kesehatan anak 1
















































































































mekanisme  terjadi komplikasi pada SN yaitu  hilangnya protein  plasma ke dalam urin. Kehilangan protein memicu  penurunan tekanan 
onkotik intravaskular yang lalu  memicu  cairan merembes ke ruang interstisial. Pengurangan volume intravaskular menurunkan  perfusi ginjal 
dengan akibat penurunan laju filtrasi glomerulus,  memicu sistem renin-angiotensin. Aldosteron, sebagai hasil dari aktivasi sistem renin-angiotensin, bersama dengan peningkatan sintesis dan sekresi hormon antidiuretik sebagai tanggapan  penurunan volume intravaskular, memicu  peningkatan penyerapan ulang  natrium dan air di tubulus. ini  memicu  gejala seperti takikardia, vasokonstriksi perifer, tekanan darah rendah, oliguria dan retensi sodium urin. Teori underfill di atas tidak selalu bisa  diterapkan pada pasien sindrom nefrotik.  beberapa pasien diperoleh  peningkatan volume intravaskular, dengan kadar renin  dan aldosteron rendah. Pada pasien-pasien ini, terjadi kelainan primer pada fungsi ginjal  yang memicu  retensi air dan natrium, peningkatan volume sirkulasi sehingga terjadi transudasi cairan ke rongga interstisial, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal 1-3,  maka  penanganan edema pada pasien SN  memikirkan  kondisi  klinis setiap pasien, Selain perubahan hemodinamik akibat perubahan tekanan onkotik, komplikasi SN juga dipicu  hilang protein plasma yang ikut  membawa zat zat penting dalam  pencegahan infeksi, tromboemboli  gangguan kalsium. Komplikasi ini  bisa  terjadi terkait   penyakit dan akibat obat-obatan yang diberikan. Komplikasi  SN terkait   penyakit   infeksi, hipovolemia, tromboemboli, insufisiensi renal,  gangguan pertumbuhan. pengidap  SN berisiko   besar  mengalami hipovolemia dan syok. Gejala dan tanda hipovolemia yaitu  hipotensi, takikardia, akral dingin,  perfusi buruk, peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma,  Nyeri perut ,  Komplikasi ini bisa  terjadi  akibat pemakaian diuretik yang tidak terkendali , terutama pada masalah  yang ditambah    sepsis, diare,  muntah.meski  pengidap  SN memiliki peningkatan total air tubuh dan sodium untuk mengkompensasi deplesi volume intra vaskular, tapis tatus volume pasien (hipovolemia atau masih normovolemia) kadang  sulit dideteksi, bahkan pengidap  jatuh dalam kondisi  gangguan ginjal akut. Pemantauan volume sirkulasi penting dilakukan contoh   Pemberian diuretik loop aman diberikan jika  volume sirkulasi normal, namun jika  volume sirkulasi menurun maka pemakaian  diuretik perlu berhati-hati diberikan.Peningkatan risiko infeksi terjadi oleh sebab  kekurangan konsentrasi immunoglobulin  yang hilang melalui urin, gangguan dalam membuat antibodi khusus , kurang faktor komplemen,  pemakaian obat imunosupresif. Kumulatif insidensi infeksi berkaitan dengan mortalitas menurun dari 40% hingga 1,5% dengan pemakaian antibiotika.
Infeksi, yang paling sering yaitu  peritonitis (2-8%), lalu  infeksi saluran napas atas, selulitis, pneumonia,  oleh virus, Komplikasi infeksi terutama infeksi bakteri berkapsul menandakan  peningkatan frekuensi pada pengidap  SN.  , asites dan efusi pleura memberi  media  kultur alami untuk pertumbuhan bakteri, maka  empiema,  peritonitis pneumonia yaitu  infeksi serius yang sering terjadi,   imunisasi yaitu  salah satu cara mencegah komplikasi infeksi serius pada pengidap  SN, 2  sampai 5% dari anak SN berkomplikasi tromboemboli. Risiko lebih tinggi pada anak resisten steroid dibanding dengan peka  steroid,   pengidap  SN kongenital dan SN sekunder lebih berisiko  mengalami tromboemboli. Lokasi potensial untuk tromboemboli termasuk deep vein, trombosis vena renalis, emboli paru, dan situs arteri. Patofisiologi trombogenesis pada SN tidak sepenuhnya dimengerti, namun  bisa  
dipicu  multi faktor. biasanya  mekanisme ini termasuk peningkatan konsentrasi  protein urin yang mencegah terjadinya trombosis (antitrombin III, protein C dan protein S) dan peningkatan faktor sintesis yang memicu  trombosis (faktor V dan VIII, faktor von Willebrand,  plasmin inhibitor, plasminogen activator inhibitor1 dan fibrinogen).
Kombinasi faktor risiko lainnya yaitu  hipovolemia, hiperlipidemia,  trombositosis, Antikoagulan profilaksis tidak rutin disarankan  kecuali jika pasien mengalami tromboemboli atau risiko tinggi trombosis (konsentrasi albumin kurang 2 g/dL, level fibrinogen lebih dari 6 g/L atau level antitrombin III kurang dari 70% normal). pengidap  yang menunjukkan gejala trombosis, baik secara klinis atau  radiologis, diberikan heparin subkutan, diteruskan  dengan warfarin oral selama 6 bulan, Gangguan metabolisme kalsium dan vitamin D Hipokalsemia dikaitkan dengan penurunan kadar albumin, yang memicu  
pengurangan kalsium terikat dan terionisasi (40 sampai 90% masalah ). pengidap  SN sering
memiliki hipokalsiuria sebab  penurunan penyerapan kalsium di gastrointestinal dan 
peningkatan penyerapan ulang   kalsium di tubulus ginjal. Kelainan dalam metabolisme vitamin  D terjadi oleh sebab  peningkatan filtrasi metabolit vitamin D-binding globulin. gejala yang muncul yaitu  hipokalsemia, hiperparatiroidisme sekunder dan gangguan  kalsifikasi tulang, Pengobatan steroid jangka lama juga   memicu  risiko osteoporosis. 25 persen pengidap  SN menunjukkan massa tulang yang rendah. Penurunan massa  tulang ini berkaitan dengan usia awitan yang lebih tua, asupan kalsium yang rendah, dan dosis kumulatif steroid.  pada sindrom nefrotik, terjadi defisiensi   vitamin D,sekalipun dalam kondisi  remisi. Dalam kondisi  ini diperlukan pemberian kalsium oral(250-500 mg) dan vitamin D (125-250 IU), terutama pada anak dengan SN relaps sering, dependen steroid,  resisten steroid. Gagal ginjal akut yaitu  komplikasi SN yang kritis . saat  proteinuria masif terjadi dan albumin menurun, volume sirkulasi di plasma berkurang sehingga  terjadi kolaps sirkulasi. maka , pemakaian  diuretik pada kondisi  seperti di  atas perlu ditunda pemberiannya minimal 8 jam. Penurunan LFG bisa  pula ditemukan pada kondisi  normovolemia, ini dipicu  oleh kerusakan pada foot processus yang  memicu  berkurangnya area filtrasi dan penurunan permeabilitas air.Gangguan ginjal akut bisa  pula dipicu oleh sepsis, zat radiokontras, akut tubular nekrosis dari antibiotik nefrotoksik dan obat anti inflamasi non-steroid,   bisa  pula terjadi sekunder akibat trombosis vena renalis, atau terjadi nefritis interstisalis akibat  pemakaian furosemid dosis tinggi. Jika gagal ginjal terus berlanjut selama lebih dari beberapa hari, dialisis mungkin diperlukan untuk pemulihan lengkap. Komplikasi yang berkaitan  dengan obat, 
Kortikosteroid sudah  mengurangi angka kematian SN sekitar 8%, namun, kortikosteroid bisa  memicu  efek samping seperti  katarak, gangguan metabolisme glukosa, dislipidemia, gangguan emosional, perubahan sikap cushing, kegemukan , 
gangguan pertumbuhan, hipertensi, osteoporosis, 
 beberapa obat bisa menurunkan efek terapi kortikosteroid contoh  fenobarbital, fenitoin,rifampisin, karbamazepin,  sehingga pemakaian  obat obat ini  bersama kortikosteroid harus dipantau.Komplikasi gangguan pertumbuhan berkaitan  dengan pemakaian jangka panjang steroid. Steroid menekan maturasi kondrosit pada epifisik  tulang,   menghambat sekresi hormon pertumbuhan dan aktifitas insulin like growth faktor  1 (IGF-1). pemakaian  prednisolon selama 6 bulan dengan dosis 0,75 mg/kg/hari atau lebih
dari 0,35 mg/kg/hari selama 3 tahun,  berkaitan  dengan kejadian retardasi pertumbuhan. Untuk mengurangi komplikasi gangguan pertumbuhan akibat terapi kortikosteroid, cara  ini mungkin membantu yaitu pemantauan  pertumbuhan/indeks massa tubuh, suplementasi kalsium,  vitamin D,   pemakaian  steroid selang hari dosis rendah dan dilakukan secara bertahap dan  gabungan dengan imunosupresan lain.
Efek samping agen alkylating, termasuk komplikasi awal penekanan sumsum tulang, 
alopecia, gangguan pencernaan, hemorrhagic cystitis dan infeksi, komplikasi akhir  dari kemungkinan keganasan dan gangguan kesuburan, terutama pada laki-laki. Untuk
menghindari toksisitas gonad, CPM tidak boleh dipakai  untuk lebih dari 12 minggu (2 mg/kg berat badan, dosis tunggal) dan harus direduksi jika jumlah lekosit darah kurang dari 5.000/mm3 selama pemakaian  CPM. Asupan cairan yang kuat  disarankan  untuk menghindari hemorrhagic cystitis selama memakai  CPM.
Cyclosporin A(CsA) CsA yaitu  metabolit imunosupresif bertugas dengan cara dengan merekayasa  fungsi sel T dan menghambat pelepasan interleukin-2. pemakaian  jangka panjang dari  CsA memicu  berkurangnya fungsi ginjal (nefrotoksisitas), ensefalopati, gangguan enzim hati,hiperkalemia, hipertrikosis, 
hiperplasia gingival, hirsutisime, hipertensi, 
Dampak pemberian CsA ditemukan 30 sampai 50% lesi tubulointerstitial dari anak-anak yang sudah  menerima CsA selama lebih dari 12 bulan. Faktor risiko terjadi komplikasi CsA yaitu  lama pemberian terapi CsA, dosis yang CsA tinggi,  penerimaan terapi CsA pada usia lebih muda. maka , dosis efektif terendah CSA disarankan  untuk pengobatan perawatan SN, dengan penurunan dosis lebih dari 1 tahun untuk 1 sampai 
3 mg / kg / hari. Obat-obat lain
Tacrolimus yaitu  inhibitor kalsineurin bisa  memiliki beberapa efek samping, seperti hiperkalemia, hypophosphatemia, leukopenia,  hiperglikemia, hipertensi, kelainan fungsi ginjal, tremor, kram otot, Komplikasi mikofenolat mofetil (MMF) termasuk gangguan gastrointestinal, penekanan sumsum tulang,  pusing . Levamisol, agenantihelminthik, bisa  dipakai  pada pasien steroid dependent, namun  tidak efektif sebagai 
terapi permanen untuk SN. Levamisol berefek  samping ringan dari leukopenia, efek gastrointestinal dan vaskulitis. Rituximab yaitu  obat baru penghambat proliferasi sel B dan diterapkan  pada pengidap  SN relaps sering, steroid dependen dan steroid resisten. Komplikasi 
rituximab termasuk bronkospasme yang mengancam jiwa, pneumonia pneumocystis 
carinii, infark miokard, progressive multifocal leukoencephalopathy,  reaktivasi virus 
seperti hepatitis B, cytomegalovirus 




suplementasi zat besi
defisiensi   besi (DB) termasuk defisiensi   mikronutrien,  Besi yaitu  nutrisi penting  berperan dalam pertumbuhan, Kekurangan besi pada  bayi dikaitkan dengan  masalah perkembangan, meliputi defisit perkembangan saraf, penundaan pematangan tanggapan  batang otak terhadap pendengaran,   gangguan memori,  sikap , Suplementasi besi bayi dan anak  mencegah kekurangan besi selain pelaksanaan suplementasi besi ibu hamil dan menunda penjepitan tali pusat.
membaginya ke dalam 4 golongan  usia  yaitu: bayi hingga usia 2 tahun, anak usia 2-5 tahun, usia sekolah (5-12 tahun), dan remaja (12-18 tahun),  Suplementasi besi  pada bayi dan anak,  rangkuman beragam penelitian dan saran  SB yang sudah  dikeluarkan oleh  organisasi dunia, diantaranya World Health Organization, pada bayi dan anak yang  bisa  menjadi pertimbangan perubahan saran  SB pada bayi di negara kita .
 berdasar  data Vitamin and Mineral Nutrition Information System (VMNIS)  WHO, negara kita  tergolong kedalam golongan  prevalensi anemia moderat (sedang) untuk anak 6-59 bulan, yaitu 30%.  Semakin muda usia gestasi semakin dini kejadian DB. Faktor yang mempengaruhi  kejadian DB, yaitu tinggal negara berkembang dan hanya mengonsumsi  air susu ibu (ASI) eksklusif tanpa suplementasi.Total kadar besi, hemoglobin (Hb), 
cadangan dan serum besi lebih rendah pada BKB. Kondisi lain seperti DB selama kehamilan, pertumbuhan janin terganggu (PJT), dan kehilangan darah kronis selama kehamilan juga mempengaruhi  cadangan besi bayi.Cadangan besi akan   cepat berkurang selama 6-8 minggu pertama kehidupan, bertepatan dengan awal eritropoesis dan percepatan pertumbuhan . Status besi pada saat persalinan tidak mempengaruhi  tingkat pertumbuhan, bayi akan mengalami percepatan pertumbuhan tanpa memandang kadar besi. Percepatan pertumbuhan ini akan meningkatkan volume darah dan massa Hb, sehingga diperlukan tambahan besi. Rata-rata 
penurunan Hb terjadi pada usia 9 minggu dan berlanjut hingga usia 12 bulan, sehingga bisa  disimpulkan bahwa suplementasi besi bisa  diberikan mulai bulan pertama kehidupan dan diteruskan  hingga usia 12 bulan.Pada bayi kurang bulan dengan tingkat eritropoesis dan pertumbuhannya yang  cepat, kandungan besi pada ASI saja tidak cukup. Pemberian besi bagi BKB yaitu  dengan memperkirakan  kebutuhannya melalui analogi tingkat kebutuhan besi pada pertumbuhan intrauterin untuk mempertahankan  serum besi normal. berdasar analogi pertumbuhan 
ini, BKB memerlukan asupan besi harian sebesar 1,6-2,0 mg/kg intravena atau 5-6 mg/kg 
secara enteral, sebab  penyerapan besi enteral hanya sekitar 30%. Pada BKB dengan berat badan <1500 gram (berat badan LSR) status besi lebih sulit untuk 
diprediksi, sebab  sebagian besar bayi saat dilahirkan memerlukan perawatan intensif. 
