mekanisme terjadi komplikasi pada SN yaitu hilangnya protein plasma ke dalam urin. Kehilangan protein memicu penurunan tekanan
onkotik intravaskular yang lalu memicu cairan merembes ke ruang interstisial. Pengurangan volume intravaskular menurunkan perfusi ginjal
dengan akibat penurunan laju filtrasi glomerulus, memicu sistem renin-angiotensin. Aldosteron, sebagai hasil dari aktivasi sistem renin-angiotensin, bersama dengan peningkatan sintesis dan sekresi hormon antidiuretik sebagai tanggapan penurunan volume intravaskular, memicu peningkatan penyerapan ulang natrium dan air di tubulus. ini memicu gejala seperti takikardia, vasokonstriksi perifer, tekanan darah rendah, oliguria dan retensi sodium urin. Teori underfill di atas tidak selalu bisa diterapkan pada pasien sindrom nefrotik. beberapa pasien diperoleh peningkatan volume intravaskular, dengan kadar renin dan aldosteron rendah. Pada pasien-pasien ini, terjadi kelainan primer pada fungsi ginjal yang memicu retensi air dan natrium, peningkatan volume sirkulasi sehingga terjadi transudasi cairan ke rongga interstisial, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal 1-3, maka penanganan edema pada pasien SN memikirkan kondisi klinis setiap pasien, Selain perubahan hemodinamik akibat perubahan tekanan onkotik, komplikasi SN juga dipicu hilang protein plasma yang ikut membawa zat zat penting dalam pencegahan infeksi, tromboemboli gangguan kalsium. Komplikasi ini bisa terjadi terkait penyakit dan akibat obat-obatan yang diberikan. Komplikasi SN terkait penyakit infeksi, hipovolemia, tromboemboli, insufisiensi renal, gangguan pertumbuhan. pengidap SN berisiko besar mengalami hipovolemia dan syok. Gejala dan tanda hipovolemia yaitu hipotensi, takikardia, akral dingin, perfusi buruk, peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma, Nyeri perut , Komplikasi ini bisa terjadi akibat pemakaian diuretik yang tidak terkendali , terutama pada masalah yang ditambah sepsis, diare, muntah.meski pengidap SN memiliki peningkatan total air tubuh dan sodium untuk mengkompensasi deplesi volume intra vaskular, tapis tatus volume pasien (hipovolemia atau masih normovolemia) kadang sulit dideteksi, bahkan pengidap jatuh dalam kondisi gangguan ginjal akut. Pemantauan volume sirkulasi penting dilakukan contoh Pemberian diuretik loop aman diberikan jika volume sirkulasi normal, namun jika volume sirkulasi menurun maka pemakaian diuretik perlu berhati-hati diberikan.Peningkatan risiko infeksi terjadi oleh sebab kekurangan konsentrasi immunoglobulin yang hilang melalui urin, gangguan dalam membuat antibodi khusus , kurang faktor komplemen, pemakaian obat imunosupresif. Kumulatif insidensi infeksi berkaitan dengan mortalitas menurun dari 40% hingga 1,5% dengan pemakaian antibiotika.
Infeksi, yang paling sering yaitu peritonitis (2-8%), lalu infeksi saluran napas atas, selulitis, pneumonia, oleh virus, Komplikasi infeksi terutama infeksi bakteri berkapsul menandakan peningkatan frekuensi pada pengidap SN. , asites dan efusi pleura memberi media kultur alami untuk pertumbuhan bakteri, maka empiema, peritonitis pneumonia yaitu infeksi serius yang sering terjadi, imunisasi yaitu salah satu cara mencegah komplikasi infeksi serius pada pengidap SN, 2 sampai 5% dari anak SN berkomplikasi tromboemboli. Risiko lebih tinggi pada anak resisten steroid dibanding dengan peka steroid, pengidap SN kongenital dan SN sekunder lebih berisiko mengalami tromboemboli. Lokasi potensial untuk tromboemboli termasuk deep vein, trombosis vena renalis, emboli paru, dan situs arteri. Patofisiologi trombogenesis pada SN tidak sepenuhnya dimengerti, namun bisa
dipicu multi faktor. biasanya mekanisme ini termasuk peningkatan konsentrasi protein urin yang mencegah terjadinya trombosis (antitrombin III, protein C dan protein S) dan peningkatan faktor sintesis yang memicu trombosis (faktor V dan VIII, faktor von Willebrand, plasmin inhibitor, plasminogen activator inhibitor1 dan fibrinogen).
Kombinasi faktor risiko lainnya yaitu hipovolemia, hiperlipidemia, trombositosis, Antikoagulan profilaksis tidak rutin disarankan kecuali jika pasien mengalami tromboemboli atau risiko tinggi trombosis (konsentrasi albumin kurang 2 g/dL, level fibrinogen lebih dari 6 g/L atau level antitrombin III kurang dari 70% normal). pengidap yang menunjukkan gejala trombosis, baik secara klinis atau radiologis, diberikan heparin subkutan, diteruskan dengan warfarin oral selama 6 bulan, Gangguan metabolisme kalsium dan vitamin D Hipokalsemia dikaitkan dengan penurunan kadar albumin, yang memicu
pengurangan kalsium terikat dan terionisasi (40 sampai 90% masalah ). pengidap SN sering
memiliki hipokalsiuria sebab penurunan penyerapan kalsium di gastrointestinal dan
peningkatan penyerapan ulang kalsium di tubulus ginjal. Kelainan dalam metabolisme vitamin D terjadi oleh sebab peningkatan filtrasi metabolit vitamin D-binding globulin. gejala yang muncul yaitu hipokalsemia, hiperparatiroidisme sekunder dan gangguan kalsifikasi tulang, Pengobatan steroid jangka lama juga memicu risiko osteoporosis. 25 persen pengidap SN menunjukkan massa tulang yang rendah. Penurunan massa tulang ini berkaitan dengan usia awitan yang lebih tua, asupan kalsium yang rendah, dan dosis kumulatif steroid. pada sindrom nefrotik, terjadi defisiensi vitamin D,sekalipun dalam kondisi remisi. Dalam kondisi ini diperlukan pemberian kalsium oral(250-500 mg) dan vitamin D (125-250 IU), terutama pada anak dengan SN relaps sering, dependen steroid, resisten steroid. Gagal ginjal akut yaitu komplikasi SN yang kritis . saat proteinuria masif terjadi dan albumin menurun, volume sirkulasi di plasma berkurang sehingga terjadi kolaps sirkulasi. maka , pemakaian diuretik pada kondisi seperti di atas perlu ditunda pemberiannya minimal 8 jam. Penurunan LFG bisa pula ditemukan pada kondisi normovolemia, ini dipicu oleh kerusakan pada foot processus yang memicu berkurangnya area filtrasi dan penurunan permeabilitas air.Gangguan ginjal akut bisa pula dipicu oleh sepsis, zat radiokontras, akut tubular nekrosis dari antibiotik nefrotoksik dan obat anti inflamasi non-steroid, bisa pula terjadi sekunder akibat trombosis vena renalis, atau terjadi nefritis interstisalis akibat pemakaian furosemid dosis tinggi. Jika gagal ginjal terus berlanjut selama lebih dari beberapa hari, dialisis mungkin diperlukan untuk pemulihan lengkap. Komplikasi yang berkaitan dengan obat,
Kortikosteroid sudah mengurangi angka kematian SN sekitar 8%, namun, kortikosteroid bisa memicu efek samping seperti katarak, gangguan metabolisme glukosa, dislipidemia, gangguan emosional, perubahan sikap cushing, kegemukan ,
gangguan pertumbuhan, hipertensi, osteoporosis,
beberapa obat bisa menurunkan efek terapi kortikosteroid contoh fenobarbital, fenitoin,rifampisin, karbamazepin, sehingga pemakaian obat obat ini bersama kortikosteroid harus dipantau.Komplikasi gangguan pertumbuhan berkaitan dengan pemakaian jangka panjang steroid. Steroid menekan maturasi kondrosit pada epifisik tulang, menghambat sekresi hormon pertumbuhan dan aktifitas insulin like growth faktor 1 (IGF-1). pemakaian prednisolon selama 6 bulan dengan dosis 0,75 mg/kg/hari atau lebih
dari 0,35 mg/kg/hari selama 3 tahun, berkaitan dengan kejadian retardasi pertumbuhan. Untuk mengurangi komplikasi gangguan pertumbuhan akibat terapi kortikosteroid, cara ini mungkin membantu yaitu pemantauan pertumbuhan/indeks massa tubuh, suplementasi kalsium, vitamin D, pemakaian steroid selang hari dosis rendah dan dilakukan secara bertahap dan gabungan dengan imunosupresan lain.
Efek samping agen alkylating, termasuk komplikasi awal penekanan sumsum tulang,
alopecia, gangguan pencernaan, hemorrhagic cystitis dan infeksi, komplikasi akhir dari kemungkinan keganasan dan gangguan kesuburan, terutama pada laki-laki. Untuk
menghindari toksisitas gonad, CPM tidak boleh dipakai untuk lebih dari 12 minggu (2 mg/kg berat badan, dosis tunggal) dan harus direduksi jika jumlah lekosit darah kurang dari 5.000/mm3 selama pemakaian CPM. Asupan cairan yang kuat disarankan untuk menghindari hemorrhagic cystitis selama memakai CPM.
Cyclosporin A(CsA) CsA yaitu metabolit imunosupresif bertugas dengan cara dengan merekayasa fungsi sel T dan menghambat pelepasan interleukin-2. pemakaian jangka panjang dari CsA memicu berkurangnya fungsi ginjal (nefrotoksisitas), ensefalopati, gangguan enzim hati,hiperkalemia, hipertrikosis,
hiperplasia gingival, hirsutisime, hipertensi,
Dampak pemberian CsA ditemukan 30 sampai 50% lesi tubulointerstitial dari anak-anak yang sudah menerima CsA selama lebih dari 12 bulan. Faktor risiko terjadi komplikasi CsA yaitu lama pemberian terapi CsA, dosis yang CsA tinggi, penerimaan terapi CsA pada usia lebih muda. maka , dosis efektif terendah CSA disarankan untuk pengobatan perawatan SN, dengan penurunan dosis lebih dari 1 tahun untuk 1 sampai
3 mg / kg / hari. Obat-obat lain
Tacrolimus yaitu inhibitor kalsineurin bisa memiliki beberapa efek samping, seperti hiperkalemia, hypophosphatemia, leukopenia, hiperglikemia, hipertensi, kelainan fungsi ginjal, tremor, kram otot, Komplikasi mikofenolat mofetil (MMF) termasuk gangguan gastrointestinal, penekanan sumsum tulang, pusing . Levamisol, agenantihelminthik, bisa dipakai pada pasien steroid dependent, namun tidak efektif sebagai
terapi permanen untuk SN. Levamisol berefek samping ringan dari leukopenia, efek gastrointestinal dan vaskulitis. Rituximab yaitu obat baru penghambat proliferasi sel B dan diterapkan pada pengidap SN relaps sering, steroid dependen dan steroid resisten. Komplikasi
rituximab termasuk bronkospasme yang mengancam jiwa, pneumonia pneumocystis
carinii, infark miokard, progressive multifocal leukoencephalopathy, reaktivasi virus
seperti hepatitis B, cytomegalovirus
suplementasi zat besi
defisiensi besi (DB) termasuk defisiensi mikronutrien, Besi yaitu nutrisi penting berperan dalam pertumbuhan, Kekurangan besi pada bayi dikaitkan dengan masalah perkembangan, meliputi defisit perkembangan saraf, penundaan pematangan tanggapan batang otak terhadap pendengaran, gangguan memori, sikap , Suplementasi besi bayi dan anak mencegah kekurangan besi selain pelaksanaan suplementasi besi ibu hamil dan menunda penjepitan tali pusat.
membaginya ke dalam 4 golongan usia yaitu: bayi hingga usia 2 tahun, anak usia 2-5 tahun, usia sekolah (5-12 tahun), dan remaja (12-18 tahun), Suplementasi besi pada bayi dan anak, rangkuman beragam penelitian dan saran SB yang sudah dikeluarkan oleh organisasi dunia, diantaranya World Health Organization, pada bayi dan anak yang bisa menjadi pertimbangan perubahan saran SB pada bayi di negara kita .
berdasar data Vitamin and Mineral Nutrition Information System (VMNIS) WHO, negara kita tergolong kedalam golongan prevalensi anemia moderat (sedang) untuk anak 6-59 bulan, yaitu 30%. Semakin muda usia gestasi semakin dini kejadian DB. Faktor yang mempengaruhi kejadian DB, yaitu tinggal negara berkembang dan hanya mengonsumsi air susu ibu (ASI) eksklusif tanpa suplementasi.Total kadar besi, hemoglobin (Hb),
cadangan dan serum besi lebih rendah pada BKB. Kondisi lain seperti DB selama kehamilan, pertumbuhan janin terganggu (PJT), dan kehilangan darah kronis selama kehamilan juga mempengaruhi cadangan besi bayi.Cadangan besi akan cepat berkurang selama 6-8 minggu pertama kehidupan, bertepatan dengan awal eritropoesis dan percepatan pertumbuhan . Status besi pada saat persalinan tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan, bayi akan mengalami percepatan pertumbuhan tanpa memandang kadar besi. Percepatan pertumbuhan ini akan meningkatkan volume darah dan massa Hb, sehingga diperlukan tambahan besi. Rata-rata
penurunan Hb terjadi pada usia 9 minggu dan berlanjut hingga usia 12 bulan, sehingga bisa disimpulkan bahwa suplementasi besi bisa diberikan mulai bulan pertama kehidupan dan diteruskan hingga usia 12 bulan.Pada bayi kurang bulan dengan tingkat eritropoesis dan pertumbuhannya yang cepat, kandungan besi pada ASI saja tidak cukup. Pemberian besi bagi BKB yaitu dengan memperkirakan kebutuhannya melalui analogi tingkat kebutuhan besi pada pertumbuhan intrauterin untuk mempertahankan serum besi normal. berdasar analogi pertumbuhan
ini, BKB memerlukan asupan besi harian sebesar 1,6-2,0 mg/kg intravena atau 5-6 mg/kg
secara enteral, sebab penyerapan besi enteral hanya sekitar 30%. Pada BKB dengan berat badan <1500 gram (berat badan LSR) status besi lebih sulit untuk
diprediksi, sebab sebagian besar bayi saat dilahirkan memerlukan perawatan intensif.
Bayi bisa berada dalam kondisi deplesi besi, normal, atau kelebihan besi. Faktor yang mempengaruhi kebutuhan besi saat bayi dipulangkan yaitu status besi pada saat dipulangkan, besi yang terkandung dalam diet, riwayat transfusi, kecepatan pertumbuhan. Kondisi berat badan LSR yang dipulangkan dari ruang intensif bayi beragam. Kebutuhan berat badan LSR yang pulang dengan berat badan mendekati 2000-2500 gram dengan Hb 13 g/dL dengan kadar feritin normal tentunya kebutuhan besinya akan mendekati berat badan LR yaitu 2 mg/kg/hari. Kondisi yang sering ditemukan yaitu bayi pulang dengan Hb 8,5 g/dL memerlukan tambahan besi 50 mg selama pertumbuhan cepat 1 tahun awal. Jika cadangan besi rendah, ditunjukkan dengan konsentrasi ferritin <40 µg/L maka tambahan besi diperlukan tambahan besi 30 mg, Suplementasi besi bisa diberikan dalam bentuk fortifikasi besi pada human milk fortifier (HMF), susu formula (SF), atau besi elemental. Fortifikasi HMF yang tersedia di Amerika Serikat mengandung 3,5-14,4 mg/L besi dan memberi 0,7-2,2 mg/kg/hari besi tambahan jika susu ini dikonsumsi sebanyak 150 mL/kg/hari. Alternatif lain yang bisa dipakai yaitu susu formula yang difortifikasi besi. Susu formula
yang mengandung 5-9 mg/L besi cukup untuk memenuhi kebutuhan eritropoesis BKB sehat selama 6 bulan kehidupan, dosis lebih rendah berisiko mengalami DB. Susu formula lanjutan yang beredar luas mengandung 12-14 mg/L besi dan bisa diserap 1,8-2,2 mg/kg/hari dalam perhitungan kebutuhan SF 150 ml/hari sedang formula lanjutan memiliki kandungan besi 13 mg/L menyediakan besi 2 mg/kg/hari, dan jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan besi. pemberian suplementasi besi bayi cukup bulan Air Susu Ibu mengandung besi dengan kandungan yang rendah (0,5 mg/L), bahwa DB sering terjadi pada golongan bayi yang diberi SF, walau
kandungan besi pada formula ini 3-4 kali lebih tinggi dibandingkan ASI. bahwa besi diserap lebih baik pada ASI sebab adanya iron binding proteinlaktoferin pada ASI yang tidak diperoleh pada SF. Laktoferin tahan terhadap proteolisis dan
ada pada feses dalam bentuk yang utuh. Laktoferin diserap melalui membran sel apikal
usus halus melalui reseptor laktoferin dan diinternalisasikan bersama besi. Berbeda dengan
SF sebagian besar besi terikat pada kasein dan forfopeptida yang dibentuk selama proses
pencernaan bisa menghambat penyerapanya . Jumlah kasein pada ASI lebih rendah dibanding
SF. defisiensi besi bisa terjadi pada bayi cukup bulan sebelum usia 6 bulan di negara berkembang sebab defisiensi ibu selama kehamilan, berat lahir rendah, infeksi, konsumsi makanan pendamping ASI yang kandungan besinya rendah. penelitian yang membanding-bandingkan status besi bayi cukup bulan di negara berkembang dan maju yaitu Swedia dan Honduras menandakan kadar besi beragam saat awal intervensi SB (1 mg/kg/hari vs plasebo) mulai usia 4 atau 6 bulan sampai usia 9 bulan. Hasil lainnya yaitu golongan yang diberi suplementasi besi mulai dari usia 4 bulan
memiliki tanggapan positif yang sama ( free protoporfirin, reseptor transferin, Hb, feritin,) pada bayi Honduras dan Swedia, terlepas dari data bahwa bayi Swedia memiliki status besi yang cukup pada usia 4 bulan. Fenomena yang berbeda pada golongan suplementasi yang dimulai dari usia 6 bulan, ada peningkatan hemoglobin dan berkurangnya anemia dari 29% menjadi 9% hanya pada bayi Honduras, yaitu pada golongan dengan DB pada baseline. Tidak ada perbedaan yang menonjol dalam indikator status besi antara golongan yang menerima besi dari mulai usia 4 atau 6 bulan. penyerapan besi pada bayi usia 6 bulan menandakan tidak ada perbedaan yang menonjol antara bayi Swedia yang sudah menerima suplemen besi dan mereka diberi plasebo, sedang pada usia 9 bulan bayi yang diberi suplemen besi menyerap 17% besi dari ASI sedang bayi yang tidak diberikan suplementasi menyerap 37%. ini bisa menjadi pertimbangan
mulainya pemberian suplementasi besi pada bayi cukup bulan yang diberi ASI eksklusif. Sebelum usia 6 bulan regulasi homeostatik besi belum matang dan maturasi penyerapan besi saluran cerna terjadi pada usia 9 bulan, bahwa pada usia <6 bulan, kemampuan keseimbangan besi dan
down regulation dari transporter intestinal masih belum matur. Ekspresi hepsidin menanggapi
cadangan besi tubuh, namun divalent metal transporter 1 (DMT1) dan feroportin (FPN1) tidak menanggapi , menandakan imaturitas bukan dipicu oleh sinyal dari cadangan besi namun maturasi penyerapan besi di saluran pencernaan yang ditentukan oleh DMT1, FPN1, hephaestin dan perubahan letak protein transfer dalam enterosit, Sumber eksogen 2-4 mg/kg/hari disarankan selama periode pertumbuhan stabil, dimulai pada 4-8 minggu dan berlanjut sampai usia 12-15 bulan, saran SB pada golongan usia ini yaitu berdasar bukti ilmiah yang kurang kuat, SB hanya berguna dalam mengurangi anemia berat yang memerlukan transfusi, sedang dampak negatif seperti kejadian penyakit paru kronis, retinopati prematur, enterokolitis nekrotikan tidak terbukti. Dosis yang dipakai beragam mulai 2-4 mg/kg/hari hingga dosis tinggi 7-12 mg/kg/hari. Durasi pemberian juga beragam , dikatakan jangka pendek bila diberikan ≤6 bulan dan jangka panjang >6 bulan.3
Dosis 2-3 mg/kg/hari memiliki manfaat yang paling optimal. Suplementasi besi dini (< 2minggu) terbukti mengurangi anemia berat yaitu didefisiensi kan sebagai anemia yang memerlukan transfusi pada masa bayi dan profil hematologis lebih baik sesudah usia 8 minggu, memperbaiki cadangan besi (mencegah penurunan, meningkatkan kadar ferritin) mencegah penurunan kadar Hb. Suplementasi besi terbukti lemah tidak meningkatkan risiko morbiditas bayi meliputi sepsis awitan lanjut, penyakit paru kronis atau ROP. Durasi pemberian SB ≤6 bulan yang menunjukkan perbedaan menonjol pada profil hematologis (Hb dan mean corpuscullar volume/MCV) golongan suplementasi dan non suplementasi. Cochrane neonatal menunjukkan bayi yang memperoleh SB memiliki kadar Hb yang lebih tinggi, cadangan besi yang lebih baik, dan risiko IDA yang lebih rendah, Namun bukti efektivitas jangka panjang terhadap pertumbuhan dan perkembangan masih belum jelas. Waktu dan durasi yang paling optimal masih belum jelas. saran suplementasi besi pada bayi cukup bulan 6-23 bulan saran SB WHO terbaru pada golongan usia ini berbeda dengan saran Satgas ADEBE IDAI yang menyarankan memulai SB pada usia 4 bulan. World Health Organization tahun 2016 menyarankan SB sejak usia 6 bulan. Perbedaan lainnya yaitu durasi pemberian, pada saran IDAI diberikan dosis harian hingga 2 tahun,sedang saran WHO terbaru, SB cukup diberikan 3 bulan dalam setahun, saran WHO untuk bayi cukup bulan usia 6-23 bulan, Intervensi komunitas pada bayi dan anak usia 6-23 bulan, pada tempat dengan prevalensi tinggi (40%) untuk mencegah DB dan ADB disarankan berdasar bukti ilmiah dengan kualitas sedang, saran ini berdasar
tinjauan penelitian pada bayi 4-23 bulan. Bayi yang memperoleh suplementasi besi berisiko yang lebih rendah terhadap anemia dibandingkan golongan plasebo. Tidak ada perbedaan antara dua golongan ini pada aspek pertumbuhan (stunting dan wasting). Dampak negatif infeksi meliputi infeksi saluran napas atas, diare, dan malaria tidak terbukti, Pada saran ini tidak dijelaskan alasan mulai diberikan pada usia 6 bulan, namun dipikirkan berdasar metabolisme besi bahwa bayi memiliki maturitas
homeostasis besi pada usia 6 bulan dan salah satu penelitian di Amerika Serikat 38 bayi diberi besi 7 mg sejak usia 1 bulan dibandingkan 38 plasebo menandakan pemberian besi dari usia 1 bulan-5.5 bulan bisa berefek pencegahan, namun efek ini tidak bertahan sampai usia sesudah suplementasi.bahwa SB tidak terbukti bisa memperbaiki perkembangan
dan pertumbuhan yang dinilai melalui pemeriksaan Bayley Scales of Infant Development
Scores pada usia 3-12 bulan dan Griffith. sedang dampak terhadap profil hematologis lainnya sejalan dengan tinjauan sistematis sebelumnya, Durasi pemberian SB selama 3 bulan berturut dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan besi anak 6-23 bulan. Luaran positif terhadap neurodevelopmental (perkembangan) dilihat pada golongan usia pra sekolah (24-5 tahun) dan usia sekolah (5-12 tahun, Pada usia pra sekolah sekolah ada pada ada aspek kognitif ada perbedaan minimal pada aspek bahasa dan visual antara golongan yang beri SB dan yang tidak. sedang dampak SB terhadap pertumbuhan dilihat ada pada golongan usia sekolah (6-12 tahun).
saran SB pada bayi cukup bulan yang sehat perlu memikirkan berdasar risiko ADB, European Society for Paediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition (ESPGHAN) tidak menyarankan SB bayi cukup bulan yang sehat sebab pelaksanaan ini sebab terbukti tidak mengurangi ADB pada area dengan prevalensi yang rendah (5-10% populasi). saran ini mirip dengan United State Preventive Task Force yang hanya menyarankan SB pada bayi dengan risiko tinggi ADB.saran WHO ini yaitu pencegahan tingkat populasi sehingga bila anak sudah analisa ADB maka pengobatan yaitu berdasar pedoman nasional tiap negara. Jika prevalensi yaitu 20-40%, regimen intermitten bisa dipikirkan .Pemberian SB intermitten sebagai intervensi komunitas untuk memperbaiki status besi dan mengurangi risiko ADB. saran ini berdasar 2 tinjauan sistematis dan
metaanalisis, Suplementasi besi intermiten bisa diberikan 1 kali per minggu, 2 atau 3 kali per minggu yaitu cara yang cukup efektif untuk meningkatkan asupan besi. Regimen ini berefek samping yang lebih minimal dan meningkatkan kepatuhan minum SB, Pemilihan cara pemberian suplementasi harus khusus dengan permasalah tiap area dengan tujuan mencapai populasi yang paling rentan mengalami DB, dan memastikan kesediaan dan kelangsungan obat. Pada area endemis malaria, suplementasi tidak meningkatkan risiko malaria atau kematian bila surveilans dan terapi malaria tersedia,
intervensi besi oral tidak diberikan kepada anak yang tidak memiliki akses terhadap program pencegahan malaria Risiko malaria klinis lebih rendah pada anak dengan besi yang cukup, tidak diperlukan skrining anemia sebelum DB di area anemia prevalensi tinggi. Malaria pada bayi berbahaya, maka suplementasi besi hanya diberikan pada bayi yang tidur dalam kelambu berinsektisida, dan malaria bisa diobati sesuai dengan pedoman nasional, Dampak defisiensi besi pada anak bisa memicu gangguan pertumbuhan, kognitif, imunitas. Jika terjadi pada ibu hamil, maka akan meningkatkan risiko kematian janin dalam kandungan.Deteksi dini defisiensi besi yaitu hal penting dalam pencegahan anemia defisiensi besi. Derajat anemia berbanding lurus dengan tingkat keparahan gangguan tumbuh kembang yang terjadi dan bersifat ireversibel. standart pemeriksaan laboratorium dalam melakukan analisa anemia defisiensi besi yaitu feritin, serum iron (SI), total iron binding capacity (TIBC),
dan saturasi transferin. Reticulocyte haemoglobin content (CHr) atau reticulocyte haemoglobin equivalent (RetHe) bisa dipakai sebagai alternatif pemeriksaan untuk mendeteksi dini status besi sebelum terjadinya anemia. Pemeriksaan ini menunjukan hasil sama dibandingkan dengan pemeriksaan SI/TIBC atau ferritin, Kelebihan lain yaitu pemeriksaan ini bisa langsung terlihat dari hasil darah perifer
lengkap sehingga tidak memerlukan sampel pemeriksaan darah yang banyak dan biaya
yang mahal, pemakaian Ret-He pada masalah masalah defisiensi besi korelatif dengan kadar besi, dibandingkan pemeriksaan konsentrasi hemoglobin (Hb), sebab kadar Ret-He lebih menggambarkan suplai besi ke sumsum tulang sebagai penghasil sel darah merah. bahwa kadar Ret-He berbanding lurus dengan anemia defisiensi besi (ADB), semakin tinggi kadar
Hb, kadar Ret-He pun tinggi, juga sebaliknya semakin rendah Ret-He, semakin besar resiko mengalami ADB. Batas potong ≤27.8 pg/L dengan kepekaan 45 % dan spesifisitas 86 % menjadi saran penegakkan analisa dari ADB pada anakanak. menunjukkan menjanjikannya pemakaian Ret-He sebagai skrining di masa depan.Peran besi pada pertumbuhan dan perkembangan anak , Kebutuhan akan nutrisi pada awal-awal kehidupan yaitu salah satu alasan rentannya anemia pada bayi dan anak-anak, terutama pada bayi-bayi prematur yang cadangan besinya jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Infeksi mikroorganisme yaitu penyakit yang banyak , komplikasi terseringnya yaitu perdarahan
sehingga memicu kekurangan darah. Anemia defisiensi Besi (ADB) yaitu anemia yang paling sering ditemukan pada bayi dan anak-anak.6
Bayi aterm (usia gestasi 37-42 minggu), memiliki cadangan besi yang relatif banyak dan cukup hingga usia 6 bulan. Namun, pada bayi-bayi prematur, cadangan besi ini hanya sedikit, sehingga hanya bisa dipakai sampai usia 2-3 bulan. maka , bayi prematur lebih rentan mengidap anemia defisiensi besi dibandingkan bayi cukup bulan.defisiensi besi pada awal kehidupan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Kurangnya cadangan besi akan memicu terlambatnya perkembangan otak, gangguan pencernaan, hingga gangguan kekebalan tubuh. Dampak defisiensi besi pada pertumbuhan dan perkembangan anak, bahwa banyak area dari otak memakai besi sebagai
sumber utama pembentukan sel neuron. bahwa anak yang mengalami anemia defisiensi besi cenderung mengalami keterlambatan psikomotor dan gangguan kognitif.Anemia defisiensi besi
sudah terbukti berperan dalam perubahan neurotransmitter dan pengiriman sinyal ke otak, bahkan pada tahap sebelum terjadinya anemia pun, defisiensi besi dipercaya
mampu merusak perkembangan kognitif anak. di Thailand, ditemukan anak-anak dengan anemia yang tidak diberikan suplemen besi mengalami kesulitan mempelajari bahasa Thailand, defisiensi besi tidak hanya berpengaruh pada perkembangan kecerdasan saja namun juga pada sistem dan organ lainnya, salah satunya yaitu sistem imun. Anak-anak dengan defisiensi besi cenderung memiliki morbiditas yang tinggi.
