yang disarankan  NCCN 2019 , jika  terjadi mielosupresi pada CML tahap  kronis yaitu :

-menghentikan imatinib jika jumlah neutrofil absolut (ANC) menurun 
di bawah 1.000/mm3 dan atau  jumlah trombosit < 50.000/mm3; 

-meneruskan  terapi imatinib dosis 400 mg bila ANC pulih ≥ 1.500/
mm3 dan trombosit ≥ 75.000/mm3; 

-jika pemulihan terjadi dalam waktu < 4 minggu, pemberian kembali 
dimulai dengan dosis 400 mg/hari; dan 
jika terjadi penurunan lagi ANC < 1.000/mm3 dan atau  trombosit < 
50.000, tunda sampai ANC ≥ 1500/mm3 dan trombosit ≥ 75.000 dan 

imatinib dimulai dengan dosis 300 mg.
sedang  pada CML tahap  akselerasi dan krisis blastik, ANC < 

0,5x109/L biasanya  terkait dengan manifestasi klinis . tatalaksana  
yang dilakukan jika sitopenia itu  tidak terkait dengan manifestasi 
klinis  penyakit yaitu :

Dosis dikurangi hingga 400 mg/hari 

 Jika sitopenia menetap selama 2 minggu, dosis dikurangi lebih 
banyak lagi hingga 300 mg
Jika sitopenia menetap selama 4 minggu, imatinib dihentikan sampai 
ANC ≥ 1.0x109/L dan trombosit ≥ 20x109/L dan lalu  diteruskan  
dengan dosis 300 mg, tidak disarankan untuk memberi  dosis 

sub-terapeutik (< 300 mg/hari)
, Injeksi growth factor (filgastrim) dapat dikombinasi dengan imatinib, 
namun harus dipertimbangkan sebab  biasanya  netropenia terjadi 
pada tahap  akselerasi dan krisis blastik,Pada peristiwa  terjadi anemia derajat 3-4, harus dilakukan evaluasi 
 pemicu  anemia, seperti pemeriksaan retikulosit, kadar zat besi, 
B12, folat. Transfusi darah merah diberikan atas indikasi.

Efek samping yang sering terjadi dapat berwujud  gangguan pada sistem 
saluran pencernaan, muskuloskeletal, kulit, sistem pernafasan, sistem 

pembuluh darah dan cairan, sistem hati dan empedu 
Gangguan Pencernaan
 mual mulas perih kembung  yaitu  efek samping dari imatinib yang sering  terjadi 
pada sekitar 49-80% pasien CML tahap  kronis atau GISTs dan sekitar 80% 
dari pasien CML stadium lanjut. Efek samping yang muncul  biasanya  

ringan (derajat 1) dan terkait dengan dosis ,
Imatinib diminum saat yang terbaik yaitu  bersamaan dengan 
makan selai kacang tanah sebab  tidak mempengaruhi  farmakokinetik obat. jika  pasien 

memiliki riwayat esophagitis atau hernia hiatus, imatinib harus diminum 
minimal 2 jam sebelum tidur. Pemberian imatinib dalam 2 dosis terbagi 
bisa meringankan keluhan pasien, terutama pasien yang terus mengalami 
mual mulas perih kembung . jika  masih diperoleh  keluhan mual mulas perih kembung , dapat diberikan obat anti 
mual mulas perih kembung  (proklorperazin, ondansetron). Beberapa pasien yang mengalami 
diare dapat diberikan obat anti diare , 

Edema merupakan efek samping yang  sering terjadi (lebih 
dari 10% pasien yang menerima imatinib). Edema  ringan 
sampai sedang, dan bisa terjadi retensi cairan yang berlebihan pusat 
(gagal jantung kongestif, efusi pleura, efusi perikardial, edema paru, 

asites, anasarka). Edema perifer sering  terjadi di kaki. ada  
korelasi antara usia pasien (> 75 tahun) dan jenis kelamin (perempuan). 
Adanya riwayat penyakit jantung atau gagal ginjal merupakan faktor 
risiko munculnya  edema dan retensi cairan. Edema periorbital juga sering 
terjadi pada pasien yang menerima imatinib dan cenderung terjadi di pagi 

hari. Dalam hal ini Imatinib tidak perlu dihentikan dan tidak ada terapi 
khusus yang diperlukan. 
Edema periorbital ringan dipercaya  merupakan efek samping yang 
biasa  dari Imatinib. Imatinib tidak kontraindikasi pada pasien edema 
periorbital. Namun, pada pasien dengan edema berat, intervensi bedah 

mungkin diperlukan. Pengurangan konsumsi garam   

meringankan gejala. jika  parah, terapi diuretik dapat 

diberikan, Edema serebral dikabarkan  pada dua pasien, berusia 50  dan 60 tahun, 
 yang memperoleh  600 mg/hari imatinib. Kejadian ini ditemukan pada 