Bayi bisa  berada dalam kondisi deplesi besi, normal, atau  kelebihan besi. Faktor  yang mempengaruhi  kebutuhan besi saat bayi dipulangkan yaitu  status besi pada  saat dipulangkan, besi yang terkandung dalam diet, riwayat transfusi,  kecepatan  pertumbuhan. Kondisi berat badan LSR yang dipulangkan dari ruang intensif bayi beragam. Kebutuhan berat badan LSR yang pulang dengan berat badan mendekati 2000-2500 gram dengan Hb 13 g/dL dengan kadar feritin normal tentunya kebutuhan besinya akan mendekati  berat badan LR yaitu 2 mg/kg/hari. Kondisi yang  sering ditemukan yaitu  bayi pulang dengan Hb 8,5 g/dL memerlukan tambahan besi 50 mg selama pertumbuhan cepat 1 tahun awal. Jika cadangan besi rendah, ditunjukkan dengan konsentrasi ferritin <40 µg/L maka tambahan besi diperlukan tambahan besi 30 mg, Suplementasi besi bisa  diberikan dalam bentuk fortifikasi besi pada human milk  fortifier (HMF), susu formula (SF), atau  besi elemental. Fortifikasi HMF yang tersedia  di Amerika Serikat mengandung 3,5-14,4 mg/L besi dan memberi  0,7-2,2 mg/kg/hari besi tambahan jika susu ini  dikonsumsi sebanyak 150 mL/kg/hari. Alternatif lain yang bisa  dipakai  yaitu  susu formula yang difortifikasi besi. Susu formula 
yang mengandung 5-9 mg/L besi cukup untuk memenuhi kebutuhan eritropoesis BKB  sehat selama 6 bulan kehidupan, dosis lebih rendah berisiko  mengalami DB. Susu formula  lanjutan yang beredar luas mengandung 12-14 mg/L besi dan bisa  diserap  1,8-2,2 mg/kg/hari dalam perhitungan kebutuhan SF 150 ml/hari sedang  formula lanjutan memiliki kandungan besi 13 mg/L menyediakan besi 2 mg/kg/hari, dan jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan besi. pemberian suplementasi besi bayi cukup bulan Air Susu Ibu mengandung besi dengan kandungan yang rendah (0,5 mg/L), bahwa DB sering terjadi pada golongan  bayi yang diberi SF, walau  
kandungan besi pada formula ini  3-4 kali lebih tinggi dibandingkan ASI.  bahwa besi diserap  lebih baik pada ASI sebab  adanya iron binding proteinlaktoferin pada ASI yang tidak diperoleh  pada SF. Laktoferin tahan terhadap proteolisis dan 
ada    pada feses dalam bentuk yang utuh. Laktoferin diserap melalui membran sel apikal 
usus halus melalui reseptor laktoferin dan diinternalisasikan bersama besi. Berbeda dengan 
SF sebagian besar besi terikat pada kasein dan forfopeptida yang dibentuk selama proses 
pencernaan bisa  menghambat penyerapanya . Jumlah kasein pada ASI lebih rendah dibanding 
SF. defisiensi   besi bisa  terjadi pada bayi cukup bulan sebelum usia 6 bulan di negara berkembang sebab  defisiensi   ibu selama kehamilan, berat lahir rendah, infeksi,  konsumsi  makanan pendamping ASI yang kandungan besinya rendah.  penelitian yang membanding-bandingkan  status besi bayi cukup bulan di negara  berkembang dan maju yaitu Swedia dan Honduras menandakan  kadar besi beragam  saat awal intervensi SB (1 mg/kg/hari vs plasebo) mulai usia 4 atau 6 bulan sampai usia 9  bulan. Hasil lainnya yaitu  golongan  yang diberi suplementasi besi mulai dari usia 4 bulan 
memiliki tanggapan  positif yang sama ( free protoporfirin, reseptor transferin, Hb, feritin,)  pada bayi Honduras dan Swedia, terlepas dari data bahwa bayi Swedia memiliki status besi yang cukup pada usia 4 bulan. Fenomena yang berbeda pada golongan  suplementasi yang dimulai dari usia 6 bulan, ada  peningkatan hemoglobin dan berkurangnya anemia  dari 29% menjadi 9% hanya pada bayi Honduras, yaitu pada golongan  dengan DB pada baseline. Tidak ada perbedaan yang menonjol  dalam indikator status besi antara golongan  yang menerima besi dari mulai usia 4 atau 6 bulan. penyerapan  besi pada bayi usia 6 bulan menandakan  tidak ada perbedaan yang menonjol  antara bayi Swedia yang sudah  menerima suplemen besi dan mereka diberi plasebo, sedang  pada usia 9 bulan bayi yang diberi suplemen besi menyerap 17% besi dari ASI sedang  bayi yang tidak diberikan suplementasi menyerap 37%. ini bisa  menjadi pertimbangan 
mulainya pemberian suplementasi besi pada bayi cukup bulan yang diberi ASI eksklusif. Sebelum usia 6 bulan regulasi homeostatik besi belum matang dan maturasi penyerapan  besi  saluran cerna terjadi pada usia 9 bulan, bahwa pada usia <6 bulan, kemampuan keseimbangan besi dan 
down regulation dari transporter intestinal masih belum matur. Ekspresi hepsidin menanggapi   
 cadangan besi tubuh, namun divalent metal transporter 1 (DMT1) dan feroportin (FPN1) tidak menanggapi  , menandakan  imaturitas bukan dipicu  oleh sinyal dari cadangan besi namun maturasi penyerapan  besi di saluran pencernaan yang ditentukan  oleh DMT1, FPN1, hephaestin dan perubahan letak protein transfer dalam enterosit, Sumber eksogen 2-4 mg/kg/hari disarankan  selama periode pertumbuhan stabil, dimulai pada 4-8 minggu dan berlanjut sampai usia  12-15 bulan,  saran  SB pada golongan  usia ini yaitu  berdasar  bukti ilmiah yang kurang kuat, SB hanya berguna  dalam mengurangi anemia berat yang memerlukan  transfusi, sedang  dampak negatif seperti kejadian penyakit paru kronis, retinopati prematur,  enterokolitis nekrotikan tidak terbukti. Dosis yang dipakai  beragam  mulai 2-4 mg/kg/hari hingga dosis tinggi 7-12 mg/kg/hari. Durasi pemberian juga beragam , dikatakan jangka pendek bila diberikan ≤6 bulan dan  jangka panjang >6 bulan.3
 Dosis 2-3 mg/kg/hari memiliki manfaat yang paling optimal. Suplementasi besi dini (< 2minggu) terbukti mengurangi anemia berat yaitu didefisiensi kan   sebagai anemia yang memerlukan transfusi pada masa bayi dan profil hematologis lebih baik sesudah  usia 8 minggu, memperbaiki  cadangan besi (mencegah penurunan,  meningkatkan kadar ferritin)  mencegah penurunan kadar Hb. Suplementasi  besi terbukti  lemah tidak meningkatkan risiko morbiditas bayi meliputi sepsis awitan lanjut, penyakit paru kronis atau  ROP. Durasi pemberian SB ≤6 bulan yang  menunjukkan perbedaan menonjol  pada profil hematologis (Hb dan mean corpuscullar volume/MCV) golongan  suplementasi dan non suplementasi. Cochrane neonatal menunjukkan bayi yang memperoleh  SB memiliki kadar Hb yang  lebih tinggi, cadangan besi yang lebih baik, dan risiko IDA yang lebih rendah,  Namun bukti efektivitas jangka panjang terhadap pertumbuhan dan perkembangan masih belum  jelas. Waktu dan durasi yang paling optimal masih belum jelas. saran  suplementasi besi pada bayi cukup bulan 6-23 bulan saran  SB WHO terbaru pada golongan  usia ini berbeda dengan saran  Satgas ADEBE IDAI yang menyarankan  memulai SB pada usia 4 bulan. World  Health Organization tahun 2016 menyarankan  SB sejak usia 6 bulan. Perbedaan  lainnya yaitu  durasi pemberian, pada saran  IDAI diberikan dosis harian hingga 2 tahun,sedang   saran  WHO terbaru, SB cukup diberikan 3 bulan dalam  setahun,  saran  WHO untuk bayi cukup bulan usia 6-23 bulan, Intervensi komunitas pada bayi dan anak usia 6-23 bulan, pada tempat dengan prevalensi tinggi (40%) untuk mencegah DB dan ADB  disarankan  berdasar  bukti ilmiah dengan kualitas sedang,  saran  ini berdasar  
tinjauan penelitian pada bayi 4-23 bulan. Bayi yang memperoleh  suplementasi besi berisiko  yang lebih rendah terhadap anemia dibandingkan golongan  plasebo. Tidak ada    perbedaan antara  dua golongan  ini  pada aspek pertumbuhan (stunting dan wasting). Dampak negatif  infeksi meliputi infeksi saluran napas atas, diare, dan malaria tidak terbukti, Pada saran  ini tidak dijelaskan alasan mulai diberikan pada usia 6 bulan, namun dipikirkan  berdasar  metabolisme besi bahwa bayi memiliki maturitas 
homeostasis besi pada usia 6 bulan dan salah satu penelitian di Amerika Serikat 38 bayi diberi besi 7 mg sejak usia 1 bulan dibandingkan 38 plasebo menandakan  pemberian besi dari usia 1 bulan-5.5 bulan bisa  berefek  pencegahan, namun efek ini  tidak bertahan sampai usia sesudah  suplementasi.bahwa SB tidak terbukti bisa  memperbaiki perkembangan 
dan pertumbuhan yang dinilai melalui pemeriksaan Bayley Scales of Infant Development 
Scores pada usia 3-12 bulan dan Griffith. sedang  dampak terhadap profil hematologis lainnya sejalan dengan tinjauan sistematis sebelumnya,  Durasi pemberian SB selama 3 bulan berturut   dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan besi anak 6-23  bulan. Luaran positif terhadap neurodevelopmental (perkembangan) dilihat  pada golongan  usia pra sekolah (24-5 tahun) dan usia sekolah (5-12 tahun,  Pada usia pra sekolah sekolah ada    pada ada aspek kognitif ada    perbedaan minimal pada aspek bahasa dan visual antara golongan  yang beri SB dan yang tidak. sedang  dampak SB terhadap pertumbuhan dilihat  ada    pada golongan  usia sekolah (6-12 tahun).
saran  SB pada bayi cukup bulan yang sehat perlu memikirkan   berdasar  risiko ADB, European Society for Paediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition (ESPGHAN) tidak menyarankan  SB bayi cukup bulan yang sehat sebab  pelaksanaan  ini sebab  terbukti tidak mengurangi ADB pada area  dengan prevalensi yang rendah (5-10% populasi). saran  ini mirip  dengan United State Preventive Task Force yang hanya menyarankan  SB pada bayi dengan risiko tinggi ADB.saran  WHO ini yaitu  pencegahan tingkat populasi sehingga bila    anak sudah  analisa   ADB maka pengobatan  yaitu  berdasar  pedoman nasional tiap negara. Jika prevalensi yaitu  20-40%, regimen intermitten bisa  dipikirkan .Pemberian SB intermitten sebagai intervensi komunitas untuk memperbaiki status besi dan mengurangi risiko ADB. saran  ini berdasar  2 tinjauan sistematis dan 
metaanalisis, Suplementasi besi intermiten bisa  diberikan 1 kali per minggu, 2 atau 3 kali per minggu yaitu  cara yang cukup efektif untuk meningkatkan asupan besi. Regimen ini berefek  samping yang lebih minimal dan meningkatkan kepatuhan minum SB, Pemilihan cara pemberian suplementasi harus khusus  dengan permasalah tiap area  dengan tujuan mencapai populasi yang paling rentan mengalami DB, dan memastikan kesediaan dan kelangsungan obat. Pada area  endemis malaria, suplementasi tidak meningkatkan risiko malaria atau kematian bila surveilans dan terapi malaria tersedia, 
intervensi besi oral tidak diberikan kepada anak yang tidak memiliki akses terhadap program pencegahan malaria Risiko malaria klinis lebih rendah pada anak dengan besi yang cukup, tidak diperlukan skrining anemia sebelum DB di area  anemia prevalensi tinggi. Malaria pada bayi berbahaya, maka suplementasi besi hanya diberikan pada bayi yang tidur dalam kelambu berinsektisida, dan malaria bisa  diobati sesuai dengan pedoman nasional,  Dampak defisiensi   besi pada anak bisa  memicu  gangguan pertumbuhan, kognitif,  imunitas. Jika terjadi pada ibu hamil, maka akan meningkatkan risiko kematian janin dalam kandungan.Deteksi dini defisiensi   besi yaitu  hal penting dalam pencegahan anemia defisiensi   besi. Derajat anemia  berbanding lurus dengan tingkat keparahan gangguan tumbuh kembang yang terjadi dan bersifat ireversibel. standart  pemeriksaan laboratorium dalam melakukan  analisa   anemia defisiensi   besi yaitu  feritin, serum iron (SI), total iron binding capacity (TIBC), 
dan saturasi transferin. Reticulocyte haemoglobin content (CHr) atau reticulocyte haemoglobin equivalent (RetHe) bisa  dipakai  sebagai alternatif pemeriksaan untuk mendeteksi dini status besi sebelum terjadinya anemia. Pemeriksaan ini  menunjukan hasil sama dibandingkan dengan pemeriksaan SI/TIBC atau  ferritin, Kelebihan lain yaitu  pemeriksaan ini bisa  langsung terlihat dari hasil darah perifer 
lengkap sehingga tidak memerlukan sampel pemeriksaan darah yang banyak dan biaya 
yang mahal,  pemakaian  Ret-He pada masalah masalah  defisiensi   besi   korelatif dengan kadar besi, dibandingkan pemeriksaan konsentrasi hemoglobin (Hb), sebab  kadar Ret-He lebih menggambarkan suplai besi ke sumsum tulang sebagai penghasil sel darah merah. bahwa kadar  Ret-He berbanding lurus dengan anemia defisiensi   besi (ADB), semakin tinggi kadar 
Hb, kadar Ret-He pun tinggi, juga sebaliknya  semakin rendah Ret-He, semakin besar resiko mengalami ADB. Batas potong ≤27.8 pg/L dengan kepekaan   45 %  dan spesifisitas 86 % menjadi saran  penegakkan analisa   dari ADB pada anakanak.  menunjukkan  menjanjikannya pemakaian  Ret-He sebagai skrining di masa depan.Peran besi pada pertumbuhan dan perkembangan anak , Kebutuhan akan nutrisi pada awal-awal kehidupan yaitu  salah satu alasan rentannya anemia pada bayi dan anak-anak, terutama pada bayi-bayi prematur yang cadangan besinya jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Infeksi mikroorganisme yaitu  penyakit yang banyak , komplikasi terseringnya yaitu  perdarahan 
sehingga memicu  kekurangan darah. Anemia defisiensi   Besi (ADB) yaitu  anemia yang paling sering ditemukan pada bayi dan anak-anak.6
Bayi aterm (usia gestasi 37-42 minggu), memiliki cadangan besi yang relatif banyak  dan cukup hingga usia 6 bulan. Namun, pada bayi-bayi prematur, cadangan besi ini hanya sedikit, sehingga hanya bisa dipakai  sampai usia 2-3 bulan. maka , bayi prematur lebih rentan mengidap anemia defisiensi   besi dibandingkan bayi cukup bulan.defisiensi   besi pada awal kehidupan   berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Kurangnya cadangan besi akan memicu  terlambatnya  perkembangan otak, gangguan pencernaan, hingga gangguan kekebalan tubuh. Dampak defisiensi   besi pada pertumbuhan dan perkembangan anak,  bahwa banyak area dari otak memakai  besi sebagai 
sumber utama pembentukan sel neuron.  bahwa  anak yang mengalami anemia defisiensi   besi cenderung mengalami keterlambatan psikomotor dan gangguan kognitif.Anemia defisiensi   besi 
sudah terbukti berperan  dalam perubahan neurotransmitter dan pengiriman sinyal ke otak, bahkan pada tahap sebelum terjadinya anemia pun, defisiensi   besi dipercaya 
mampu merusak perkembangan kognitif   anak. di Thailand,  ditemukan anak-anak dengan anemia yang tidak diberikan suplemen besi mengalami kesulitan mempelajari bahasa Thailand,  defisiensi   besi tidak hanya berpengaruh pada perkembangan kecerdasan saja namun  juga pada sistem dan organ lainnya, salah satunya yaitu  sistem imun. Anak-anak dengan defisiensi   besi cenderung memiliki morbiditas yang tinggi.
 Kurangnya besi berakibat pada menurunnya 
kapasitas leukosit untuk membunuh patogen. ini didukung dengan adanya perbaikan  angka morbiditas sesudah  pemberian suplementasi besi. Pada anak-anak dengan defisiensi   besi, pemberian suplementasi besi terbukti memberi  manfaat pada pertumbuhan, meski  tidak terlepas dari faktor  lainnya, seperti infeksi, diet,  usia 
terdeteksi   kekurangan besi.analisa   defisiensi   besi dan parameter yang dipakai 
defisiensi   besi yaitu  salah satu masalah defisiensi   nutrisi biasa   pada anak. Kekurangan besi memicu  efek jangka panjang yang beraikibat fatal pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Gangguan kognitif, gangguan mielinisasi, gangguan sistem imun yaitu  sebagian efek samping yang bersifat merusak dan seringkali menetap hingga dewasa. analisa   dini defisiensi   besi tentu menjadi kunci agar efek samping ini  tidak terjadi. 
analisa   defisiensi   besi jarang dilakukan  berdasar  hasil analisis mandiri. Seringkali baru terdeteksi sesudah  terjadi anemia defisiensi   besi (ADB).  , parameter  yang dipakai  tidak hanya satu, melainkan beberapa parameter yang berkaitan satu dengan lainnya. analisa   ADB sendiri biasanya dilakukan  sesudah  diketahui terjadi anemia, dengan index eritrosit yang mendukung, yaitu  mean corpuscular volume (MCV) dibawah normal (<80fL) dan mean corpuscular haemoglobin (MCH) dibawah normal (<20pg), atau sering dinamakan  mikrositik hipokromik. Selain, itu untuk membedakan dengan thalassemia, dilakukan uji mikroskopik dan analisis status besi. Pada uji mikroskopik akan 
ditemukan sel pensil, sedang  analisis status besi memakai  parameter biasa  yang   dipakai , seperti SI, TIBC, feritin, transferin,  saturasi transferin. Feritin yaitu  salah satu biomarka paling khusus  untuk melihat cadangan total besi  dalam tubuh. Rendahnya feritin atau serum ferritin menunjukan rendahnya cadangan besi yang ada di dalam tubuh manusia,  ini  menggambarkan kondisi  defisiensi   besi pada masalah -masalah  yang tidak ada    infeksi atau peradangan,  World Health Organization sudah memberi  batasan nilai untuk menduga bahwa pasien  kekurangan besi. 
Batasan yang ditentukan yaitu  <15µg/l untuk setiap kekurangan besi. Perbedaan nilai feritin juga tidak terlepas dari beberapa indikator, seperti usia , jenis kelamin, ras, Bayi, anak-anak, dan ibu hamil memiliki cadangan  besi yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang lain, namun ini tidak menunjukan bahwa mereka langsung terkena defisiensi   besi. defisiensi   besi terjadi jika  jumlah besi tidak mencukupi untuk melakukan tugas fungsionalnya. Serum iron, transferin, dan saturasi transferin defisiensi   besi biasanya ditentukan jika  ada    perbedaan antara SI dan transferin. 
Rendahnya SI dan tingginya transferin (peningkatan TIBC) sehingga terjadi penuruan 
kadar saturasi transferin,  cukup menunjukan kadar kekurangan besi dalam tubuh. Namun, seringkali terjadi tumpang tindih pada parameter diatas, sehingga memicu  kerancuan pada penegakan atau  penolakan akan analisa   defisiensi   besi. Implementasi reticulocyte hemoglobin content (Ret-he) sebagai  penanda deteksi dini dimasa depan Tingginya prevalensi anemia defisiensi   besi di dunia, menjadi salah satu alasan badan kesehatan dunia untuk melaksanakan gerakan khusus untuk memantau defisiensi   besi. Survei oleh badan nutrisi di Amerika menunjukkan 9% dari bayi usia 1-2 tahun mengalami  defisiensi   besi,  3 % di antaranya mengalami ADB.pasien  mencapai tahap anemia defisiensi   besi (ADB) akan mengalami 3 tahap  : 
1. tahap  deplesi besi
Pada tahap  ini jumlah besi di tempat produksinya mengalami penurunan, namun jumlah hemoglobin atau  kadar besi dalam serum terbilang normal. kondisi  ini hanya bisa dideteksi dengan pemeriksaan sitokimia di hati dan sumsum tulang.