Kurangnya besi berakibat pada menurunnya
kapasitas leukosit untuk membunuh patogen. ini didukung dengan adanya perbaikan angka morbiditas sesudah pemberian suplementasi besi. Pada anak-anak dengan defisiensi besi, pemberian suplementasi besi terbukti memberi manfaat pada pertumbuhan, meski tidak terlepas dari faktor lainnya, seperti infeksi, diet, usia
terdeteksi kekurangan besi.analisa defisiensi besi dan parameter yang dipakai
defisiensi besi yaitu salah satu masalah defisiensi nutrisi biasa pada anak. Kekurangan besi memicu efek jangka panjang yang beraikibat fatal pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Gangguan kognitif, gangguan mielinisasi, gangguan sistem imun yaitu sebagian efek samping yang bersifat merusak dan seringkali menetap hingga dewasa. analisa dini defisiensi besi tentu menjadi kunci agar efek samping ini tidak terjadi.
analisa defisiensi besi jarang dilakukan berdasar hasil analisis mandiri. Seringkali baru terdeteksi sesudah terjadi anemia defisiensi besi (ADB). , parameter yang dipakai tidak hanya satu, melainkan beberapa parameter yang berkaitan satu dengan lainnya. analisa ADB sendiri biasanya dilakukan sesudah diketahui terjadi anemia, dengan index eritrosit yang mendukung, yaitu mean corpuscular volume (MCV) dibawah normal (<80fL) dan mean corpuscular haemoglobin (MCH) dibawah normal (<20pg), atau sering dinamakan mikrositik hipokromik. Selain, itu untuk membedakan dengan thalassemia, dilakukan uji mikroskopik dan analisis status besi. Pada uji mikroskopik akan
ditemukan sel pensil, sedang analisis status besi memakai parameter biasa yang dipakai , seperti SI, TIBC, feritin, transferin, saturasi transferin. Feritin yaitu salah satu biomarka paling khusus untuk melihat cadangan total besi dalam tubuh. Rendahnya feritin atau serum ferritin menunjukan rendahnya cadangan besi yang ada di dalam tubuh manusia, ini menggambarkan kondisi defisiensi besi pada masalah -masalah yang tidak ada infeksi atau peradangan, World Health Organization sudah memberi batasan nilai untuk menduga bahwa pasien kekurangan besi.
Batasan yang ditentukan yaitu <15µg/l untuk setiap kekurangan besi. Perbedaan nilai feritin juga tidak terlepas dari beberapa indikator, seperti usia , jenis kelamin, ras, Bayi, anak-anak, dan ibu hamil memiliki cadangan besi yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang lain, namun ini tidak menunjukan bahwa mereka langsung terkena defisiensi besi. defisiensi besi terjadi jika jumlah besi tidak mencukupi untuk melakukan tugas fungsionalnya. Serum iron, transferin, dan saturasi transferin defisiensi besi biasanya ditentukan jika ada perbedaan antara SI dan transferin.
Rendahnya SI dan tingginya transferin (peningkatan TIBC) sehingga terjadi penuruan
kadar saturasi transferin, cukup menunjukan kadar kekurangan besi dalam tubuh. Namun, seringkali terjadi tumpang tindih pada parameter diatas, sehingga memicu kerancuan pada penegakan atau penolakan akan analisa defisiensi besi. Implementasi reticulocyte hemoglobin content (Ret-he) sebagai penanda deteksi dini dimasa depan Tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di dunia, menjadi salah satu alasan badan kesehatan dunia untuk melaksanakan gerakan khusus untuk memantau defisiensi besi. Survei oleh badan nutrisi di Amerika menunjukkan 9% dari bayi usia 1-2 tahun mengalami defisiensi besi, 3 % di antaranya mengalami ADB.pasien mencapai tahap anemia defisiensi besi (ADB) akan mengalami 3 tahap :
1. tahap deplesi besi
Pada tahap ini jumlah besi di tempat produksinya mengalami penurunan, namun jumlah hemoglobin atau kadar besi dalam serum terbilang normal. kondisi ini hanya bisa dideteksi dengan pemeriksaan sitokimia di hati dan sumsum tulang.
2. tahap defisiensi besi
Pada tahap ini, sudah mulai terlihat penurunan kadar besi dalam serum yang bisa dengan berbagai pemeriksaan besi biasanya , seperti feritin, transferin, TIBC.
3. tahap anemia defisiensi besi
Pada tahap ini, diperoleh jumlah hemoglobin MCV, MCH, MCHC mengalami penurunan, sehingga bisa terlihat pada pemeriksaan fisik. Biasanya baru pada tahap ini pasien datang berobat ke layanan kesehatan. Dalam mendiagnosa defisiensi besi, aspirasi sumsum tulang yaitu standart yang dipakai . namun , prosedur ini sudah digantikan dengan
pemeriksaan yang lebih aman untuk menilai kadar besi, seperti pemeriksaan Hb, MCV, MCH, feritin, saturasi transferin, TIBC. namun pemakaian nya pun masih dirasa kurang akurat, contoh pemakaian Hb sebagai salah satu tolak ukur deteksi dini ADB, Hb dirasa kurang akurat sebab terpengaruh oleh masa hidupnya yaitu 120 hari,
sebab itu rentan adanya perubahan yang terjadi pada status besi saat itu pemakaian Hb sebagai alat deteksi dini dirasa akan memperlambat penanganan pada pasien-pasien dengan defisiensi besi tanpa anemia yang sudah mengalami komplikasi neurologis. maka , para ahli mencari biomarka yang akurat dan efektif untuk mendiagnosa ADB dalam tahap sedini mungkin. Dewasa ini, pemakaian Ret-He sebagai salah satu penanda deteksi dini kekurangan
besi sudah mulai disarankan , Kelebihan pemeriksaan retikulosit untuk menilai status besi dibandingkan dengan kadar Hb serum yaitu masa hidup yang singkat. Masa hidup retikulosit yang hanya berkisar 24-48 jam menjadi baik sebab mencerminkan kondisi status besi secara langsung pada sumsum tulang. Pada kondisi defisiensi besi, ini menjadi baik, perubahan pada suplai besi ke sumsum tulang akan tercermin pada penurunan Hb di retikulosit, yang terlihat pada penurunan RetHe. , pemakaian Ret-He untuk deteksi dini defisiensi besi dikatakan lebih baik jika dibandingkan dengan pemakaian alat skrining biasanya . Pemeriksaannya pun tidak memerlukan biaya atau pengambilan darah tambahan diluar pemeriksaan darah lengkap, sebab hasilnya akan terbaca sebagai bagian dari pemeriksaan retikulosit oleh alat tes pemeriksaan darah. kadar Ret-He dibawah 27.5 pg menunjukkan kepekaan dan spesifisitas menjanjikan untuk mendeteksi defisiensi besi sebelum anemia pada bayi usia 9-12 bulan.bahwa kadar Ret-He berbanding lurus dengan kadar Hb dalam serum. Semakin rendah kadar Ret-Hel, maka semakin tinggi resiko untuk terkena ADB. kadar Ret-He ≤ 27.8 pg menjadi tolak ukur deteksi pasien dengan ADB pada anak, dengan kepekaan 44 % dan spesifisitas 86%. American Association of Pediatric (AAP) menyarankan pemakaian CHr atau Ret-He sebagai alat deteksi dini defisiensi besi, dengan kadar CHr kurang dari 11.0 mg/dL sebagai ambang batas resiko terkena ADB. bahwa pemakaian CHr sebagai alat deteksi dini menyaring prevalensi lebih banyak sekitar 19% anak dengan defisiensi besi dibandingkan pemakaian pemeriksaan status besi yang dikombinasikan, pemakaian Ret-He sebagai alat deteksi dini mempermudah kita untuk menemukan anak-anak dengan resiko ADB lebih awal, sehingga bisa dilakukan penanganan lebih awal pula. membanding-bandingkan antara circulating transferrin receptor (TfR) dengan CHr, hasilnya menandakan CHr tetap lebih superior dibandingkan dengan biomarka lain termasuk TfR. bahwa area under the curve (AUC) untuk CHr lebih tinggi jika dibandingkan dengan feritin. Batas bawah nilai 26 pg untuk CHr memiliki kepekaan 70% dengan spesifisitas 78% untuk mendeteksi defisiensi besi. Untuk ADB, batas 26 pg juga memiliki kepekaan dan spesifisitas yang tinggi yaitu 82% dan 80%.Defsisensi zat besi yaitu pemicu anemia yang terjadi pada anak. defisiensi zat besi tanpa anemia bisa memicu efek jangka panjang terhadap perkembangan neurologis dan sikap . Efek ini bisa menetap.Prevalensi anemia pada anak usia 0,5-1,9 tahun di negara kita yaitu 58%. defisiensi zat besi yaitu kondisi anak sebab kekurangan asupan nutrisi. Kondisi ini bisa dicegah dengan pemberian nutrisi dengan sumber zat besi yang memadai.Anemia yaitu konsentrasi hemoglobin (Hb) 2SD di bawah rata-rata konsentrasi Hb untuk populasi normal dari kisaran usia dan jenis kelamin yang sama, berdasar pada the 1999-2002 United States National Health and Nutrition Examination Survey, anemia didefisiensi kan sebagai konsentrasi Hb kurang dari 11 g/dl, baik untuk laki-laki atau wanita usia 12-35 bulan.defisiensi zat besi yaitu suatu kondisi, di mana tidak cukup zat besi untuk mempertahankan fungsi fisiologis normal. defisiensi zat besi yaitu hasil dari penyerapan zat besi yang kurang memadai untuk mengatasi meningkatnya kebutuhan proses pertumbuhan atau hasil dari keseimbangan zat besi yang negatif dalam jangka waktu yang lama. Kedua situasi ini bisa memicu menurunnya penyimpanan zat yang bisa diukur dengan konsentrasi feritin serum (SF). Defisik ensi zat besi bisa dengan atau tanpa anemia. pemicu defisiensi zat besi pada anak-anak biasanya dibagi dua, yaitu sebab asupan zat besi dalam diet yang tidak kuat dan sebab kehilangan darah. Kehilangan darah yaitu kehilangan darah yang nyata atau terselubung. Perdarahan terselubung pada saluran cerna dipicu sebab infestasi cacing atau oleh sebab proses alergi pada protein makanan, terutama alergi terhadap protein susu sapi akibat anak/bayi mengonsumsi susu formula berbahan dasar susu sapi. pada anak berusia 1-3 tahun yaitu biasa . Selain dipicu oleh diet yang kurang kuat , anak pada masa ini biasanya , juga banyak mengkonsumsi susu formula berbahan dasar susu sapi, sehingga terjadi perdarahan terselubung yang sifatnya kronis. Perdarahan yang terus-menerus ini memicu terjadinya defisiensi zat besi. defisiensi zat besi yaitu penyumbang anemia.beragam diet sebagai sumber zat besi Sumber zat besi ada pada beragam bahan makanan, baik dari bahan makanan nabati atau hewani. Daging merah, termasuk hati, yaitu sumber zat besi yang baik.
, sayuran yang berwarna hijau, kacang tanah, kacang kedelai juga mengandung zat besi. Banyak sumber zat besi bisa diambil dari beragam bahan makanan ini , bahwa sumber zat besi dari Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) yang dikonsumsi anak-anak masih belum sesuai
dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang disarankan .Makanan berbentuk cair yaitu jenis makanan yang paling mudah dikonsumsi oleh
bayi pada usia kurang dari 6 bulan. ASI atau susu formula yaitu sumber zat besi pada periode ini. Makanan padat sudah harus diberikan sebagai makanan sumber zat gizi selain ASI sejak bayi berusia 6 bulan. Pada saat ini, anak sudah mulai dikenalkan dengan makanan berbentuk padat yang dimulai dengan makanan berbentuk sereal atau makanan saring. Pada bayi berusia 6 bulan, sumber zat besi dari bahan makanan kaya zat besi bisa diberikan dalam bentuk tepung yang dimasak atau makanan saring, contoh sereal
atau sayuran yang disaring. Sesudah bayi berusia 7 bulan, selain sereal dan sayuran saring,
daging yang disaring juga bisa ditambahkan, sehingga bayi akan memperoleh kesempatan
untuk memperoleh zat besi yang lebih banyak dari sumber hewani (daging sapi, ayam, ikan, hati). lalu , pada saat bayi berusia 8-10 bulan, makanan berbentuk lumat sudah bisa diberikan dan bayi juga sudah mulai bisa diberikan makanan yang bisa dipegangnya sendiri.Pada masa ini, beragam sumber zat besi sudah bisa diberikan kepada bayi dengan bentuk makanan lumat atau mudah lumat. Pada bayi berusia 10-12 bulan, makanan berbentuk lunak atau cincang sudah mampu dikonsumsi oleh bayi. maka pada masa ini, anak mampu memakan makanan dari beragam sumber
zat besi dalam bentuk lunak atau dicincang, contoh daging cincang, hati cincang, ikan
cincang, kacang kedelai lunak, bayam lunak, dan sebagainya. Makanan seperti yang dimakan oleh keluarga sudah bisa diberikan kepada anak mulai usia 12 bulan.ASI mengandung 0,5 mg/l zat besi dengan bioavailabilitasnya sebesar 50%, susu sapi segar memiliki kandungan zat besi yang sama dengan ASI, yaitu 0,5 mg/l, namun
bioavailabilitasnya yaitu sebesar 10%, sedang susu fortifikasi memiliki kandungan zat besi yang tinggi (10-12,8 mg/l), namun bioavailabilitasnya rendah, yaitu sebesar 4%. Sebagian besar susu formula dengan fortifikasi zat besi mengandung energi kurang lebih 680 kkal/l dengan kandungan zat besi 6,8 mg/l. Cadangan zat besi pada bayi berusia 4-6 bulan sudah berkurang, sehingga tanpa asupan zat besi dari luar yang memadai, bayi kurang mampu mencukupi kebutuhannya untuk tumbuh cepat. pada bayi yang lebih tua yang diberi ASI, susu sapi, susu formula berbasis
susu sapi, atau susu formula yang berasal dari kedelai menandakan penyerapan zat besi secara menonjol lebih baik pada ASI dibandingkan dengan susu formula atau susu
sapi. Faktor yang bertanggung jawab pada ASI, sehingga penyerapan nya lebih baik dibanding
susu formula, sampai sekarang belum jelas. Sesuai saran American Academy of Pediatrics, bayi cukup bulan yang sehat memiliki cadangan zat besi yang cukup sampai bayi ini berusia 4 bulan. Air susu ibu hanya mengandung sedikit
sumber zat besi, sehingga bayi dengan ASI saja harus memperoleh tambahan zat besi sebesar 1 mg/kg berat badan per hari dari zat besi oral sejak bayi berusia 4 bulan sampai bayi ini mampu memperoleh makanan pendamping dengan fortifikasi zat besi.Bagi bayi yang memperoleh susu formula yang difortifikasi zat besi, penambahan zat besi sudah ada didalam susu formula sesuai saran CODEX Alimentarius.
AAP juga menyarankan tambahan besi dimulai pada usia 1 bulan untuk bayi kurang bulan. Semua bayi kurang bulan harus memperoleh suplemen zat besi 2 mg/kg berat badan per hari sampai bayi berusia 12 bulan sesuai dengan jumlah
zat besi yang ada pada susu formula bayi kurang bulan. Bayi kurang bulan yang hanya minum ASI, sebaiknya memperoleh tambahan zat besi sebesar 2 mg/kg berat badan per hari sejak usia 1 bulan sampai bayi disapih untuk memperoleh susu formula atau makanan pendamping yang mengandung zat besi sebesar 2 mg/kg berat badan. Bayi kurang bulan bisa menyerap zat besi dengan baik. Persentase penyerapan zat besi
tampaknya berkaitan langsung dengan usia sesudah natal, pertumbuhan, kadar Hb, dan
jenis makanan. Susu formula fortifikasi untuk bayi kurang bulan memasok zat besi 33 mg/dl atau 1,67 mg/100 kkal dengan asumsi masukan dari 150 ml/kg/hari dari 81 kkal/dl susu formula.biasanya , bayi mengkonsumsi makanan dari beragam bahan makanan dalam 1 porsi makanan. Bahan makanan yang dicampurkan dalam satu porsi makanan bisa bersifat sebagai peningkat penyerapan zat besi atau bahkan penghambat penyerapan zat besi. Hal ini berakibat bahwa anak dengan konsumsi sumber zat besi yang cukup bisa menderita anemia defisiensi zat besi sebab dalam makanan ini terkandung bahan
makanan yang bersifat sebagai penghambat penyerapan zat besi. Vitamin C, asam sitrat, dan asam laktat yaitu peningkat penyerapan zat besi.
Sumber makanan hewani yang bisa meningkatkan penyerapan zat besi yaitu daging,
ikan, dan daging ayam. Makanan yang meningkatkan penyerapan zat besi dari sumber gula yaitu fruktosa, sorbitol, sedang dari sumber asam amino yaitu sistein, lisin, histidin. Alkohol juga bersifat meningkatkan penyerapan zat besi. Tanin (pada teh), polifenol (pada vegetarian), oksalat, fosfat, fitat (pada kulit padi), albumin pada kuning telur, kacang-kacangan, kalsium (pada susu dan olahannya), kuprum, mangan, kadmium,
dan kobalt yaitu penghambat penyerapan zat besi.meneliti bayi yang diberi makanan pendamping dengan pengurangan kadar fitat dibandingkan dengan golongan bayi dengan makanan pendamping komersial tanpa pengurangan kadar fitat dan golongan dengan formula sejak bayi berusia 6-12 bulan. Kadar Hb dan kadar SF diukur sebelum intervensi dan sesudah 6 bulan intervensi. Pengurangan fitat memberi hasil sebagai peningkatan Hb, sehingga menurunkan prevalensi anemia, namun tidak memberi hasil terhadap perbedaan kadar SF.13
penyerapan zat besi pada beragam jenis diet
Diet zat besi diserap di duodenum, namun tidak semua sumber zat besi diserap dengan jumlah yang sama. Zat besi heme yang ada pada daging dan ikan lebih mudah diserap dibanding dengan sumber zat besi nonheme, seperti sumber zat besi pada biji-bijian dan sayuran. walau konsentrasi zat besi pada ASI dan susu formula sama, zat besi pada ASI lebih mudah diserap Dibandingkan zat besi pada susu formula. ASI mengandung kadar zat besi yang rendah (0,06-0,09 mg/100 ml), namun mudah diserap dan pemakaian nya lebih efektif. pemicu kondisi ini belum jelas. rendahnya kadar kalsium dan fosfor pada ASI dan adanya laktoferin mungkin salah satu pemicu nya. walau begitu , bayi berusia 9 bulan yang memperoleh ASI seringkali tampak menderita anemia, kecuali jika mereka memperoleh sumber zat besi dalam dietnya. penyerapan zat besi pada susu formula yang difortifikasi zat besi lebih rendah dibandingkan dengan ASI, namun pemberian susu formula fortifikasi zat besi ini berguna untuk mencegah terjadinya anemia kekurangan zat besi. Persentase zat besi yang diserap menurun sejalan dengan tingginya konsentrasi zat besi dari susu formula. Zat besi yang diserap dari susu formula yang mengandung zat besi 0,6 mg/l ( 6%), sedang susu formula yang mengandung zat besi 1,2 mg/l ( 4%).Lebih dari 90% dari zat besi dalam diet bayi dan anak dalam bentuk bentuk nonheme. penyerapan zat besi nonheme ini bisa ditingkatkan dengan pemberian vitamin C, daging, ikan, produk peternakan lain dan dihambat oleh bran, tanin (dalam teh), kalsium, dan fosfor (dalam susu sapi murni). Jus jeruk bisa meningkatkan penyerapan besi nonheme sampai 2 kali lipat, sedang teh justru bisa mengurangi sampai 75%. bahwa bila anak-anak mengonsumsi jeruk 3 kali per minggu bisa mencegah anemia. mengonsumsi makanan asam dalam diet meningkatkan penyerapan zat besi.Protein bersumber nabati banyak dikonsumsi oleh anak-anak di negara kita .Protein kedelai berefek menghambat penyerapan zat besi nonheme pada diet anak dibandingkan dengan protein dari daging sapi.Pengaruh susu sapi terhadap defisiensi zat besi, Pemberian susu sapi murni yang terlalu dini pada anak usia 6 bulan sering menjadi pemicu anemia defisiensi besi pada anak berusia 1 tahun. bayi dibawah usia 12 bulan tidak diperbolehkan mengonsumsi susu segar. Di Inggris, defisiensi zat besi sering ditemukan pada anak yang mengonsumsi susu sapi murni lebih dari 1 liter per hari dan diberikan sebelum usia 8 bulan. Anak yang mengonsumsi susu sapi segar dalam jumlah yang banyak akan mengalami perdarahan pada saluran cerna yang memicu terjadinya defisiensi zat besi. Konsumsi susu sapi segar pada anak-anak sebaiknya dibatasi jumlahnya, jumlah yang disarankan yaitu
kurang dari 16 oz per hari.Selain kandungan zat besi dalam susu sapi yang rendah, tampaknya ada faktor lain yang berperan pada kejadian anemia akibat mengkonsumsinya, yaitu perdarahan mikro atau makro di saluran cerna seperti dinamakan di muka. bahwa pengidap anemia pada bayi yang memperoleh susu formula tanpa penambahan zat besi, tidak lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang memperoleh susu formula yang sudah mengalami fortifikasi zat besi. Pemberian susu sapi segar bisa memicu adanya peningkatan kehilangan darah melalui gastrointestinal. Anak atau bayi yang mengkonsumsi susu formula berbahan dasar susu sapi akan mengalami perdarahan saluran cerna, baik mikroskopik atau makroskopik.Anak-anak di negara kita banyak mengonsumsi makanan pendamping yang bersumber dari makanan buatan rumah. Asupan makanan dengan makanan buatan rumah dari
bahan alam kurang bisa diperkirakan dengan tepat kandungan zat besinya. Prevalensi
anemia pada anak di beberapa area di negara kita masih tinggi, yaitu sekitar 65%. bahwa anak-anak berusia kurang dari 2 tahun yang mengkonsumsi MPASI yang difortifikasi buatan pabrik mengalami anemia sebanyak 3 kali lebih rendah dibanding golongan yang hanya mengonsumsi makanan berbahan dasar beras buatan rumah. Fortifikasi zat besi cukup efektif untuk mencegah anemia
defisiensi zat besi. Sebagian besar anak negara kita mengonsumsi makanan berbahan dasar beras buatan sendiri dan mereka juga banyak mengonsumsi makanan sebagai inhibitor
pemanfaatan zat besi, sehingga ini menyumbang sebagai pemicu terjadinya defisiensi
zat besi pada anak-anak. Di brunai , fortifikasi zat besi pada beras sudah dilakukan untuk
mencegah defisiensi zat besi, namun ini belum diikuti oleh negara berkembang lain, termasuk negara kita . bahwa sebagian besar anak di negara kita jarang mengonsumsi makanan sumber zat besi heme.makanan pendamping buatan pabrik berkaitan dengan prevalensi anemia yang rendah. Makanan pendamping buatan pabrik sudah difortifikasi dengan zat besi sesuai anjuran CODEX Alimentarius. Di samping itu, bahwa susu atau sereal fortifikasi bisa diterima sebagai media untuk memberi kekurangan mikronutrien pada anak. juga konsumsi susu fortifikasi dengan mikronutrien bisa secara menonjol menurunkan beban penyakit biasa pada anak prasekolah, terutama pada anak berusia dua tahun pertama dari
kehidupan.Konseling pemberian makan sumber zat besi dan taburia sebagai sumber zat besi
Taburia yaitu bubuk yang ditaburkan pada sajian makanan (nasi). Taburia terdiri dari beragam macam zat gizi mikro. menunjukkan hasil yang
postif terhadap kenaikan Hb, namun , pada tindak lanjut sesudah pemberian taburia diterapkan kepada pasien , ini menunjukkan hasil bahwa kepatuhannya rendah. bahwa makanan dengan taburia tidak disukai anak-anak sebab menjadikan bau makanan tidak enak, sehingga anak kurang bisa menghabiskan porsi makanan yang diberikan bahwa dengan memberi konseling mengenai pedoman cara pemberian makan pada anak selama 6 bulan, yaitu dengan melanjutkan menyusu ibu selain MPASI, memberi makan dengan daging merah sebagai sumber zat besi
untuk mencegah anemia, memberi sayuran dan buah setiap hari sebagai bagian dari makanan sehat dan memberi nasihat tambahan berwujud memberi 6 porsi daging per minggu, yang meliputi 3 kali daging merah per minggu, ibu juga
dinasihati untuk memberi hati ayam dan jantung, hal ini akan memberi kenaikan Hb.