2 peristiwa  di antara 19.000 pasien di seluruh dunia yang memperoleh  terapi 
imatinib . munculnya  perikardial efusi sudah  ada   
 pada leukemia akut namun  sangat jarang pada CML. pemicu  efusi 

perikardial di CML  mungkin infiltrasi leukemia, hematopoiesis 
ekstramedular, infeksi, dan perdarahan pada CML. Komplikasi Tamponade 

jantung diterapi dengan drainase bedah, dan imatinib dihentikan,Pemantauan berat badan, gejala klinis akibat komplikasi pada jantung 
dan paru, dan  pemantauan tonus jaringan perifer bisa  mendeteksi lebih 
dini kemungkinan adanya retensi cairan pada pasien yang menerima 
imatinib. Semua pasien,   tua atau pasien pengidap jantung atau ginjal, harus dipantau ketat  terutama edema dan 
retensi cairan yang tidak menanggapi   secara optimal terhadap diuretik. Pada 
pasien dengan faktor risiko edema, pemberian awal imatinib dengan dosis 300 mg/hari dan diikuti dengan eskalasi dosis sampai 400 atau 600 mg/
hari. Bila edema perifer atau berat badan meningkat secara menonjol , 
diperlukan pemberian diuretik. Jika muncul  retensi cairan yang hebat, 

imatinib harus dihentikan dan edema harus dikendalikan  dengan diuretik. 
Imatinib bisa diberikan lagi bersaman dengan pemberian diuretik 
Efek samping pada kulit dari ruam ringan sampai berat hingga 
muncul sindroma Stevens-Johnson diperoleh  pada  pasien yang 
memperoleh  terapi imatinib. biasanya  ruam ini  tidak muncul 
lagi pada saat imatinib diteruskan  kembali sesudah  obat dihentikan. 
Manifestasi lain  berwujud  urtikaria perubahan pigmentasi kulit dan 
menggelapnya warna rambut. Selama pemberian imatinib, sekitar  50% 

dari pasien mengalami reaksi kulit. Sebagian besar reaksi kulit yang terkait 
dengan imatinib biasanya  muncul  ruam yang sembuh dengan sendirinya 

dan terapi imatinib dapat diteruskan  lagi. pemicu  dari reaksi kulit yang 
terkait imatinib belum diketahui. Hipotesis sementara bahwa reaksi kulit 
terkait imatinib dimediasi oleh perubahan signaling tyrosine kinase. Imatinib 
tidak imunogenik sebab  berat molekul yang relatif rendah. C-Kit (yang 

diekspresikan oleh sel mast dan melanosit epidermal) diperkirakan sebagai 
mekanisme pemicu  dermatitis atopik. muncul  depigmentasi lokal pada 
pasien CML sesudah  7 bulan pengobatan dengan imatinib, mungkin terkait 
dengan penghambatan dari reseptor melanosit c-Kit tirosin kinase.
Di antara pasien CML dan GIST dalam riset  tahap  II imatinib, ruam, 

dan dermatitis yaitu  reaksi kulit yang sering  dikabarkan  dan 
biasanya ringan atau sedang (derajat 1 atau 2). Kondisi dermatologis yang 
serius jarang terjadi, sekitar 4%. Kejadian dan tingkat keparahan reaksi 
kulit tergantung dosis. Ruam yang paling biasa  ditandai dengan lesi 
macropapular muncul paling menonjol di lengan, dada, dan kadang-kadang 

di wajah. Ruam eksfoliatif berat (derajat 3 atau 4) sudah  dikabarkan  pada 
0,7% pasien yang memperoleh  imatinib. Pada semua riset , 13.000 pasien 
yang diobati dengan imatinib, munculnya  ruam eksfoliatif berat sekitar 
1:500, dan biasanya  terjadi pada awal pengobatan ,Terapi simtomatik dengan salep antihistamin sudah  terbukti berguna 

pada pasien dengan ruam yang terkait imatinib (ringan sampai sedang). 
Glukokortikoid topikal atau oral jangka pendek dapat dipakai  pada 
pasien yang tidak menanggapi   terhadap tindakan yang konservatif. Dosis 
prednison (1 mg/kg/hari sampai 20 mg/hari) selama beberapa minggu). 