2. tahap  defisiensi   besi
Pada  tahap  ini, sudah mulai terlihat penurunan kadar besi dalam serum yang bisa  dengan berbagai  pemeriksaan besi biasanya , seperti feritin, transferin, TIBC. 
3. tahap  anemia defisiensi   besi
Pada tahap  ini, diperoleh  jumlah hemoglobin MCV, MCH, MCHC mengalami penurunan, sehingga bisa  terlihat pada pemeriksaan fisik. Biasanya baru pada tahap  ini pasien datang berobat ke layanan kesehatan. Dalam mendiagnosa  defisiensi   besi, aspirasi sumsum tulang yaitu  standart  yang dipakai .  namun , prosedur ini sudah digantikan dengan 
pemeriksaan yang lebih aman untuk menilai kadar besi, seperti pemeriksaan Hb, MCV, MCH, feritin, saturasi transferin,  TIBC. namun  pemakaian nya pun masih  dirasa kurang akurat, contoh  pemakaian  Hb sebagai salah satu tolak ukur deteksi dini ADB, Hb dirasa kurang akurat sebab  terpengaruh oleh masa hidupnya yaitu  120 hari, 
sebab  itu rentan adanya perubahan yang terjadi pada status besi saat itu pemakaian  Hb sebagai alat deteksi dini dirasa akan memperlambat penanganan pada  pasien-pasien dengan defisiensi   besi tanpa anemia yang sudah mengalami komplikasi neurologis. maka , para ahli mencari biomarka yang akurat dan efektif untuk  mendiagnosa   ADB dalam tahap sedini mungkin. Dewasa ini, pemakaian  Ret-He sebagai salah satu penanda deteksi dini kekurangan 
besi sudah mulai disarankan ,  Kelebihan pemeriksaan retikulosit untuk  menilai status besi dibandingkan dengan kadar Hb serum yaitu  masa hidup yang    singkat. Masa hidup retikulosit yang hanya berkisar 24-48 jam menjadi   baik sebab  mencerminkan kondisi  status besi secara langsung pada sumsum tulang. Pada kondisi  defisiensi   besi, ini menjadi   baik, perubahan pada suplai besi ke sumsum tulang akan tercermin pada penurunan Hb di retikulosit, yang terlihat pada penurunan RetHe. ,  pemakaian  Ret-He untuk  deteksi dini defisiensi   besi dikatakan lebih baik jika dibandingkan dengan pemakaian   alat skrining biasanya . Pemeriksaannya pun tidak memerlukan biaya atau  pengambilan darah tambahan diluar pemeriksaan darah lengkap, sebab  hasilnya akan  terbaca sebagai bagian dari pemeriksaan retikulosit oleh alat tes pemeriksaan darah. kadar Ret-He dibawah 27.5 pg menunjukkan kepekaan  dan spesifisitas menjanjikan untuk mendeteksi defisiensi   besi sebelum anemia pada bayi usia 9-12 bulan.bahwa kadar Ret-He berbanding lurus dengan kadar Hb dalam  serum. Semakin rendah kadar Ret-Hel, maka semakin tinggi resiko untuk terkena ADB. kadar Ret-He ≤ 27.8 pg menjadi tolak ukur deteksi pasien dengan  ADB pada anak, dengan kepekaan  44 % dan spesifisitas 86%. American Association of Pediatric (AAP)   menyarankan  pemakaian  CHr atau Ret-He sebagai alat deteksi dini defisiensi   besi, dengan kadar CHr kurang dari  11.0 mg/dL sebagai ambang batas resiko terkena ADB.  bahwa pemakaian  CHr sebagai alat deteksi dini menyaring prevalensi lebih banyak sekitar 19% anak dengan defisiensi   besi dibandingkan  pemakaian  pemeriksaan status besi   yang dikombinasikan,  pemakaian  Ret-He sebagai alat deteksi dini mempermudah kita untuk menemukan anak-anak dengan resiko  ADB lebih awal, sehingga bisa dilakukan penanganan lebih awal pula.  membanding-bandingkan  antara circulating transferrin receptor (TfR) dengan CHr, hasilnya menandakan  CHr tetap lebih superior dibandingkan dengan biomarka lain termasuk TfR. bahwa area under the curve (AUC) untuk CHr lebih tinggi jika dibandingkan dengan feritin. Batas bawah nilai 26 pg untuk CHr memiliki kepekaan  70% dengan spesifisitas 78% untuk mendeteksi defisiensi   besi. Untuk ADB, batas 26 pg juga memiliki kepekaan  dan spesifisitas yang tinggi yaitu 82% dan 80%.Defsisensi zat besi yaitu  pemicu  anemia yang  terjadi pada anak. defisiensi   zat besi tanpa anemia bisa  memicu  efek jangka panjang terhadap perkembangan neurologis dan sikap . Efek ini  bisa  menetap.Prevalensi anemia pada anak usia 0,5-1,9 tahun di negara kita  yaitu  58%. defisiensi   zat besi yaitu  kondisi anak sebab  kekurangan asupan nutrisi. Kondisi ini bisa  dicegah dengan pemberian nutrisi dengan sumber zat besi yang memadai.Anemia yaitu  konsentrasi hemoglobin (Hb) 2SD di bawah rata-rata  konsentrasi Hb untuk populasi normal dari kisaran usia  dan jenis kelamin yang sama,  berdasar  pada the 1999-2002 United States National Health and Nutrition Examination Survey, anemia didefisiensi kan  sebagai konsentrasi Hb kurang dari 11 g/dl, baik  untuk laki-laki atau  wanita  usia  12-35 bulan.defisiensi   zat besi yaitu  suatu kondisi, di mana tidak cukup zat besi untuk mempertahankan fungsi fisiologis normal.  defisiensi   zat besi yaitu  hasil dari penyerapan  zat besi yang kurang memadai untuk mengatasi  meningkatnya kebutuhan  proses pertumbuhan atau hasil dari keseimbangan  zat besi yang negatif dalam jangka waktu yang lama. Kedua situasi ini  bisa  memicu  menurunnya penyimpanan zat yang bisa  diukur dengan konsentrasi feritin serum (SF). Defisik ensi zat besi bisa dengan atau  tanpa anemia. pemicu  defisiensi   zat besi pada anak-anak biasanya  dibagi dua, yaitu sebab  asupan zat besi dalam diet yang tidak kuat  dan sebab  kehilangan darah. Kehilangan  darah   yaitu  kehilangan darah yang nyata atau  terselubung. Perdarahan  terselubung pada saluran cerna  dipicu  sebab  infestasi cacing atau  oleh sebab  proses alergi pada protein makanan, terutama alergi terhadap protein susu sapi akibat anak/bayi mengonsumsi susu formula berbahan dasar susu sapi. pada anak berusia  1-3 tahun yaitu  biasa . Selain dipicu  oleh diet yang kurang  kuat , anak pada masa ini biasanya , juga banyak mengkonsumsi susu formula  berbahan dasar susu sapi, sehingga terjadi perdarahan terselubung yang sifatnya kronis. Perdarahan yang terus-menerus ini memicu  terjadinya defisiensi   zat besi. defisiensi   zat besi yaitu  penyumbang anemia.beragam diet sebagai sumber zat besi  Sumber zat besi ada    pada beragam bahan makanan, baik dari bahan makanan nabati  atau  hewani. Daging merah, termasuk hati, yaitu  sumber zat besi yang baik. 
 , sayuran yang berwarna hijau, kacang tanah, kacang kedelai juga mengandung zat besi. Banyak sumber zat besi bisa  diambil dari beragam bahan makanan ini ,  bahwa sumber zat besi dari Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) yang dikonsumsi anak-anak masih belum sesuai 
dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang disarankan .Makanan berbentuk cair yaitu  jenis makanan yang paling mudah dikonsumsi oleh 
bayi pada usia  kurang dari 6 bulan. ASI atau  susu formula yaitu  sumber zat besi pada periode ini. Makanan padat sudah harus diberikan sebagai makanan sumber zat gizi selain ASI sejak bayi berusia 6 bulan. Pada saat ini, anak sudah mulai dikenalkan dengan makanan berbentuk padat yang dimulai dengan makanan berbentuk sereal atau makanan  saring. Pada bayi berusia  6 bulan, sumber zat besi dari bahan makanan kaya zat besi  bisa  diberikan dalam bentuk tepung yang dimasak atau makanan saring, contoh  sereal 
atau sayuran yang disaring. Sesudah  bayi berusia  7 bulan, selain sereal dan sayuran saring, 
daging yang disaring juga bisa ditambahkan, sehingga bayi akan memperoleh   kesempatan 
untuk memperoleh zat besi yang lebih banyak dari sumber hewani (daging sapi, ayam, ikan, hati). lalu , pada saat bayi berusia  8-10 bulan, makanan berbentuk lumat sudah bisa  diberikan dan bayi juga sudah mulai bisa  diberikan makanan yang bisa  dipegangnya sendiri.Pada masa ini, beragam sumber zat besi sudah bisa  diberikan kepada bayi dengan bentuk makanan lumat atau mudah lumat. Pada bayi berusia  10-12 bulan, makanan berbentuk lunak atau cincang sudah mampu dikonsumsi oleh bayi. maka  pada masa ini, anak mampu memakan makanan dari beragam sumber 
zat besi dalam bentuk lunak atau dicincang, contoh  daging cincang, hati cincang, ikan 
cincang, kacang kedelai lunak, bayam lunak, dan sebagainya. Makanan seperti yang dimakan oleh keluarga sudah bisa  diberikan kepada anak mulai usia  12 bulan.ASI mengandung 0,5 mg/l zat besi dengan bioavailabilitasnya sebesar 50%, susu sapi segar memiliki  kandungan zat besi yang sama dengan ASI, yaitu 0,5 mg/l, namun  
bioavailabilitasnya yaitu  sebesar 10%, sedang  susu fortifikasi memiliki  kandungan  zat besi yang tinggi (10-12,8 mg/l), namun  bioavailabilitasnya rendah, yaitu sebesar 4%. Sebagian besar susu formula dengan fortifikasi zat besi mengandung energi kurang lebih 680 kkal/l dengan kandungan zat besi 6,8 mg/l. Cadangan zat besi pada bayi berusia  4-6 bulan sudah berkurang, sehingga tanpa asupan zat besi dari luar yang memadai, bayi kurang mampu mencukupi kebutuhannya untuk tumbuh cepat. pada bayi yang lebih tua yang diberi ASI, susu sapi, susu formula berbasis 
susu sapi, atau susu formula yang berasal dari kedelai menandakan  penyerapan  zat besi secara menonjol  lebih baik pada ASI dibandingkan dengan susu formula atau susu 
sapi. Faktor yang bertanggung jawab pada ASI, sehingga penyerapan nya lebih baik dibanding 
susu formula, sampai sekarang belum jelas. Sesuai saran  American Academy of Pediatrics, bayi cukup bulan yang sehat memiliki  cadangan zat besi yang cukup sampai bayi ini  berusia  4 bulan. Air susu ibu hanya mengandung sedikit 
sumber zat besi, sehingga bayi dengan ASI saja harus memperoleh  tambahan zat besi sebesar 1 mg/kg berat badan per hari dari zat besi oral sejak bayi berusia  4 bulan sampai  bayi ini  mampu memperoleh  makanan pendamping dengan fortifikasi zat besi.Bagi bayi yang memperoleh   susu formula yang difortifikasi zat besi, penambahan zat besi sudah ada didalam susu formula sesuai saran  CODEX Alimentarius. 
AAP  juga menyarankan  tambahan besi dimulai pada usia 1 bulan untuk bayi kurang bulan. Semua bayi kurang bulan harus memperoleh  suplemen zat  besi 2 mg/kg berat badan per hari sampai bayi berusia  12 bulan sesuai dengan jumlah 
zat besi yang ada pada susu formula bayi kurang bulan. Bayi kurang bulan yang hanya minum ASI, sebaiknya memperoleh  tambahan zat besi sebesar 2 mg/kg berat badan per hari sejak usia 1 bulan sampai bayi disapih untuk memperoleh  susu formula atau makanan pendamping yang mengandung zat besi sebesar 2 mg/kg berat badan. Bayi kurang bulan bisa  menyerap   zat besi dengan baik. Persentase penyerapan zat besi 
tampaknya berkaitan  langsung dengan usia sesudah natal, pertumbuhan, kadar Hb, dan 
jenis makanan. Susu formula fortifikasi untuk bayi kurang bulan memasok zat besi 33  mg/dl atau 1,67 mg/100 kkal dengan asumsi masukan dari 150 ml/kg/hari dari 81 kkal/dl susu formula.biasanya , bayi mengkonsumsi makanan dari beragam bahan makanan dalam 1  porsi makanan. Bahan makanan yang dicampurkan dalam satu porsi makanan bisa  bersifat sebagai peningkat penyerapan  zat besi atau bahkan penghambat penyerapan  zat besi. Hal  ini berakibat bahwa anak dengan konsumsi sumber zat besi yang  cukup bisa  menderita anemia defisiensi   zat besi sebab  dalam makanan ini  terkandung bahan 
makanan yang bersifat sebagai penghambat penyerapan  zat besi. Vitamin C, asam sitrat, dan asam laktat yaitu  peningkat penyerapan  zat besi. 