Suplementasi zat besi diberikan pada area , di mana prevalensi anemia defsiensi zat besi (ADB) lebih dari 50% atau tidak memperoleh makanan dengan fortifikasi zat besi. Suplementasi ini diberikan mulai usia 6-23 bulan dengan dosis 2 mg/kg berat badan/hari.Zat besi yaitu nutrien penting yang harus dikonsumsi oleh setiap anak. Anak dengan kekurangan zat besi bisa berakibat buruk pada perkembangan neurologis atau
sikap . Pencegahan terjadinya defsiensi zat besi bisa dilakukan dengan memakan sumber zat besi yang memadai. Pengetahuan mengenai makanan sumber zat besi dan bahan makanan lain sebagai enhancers atau inhibitor penyerapan zat besi perlu ditingkatkan agar asupan zat besi yang diberikan pada anak memadai. Pemberian suplemen zat besi pada anak bisa diberikan bila prevalensi ADB di area ini lebih dari 40% dan anak tidak mengonsumsi makanan berfortifikasi zat besi.
epilepsi
Kejang intraktabel atau epilepsi resisten obat yaitu kegagalan pemakaian 2 obat anti kejang yang dipilih dan dipakai dengan tepat dan ditolerir dengan kuat , baik sebagai monoterapi atau dalam kombinasi, untuk mencapai kondisi
bebas kejang yang berkelanjutan. Sekitar 1 dari 10 anak dengan kejang akan mengalami kejang intraktabel yang memicu anak mengalami morbiditas yang bermakna, kualitas hidup yang menurun, memerlukan konsultasi dengan ahli saraf anak. Diet ketogenik yaitu diet dengan kandungan lemak tinggi, karbohidrat rendah, protein yang cukup untuk anak bisa bertumbuh. menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam pemakaian diet ketogenik pada epilepsi. diet ketogenik berguna pada anak dengan epilepsi intraktabel, yaitu 15% pasien mengalami bebas kejang dan 35% pasien mengalami penurunan frekuensi kejang lebih dari 50%.Mekanisme diet ketogenik dalam menurunkan kejang Mekanisme diet dalam menurunkan kejang pada epilepsi masih belum diketahui, namun badan keton diperkirakan menghasilkan efek antikonvulsan atau perubahan metabolik yang terkait dengan ketosis yang dijelaskan dalam beragam hipotesis sebagai berikut:
- Restriksi kalori (energi) mungkin mendasari mekanisme antikonvulsan diet yang bisa menurunkan kerentanan kejang pada tikus. Asupan kalori tidak dibatasi sampai lebih rendah dari kebutuhan normal saat memakai diet ketogenik sebab kalori penting untuk mengoptimalkan pertumbuhan anak.Indikasi dan kontraindikasi pemakaian diet ketogenikIndikasi primer pemakaian diet ketogenik yaitu epilepsi refrakter obat atau epilepsi intraktabel. Tipe kejang, sindrom epilepsi, etiologi yang mendasari, ataupun usia tidak mempengaruhi efektivitas diet ketogenik. pemakaian poli-terapi dengan efek samping antikonvulsan yang berulang juga yaitu indikasi untuk mencoba diet ketogenik.
- Perubahan metabolisme energi di otak
Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan energi otak bisa menyumbang pada inisiasi dan perluasan aktivitas epilepsi. Diet ketogenik meningkatkan energi cadangan energi otak dengan memintas jalur glikolisis yang kurang efisien dan memaksimalkan fungsi siklus tricarboxylic acid (krebs).
- Peranan neuropeptida dan norepinefrin
Neuropeptida antikonvulsan, galanin dan neuropeptide Y, diregulasi oleh kondisi
energi dan mungkin memperantarai kerja diet ketogenik dengan meningkatnya kadar
neuropeptida ini di otak. Norepinefrin, suatu neurotransmitter inhibisi, juga menyumbang pada mekanisme antikonvulsan diet.
- Perubahan pemakaian asam amino pemakaian badan keton sebagai substrat untuk otak mempengaruhi metabolisme glutamat yaitu neurotransmiter eksitasi yang penting. Penurunan
transaminase glutamat menjadi aspartat meningkatkan ketersediaan glutamat untuk
sintesis neurotransmitter inhibisi utama otak, yaitu gamma amino butyric acid (GABA), baik secara langsung dan melalui produksi glutamin.
diet ketogenik secara medis diterapkan pada kelainan metabolisme bawaan karbohidrat, seperti glucose transporter 1 (Glut 1) deficiency dan pyruvate dehydrogenase (PDH) deficiency. Kontraindikasi mutlak pemakaian diet ketogenik
meliputi kelainan metabolisme bawaan lemak dan kelainan yang memerlukan asupan karbohidrat yang tinggi. Kontraindikasi relatif meliputi steroid, diuretik, obat-obatan yang memicu efek sekunder peningkatan asam dalam darah. pemakaian obat-obat ini harus hati-hati. Jenis diet ketogenik yang bisa dipakai pada kejang
intraktabel Sampai saat ini ada 4 jenis diet ketogenik, yaitu diet ketogenik klasik, diet medium
chain triglyceride (MCT), diet ketogenik yang direkayasa , dan diet low glycaemic index treatment (LGIT). Semua jenis diet ini tinggi lemak dengan karbohidrat yang terbatas.
- Diet ketogenik klasik
Diet ketogenik klasik berdasar pada rasio gram lemak (long chain triglycerides) terhadap gram karbohidrat dan protein [lemak : (karbohidrat + protein)]. Rasio diet ketogenik 4:1 setara dengan 90% kalori dari lemak dengan sisanya (10%) berasal dari protein dan karbohidrat.
- Diet medium chain triglycerides (MCT)
rekayasa diet ini diperkenalkan pada tahun 1970 memakai MCT sebagai sumber lemak alternatif. Medium chain triglycerides memberi lebih banyak keton per kalori energi dibandingkan LCT, diserap lebih efisien, dan dibawa langsung ke hati. Potensi ketogenik yang lebih tinggi ini memicu lemak total yang diperlukan di dalam diet menjadi lebih rendah sehingga lebih banyak karbohidrat
dan protein yang dikonsumsi. Diet MCT tradisional mengandung sekitar 75% kalori dari lemak, yaitu 45-55% kalori dari MCT dan 21-25% kalori dari LCT. Minyak MCT atau Liquigen, suatu emulsi MCT 55% dalam air, bisa dipakai sebagai
sumber MCT.
- Diet ketogenik rekayasa atau diet Atkins rekayasa
Diet ini memperbolehkan asupan protein yang bebas, karbohidrat yang rendah, dan lemak yang bebas (sekitar 75% kalori harian). Diet ini sering dipakai
pada anak yang lebih besar dan remaja yang tidak menyukai diet ketogenik klasik atau diet MCT.
- Diet low glycaemic index treatment (LGIT)
Diet ini diciptakan untuk membatasi peningkatan kadar glukosa darah postprandial dengan membatasi jumlah karbohidrat hingga 10% kalori total dan hanya memakai karbohidrat dengan indeks glikemik rendah (GI) <50. Sebanyak 60%
kalori berasal dari lemak dan 30% dari protein.
penerapan pemakaian diet ketogenik pemakaian diet ketogenik tetap memakai prinsip asuhan nutrisi pediatrik yang terdiri dari 5 langkah, yaitu assessment (penilaian), penentuan kebutuhan, penentuan cara pemberian, penentuan jenis makanan, pemantauan evaluasi. Implementasi
diet ketogenik memerlukan tim multidisipliner yang meliputi dietisian yang terampil dalam memakai diet ketogenik, dokter anak, perawat yang berpengalaman. Timini mampu memberi saran dan mendampingi keluarga saat keluarga memperoleh masalah yang dipicu atau dieksaserbasi oleh diet. Diet ketogenik bisa dilakukan dengan rawat jalan, namun hanya jika dietisian/dokter bisa dihubungi oleh keluarga secara teratur untuk memberi dukungan. Hal
ini perlu dilakukan setiap hari dalam beberapa minggu pertama. Jika diet sudah bisa dilakukan, keluarga memerlukan dukungan berkelanjutan untuk memantau dan membuat penyesuaian diet. Beberapa senter memulai diet ketogenik dengan rawat inap. Bayi harus memulai diet di rumah sakit sebab mereka memerlukan pemantauan yang ketat.
-- sebelum pengobatan diet ketogenik yaitu memastikan bahwa analisa epilepsi sudah dilakukan dan beragam pengobatan yang sesuai sudah dilakukan, namun belum ada perbaikan gejala. Pemeriksaan mediis dan penunjang diperlukan sebelum memulai diet ketogenik terutama untuk mengabaikan kondisi yang menjadi kontraindikasi pemakaian diet ketogenik,
makanan selama 3-4 hari penting untuk menilai kesesuaian pengobatan diet ketogenik dan menunjukan pilihan makanan dan pola makan anak. ini dipakai dalam menentukan diet yang paling sesuai untuk anak dan membuat rencana makanan. Penentuan kebutuhan Kebutuhan kalori ditentukan berdasar berat badan ideal dikalikan requirement daily allowances (RDA) menurut usia tinggi, Berat badan ideal yaitu berat badan menurut tinggi badan pada P50 atau z-score 0 berdasar grafik pertumbuhan yang dipakai ,
--. Penentuan cara pemberian dan jenis makanan
Diet ketogenik bisa diberikan secara oral atau enteral. Makanan biasa yang memenuhi prinsip diet ketogenik diberikan per-oral, sedang formula khusus (Ketocal) bisa diberikan per-oral ataupun enteral. makanan selama 3 - 4 hari akan memberi gambaran mengenai jenis diet ketogenik yang akan dipakai , namun pilihan anak dan keluarga, rasa, kemudahan pemakaian juga harus dipikirkan , diet ketogenik klasik yang lebih mudah diterapkan pada praktek di negara kita . Perhitungan diet ketogenik berdasar kebutuhan energi, kebutuhan protein, dan rasio lemak dengan karbohidrat dan protein [contoh 4:1 = 4g lemak : 1g (protein + karbohidrat)]. Kebutuhan energi dihitung berdasar penentuan
kebutuhan kalori harian, sedang kebutuhan protein diberikan 1,0 - 1,2 g/kg/hari. Pada
diet ketogenik klasik, masing-masing makanan dan selingan harus memiliki rasio ketogenik yang tepat. saat anak dalam kondisi sakit, seperti batuk/nyeri tenggorokan dan tidak mau menghabiskan makanan bisa diberikan formula medis khusus untuk diet ketogenik, yaitu Ketocal 3:1 atau Ketocal 4:1. Hal yang harus diperhatikan yaitu jarang sekali memulai diet ketogenik dengan konsentrasi 4:1, sebab diet ini harus dilaksanakan di rumah sakit dengan hati-hati.
jika diet ketogenik dilakukan di rumah dan ditingkatkan menjadi 3:1 atau 4:1 selama
beberapa hari atau minggu tergantung toleransi anak dan pengendalian kejang pada tiap
tahap. Rasio diet bisa ditingkatkan lebih bertahap pada pasien yang mengalami masalah toleransi terhadap jumlah lemak yang dipakai , contoh rasio 2:1 menjadi 2,5:1 menjadi 3:1, dan sebagainya. Jika kejang bisa terkendali dengan baik pada rasio yang rendah, maka tidak perlu meningkatkan rasio menjadi 4:1. Semua obat yang dikonsumsi harus mengandung rendah karbohidrat sebab ekstra karbohidrat bisa mempengaruhi ketosis dan memicu kejang menjadi lebih sulit untuk dikendalikan , sehingga kandungan karbohidrat di dalam seluruh obat yang dipakai harus dihitung dan dipikirkan
jika dipakai, Selama pengobatan diet ketogenik, anak disarankan untuk mengkonsumsi cairan
sesuai dengan kebutuhannya. Diet ketogenik memerlukan suplementasi vitamin dan mineral, tapis uplementasi ini harus dalam bentuk bebas karbohidrat. Dosis suplementasi disesuaikan untuk setiap pasien agar bisa memenuhi kebutuhannya , asupan seluruh vitamin dan mineral harus dipantau ketat untuk memastikan kecukupan nutrisi. Pemantauan dan evaluasi Pada kebanyakan masalah , diet ketogenik diberikan selama 3 bulan. Sesudah itu dilakukan riset ulang bersama keluarga untuk memutuskan apakah diet ketogenik diteruskan atau dihentikan. Diet ketogenik bisa dihentikan jika tidak ada perbaikan kejang selama 3
bulan. Jika ada penurunan frekuensi kejang, obat anti-epilepsi bisa dipikirkan untuk diturunkan sesudah 3 - 6 bulan. Beberapa faktor bisa memicu diet ketogenik tidak bisa diteruskan , seperti anak dan keluarga kesulitan untuk menerapkan diet dan ingin menghentikan diet, diet tidak efektif dalam mengendalikan kejang, efek
samping yang muncul lebih besar dibandingkan manfaat, seperti gangguan pertumbuhan, ataupun tidak patuh dalam melaksanakan diet. Diet diteruskan selama 2 tahun untuk menentukan efektivitas terapi. Pada masalah glucose transporter -1 (GLUT-1) deficiency dan pyruvate dehydrogenase deficiency, diet ketogenik bisa dipakai dalam jangka waktu lama tergantung tanggapan pasien . Penghentian diet ketogenik dilakukan bertahap dengan cara menurunkan rasio selama 2 - 3 bulan.Pemantauan dilakukan secara berkala untuk menentukan efektivitas diet dan memutuskan untuk meneruskan atau menghentikan obat. Hal-hal yang harus dipantau
saat pasien checkup yaitu :
- Pemeriksaan keton urin: tes dipstik dipakai untuk mengukur kadar asetoasetat.
Target kadar asetoasetat urin yaitu 4 - 16 mmol/L
- Pemeriksaan keton darah: alat pemantau keton darah bisa dipakai untuk mengukur kadar β-hidroksibutirat darah. Metode ini lebih mudah dan akurat dibandingkan pemeriksaan keton urin. Target minimal kadar β-hidroksibutirat
darah yaitu 2 mmol/L, meski checkup kejang lebih optimal jika kadar β-hidroksibutirat darah yaitu 4 mmol/L atau lebih
- Hiperketosis atau asidosis harus dipantau ketat jika kadar keton darah >5 mmol/L atau keton urin >16 mmol/L ,
- Kejang berdasar harian kejang, seperti frekuensi dan tipe kejang sebelum dan selama diet
- Keton darah atau urin yang diukur pada pagi hari sebelum sarapan dan sebelum tidur. Pemeriksaan ini memberi indikasi kepatuhan diet dan memastikan bahwa kadar keton tidak terlalu tinggi. jika diet sudah bisa dilakukan dengan baik dan
teratur, maka pemeriksaan keton bisa dilakukan lebih jarang.
- Skrining laboratorium dilakukan sebelum memulai diet, 3 bulan dan 6 bulan sesudah
menjalankan diet, dan tiap 6 bulan sesudah nya
- Efek samping yang muncul selama pemakaian diet ketogenik,
- Pertumbuhan dengan mengukur berat badan , TB, lingkar kepala pada anak < 2 tahun, dan mem-plot hasil pengukuran pada grafik pertumbuhan. Pengukuran dilakukan tiap minggu atau tiap 2 minggu untuk menilai kecukupan energi. Tinggi badan harus diukur pada saat memulai diet dan dipantau setiap kali pasien checkup
- Penilaian nutrisi oleh dietisian untuk memastikan bahwa diet mengandung nutrisi yang kuat berdasar harian makanan
- Obat-obatan, seperti obat anti-epilepsi yang masih dikonsumsi dan kemungkinan untuk menghentikan obat anti-epilepsi
Pelayanan paliatif
penanganan anak dengan kanker terutama ditujukan hanya dari segi pengobatan , seperti kemoterapi, radioterapi, pembedahan. Banyak anak saat pengobatan kanker dan pada akhir hayatnya meninggal dengan nyeri, sesak nafas, dan lain-lain. ini bisa dipicu sebab ketidaktahuan tenaga medis mengenai penanganan gejala atau orangtua yang tidak mengenali gejala. Pelayanan paliatif yaitu pendekatan yang meningkatkan kualitas hidup pasien terutama bagi mereka yang menghadapi masalah penyakit penyakit kronik dan
mengancam hidup. Pada pelayanan paliatif, diutamakan pencegahan terhadap terjadinya
penderitaan yang dimunculkan oleh penyakit dasarnya, termasuk penanganan nyeri,
dukungan fisik, psikologis, spiritual. Pelayanan paliatif memerlukan keikutsertaan dalam bentuk tim.Badan Kesehatan Dunia [World Health Organization (WHO)] menetapkan bahwa penanganan paliatif pada anak dengan keganasan meningkatkan kualitas hidup pasien, Penanganan paliatif anak yaitu penanganan aktif untuk meningkatkan kualitas hidup anak yang menderita penyakit yang mengancam hidup, dengan cara meredakan masalah fisik, sosial, emosi, spiritual.
Penanganan harus dimulai segera sesudah analisa dilakukan dan berlanjut ,
tanpa melihat pasien sedang dalam pengobatan atau tidak. penanganan paliatif yang dilakukan bersama dengan pengobatan penyakit dasar
yaitu kesatuan yang terintegrasi sepanjang perjalanan penyakit pasien ini .Penelitian di bidang onkologi anak terutama ditujukan untuk meningkatkan Kematian dengan menurunkan angka kematian. Dengan Kematian yang meningkat, perhatian beralih pada efek toksik kemoterapi. Data mengenai outcome pelayanan paliatif anak dengan kanker sedikit, terutama penelitian untuk menentukan gejalagejala yang bisa mempengaruhi kualitas hidup. cara pengembangan pelayanan paliatif anak dengan kanker harus dimulai dengan menentukan angka kejadian gejala yang sering dialami anak saat menjalani kemoterapi atau radioterapi atau gejala pada saat kanker sudah tidak mungkin disembuhkan. dengan pengendalian gejala dan perhatian, baik tenaga medis atau keluarga, bisa mengurangi penderitaan anak dengan kanker. Kunci utama yaitu komunikasi yang terus-menerus . Hasil akhir dari memperbaki komunikasi yaitu kualitas hidup anak dengan kanker menjadi lebih baik, begitu pula terhadap keluarga. Prinsip dasar pada pelayanan paliatif anak: Informasi dan pengambil keputusan, Dukungan pada keluarga, Konsultasi para pakar, Pelayanan yang terkoordinasi, Kualitas pelayanan, ada anak yang meninggal dengan pemicu yang beragam. Apapun pemicu nya, kejadian ini membuat depresi dan kehilangan yang luar biasa bagi keluarga atau komunitas di sekitarnya. ini menyadarkan beberapa tenaga medis, komunitas, dan tenaga nonmedis lainnya untuk memberi
dukungan bagi keluarga yang memiliki anak dengan penyakit kronik atau sulit disembuhkan, termasuk kanker, untuk menghadapi situasi yang sulit ini. Pelayanan paliatif pada anak dengan kanker yaitu pelayanan multidisiplin yang mengikutsertakan dokter, perawat, psikiater, psikolog, pemuka agama, relawan, sedang dari pihak keluarga, Evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan paliatif bagi saudara kandung, Setiap anak ditambah keluarganya memperoleh dukungan yang luas dari hospice yang
ditangani oleh tenaga fulltimer yang berdedikasi. , mereka juga melakukan kunjungan rumah. ada sembilan hospice yang melayani 100 anak rawat
jalan. Pengembangan terus dilakukan dengan menambah hospice dan tenaga sebab pada pelayanan dengan sistem hospice, biaya bisa ditekan jika dibandingkan pelayanan di rumah sakit.Pelayanan paliatif biasanya belum dilaksanakan secara sempurna . Beberapa pasien dan rumah sakit sudah menjalankannya, terutama pada pasien kanker. Terselenggaranya pelayanan paliatif yang terpadu dalam pengobatan kanker di setiap jenjang pelayanan kesehatan di negara kita untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) yaitu penyakit autoimun yang terjadi sebab produksi auto-antibodi terhadap komponen sel tubuh sendiri, dengan dampak klinis yang luas pada beberapa organ tubuh, ditandai oleh inflamasi
pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat kronik dan episodik, sehingga pasien mengalami eksaserbasi atau remisi.Lupus Eritematosus Sistemik pada anak berdampak yang kompleks dan mengikutsertakan beragam organ. keikutsertaan neuropsikiatrik terjadi pada dua pertiga pasien LES anak dan biasanya muncul pada tahun pertama sesudah terdeteksi . keikutsertaan neuropsikiatrik yaitu pemicu utama kedua morbiditas dan mortalitas pada pasien. dampak kelainan neuropsikiatrik yang tersering yaitu nyeri kepala. Kelainan lain
yang bisa muncul pada pasien berwujud penurunan konsentrasi, psikosis, kejang, mielitis, vaskulitis sistem saraf pusat, stroke.Dalam menangani anak dengan LES, memantau kondisi fisik juga psikologis pada pasien. Anak dengan LES berisiko mengalami masalah psikologis sebab beragam faktor, termasuk diantaranya perawatan berulang di rumah sakit, kunjungan ke dokter yang sering, pemeriksaan laboratorium berkala, dan terbatasnya aktivitas keseharian mereka, yang mempengaruhi kondisi psikologis pasien.Kerusakan yang dipicu oleh LES terhadap kesehatan pengidap secara fisik bersifat seusia hidup dan kebanyakan pasien LES memerlukan terapi imunosupresan
jangka panjang. walau angka kelangsungan hidup pasien LES sudah mengalami perbaikan dalam dekade terakhir, namun keikutsertaan neuropsikiatrik ini masih menjadi suatu permasalahan. Pengobatan yang diberikan juga berefek samping dan mempengaruhi penampilan fisik pasien. diperlukan perhatian khusus terhadap keikutsertaan neuropsikiatrik, penanganan masalah psikologis, efek samping akibat pengobatan pada pasien LES anak.
Sekitar 15-28% masalah LES terdeteksi saat dua dekade pertama kehidupan.masalah LES
anak biasanya terjadi pada wanita yang sudah melalui masa pubertas, dengan usia
rata-rata awitan 12 tahun. Sebelum pubertas, rasio laki-laki:wanita yaitu 1:3, namun sesudah usia pubertas meningkat menjadi 1:9. Perbedaan etnis juga mempengaruhi insidensi penyakit ini, angka kejadian LES sebelum usia 19 tahun yaitu 6-19 masalah per 100.000 pada populasi wanita kulit putih namun lebih tinggi pada etnis Afrika
Amerika yang mencapai 20-40 masalah per 100.000. Angka kejadian LES juga lebih tinggi
pada etnis Hispanik dan Asia.Perkiraan prevalensi neuropsikiatrik lupus eritematosus sistemik (NPLES) pada anak berkisar antara 22-85%. Penelitian retrospektif NPLES pada 285 anak-anak di Cina menandakan 13% pasien berdampak klinis NPLES pada saat analisa dan angka ini meningkat menjadi 19% dalam kurun waktu 1 tahun.Angka mortalitas dalam penelitian ini yaitu sebesar 55% pada anak dengan NPLES dan 18% pada mereka yang tidak memiliki NPLES. Penelitian pada 356 pasien LES anak di ameriks selama 4 tahun mengonfirmasi morbiditas dan kerusakan organ kumulatif yang terkait NPLES dengan angka mortalitas sebesar 4%, bahwa prevalensi neuropsikiatrik lupus pada anak dengan lupus eritematosus sitemik di RS yaitu sebesar 12%. Pada penelitian ini diperoleh kenaikan titer anti-dsDNA pada semua pasien. Neuropsikiatrik Lupus Eritematosus Sistemik (NPLES) yaitu suatu kelainan pada sistem saraf pusat, perifer, dan atau saraf otonom, dan sindrom psikiatrik yang ditemukan pada pasien LES sesudah pemicu -pemicu lain diabaikan .
NPLES cukup kompleks, terkait dengan vaskulitis, trombosis, dan adanya autoantibodi.
dan patofisiologi LES, Etiologi NPLES yaitu multifaktorial dan mengikutsertakan autoantibodi, mikroangiopati, produksi sitokin proinflamasi intratekal dan aterosklerosis dini. riset histopatologis postmortem mengungkapkan beragam kelainan otak yang dipicu sebab mikroinfark multifokal, atrofi korteks, infark luas, perdarahan, dan demielinasi iskemik pada pasien
dengan LES.Mikrovaskulopati yang sebelumnya dikaitkan dengan deposisi kompleks imun saat
ini diduga muncul sebab aktivasi komplemen, dan yaitu mikroskopik biasa pada LES. Konsisten dengan perubahan pembuluh darah kecil ini, riset spektroskopi single-photon emission computed tomography (SPECT) dan magnetic resonance (MR) menandakan atrofi serebral dan disfungsi kognitif pada pasien LES berkaitan dengan iskemia serebral yang difus dan kronis. namun , gambaran pencitraan ini tidak khusus sebab pasien tanpa dampak NPLES yang jelas juga menunjukkan perubahan ini dan gambaran otak bisa saja normal pada pasien dengan dampak NPLES. Informasi pencitraan otak ini menandakan terjadinya perubahan neurofisiologi otak tidak selalu ditambah perubahan secara neuroanatomi.
Integritas sawar darah-otak penting dalam neuropatologi LES.Proses yang memicu disfungsi otak pada LES mungkin mengikutsertakan interaksi tidaknormal sel darah putih endotel yang memungkinkan protein atau sel masuk ke sistem saraf pusat (SSP). Sel endotel vaskuler bisa distimulasi oleh sitokin proinflamasi atau autoantibodi yang mengatur ekspresi protein adhesi di permukaannya yang memfasilitasi masuknya limfosit ke dalam SSP. Kadar intercellular adhesion molecule 1 (ICAM-1) serum meningkat sesuai aktivitas penyakit sistemik pada pasien LES dan kembali ke kadar normal saat remisi. Kerusakan sawar darah-otak juga yaitu faktor risiko gangguan psikiatrik akibat kortikosteroid pada pasien LES. Beberapa antibodi antineuronal diketahui terlibat dalam NPLES.