Profilaksis antihistamin dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan 
jumlah basofil yang sangat tinggi (>20%),Imatinib dengan dosis eskalasi bertahap diberikan lagi sesudah  ruam 
deskuamatif mengalami resolusi. Dosis imatinib 100 mg/hari ditingkatkan 
sebesar 100 mg per minggu merupakan strategi yang efektif untuk 
mencapai toleransi jangka panjang. , memulai 
kembali dosis awal 100 mg imatinib setiap hari. Seminggu lalu  dosis 

ditingkatkan menjadi 200 mg bila tidak muncul ruam lagi dan sesudah  
4 minggu dosisnya kembali meningkat, menjadi 300 mg, dan sesudah  6 

minggu dosis ditingkatkan jadi 400 mg setiap hari ,

Artralgia, mialgia, dan nyeri tulang dan  otot merupakan efek 
samping imatinib yang sering terjadi Sekitar  50% pasien 
yang memperoleh  imatinib mengalami  nyeri muskuloskeletal, 
kram otot, mialgia, dan arthralgia. Nyeri otot  ringan sampai 
sedang dan biasanya  dapat diatasi  tanpa pengurangan dosis imatinib. 
Kram otot  terjadi di tangan, kaki, betis, dan paha, dan beberapa 
pasien terjadi kontraksi tetanik. Kram   biasanya  mendadak tampak di tengah malam 
pemakaian  suplemen kalsium atau magnesium kadang  mampu membantu  mengurangi keluhan itu . Beberapa pasien juga terjadi 
kesembuhan  sesudah  pemberian suplemen kina ,Peningkatan Transaminase Hati
pemicu  pasti dari ketidaknormalan  kadar transaminase pada pasien 
yang memperoleh  imatinib tidak diketahui, walau  hasil biopsi hati 

menandakan  gambaran hipersensitivitas drug-induced. Imatinib metodenya  dimetabolisme oleh sitokrom hati P-450 isoenzim. Peningkatan
kadar transaminase biasanya  muncul  dalam 2-3 bulan pertama terapi 
imatinib dan biasanya berhenti dalam waktu 14-21 hari sesudah  penghentian 

obat ,Toksisitas hati onset lambat dikabarkan  sekitar 289-535 hari sesudah  
dimulainya pemberian imatinib. Toksisitas onset lambat itu  akan 
berakhir rata-rata 75  hari sesudah  imatinib dihentikan. Tes fungsi hati 
disarankan  dilakukan sebelum memulai terapi imatinib, setiap minggu 
selama bulan pertama pengobatan, dan sekali sebulan sesudah  terapi 

imatinib. Pasien dengan kadar transaminase tinggi harus dipantau lebih 
sering.
Menurut NCCN 2019, imatinib dihentikan jika  kadar bilirubin 
meningkat lebih dari 3x batas atas normal atau kadar transaminase hati 
lebih dari 5x batas atas normal. Imatinib dimulai lagi bila bilirubin sudah 

mencapai kurang dari 1,5x batas atas normal dan kadar transaminase 
kurang dari 2,5x batas atas normal. Dosis yang diberikan diturunkan (400 

mg menjadi 300 mg, 600 mg menjadi 400 mg, atau 800 mg menjadi 600 
mg) ,jika  Hepatotoksis berat atau retensi cairan yang berat, maka 
imatinib ditunda sampai resolusi. Imatinib dapat diteruskan  dengan dosis 
sebagaimana mestinya ,
Imatinib dan metabolitnya tidak diekskresikan secara menonjol  
oleh ginjal. Sampai saat ini belum ada penelitian tentang pengaruh 
imatinib pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Namun, penelitian 

tahap I tentang farmakokinetik imatinib pada pasien dengan berbagai 
tingkat gangguan fungsi ginjal dan berbagai jenis tumor (termasuk GIST) 
sudah  dikabarkan  pada tahun 2003 oleh The American Society of Clinical 
Oncology. Dalam penelitian itu , toksisitas imatinib tampaknya tidak 
terpengaruh oleh disfungsi ginjal ringan sampai sedang. 

Menurut NCCN 2019, dosis imatinib pada gangguan ginjal tergantung 
pada derajat keparahannya sebagai berikut.