Sumber makanan hewani yang bisa  meningkatkan penyerapan  zat besi yaitu  daging, 
ikan, dan daging ayam. Makanan yang meningkatkan penyerapan  zat besi dari sumber gula yaitu  fruktosa,  sorbitol, sedang  dari sumber asam amino yaitu  sistein, lisin,  histidin. Alkohol juga bersifat meningkatkan penyerapan zat besi. Tanin (pada teh), polifenol (pada vegetarian), oksalat, fosfat, fitat (pada kulit padi), albumin pada kuning telur, kacang-kacangan, kalsium (pada susu dan olahannya), kuprum, mangan, kadmium, 
dan kobalt yaitu  penghambat penyerapan  zat besi.meneliti  bayi yang diberi makanan pendamping dengan pengurangan kadar fitat dibandingkan dengan golongan  bayi dengan makanan pendamping komersial tanpa pengurangan kadar fitat dan golongan  dengan formula sejak bayi berusia  6-12 bulan. Kadar Hb dan kadar SF diukur sebelum intervensi dan sesudah  6 bulan intervensi. Pengurangan fitat memberi  hasil sebagai peningkatan Hb, sehingga menurunkan prevalensi anemia, namun  tidak memberi  hasil terhadap perbedaan kadar SF.13
penyerapan  zat besi pada beragam jenis diet
Diet zat besi diserap   di duodenum, namun  tidak semua sumber zat besi diserap   dengan jumlah yang sama. Zat besi heme yang ada pada daging dan ikan lebih mudah diserap   dibanding dengan sumber zat besi nonheme, seperti sumber zat besi pada biji-bijian dan sayuran. walau  konsentrasi zat besi pada ASI dan susu formula sama, zat besi pada ASI lebih mudah diserap   Dibandingkan  zat besi pada susu formula. ASI mengandung kadar zat besi yang rendah (0,06-0,09 mg/100 ml), namun  mudah diserap   dan  pemakaian nya lebih efektif. pemicu  kondisi  ini belum jelas. rendahnya kadar kalsium dan fosfor pada ASI dan  adanya laktoferin mungkin   salah satu pemicu nya. walau begitu , bayi berusia  9 bulan yang memperoleh  ASI seringkali tampak  menderita anemia, kecuali jika mereka memperoleh  sumber  zat besi dalam dietnya. penyerapan  zat besi pada susu formula yang difortifikasi zat besi lebih rendah dibandingkan dengan ASI, namun  pemberian susu formula fortifikasi zat besi ini   berguna  untuk mencegah terjadinya anemia kekurangan zat besi. Persentase  zat besi yang diserap   menurun sejalan dengan tingginya konsentrasi zat besi dari susu  formula. Zat besi yang diserap   dari susu formula yang mengandung zat besi 0,6 mg/l ( 6%), sedang  susu formula yang mengandung zat besi 1,2 mg/l ( 4%).Lebih dari 90% dari zat besi dalam diet bayi dan anak dalam bentuk bentuk  nonheme. penyerapan  zat besi nonheme ini bisa  ditingkatkan dengan pemberian vitamin C, daging, ikan,   produk peternakan lain dan dihambat oleh bran, tanin (dalam teh), kalsium, dan fosfor (dalam susu sapi murni). Jus jeruk bisa  meningkatkan penyerapan  besi nonheme sampai 2 kali lipat, sedang  teh justru bisa  mengurangi sampai 75%. bahwa bila anak-anak mengonsumsi jeruk 3 kali per minggu bisa  mencegah  anemia. mengonsumsi makanan asam dalam diet meningkatkan penyerapan  zat besi.Protein bersumber nabati banyak dikonsumsi oleh anak-anak di negara kita .Protein kedelai berefek  menghambat penyerapan  zat besi nonheme pada diet anak dibandingkan dengan protein dari daging sapi.Pengaruh susu sapi terhadap defisiensi   zat besi, Pemberian susu sapi murni yang terlalu dini pada anak usia  6 bulan sering menjadi  pemicu   anemia defisiensi besi pada anak berusia  1 tahun. bayi dibawah usia  12 bulan tidak diperbolehkan mengonsumsi susu segar. Di Inggris,   defisiensi zat besi sering ditemukan pada anak yang mengonsumsi susu sapi murni lebih dari 1 liter per hari dan diberikan sebelum usia  8 bulan. Anak yang mengonsumsi susu sapi segar dalam jumlah yang banyak akan mengalami perdarahan pada saluran cerna yang memicu  terjadinya defisiensi   zat besi. Konsumsi susu sapi segar pada anak-anak sebaiknya dibatasi jumlahnya, jumlah yang disarankan yaitu  
kurang dari 16 oz per hari.Selain kandungan zat besi dalam susu sapi yang rendah, tampaknya ada faktor lain yang berperan pada kejadian anemia akibat mengkonsumsinya, yaitu perdarahan  mikro atau  makro di saluran cerna seperti dinamakan  di muka.  bahwa pengidap  anemia pada bayi yang memperoleh  susu formula tanpa penambahan zat besi, tidak lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang memperoleh  susu formula yang sudah  mengalami fortifikasi zat besi. Pemberian susu sapi segar bisa  memicu  adanya peningkatan kehilangan darah melalui gastrointestinal. Anak atau  bayi yang mengkonsumsi susu formula berbahan dasar susu sapi akan mengalami perdarahan saluran cerna, baik mikroskopik atau  makroskopik.Anak-anak di negara kita  banyak mengonsumsi makanan pendamping yang bersumber  dari makanan buatan rumah. Asupan makanan dengan makanan buatan rumah dari 
bahan alam kurang bisa diperkirakan dengan tepat kandungan zat besinya. Prevalensi 
anemia pada anak di beberapa area  di negara kita  masih tinggi, yaitu sekitar 65%. bahwa anak-anak berusia kurang dari 2 tahun yang mengkonsumsi MPASI yang difortifikasi buatan pabrik mengalami anemia sebanyak  3 kali lebih rendah dibanding golongan  yang hanya mengonsumsi makanan berbahan  dasar beras buatan rumah. Fortifikasi zat besi cukup efektif untuk mencegah anemia 
defisiensi   zat besi. Sebagian besar anak negara kita  mengonsumsi makanan berbahan dasar beras buatan sendiri dan mereka juga banyak mengonsumsi makanan sebagai inhibitor
pemanfaatan zat besi, sehingga ini menyumbang   sebagai pemicu  terjadinya defisiensi   
zat besi pada anak-anak. Di brunai , fortifikasi zat besi pada beras sudah  dilakukan untuk 
mencegah defisiensi   zat besi, namun  ini belum diikuti oleh negara berkembang lain, termasuk negara kita . bahwa sebagian besar anak   di negara kita  jarang mengonsumsi makanan sumber zat besi heme.makanan pendamping buatan pabrik berkaitan  dengan prevalensi anemia yang rendah. Makanan pendamping buatan pabrik sudah  difortifikasi dengan zat besi sesuai anjuran CODEX Alimentarius. Di samping itu,  bahwa susu atau  sereal fortifikasi bisa  diterima sebagai media untuk memberi  kekurangan mikronutrien pada anak. juga  konsumsi susu fortifikasi dengan mikronutrien bisa  secara menonjol  menurunkan beban penyakit  biasa  pada anak prasekolah, terutama pada anak berusia  dua tahun pertama dari 
kehidupan.Konseling pemberian makan sumber zat besi dan taburia sebagai  sumber zat besi
Taburia yaitu  bubuk yang ditaburkan pada sajian makanan (nasi). Taburia terdiri dari beragam macam zat gizi mikro.  menunjukkan hasil yang 
postif terhadap kenaikan Hb,  namun , pada tindak lanjut sesudah  pemberian taburia diterapkan kepada pasien , ini menunjukkan hasil bahwa kepatuhannya rendah. bahwa makanan dengan taburia tidak disukai anak-anak sebab  menjadikan bau makanan tidak enak, sehingga anak kurang bisa  menghabiskan porsi makanan yang diberikan bahwa dengan memberi  konseling mengenai  pedoman cara pemberian makan pada anak selama 6 bulan, yaitu dengan  melanjutkan menyusu ibu selain MPASI,   memberi makan dengan daging merah sebagai sumber zat besi 
untuk mencegah anemia,    memberi  sayuran dan buah setiap hari sebagai bagian dari makanan sehat dan  memberi  nasihat tambahan berwujud  memberi  6 porsi daging per minggu, yang meliputi 3 kali daging merah per minggu, ibu juga 
dinasihati untuk memberi  hati ayam dan jantung, hal ini  akan memberi  kenaikan Hb.
Suplementasi zat besi diberikan pada area , di mana prevalensi anemia defsiensi zat besi (ADB) lebih dari 50% atau tidak memperoleh  makanan dengan fortifikasi zat besi. Suplementasi ini diberikan mulai usia 6-23 bulan dengan dosis 2 mg/kg berat badan/hari.Zat besi yaitu  nutrien penting yang harus dikonsumsi oleh setiap anak. Anak dengan kekurangan zat besi bisa  berakibat buruk pada perkembangan neurologis atau  
sikap . Pencegahan terjadinya defsiensi zat besi bisa  dilakukan dengan memakan sumber zat besi yang memadai. Pengetahuan mengenai  makanan sumber zat besi dan  bahan  makanan lain sebagai enhancers atau  inhibitor penyerapan zat besi perlu ditingkatkan agar asupan zat besi yang diberikan pada anak memadai. Pemberian suplemen zat besi pada anak bisa  diberikan bila prevalensi ADB di area  ini  lebih dari 40% dan anak tidak mengonsumsi makanan berfortifikasi zat besi.






epilepsi
Kejang intraktabel atau epilepsi resisten obat yaitu  kegagalan pemakaian  2  obat anti kejang yang dipilih dan dipakai  dengan tepat dan  ditolerir dengan  kuat , baik sebagai monoterapi atau dalam kombinasi, untuk mencapai kondisi 
bebas kejang yang berkelanjutan. Sekitar 1 dari 10 anak dengan kejang akan mengalami kejang intraktabel yang memicu  anak mengalami morbiditas yang bermakna, kualitas hidup yang menurun,  memerlukan konsultasi dengan ahli saraf anak. Diet ketogenik yaitu  diet dengan kandungan lemak   tinggi, karbohidrat   rendah,  protein yang cukup untuk anak bisa  bertumbuh. menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam pemakaian  diet ketogenik pada epilepsi. diet ketogenik  berguna  pada anak dengan epilepsi intraktabel, yaitu 15% pasien mengalami bebas  kejang dan 35% pasien mengalami penurunan frekuensi kejang lebih dari 50%.Mekanisme diet ketogenik dalam menurunkan kejang Mekanisme diet dalam menurunkan kejang pada epilepsi masih belum diketahui, namun  badan keton diperkirakan menghasilkan efek antikonvulsan atau perubahan metabolik yang terkait dengan ketosis yang dijelaskan dalam beragam hipotesis sebagai berikut:
- Restriksi kalori (energi) mungkin mendasari mekanisme antikonvulsan diet yang bisa  menurunkan kerentanan kejang pada tikus. Asupan kalori tidak dibatasi sampai lebih rendah dari kebutuhan normal saat  memakai  diet ketogenik sebab  kalori   penting untuk mengoptimalkan pertumbuhan anak.Indikasi dan kontraindikasi pemakaian  diet ketogenikIndikasi primer pemakaian  diet ketogenik yaitu  epilepsi refrakter obat atau epilepsi intraktabel. Tipe kejang, sindrom epilepsi, etiologi yang mendasari, ataupun usia tidak mempengaruhi efektivitas diet ketogenik. pemakaian  poli-terapi dengan efek samping antikonvulsan yang berulang juga yaitu  indikasi untuk mencoba diet ketogenik. 
- Perubahan metabolisme energi di otak
Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan energi otak bisa  menyumbang   pada inisiasi  dan perluasan aktivitas epilepsi. Diet ketogenik meningkatkan energi cadangan energi otak dengan memintas jalur glikolisis yang kurang efisien dan memaksimalkan fungsi  siklus tricarboxylic acid (krebs).
- Peranan neuropeptida dan norepinefrin
Neuropeptida antikonvulsan, galanin dan neuropeptide Y, diregulasi oleh kondisi 
energi dan mungkin memperantarai kerja diet ketogenik dengan meningkatnya kadar 
neuropeptida ini  di otak. Norepinefrin, suatu neurotransmitter inhibisi, juga menyumbang   pada mekanisme antikonvulsan diet.
- Perubahan pemakaian  asam amino pemakaian  badan keton sebagai substrat untuk otak mempengaruhi metabolisme glutamat yaitu   neurotransmiter eksitasi yang penting. Penurunan 
transaminase glutamat menjadi aspartat meningkatkan ketersediaan glutamat untuk 
sintesis neurotransmitter inhibisi utama otak, yaitu gamma amino butyric acid (GABA), baik secara langsung dan melalui produksi glutamin.
diet ketogenik  secara medis diterapkan  pada kelainan metabolisme bawaan karbohidrat, seperti glucose transporter 1 (Glut 1) deficiency dan pyruvate  dehydrogenase (PDH) deficiency. Kontraindikasi mutlak pemakaian  diet ketogenik 
meliputi kelainan metabolisme bawaan lemak dan kelainan yang memerlukan  asupan  karbohidrat yang tinggi. Kontraindikasi relatif meliputi steroid, diuretik,  obat-obatan  yang memicu  efek sekunder peningkatan asam dalam darah. pemakaian  obat-obat  ini  harus hati-hati.  Jenis diet ketogenik yang bisa  dipakai  pada kejang 
intraktabel Sampai saat ini ada    4 jenis diet ketogenik, yaitu diet ketogenik klasik, diet medium 
chain triglyceride (MCT), diet ketogenik yang direkayasa  , dan diet low glycaemic index treatment (LGIT). Semua jenis diet ini  tinggi lemak dengan karbohidrat yang terbatas.
- Diet ketogenik klasik
Diet ketogenik klasik berdasar  pada rasio gram lemak (long chain triglycerides) terhadap gram karbohidrat dan protein [lemak : (karbohidrat + protein)]. Rasio diet  ketogenik 4:1 setara dengan 90% kalori dari lemak dengan sisanya (10%) berasal dari protein dan karbohidrat.
- Diet medium chain triglycerides (MCT)
rekayasa  diet ini diperkenalkan pada tahun 1970 memakai  MCT sebagai sumber lemak alternatif. Medium chain triglycerides memberi  lebih banyak keton per kalori energi dibandingkan LCT, diserap  lebih efisien, dan dibawa langsung  ke hati. Potensi ketogenik yang lebih tinggi ini memicu  lemak total yang diperlukan  di dalam diet menjadi lebih rendah sehingga lebih banyak karbohidrat 
dan protein yang dikonsumsi. Diet MCT tradisional mengandung sekitar 75% kalori dari lemak, yaitu 45-55% kalori dari MCT dan 21-25% kalori dari LCT. Minyak MCT atau Liquigen, suatu emulsi MCT 55% dalam air, bisa  dipakai  sebagai 
sumber MCT. 
- Diet ketogenik rekayasa  atau diet Atkins rekayasa  
  Diet ini memperbolehkan asupan protein yang bebas, karbohidrat yang   rendah, dan lemak yang bebas (sekitar 75% kalori harian). Diet ini sering dipakai  
pada anak yang lebih besar dan remaja yang tidak menyukai diet ketogenik klasik atau diet MCT.
- Diet low glycaemic index treatment (LGIT)
Diet ini diciptakan untuk membatasi peningkatan kadar glukosa darah postprandial dengan membatasi jumlah karbohidrat hingga 10% kalori total dan hanya memakai  karbohidrat dengan indeks glikemik rendah (GI) <50. Sebanyak 60% 
kalori berasal dari lemak dan 30% dari protein. 
penerapan  pemakaian  diet ketogenik pemakaian  diet ketogenik tetap memakai  prinsip asuhan nutrisi pediatrik yang  terdiri dari 5 langkah, yaitu assessment (penilaian), penentuan kebutuhan, penentuan cara pemberian, penentuan jenis makanan,   pemantauan  evaluasi. Implementasi 
diet ketogenik memerlukan  tim multidisipliner yang meliputi dietisian yang terampil  dalam memakai  diet ketogenik, dokter anak,   perawat yang berpengalaman. Timini  mampu memberi  saran dan mendampingi keluarga saat  keluarga memperoleh   masalah yang dipicu  atau dieksaserbasi oleh diet. Diet ketogenik bisa  dilakukan dengan rawat jalan, namun  hanya jika dietisian/dokter bisa  dihubungi oleh keluarga secara teratur untuk memberi  dukungan. Hal 
ini perlu dilakukan setiap hari dalam beberapa minggu pertama. Jika diet sudah bisa  dilakukan, keluarga memerlukan dukungan berkelanjutan untuk memantau dan membuat penyesuaian diet. Beberapa senter memulai diet ketogenik dengan rawat inap. Bayi harus memulai diet di rumah sakit sebab  mereka memerlukan pemantauan yang   ketat.
-- sebelum  pengobatan  diet ketogenik yaitu  memastikan bahwa analisa   epilepsi sudah dilakukan  dan beragam pengobatan  yang  sesuai sudah dilakukan, namun belum ada perbaikan gejala. Pemeriksaan mediis dan  penunjang diperlukan sebelum memulai diet ketogenik terutama untuk mengabaikan  kondisi yang menjadi kontraindikasi pemakaian  diet ketogenik, 
   makanan selama 3-4 hari penting untuk menilai kesesuaian pengobatan  diet ketogenik dan menunjukan pilihan makanan dan pola makan anak. ini dipakai  dalam menentukan diet yang paling sesuai untuk anak dan membuat rencana makanan. Penentuan kebutuhan Kebutuhan kalori ditentukan berdasar  berat badan ideal dikalikan requirement daily allowances (RDA) menurut usia tinggi,  Berat badan ideal yaitu  berat  badan menurut tinggi badan pada P50 atau z-score 0 berdasar  grafik pertumbuhan yang dipakai , 
--. Penentuan cara pemberian dan jenis makanan
Diet ketogenik bisa  diberikan secara oral atau enteral. Makanan biasa yang  memenuhi prinsip diet ketogenik diberikan per-oral, sedang  formula khusus (Ketocal) bisa  diberikan per-oral ataupun enteral.   makanan selama 3 - 4 hari akan memberi  gambaran mengenai jenis diet ketogenik yang akan dipakai , namun  pilihan anak dan keluarga, rasa,   kemudahan pemakaian  juga harus dipikirkan ,  diet ketogenik klasik yang lebih mudah diterapkan pada praktek di negara kita . Perhitungan diet ketogenik berdasar  kebutuhan energi, kebutuhan protein, dan rasio lemak dengan karbohidrat dan protein [contoh 4:1 = 4g  lemak : 1g (protein + karbohidrat)]. Kebutuhan energi dihitung berdasar  penentuan 
kebutuhan kalori harian, sedang  kebutuhan protein diberikan 1,0 - 1,2 g/kg/hari.  Pada 
diet ketogenik klasik, masing-masing makanan dan selingan harus memiliki  rasio ketogenik yang tepat. saat anak dalam kondisi sakit, seperti batuk/nyeri tenggorokan dan tidak mau  menghabiskan makanan bisa  diberikan formula medis khusus untuk diet ketogenik, yaitu Ketocal 3:1 atau Ketocal 4:1. Hal yang harus diperhatikan yaitu  jarang sekali memulai diet ketogenik dengan konsentrasi 4:1, sebab  diet ini  harus dilaksanakan  di rumah sakit dengan hati-hati.
jika diet ketogenik dilakukan di rumah dan ditingkatkan menjadi 3:1 atau 4:1 selama 
beberapa hari atau minggu tergantung toleransi anak dan pengendalian kejang pada tiap 
tahap. Rasio diet bisa  ditingkatkan lebih bertahap pada pasien yang mengalami masalah toleransi terhadap jumlah lemak yang dipakai , contoh  rasio 2:1 menjadi 2,5:1 menjadi 3:1, dan sebagainya. Jika kejang bisa  terkendali  dengan baik pada rasio yang rendah, maka tidak perlu meningkatkan rasio menjadi 4:1. Semua obat yang dikonsumsi harus mengandung rendah karbohidrat sebab  ekstra karbohidrat bisa  mempengaruhi ketosis dan memicu  kejang menjadi lebih sulit untuk dikendalikan , sehingga kandungan  karbohidrat di dalam seluruh obat yang dipakai  harus dihitung dan dipikirkan  
jika dipakai,  Selama pengobatan  diet ketogenik, anak disarankan  untuk mengkonsumsi cairan 
sesuai dengan kebutuhannya. Diet ketogenik memerlukan suplementasi vitamin dan mineral, tapis uplementasi ini  harus dalam bentuk bebas karbohidrat. Dosis  suplementasi disesuaikan untuk setiap pasien  agar bisa  memenuhi kebutuhannya , asupan seluruh vitamin dan mineral harus dipantau ketat untuk memastikan kecukupan nutrisi. Pemantauan dan evaluasi Pada kebanyakan masalah , diet ketogenik diberikan selama 3 bulan. Sesudah  itu dilakukan riset  ulang bersama keluarga untuk memutuskan apakah diet ketogenik diteruskan  atau dihentikan. Diet ketogenik bisa  dihentikan jika tidak ada    perbaikan kejang selama 3 
bulan. Jika ada    penurunan frekuensi kejang, obat anti-epilepsi bisa  dipikirkan  untuk diturunkan sesudah  3 - 6 bulan. Beberapa faktor bisa  memicu  diet ketogenik tidak bisa  diteruskan , seperti anak dan keluarga kesulitan untuk menerapkan diet dan  ingin menghentikan diet, diet tidak efektif dalam mengendalikan  kejang, efek 
samping yang muncul lebih besar dibandingkan manfaat, seperti gangguan pertumbuhan, ataupun tidak patuh dalam melaksanakan diet. Diet diteruskan  selama 2 tahun untuk menentukan efektivitas terapi. Pada masalah  glucose transporter -1 (GLUT-1) deficiency dan pyruvate dehydrogenase deficiency, diet ketogenik bisa  dipakai  dalam jangka waktu lama tergantung tanggapan  pasien . Penghentian diet ketogenik dilakukan bertahap dengan cara menurunkan rasio selama 2 - 3 bulan.Pemantauan dilakukan secara berkala untuk menentukan efektivitas diet dan memutuskan untuk meneruskan atau menghentikan obat. Hal-hal yang harus dipantau 
 saat pasien  checkup  yaitu :
- Pemeriksaan keton urin: tes dipstik dipakai  untuk mengukur kadar asetoasetat. 