Autoantibodi patogenik ini bisa meningkatkan oklusi vaskular dan juga memicu gangguan pada sawar darah otak. Antibodi reseptor glutamat anti-NR2, antibodi reseptor anti-N-metil-D-aspartat, dan antibodi P anti-ribosomal sudah diidentifikasi pada serum dan atau liquor serebrospinalis pasien dengan NPLES. Salah satu autoantibodi yang paling sering diteliti yaitu antiphospholipid antibodies(aPL) yaitu suatu autoantibodi heterogen yang terkait dengan trombosis dan
beragam dampak neurologis pada pasien dengan atau tanpa LES.berkaitan dengan disfungsi kognitif pada pasien LES. Defisit memori verbal, penurunan kemampuan psikomotor, dan penurunan kemampuan kognitif secara menonjol berkaitan dengan peningkatan kadar aPL pada pasien LES.riset longitudinal mengevaluasi hubungan antara kadar aPL yang diperoleh secara serial dan disfungsi kognitif pada pasien LES.riset menandakan disfungsi kognitif secara menonjol terkait dengan aPL yang positif.
bahwa pasien LES dengan kadar IgG anticardiolipin (aCL) yang terus meningkat selama periode 2-3 tahun secara menonjol memiliki kapasitas neuropsikologis lebih buruk dibanding pasien LES dengan kadar IgG aCL yang kadang meningkat atau tidak pernah meningkat.Penurunan kapasitas neuropsikologis ini tidak
berkaitan dengan kadar antibodi anti-DNA atau kadar C3.. meneliti 500 pasien LES wanita selama periode 5 tahun dan menemukan bahwa peningkatan IgG aCL yang persisten berkaitan dengan penurunan kemampuan psikomotor, sedang peningkatan IgA aCL berkorelasi dengan penurunan fungsi eksekutif dan penalaran. Mereka juga tidak menemukan hubungan antara defisit kognitif dengan antibodi antiDNA.Antibodi reseptor anti-glutamat juga berperan dalam disfungsi kognitif dan kelainan
psikiatrik pada pasien LES. Subset antibodi anti-DNA lupus bereaksi silang dengan reseptor glutamat NR2 pada pasien dengan LES. Reseptor NR2 dikenali oleh antibodi anti-DNA, dan antibodi ini lalu akan memediasi apoptosis neuron.
Antibodi anti limfosit (AAL) berikatan dengan beragam macam antigen target. Antibodi ini diidentifikasi in vitro sebab kemampuannya melisiskan limfosit dan memiliki aktivitas terhadap permukaan limfosit atau komponen membran plasma. Beberapa AAL terbatas berikatan dengan limfosit, namun ada juga yang berikatan dengan
selain limfosit yaitu dengan sel neuron. Antibodi yang berikatan dengan sel neuron yaitu
antibodi anti-ribosomal P protein (anti-P), yaitu bagian dari antibodi anti limfosit. Antibodi anti-acidic ribosomal phosphoprotein/anti-ribosom (anti-P) ditemukan pada 13-25% pasien LES.
Antibodi anti limfosit yang bereaksi dengan sel neuron bisa bersifat patogenik pada NPLES. Antibodi anti-ribosomal P protein selain berikatan dengan antigen di permukaan limfosit T dan menginduksi apoptosis limfosit T, juga memiliki aktivitas antibodi terhadap sel neuron. Limfosit pasien NPLES lebih rentan mati dengan cara neglect apoptosis dibandingkan pasien bukan NPLES.menandakan limfopenia berkaitan secara bermakna dengan NPLES. bahwa limfopenia
berkaitan dengan keikutsertaan saraf dan artritis.
bahwa limfopenia berat berkaitan dengan neuropsikiatrik LES. The European Working Party on SLE mempelajari morbiditas dan mortalitas pada pasien LES selama periode 10 tahun dalam penelitian kohort 1.000 pasien, yaitu
penelitian mengenai risiko kejadian trombosis dan aPL pada LES. Penelitian mengikutsertakan
204 (20,4%) pasien dengan IgG anticardiolipin (aCL) positif, 108 (10,8%) pasien dengan
IgM aCL positif dan 94 (9,4%) dengan lupus anticoagulant (LA) positif. Trombosis yaitu
pemicu biasa kematian selama 5 tahun pemantauan dan dikaitkan dengan antiphospholipid syndrome (APS). dampak trombosis yang ditemukan dalam penelitian
ini yaitu stroke (11,8%), infark miokardium (7,4%), dan emboli paru (5,9%).Hubungan antara autoantibodi, integritas sawar darah-otak dan NPLES anak cukup kompleks. Autoantibodi bisa memasuki jaringan otak sebab ada kerusakan pada sawar darah-otak. Autoantibodi lalu memicu kerusakan saraf sehingga terjadi
gangguan plastisitas neuron dan gangguan pada sinaps, Kerusakan pada substansia alba dan substansia grisea akan berefek yang lebih serius pada pasien anak yang mana proses mielinasi pada struktur ini masih berlangsung. jika dikaitkan lebih lanjut dengan antibodi anti limfosit dan limfopenia, maka secara garis
besar patomekanisme NPLES .dampak keikutsertaan neurologis pada pasien LES anak lebih berat dibanding dengan pasien LES dewasa. Dalam riset selama 6 tahun pada pasien NPLES anak, dampak sistem saraf lebih sering terjadi dibandingkan glomerulonefritis.
Sindrom NPLES biasa dalam penelitian longitudinal ini meliputi: gangguan sistem saraf perifer (11%), psikosis (10%), stroke (10%).pusing (70%), gangguan mood (50%), disfungsi kognitif (57%), kejang (51%),kelainan konfusional (30%),
dampak psikiatrik biasa terjadi pada pasien dengan NPLES. Psikosis, gangguan mood, disfungsi kognitif, kondisi konfusi akut, gangguan kecemasan termasuk kategori NPLES, Depresi yaitu gangguan mood yang paling sering ditemukan pada anak dengan NPLES. pemicu depresi lain yang perlu dipikirkan pada anak dengan LES yaitu depresi reaktif dan depresi
yang dipicu oleh steroid. Depresi reaktif yaitu depresi yang dipicu oleh beban hidup terkait penyakit kronis yang diderita pasien dan bukan sebab kelainan neuropsikiatrik. dampak lain yang bisa ditemukan selain gangguan afektif antara lain halusinasi visual, halusinasi pendengaran, dan halusinasi taktil.Disfungsi kognitif tampak terjadi pada hingga 50% pasien NPLES anak.7-
9, Gangguan perhatian, konsentrasi, memori, dan gangguan kata bisa dilihat selama pengujian fungsi neurokognitif. Gejala-gejala ini bisa memburuk seiring waktu. Pada pasien remaja, penurunan kemampuan akademik menandakan adanya disfungsi kognitif sebab NPLES dan memerlukan evaluasi lebih lanjut. Mini-Mental State Examination (MMSE) bisa dipakai untuk mengidentifikasi adanya disfungsi kognitif pada pasien.Kejang yaitu pertanda adanya keikutsertaan pada SSP. Pasien LES dengan
gangguan serebrovaskular dan disfungsi kognitif memiliki kecenderungan kejang yang lebih besar. Dalam riset , positivitas aPL meningkatkan risiko kejang. Sebagian besar kejang, sekitar dua-pertiga yaitu berwujud kejang biasa , sedang kejang
parsial menempati posisi kedua bentuk kejang yang paling sering.Gangguan gerak yaitu dampak NPLES lain yang bisa muncul. Chorea yaitu
gangguan gerak biasa yang terkait dengan NPLES, dan mungkin bisa menjadi dampak awal NPLES.
, pasien anak dengan NPLES berisiko lebih besar mengalami kejadian trombosis, yang memberi petunjuk bahwa chorea ini terjadi sebab suatu mekanisme vaskulopati.Nyeri kepala yaitu salah satu dampak NPLES yang paling sering terjadi
pada LES anak, nyeri kepala lupus terbagi menjadi lima kategori: migrain, tension headache, cluster, nyeri kepala akibat hipertensi intrakranial
(pseudotumor cerebri), nyeri kepala nonkhusus .Nyeri kepala pada anak dengan LES bisa multifaktorial. Saat ini tidak ada tes tunggal yang bisa membedakan nyeri kepala yang dipicu oleh NPLES dari etiologi lainnya, seperti migrain idiopatik, efek samping obat, atau infeksi SSP. Pada kebanyakan masalah , nyeri kepala sebab NPLES ini akan terkait dengan dampak NPLES lainnya. Pada masalah nyeri kepala yang hebat
atau baru muncul, pasien harus dievaluasi secara menyeluruh dengan pencitraan otak, dan juga pemeriksaan liquor serebrospinal. keikutsertaan neuropsikiatrik pada pasien LES anak bisa mempengaruhi kemampuan prestasi akademik dan kualitas hidup secara keseluruhan.
dampak psikiatrik akibat steroid Kortikosteroid yaitu obat yang banyak dipakai dan efektif untuk LES. , kortikosteroid ini kadang bisa memicu efek samping psikiatrik pada pasien. Mekanisme patofisiologis yang memicu gejala psikiatrik yang terkait dengan pengobatan kortikosteroid masih belum jelas. Spekulasi mengenai mekanisme ini termasuk efek kortikosteroid pada sistem dopaminergik dan kolinergik, penurunan pelepasan serotonin, efek toksik pada neuron hipokampus atau di area otak lainnya.
dampak psikiatrik, gejala dan sindrom yang terkait dengan pengobatan kortikosteroid meliputi gangguan mood (depresi, hipomanik, manik, mixed state), gangguan kognitif terisolasi (gangguan perhatian, konsentrasi, memori, kesulitan pemakaian kata), kecemasan, gangguan panik, delirium, pemikiran, sikap bunuh diri dalam konteks gangguan afektif atau delirium, sikap agresif, insomnia, agitasi, depersonalisasi,
, Istilah psikosis diterapkan pada banyak dampak klinis ini, tanpa membedakan antara manik, depresi psikotik, ataupun delirium.Defisit kognitif akibat kortikosteroid tanpa gejala psikotik biasanya mengikutsertakan ingatan deklaratif atau verbal.Defisit kognitif dan gangguan mood yang reversibel sudah tampak pada subyek checkup yang sehat sesudah pemberian prednison, deksametason, dan kortisol. pemberian prednison 0,5 mg/kg/hari pada pasien LES dengan gejala ringan yang tidak memperoleh kortikosteroid ( selama 6 bulan) memberi efek menguntungkan pada aspek kognitif, mood, dan gejala-gejala LES.angka kejadian rata-rata dampak psikiatrik berat sebesar 7% berdasar 13 penelitian yang mengikutsertakan 3.585 pasien yang diobati dengan kortikosteroid. bahwa gejala hipomanik atau manik yaitu efek samping psikiatrik biasa akibat pengobatan kortikosteroid. riset bahwa risiko depresi meningkat dengan paparan kortikoteroid jangka panjang.69 Pasien yang mengalami depresi akibat kortikosteroid selama satu kali pengobatan mungkin akan mengalami episode manik di waktu lainnya.. episode psikosis akut yang memenuhi syarat DSMIV pada 17% (89/520) pasien LES yang diikuti selama 4-8,8 tahun. Psikosis akibat
kortikosteroid diperoleh sebesar 36% (28/89) dari seluruh masalah psikosis yang muncul,
dan 10 diantaranya (36%) memiliki lebih dari satu episode psikotik.Tidak ada tes analisa tunggal yang peka dan khusus untuk dampak NPLES.
Penilaian pasien berdasar evaluasi neurologis, uji imunoserologis, pencitraan otak, penilaian psikiatrik, penilaian neuropsikologis. pemeriksaan ini dipakai untuk mendukung analisa klinis, eksklusi kemungkinan lain, yaitu dasar bagi pemantauan klinis secara jangka panjang atau tanggapan terhadap pengobatan. Pendekatan analisa terhadap pasien dengan kemungkinan dampak NPLES yaitu dengan menentukan apakah sindrom klinis yang muncul memang benar dipicu oleh disfungsi organ akibat LES, atau justru dipicu sebab faktor lain seperti infeksi, efek samping pengobatan, atau kelainan metabolik. kondisi infeksi bisa memicu kelainan SSP pada pasien LES, sehingga penting untuk mengabaikan pemicu infeksi sebelum melakukan analisa NPLES.Pemeriksaan Pencitraan otak berguna untuk mengidentifikasi NPLES, dan penting untuk
mengabaikan analisa alternatif seperti infeksi dan keganasan pada SSP. Penelitian pada pasien dewasa menandakan sekitar dua pertiga pasien dengan NPLES, menunjukkan kelainan pada hasil MRI otak. bahwa penurunan volume serebral
dan corpus callosum pada pasien LES dewasa berkaitan dengan durasi penyakit, kerusakan kognitif, dampak SSP lainnya, tidak berkaitan dengan jumlah total kortikosteroid atau adanya aPL.52 Gejala neurologis fokal dan gejala neuropsikologis pada stroke yang terkait LES berkorelasi dengan kelainan struktural yang ditemukan dari hasil MRI. Dengan memakai MRI, sebagian besar (40-80%) kelainan pada NPLES
yaitu lesi fokal kecil-kecil yang terkonsentrasi pada area substansia alba periventrikular
dan subkortikal. Atrofi kortikal, dilatasi ventrikel, dan infark yang luas dan difus pada substansia alba juga bisa ditemukan.Sebagian besar gambaran MRI pada NPLES yaitu akibat keikutsertaan pembuluh darah kecil, dan menunjukkan lesi penyangatan (high-signal intensity) yang kecil, multifokal, bilateral yang memberi kesan suatu vaskulitis pada pembuluh darah kecil. Dibandingkan dengan MRI, computed tomography (CT) lebih bernilai dalam menggambarkan perubahan akut akibat stroke hemoragik, pseudotumor cerebri, atau trombosis vena. Magnetic resonance angiogram (MRA) juga berguna untuk melihat adanya vaskulitis pembuluh darah besar, hasil pencitraan bisa memberi gambaran yang normal, maka tidak
adanya lesi pada MRI atau CT tidak sepenuhnya mengabaikan NPLES.Analisa visual fluorodeoxyglucose-positron emission tomography (FDG-PET) secara konsisten menunjukkan ketidaknormalan pada area prefrontal, parietal inferior dan superior, parieto-oksipital, posterior temporal, oksipital substansia grisea, substansia alba pada kondisi NPLES yang aktif atau tidak aktif. ketidaknormalan pada
area prefrontal, anterior cingulate, substansia alba parietal inferior terlihat pada tahap akut NPLES namun tidak pada NPLES yang tenang. Sekitar 60-80% pasien dengan NPLES aktif akan menunjukkan gambaran hipometabolisme berdasar pemeriksaan FDG-PET pada area substansia alba parieto-oksipital bilateral, yang pada pemeriksaan MRI konvensional menunjukkan hasil normal. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) bisa menunjukkan ketidaknormalan neurometabolik pada substansia alba dan grisea yang terlihat normal pada pemeriksaan MRI konvensional. ini menandakan adanya cedera neuronal atau
demielinasi yang terjadi pada episode NPLES yang aktif atau yang tidak aktif.
Pemeriksaan Magnetization Transfer Imaging (MTI) yaitu metode MRI yang memberi informasi yang lebih peka dibanding MRI konvensional dalam mendeteksi NPLSE dan mampu mendeteksi
kelainan otak pada pasien dengan riwayat NPLES tanpa gejala aktif neuropsikiatrik saat
pemeriksaan dilakukan.Single-photon emission CT (SPECT) memberi gambaran aliran darah otak dan menunjukkan area yang mengalami penurunan perfusi atau hilangnya fungsi parenkim otak. Penelitian pada anak menandakan sebagian besar anak dengan LES yang berdampak neuropsikiatrik juga memiliki hasil pemindaian SPECT yang tidaknormal , bahkan saat hasil CT Scan, MRI, EEG, liquor serebrospinalis
memberi gambaran yang normal. pada pasien yang mengalami kelainan, lesi yang ditemukan pada pemindaian SPECT meluas sampai ke area yang tampak normal pada MRI. Pemeriksaan SPECT belum dipakai secara rutin untuk evaluasi NPLES namun akan menjadi alat analisa,
Permasalahan psikologis disebabkan pasien LES anak sebagian besar yaitu remaja wanita , menangani permasalahan yang muncul pada masa remaja menjadi penting sehingga remaja
dengan penyakit ini bisa menentukan pilihan-pilihan yang tepat. Pemicu stress dan
komorbiditas perlu dikelola dengan sebaik-baiknya. Pada masa usia remaja, anak akan mengeksplorasi kebebasan mereka, mulai mempelajari keterampilan hidup, dan mulai
terlibat dalam pemecahan masalah. Mereka biasanya memasuki sekolah lanjutan tingkat menengah dan tingkat atas, yang pergaulan sehari-harinya dipengaruhi oleh penampilan fisik.
Selain permasalahan kronisitas penyakit, remaja yang menderita LES biasanya memiliki permasalahan di sekolah, Efek samping pengobatan menambah permasalahan pada anak dengan LES sebab mereka akan memperoleh terapi kortikosteroid sistemik dosis tinggi yang memicu penambahan berat badan, jerawat, maka , tidak mengherankan bahwa banyak remaja dengan LES tidak patuh dengan pengobatan, Perjalanan penyakit LES yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan pemantauan ketat akan aktivitas penyakitnya. Langkah evaluasi penyakit berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi. Beberapa indeks untuk menilai aktivitas penyakit LES antara lain British Isles Lupus Assessment Group (BILAG) dan Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI) yang bisa diadaptasi untuk pemakaian pasian anak LES. menyarankan pemakaian The Children s Depression Inventory (CDI) dan Multidimensional Anxiety Scale for Children (MASC) yang dilakukan oleh pasien LES usia remaja dan The Child Behaviour Checklist oleh keluarga untuk menilai kondisi psikologis dan kompetensi sosial pasien. bahwa pengidap LES anak memiliki kompetensi sosial keseluruhan yang lebih rendah bahkan pada saat tahap remisi dibanding checkup pada rentang usia yang sama. ini dipicu oleh pemakaian terapi kortikosteroid berkelanjutan (bahkan saat tahap remisi) yang mempengaruhi penampilan mereka,
Pengobatan khusus NPLES tergantung pada sifat dari proses yang mendasarinya, yaitu trombosis
inflamasi atau keduanya. Pada masalah dengan dasar mekanisme inflamasi yang bertanggung jawab atas dampak NPLES, bisa diberikan pengobatan dengan kortikosteroid tunggal atau dikombinasikan dengan imunosupresan lainnya, seperti siklofosfamid, azatioprin atau mycophenolate mofetil (MMF), Pada masalah yang berat atau mengancam jiwa, dan masalah yang refrakter terhadap pengobatan lain, bisa
dilakukan plasma exchange, pemberian immunoglobulin intravena atau rituximab.
pada kebanyakan sindrom NPLES, selain pengobatan dengan terapi imunomodulasi juga diperlukan terapi simptomatik. 90% pasien LES memperoleh pengobatan kortikosteroid. Kortikosteroid yaitu satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk pengobatan LES, dengan efek samping (hiperlipidemia, diabetes, hipertensi, osteopenia). Kortikosteroid juga memiliki sumbangan terhadap morbiditas jangka panjang pada pasien LES.Terapi antiplatelet dan atau terapi antikoagulan bisa diberikan untuk pasien NPLES dengan dampak trombosis. Indikasi pemberian antikoagulan ini terutama yaitu
trombosis arterial yang berdampak sebagai stroke atau serangan iskemik transien pada
sindrom antifosfolipid. pengobatan stroke akut pada anak tidak jauh berbeda dengan stroke pada populasi dewasa. Pasien perlu dikonsultasikan dengan ahli neurologi anak dan perlu dilakukan evaluasi mengenai kebutuhan terapi trombolitik atau intervensi bedah. Aspirin harus diberikan kecuali ada kontraindikasi, Antikonvulsan bisa diberikan bersamaan dengan kortikosteroid atau imunosupresan pada pengidap NPLES dengan dampak kejang. Siklofosfosfamid atau plasma exchange, juga bisa diberikan terutama untuk masalah yang berat atau refrakter. Terapi
simptomatik dengan antipsikotik atau antidepresan bersamaan dengan imunosupresan
diberikan untuk pasien dengan dampak psikiatrik. Pasien chorea mengalami perbaikan secara bertahap dengan pemberian antagonis dopamin yang dikombinasikan dengan kortikosteroid oral. dampak chorea yang ditambah dengan hasil antibodi antifosfolipid positif menunjukkan suatu etiologi thrombosis sehingga bisa diberikan tambahan terapi antiplatelet/antikoagulan.Siklofosfamid yang diberikan secara bulanan dengan dosis (500-1000 mg/m2) intravena selama 6 bulan diteruskan dengan dosis rumatan triwulanan selama 2
tahun yaitu pilihan pengobatan imunosupresif sitotoksik dengan manfaat terapeutik yang sudah terdokumentasi untuk pengobatan NPLES yang berat dan tidak menanggapi modalitas pengobatan lainnya.siklofosfamid memberi hasil terapeutik keseluruhan yang lebih baik dibandingkan metil prednisolon jangka panjang untuk pasien LES dengan dampak neurologis
(kejang refrakter, neuropati perifer, kranial, neuritis optik).Langkah pencegahan sekunder yaitu mengurangi eksaserbasi lupus dengan
mengoptimalkan terapi, mengurangi faktor pemicu eksaserbasi seperti stress dan infeksi.
Pada pasien yang memiliki titer antibodi antifosfolipid yang tinggi, bisa dipikirkan
pemberian aspirin dan atau antikoagulan oral.5,41Setiap pasien LES anak harus ditangani secara komprehensif dengan tim multidisipliner
yang terdiri dari dokter spesialis anak sebagai kepala tim, didukung oleh perawat, fisioterapis dan terapis okupasional. Psikiater dan psikolog anak juga berperan dalam memediasi pasien anak untuk beradaptasi terhadap penyakit kronisnya,
memperbaiki komunikasi dan kesepakatan terapi antara tim dengan keluarga, dan membantu membedakan beragam dampak neuropsikiatri LES anak.Pendekatan non farmakologis berperan penting pada pasien LES dengan gangguan psikiatrik dan disfungsi kognitif. menandakan intervensi psikologis berbasis golongan ternyata bisa meningkatkan kemampuan coping pada
pasien LES. Coping yaitu usaha mengubah sikap dan kognisi pasien secara konstan untuk menangani, mengurangi, atau mentoleransi ekspektasi yang melebihi kemampuan pasien ini . Pasien yang memperoleh intervensi menunjukkan perbaikan yang menonjol dalam beragam aspek, seperti berkurangnya depresi, tingkat kecemasan atau beban mental secara keseluruhan.pendidikan pentingnya aktivitas olahraga isotonis, penanganan nyeri, dan manajemen gangguan pola tidur membantu pasien LES anak menghadapi depresi, kelelahan emosional, agar keluarga dan lingkungan pasien LES bisa memahami keterbatasan fisik dan psikologis anak terutama dalam hal menghadapi tuntutan beban akademik sekolah ataupun pergaulan sosialnya.
Endocrine Disrupting Chemicals (EDCs) diartikan sebagai suatu agen eksogen yang mengganggu sintesis, sekresi, transportasi, metabolisme, pengikatan atau eliminasi dari hormon-hormon alami yang berada dalam tubuh dan bertanggung
jawab atas proses homeostasis, reproduksi dan perkembangan, awalnya EDCs diduga beraksi melalui nuclear hormone receptors, termasuk reseptor estrogen, reseptor androgen, reseptor progresteron, reseptor tiroid, reseptor retinoid. maka diduga mekanismenya tidak sesederhana itu. EDCs beraksi selain melalui nuclear receptors juga melalui non nuclear steroid hormone receptor (contoh membran reseptor estrogen), orphan receptors, reseptor non steroid (contoh reseptor neurotransmitter seperti reseptor serotonin, reseptor dopamin, reseptor nor epinefrin), EDCs digolongkan berdasar struktur kimiawi, efek terhadap sistem endokrin, bioakumulasi dan persistensi pada lingkungan atau efek klinis yang bisa dilihat . Hingga saat ini sudah lebih dari 100 bahan kimiawi yang dibuat . Beberapa golongan molekul yang diidentifikasi sebagai senyawa pengganggu sistem endokrin
beragam , termasuk di dalamnya yaitu zat-zat kimiawi yang dipakai sebagai pelarut atau pelumas dalam industri dan produk sampingannya pestisida (methoxychlor, chlorpyrifos, dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT)), plastik (biphenol A (BPA)), plasticizers
(phthalates), fungisida (vinclozolin), (dietilstilbestrol), (polychlorinated biphenyls
(PCBs), polybrominated biphenyls (Pberat badan s), dioxin,
Masing masing pasien memiliki paparan yang unik dari beragam macam EDCs baik yang diketahui atau tidak diketahui. Perbedaan metabolisme dan komposisi tubuh akan memicu ragam terhadap waktu paruh dan persistensi dari EDCs dan degradasi dalam cairan tubuh dan jaringan. Gangguan pada tubuh manusia kemungkinan besar yaitu hasil dari paparan kronik dari beragam gabungan EDCs.
Suseptibilitas terhadap EDCs beragam tergantung polimorfisme genetik.Paparan EDCs pada pasien dewasa akan memiliki konsekuensi yang berbeda dengan paparan yang dimunculkan saat masih dalam kandungan, bayi atau masa anak. Seringkali paparan tidak segera memicu dampak klinis namun lalu berkembang saat dewasa. bahwa paparan ini jarang yang dipicu oleh komponen tunggal, sehingga banyak golongan EDCs yang sifatnya adiktif atau sinergistik. saat yang rentan yaitu masa periode kritis perkembangan yaitu saat embrio, fetus
dan bayi baru lahir. Paparan EDCs bisa melalui makanan, minuman, air, debu , tanah, kontak
langsung, Anak berkembang pesat sehingga mereka bahkan lebih rentan terhadap dosis per menit dari stressor lingkungan. Fetus dan bayi juga harus memperoleh perhatian khusus sebab
banyak zat zat kimiawi yang mungkin masuk melalui plasenta dan melalui ASI. anak rentan terhadap paparan EDC. Kondisi anak yang unik dan laju metabolisme yang lebih tinggi menempatkan mereka terhadap risiko yang lebih besar terhadap paparan EDCs. Salah satunya yaitu paparan pestisida.
Gangguan terhadap hormon tiroid akibat EDCs diduga melalui aksis hipotalamus hipofisik dan tiroid.Namun kisaran fisiologis yang luas dari Thyroid Stimulating Hormone (TSH) dan hormon tiroid perifer pada manusia memicu luasnya pengukuran antar pasien sehingga penelitian populasi menjadi sulit.Pada tingkat kelenjar tiroid , zat kimiawi bisa mengganggu aktivitas
keseluruhan dari kelenjar dengan mengganggu reseptor TSH. Fungsi dari sodium iodide
symporter (NIS) atau thyroid peroxidase (TPO) bisa terganggu oleh zat-zat kimiawi melalui
inhibisi atau stimulasi. EDCs diduga mengganggu reseptor hormon tiroid.