Intervensi khusus, jika  terjadi retensi cairan (pleural efusion, 
efusi pericardial, edema, ascites), dapat diuretik, pengurangan 
dosis imatinib, atau penghentian imatinib dilakukan pemeriksaan 

echocardiogram untuk memeriksa LVEF ,
Pasien dengan gangguan ginjal sedang (CrCl = 20 – 39 mL/menit) 
dosis diturunkan 50% dosis awal, dan lalu   dosis dapat ditingkatkan. Untuk pasien dengan gangguan ginjal sedang, dosis 
lebih besar dari 400 mg tidak disarankan . Imatinib harus dipakai  

dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal berat, Pasien dengan gangguan ginjal ringan (CrCl = 40 – 59 mL/menit) dosis 
lebih dari 600 mg tidak disarankan ,
bahwa TKI tidak hanya bekerja pada tirosin kinase 

BCR-ABL namun  juga c-kit, reseptor faktor perkembangbiakan  turunan trombosit 

α dan β (PDGFR-α/β), ARG dan c-FMS. Beberapa protein ini diketahui 
berfungsi  yang mungkin berpengaruh pada perkembangan gonad, 

implantasi, dan perkembangan janin ,Sampai saat 

ini pemakaian  TKI terutama imatinib pada kehamilan masih terbatas 
pada hasil uji pada binatang percobaan  dan kabar  hasil pengamatan beberapa 
peneliti terhadap pasien CML yang menerima imatinib. 
Efek imatinib pada fungsi gonad binatang percobaan  masih belum jelas. Dari 
penelitian pra-klinis, golongan  tikus jantan yang diberi imatinib dengan 
dosis 60 mg/kg/hari sebelum kawin selama 70 hari dikabarkan  terjadi 
penurunan berat testis dan epididimis sebesar 60 mg/kg dan penurunan 

motilitas sperma. sedang  imatinib dosis 20 mg/kg/hari tidak ada 
penurunan yang menonjol  terhadap berat testis dan epididimis atau 
motilitas sperma. juga  kesuburan tikus jantan dan betina 
tidak terpengaruh pada perubahan dosis ,pemberian imatinib (150 mg/kg) mengurangi proliferasi spermatogonia 
tipe A dan menginduksi apoptosis germ cell. juga terjadi 
penurunan proliferasi dari prekursor mioid mesenkim dan pengurangan 

panjang corda seminiferus , Hasil penelitian itu  
berkorelasi dengan penelitian yang dilakukan oleh Basciani , yaitu terjadi pengurangan spermatogonia yang sangat besar 
sesudah  pemberian imatinib dosis 50 mg/kg selama 5 hari pada tikus 
yang baru lahir. Namun, kembali normal sesudah  tikus beranjak dewasa. 
Dalam riset nya, Prasad dan kawan-kawan mengabarkan  penurunan 
yang menonjol  kadar testosteron intratestikular golongan  tikus albino 

jantan pada minggu ke 4 dan minggu ke 5 sesudah  pemberian imatinib. 
Dan terjadi peningkatan yang menonjol  dari laktat dehidrogenase (LDH) 

intra-testis yang menggambarkan terjadinya kerusakan luas pada germcell
 dan reversibel sesudah  obat dihentikan , efek pada fungsi ovarium akibat imatinib masih terbatas. 
Kesuburan tikus betina tidak terpengaruh saat imatinib diberi selama 16 
hari sebelum kawin dan sampai hari ke-7 kehamilan. Tikus yang diberi 
imatinib dosis 45 mg/kg atau lebih akan mengalami kematian janin. Bila 
imatinib diberikan selama tahap  organogenesis dengan dosis 100 mg/kg 
atau lebih, terjadi efek teratogenik, termasuk exencephaly atau encephalocele, 
yaitu tidak terbentuk tulang frontal dan tulang parietal. Pada dosis lebih 
tinggi dari 100 mg/kg terjadi kematian janin pada semua hewan. Kematian 
janin tidak terjadi bila dosis 30 mg/kg/hari atau kurang (kira-kira setara 

dengan 300 mg), penelitian  tidak menemukan 

perbedaan jumlah atau morfologi folikel ovarium tikus betina yang 
memperoleh  dosis yang sama dengan tikus jantan (150 mg/kg/hari secara 
oral selama 2 bulan). Juga tidak terbukti peningkatan atresia folikuler pada 
binatang coba yang terpapar Tirosin Kinase.
 
















































leukemia 1 leukemia  1 Reviewed by bayi on Juni 02, 2022 Rating: 5

About

LINK VIDEO