Target kadar asetoasetat urin yaitu  4 - 16 mmol/L
- Pemeriksaan keton darah: alat pemantau  keton darah bisa  dipakai  untuk mengukur kadar β-hidroksibutirat darah. Metode ini lebih mudah dan akurat dibandingkan pemeriksaan keton urin. Target minimal kadar β-hidroksibutirat 
darah yaitu  2 mmol/L, meski   checkup  kejang lebih optimal jika kadar β-hidroksibutirat darah yaitu  4 mmol/L atau lebih
- Hiperketosis atau asidosis harus dipantau ketat jika  kadar keton darah >5  mmol/L atau keton urin >16 mmol/L , 
- Kejang berdasar    harian kejang, seperti frekuensi dan tipe kejang sebelum dan selama diet
- Keton darah atau urin yang diukur pada pagi hari sebelum sarapan dan sebelum tidur. Pemeriksaan ini memberi  indikasi kepatuhan diet dan memastikan bahwa kadar keton tidak terlalu tinggi. jika  diet sudah bisa  dilakukan  dengan baik dan 
teratur, maka pemeriksaan keton bisa  dilakukan lebih jarang. 
- Skrining laboratorium dilakukan sebelum memulai diet, 3 bulan dan 6 bulan sesudah  
menjalankan diet, dan  tiap 6 bulan sesudah nya 
- Efek samping yang muncul selama pemakaian  diet ketogenik, 
- Pertumbuhan dengan mengukur berat badan , TB, lingkar kepala pada anak < 2 tahun, dan mem-plot hasil pengukuran pada grafik pertumbuhan. Pengukuran dilakukan tiap minggu atau tiap 2 minggu untuk menilai kecukupan energi. Tinggi badan harus diukur pada saat memulai diet dan dipantau setiap kali pasien  checkup 
- Penilaian nutrisi oleh dietisian untuk memastikan bahwa diet mengandung nutrisi yang kuat  berdasar    harian makanan 
- Obat-obatan, seperti obat anti-epilepsi yang masih dikonsumsi dan kemungkinan  untuk menghentikan obat anti-epilepsi


Pelayanan paliatif 
penanganan anak dengan kanker terutama ditujukan hanya dari segi pengobatan , seperti kemoterapi, radioterapi,  pembedahan. Banyak anak saat pengobatan kanker dan pada akhir hayatnya meninggal dengan   nyeri, sesak nafas, dan lain-lain. ini bisa  dipicu  sebab  ketidaktahuan tenaga medis mengenai penanganan gejala atau orangtua  yang tidak mengenali gejala. Pelayanan paliatif yaitu   pendekatan yang meningkatkan kualitas  hidup pasien  terutama bagi mereka yang menghadapi masalah  penyakit  penyakit kronik dan 
mengancam hidup. Pada pelayanan paliatif, diutamakan pencegahan terhadap terjadinya 
penderitaan  yang dimunculkan oleh penyakit dasarnya, termasuk penanganan nyeri,   
dukungan fisik, psikologis,  spiritual. Pelayanan paliatif  memerlukan keikutsertaan  dalam bentuk tim.Badan Kesehatan Dunia [World Health Organization (WHO)]  menetapkan bahwa penanganan paliatif pada anak dengan keganasan  meningkatkan kualitas hidup pasien, Penanganan paliatif anak yaitu  penanganan aktif  untuk meningkatkan kualitas hidup anak yang menderita penyakit yang mengancam hidup, dengan cara meredakan masalah fisik, sosial, emosi,  spiritual. 
Penanganan harus dimulai segera sesudah  analisa   dilakukan  dan berlanjut , 
tanpa melihat pasien sedang dalam pengobatan atau tidak. penanganan paliatif yang dilakukan bersama dengan pengobatan penyakit dasar 
yaitu  kesatuan yang terintegrasi sepanjang perjalanan penyakit pasien ini .Penelitian di bidang onkologi anak terutama ditujukan untuk meningkatkan Kematian  dengan menurunkan angka kematian. Dengan Kematian  yang meningkat, perhatian beralih pada efek toksik kemoterapi. Data mengenai outcome pelayanan paliatif anak dengan kanker   sedikit, terutama penelitian  untuk menentukan gejalagejala yang bisa  mempengaruhi kualitas hidup. cara  pengembangan pelayanan paliatif anak dengan kanker harus dimulai dengan menentukan angka kejadian gejala yang sering dialami anak saat menjalani kemoterapi atau radioterapi atau  gejala pada  saat kanker sudah tidak mungkin disembuhkan. dengan pengendalian gejala dan perhatian, baik tenaga medis atau  keluarga, bisa  mengurangi penderitaan  anak dengan kanker. Kunci utama yaitu  komunikasi yang terus-menerus . Hasil akhir dari memperbaki komunikasi yaitu  kualitas hidup anak dengan kanker menjadi lebih baik,   begitu pula terhadap keluarga. Prinsip dasar pada pelayanan paliatif anak: Informasi dan pengambil keputusan,  Dukungan pada keluarga, Konsultasi para pakar,  Pelayanan yang terkoordinasi, Kualitas pelayanan, ada    anak yang meninggal dengan pemicu  yang beragam. Apapun pemicu nya, kejadian ini membuat depresi dan kehilangan yang luar biasa bagi keluarga atau  komunitas di sekitarnya. ini menyadarkan beberapa tenaga medis, komunitas, dan tenaga nonmedis lainnya untuk memberi  
dukungan bagi keluarga yang memiliki  anak dengan penyakit kronik atau sulit disembuhkan, termasuk kanker, untuk menghadapi situasi yang sulit ini. Pelayanan paliatif pada anak dengan kanker yaitu  pelayanan multidisiplin yang mengikutsertakan  dokter, perawat, psikiater, psikolog, pemuka agama,  relawan, sedang  dari pihak keluarga, Evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan paliatif bagi saudara kandung, Setiap anak ditambah   keluarganya memperoleh   dukungan yang luas dari hospice yang 
ditangani oleh tenaga fulltimer yang berdedikasi.  , mereka juga melakukan kunjungan rumah. ada    sembilan hospice yang melayani 100 anak rawat 
jalan. Pengembangan terus dilakukan dengan menambah hospice dan tenaga sebab  pada pelayanan dengan sistem hospice, biaya bisa  ditekan jika dibandingkan pelayanan di rumah sakit.Pelayanan paliatif biasanya  belum dilaksanakan secara sempurna . Beberapa pasien  dan rumah sakit sudah  menjalankannya, terutama pada pasien kanker. Terselenggaranya pelayanan paliatif yang terpadu dalam pengobatan  kanker di setiap jenjang pelayanan kesehatan di negara kita  untuk meningkatkan kualitas hidup pasien 


Lupus Eritematosus Sistemik (LES) yaitu   penyakit autoimun yang terjadi sebab  produksi auto-antibodi terhadap komponen sel tubuh sendiri, dengan dampak  klinis yang luas pada beberapa organ tubuh, ditandai oleh inflamasi 
pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat kronik dan episodik, sehingga pasien  mengalami eksaserbasi atau remisi.Lupus Eritematosus Sistemik pada anak berdampak   yang kompleks dan mengikutsertakan  beragam organ. keikutsertaan  neuropsikiatrik terjadi pada dua pertiga pasien  LES anak dan biasanya  muncul pada tahun pertama sesudah  terdeteksi  . keikutsertaan   neuropsikiatrik yaitu  pemicu  utama kedua morbiditas dan mortalitas pada pasien. dampak  kelainan neuropsikiatrik yang tersering yaitu  nyeri kepala. Kelainan lain 
yang bisa  muncul pada pasien   berwujud  penurunan konsentrasi, psikosis, kejang, mielitis, vaskulitis sistem saraf pusat,  stroke.Dalam menangani anak dengan LES,  memantau kondisi fisik juga  psikologis pada pasien. Anak dengan LES berisiko  mengalami masalah psikologis sebab  beragam faktor, termasuk diantaranya perawatan berulang di rumah sakit, kunjungan ke dokter yang sering, pemeriksaan laboratorium berkala, dan terbatasnya aktivitas keseharian mereka, yang  mempengaruhi  kondisi  psikologis pasien.Kerusakan yang dipicu  oleh LES terhadap kesehatan pengidap  secara fisik bersifat seusia  hidup dan kebanyakan pasien LES memerlukan  terapi imunosupresan 
jangka panjang. walau  angka kelangsungan hidup pasien LES sudah mengalami  perbaikan dalam dekade terakhir, namun  keikutsertaan  neuropsikiatrik ini masih menjadi suatu permasalahan. Pengobatan yang diberikan juga berefek  samping dan mempengaruhi  penampilan fisik pasien. diperlukan perhatian khusus terhadap keikutsertaan  neuropsikiatrik, penanganan masalah psikologis,  efek samping akibat pengobatan pada pasien LES anak.
Sekitar 15-28% masalah  LES terdeteksi   saat dua dekade pertama kehidupan.masalah  LES 
anak biasanya  terjadi pada wanita  yang sudah  melalui masa pubertas, dengan usia 
rata-rata awitan 12 tahun. Sebelum pubertas, rasio laki-laki:wanita  yaitu  1:3,  namun  sesudah  usia pubertas meningkat menjadi 1:9. Perbedaan etnis juga mempengaruhi  insidensi penyakit ini, angka kejadian LES sebelum usia 19 tahun yaitu  6-19 masalah  per 100.000 pada populasi wanita  kulit putih namun lebih tinggi pada etnis Afrika 
Amerika yang mencapai 20-40 masalah  per 100.000. Angka kejadian LES juga lebih tinggi 
pada etnis Hispanik dan Asia.Perkiraan prevalensi neuropsikiatrik lupus eritematosus sistemik (NPLES) pada anak berkisar antara 22-85%. Penelitian retrospektif NPLES pada 285 anak-anak di Cina menandakan  13% pasien berdampak   klinis NPLES pada saat analisa   dan angka ini meningkat menjadi 19% dalam kurun waktu 1 tahun.Angka mortalitas  dalam penelitian ini  yaitu  sebesar 55% pada anak dengan NPLES dan 18% pada mereka yang tidak memiliki NPLES. Penelitian  pada 356 pasien LES anak di ameriks selama 4 tahun mengonfirmasi morbiditas dan kerusakan organ kumulatif yang  terkait NPLES dengan angka mortalitas sebesar 4%, bahwa prevalensi neuropsikiatrik lupus pada anak dengan lupus eritematosus sitemik di RS  yaitu sebesar 12%. Pada penelitian ini  diperoleh  kenaikan titer anti-dsDNA pada semua pasien. Neuropsikiatrik Lupus Eritematosus Sistemik (NPLES) yaitu  suatu kelainan pada sistem saraf pusat, perifer, dan atau  saraf otonom, dan  sindrom psikiatrik yang ditemukan pada pasien LES sesudah  pemicu -pemicu  lain diabaikan .
   NPLES cukup kompleks, terkait dengan vaskulitis, trombosis, dan adanya autoantibodi.
  dan patofisiologi LES, Etiologi NPLES yaitu  multifaktorial dan  mengikutsertakan  autoantibodi, mikroangiopati, produksi sitokin proinflamasi intratekal dan aterosklerosis dini. riset  histopatologis postmortem mengungkapkan beragam kelainan otak yang dipicu  sebab  mikroinfark multifokal, atrofi korteks, infark luas, perdarahan, dan demielinasi iskemik pada pasien  
dengan LES.Mikrovaskulopati yang sebelumnya dikaitkan dengan deposisi kompleks imun saat 
ini diduga muncul sebab  aktivasi komplemen, dan yaitu   mikroskopik biasa  pada LES. Konsisten dengan perubahan pembuluh darah kecil ini, riset  spektroskopi single-photon emission computed tomography (SPECT) dan magnetic  resonance (MR) menandakan  atrofi serebral dan disfungsi kognitif pada pasien  LES berkaitan  dengan iskemia serebral yang difus dan kronis. namun , gambaran pencitraan ini  tidak khusus  sebab  pasien tanpa dampak  NPLES yang jelas  juga menunjukkan perubahan ini dan gambaran otak bisa  saja normal pada pasien dengan dampak  NPLES. Informasi pencitraan otak ini  menandakan  terjadinya perubahan neurofisiologi otak tidak selalu ditambah  perubahan secara neuroanatomi.
Integritas sawar darah-otak   penting dalam neuropatologi LES.Proses yang memicu  disfungsi otak pada LES mungkin mengikutsertakan  interaksi tidaknormal  sel darah  putih endotel yang memungkinkan protein atau sel masuk ke sistem saraf pusat (SSP). Sel endotel vaskuler bisa  distimulasi oleh sitokin proinflamasi atau autoantibodi yang  mengatur ekspresi protein adhesi di permukaannya yang memfasilitasi masuknya limfosit ke dalam SSP. Kadar intercellular adhesion molecule 1 (ICAM-1) serum meningkat sesuai  aktivitas penyakit sistemik pada pasien LES dan kembali ke kadar normal saat remisi. Kerusakan sawar darah-otak juga yaitu  faktor risiko gangguan psikiatrik  akibat kortikosteroid pada pasien LES. Beberapa antibodi antineuronal diketahui terlibat dalam   NPLES. 
Autoantibodi patogenik ini bisa  meningkatkan oklusi vaskular dan juga memicu  gangguan pada sawar darah otak. Antibodi reseptor glutamat anti-NR2, antibodi reseptor  anti-N-metil-D-aspartat, dan antibodi P anti-ribosomal sudah  diidentifikasi pada serum  dan atau  liquor serebrospinalis pasien dengan NPLES. Salah satu autoantibodi yang paling sering diteliti yaitu  antiphospholipid antibodies(aPL) yaitu   suatu autoantibodi heterogen yang terkait dengan trombosis dan 
beragam dampak  neurologis pada pasien dengan atau tanpa LES.berkaitan dengan disfungsi kognitif pada pasien LES. Defisit memori verbal, penurunan kemampuan psikomotor, dan penurunan kemampuan kognitif secara menonjol  berkaitan  dengan peningkatan kadar aPL pada pasien LES.riset  longitudinal mengevaluasi hubungan antara kadar aPL yang diperoleh   secara serial dan disfungsi kognitif pada pasien LES.riset  menandakan  disfungsi kognitif secara menonjol  terkait dengan aPL yang positif. 
 bahwa pasien LES dengan kadar IgG anticardiolipin (aCL) yang terus meningkat selama periode 2-3 tahun secara menonjol  memiliki kapasitas  neuropsikologis lebih buruk dibanding pasien LES dengan kadar IgG aCL yang kadang   meningkat atau tidak pernah meningkat.Penurunan kapasitas neuropsikologis ini tidak 
berkaitan  dengan kadar antibodi anti-DNA atau  kadar C3.. meneliti   500 pasien LES wanita selama periode 5 tahun dan menemukan bahwa peningkatan IgG aCL yang persisten berkaitan  dengan penurunan kemampuan psikomotor, sedang   peningkatan IgA aCL berkorelasi dengan penurunan fungsi eksekutif dan penalaran. Mereka juga tidak menemukan hubungan antara defisit kognitif dengan antibodi antiDNA.Antibodi reseptor anti-glutamat juga berperan dalam disfungsi kognitif dan kelainan 
psikiatrik pada pasien LES. Subset antibodi anti-DNA lupus bereaksi silang dengan  reseptor glutamat NR2 pada pasien dengan LES. Reseptor NR2 dikenali oleh antibodi anti-DNA, dan antibodi ini lalu  akan memediasi apoptosis neuron.
Antibodi anti limfosit (AAL)  berikatan dengan beragam macam antigen target. Antibodi ini diidentifikasi in vitro sebab  kemampuannya melisiskan limfosit dan memiliki aktivitas terhadap permukaan limfosit atau komponen membran plasma. Beberapa AAL terbatas berikatan dengan limfosit, namun ada juga yang berikatan dengan 
selain limfosit yaitu dengan sel neuron. Antibodi yang berikatan dengan sel neuron yaitu  
antibodi anti-ribosomal P protein (anti-P), yaitu  bagian dari antibodi anti limfosit. Antibodi anti-acidic ribosomal phosphoprotein/anti-ribosom (anti-P) ditemukan pada 13-25% pasien LES.