Gangguan terhadap ekspresi dari reseptor tiroid juga mengganggu perkembangan susunan saraf pusat. paparan pestisida pada bayi dan ibu hamil menandakan kadar organofosfat (salah satu jenis pestisida yang sering dipakai di area pertanian)
pada ibu dan bayi baru lahir di area pertanian lebih tinggi dibandingkan populasi biasanya dan bayi lebih rentan terpapar pestisida. adanya angka kejadian hipotiroid yang cukup tinggi pada anak usia sekolah di area paparan pestisida. bahwa kandungan metabolit organofosfat pada urine yang positif meningkatkan risiko hipotiroid dibandingkan dengan metabolit urine yang tidak mengandung metabolit organofosfat. pada usia balita di area paparan pestisida menandakan prosentase anak balita dengan kadar TSH di atas normal lebih tinggi di area paparan pestisida
dibandingkan area non paparan.Dampak paparan EDCs terhadap perkembangan organ reproduksi
Beberapa kondisi yang sering dikaitkan dengan EDCs antara lain yaitu kriptorkismus,
hipospadia, gangguan pubertas, kanker testis dan penurunan fertilitas. Penelitian hewan coba yang dilakukan dengan memberi paparan phthalates dalam masa kehamilan dan laktasi memicu turunnya kadar dan konsentrasi testosteron pada anaknya. Kriptorkismus (undesensus testis) yaitu masalah yang sering dikaitkan dengan
EDCs. Penurunan testis terjadi dalam dua tahap yang dikendalikan oleh Leydic cell-derived
hormones insulin-like peptide 3 (INSL3) dan testosteron. Gangguan pada produksi
androgen fetus atau supresi dari Insl3 yaitu mekanisme yang diduga memicu kriptokismus pada hewan pengerat. Zat kimiawi estrogenik diduga bisa mengganggu perkembangan organ reproduksi pada penelitian hewan coba. sedang pada manusia, paparan prenatal oleh dietilstilbestrol (DES), sebuah obat nonsteroid estrogen sintetik, dikaitkan dengan risiko terjadinya kriptorkismus.riset menduga EDCs juga berkaitan angka kejadian hipospadia. Pada ibu-ibu yang mengalami paparan EDCs dalam pekerjaannya meningkatkan faktor risiko kejadian hipospadia pada anaknya. paparan timah yang lebih tinggi berkaitan dengan keterlambatan
onset pubertas pada anak laki-laki.Dampak paparan EDCs terhadap perkembangan dan
pertumbuhan anak, riset menandakan paparan pestisida terkait pekerjaan selama ibu hamil yaitu salah satu faktor risiko terhadap gangguan perkembangan dan pertumbuhan pada anak akibat toksisitas neuron.
2
Penilaian perkembangan kemampuan motorik bayi di masa neonatus memerlukan instrumen yang valid dan reliable dan didesain untuk pemakaian longitudinal sejak periode prenatal sampai awal periode sesudah kelahiran. Para klinisi dan peneliti memerlukan instrumen yang bisa dipakai untuk menilai perkembangan
bayi dengan setting NICU, yaitu bayi dengan kondisi klinis yang masih rawan dan tidak
stabil. maka parameter utilitas klinis akan dipakai sebagai faktor utama dalam memikirkan instrumen mana yang paling cocok dipakai .
Penilaian sikap motorik di masa bayi memiliki beragam tujuan, antara lain deteksi dini disfungsi susunan saraf pusat atau otak, memprediksi luaran (outcome) jangka panjang, mengevaluasi kemajuan perkembangan secara longitudinal, dan
mengevaluasi dampak terapi.Berdasar hal ini , instrumen penilaian perkembangan bayi bisa digolongkan menjadi beberapa jenis tergantung dari tujuan penilaiannya, yaitu: Instrumen evaluatif (untuk mengevaluasi perubahan perkembangan di setiap waktu yang berbeda).
Instrumen diskriminatif (untuk membedakan perkembangan normal dan tidaknormal ),
Instrumen prediktif (untuk memprediksi beragam jenis masalah perkembangan di masa depan),
Berdasar review sistematis yang menganalisis beragam instrumen penilaian perkembangan sikap motorik bayi, ada dua metode penilaian perkembangan bayi yang memiliki nilai utilitas dan nilai psikometrik paling baik, yaitu metode
penilaian kualitas general movements (GMs) dan test of infant motor performance (TIMP).
Metode GMs yaitu instrumen terbaik dalam hal validitas prediktif, sedang TIMP terbaik dalam hal validitas evaluatif. namun , kedua metode ini
hanya bisa dipenerapan kan untuk bayi sampai berusia sekitar 3-4 bulan. maka , dibangun sebuah instrumen infant motor profile (IMP)
yang bisa dipenerapan kan untuk bayi pada usia 3-4 bulan sampai sekitar 18 bulan. IMP yaitu metode penilaian kualitatif yang terstandarisasi untuk menilai kemampuan motorik bayi. IMP dibangun pertama kali di Groningen, Belanda sebagai salah satu alternatif instrumen untuk menilai kemampuan motorik bayi. Metode IMP
bisa dipakai sebagai deteksi dini dan juga instrumen untuk mengevaluasi kemajuan
perkembangan motorik anak sesudah memperoleh intervensi atau terapi tertentu. Metode IMP memiliki dasar teori yang sama dengan metode GMs, yaitu neuronal group selection theory (NGST). Metode IMP tidak hanya akan memberi informasi mengenai pencapaian
perkembangan motorik bayi, namun juga informasi mengenai dengan cara apa dan
bagaimana bayi ini mencapai perkembangan motoriknya. Menurut teori NGST faktor genetik dan faktor lingkungan keduanya berperan penting dalam perkembangan motorik. Dalam teori NGST, perkembangan motorik normal ditandai dengan adanya 2 tahap variabilitas. tahap pertama yaitu
variabilitas primer, yaitu ragam dalam sikap motorik yang tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, melainkan berwujud aktivitas gerak spontan yang dihasilkan oleh jaringan neuronal primer yang sudah ada pada saat anak lahir. Contoh dalam ini bisa dilihat pada gerakan spontan yang dinamakan general movements (GMs), yaitu pola gerakan yang sering terjadi pada janin dan bayi muda sampai usia sekitar 4 bulan yang ditandai oleh adanya gerakan yang beragam dan kompleks. Gerakan ini bersifat spontan, tidak untuk dan tidak dipengaruhi oleh adaptasi faktor lingkungan.Sesudah bayi berusia di atas 3-4 bulan, gerakan GMs secara bertahap digantikan dengan gerakan yang untuk , contoh gerakan untuk meraih sesuatu. Pada awalnya, gerakan untuk ini ditandai dengan ragam dalam amplitudo dan kecepatan. Secara bertahap, ragam gerakan ini akan
semakin menurun dan digantikan oleh tahap kedua dalam perkembangan motorik, yaitu
variabilitas sekunder. Pada tahap ini anak mengembangkan kemampuan untuk memilih cara motorik terbaik dalam menghadapi situasi tertentu sebagai hasil adaptasi dengan lingkungannya melalui proses eksplorasi dan seleksi. Proses ini terjadi pada usia yang khusus -fungsional untuk setiap jenis kemampuan motorik anak.
pemakaian konsep NGST untuk pengembangan instrumen penilaian perkembangan motorik bayi pada usia baru lahir sampai dengan 3-4 bulan ternyata bisa diterapkan dengan baik melalui metode GMs. Dengan dasar teori yang sama IMP dibangun untuk menjadi instrumen penilaian perkembangan motorik untuk bayi berusia di atas 3 bulan. biasanya IMP bisa dipenerapan kan untuk mengevaluasi sikap motorik bayi berusia 3 bulan sampai 18 bulan, atau sampai pada usia beberapa bulan sesudah anak mampu berjalan secara mandiri. Pada anak yang mengalami beberapa jenis gangguan motorik sedang sampai berat, IMP bisa dipakai hingga di atas usia 18 bulan. Instrumen IMP memakai penilaian berdasar sebuah rekaman video
dengan durasi sekitar 15 menit. sikap motorik bayi dievaluasi pada beragam kondisi, secara berurutan: posisi berbaring, tengkurap, duduk, berdiri, berjalan. Untuk evaluasi kemampuan anak dalam hal meraih, menggenggam, dan memainkan atau memanipulasi sebuah obyek benda dilakukan dalam posisi berbaring dan posisi duduk ditopang, seperti saat sedang dipangku oleh ibu. Aktivitas sikap motorik bayi saat penilaian IMP bisa saja menunjukkan seluruhnya gerakan spontan atau gerakan yang muncul sebab ketertarikan terhadap beragam obyek yang diberikan kepadanya, Urutan beragam posisi dalam penilaian IMP tergantung pada usia bayi, kemampuan fungsional, mood dan daya
ketertarikan bayi saat diperiksa. Pada bayi usia muda, penilaian IMP biasanya dimulai dengan pengamatan sikap motorik bayi dalam posisi terlentang selama kurang lebih 6 menit. Pada bayi berusia lebih tua, penilaian biasanya dimulai pada posisi duduk, baik saat duduk di pangkuan pasien tua atau pada saat posisi duduk sendiri tanpa bantuan.Penilaian IMP terdiri dari 80 item penilaian sikap motorik yang digolongkan
dalam 5 sub-skala, yaitu antara lain:
1. Sub-skala variation : untuk menilai seberapa besar cadangan ragam gerakan motorik yang dimiliki oleh bayi. Sub-skala ini terdiri dari 25 item. Skor tidak cukup beragam diberikan bila bayi menunjukkan keterbatasan ragam gerakan dalam
melakukan sebuah kemampuan tertentu. Skor cukup beragam diberikan bila bayi menunjukkan banyak ragam gerakan yang berbeda untuk melakukan sebuah kemampuan tertentu.
2. Sub-skala kemahiran : untuk menilai kemampuan bayi atau anak dalam memilih cara motorik adaptif terbaik dari beragam ragam gerakan yang dimilikinya, yang terdiri dari 15 item. Skor tidak ada seleksi diberikan pada bayi tidak
memiliki pilihan cara gerakan tertentu dalam melakukan sebuah kemampuan tertentu, namun bayi melakukannya melalui beragam cara gerakan yang berbedabeda. Bila bayi mampu memilih salah satu cara gerakan tertentu sepanjang waktu untuk melakukan sebuah kemampuan maka diberi skor seleksi adaptif .
3. Sub-skala symmetry : terdiri dari 10 item untuk mengevaluasi ada atau tidaknya gerakan-gerakan stereotipi yang asimetris. Kesimetrisan sebuah gerakan sebetulnya yaitu salah satu bentuk khusus variabilitas gerakan, namun pada IMP
dimasukkan ke dalam sub-skala terpisah sebab kemungkinan memiliki nilai analisa khusus.
4. Sub-skala fluency : terdiri dari 7 item, untuk menilai kelancaran gerakan bayi dalam melakukan sebuah kemampuan motorik yang lebih halus. Dalam sub-skala ini termasuk dua item mengenai adanya tremor. Gerakan motorik yang tidak fluens atau tidak lancar yaitu salah satu tanda awal kondisi neurologis yang tidak
optimal,
5. Sub-skala performance : terdiri dari 23 item yaitu evaluasi pencapaian kemampuan motorik bayi. Hal ini berdefisiensi IMP tidak hanya untuk untuk mengetahui kualitas pencapaian sikap motorik saja, namun juga mengevaluasi bagaimana kemampuan ini dicapai.
Skor IMP dihitung secara terpisah untuk masing-masing sub-skala, dengan memakai rumus:
Skor total IMP dihitung dari penjumlahan skor untuk kelima sub-skala dan lalu dibagi 5. Semua skor untuk masing-masing sub-skala dan skor total dinyatakan dalam bentuk persentase dengan skor maksimum sebesar 100%. Saat ini sudah tersedia program khusus berwujud kalkulator untuk menghitung skor IMP secara otomatis. Kalkulator ini bisa diperoleh pada saat pelatihan IMP. Instrumen IMP memiliki reliabilitas intra-observer dan inter-observer yang baik untuk item seleksi adaptif pada penilaian pergerakan perut dan untuk item aktivitas motorik saat posisi duduk. Reliabilitas pergerakan lengan pada saat penilaian kemampuan meraih juga berada pada level yang baik. sedang itu, untuk pergerakan tangan saat menggenggam memiliki reliabilitas intra-observer moderat, dan reliabilitas
inter-observer yang baik
riset pertama yang mengevaluasi reliabilitas dan validitas keseluruhan (concurrent validity) IMP, dengan membanding-bandingkan nya dengan metode Alberta Infant Motor Scale (AIMS). Reliabilitas intra-observer dan inter-observer skor total IMP berada pada level yang kuat (Spearman s rho 0.9 untuk keduanya, dengan 95%CI masing-masing 0,8-0,9 dan 0,8-1,0). Validitas keseluruhan IMP terhadap AIMS tinggi untuk sub-skala performance dan moderat
untuk skor IMP total.IMP memiliki reliabilitas intra-observer dan inter-observer yang kuat untuk skor IMP total (inter: r = 0.80-0.96, intra: r = 0.85-0.97) dan sub-skala performance (r = 0.95-0.99). Untuk reliabilitas sub-skala variation , variability , dan fluency berada pada level yang cukup baik (inter: r = 0.15-0.85, intra: r = 0.30-0.92). Reliabilitas terendah diperoleh untuk
sub-skala symmetry (inter: r = 0.20-0.69, intra: r = 0.33-0.65) riset untuk menilai validitas konstruktif IMP, untuk menilai korelasi skor IMP dengan beragam kondisi prenatal, perinatal,
neonatal, dan korelasi skor IMP dengan kondisi patologis otak yang tampak pada riset imaging, dan perbedaan skor IMP pada bayi kurang-bulan dan cukup-bulan.Analisis univariat menunjukkan adanya hubungan yang menonjol skor IMP dengan status sosio-ekonomi, usia gestasi, tanda-tanda distres janin, persalinan sectio Caesaria (SC), dan skor Apgar menit ke-5. Bayi kurang-bulan memiliki skor IMP yang lebih rendah
dan memiliki rentang skor IMP yang lebih lebar dibandingkan dengan bayi cukupbulan (Mann-Whitney, P<0,001), dan tidak diperoleh perbedaan skor IMP dalam hal jenis kelamin bayi, Bayi kurang-bulan dengan lesi di otak memiliki skor
IMP lebih rendah dibandingkan yang tidak memiliki lesi di otak, pada usia 4 bulan
(P=0,002), 6 bulan (P=0,003), 10 bulan (P=0,01) dan 18 bulan (P=0,004)14. sampai saat ini belum ada informasi mengenai penerapan secara
klinis pemakaian metode IMP dalam kegiatan follow-up bayi-bayi risiko tinggi di negara kita .
Psikoneuroalergologi yaitu untuk menggambarkan bidang penelitian interdisipliner antar disiplin keilmuan alergi, psikobiologi psikologi klinis. Psikoneuroalergologi memiliki dua tujuan utama: riset mengenai hubungan dua arah antara kehidupan psikologis pasien yang memiliki predisposisi genetik, evolusi alerginya reaksi pasien terhadap gejala alergi. Pengembangan
psikoneuroalergologi yaitu hasil kerja sama dari beragam disiplin ilmu yaitu dermatologi, pneumologi, alergi,psikosomatika, psikologi, psikobiologi, Psikoneuroalergologi menerangkan peran faktor psikososial dalam evolusi penyakit alergi, contoh hubungan antara distress dan alergi pada tingkat klinis dan eksperimental, dampak alergi terhadap kehidupan psikologi dan sosial pasien, psikoterapi, psikofarmasi kepatuhan pasien terhadap saran terapeutik, Psikoneuroalergologi sebagai bagian dari
psikoneuroimunologi yaitu konsep modern pada persilangan faktor psikososial dengan faktor imunologi alergi yang mengeksplorasi hubungan yang kompleks antara sistem saraf, sistem neuroendokrin, sistem kekebalan, penyakit alergi, Psikoneuroalergologi sebagai bagian dari psikoneuroimunologi, sebab penyakit alergi
yaitu penyakit sistem kekebalan. Saat ini ada 3 alasan utama mengapa minat terhadap psikoneuroimunologi di bidang alergi (psikoneuroalergologi) menguat , yaitu :
Keinginan memahami fenomena persepsi pasien
dengan predisposisi penyakit alergi.Psikoneuroalergologi menerangkan bagaimana
fenomena subjektif - contoh sebagai persepsi dan pengalaman pribadi, emosi negatif yang tidak terselesaikan (contoh kemarahan, rasa bersalah), kondisi psikologis, konflik internal, sifat kepribadian, sikap emosional dan penanganan - bisa dikaitkan dengan predisposisi penyakit dan prognosis, Keinginan memahami hubungan antara stres dengan penyakitalergi. Psikoneuroalergologi menyediakan landasan untuk memahami bagaimana paparan stres dan stresor mungkin relevan dengan onset dan
perkembangan penyakit klinis,
Keinginan mempelajari intervensi pikiran untuk
penyembuhan penyakit. Jalur neuro-imunomodulator yaitu jalur psikoneuroimunologi
alergi (psikoneuroalergologi) memodulasi sistem kekebalan melalui jaringan saraf memberi penjelasan yang kuat mengenai berapa banyak pendekatan pelengkap yang benar-benar bisa bekerja dan bagaimana membuatnya menjadi lebih efektif pada basis yang bisa diprediksi dan bisa direproduksi. Psikoneuroimunologi alergi (psikoneuroalergologi) menandakan hampir
semua pertahanan tubuh berada di bawah kendali sistem saraf pusat (SSP). Ada aspek psikologis yang menonjol pada pengaruh sentral ini. Setiap nilai, keyakinan, pemikiran atau gagasan yang dipegang secara pribadi, semua yang kita pelajari dan perhatikan, bisa memiliki konsekuensi neuro-kimia jarak jauh pada tingkat sel (efek perifer), Sebagai ilmu pengetahuan, psikoneuroimunologi alergi (psikoneuroalergologi) menerangkan
bagaimana perubahan yang relatif kecil yang terjadi pada tingkat pusat yang tinggi bisa
mengalir ke bawah untuk menciptakan efek yang beragam dan meluas di perifer. Efek perifer pada penyakit alergi dan hubungannya dengan stres dan subjektivitas pasien yaitu komponen yang penting untuk pertimbangan terapeutik.
Bagaimana tubuh berinteraksi dengan stres?
Stres yaitu stimulus yang membangkitkan atau menonjolkan reaksi alarm di otak (persepsi stres) dan mengaktifkan reaksi fisiologis dan biokimia preservasi pada tubuh (tanggapan stres). Ini sepenuhnya subjektif dan tiap pasien . Pandangan pasien mengenai apa yaitu stres beragam . Stres keseluruhan muncul saat pasien percaya bahwa tuntutan terhadap mereka melebihi sumber daya pribadi yang dirasakan untuk memenuhi jumlah tantangan mereka dalam jangka waktu tertentu. tanggapan stres dimulai di SSP sebagai reaksi terhadap rangsangan internal dan atau eksternal. Sistem limbik mengintegrasikan jumlah informasi sensorik yang berlebihan (109 bit per detik)
dari dunia dalam (variabel fisiologis) dan dunia luar (parameter fisik) dan menentukan program mana yang harus dilakukan hipotalamus. SSP juga berkomunikasi dengan perifer melalui sistem saraf somatik, dan menerima informasi dari saraf sensorik dan organ. Fungsi kesehatan dan fungsi jaringan juga tergantung parameter fisiologis dan
biokimia lainnya. Ada 2 pilihan utama program hipotalamus reaksi alarm atau reaksi non-alarm . Program mana yang berjalan bergantung pada keseluruhan sistem limbik kesejahteraan. Sistem limbik memberi menonjol persepsi, eksperiensial dan emosional untuk rangsangan yang masuk, sehingga tanggapan yang dihasilkannya melalui hipotalamus berperan penting dalam menentukan bagaimana fisiologi pasien bisa mencerminkan subjektivitas mereka. Efek fisiologis dan biokimia dari peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis terwujud bahkan jika ancaman eksternal tidak nyata . Stres yaitu salah satu pemicu utama dan faktor pendorong penyakit mental dan fisik. Banyak kondisi patologis dikaitkan dengan peningkatan (contoh anorexia nervosa, gangguan obsesif-kompulsif, pelecehan seksual masa kecil) atau penurunan (contoh depresi musiman, alkoholisme, rheumatoid arthritis) aktivitas sumbu limbikhipotalamus-hipofisik , Sistem limbik mengintegrasikan data fisiologis dan fisik yang
masuk dengan informasi dari korteks (mengenai interpretasi, rencana, minat, dan lainlain), dan dengan sendirinya memberi makna emosional dan pengalaman pada data dari arsipnya sendiri. Mekanisme bagaimana tanggapan fisiologis pasien terhadap data sensorik yang masuk dipengaruhi oleh pengalaman subyektif. Sistem limbik berkaitan dengan sikap naluriah atau terkondisi (limbik) terhadap sikap sengaja yang disengaja (kortikal) - maka penting untuk memusatkan perhatian pada apa yang
sebetulnya diinginkan, Salah satu tantangan bagi sistem limbik yaitu memastikan rute apa yang harus ditempuh saat ada banyak tuntutan simultan untuk sumber daya yang terbatas. Hal
ini bisa memicu stres fisiologis yang bisa memicu dis-ekuilibrium, yang bisa memicu penyakit. Manakah dari beragam tuntutan fisiologis yang diberikan menonjol terbesar sebagian juga ditentukan oleh syarat subyektif. Subyektivitas pasien , pengalaman masa lalu, emosi negatif, kepribadian, nilai dan sistem kepercayaan penting bagi persepsi stres mereka dan maka tanggapan stres penting untuk
mengatasi faktor subyektif ini pada tingkat yang paling tinggi) untuk menghasilkan perbaikan berkelanjutan yang berdefisiensi dalam kondisi klinis atau psikologis dimana stres yaitu faktor pemicu, penambahan atau pengabaian yang menonjol .Psikoneuroalergologi dalam penerapan klinisSubjektivitas yaitu aspek psikologis penyembuhan dan kesehatan tingkat tinggi.
Pendekatan psikologis saja bisa mengembalikan pasien ke keseimbangan yang diperlukan untuk kesehatan terpadu tubuh yang berkelanjutan, Masalah psikologis mungkin sekunder akibat perubahan fisiologis (contoh penyakit jantung memicu kekhawatiran mengenai aktivitas fisik) atau faktor fisik contoh anggota tubuh yang rusak,
isyarat fisik yang terkait dengan tanggapan stres
Psikoneuroalegologi klinis terapan sudah menunjukkan hubungan antara sistem saraf, endokrin dan sistem kekebalan tubuh. Bidang psikoneuroimunologi sudah dan terus menggambarkan beragam hubungan antara sikap , fungsi neuroendokrin, tanggapan kekebalan dan kesehatan. Banyak kondisi alergi sudah lama dianggap sebagai kelainan psikosomatik yang bisa memburuk akibat pada tingkat stres psikososial yang tinggi. contoh , asma sering dinamakan pada sebagian besar buku lama sebagai asma nervosa berdasar keyakinan bahwa, pada banyak anak, ini yaitu hasil reaksi konversi dari hidup dengan ibu, Deskripsi awal dermatitis atopik memakai istilah neurodermatitis sebab kepercayaan bahwa siklus gatal dan goresan yang memicu ruam itu terkait dengan saraf dan emosi. Stres bisa dianggap sebagai proses psikofisiologis yaitu hasil penilaian
penilaian situasi tertentu untuk menilai potensi kesulitan dan kemampuan (baik dirasakan
atau aktual) untuk mengatasi situasi yang berpotensi merugikan ini , Peristiwa atau situasi yang memicu ancaman potensial dinamakan stresor. Situasi bisa menjadi pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, termasuk kerepotan sehari-hari (stres biasa dari interaksi dengan keluarga, lingkungan dan atau sekolah) dan peristiwa kehidupan utama, yang mungkin bersifat positif atau negatif. berdasar durasi, stres sering dianggap akut (menit ke jam), subakut (durasi kurang dari satu bulan) atau kronis (berbulan-bulan sampai bertahun-tahun). Hubungan antara otak dan sistem kekebalan tubuh mengikutsertakan dua jalur utama, yaitu sistim saraf otonom (ANS) dan sumbu hyphophyseal-pituitary - adrenal (HPA). Persepsi mengenai stres memicu aktivasi sistem HPA yang dimulai dengan sekresi hormon pelepas kortikotropin (CRH) yang pada gilirannya menginduksi sekresi hormon adrenocortictrophic (ACTH) oleh lobus anterior lobus hipofisik . ACTH mengaktifkan
sekresi kortikoid oleh korteks adrenal dan katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) oleh
medula adrenal. Katekolamin dan kortikoid menekan produksi IL-12 oleh sel penyaji
antigen yaitu stimulan induksi utama dari TH1.