Antibodi anti limfosit yang bereaksi dengan sel neuron bisa  bersifat patogenik pada  NPLES. Antibodi anti-ribosomal P protein selain berikatan dengan antigen di permukaan  limfosit T dan menginduksi apoptosis limfosit T, juga memiliki aktivitas antibodi terhadap sel neuron. Limfosit pasien NPLES lebih rentan mati dengan cara neglect apoptosis dibandingkan pasien bukan NPLES.menandakan  limfopenia berkaitan  secara bermakna dengan NPLES. bahwa limfopenia 
berkaitan  dengan keikutsertaan  saraf dan artritis.
bahwa limfopenia berat berkaitan  dengan neuropsikiatrik LES. The European Working Party on SLE mempelajari morbiditas dan mortalitas pada  pasien LES selama periode 10 tahun dalam penelitian kohort 1.000 pasien, yaitu   
penelitian mengenai risiko kejadian trombosis dan aPL pada LES. Penelitian mengikutsertakan  
204 (20,4%) pasien dengan IgG anticardiolipin (aCL) positif, 108 (10,8%) pasien dengan 
IgM aCL positif dan 94 (9,4%) dengan lupus anticoagulant (LA) positif. Trombosis yaitu  
pemicu  biasa   kematian selama 5 tahun pemantauan dan dikaitkan dengan  antiphospholipid syndrome (APS). dampak  trombosis yang ditemukan dalam penelitian 
ini  yaitu  stroke (11,8%), infark miokardium (7,4%), dan emboli paru (5,9%).Hubungan antara autoantibodi, integritas sawar darah-otak dan NPLES anak cukup  kompleks. Autoantibodi bisa  memasuki jaringan otak sebab  ada kerusakan pada sawar darah-otak. Autoantibodi lalu  memicu  kerusakan saraf sehingga terjadi 
gangguan plastisitas neuron dan gangguan pada sinaps, Kerusakan pada substansia alba dan substansia grisea akan berefek  yang lebih serius pada pasien  anak yang mana proses mielinasi pada struktur ini  masih berlangsung. jika  dikaitkan lebih lanjut dengan antibodi anti limfosit dan limfopenia, maka secara garis 
besar patomekanisme NPLES .dampak  keikutsertaan  neurologis pada pasien LES anak lebih berat dibanding dengan  pasien LES dewasa. Dalam riset  selama 6 tahun pada pasien NPLES anak, dampak  sistem saraf lebih sering terjadi dibandingkan glomerulonefritis. 
Sindrom NPLES biasa  dalam penelitian longitudinal ini  meliputi: gangguan sistem saraf perifer (11%), psikosis (10%),  stroke (10%).pusing  (70%), gangguan mood (50%), disfungsi kognitif (57%), kejang (51%),kelainan konfusional (30%), 
dampak  psikiatrik   biasa  terjadi pada pasien dengan NPLES. Psikosis, gangguan mood, disfungsi kognitif, kondisi  konfusi akut,  gangguan kecemasan termasuk kategori NPLES,  Depresi yaitu  gangguan mood yang paling sering ditemukan pada anak dengan NPLES. pemicu  depresi lain yang perlu dipikirkan  pada anak dengan LES yaitu  depresi reaktif dan depresi 
yang dipicu  oleh steroid. Depresi reaktif yaitu  depresi yang dipicu oleh beban hidup terkait penyakit kronis yang diderita pasien dan bukan sebab  kelainan neuropsikiatrik. dampak  lain yang bisa  ditemukan selain gangguan afektif antara lain halusinasi visual, halusinasi pendengaran, dan halusinasi taktil.Disfungsi kognitif tampak  terjadi pada hingga 50% pasien NPLES anak.7-
9, Gangguan perhatian, konsentrasi, memori, dan gangguan kata bisa  dilihat  selama  pengujian fungsi neurokognitif. Gejala-gejala ini  bisa  memburuk seiring waktu. Pada pasien remaja, penurunan kemampuan akademik menandakan adanya disfungsi kognitif sebab  NPLES dan memerlukan  evaluasi lebih lanjut. Mini-Mental State Examination (MMSE) bisa  dipakai  untuk mengidentifikasi adanya disfungsi kognitif pada pasien.Kejang yaitu  pertanda adanya keikutsertaan  pada SSP. Pasien LES dengan 
gangguan serebrovaskular dan disfungsi kognitif memiliki kecenderungan kejang yang lebih besar. Dalam riset , positivitas aPL  meningkatkan risiko kejang. Sebagian besar kejang, sekitar dua-pertiga yaitu  berwujud  kejang biasa , sedang  kejang 
parsial menempati posisi kedua bentuk kejang yang paling sering.Gangguan gerak yaitu  dampak  NPLES lain yang bisa  muncul. Chorea yaitu  
gangguan gerak biasa  yang terkait dengan NPLES, dan mungkin bisa  menjadi dampak  awal NPLES.
, pasien anak dengan NPLES berisiko  lebih besar mengalami kejadian trombosis, yang memberi petunjuk bahwa chorea ini terjadi sebab  suatu mekanisme vaskulopati.Nyeri kepala yaitu  salah satu dampak  NPLES yang paling sering terjadi 
pada LES anak, nyeri kepala lupus terbagi menjadi lima kategori: migrain, tension headache, cluster, nyeri kepala akibat hipertensi intrakranial 
(pseudotumor cerebri),  nyeri kepala nonkhusus .Nyeri kepala pada anak dengan LES bisa  multifaktorial. Saat ini tidak ada tes tunggal yang bisa  membedakan nyeri kepala yang dipicu  oleh NPLES dari etiologi lainnya, seperti migrain idiopatik, efek samping obat, atau infeksi SSP. Pada kebanyakan masalah , nyeri kepala sebab  NPLES ini akan terkait dengan dampak  NPLES lainnya. Pada masalah  nyeri kepala yang hebat
atau baru muncul, pasien harus dievaluasi secara menyeluruh dengan pencitraan otak, dan juga pemeriksaan liquor serebrospinal. keikutsertaan  neuropsikiatrik pada pasien  LES anak bisa  mempengaruhi  kemampuan prestasi akademik dan kualitas hidup secara keseluruhan.
dampak  psikiatrik akibat steroid  Kortikosteroid yaitu  obat yang banyak dipakai  dan   efektif untuk LES.  , kortikosteroid ini kadang  bisa  memicu  efek samping psikiatrik pada pasien. Mekanisme patofisiologis yang memicu  gejala psikiatrik yang terkait dengan pengobatan kortikosteroid masih belum jelas. Spekulasi mengenai mekanisme ini termasuk efek kortikosteroid pada sistem dopaminergik dan kolinergik, penurunan pelepasan serotonin,  efek toksik pada neuron hipokampus atau di area  otak lainnya. 
dampak  psikiatrik, gejala dan sindrom yang terkait dengan pengobatan kortikosteroid meliputi gangguan mood (depresi, hipomanik, manik, mixed state), gangguan kognitif terisolasi (gangguan perhatian, konsentrasi, memori,  kesulitan pemakaian  kata), kecemasan,  gangguan panik, delirium, pemikiran,  sikap  bunuh diri dalam konteks gangguan afektif atau delirium, sikap  agresif, insomnia,  agitasi, depersonalisasi,   
,  Istilah psikosis diterapkan pada banyak dampak  klinis ini, tanpa membedakan antara manik, depresi psikotik, ataupun delirium.Defisit kognitif akibat kortikosteroid tanpa gejala psikotik biasanya mengikutsertakan  ingatan deklaratif atau  verbal.Defisit kognitif dan gangguan mood yang reversibel sudah   tampak  pada subyek  checkup  yang sehat sesudah  pemberian prednison, deksametason, dan kortisol. pemberian prednison 0,5 mg/kg/hari pada pasien LES dengan gejala  ringan yang tidak memperoleh   kortikosteroid ( selama 6 bulan) memberi  efek menguntungkan pada aspek kognitif, mood, dan gejala-gejala LES.angka kejadian rata-rata dampak  psikiatrik berat sebesar 7% berdasar  13 penelitian yang mengikutsertakan  3.585 pasien yang diobati  dengan kortikosteroid. bahwa  gejala hipomanik atau manik yaitu  efek samping psikiatrik biasa  akibat pengobatan kortikosteroid. riset  bahwa risiko depresi meningkat  dengan paparan kortikoteroid jangka panjang.69 Pasien yang mengalami depresi akibat  kortikosteroid selama satu kali pengobatan mungkin akan mengalami episode manik di waktu lainnya..  episode psikosis akut yang memenuhi syarat  DSMIV pada 17% (89/520) pasien LES yang diikuti selama 4-8,8 tahun. Psikosis akibat 
kortikosteroid diperoleh  sebesar 36% (28/89) dari seluruh masalah  psikosis yang muncul, 
dan 10 diantaranya (36%) memiliki lebih dari satu episode psikotik.Tidak ada tes analisa  tunggal yang peka  dan khusus  untuk dampak  NPLES. 
Penilaian pasien berdasar  evaluasi neurologis, uji imunoserologis, pencitraan otak, penilaian psikiatrik,  penilaian neuropsikologis. pemeriksaan ini  dipakai  untuk mendukung analisa  klinis, eksklusi kemungkinan lain,  yaitu  dasar bagi pemantauan klinis secara jangka panjang atau  tanggapan  terhadap  pengobatan. Pendekatan analisa  terhadap pasien dengan kemungkinan dampak  NPLES yaitu  dengan menentukan apakah sindrom klinis yang muncul memang benar dipicu  oleh disfungsi organ akibat LES, atau justru dipicu  sebab  faktor lain seperti infeksi, efek samping pengobatan, atau kelainan metabolik. kondisi  infeksi bisa  memicu  kelainan SSP pada pasien LES, sehingga  penting untuk mengabaikan  pemicu  infeksi sebelum melakukan  analisa   NPLES.Pemeriksaan Pencitraan otak berguna  untuk mengidentifikasi NPLES, dan penting untuk 
mengabaikan  analisa   alternatif seperti infeksi dan keganasan pada SSP. Penelitian pada pasien  dewasa menandakan  sekitar dua pertiga pasien dengan NPLES, menunjukkan kelainan pada hasil MRI otak. bahwa penurunan volume serebral 
dan corpus callosum pada pasien LES dewasa berkaitan  dengan durasi penyakit, kerusakan kognitif,  dampak  SSP lainnya,  tidak berkaitan  dengan jumlah total kortikosteroid atau adanya aPL.52 Gejala neurologis fokal dan gejala neuropsikologis pada stroke yang terkait LES berkorelasi dengan kelainan struktural yang ditemukan dari hasil MRI. Dengan memakai  MRI, sebagian besar (40-80%) kelainan pada NPLES 
yaitu  lesi fokal kecil-kecil yang terkonsentrasi pada area  substansia alba periventrikular 
dan subkortikal. Atrofi kortikal, dilatasi ventrikel, dan  infark yang luas dan difus pada substansia alba juga bisa  ditemukan.Sebagian besar gambaran MRI pada NPLES yaitu  akibat keikutsertaan  pembuluh darah kecil, dan menunjukkan lesi penyangatan (high-signal intensity) yang kecil, multifokal, bilateral yang memberi kesan suatu vaskulitis pada pembuluh darah kecil. Dibandingkan dengan MRI, computed tomography (CT) lebih bernilai dalam menggambarkan perubahan akut akibat stroke hemoragik, pseudotumor cerebri, atau trombosis vena. Magnetic resonance angiogram (MRA) juga berguna  untuk melihat adanya vaskulitis pembuluh darah besar, hasil pencitraan bisa memberi  gambaran yang normal, maka  tidak 
adanya lesi pada MRI atau CT tidak sepenuhnya mengabaikan  NPLES.Analisa visual fluorodeoxyglucose-positron emission tomography (FDG-PET) secara  konsisten menunjukkan ketidaknormalan  pada area  prefrontal, parietal inferior dan superior, parieto-oksipital, posterior temporal,  oksipital substansia grisea,  substansia alba pada kondisi  NPLES yang aktif atau  tidak aktif. ketidaknormalan  pada 
area  prefrontal, anterior cingulate,  substansia alba parietal inferior terlihat pada tahap  akut NPLES namun tidak pada NPLES yang tenang. Sekitar 60-80% pasien dengan  NPLES aktif akan menunjukkan gambaran hipometabolisme berdasar  pemeriksaan  FDG-PET pada area  substansia alba parieto-oksipital bilateral, yang pada pemeriksaan  MRI konvensional menunjukkan hasil normal. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) bisa  menunjukkan ketidaknormalan   neurometabolik pada substansia alba dan grisea yang terlihat normal pada pemeriksaan MRI konvensional.  ini  menandakan adanya cedera neuronal atau 
demielinasi yang terjadi pada episode NPLES yang aktif atau  yang tidak aktif.
Pemeriksaan  Magnetization Transfer Imaging (MTI) yaitu metode MRI yang   memberi  informasi  yang lebih peka  dibanding MRI konvensional dalam mendeteksi NPLSE dan mampu mendeteksi 
kelainan otak pada pasien dengan riwayat NPLES tanpa gejala aktif neuropsikiatrik saat 
pemeriksaan dilakukan.Single-photon emission CT (SPECT) memberi  gambaran aliran darah otak dan menunjukkan area  yang mengalami penurunan perfusi atau hilangnya fungsi parenkim otak. Penelitian pada anak menandakan  sebagian besar anak dengan LES yang berdampak   neuropsikiatrik juga memiliki hasil pemindaian SPECT yang tidaknormal , bahkan saat  hasil CT Scan, MRI, EEG,  liquor serebrospinalis 
memberi  gambaran yang normal.  pada pasien yang mengalami kelainan, lesi yang ditemukan pada pemindaian SPECT meluas sampai ke area yang tampak normal pada MRI. Pemeriksaan SPECT belum dipakai  secara rutin untuk evaluasi NPLES namun akan menjadi alat analisa, 
Permasalahan psikologis disebabkan  pasien LES anak sebagian besar yaitu  remaja wanita , menangani permasalahan yang muncul pada masa remaja menjadi   penting sehingga remaja 
dengan penyakit ini bisa  menentukan pilihan-pilihan yang tepat. Pemicu stress dan 
komorbiditas perlu dikelola dengan sebaik-baiknya. Pada masa usia remaja,  anak akan mengeksplorasi kebebasan mereka, mulai mempelajari keterampilan hidup, dan mulai 
terlibat dalam pemecahan masalah. Mereka biasanya  memasuki sekolah lanjutan  tingkat menengah dan tingkat atas, yang pergaulan sehari-harinya   dipengaruhi oleh penampilan fisik.
Selain permasalahan kronisitas penyakit, remaja yang menderita LES biasanya  memiliki permasalahan di  sekolah, Efek samping pengobatan menambah permasalahan pada anak dengan LES sebab  mereka akan memperoleh  terapi kortikosteroid sistemik dosis tinggi yang memicu  penambahan berat badan,   jerawat,  maka , tidak mengherankan bahwa banyak remaja dengan LES tidak patuh dengan pengobatan, Perjalanan penyakit LES yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan pemantauan  ketat akan aktivitas penyakitnya. Langkah evaluasi penyakit berguna  sebagai panduan dalam pemberian terapi. Beberapa indeks untuk menilai aktivitas  penyakit LES antara lain British Isles Lupus Assessment Group (BILAG) dan Systemic Lupus  Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI) yang bisa  diadaptasi untuk pemakaian  pasian anak LES. menyarankan pemakaian  The Children s Depression  Inventory (CDI) dan Multidimensional Anxiety Scale for Children (MASC) yang dilakukan  oleh pasien LES usia remaja dan The Child Behaviour Checklist oleh keluarga untuk menilai kondisi  psikologis dan kompetensi sosial pasien. bahwa pengidap  LES anak memiliki kompetensi sosial keseluruhan yang lebih rendah bahkan pada saat tahap  remisi dibanding  checkup  pada rentang usia yang sama. ini dipicu  oleh pemakaian  terapi kortikosteroid berkelanjutan (bahkan saat tahap  remisi)  yang mempengaruhi penampilan mereka, 
Pengobatan khusus  NPLES tergantung pada sifat dari proses yang mendasarinya, yaitu  trombosis
inflamasi atau keduanya. Pada masalah  dengan dasar mekanisme inflamasi yang bertanggung jawab atas dampak  NPLES, bisa  diberikan pengobatan dengan  kortikosteroid tunggal atau dikombinasikan dengan imunosupresan lainnya, seperti  siklofosfamid, azatioprin atau mycophenolate mofetil (MMF),  Pada masalah  yang   berat atau mengancam jiwa, dan masalah  yang refrakter terhadap pengobatan lain, bisa  
dilakukan plasma exchange, pemberian immunoglobulin intravena atau rituximab.
 pada kebanyakan sindrom NPLES, selain pengobatan dengan  terapi imunomodulasi juga diperlukan terapi simptomatik. 90% pasien LES memperoleh   pengobatan kortikosteroid. Kortikosteroid  yaitu  satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk pengobatan LES, dengan efek samping   (hiperlipidemia, diabetes, hipertensi, osteopenia). Kortikosteroid juga  memiliki sumbangan  terhadap morbiditas jangka panjang pada pasien LES.Terapi antiplatelet dan atau  terapi antikoagulan bisa  diberikan untuk pasien NPLES  dengan dampak  trombosis. Indikasi pemberian antikoagulan ini terutama yaitu  
trombosis arterial yang berdampak  sebagai stroke atau serangan iskemik transien pada 
sindrom antifosfolipid. pengobatan  stroke akut pada anak tidak jauh berbeda dengan  stroke pada populasi dewasa. Pasien perlu dikonsultasikan dengan ahli neurologi anak dan perlu dilakukan evaluasi mengenai kebutuhan terapi trombolitik atau intervensi bedah. Aspirin harus diberikan kecuali ada kontraindikasi, Antikonvulsan bisa  diberikan bersamaan dengan kortikosteroid atau imunosupresan  pada pengidap  NPLES dengan dampak  kejang. Siklofosfosfamid atau plasma exchange, juga bisa  diberikan terutama untuk masalah   yang berat atau refrakter. Terapi 
simptomatik dengan antipsikotik atau antidepresan bersamaan dengan imunosupresan 
  diberikan untuk pasien dengan dampak  psikiatrik. Pasien  chorea   mengalami perbaikan secara bertahap dengan pemberian antagonis dopamin  yang dikombinasikan dengan kortikosteroid oral. dampak  chorea yang ditambah  dengan hasil antibodi antifosfolipid positif menunjukkan suatu etiologi thrombosis sehingga bisa  diberikan tambahan terapi antiplatelet/antikoagulan.Siklofosfamid yang diberikan secara bulanan dengan dosis (500-1000 mg/m2)  intravena selama 6 bulan diteruskan  dengan dosis rumatan triwulanan selama 2 
tahun yaitu  pilihan pengobatan imunosupresif sitotoksik dengan manfaat terapeutik  yang sudah  terdokumentasi untuk pengobatan NPLES yang berat dan tidak menanggapi  modalitas pengobatan lainnya.siklofosfamid memberi  hasil terapeutik keseluruhan yang lebih baik dibandingkan  metil prednisolon jangka panjang untuk pasien LES dengan dampak  neurologis 
(kejang refrakter, neuropati perifer,  kranial, neuritis optik).Langkah pencegahan sekunder yaitu mengurangi eksaserbasi lupus dengan 
mengoptimalkan terapi, mengurangi faktor pemicu  eksaserbasi seperti stress dan infeksi. 