Corticoids juga bisa memberi efek langsung pada sel TH2 sehingga meningkatkan produksi IL-4, IL-10 dan IL-13 (32). Hasil akhirnya yaitu dominasi tanggapan imun yang dimediasi sel TH2 yang mendukung tanggapan inflamasi alergi pada pasien yang rentan. Sistim saraf otonom (ANS) terdiri dari sistem simpatis (adrenergik,
noradrenergik) dan parasimpatis (kolinergik) di SSP dengan noradrenalin dan asetil kolin
sebagai neurotransmitter, dan sistem non-adrenergik, non-kolinergik (peptidergik) yang
terutama ada di saluran cerna. Peptida utama dari sistem ini yaitu peptida intestinal vasoaktif (VIP), substansi P (SP) dan peptida yang terkait gen kalsitonin (CGRP), Sebagian besar sel sistem kekebalan tubuh memiliki reseptor membran permukaan untuk beragam kombinasi neurotransmiter, neuropeptida dan hormon, SSP memformat sistem kekebalan tubuh melalui neurotransmitter [asetil kolin, noradrenalin, serotonin, histamin, asam γ-aminobutyric (GABA), asam glutamat], neuropeptida (ACTH, prolaktin, vasopresin, bradikinin, somatostatin, VIP, SP, neuropeptida Y, encephalin, endorfin), faktor pertumbuhan neurologis (neuron growth faktor [NGF]), dan hormon (adrenalin dan kortikoid). Sistem kekebalan tubuh juga bisa memodulasi fungsi SSP melalui beragam molekul termasuk sitokin (TNFα dan TGFβ), kemokin (interferon )
dan NO, Persepsi terhadap stres akut menstimulasi lokus ceruleus mengeluarkan noradrenalin. Noradrenalin mengaktifkan sistem saraf simpatik yang memicu penurunan produksi
IL-12. Neuropeptida termasuk SP, CGRP dan VIP yaitu vasodilator kuat dan juga meningkatkan permeabilitas vaskular. SP meningkatkan produksi TNFα dan IL-12 oleh monosit dan makrofag. SP dan CRH bisa meregenerasi sel mast dalam fokus inflamasi. Semua proses di atas memicu perubahan inflamasi , SP dan CGRP sudah diidentifikasi pada mukosa bronkial sebagai agen peradangan neurogenik ,
Neurokinin-1, reseptor untuk SP ada pada pembuluh bronkial, otot polos bronkus,
sel epitel, kelenjar submukosa dan sel kekebalan tubuh. Stres memberi efek pada mukosa bronkus pengidap asma Peningkatan kadar neurotropin mempengaruhi alergi pernapasan dan kulit, dengan cara mempengaruhi sel kekebalan tubuh, sel struktural (keratinosit, sel epitel) dan angiogenesis Eosinofil dan kelenjar submukosa hidung yaitu sumber neurotrophins yang mengatur kelangsungan hidup eosinofil di paru-paru, meningkatkan produksi IgE khusus dan mengubah profil sitokin terhadap dominasi TH2. ini dan yang lainnya menandakan interaksi
antara SSP dan sistem kekebalan tubuh bersifat kompleks dan dua arah.Mengatasi stres dalam penanganan penyakit alergi menyeluruh.
cara untuk manajemen stres sebagai bagian dari rencana perawatan komprehensif
harus mengikutsertakan identifikasi populasi berisiko tinggi atau, idealnya, pasien . usaha
yang saat ini dilakukan yaitu mengidentifikasi biomarker yang akan mengkategorikan pasien ke dalam kategori risiko stres psikologis untuk kepentingan program profilaksis pada pasien berisiko tertingg, dalam rangka mengurangi ketidakseimbangan imunoregulator. Metode psikologis, fisiologis, farmakologis atau beberapa kombinasi untuk memperbaiki kemampuan pasien dalam mengatasi situasi stres secara klinis
bisa menjadi inti cara intervensi untuk manajemen stres . menunjukkan efek menggembirakan dari intervensi psikologis pada penyakit alergi. ekspresif mengenai kejadian stres dikaitkan dengan pengurangan gejala pada pasien
asma. Biofeedback dan citra mental berperan positif dalam manajemen asma, bahwa terapi relaksasi berefek positif pada asma, Psikoterapi bisa mengurangi jumlah eksaserbasi asma dan kunjungan ke unit emergensi pada pasien asma yang depresi. Olahraga memiliki beragam efek pada fungsi kekebalan tubuh. Program latihan lbisa ditoleransi dengan baik pada anak dengan asma ringan sampai sedang dengan cara meningkatkan kebugaran, Program
rehabilitasi dengan latihan memperbaiki kapasitas ventilasi dan penurunan hiperpnea pada pengidap asma ringan . Namun olahraga yang berlebihan bisa memicu eksaserbasi asma yang tidak terkendali dengan baik. Intervensi farmakologis pada stres meliputi agen psikoaktif. Antidepresan trisiklik mungkin berperan terapeutik pada asma dengan menekan sitokin proinflamasi, menginduksi molekul anti-inflamasi dan mencegah efek dari molekul inflamasi ini di
otak, Populasi anak-anak dan remaja dengan asma memiliki prevalensi gangguan
kecemasan yang tinggi . Obat anxiolytic mungkin berguna dalam meningkatkan kualitas terapi pengidap asma yang memiliki gangguan kecemasan . Vitamin C dan vitamin E bisa mengurangi ketidakseimbangan imunoregulasi pada pasien yang mengalami stres,
Penyakit kardiovaskular (PKV) khususnya penyakit jantung koroner (PJK) akibat proses aterosklerosis saat ini yaitu pemicu kematian, walau aterosklerosis berdampak pada usia dewasa atau menengah, tapis udah diketahui bahwa terjadinya aterosklerosis melalui suatu perkembangan proses yang panjang dimulai sejak awal kehidupan sampai usia anak dan remaja. Pada sebagian besar anak, perubahan vaskular yaitu awal ateroskelrosis
ringan atau minimal yang bisa dikurangi atau diminimalisasi dengan gaya hidup sehat
atau diet yang sehat. namun , pada beberapa golongan anak proses ini bisa terjadi lebih cepat oleh sebab ada faktor risiko atau penyakit-penyakit tertentu. Untuk itu, identifikasi anak-anak yang memiliki faktor risko menjadi penting agar intervensi dini untuk menghambat
berlanjutnya proses aterosklerosis guna mencegah penyakit kardiovaskular dilalu
hari seperti infark miokard, stroke dan penyakit arteri perifer.Pencegahan faktor risiko kardiovaskularPada dasarnya ada tujuan utama untuk promosi kesehatan kardiovaskular
pada anak yaitu: identifikasi dan pengobatan anak dengan risiko aterosklerosis dini yang memiliki faktor risiko seperti hipertensi, kegemukan , dyslipidemia, insulin resistance, aktivitas fisik yang kurang, merokok yang dinamakan primary prevention. pencegahan berkembangnya faktor risiko aterosklerosis berdasar penilaian biasa dan terfokus pada gaya hidp sehat, beberapa bukti bahwa proses awal ateroskerosis terjadi di usia muda, usaha -usaha pencegahan PKV di usia dewasa dan apa peran penting dokter spesialis anak saat ini agar generasi muda dalam 3-4 dasawarsa lalu akan terhindar dari PKV khususnya PJK dan stroke Proses awal aterosklerosis yang dimulai sejak usia anak berwujud akumulasi fatty streak-lipidengorged macrophag (foam cells) dan T-limfosit pada tunika intima pembuluh darah arteri. lalu bisa berkembang dengan terbentuknya fatty streak atau bisa terjadi regresi. Pada berat badan eberapa pasien akumulasi lipid makin bertambah seiring dengan pertambahan waktu yang diselimuti oleh fibromuskular dan terbentuk fibrous plaque. Sesudah itu semakin lama fibrous plaque makin bertambah besar sampai terbentuk kalsifikasi, perdarahan atau ruptur dan trombosis. Terlihat bahwa pada usia dekade ke 3-4 sudah mulai terjadi penebalan tunika intima media arteri dengan dampak disfungsi endotel (endothelial dysfunction) yang sudah bisa dideteksi dengan pemeriksaan fungsi vaskular berwujud flow mediated dilation(FMD) atau dengan pemeriksaan struktur vaskular berwujud ketebalan tunika intima media (cIMT=carotid intima media thickness).ada bukti (evidence) bahwa aterosklerosis sudah terjadi sejak usia muda.
Identifikasi faktor risiko kardiovaskular pada usia muda penting dilakukan untuk mencegah komplikasi kardiovaskular pada usia dewasa. Aterosklerosis yang terjadi sejak usia muda terbukti dari hasil riset autopsi terhadap tentara AS yang terbunuh pada perang Korea, bahwa 70% pada pasien yang berusia rata-rata 28 tahun sudah mengalami aterosklerosis arteri koroner.Pada penelitian secara nasional di Jepang mennujukkan bahwa golongan usia 1
bulan sampai 39 tahun ditemukan fatty streaks di aorta pada 28% anak < 1 tahun dan 3% arteri koroner pada anak berusia 1-9 tahun. Berlangsungnya proses aterosklerosis
sejak usia muda didukung oleh riset PDAY (pathological determinants of atherosclerosis in
youth) terhadap 2.976 pasien dengan golongan usia 15-34 tahun. Fatty streak pada aorta perut meningkat dari 20% pada usia 15-19 tahun dan 40% pada usia 30-34 tahun, sedang pada arteri koroner kanan sekitar 10% pada subjek golongan usia 15-19 tahun dan 30% pada golongan usia 30-34 tahun. Faktor risiko kardiovaskular yang bisa diidentifikasi pada anak
dan remaja Faktor risiko bisa diartikan sebagai faktor yang memicu peningkatan risiko
terjadinya penyakit. Ternyata semakin banyak faktor risiko pada pasien , semakin tinggi angka morbiditas dan mortalitas. bahwa semakin banyak jumlah faktor risiko yang ada pada pasien maka semakin besar persentase kelainan pada arteri koroner. Autopsi yang dilakukan terhadap subyek yang berusia 2-39 tahun menandakan arteri koroner berwujud
fibrous plaque berikut 0,6%, 0,7%, 2%, 7%. ada subjek yang memiliki faktor risiko 0,1, 2, dan 3 atau 4. Proses aterosklerosis dipercepat oleh beragam faktor risiko yang ditemukan pada
masa anak dan remaja seperti faktor nutrisi, aktivitas fisik yang kurang, merokok, kegemukan ,
penyakit-penyakit tertentu termasuk hipertensi, diabetes melitus dan penyakit Kawasaki.
ternyata faktor nutrisi pada periode neonatal sampai masa bayi berperan dalam terjadinya proses aterosklerosis. Pada anak dan remaja ada bukti secara tidak langsung bahwa sudah terjadi proses aterosklerosis dengan ditemukannya perubahan anatomi vaskular seperti peningkatan ketebalan tunika intima media (KTIM) arteri karotis, perubahan mekanik kelenturan pembuluh darah (penurunan distensibilitas) dan terjadi
perubahan fisiologi pembuluh darah arteri dengan penurunan flow mediated vasodilatation
(FMD).Oleh sebab proses atrosklerosis terjadi sejak awal kehidupan termasuk sejak masa
bayi maka deteksi faktor risiko pada masa anak dan remaja penting agar bisa mencegah terjadi komplikasi suatu saat . Pamantauan faktor risiko pada anak akan bisa mengidentikasi dan faktor ini sehingga disfungsi dari endotel pembuluh darah akan bisa dihindari. Pada dasarnya faktor risiko kardiovaskular berada dalam 4 ranah yaitu : patofisiologik, genetik, behavioral (tingkah laku), lingkungan, sudah diketahui bahwa faktor risiko kardiovaskular yang teridentifikasi berkaitan
dengan kondisi kehidupan meliputi riwayat keluaga, usia dan jenis kelamin. sedang itu yang ternasuk faktor risiko patofisiologik meliputi diabetes mellitus, tekanan darah tinggi, lipids,
kegemukan , Faktor behavioral meliputi merokok, nutrisi/diet, in-aktivitas fisik . ada faktor risiko yang emerging yang meliputi sindrom
metabolik, petanda inflamasi dan faktor perinatal. Secara tradisional faktor risiko kardiovaskular bisa digolongkan menjadi 3 golongan yaitu :
-Faktor risiko yang baru muncul meliputi inflamasi/infeksi sistemik, sitokines, CRP dan homosistein. Faktor risiko yang ada pada pasien akan memicu disfungsi endotel vaskular yang bisa memicu penurunan produksi
NO, peningkatan tanggapan inflamasi endotel dan hiperplasia intima yang pada akhirnya
terbentuk lesi aterosklerotik.
- Faktor risiko
yang bisa diubah yang dinamakan juga dengan faktor risiko tradisional meliputi hiperlipidemia, kegemukan /kurang aktivitas, diabetes mellitus, merokok, hipertensi,
- Faktor risiko intrinsik meliputi predisposisi genetik, faktor lingkungan dan peningkatan susceptibility,
Gaya hidup dan kebiasaan makan yaitu faktor risiko yang penting dalam pencegahan progresivitas penyakit akibat aterosklerosis. ini berdefisiensi bahwa gaya hidup yang sehat dan kebiasaan makanan sehat yaitu bagian dari
program pencegahan penyakit kardiovaskular pada anak dan remaja.derajat aterosklerosis pada anak dan remaja memiliki korelasi yang kuat dengan faktor risiko yang ditemukan pada masa dewasa. maka jika faktor risiko ini tidak memperoleh perhatian kemungkinan besar nanti akan terjadi peningkatan kejadian penyakit kardiovaskular pada remaja sekarang ini saat
mereka memasuki usia dewasa. maka eliminasi dan mengurangi faktor risiko kardiovaskular harus segera dilakukan pada anak dan remaja ataupun golongan usia lainnya. beberapa faktor risiko kardiovaskular seperti aktivitas fisik, diet aterogenik genetik, hipertensi, dislipidemia, kegemukan , sindrom metabolik, bisa terkait dengan penyakit kardiovaskular Pencegahan berkembangnya faktor risiko kardiovaskular di usia muda harus diobati melalui usaha promosi dan pendidikan pada tingkat pelayanan primer anak berwujud gaya hidup sehat baik secara pasien atau pada tingkat komunitas dengan mengadvokasi program kesehatan sekolah dan juga public awareness terhadap pemilihan makanan yang sehat. Dengan pendekatan dan cara pencegahan pada golongan anak dan remaja maka diharapkan akan terjadi penurunan ateroskelrosis pada populasi sehingga akan terjadi penurunan PKV.memfokuskan pada 3 area penting untuk menurunkan risiko
berkembangnya proses aterosklerosis yaitu :
Pajanan terhadap rokok .Nutrisi, Aktivitas fisik ,
Konstruksi ideal dalam pencegahan penyakit kardiovaskular pada pasien dewasa sudah diadaptasi untuk anak dan remaja yang meliputi: tekanan darah, pajanan terhadap rokok, indeks masa tubuh, aktivitas fisik , nutrisi, kolesterol, gula darah puasa, dalam riset kohort dengan pemantauan jangka panjang, kesehatan kardiovaskular yang baik pada anak remaja dan dewasa muda berkaitan erat dengan rendahnya
prevalensi PKV pada usia dewasa. 10 Hal ini terkait dengan rendahnya prevalensi hipertensi, dislipidemia dan menurunnya ketebalan tunika intima media (KTIM) aorta dan arteri karotis.
Nutrisi yang baik sejak masa kelahiran berguna untuk kesehatan kardiovaskular khususnya untuk mencegah kegemukan , dislipiemia dan hipertensi dan resistensi insulin/diabetes. Pemberian ASI bisa menurunkan risiko terjadinya kegemukan dan
dislipidemia. maka sejalan dengan saran WHO, AAP menyarankan untuk pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan lalu bisa diteruskan sampai
usia 12 bulan. Penelitian terhadap anak remaja yang berusia 15-18 tahun menandakan ketebalan tunika intima media (KTIM) yang memperoleh ASI eksklusif 4-6 bulan, lebih rendah dibandingkan golongan yang memperoleh ASI dalam periode singkat atau terlalu lama. maka terbukti bahwa pemberian ASI eksklusif mengurangi munculnya salah satu faktor risiko aterosklerosis. ada kecenderungan rendahnya kadar kolesterol total trigliserida pada subyek dengan durasi ASI 4-6 bulan dibandingkan dengan subyek golongan durasi ASI yang lebih singkat. Sesuai dengan kebutuhan berdasar gender dan kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan
total lemak dibatasi tidak lebih dari 30% total kebutuhan kalori dengan lemak jenuh
7-10% total kalori dan kolesterol kurang dari 300 mg/hari. namun pembatasan lemak tidak disarankan pada bayi kurang dari 12 bulan, kecuali ada indikasi medik. anak sampai remaja dan dewasa muda disarankan untuk mengkonsumsi lebih banyak sayuran dan buah-buahan.Aktivitas fisik walau dengan data penelitian yang terbatas pada anak sudah tampak
bahwa peningkatan aktivitas fisik dan pengurangan waktu sedentary pada anak remaja
memberi manfaat dalam menurunkan risiko aterosklerosis dan PKV. Pada riset STRIP (Special Turku coronary risk faktor intervention project for children) di Finlandia menandakan aktivitas fisik yang rendah pada remaja berkaitan dengan peningkatan KTIM dan penurunan fungsi endotel vaskular (FMD).Pada remaja sedentary yang meningkatkan aktivitas fisik nya ternyata progresivirtas KTIM menurun dibandingkan dengan remaja yang tidak meningkatkan aktivitas fisik . riset STRIP yang lain menandakan kelompk remaja yang sedentary berisiko menderita
sindrom metabolik dibandingkan dengan golongan subyek yang lebih banyak melakukan
aktivitas fisik .Dalam riset jangka panjang cardiovascular risk in young Finns dengan subyek berusia 3-18 tahun menandakan aktivitas fisik yang kurang berkaitan erat dengan pecepatan progresivitas ketebalan tunika intima media (KTIM) sesudah 27 tahun pengamatan. Dalam riset lain menandakan program latihan yang meningkatkan kebugaran fisik memicu penurunan faktor risiko kardiovaskular seperti indeks masa tubuh, tekanan darah dan elastisitas arteri dan memperbaiki profil lipids.berdasar data yang ada,panel ahli NHBL membuat saran sebagai berikut:
- Untuk anak-anak yang lebih muda hendaknya pasien tua tidak membatasi aktivitas
bermain sepanjang aman dan pada lingkungan yang mendukung.
- Semua anak > 5 tahun harus meneliti kegiatan moderate to vigorous activity (MVA)
setidaknya 60 menit perhari. Contoh aktivitas yang moderate yaitu jogging, main baseball. sedang aktivitas yang vigorous seperti lari, tennis dan sepak bola.
- Waktu untuk leisure harus tidak lebih dari 2 jam per hari contoh duduk di depan TV atau bermain game.Hindari merokok Dokter, khususnya dokter spesialis anak harus selalu memberi konseling/pendidikan mengenai pentingnya bebas asap rokok di lingkungan anak dan keluarga. Anak dan
pasien tua selalu harus diberitahu mengenai efek buruk merokok termasuk risiko penyakit
kardiovaskular untuk mereka dan anak-anak
Sebagai pedoman dalam promosi kesehatan kardiovaskular pada anak dan remaja
meliputi hal-hal yang terkait nutrisi/diet, merokok dan aktivitas fisik Pedoman yang sudah disusun oleh American Heart Association (AHA) bisa dipakai oleh dokter spesialis anak sebagai usaha promosi kesehatan pada anak untuk menghindari risiko penyakit kardiovaskular, Beberapa
intervensi harus dilakukan bilamana ditemukan faktor risiko pada anak dan remaja baik intervensi farmakologis atau non-farmakologis.Pada saat pemeriksaan rutin dan supervisi anak, uji bisa dilakukan sesuai dengan anjuran AAP, AHA dan NHLBI untuk mengidentifikasi apakah anak memiliki faktor risiko ateroskelrosis. Screening atau uji tapis diartikan sebagai
suatu uji terhadap penyakit pada pasien atau populasi yang terlihat normal. Tujuan
dari uji tapis yaitu untuk mengidentifikasi anak yang berisiko suatu penyakit.
sifat penyakit dengan kandidat untuk uji tapis : Prevalens yang jelas pada populasi normal. Jelas akan terjadi morbiditas dan mortalitas bila tidak diobati,Sampai saat ini tidak disarankan untuk melakukan uji tapis faktor risiko aterosklerosis pada semua anak. saran mutakhir dari American Academy of Pediatrics (AAP) untuk skrining faktor risiko dilakukan pada anak dan remaja yang memiliki satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
Dislipidemia dan insulin resistance, Penyakit-penyakit risiko tinggi seperti penyakit Kawasaki, penyakit ginjal, HIV/AIDS, Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (untuk laki-laki usia < 55 tahun dan wanita < 65 tahun), kolesterol dan lipid tinggi dan diabetes mellitus, kegemukan , hiperetensi, Skrining harus dilakukan sesudah usia 2 tahun, namun tidak lebih dari usia 10 tahun yang meliputi: - Profil lipid (puasa)
- Kadar gula darah (puasa)- Exercise/latihan, diet dan tidur- Riwayat merokok atau terpapar (exposure) terhadap rokok- Tekanan darah (diperiksa pada 3 tempat terpisah)- Indeks massa tubuh (IMT), Seperti pada pasien dewasa yang memiliki beberapa faktor risiko PKV, maka pada
anak dan remaja harus dilakukan intervensi bila memiliki faktor risiko sebagai berikut:
- Profil lipid tidaknormal - Hipertensi- Peningkatan indeks massa tubuh (BMI) atau kegemukan - Gula darah puasa > 100mg/dL (5,6mmol/L)- Terpapar rokok - Gaya hidup sedentary - Riwayat PKV dalam keluarga, intervensi pada penyakit koroner, stroke
dan sudden cardiac death pada orangtua atau saudara laki-laki sebelum usia 55 tahun
dan pasien tua wanita atau saudara wanita sebelum usia 65 tahun Dalam Pedoman terintegrasi mengenai kesehatan kardiovaskular NHLBI (National Heart Lung and Blood Institute) menyarankan untuk melakukan uji tapis terhadap
faktor risiko kardiovaskular pada beberapa tingkatan usia anak, Dengan mengetahui atau mengidentifikasi faktor risiko aterosklerosis sudah bisa diidentifikasi pada anak sejak usia dini maka bisa dilakukan beragam usaha intervensi
sehingga anak suatu saat akan terhindar dari komplikasi aterosklerosis yang bisa memicu PKV yang fatal. namun di dalam praktik klinis sehari-hari para dokter termasuk dokter spesialis anak (SpA) jarang memberi perhatian terhadap faktor risiko kardiovaskular yang mungkin ada pada anak dan remaja. beragam hal yang terkait dengan proses aterosklerosis yang sudah terjadi sejak usia anak dan remaja, dokter spesialis anak (SpA) melakukan Uji tapis rutin dan pemeriksaan meliputi :
- Pemilaian terhadap diet dan frekuensi dan kualitas cukup/kurangnya aktivitas fisik.
- Penilaian riwayat tidur (sleep history). Durasi dan kualitas tidur yaitu salah satu
faktor risko yang baru terhadap kejadian PKV.
- Riwayat PKV dalam keluarga (heart attack, intervensi pada penyakit koroner, stroke
dan sudden cardiac death pada orangtua atau saudara laki-laki sebelum usia 55 tahun
dan pasien tua wanita atau saudara wanita sebelum usia 65 tahun)
- Lakukan uji tapis lipid pada anak dan remaja. Untuk anak tanpa faktor risiko dilakukan pada usia 9-11 tahun dan pemeriksaan berikutnya pada usia 17-21 tahun. disarankan pemantauan lebih awal dan agak sering bila ada faktor risiko
PKV.
- Lakukan screening diabetes tipe-2 pada anak-anak dan remaja yang berisiko dengan
melakukan pemeriksaan gula darah puasa atau HbA1C setiap 3 tahun pada pasien >10 tahun yang mengalami kegemukan ataupun overweight, dan memiliki 2 faktor risiko tambahan diabetes.
- Lakukan identifikasi kondisi lain yang terkait dengan terjadi percepatan aterosklerosis.
- Pengukuran tekanan darah (tentukan percentile usia dan tinggi badan)- Menilai indeks massa tubuh (sesuai percentile BMI)- Mengenai kemungkinan riwayat anak terpajan asap rokok baik tiap pasien , atau perokok pasif,
Perawakan pendek atau stunting ditemukan pada beberapa anak berusia kurang dari 5 tahun di seluruh dunia. Sebagian besar dipicu oleh nutrisi inkuat dan infeksi berulang pada 1000 hari pertama kehidupan. Stunting memicu gangguan perkembangan fisik dan kognitif, sehingga anak menjadi pasien dewasa yang kurang produktif dengan kondisi kesehatan yang buruk. Masalah utama yang menyertai stunting yaitu gangguan fungsi kognitif, yang sulit dipulihkan. maka meski terjadi catch-up tinggi badan, fungsi kognitif tetap terganggu. Stunting diartikan sebagai nilai Z-score tinggi badan menurut usia <2SD di bawah
median pada kurva WHO dari populasi, dan yaitu petanda malnutrisi kronik.Bayi baru lahir dengan berat lahir kurang dari persentil 10 untuk masa kehamilan bisa yaitu bayi small for gestational age (SGA) atau bayi yang mengalami intrauterine
growth restriction (IUGR).7-9 IUGR dibagi menjadi tipe 1 (tipe simetris, tipe proporsional,
atau stunting) dan tipe 2 (tipe asimetris, disproporsional, atau wasting) tergantung masa
terjadinya gangguan. Sebanyak 20-30% di antara bayi dengan IUGR yaitu tipe stunting, ditandai dengan penurunan ukuran semua organ sebab gangguan pada tahap hiperplasia. Sisanya sebanyak 70-80% yaitu IUGR tipe wasting yang ditandai penurunan ukuran organ namun ukuran kepala normal. memakai istilah sindrom stunting untuk membedakannya dengan pendek sebab faktor konstitusional. Pada sindrom stunting,
beragam perubahan patologis memicu gangguan pertumbuhan linier pada usia dini yang berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, dan berkurangnya kapasitas fisik pada masa dewasa. bahwa prevalensi stunting di negara kita cenderung tidak berubah sama sekali dari tahun ke tahun. Faktor terpenting sebagai pemicu stunting yaitu kurangnya asupan nutrisi termasuk
ASI, makanan pendamping ASI dan mikronutrien dan infeksi terutama diare.Faktor lingkungan yang berperan contoh kurangnya sanitasi, kebersihan dan tersedianya air bersih, pendidikan ibu, kemiskinan.Stunting yang dimulai intrauterin ditemukan pada 20% bayi baru lahir. Sebanyak
80% stunting terjadi sebab faktor gizi dan infeksi dan ditemukan pada usia 6-18 bulan.Masa dalam kandungan sampai 2 tahun pertama dalam kehidupan dinamakan sebagai 1000 hari pertama kehidupan, dianggap sebagai masa kritis anak bisa mengalami stunting.Stunting diturunkan ke generasi berikutnya, stunting, gangguan kognitif dan sikap diturunkan ke generasi berikutnya. Hal yang sama juga tampak pada manusia. Anak yang lahir dari pasien tua yang mengalami stunting menunjukkan nilai developmental quotient (DQ) dan fungsi kognitif yang kurang dibandingkan anak yang lahir dari pasien tua normal. , ibu yang mengalami stunting dimasa kecilnya dan bayi yang lahir prematur atau berat badan LR juga yaitu faktor risiko. ini menunjukkan bahwa stunting bisa diturunkan lintas generasi.Pertumbuhan linier dipengaruhi oleh osifikasi lempeng pertumbuhan endokondral.
Faktor nutrisi dan inflamasi mempengaruhi pertumbuhan linier. Faktor kompleks lain
yang mempengaruhi meliputi faktor genetik, fisiologi, endokrin, kecukupan tidur (melalui pengaruhnya terhadap sekresi growth hormone). Inflamasi yang menyertai infeksi dan disfungsi usus menghambat osifikasi endokondral melalui beragam mediator contoh sitokin proinflamasi, activin A-follistatin system, glukokortikoid, fibroblast growth faktor 21 (FGF21). Pada hewan, pertumbuhan linier peka terhadap
asupan protein dan zinc, yang bekerja melalui insulin, insulin-like growth faktor -1 (IGF-
1), triiodothyronine, asam amino dan zinc untuk menstimulasi lempeng pertumbuhan. ini dihambat oleh sitokin inflamasi. Ibu dari bayi yang mengalami stunting intrauterin menunjukkan kadar IGF-1 yang rendah saat kelahiran. Bayi juga menunjukkan kadar IGF-1 yang rendah selama tahun pertama kehidupan. Ada suatu hal baru dalam stunting. Anak yang mengalami stunting menunjukkan kadar asam amino esensial yaitu
tryptophan, isoleucine, leucine, valine, methionine, threonine, histidine, phenyl-alanine, lysine
yang rendah dibandingkan checkup (p<0,01). Beberapa asam amino lain yaitu arginine,
glycine, glutamine, asam amino non esensial asparagine, glutamate, serine, dan sfingolipid
juga menunjukkan kadar yang lebih rendah. Dari penelitian ini muncul hipotesis bahwa
stunting bukan semata-mata kekurangan gizi, namun dipicu kurangnya asam amino
esensial dan kolin yang diperlukan untuk sintesis sfingolipid dan gliserofosfolipid., Pengaruh stunting terhadap susunan saraf pusat
Patologi Hanya ada sedikit penelitian mengenai patologi otak yang mengalami gangguan selama
2 tahun pertama kehidupan. Hipotesis yang dibuat yaitu malnutrisi memicu gangguan mielinasi (hipotesis neural). Malnutrisi juga mempengaruhi sinaps. sudah diketahui bahwa perkembangan dan arborisasi dendrit selesai sekitar 2 tahun pertama kehidupan. Perubahan yang ditemukan pada otak anak yang mengalami malnutrisi yaitu
pemendekan dendrit, berkurangnya jumlah percabangan dendrit, dan adanya cabang
tidaknormal yang dinamakan sebagai cabang displastik. Pada anak dengan malnutrisi akut
ditambah gangguan perkembangan, sering ditemukan atrofi otak pada pemeriksaan MRI
Dampak stunting terhadap kemampuan belajar fungsi kognitif Anak yang mengalami malnutrisi menandakan sikap apatis dan kurangnya gerak, yang menunjukkan adanya gangguan fungsi susunan saraf pusat. Hipotesis yang dibuat yaitu anak kekurangan enerji untuk belajar, sehingga mempengaruhi fungsi perkembangan (hipotesis developmental).sudah banyak dibuktikan bahwa stunting memicu kurangnya kemampuan
belajar dan prestasi akademis. Penelitian terhadap 19.997 pasien dewasa di Brazil bahwa stunting masa anak memicu gangguan memori, kemampuan belajar, konsentrasi dan bahasa pada masa dewasa. Stunting juga mengganggu sikap anak, yang lalu mempengaruhi sikap dalam pengasuhan anak. Anak yang mengalami stunting menandakan beragam gangguan
sikap contoh keterlambatan gerak, apatis dan berkurangnya sikap eksplorasi.Semua ini mempengaruhi interaksi dengan pengasuh dan lingkungan.bahwa anak yang mengalami stunting lebih banyak mengalami gangguan konduk
dengan kemampuan akademik yang lebih rendah dibandingkan checkup . Remaja yang masih mengalami stunting lebih sering mengalami ansietas, depresi, kurang percaya diri dan lebih hiperaktif.Catch-up, membagi catch-up pada usia 24 bulan, 5 tahun dan remaja. Catchup tinggi badan pada usia 24-48 bulan ditemukan pada beragam penelitian, Catch-up ini yaitu hasil dari maturasi sistem imun anak sehingga mengurangi inflamasi. Catch-up sesudah usia 24 bulan merefleksikan tersedianya nutrisi yang baik.Catch-up fungsi kognitif Untuk menilai apakah catch-up memicu perbaikan fungsi kognitif, dilakukan pembagian sebagai berikut:
- Tidak mengalami stunting pada usia 2 dan 5
tahun (normal), -Stunting menetap pada usia 2-5 tahun (persisten), - Tidak mengalami
stunting pada usia 2 tahun namun mengalami stunting pada usia 5 tahun (lambat) -
Stunting pada usia 2 tahun namun tidak stunting pada usia 5 tahun (catch-up)
Anak yang mengalami catch-up menunjukkan fungsi kognitif yang lebih buruk dibandingkan anak yang tidak mengalami stunting dan sama buruk dengan anak yang tetap mengalami stunting. jika terjadi catch-up pada usia 2 tahun, ada perbedaan hasil penelitian. Satu penelitian bahwa fungsi kognitif tetap lebih buruk
dibandingkan anak yang normal. sesuai penelitian longitudinal pada 1674 anak di
Peru menandakan anak yang mengalami catch-up pada usia 2 tahun memiliki perbendaharaan kata (P=0,6) dan uji kognitif yang sama baik (P=0,7) dibandingkan anak normal.
Penelitian di Peru meliputi anak yang mengalami catch-up pada usia sebelum 2 tahun, sehingga ini menunjukkan perlunya catch-up sebelum usia 2 tahun. Stimulasi pada usia muda memicu peningkatan IQ, kemampuan verbal dan
membaca lebih baik. Bila tidak dilakukan stimulasi, hasilnya lebih buruk dibandingkan golongan non-stunting., Anak yang lahir dari pasien tua yang mengalami stunting dan tidak mengalami stimulasi menandakan nilai DQ yang lebih rendah,
jumlah anak berusia kurang dari 5 tahun yang mengalami stuntingyaitu 1 juta anak, The
World Health Assembly Resolution mencanangkan pengurangan 40% jumlah anak stunting
berusia kurang dari 5 tahun yang di adopsi oleh WHO.Target ini dibuat berdasar data dari 148 negara dan keberhasilan beberapa negara mengatasi stunting. Beberapa asupan mengenai usaha komprehensif untuk menurunkan
prevalensi stunting Stunting dan wasting harus ditangani secara menyeluruh.Selama ini kesulitan muncul sebab data tidak tersedia atau tidak akurat. beragam program suplementasi sudah diteliti. Penelitian terhadap 3000 anak berusia
6-23 bulan dengan memakai suplementasi protein, lemak, karbohidrat, multivitamin, asam folat, zinc dan kalsium tidak mengurangi stunting. , suplementasi dengan suplemen barbasis lemak memperbaiki pertumbuhan linier dan mengurangi prevalensi stunting sesudah suplementasi 6 bulan.Suplementasi harus diformulasikan dengan tepat untuk mengoptimalkan pertumbuhan tulang dan jaringan, ditetapkan bahwa salah satu hal yang penting yaitu memiliki kurva pertumbuhan secara nasional. meski hal ini sudah pernah dilakukan, membuat program pendidikan komprehensif mengenai nutrisi dan intervensi gangguan nutrisi, dan deteksi gangguan perkembangan dan intervensi gangguan perkembangan. Semua ini harus dirumuskan dan dibuat dengan baik bersama-sama lintas unit kerja koordinasi,
Beberapa hal sudah diidentifikasi terkait peran perusahaan makanan bayi, yaitu investasi
agrikultur lokal, membantu distribusi dan checkup kualitas, fortifikasi makanan dan minuman, perbaikan kualitas makanan pendamping ASI, investasi penelitian ilmiah di negara berkembang, reformasi produk yang berharga murah, dan advokasi. Perusahaan makanan bayi di negara kita diajak bekerja bersama, mengesampingkan kepentingan perusahaan, untuk mencari solusi bantuan bagi masalah stunting.
vaksin
vaksin yaitu metode efektif, murah aman untuk meningkatkan kesehatan umat manusia. Anak-anak di semua negara secara rutin sudah memperoleh imunisasi untuk mencegah penyakit berbahaya sehingga imunisasi yaitu dasar pencegahan dalam bidang kesehatan pasien .
Namun disayangkan masih banyak negara berkembang yang masih belum bisa mencapai universal child immunization (UCI) sebab cakupan imunisasi yang rendah. sebetulnya jika UCI bisa dicapai maka setiap tahun kita bisa menyelamatkan tiga juta anak yang meninggal akibat penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi (PD3I). imunisasi yaitu usaha pencegahan penyakit infeksi berbahaya yang aman dan efektif. Tidak bisa disangkal lagi bahwa dengan melakukan imunisasi, kehidupan di masa mendatang lebih sehat dan berguna untuk
semua golongan usia .Guna menyongsong dan mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), diperlukan kajian tantangan dan usaha penanggulangannya. pencegahan melalui pemberian imunisasi diperlukan pada tiap tahapan golongan usia sejak lahir sampai lansia.
Untuk memperoleh vaksin yang aman dan efektif diperlukan pengetahuan dan informasi yang benar mengenai vaksin modern yang diproduksi berdasar bioteknologi canggih, dan bisa diberikan pada semua golongan usia .
Keberhasilan program imunisasi tergantung pada tercapainya kekebalan komunitas yaitu cakupan imunisasi yang tinggi (pada golongan target), dan mempertahankan dan pemantauan keamanan vaksin. beberapa manfaat/ value of vaccination , yaitu:
- Vaksin yang saat ini diberikan kepada pasien yaitu aman dan efektif- Vaksin berguna mencegah kematian dan kecacatan
- Vaksin memberi kekebalan lebih baik dibandingkan infeksi alami,
- kekebalan di pasien ini akan memutuskan rantai penularan infeksi dari anak ke anak lain atau kepada pasien dewasa.
- kekebalan komunitas 5%-20% dari anak-anak yang tidak diimunisasi juga akan terlindung, oleh sebab penularan /penularan penyakit terputus,
kekebalan ini dinamakan .Kelebihan lain, seiring angka kesakitan yang menurun akan menurun pula biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit, dan mencegah kematian kecacatan yang akan menjadi beban pasien seusia hidupnya.
- bila anak sudah memperoleh vaksinasi tertentu, maka 80-95% dia akan terhidar dari penyakit ini
- Anak yang sudah memperoleh imunisasi dia tidak akan menjadi sumber penularan. Semakin tinggi cakupan imunisasi. Semakin banyak bayi/anak yang memperoleh vaksinasi maka semakin cepat terlihat penurunan angka kesakitan dan kematian.Dengan mencegah anak dari penyakit infeksi yang berbahaya, berdefisiensi akan meningkatkan kualitas hidup anak dan meningkatkan daya produktivitas suatu saat
- Vaksin kombinasi aman dan berguna
- Jika imunisasi distop maka penyakit infeksi yang berbahaya akan kembali berjangkit di pasien dan akan memicu wabah. Cukup banyak vaksin yang bisa mencegah penyakit yang berkaitan dengan infeksi saluran nafas akut, yaitu vaksinasi campak bisa mencegah 25%, pertusis 19%, Hib 9%, pneumokokus 29%. Mengingat hampir 50% dari diare dipicu oleh rotavirus, maka vaksinasi rotavirus akan berguna dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian pada diare,
Tidak semua kekebalan akibat imunisasi bisa bertahan seusia hidup, pada suatu saat kekebalan akan menurun dan lalu menghilang. Untuk penyakit yang terus menerus mengancam seusia hidup, maka untuk memutuskan rantai penularan, kekebalan komunitas perlu dipertahankan dengan memberi imunisasi ulangan. untuk anak yang tidak memperoleh imunisasi secara lengkap perlu diberikan saat mereka menjelang dewasa atau anak hamil, sedang pada lansia yang memiliki kekebalan biasanya sudah menurun, diperlukan pencegahan untuk infeksi yang bisa memicu komplikasi yang serius. contoh anak yang terkena penyakit campak akan mengalami demam
tinggi (terjadi pada 90% masalah ) sehingga anak bisa mengalami kejang untukanak yang memiliki riwayat kejang demam, bisa mengalami pneumonia pada 40% masalah atau ensefalitis 2% sebagai komplikasi campak. sedang akibat imunisasi campak, demam yang mungkin muncul satu minggu sesudah imunisasi terjadi pada sekitar 10% dari anak yang diimunisasi dan bisa diobati dengan obat penurun panas.
beragam jenis vaksin yang beredar di pasien sejak sepuluh tahun terakhir, yaitu vaksin yang aman dan ampuh. Vaksin yang dipakai di seluruh dunia memiliki keamanan yang sama sebab memakai standarinternasional. Di samping itu, vaksin ini bisa memicu kekebalan (antibodi) yang lebih baik dan lebih tinggi kadarnya, sehingga bertahandalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan vaksin tradisional . Vaksin
yaitu mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang namun masih tetap mengandung sifat antigenisitas. Pada dasarnya vaksin dibagi menjadi vaksin hidup yang dilemahkan dan vaksin mati . Vaksin hidup
memiliki kelebihan sebab bisa menghasilkan kadar antibodi yang lebih tinggi dan biasanya bertahan lama. Namun, bisa memicu reaksi
simpang yang berat, seperti infeksi alami. sedang vaksin mati, bisa berwujud mikroorganisme utuh atau komponennya. Komponen yang dipilih yaitu
komponen mikroorganisme (antigen) yang bersifat imunogen defisiensi nya yang bertanggung jawab terhadap tanggapan antibodi yang diinginkan. Kelebihan vaksin mati atau komponen biasanya tidak memberi reaksi simpang yang berat , namun memicu reaksi simpang lokal (pada suntikan). Reaksi lokal ini dipicu oleh zat lain yang ada di dalam vaksin seperti adjuvant, preservations, buffer, antibiotik, zat pelarut. Zat-zat ini diperlukan untuk meningkatkan titer antibodi yang dibentuk,sebagai pengawet, ataupun melindungi terhadap kontaminan pada vaksin yang dikemas dalam multi dose vial. Keinginan menghasilkan vaksin yang lebih aman dan bisa memberi perlindungan selama mungkin, mengurangi reaksi
simpang yang bisa dimunculkan, mencari antigen yang tepat, mencari adjuvan yang aman untuk meningkatkan kadar antibodi protektif sehingga bertahan lebih lama, memilih protein aktif yang bisa berkonjugasi dengan antigen polisakarida, dan memakai DNA recombinant. dengan teknologi rekayasa genetik, bisa dihasilkan vaksin
rekombinan (vaksin rekombinan hepB), vaksin split (vaksin influenza), vaksin aselular pertusis, vaksin konjugasi (vaksin pneumokokus, meningokokus),vaksin kombinasi (vaksin DTP-Hib, DTP-hepatitis B, DTP-Hib-IPV), adjuvanted
vaccine (vaksin HPV), dan vaksin DNA (vaksin dengue). kuantitas vaksin yang diberikan, menentukan keberhasilan vaksinasi, cara pemberian, dosis,interval pemberian, jenis vaksin. Cara pemberian vaksin mempengaruhi tanggapan imun yang muncul. contoh vaksin polio oral (OPV) memicu imunitas lokal di samping sistemik, sedang vaksin polioparenteral (IPV) memberi imunitas sistemik yang lebih baik dibandingkan lokal. mengenai dosis vaksin, dosis terlalu tinggi atau terlalu rendah mempengaruhi tanggapan imun.Dosis terlalu tinggi menghambat tanggapan imun,sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel imunokompeten. Maka dosis yang tepat yaitu dosis yang sesuai dengan dosis yang disarankan . Frekuensi pemberian mempengaruhi tanggapan imun yang terjadi. tanggapan imunsekunder memicu sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping frekuensi, jarak pemberian mempengaruhi tanggapan imun yang terjadi. jika pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi khusus masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi khusus yang masih tinggi ini sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten. Bahkan bisa terjadi reaksi Arthus, yaitu bengkak kemerahan di area suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal.maka jadwal pemberian ulang (booster), Adjuvan yaitu zat nonkhusus bisa meningkatkan tanggapan imun terhadap antigen. Adjuvan meningkatkan tanggapan imun dengan
mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan mengaktivasi sel APC (antigen presenting cells) untuk memproses antigen secara efektif dan menghasilkan interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya. Namun adjuvan bisa memicu reaksi lokal sesudah imunisasi,meski biasanya ringan. Keberhasilan imunisasi juga tergantung padastatus imun pejamu dan faktor genetik maka untuk pasien dengan defisiensi imun diperlukan panduan imunisasi khusus.
Anemia
Anemia diartikan sebagai kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari -2SD pada rata-rata golongan populasi berdasar usia, jenis kelamin, dan geografis dan ditambah bukti rendahnya cadangan besi tubuh. Populasi paling rentan yaitu anak usia pra-sekolah (6-59 bulan) dan wanita usia subur (WUS, usia 15-49 tahun). Secara global,
prevalensi anemia pada anak usia 6-59 bulan yaitu 3 %, sedang WUS sebesar 28%. Wanita hamil lebih sering mengalami anemia (39%) dibandingkan wanita tidak hamil (25%). Prevalensi anemia di Asia Tenggara yaitu 52% (anakanak) dan 30% (WUS). prevalensi anemia di negara kita yaitu :Anemia pada anak kurang dari satu tahun masih tinggi. Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) menandakan 60% bayi usia 0-6 bulan dan 64% usia 6-12 bulan mengalami anemia, Pada usia 0-6 bulan, kejadian ADB paling tinggi pada usia 3-4 bulan, Perkembangan otak sudah dimulai sejak dalam kandungan. Sejak usia 22-44 minggu sesudah konsepsi, terjadi perubahan struktural dan fungsional, Pembentukan lobus, girus, dan sulkus ditambah peningkatan kompleksitas otak dengan pertumbuhan neuron dan sinaps. Mielinisasi menjadi rentan jika terjadi kekurangan nutrisi
selama periode ini. Kebutuhan zat besi pada janin meningkat selama trimester akhir untuk proses
pembentukan neuron dan metabolisme energi. Konsentrasi besi dalam otak paling tinggi
saat lahir. Kadarnya akan menurun saat bayi mengalami masa peralihan dari ASI ke MPASI. Konsentrasi ini akan meningkat lagi untuk proses mielinisasi. Besi berperan dalam sintesis neurotransmiter monoamin yaitu serotonin dan dopamin. Melalui pembentukan akson dan sinaps, neurotransmiter ini berpengaruh dalam fungsi otak, pembentukan mood dan sikap (inhibisi, afek, perhatian, motorik).ADB memicu gangguan metabolisme pada hippocampus dan korteks prefrontal. Konsentrasi glutamat pada neuron akan meningkat yang diimbangi dengan penurunan konsentrasi dopamin. ini memicu dari perubahan kecepatan berpikir (mielinisasi), perubahan motorik dan afek (neurotransmiter), dan pengenalan memori (hippocampus)Menurut Salah satu aspek dari akal budi yaitu fungsi kognitif. Anak dengan defisiensi besi kronis memiliki skor mental dan fungsi motorik lebih rendah.Anak menjadi menarik diri, tegang, tidak peka, kurang aktif, dan tidak bahagia. lalu , anak akan berisiko mengalami gangguan perkembangan jangka panjang.Pertumbuhan bisa diukur melalui berat dan tinggi badan. anemia berkaitan dengan malnutrisi pada anak. Anemia
meningkatkan risiko berat badan kurang,
Bayi berisiko tinggi mengalami anemia defisiensi besi. ini dipengaruhi oleh tiga hal , yaitu
kehilangan darah pada masa perinatal,
peningkatan kebutuhan zat besi terutama pada kondisi bayi berat lahir rendah (berat badan LR), kurang bulan, kehamilan ganda, proses pertumbuhan, dan kadar Hb yang rendah saat lahir, faktor nutrisi, seperti tidak memperoleh ASI eksklusif, pemakaian susu formula terlalu dini, dan kandungan zat besi yang rendah. Bayi yang lahir dari ibu dengan anemia berisiko tiga kali lipat menderita anemia. Bila bayi tidak memperoleh suplementasi selama satu tahun pertama maka akan terjadi anemia defisiensi besi, Bayi kurang bulan dan berat badan LR berisiko 10 kali lipat lebih tinggi untuk mengalami ADB. golongan bayi ini memiliki cadangan zat besi yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Cadangan yang kurang ini tidak bisa mengimbangi peningkatan kebutuhan besi saat pacu pertumbuhan pada usia dua tahun pertama,
Pada saat proses kelahiran, pemotongan tali pusat yang terlalu cepat bisa mengurangi
cadangan besi sebesar 15-35%. Bila ditunda selama 3 menit, volume sel darah merah
bisa bertambah sekitar 59%.Faktor nutrisi juga berperan dalam ADB. ASI mengandung zat besi yang memiliki bioavailabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan susu formula. maka ASI
yaitu sumber zat besi utama pada usia 6 bulan pertama. ASI eksklusif dari ibu dengan ADB, walau diberikan secara eksklusif, tidak bisa mengatasi defisiensi besi pada bayinya. Angka cakupan ASI ekslusif di negara kita sudah memenuhi target WHO sebesar 56%. 0Sesudah usia 6 bulan, komposisi besi pada ASI tidak mampu mencukupi kebutuhan bayi. Pada saat ini diperlukan makanan pendamping ASI (MPASI) untuk memenuhi kebutuhan besi. Pengenalan MPASI terlalu dini (usia <4 bulan) atau terlalu lama (usia >6 bulan) akan meningkatkan risiko anemia dua kali lipat. Jenis MPASI yang diberikan
juga mempengaruhi risiko terjadinya ADB. MPASI sebaiknya mengandung sumber zat besi yang langsung diserap tubuh atau berbentuk heme, Zat besi non heme yang lebih sulit diserap ada pada sayur dan kacangPenyerapan zat besi bisa ditingkatkan melalui sediaan besi heme (daging, ikan, makanan laut), asam askorbat atau vitamin C (jus, sayuran hijau, kubis, ), dan makanan yang difermentasi termasuk kecap. komponen
yang bisa menghambat penyerapan besi yaitu fitat (serealia, tepung, kacang-kacangan),
inositol, tanin (teh, kopi, coklat, produk herbal, rempah, beberapa sayuran), kalsium
pada susu dan produknya.Pola konsumsi enhancer dan inhibitor penyerapan zat besi yang tidak seimbang pada anak di negara kita yaitu salah satu faktor risiko . Anak dengan konsumsi
vitamin C di bawah angka kecukupan gizi (AKG) berkaitan dengan kejadian anemia. kebiasaan minum teh sudah menjadi budaya. Dalam teh ada tanin-polifenol yang mengikat mineral besi (termasuk seng dan kalsium) sehingga
penyerapan zat besi berkurang. Faktor risiko anemia lain yaitu dampak parasit. Infeksi
parasit yang dipicu oleh cacing tambang dan cacing gelang berkaitan dengan anemia. WHO menyarankan pelaksanaan pencegahan
dua kali setiap tahun untuk negara dengan prevalensi lebih dari 20% termasuk negara kita ,
dilakukan.defisiensi besi terjadi melalui tiga tahapan. Pertama yaitu penurunan cadangan besi di jaringan tanpa adanya perubahan hematokrit atau besi serum. Pada saat ini, kadar feritin
serum terdeteksi rendah. lalu terjadi eritropoiesis ditambah defisit besi. Cadangan besi makrofag pada tahap ini benar-benar habis. Kadar besi serum akan menurun dan total iron-binding capacity (TIBC) meningkat tanpa ditambah perubahan hematokrit. Eritropoiesis terhambat akibat kekurangan besi dan peningkatan reseptor transferin serum. Tahap terakhir yaitu anemia defisiensi besi. Eritrosit menjadi mikrositik hipokromik. ada pula peningkatan RDW (red cell distribution width) dan FEP (free erythrocyte
protoporphyrin). Tahap defisiensi besi berlangsung cukup lama sehingga sebagian besar
eritrosit yang bersirkulasi terbentuk dalam kondisi kekurangan besi. defisiensi besi diartikan jika 2 dari 3 indikator besi terpenuhi : SF (<10 µg/L),
zinc protoporphirin (>142 µmol/L sel darah merah), dan saturasi transferrin (<10%), ADB diartikan defisiensi besi dengan anemia.Sebagian besar pasien memiliki hasil pemeriksaan normal. dampak klinis yang bisa ditemukan bergantung pada organ sasaran hipoksia:
Susunan saraf pusat: Imunologi: rentan terinfeksi akibat gangguan proliferasi limfosit dan diferensiasi monosit/makrofag, Metabolik: gangguan pertumbuhan seperti stunting.
pusing, pusing , mengantuk, dan lesu, Kardiovaskular: nadi cepat, Kulit dan
mukosa: kulit dan konjunctiva pucat, koilonikia, glositis, stomatitis angularis, sklera biru, peka terhadap suhu rendah, disfagia, rambut rontok,
analisa bisa dilakukan dengan memantau tanggapan terhadap terapi besi, terutama jika riwayat makanan yang dikonsumsi kurang mengandung zat besi. Peningkatan Hb 1 g/dl sesudah 1 bulan terapi, bisa dipakai untuk melakukan defisiensi besi.Untuk mencegah faktor risiko akibat infeksi, bisa diusahakan program pengendalian infeksi oleh tenaga kesehatan dan pemerintah. dan mengajak pasien
untuk menjaga kebersihan makanan dan lingkungan.terapi ADB yaitu mendiagnosa , mencari pemicu anemia dan mengatasi pemicu , mengganti defisiensi , meningkatkan nutrisi dan menasihati pasien .Pemberian terapi besi oral untuk mengoreksi kadar Hb dan mengganti
cadangan besi tubuh. Dosis yang dipakai yaitu 4-6 mg/kg berat badan /hari besi elemental diberikan 3 kali sehari selama 10-12 minggu sehingga bisa mengembalikan cadangan besi tubuh dan serum ferritin kembali normal. Efek samping yang bisa terjadi berwujud konstipasi, diare, mual dan muntah sebab rasa logam, feses yang berwarna gelap, Pemberian secara parenteral hanya diberikan jika pemberian secara oral tidak bisa
ditoleransi, anemia harus dikoreksi cepat, dan gangguan penyerapan, contoh celiac disease
atau inflammatory bowel disease. Efek samping yang dimunculkan berwujud reaksi alergi,
anafilaksis, hipotensi, mengetahui etiologi defisiensi zat besi untuk mencegah kegagalan
terapi dan kambuhnya anemia sesudah pengobatan dihentikan, terutama di usia anak-anak yang lebih tua yang cenderung memiliki ADB sekunder. Pengobatan ini meliputi penanganan kecacingan, giardiasis, perdarahan kronis dari lokasi manapun, infeksi berulang harus diobati,
ahli mikrobiologi penemu rotavirus, Ruth
Bishop, dibawah kepemimpinan klinisi gastroenterologi anak dari Royal Children
Hospital/University of Melbourne, Graeme Barnes. ilmuwan dasar calon penerima nobel, bahwa rotavirus yaitu pemicu tertinggi diare cair akut. maka praktik pemberian antibiotik pada setiap diare selama periode itu tidaklah rasional.
Sebagai kelanjutannya, pada tahun 2006 atas inisiatif WHO para peneliti rotavirus di Asia melakukan surveilans rotavirus dengan memakai protokol generik WHO, dinamakan Asian Rotavirus Surveillance Network (ARSN). Protokol ini dipakai diseluruh dunia. negara kita , membentuk IRSN (negara kita n Rotavirus Surveillance Network) yang mengikutsertakan fakultas kedokteran, Saat itu ditemukan 60% rotavirus positif pada feses. Angka ini terhitung tinggi diantara negera-negara anggota ARSN. Surveilans yang sejak saat itu sampai sekarang dilakukan yaitu penelitian yang diperlukan
untuk menemukan burden of disease, evolusi strain virus, perencanaan, pengembangan
vaksin, implementasi vaksin, vaccine acceptability study, cost analysis, pemantau dampak
pemberian vaksin. Setiap baru etiologi diare, pusat kajian dalam surveilansnya dilibatkan dalam penelitian. Kajian ini berwujud pendidikan sumber daya manusia dan sarana laboratorium.