Pada pasien yang memiliki titer antibodi antifosfolipid yang tinggi, bisa  dipikirkan  
pemberian aspirin dan atau  antikoagulan oral.5,41Setiap pasien LES anak harus ditangani secara komprehensif dengan tim multidisipliner 
yang terdiri dari dokter spesialis anak sebagai kepala tim, didukung oleh perawat, fisioterapis dan terapis okupasional. Psikiater dan psikolog anak juga berperan   dalam memediasi pasien anak untuk beradaptasi terhadap penyakit kronisnya, 
memperbaiki komunikasi dan kesepakatan terapi antara tim dengan keluarga, dan  membantu membedakan beragam dampak  neuropsikiatri LES anak.Pendekatan non farmakologis berperan  penting pada pasien LES dengan gangguan psikiatrik dan disfungsi kognitif.  menandakan  intervensi  psikologis berbasis golongan  ternyata bisa  meningkatkan kemampuan coping pada 
pasien LES. Coping yaitu  usaha mengubah sikap  dan kognisi pasien  secara konstan untuk menangani, mengurangi, atau mentoleransi ekspektasi yang melebihi  kemampuan pasien  ini . Pasien yang memperoleh   intervensi menunjukkan perbaikan  yang menonjol  dalam beragam aspek, seperti berkurangnya depresi, tingkat kecemasan atau  beban mental secara keseluruhan.pendidikan  pentingnya aktivitas olahraga isotonis, penanganan nyeri, dan manajemen gangguan pola tidur   membantu pasien LES anak menghadapi depresi, kelelahan emosional,  agar keluarga dan lingkungan pasien LES bisa  memahami keterbatasan fisik dan psikologis anak terutama dalam hal menghadapi tuntutan beban akademik sekolah ataupun pergaulan sosialnya. 


Endocrine Disrupting Chemicals (EDCs) diartikan  sebagai suatu agen eksogen yang  mengganggu sintesis, sekresi, transportasi, metabolisme, pengikatan atau  eliminasi dari hormon-hormon alami yang berada dalam tubuh dan bertanggung 
jawab atas proses homeostasis, reproduksi dan perkembangan,   awalnya  EDCs diduga beraksi melalui nuclear hormone receptors, termasuk reseptor estrogen, reseptor androgen, reseptor progresteron, reseptor tiroid,  reseptor retinoid.  maka diduga mekanismenya tidak sesederhana itu. EDCs beraksi selain melalui nuclear receptors juga melalui non nuclear steroid hormone receptor (contoh  membran reseptor estrogen), orphan receptors, reseptor non steroid (contoh  reseptor neurotransmitter seperti reseptor serotonin, reseptor dopamin, reseptor nor epinefrin),  EDCs digolongkan  berdasar  struktur kimiawi, efek terhadap sistem endokrin, bioakumulasi dan persistensi pada lingkungan atau efek klinis yang bisa dilihat . Hingga saat ini sudah lebih dari 100 bahan kimiawi yang dibuat . Beberapa golongan  molekul yang diidentifikasi sebagai senyawa pengganggu sistem endokrin 
  beragam , termasuk di dalamnya yaitu  zat-zat kimiawi yang dipakai sebagai pelarut atau pelumas dalam industri dan produk sampingannya pestisida (methoxychlor, chlorpyrifos, dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT)), plastik (biphenol A (BPA)), plasticizers 
(phthalates), fungisida (vinclozolin),  (dietilstilbestrol),  (polychlorinated biphenyls
(PCBs), polybrominated biphenyls (Pberat badan s), dioxin,  
Masing masing pasien  memiliki  paparan yang unik dari beragam macam EDCs baik  yang diketahui atau  tidak diketahui. Perbedaan metabolisme dan komposisi tubuh akan memicu  ragam  terhadap waktu paruh dan persistensi dari EDCs dan  degradasi dalam cairan tubuh dan jaringan. Gangguan pada tubuh manusia kemungkinan besar yaitu  hasil dari paparan kronik dari beragam gabungan EDCs.
 Suseptibilitas terhadap EDCs  beragam  tergantung polimorfisme genetik.Paparan EDCs pada pasien  dewasa akan   memiliki konsekuensi yang berbeda dengan paparan yang dimunculkan saat masih dalam kandungan, bayi atau masa anak. Seringkali paparan tidak segera memicu  dampak  klinis namun lalu  berkembang saat dewasa. bahwa paparan ini jarang yang dipicu  oleh komponen tunggal, sehingga banyak golongan  EDCs yang sifatnya adiktif atau sinergistik.  saat yang rentan yaitu  masa periode kritis perkembangan yaitu  saat embrio, fetus 
dan bayi baru lahir. Paparan EDCs bisa melalui makanan, minuman, air, debu , tanah,  kontak 
langsung,   Anak berkembang   pesat sehingga mereka bahkan lebih rentan terhadap dosis per menit  dari stressor lingkungan. Fetus dan bayi juga harus memperoleh  perhatian khusus sebab  
banyak zat zat kimiawi yang mungkin masuk melalui plasenta dan melalui ASI.  anak   rentan terhadap paparan EDC. Kondisi anak yang unik dan laju  metabolisme yang lebih tinggi menempatkan mereka terhadap risiko yang lebih besar  terhadap paparan EDCs. Salah satunya yaitu  paparan pestisida.
 Gangguan terhadap hormon tiroid akibat EDCs diduga melalui aksis hipotalamus hipofisik  dan tiroid.Namun  kisaran fisiologis yang luas dari Thyroid Stimulating Hormone (TSH)  dan hormon tiroid perifer pada manusia memicu  luasnya pengukuran antar pasien  sehingga penelitian populasi menjadi   sulit.Pada tingkat kelenjar tiroid , zat kimiawi bisa mengganggu aktivitas 
keseluruhan dari kelenjar dengan mengganggu reseptor TSH. Fungsi dari sodium iodide 
symporter (NIS) atau thyroid peroxidase (TPO) bisa terganggu oleh zat-zat kimiawi melalui 
inhibisi atau stimulasi.   EDCs diduga mengganggu reseptor hormon tiroid. 
Gangguan terhadap ekspresi dari reseptor tiroid juga mengganggu perkembangan  susunan saraf pusat. paparan pestisida pada bayi dan ibu hamil menandakan  kadar organofosfat (salah satu jenis pestisida yang sering dipakai  di area  pertanian) 
pada ibu dan bayi baru lahir di area  pertanian lebih tinggi dibandingkan populasi  biasanya  dan bayi lebih rentan terpapar pestisida. adanya angka kejadian hipotiroid yang cukup tinggi pada anak usia sekolah di area  paparan pestisida.   bahwa kandungan metabolit organofosfat pada urine yang positif meningkatkan risiko hipotiroid dibandingkan dengan metabolit urine yang tidak mengandung metabolit organofosfat.   pada usia balita di area  paparan pestisida menandakan  prosentase anak balita dengan kadar TSH di atas normal lebih tinggi di area  paparan pestisida 
dibandingkan area  non paparan.Dampak paparan EDCs terhadap perkembangan organ reproduksi
Beberapa kondisi yang sering dikaitkan dengan EDCs antara lain yaitu  kriptorkismus, 
hipospadia, gangguan pubertas, kanker testis dan penurunan fertilitas. Penelitian hewan coba yang dilakukan dengan memberi  paparan phthalates dalam masa kehamilan dan  laktasi memicu  turunnya kadar dan konsentrasi testosteron pada anaknya. Kriptorkismus (undesensus testis) yaitu  masalah yang sering dikaitkan dengan 
EDCs. Penurunan testis terjadi dalam dua tahap  yang dikendalikan  oleh Leydic cell-derived 
hormones insulin-like peptide 3 (INSL3) dan testosteron. Gangguan pada produksi 
androgen fetus atau supresi dari Insl3 yaitu  mekanisme yang diduga memicu  kriptokismus pada hewan pengerat. Zat kimiawi estrogenik diduga bisa mengganggu perkembangan organ reproduksi pada penelitian hewan coba. sedang  pada manusia, paparan prenatal oleh dietilstilbestrol (DES), sebuah obat nonsteroid estrogen sintetik, dikaitkan dengan risiko terjadinya kriptorkismus.riset  menduga EDCs juga berkaitan angka kejadian hipospadia. Pada ibu-ibu yang mengalami paparan EDCs dalam pekerjaannya meningkatkan faktor risiko kejadian hipospadia pada anaknya.  paparan timah yang lebih tinggi berkaitan  dengan keterlambatan 
onset pubertas pada anak laki-laki.Dampak paparan EDCs terhadap perkembangan dan 
pertumbuhan anak,  riset  menandakan  paparan pestisida terkait pekerjaan selama ibu hamil yaitu  salah satu faktor risiko terhadap gangguan perkembangan dan pertumbuhan pada anak akibat toksisitas neuron.

2


Penilaian perkembangan kemampuan motorik bayi di masa neonatus memerlukan  instrumen yang valid dan reliable dan  didesain untuk pemakaian  longitudinal sejak periode prenatal sampai awal periode sesudah kelahiran. Para klinisi dan peneliti memerlukan  instrumen yang bisa  dipakai  untuk menilai perkembangan 
bayi dengan setting NICU, yaitu bayi dengan kondisi klinis yang masih rawan dan tidak 
stabil. maka  parameter utilitas klinis akan dipakai  sebagai faktor utama dalam memikirkan  instrumen mana yang paling cocok dipakai .
Penilaian sikap  motorik di masa bayi memiliki  beragam  tujuan, antara lain deteksi dini disfungsi susunan saraf pusat atau otak, memprediksi luaran (outcome) jangka panjang, mengevaluasi kemajuan perkembangan secara longitudinal, dan 
mengevaluasi dampak terapi.Berdasar hal ini , instrumen penilaian perkembangan bayi bisa  digolongkan menjadi beberapa jenis tergantung dari tujuan penilaiannya, yaitu:  Instrumen evaluatif (untuk mengevaluasi perubahan perkembangan  di setiap waktu yang berbeda).
Instrumen diskriminatif (untuk membedakan perkembangan normal dan tidaknormal ),   
 Instrumen prediktif (untuk memprediksi beragam jenis masalah perkembangan di masa depan),   
Berdasar review sistematis yang menganalisis beragam instrumen penilaian perkembangan sikap  motorik bayi, ada    dua metode penilaian perkembangan bayi yang memiliki  nilai utilitas dan nilai psikometrik paling baik, yaitu  metode 
penilaian kualitas general movements (GMs) dan test of infant motor performance (TIMP). 
Metode GMs yaitu  instrumen terbaik dalam hal validitas prediktif, sedang  TIMP terbaik dalam hal validitas evaluatif. namun , kedua metode ini  
hanya bisa  dipenerapan kan untuk bayi sampai berusia sekitar 3-4 bulan. maka , dibangun  sebuah instrumen infant motor profile (IMP) 
yang bisa  dipenerapan kan untuk bayi pada usia 3-4 bulan sampai sekitar 18 bulan. IMP yaitu  metode penilaian kualitatif yang terstandarisasi untuk menilai kemampuan motorik bayi. IMP dibangun  pertama kali di Groningen, Belanda sebagai salah satu alternatif instrumen untuk menilai kemampuan motorik bayi. Metode IMP 
bisa  dipakai  sebagai deteksi dini dan juga instrumen untuk mengevaluasi kemajuan 
perkembangan motorik anak sesudah  memperoleh  intervensi atau terapi tertentu. Metode IMP memiliki  dasar teori yang sama dengan metode GMs, yaitu  neuronal group selection theory (NGST). Metode IMP tidak hanya akan memberi informasi mengenai  pencapaian 
perkembangan motorik   bayi, namun  juga informasi mengenai  dengan cara apa dan 
bagaimana bayi ini  mencapai perkembangan motoriknya. Menurut teori NGST faktor genetik dan faktor lingkungan keduanya berperan  penting dalam perkembangan motorik. Dalam teori NGST, perkembangan  motorik normal ditandai dengan adanya 2 tahap  variabilitas. tahap  pertama yaitu  
variabilitas primer, yaitu  ragam  dalam sikap  motorik yang tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, melainkan berwujud  aktivitas gerak spontan yang dihasilkan oleh jaringan neuronal primer yang sudah ada pada saat anak lahir. Contoh dalam ini bisa  dilihat pada gerakan spontan yang dinamakan  general movements (GMs), yaitu pola gerakan yang sering terjadi pada janin dan bayi muda sampai usia sekitar 4 bulan yang ditandai oleh adanya gerakan yang   beragam  dan   kompleks. Gerakan ini bersifat spontan, tidak untuk  dan tidak dipengaruhi oleh adaptasi faktor lingkungan.Sesudah  bayi berusia di atas 3-4 bulan, gerakan GMs secara bertahap  digantikan dengan gerakan yang untuk   , contoh  gerakan untuk meraih sesuatu. Pada awalnya, gerakan untuk  ini  ditandai dengan ragam  dalam amplitudo dan kecepatan. Secara bertahap, ragam  gerakan ini  akan 
semakin menurun dan digantikan oleh tahap  kedua dalam perkembangan motorik, yaitu 
variabilitas sekunder. Pada tahap  ini anak mengembangkan kemampuan untuk memilih cara  motorik terbaik dalam menghadapi situasi tertentu sebagai hasil adaptasi dengan lingkungannya melalui proses eksplorasi dan seleksi. Proses ini terjadi pada usia yang  khusus -fungsional untuk setiap jenis kemampuan motorik anak.
pemakaian  konsep NGST untuk pengembangan instrumen penilaian perkembangan motorik bayi pada usia baru lahir sampai dengan 3-4 bulan ternyata bisa  diterapkan  dengan baik melalui metode GMs. Dengan dasar teori yang sama IMP dibangun  untuk menjadi instrumen penilaian perkembangan motorik untuk bayi berusia di atas 3 bulan. biasanya  IMP bisa  dipenerapan kan untuk mengevaluasi sikap  motorik bayi  berusia 3 bulan sampai 18 bulan, atau sampai pada usia beberapa bulan sesudah  anak  mampu  berjalan secara mandiri. Pada anak yang mengalami beberapa jenis gangguan motorik sedang sampai berat, IMP bisa  dipakai  hingga di atas usia 18 bulan. Instrumen IMP memakai  penilaian berdasar  sebuah rekaman video 
dengan durasi sekitar 15 menit. sikap  motorik bayi dievaluasi pada beragam kondisi, secara berurutan: posisi berbaring, tengkurap, duduk, berdiri,  berjalan. Untuk evaluasi kemampuan anak dalam hal meraih, menggenggam, dan memainkan atau memanipulasi  sebuah obyek benda dilakukan dalam posisi berbaring dan posisi duduk ditopang, seperti saat sedang dipangku oleh ibu. Aktivitas sikap  motorik bayi saat penilaian IMP bisa  saja menunjukkan seluruhnya   gerakan spontan atau   gerakan yang muncul sebab  ketertarikan terhadap beragam obyek yang diberikan kepadanya, Urutan beragam posisi dalam penilaian IMP tergantung pada usia bayi, kemampuan fungsional, mood dan daya 
ketertarikan bayi saat diperiksa. Pada bayi usia muda, penilaian IMP biasanya  dimulai dengan pengamatan sikap  motorik bayi dalam posisi terlentang selama kurang lebih 6 menit. Pada bayi berusia lebih tua, penilaian biasanya  dimulai pada posisi duduk, baik saat duduk di pangkuan pasien tua atau pada saat posisi duduk sendiri tanpa bantuan.Penilaian IMP terdiri dari 80 item penilaian sikap  motorik yang digolongkan 
dalam 5 sub-skala, yaitu antara lain:
1. Sub-skala  variation : untuk menilai seberapa besar cadangan ragam  gerakan motorik yang dimiliki oleh bayi. Sub-skala ini terdiri dari 25 item. Skor  tidak cukup  beragam   diberikan bila bayi menunjukkan keterbatasan ragam  gerakan dalam 
melakukan sebuah kemampuan tertentu. Skor  cukup beragam   diberikan bila bayi menunjukkan banyak ragam  gerakan yang berbeda untuk melakukan sebuah kemampuan tertentu.
2. Sub-skala  kemahiran  : untuk menilai kemampuan bayi atau anak dalam memilih cara  motorik adaptif terbaik dari beragam ragam  gerakan yang dimilikinya, yang terdiri dari 15 item. Skor  tidak ada seleksi  diberikan pada bayi tidak 
memiliki  pilihan cara  gerakan tertentu dalam melakukan sebuah kemampuan tertentu, namun bayi melakukannya melalui beragam cara  gerakan yang berbedabeda. Bila bayi mampu memilih salah satu cara  gerakan tertentu sepanjang waktu untuk melakukan sebuah kemampuan maka diberi skor  seleksi adaptif .
3. Sub-skala  symmetry : terdiri dari 10 item untuk mengevaluasi ada atau tidaknya gerakan-gerakan stereotipi yang asimetris. Kesimetrisan sebuah gerakan sebetulnya  yaitu  salah satu bentuk khusus variabilitas gerakan, namun pada IMP 
dimasukkan ke dalam sub-skala terpisah sebab  kemungkinan memiliki  nilai analisa  khusus.