Penelitian translasional berdefisiensi pengalihan penelitian ke dalam praktik dan sebetulnya bukanlah hal baru. peneliti memastikan pengobatan baru dan pengetahuan yang diperoleh dari penelitian benar-benar mencapai sasaran
dan diimplementasikan secara tepat pada target pasien, Selama ini banyak sekali penelitian yang tidak mencapai sasaran sehingga tidak bisa dirasakan secara langsung oleh pasien saat menerima pelayanan kesehatan. penelitian translasional mungkin diinisiasi oleh para klinisi sebab merekalah yang selalu berhadapan dengan pasien. maka klinisi tentunya menemukan permasalahan yang memicu pertanyaan. bahwa butuh waktu yang tidak sebentar dalam melakukan penelitian translasional. Setidaknya ada 3 hambatan dalam penelitian translasional yaitu perbedaan budaya antar mitra (akademisi, industri, pemerintah, pasien ), kurangnya sumber daya, dan rumitnya regulasi. URO (oralit) diperkenalkan pada KONIKA I tahun 1968 oleh Prof.Sulianti Saroso yang kala itu pernah menjabat direktur ICDDR,B (International Centre for Diarrheal Disease Research, Bangladesh), Dhaka. Oralit efektif dalam menurunkan angka kematian akibat diare pada balita sebesar 79%. ini baik untuk pendidikan sebab ini diteliti oleh
dua residen dari FK terkemuka di Amerika Serikat yang sedang belajar di pusat ini (David Nalin dan Richard Cash). Pada saat itu dehidrasi akibat kolera bisa diatasi dengan cairan sederhana yaitu air, garam, dan gula yang diberikan per oral. Hasil guna cairan URO ini pertama kali diujikan kepada para pengungsi perang kemerdekaan Bangladesh
tahun 1971. lalu penelitian ini diteruskan secara internasional di mana kami, tiga peneliti dari negara kita menjadi salah satu peneliti utama. Pemberian oralit saja tidak menurunkan durasi dan frekuensi penyakit ini sedang pasien menginginkan obat yang bisa menghentikan diare. bahwa salah satu pemicu keparahan yaitu kerusakan epitel usus akibat defisiensi zinc.
bahwa suplementasi zinc bisa menurunkan durasi dan frekuensi diare.Sejak tahun 2001 Departemen Kesehatan meresmikan manajemen pokok yang dikenal sebagai LINTAS Diare: berikan oralit, zinc selama 10 hari berturut ,
ASI-makan, antibiotik selektif, nasihat pada ibu/keluarga, , cara pengendalian diare juga meliputi pendidikan pengobatan diare di rumah tangga, kewaspadaan dan penanggulangan KLB diare, usaha pencegahan efektif, dan pemantauan dan evaluasi.Hasil evaluasi BASICS menandakan dengan cara ini , morbiditas diare masih belum berubah di mana setiap anak diperkirakan mengalami diare berulang hampir 2 kali per tahun.Tingginya morbiditas diare tidak hanya terjadi di negara kita namun juga di negara berkembang lainnya, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat. sanitasi dan kebersihan saja tidak cukup untuk menuntaskan masalah diare. ini berkaitan dengan pemicu sebagian besar diare pada balita yaitu rotavirus. Rotavirus yaitu patogen yang tidak bisa dituntaskan dengan 5 lintas diare, sanitasi dan higienitas. maka , diperlukan vaksinasi sebagai usaha pencegahan yang untuk menurunkan frekuensi diare,
Tingginya prevalensi rotavirus memicu peneliti untuk mencari jalan keluar untuk menurunkan morbiditas akibat mikroorganisme ini. penelitian yang sudah dilakukan ditanggapi oleh WHO dan Global Alliance of Vaccines and Immunization (GAVI) dalam bentuk Rotavirus Surveillance Network. Dari surveilans ini , diperoleh data bahwa Asia yaitu area endemis
rotavirus dengan mortalitas yang tinggi. Di taraf nasional, negara kita membentuk IRSN
yang berhasil mengumpulkan data rotavirus sejak tahun 1978 hingga 2007, beragam strain yang berhasil diidentifikasi dipakai sebagai landasan dalam pengembangan vaksin rotavirus. Penemuan mutakhir vaksin rotavirus sudah diimplementasikan di beragam negara. Di negara maju, daya guna vaksin cukup tinggi sebesar 89% sedang di negara berkembang baru mencapai 50%. Kesenjangan ini dipengaruhi oleh beragam faktor mulai dari sifat virus , host immunity, sifat vaksin, interaksi
kandungan vaksin dengan host, distribusi vaksin, bahkan kebijakan yang berlaku di setiap
negara.RotaTeq(R Kondisi mirip terjadi di negara kita ditambah kurangnya kesadaran pasien akan pentingnya vaksin dan anggapan klinisi bahwa vaksin rotavirus masih dalam uji coba atau belum masuk National Immunization Programme (NIP) sehingga enggan untuk menyarankan kepada pasien . angka kejadian diare akibat rotavirus berkurang sesudah pemakaian vaksin.
Saat ini tengah dibangun vaksin rotavirus yang lisensinya diberikan dari WHO pada PT. Biofarma negara kita agar bisa masuk ke dalam NIP.di India menemukan lebih dari 90% diare nonbakterial dipicu oleh norovirus (NoVs). NoVs yaitu patogen gastroenteritis yang endemis di segala usia,
Resusitasi cairan agresif tanpa pemantauan yang memadai bisa memperburuk luaran anak sakit kritis yang sudah mengalami gangguan keseimbangan asam basa, elektrolit dan metabolik. Resusitasi cairan konservatif dilakukan pada anak sakit kritis dengan beragam etiologi diterapkan untuk mengatasi gangguan hemodinamis dan
menghindari lebih cairan, Protokol resusitasi cairan awal memakai kristaloid isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat, Ringer Asetat) dilakukan secara agresif terkendali lalu diteruskan ke terapi cairan tahap lanjut. ini akan meningkatkan tekanan hidrostatis dan bisa memicu akumulasi cairan interstisial dan lebih cairan. Resusitasi dan terapi cairan pada anak sakit kritis memerlukan pemantauan hemodinamis ketat untuk melihat mampu-tanggapan cairan (fluid tanggapan iveness) dan kecukupan hemodinamis tubuh dan mencegah terjadinya lebih cairan. Syok sepsis sering dipakai sebagai model resusitasi dan terapi cairan pada anak sakit kritis.dampak klinis lebih cairan bisa berwujud sesak, sembab, hepatomegali peningkatan pemakaian otot napas tambahan dan denyut jantung.
cairan sebanyak >15% dari kebutuhan efektif sesudah resusitasi pada tahap pulih sesudah stabilitas hemodinamis tercapai pada anak akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. keseimbangan cairan positif bisa memicu edema jaringan yang mengganggu penyerapan saluran cerna dan ekskresi ginjal, meningkatkan tekanan intra perut yaitu faktor risiko dari sindrom kompartemen perut dan sebagai bagian dari Global Increased Permeability Syndrome (GIPS), Bila terjadi lebih cairan maka harus dilakukan deresusitasi cairan, sebab keseimbangan cairan negatif sesudah stabilisasi hemodinamis menghasilkan luaran lebih baik. agar tidak terjadi lebih cairan, maka dilakukan pemantauan mampu-tanggapan cairan pada anak sakit kritis yang bisa dilakukan dengan memantau tanda vital klasik, pemantau hemodinamis statis atau terus-menerus dengan memakai alat sederhana non invasif, alat canggih, baik alat yang invasif, invasif minimal atau non invasif. Inflamasi sistemis, vasoplegi dan permeabilitas mikrovaskuler tanggapan inflamasi sistemis anak sakit kritis memicu perubahan permeabilitas endotel yang memiliki implikasi penting dalam resusitasi dan terapi cairan. Kapiler yaitu membran semi permeabel, cairan bisa melewati membran ini sebab tekanan osmosis
dan hidrostatis. Selama terjadi inflamasi sistemis, permeabilitas kapiler meningkat akibat rusaknya struktur glikokaliks endotel sehingga terjadi perembesan cairan plasma ke dalam
jaringan interstitial.Pada kondisi sepsis terjadi vasoplegi, kehilangan tonus arteri, venodilatasi,
sekuestrasi cairan dan perubahan fungsi ventrikel dan penurunan preload tanggapan iveness
yang memberi tanggapan buruk terhadap resusitasi cairan, jadi masalah bukan deplesi cairan. sebab kondisi ini , hampir semua cairan resusitasi (90%) terkumpul di dalam jaringan interstitial sehingga memicu edema berat di dalam organ vital yang meningkatkan risiko disfungsi organ. ini menandakan konservatif fisiologis dan hemodinamis tiap pasien pada resusitasi cairan pengidap sakit kritis yang mengalami syok penting dan bisa menurunkan morbiditas dan memperbaiki penyakitnya,
Resusitasi cairan agresif meningkatkan tekanan hidrostatis mikrovaskuler dan memicu lebih cairan yang berakumulasi di dalam ruang interstitial. Lebih cairan secara independen berkaitan dengan gangguan fungsi organ, hipertensi intraperut dan luaran yang buruk. Resusitasi cairan konservatif, membatasi asupan dan merangsang pembuangan bila terjadi lebih cairan, sehingga diharapkan akan memperbaiki luaran penyakitnya.Resusitasi cairan, lebih cairan dan deresusitasiAnak sakit kritis sering mengalami edema interstitial, hipoperfusi, hipoksemia, disoksia jaringan, yang memicu disfungsi mikrovaskuler. Resusitasi cairan dini <24 jam untuk memulihkan perfusi jaringan, namun terapi cairan lalu tidak memberi
efek ini , malah bila terus diberikan resusitasi cairan agresif bisa memicu lebih cairan. Untuk membuang cairan yang berlebih perlu pelaksanaan deresusitasi.Menurut protokol resusitasi cairan pada anak syok sepsis, cairan kristaloid isotonis diberikan sebanyak 20 mL/kg berat badan (dan atau koloid 10-20 mL/kg berat badan ), bolus cepat dalam waktu 5 menit, bisa diulang sampai total 60mL/kg berat badan dalam jam pertama dan bisa
diberikan sampai 120 mL/kg berat badan atau lebih dalam beberapa jam, Resusitasi cairan anak sakit kritis memakai cairan kristaloid isotonis, yaitu NaCl 0,9%, Ringer laktat, Ringer asetat dan cairan yang relatif baru yaitu cairan berimbang dengan komposisi mirip plasma.Koloid alami albumin 5% bisa ditambahkan bila jumlah cairan kristaloid untuk resusitasi syok distributif anak sudah mencapai 40-60 mL/kberat badan B dan syok belum pulih (risiko lebih cairan). Albumin 5% bisa diberikan juga pada kondisi hipoalbuminemia (kadar albumin <3 gr/dL) atau terjadi asidosis metabolik hiperkloremia.Cairan koloid semisintetis (kanji hidroksi etil, gelatin, dekstran) pada syok sepsis dewasa meningkatkan risiko gagal ginjal akut, koagulopati dan kematian dibandingkan dengan kristaloid (NaCl 0,9% dan Ringer s asetat). Cairan kristaloid hipertonis bisa dipakai untuk resusitasi cairan volume kecil,(contoh NaCl 3% dan natrium laktat hipertonis) bolus 5mL/kg berat badan dalam waktu 5-15 menit, selain hemat cairan, bisa menghindari jejas reperfusi dan lebih cairan pada sok distributif (syok sepsis).Lebih cairan sesudah resusitasi dalam kondisi bocor endotel (terutama organ vital paru, gastro-intestinum, ginjal, otak dan jantung) bisa memicu Global Increased Permeability Syndrome (GIPS).Target resusitasi cairan yaitu pulih perfusi organ dalam satu jam sejak syok terdeteksi meski sering sulit tercapai, meliputi pulih tanda vital, derajat kesadaran, waktu pengisian kapiler dan luaran urin. Bila jumlah resusitasi cairan >60 mL/kg berat badan berisiko mengalami GIPS dan menurunkan kemampuan pertukaran gas di tingkat alveolus atau di tingkat jaringan. Kemampuan difusi oksigen berkaitan dengan derajat edema membran alveolus-kapiler akibat lebih cairan.Model three hit resusitasi cairan pengidap sakit kritis Resusitasi cairan agresif bisa memicu lebih cairan dengan dampak edema, sindrom polikompartemen (dua atau lebih kompartemen anatomis meningkat tekanannya), gagal multi organ dan luaran buruk. Pedoman EGDT resusitasi cairan pada syok sepsis menekankan resusitasi awal. Malbrain mengembangkan model Three Hit pada pengidap sakit kritis dewasa untuk mengatasi lebih cairan sesudah resusitasi yang bisa memicu GIPS.
Model ini bisa diterapkan pada anak. Model Three Hit Early adequate goal directed fluid management (EAFM)Kebanyakan penelitian mengacu pada pengobatan resusitasi agresif EGDT (EAFM) untuk mencapai target resusitasi cairan sebanyak 25−50 mL/kg berat badan dalam 6−8 jam pertama resusitasi pada masalah syok hipovolemia dan syok sepsis. Resusitasi agresif bisa berefek merugikan, yaitu terjadi lebih cairan sehingga muncul cara resusitasi cairan yang lebih konservatif.Late Conservative Fluid Management (LCFM) pengobatan cairan konservatif kasip (LCFM) yang diartikan sebagai keseimbangan cairan nol atau negatif selama dua hari berturut dalam minggu pertama perawatan di ruang intensif, yaitu prediktor kelangsungan hidup yang kuat dan independen. Sebaliknya, pasien yang mengalami inflamasi sistemis persisten akan tetap mengalami bocor albumin transkapiler, tidak bisa mencapai tahap Flow, dan terus mengalami keseimbangan cairan positif.
Late Goal Directed Fluid Removal (LGFR).
pengidap yang mengalami lebih cairan perlu pembuangan cairan agresif dan aktif memakai diuretik dan terapi sulih ginjal dengan teknik ultrafiltrasi. pelaksanaan ini dinamakan
deresusitasi.Konsep Model Three Hit
- First Hit = jejas akut (contoh pneumonia memicu syok sepsis)
- Sencond Hit = multi-organ dysfunction syndrome (MODS)
- Third Hit = glogal increased permeability syndrome (GIPS) Untuk membedakan resusitasi cairan tahap awal dan tahap lanjut, syok dibagi menjadi 2 tahap yaitu tahap Eberat badan (tahap surut) dan tahap Flow (tahap alir). tahap Eberat badan (surut)/First Hit, ditandai dengan nadi lemah, ekstremitas dingin dan lembab . Pada tahap Eberat badan , curah
jantung rendah (low cardiac output) dan perfusi jaringan buruk, terjadi peningkatan kebutuhan natrium dan air sebagai tanggapan terhadap penurunan volume intravaskuler, disfungsi vasoregulator (vasoplegi) dan miokardium, kebutuhan metabolisme meningkat dan terjadi gangguan hantaran oksigen. Gangguan hemodinamis memicu hipoksia jaringan global, inflamasi dan gagal napas. Pada tahap Eberat badan sering diberikan resusitasi cairan agresif,
tahap Flow (tahap alir)/Second Hit/reperfusi/MODS yaitu saat mengakhiri tahap Eberat badan .
Untuk menghindari keseimbangan cairan positif, edema jaringan dan disfungsi dan gagal organ, maka pengidap harus melewati masa transisi dari tahap Eberat badan ke tahap Flow yang berlangsung selama 48−72 jam. Pada tahap ini terjadi peningkatan curah jantung, perfusi jaringan normal, diuresis, dan penurunan berat badan bertahap. Pada tahap Flow terjadi keseimbangan antara mediator proinflamasi dan antiinflamasi, tidak diperlukan tunjangan hemodinamis agresif dan terapi cairan, namun bila mengalami inflamasi sistemis persisten, pengidap tetap berada pada tahap bocor kapiler, tidak mengalami tahap Flow (Third Hit/No Flow, GIPS, Kebocoran endotel memicu cairan terakumulasi sehingga terjadi keseimbangan cairan
positif, dinamakan Global Increased Permeability Syndrome (GIPS), yaitu kondisi pengidap
yang tidak memberi tanggapan terhadap resusitasi cairan, terjadi peningkatan capillary leak
index (CLI), tidak membaik dengan pengobatan CLFM, dan terus berlanjut menjadi gagal multi organ. Capillary leak index = rasio C-reactive protein (CRP, mg/dL) terhadap albumin (g/liter) x 100. ini terjadi pada tahap Third Hit, sesudah First Hit dan Second Hit (jejas akut dan MODS).
Model Three Hit dan GIPS yaitu konsep efek merugikan resusitasi cairan agresif dan lebih cairan pada pengidap sakit kritis. First Hit menggambarkan jejas akut beragam organ, berlanjut ke tahap Second Hit saat tubuh mengalami disfungsi multi organ, sedang tahap Third Hit gambaran utamanya yaitu bocor endotel global, Terjadinya GIPS bisa dipantau dengan peningkatan indeks bocor kapiler (capillary
leak index [CLI]), cairan interstisial berlebih dan indeks cairan ekstravaskular paru menetap
tinggi (extravascular lung water index [EVLWI]), late conservative fluid management (LCFM) tidak tercapai, dan akan berlanjut menjadi gagal multi organ. Terjadinya GIPS mencerminkan Third Hit sesudah jejas akut (First hit) yang berlanjut menjadi sindrom disfungsi multiorgan (multi-organ dysfunction syndrome−MODS [Second hit]). Third Hitmungkin terjadi pada pengidap yang tidak masuk ke tahap Flow namun tidak pulih. Bila pengidap bisa mengatasi tanggapan inflamasi akut maka mikrosirkulasi dan bocor kapiler pulih dalam waktu 48−72 jam.
Model Three-Hit bisa diperluas menjadi Four-Hit dan dibagi lima stadium pemberian cairan: Resusitasi, Optimalisasi, Stabilisasi, dan Evakuasi diikuti oleh risiko Hipoperfusi. Konsepnya bisa diuraikan melalui lima tahap klinis resusitasi dan terapi cairan berikut :
tahap Resusitasi
- Resusitasi cairan ( bolus sebanyak 4 mL/kg berat badan dalam waktu 10−15 menit)
- Targetnya yaitu early adequate goal directed fluid management (EAFM), akan memicu keseimbangan cairan positif. Target resusitasi cairan yaitu : MAP >65 mm Hg, CI >2,5 L/min/m2, PPV < 12%, LVEDAI > 8 cm/m2 (anak menyesuaikan)tahap Optimalisasi
- Derajat keseimbangan cairan positif yaitu penanda derajat berat tahap ini
- Risiko mengalami sindrom polikompartemen
- Tidak stabil, syok terkompensasi yang memerlukan cairan untuk memulihkan curah
jantung
- Berlangsung dalam beberapa jam
- Terjadi iskemia dan reperfusi
- Target: MAP >65 mmHg , CI >2,5 L/min/m2, PPV <14%, LVEDAI 8−12 cm/m2, pantau IAP (<15 mmHg) dan hitung APP (>55 mm Hg). Optimalisasi preload dengan GEDVI 640−800 mL/m2 (anak menyesuaikan) tahap Stabilisasi Terjadi dalam beberapa hari, Hanya diberikan terapi cairan untuk rumatan dan pengganti , Tidak ada syok atau ancaman syok , Pantau berat badan, keseimbangan cairan dan fungsi organ setiap hari
Target: keseimbangan cairan netral atau negatif, EVLWI <10−12 mL/kg berat badan , PVPI <2.5,
IAP <15 mmHg , APP >55 mmHg , COP >16−18 mmHg , and CLI <60 (anak menyesuaikan)
tahap Evakuasi pengidap sakit kritis yang tidak mengalami peralihan dari tahap Eberat badan ke tahap Flow sesudah Second Hit akan mengalami global increased permeability syndrome (GIPS)
Lebih cairan akan memicu disfungsi end-organ
kondisi ini memerlukan pengobatan buang cairan: late goal directed fluid therapy(LGDT) (deresusitasi) untuk mencapai keseimbangan cairan negatif, Hindari pengobatan buang cairan berlebihan yang bisa memicu hipovolemia
Resusitasi cairan agresif EGDT mengutamakan resusitasi awal. Sesudah resusitasi cairan
agresif awal bisa mengatasi syok lalu harus melakukan restriksi cairan dan menghindari edema interstitial organ vital. Bila terjadi lebih cairan, selain restriksi cairan, bisa dilakukan ekskresi cairan melalui deresusitasi seperti PAL Treatment bantuan ventilasi non invasif (NIV, contoh Positive end expiratory pressure [PEEP]),
Albumin, dan Lasix (furosemid). Akumulasi cairan di rongga ke tiga berkaitan dengan gangguan fungsi organ dan luaran yang buruk. Sebaliknya keseimbangan cairan negatif berkaitan dengan perbaikan harapan hidup dan peningkatan fungsi paru. Targetnya keseimbangan cairan nol atau negatif serendah-rendahnya pada hari ke−3 dan
mempertahankan keseimbangan cairan kumulatif pada hari ke−7
- Diuretik atau terapi sulih ginjal (kombinasi dengan albumin) dipakai untuk mobilisasi
cairan pada pengidap yang hemodinamisnya stabil dengan hipertensi intraperut
dan keseimbangan cairan kumulatif positif sesudah melakukan resusitasi cairan dan sudah
mengatasi sumber infeksi Resusitasi cairan agresif berlebih akan memperburuk kondisi anak sakit kritis dan mungkin terjadi edema, hipertensi, gagal napas, jejas dan paresis saluran cerna yang
lambat pulih.Persentase lebih cairan (fluid overload percentage/FO%) dihitung dengan rumus ini:
FO% = (jumlah cairan masuk - jumlah cairan keluar [mL])/Berat Badan saat masuk
x100%.
Lebih cairan >15% akan mempengaruhi fungsi paru yang bisa diukur dari derajat hipoksemia dan sering terjadi pada pengidap gagal napas akut. Keseimbangan cairan bergeser menjadi positif secara cepat pada pengidap sakit kritis akibat resusitasi cairan dan bocor endotel kapiler. Pasien syok dekompensata memerlukan cairan resusitasi lebih banyak untuk stabilisasi hemodinamis.
Pendekatan pengobatan P.A.L. (PEEP−Albumin−Lasix)
- Berikan PEEP tinggi selama 30 menit (paling sedikit sama dengan tekanan intraperut ) untuk menarik cairan dari alveoli kedalam interstitium, lalu ,
- Albumin (2 x 100 mL albumin 20% dalam 60 menit untuk hari ke-1, lalu titrasi sampai tercapai kadar albumin >30 g/L) untuk menarik cairan dari interstitium ke dalam sirkulasi
- Furosemid (Lasix) infus selama 60 menit (sesudah albumin) dosis 60 mg/jam selama
4 jam, lalu titrasi antara 5-20 mg/jam untuk menghasilkan luaran urin >100 mL/jam
- Dipakai pada pengidap acute lung injury agar terjadi keseimbangan cairan negatif,
mengurangi EVLWI dan IAP, dan memperpendek waktu pemakaian ventilator tanpa
mengganggu fungsi organ , Pemantauan hemodinamis resusitasi cairan dan mampu tanggapan caira, Resusitasi cairan terlalu agresif bisa memicu lebih cairan dan gangguan fungsi
jantung dan perfusi jaringan. Beberapa parameter yang dipakai untuk pemantauan hemodinamis dan mampu tanggapan cairan (fluid tanggapan iveness) yaitu:
a. Penilaian parameter klinis untuk menilai kecukupan perfusi jaringan:
- Status mental/ tingkat kesadaran, - Perfusi kulit (pucat, mottling, sianosis), - Ekstremitas dingin,
- Waktu pengisian kapiler, - Luaran urin,
- Laktat plasma, - Gas darah: pH, BE, HCO3, pCO2,
- Saturasi oksigen, - Tekanan darah arteri rata-rata (Mean arterial pressure/MAP),
b. Parameter statis
- Global end-diastolic volume dan intrathoracic blood volume (GEDV dan ITBV)
- Central venous pressure (CVP)
- Pulmonary artery occlusion pressure (PAOP)
- RV end-diastolic volume dan LV end-diastolic area (RVEDV dan LVEDV)
c. Parameter dinamis
- Indeks cairan ekstravaskuler paru (extravascular lung water index/EVLWI)
- Tekanan intraperut (intra-perut pressure/IAP)
- Ultrasound cardiac output pemantau device (USCOM)
- ragam volume sekuncup
- ragam tekanan nadi
- ragam tekanan sistole dan diastole
- Aortic blood velocity (DVpeak)
- Superior vena cava collapsibility index dan inferior vena cava distensibilty index
d. Modified fluid challenge
- Passive leg raise (PLR) pada dewasa bisa memobilisasi cairan 300 cc
- Bolus cairan mini (100−200 mL, anak sesuaikan dengan berat badan 5 mL/kg berat badan )
Pemantau statis untuk pasien syok sudah tradisi lama dipakai untuk menilai curah jantung sesudah resusitasi cairan, terutama tekanan vena sentral dan tekanan arteri pulmonalis (preload tanggapan iveness).Bukti baru menandakan tekanan vena
sentral dan tekanan arteri pulmonalis yaitu pemantau mampu tanggapan cairan yang
tidak baik.Pengaruh ragam respirasi pada tekanan vena sentral berguna untuk memantau mampu tanggapan cairan pada pasien yang bernapas spontan, juga variabel hemodinamis tekanan baji kapiler paru dan curah jantung dari pengukuran kateter arteri pulmonalis berguna untuk menentukan jenis syok dan menilai tanggapan terapi namun tidak bisa memperkirakan preload tanggapan iveness.
Pemantau untuk menilai preload tanggapan iveness yaitu perubahan tahap volume sekuncup dan tekanan darah sistole saat pasien syok dipasang ventilasi mekanis. ragam volume sekuncup (Stroke volume variation/SVV) yaitu beda rasio volume sekuncup maksimum selama beberapa siklus napas dan volume sekuncup
rata-rata dalam periode yang sama. Nilai SVV >15% pada pasien yang memperoleh volume tidal >8 mL/kg berat badan atau SVV >10% pada pasien yang memperoleh volume tidal
mL/kg berat badan akurat untuk memperkirakan preload tanggapan iveness pada pasien dengan dada tertutup. Alat pemantau komersial seperti PiCCO, LiDCOplus, Volume View/EV1000, dan FloTrac memakai pulse contour analysis untuk mendeteksi curah jantung dan SVV secara tidak langsung. Pulse contour analysis berdasar hubungan antara volume sekuncup, komplians aorta dan tahanan vaskuler sistemis. Alat LiDCO memakai pulse power analysis untuk mengubah gelombang arteri ke dalam gelombang volume-waktu. Indikator Perfusi Jaringan. Tujuan utama resusitasi cairan adalan memulihkan perfusi jaringan, namun pemantau hemodinamis tidak mengukur perfusi jaringan. Indikator kecukupan perfusi meliputi SVO2, ScVO2, dan laktat. saran Surviving Sepsis Campaign tercapainya kadar ScVO2 >70% dalam 6 jam sejak sepsis terdeteksi.
Hiperlaktatemia (kadar laktat plasma >4 mmol/L) baik untuk mendeteksi sepsis berat. Kadar laktat plasma normal (<2 mmol/L) dan bersihan laktat (kadarnya turun 10% per jam) yaitu target resusitasi syok sepsis, disamping parameter hemodinamis lainnya. Sirkulasi usus terganggu sejak awal terjadinya hipopperfusi. sebab aliran darah gaster menurun, maka pH mukosa gaster (pHi) yang diukur dengan tonometer,
mencerminkan perfusi usus. Nilai pHi dihitung dari CO2 lumen gaster dan bikarbonat darah, nilai rendah menunjukkan hipoperfusi berat. Pemantau perfusi jaringan lainnya yang jarang dipakai yaitu Sidestream Dark Field imaging technique (SDF), kapnometri sublingual, dan near infrared spectroscopy (NIRS).Pemantauan parameter klinis untuk menilai kecukupan perfusi jaringan yaitu dasar pemantau status hemodimamis pasien syok. Pemantauan statis invasif seperti CVP dan PAOP saat ini masih banyak dipakai, meski sudah ada beragam bukti bahwa nilai
pemantau statis sering tidak sesuai dengan kondisi klinis sebetulnya , sehingga pemantauan
pasien sakit kritis saat ini sudah beralih ke pemantauan dinamis noninvasif atau invasif
minimal, seperti ultrasonografi dan bioimpedans, dan pemantauan indeks kebocoran kapiler (CLI), indeks cairan ekstravaskuler paru (EVLWI), tekanan intraperut (IAP), keseimbangan cairan dan lebih cairan pada tahap eberat badan dan tahap flow.