4. Sub-skala  fluency : terdiri dari 7 item, untuk menilai kelancaran gerakan bayi dalam melakukan sebuah kemampuan motorik yang lebih halus. Dalam sub-skala ini termasuk dua item mengenai  adanya tremor. Gerakan motorik yang tidak fluens atau tidak lancar yaitu  salah satu tanda awal kondisi neurologis yang tidak 
optimal, 
5. Sub-skala  performance : terdiri dari 23 item yaitu   evaluasi pencapaian kemampuan motorik   bayi. Hal ini  berdefisiensi  IMP tidak hanya untuk  untuk mengetahui kualitas pencapaian sikap  motorik saja, namun  juga mengevaluasi bagaimana kemampuan ini  dicapai.
Skor IMP dihitung secara terpisah untuk masing-masing sub-skala, dengan memakai  rumus:
Skor total IMP dihitung dari penjumlahan skor untuk kelima sub-skala dan lalu  dibagi 5. Semua skor untuk masing-masing sub-skala dan skor total dinyatakan dalam bentuk persentase dengan skor maksimum sebesar 100%. Saat ini sudah  tersedia program khusus berwujud  kalkulator untuk menghitung skor IMP secara otomatis. Kalkulator ini  bisa  diperoleh pada saat pelatihan IMP. Instrumen IMP memiliki  reliabilitas intra-observer dan inter-observer yang    baik untuk item seleksi adaptif pada penilaian pergerakan perut  dan untuk item aktivitas motorik saat posisi duduk. Reliabilitas pergerakan lengan pada saat penilaian kemampuan meraih juga berada pada level yang baik. sedang  itu, untuk pergerakan tangan saat menggenggam memiliki  reliabilitas intra-observer moderat, dan reliabilitas 
inter-observer yang   baik
 riset  pertama yang mengevaluasi reliabilitas dan validitas keseluruhan (concurrent validity) IMP, dengan membanding-bandingkan nya dengan metode Alberta Infant Motor Scale (AIMS). Reliabilitas intra-observer dan inter-observer skor total IMP berada pada level yang kuat (Spearman s rho 0.9 untuk keduanya,   dengan 95%CI masing-masing 0,8-0,9 dan 0,8-1,0). Validitas keseluruhan IMP terhadap AIMS   tinggi untuk sub-skala  performance  dan moderat 
untuk skor IMP total.IMP memiliki  reliabilitas intra-observer dan inter-observer yang   kuat untuk skor IMP total (inter: r = 0.80-0.96,   intra: r = 0.85-0.97) dan sub-skala  performance  (r = 0.95-0.99). Untuk reliabilitas sub-skala  variation ,  variability , dan  fluency  berada pada level yang cukup baik (inter: r = 0.15-0.85,   intra: r = 0.30-0.92). Reliabilitas terendah diperoleh  untuk 
sub-skala  symmetry  (inter: r = 0.20-0.69,   intra: r = 0.33-0.65) riset  untuk menilai validitas konstruktif IMP,  untuk menilai korelasi skor IMP dengan beragam kondisi prenatal, perinatal, 
 neonatal, dan korelasi skor IMP dengan kondisi patologis otak yang tampak pada riset  imaging, dan  perbedaan skor IMP pada bayi kurang-bulan dan cukup-bulan.Analisis univariat menunjukkan adanya hubungan yang menonjol  skor IMP dengan status sosio-ekonomi, usia gestasi, tanda-tanda distres janin, persalinan sectio Caesaria (SC), dan skor Apgar menit ke-5. Bayi kurang-bulan memiliki  skor IMP yang lebih rendah 
dan memiliki  rentang skor IMP yang lebih lebar dibandingkan dengan bayi cukupbulan (Mann-Whitney,   P<0,001), dan tidak diperoleh  perbedaan skor IMP dalam hal jenis kelamin bayi,  Bayi kurang-bulan dengan lesi di otak memiliki  skor 
IMP lebih rendah dibandingkan yang tidak memiliki  lesi di otak, pada usia 4 bulan 
(P=0,002), 6 bulan (P=0,003), 10 bulan (P=0,01) dan 18 bulan (P=0,004)14. sampai saat ini belum ada informasi mengenai  penerapan  secara 
klinis pemakaian  metode IMP dalam kegiatan follow-up bayi-bayi risiko tinggi di negara kita . 





Psikoneuroalergologi yaitu untuk menggambarkan bidang penelitian interdisipliner  antar disiplin keilmuan alergi, psikobiologi  psikologi klinis. Psikoneuroalergologi memiliki dua tujuan utama: riset  mengenai  hubungan dua arah antara kehidupan psikologis pasien  yang memiliki predisposisi genetik,  evolusi alerginya  reaksi pasien terhadap gejala alergi. Pengembangan 
psikoneuroalergologi yaitu  hasil kerja sama dari beragam disiplin ilmu yaitu dermatologi,   pneumologi, alergi,psikosomatika, psikologi, psikobiologi,  Psikoneuroalergologi  menerangkan  peran faktor psikososial dalam evolusi penyakit alergi, contoh  hubungan antara distress dan alergi pada tingkat klinis dan eksperimental, dampak alergi terhadap kehidupan psikologi dan sosial pasien, psikoterapi,  psikofarmasi  kepatuhan pasien terhadap saran  terapeutik,  Psikoneuroalergologi sebagai bagian dari 
psikoneuroimunologi yaitu  konsep modern pada persilangan faktor  psikososial  dengan faktor  imunologi alergi yang mengeksplorasi hubungan yang kompleks  antara sistem saraf, sistem neuroendokrin, sistem kekebalan,  penyakit alergi,  Psikoneuroalergologi sebagai bagian dari psikoneuroimunologi, sebab  penyakit alergi 
yaitu  penyakit sistem kekebalan. Saat ini ada 3 alasan utama mengapa minat terhadap psikoneuroimunologi di bidang alergi (psikoneuroalergologi) menguat , yaitu :
Keinginan memahami fenomena persepsi pasien  
dengan predisposisi penyakit alergi.Psikoneuroalergologi menerangkan  bagaimana 
fenomena subjektif - contoh  sebagai persepsi dan pengalaman pribadi, emosi negatif yang tidak terselesaikan (contoh  kemarahan, rasa bersalah), kondisi  psikologis, konflik internal, sifat kepribadian, sikap  emosional dan penanganan - bisa  dikaitkan dengan predisposisi penyakit dan prognosis,    Keinginan memahami hubungan antara stres dengan penyakitalergi. Psikoneuroalergologi menyediakan landasan untuk  memahami bagaimana paparan stres dan stresor mungkin relevan dengan onset dan 
perkembangan penyakit klinis,  
 Keinginan mempelajari intervensi pikiran untuk 
penyembuhan penyakit. Jalur neuro-imunomodulator yaitu jalur psikoneuroimunologi 
alergi (psikoneuroalergologi) memodulasi sistem kekebalan melalui jaringan saraf  memberi  penjelasan yang kuat mengenai  berapa banyak pendekatan pelengkap yang benar-benar bisa  bekerja dan bagaimana membuatnya menjadi lebih efektif pada basis yang bisa  diprediksi dan bisa  direproduksi. Psikoneuroimunologi alergi (psikoneuroalergologi) menandakan  hampir 
semua pertahanan tubuh berada di bawah kendali sistem saraf pusat (SSP). Ada aspek psikologis yang menonjol pada pengaruh sentral ini. Setiap nilai, keyakinan, pemikiran atau gagasan yang dipegang secara pribadi, semua yang kita pelajari dan perhatikan, bisa  memiliki konsekuensi neuro-kimia jarak jauh pada tingkat sel (efek perifer),  Sebagai ilmu pengetahuan, psikoneuroimunologi alergi (psikoneuroalergologi) menerangkan  
bagaimana perubahan yang relatif kecil yang terjadi pada tingkat pusat yang tinggi bisa  
mengalir ke bawah untuk menciptakan efek yang beragam dan meluas di perifer. Efek perifer pada penyakit alergi dan hubungannya dengan stres dan subjektivitas pasien  yaitu  komponen yang   penting untuk pertimbangan terapeutik.
Bagaimana tubuh berinteraksi dengan stres?
Stres yaitu  stimulus yang membangkitkan atau menonjolkan reaksi alarm di otak (persepsi stres) dan mengaktifkan reaksi fisiologis dan biokimia preservasi pada tubuh (tanggapan  stres). Ini sepenuhnya subjektif dan tiap pasien . Pandangan pasien  mengenai  apa yaitu   stres beragam . Stres keseluruhan muncul saat  pasien  percaya bahwa tuntutan terhadap mereka melebihi sumber daya pribadi yang dirasakan untuk memenuhi jumlah tantangan mereka dalam jangka waktu tertentu. tanggapan  stres dimulai di SSP sebagai reaksi terhadap rangsangan internal dan atau eksternal. Sistem limbik mengintegrasikan jumlah informasi sensorik yang berlebihan (109 bit per detik) 
dari  dunia dalam  (variabel fisiologis) dan  dunia luar  (parameter fisik) dan menentukan program mana yang harus dilakukan  hipotalamus. SSP juga berkomunikasi dengan perifer melalui sistem saraf somatik, dan menerima informasi dari saraf sensorik dan organ. Fungsi kesehatan dan fungsi jaringan juga tergantung parameter fisiologis dan 
biokimia lainnya. Ada 2 pilihan utama program hipotalamus  reaksi alarm  atau  reaksi non-alarm . Program mana yang berjalan bergantung pada keseluruhan sistem limbik kesejahteraan. Sistem limbik memberi  menonjol  persepsi, eksperiensial dan emosional untuk rangsangan yang masuk, sehingga tanggapan yang dihasilkannya melalui hipotalamus berperan  penting dalam menentukan bagaimana fisiologi pasien  bisa  mencerminkan subjektivitas mereka. Efek fisiologis dan biokimia dari peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis terwujud bahkan jika ancaman eksternal tidak  nyata . Stres yaitu  salah satu pemicu  utama dan faktor pendorong penyakit mental  dan fisik. Banyak kondisi patologis dikaitkan dengan peningkatan (contoh  anorexia nervosa, gangguan obsesif-kompulsif, pelecehan seksual masa kecil) atau penurunan (contoh  depresi musiman, alkoholisme, rheumatoid arthritis) aktivitas sumbu limbikhipotalamus-hipofisik  , Sistem limbik mengintegrasikan data fisiologis dan fisik yang 
masuk dengan informasi dari korteks (mengenai interpretasi, rencana, minat, dan lainlain), dan dengan sendirinya memberi  makna emosional dan pengalaman pada data dari arsipnya sendiri. Mekanisme bagaimana tanggapan  fisiologis pasien  terhadap data sensorik yang masuk dipengaruhi oleh pengalaman subyektif. Sistem limbik berkaitan  dengan sikap  naluriah atau terkondisi (limbik) terhadap sikap  sengaja yang disengaja (kortikal) - maka    penting untuk memusatkan perhatian pada apa yang 
sebetulnya  diinginkan, Salah satu tantangan bagi sistem limbik yaitu  memastikan rute apa yang harus ditempuh saat  ada banyak tuntutan simultan untuk sumber daya yang terbatas. Hal 
ini bisa  memicu  stres fisiologis yang bisa  memicu  dis-ekuilibrium, yang bisa  memicu  penyakit. Manakah dari beragam tuntutan fisiologis yang diberikan menonjol  terbesar sebagian juga ditentukan oleh syarat  subyektif. Subyektivitas pasien , pengalaman masa lalu, emosi negatif, kepribadian, nilai dan sistem kepercayaan   penting bagi persepsi stres mereka dan maka  tanggapan  stres penting untuk 
mengatasi faktor subyektif ini pada tingkat yang paling tinggi) untuk menghasilkan perbaikan berkelanjutan yang berdefisiensi  dalam kondisi klinis atau psikologis dimana stres yaitu  faktor pemicu, penambahan atau pengabaian yang menonjol .Psikoneuroalergologi dalam penerapan  klinisSubjektivitas yaitu  aspek psikologis penyembuhan dan kesehatan tingkat tinggi. 
Pendekatan psikologis saja bisa  mengembalikan pasien  ke keseimbangan yang diperlukan  untuk kesehatan terpadu tubuh yang berkelanjutan,  Masalah psikologis mungkin sekunder akibat perubahan fisiologis (contoh  penyakit jantung memicu  kekhawatiran mengenai  aktivitas fisik) atau faktor fisik contoh  anggota tubuh yang rusak,   
isyarat fisik yang terkait dengan tanggapan  stres 
Psikoneuroalegologi klinis terapan sudah  menunjukkan hubungan antara sistem saraf, endokrin dan sistem kekebalan tubuh. Bidang psikoneuroimunologi sudah  dan terus menggambarkan beragam hubungan antara sikap , fungsi neuroendokrin, tanggapan  kekebalan dan kesehatan. Banyak kondisi alergi sudah  lama dianggap sebagai kelainan psikosomatik yang bisa  memburuk akibat pada tingkat stres psikososial yang tinggi. contoh , asma sering dinamakan  pada sebagian besar buku lama sebagai  asma nervosa  berdasar  keyakinan bahwa, pada banyak anak, ini yaitu  hasil reaksi konversi dari hidup dengan ibu,  Deskripsi awal dermatitis atopik memakai  istilah neurodermatitis  sebab  kepercayaan bahwa siklus gatal dan goresan yang memicu  ruam itu terkait dengan  saraf  dan emosi. Stres bisa  dianggap sebagai proses psikofisiologis yaitu   hasil penilaian 
penilaian situasi tertentu untuk menilai potensi kesulitan dan kemampuan (baik dirasakan 
atau aktual) untuk mengatasi situasi yang berpotensi merugikan ini ,  Peristiwa  atau situasi yang memicu  ancaman potensial dinamakan  stresor. Situasi bisa  menjadi pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, termasuk kerepotan sehari-hari (stres biasa dari interaksi dengan keluarga, lingkungan dan atau sekolah) dan  peristiwa kehidupan utama, yang mungkin bersifat positif atau negatif. berdasar  durasi, stres sering dianggap akut (menit ke jam), subakut (durasi kurang dari satu bulan) atau kronis (berbulan-bulan  sampai bertahun-tahun). Hubungan antara otak dan sistem kekebalan tubuh mengikutsertakan  dua jalur utama, yaitu sistim saraf otonom (ANS) dan sumbu hyphophyseal-pituitary - adrenal (HPA). Persepsi mengenai  stres memicu  aktivasi sistem HPA yang dimulai dengan sekresi hormon pelepas kortikotropin (CRH) yang pada gilirannya menginduksi sekresi hormon adrenocortictrophic (ACTH) oleh lobus anterior lobus hipofisik . ACTH mengaktifkan 
sekresi kortikoid oleh korteks adrenal dan katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) oleh 
medula adrenal. Katekolamin dan kortikoid menekan produksi IL-12 oleh sel penyaji 
antigen yaitu   stimulan induksi utama dari TH1. 
Corticoids juga bisa  memberi  efek langsung pada sel TH2 sehingga meningkatkan produksi IL-4, IL-10 dan IL-13 (32). Hasil akhirnya yaitu  dominasi tanggapan  imun yang dimediasi sel TH2 yang mendukung tanggapan  inflamasi  alergi  pada pasien  yang rentan. Sistim saraf otonom (ANS) terdiri dari sistem simpatis (adrenergik, 
noradrenergik) dan parasimpatis (kolinergik) di SSP dengan noradrenalin dan asetil kolin 
sebagai neurotransmitter, dan sistem non-adrenergik, non-kolinergik (peptidergik) yang 
terutama ada di saluran cerna. Peptida utama dari sistem ini yaitu  peptida intestinal vasoaktif (VIP), substansi P (SP) dan peptida yang terkait gen kalsitonin (CGRP), Sebagian besar sel sistem kekebalan tubuh memiliki reseptor membran permukaan untuk beragam kombinasi neurotransmiter, neuropeptida dan hormon,  SSP memformat sistem kekebalan tubuh melalui neurotransmitter [asetil kolin, noradrenalin, serotonin, histamin, asam γ-aminobutyric (GABA), asam glutamat], neuropeptida (ACTH, prolaktin, vasopresin, bradikinin, somatostatin, VIP, SP, neuropeptida Y, encephalin, endorfin), faktor pertumbuhan neurologis (neuron growth faktor  [NGF]), dan hormon (adrenalin dan kortikoid). Sistem kekebalan tubuh juga bisa  memodulasi fungsi SSP melalui beragam molekul termasuk sitokin (TNFα dan TGFβ), kemokin (interferon ) 
dan NO, Persepsi terhadap stres akut menstimulasi lokus ceruleus mengeluarkan noradrenalin. Noradrenalin mengaktifkan sistem saraf simpatik yang memicu  penurunan produksi 
IL-12. Neuropeptida termasuk SP, CGRP dan VIP yaitu  vasodilator kuat dan juga meningkatkan permeabilitas vaskular. SP meningkatkan produksi TNFα dan IL-12 oleh monosit dan makrofag. SP dan CRH bisa  meregenerasi sel mast dalam fokus inflamasi. Semua proses di atas memicu  perubahan inflamasi , SP dan CGRP sudah  diidentifikasi pada mukosa bronkial sebagai agen peradangan neurogenik , 
Neurokinin-1, reseptor untuk SP ada    pada pembuluh bronkial, otot polos bronkus, 
sel epitel, kelenjar submukosa dan sel kekebalan tubuh. Stres memberi  efek pada mukosa bronkus pengidap  asma  Peningkatan kadar neurotropin mempengaruhi alergi pernapasan dan kulit, dengan cara mempengaruhi sel kekebalan tubuh, sel struktural (keratinosit, sel epitel) dan angiogenesis  Eosinofil dan kelenjar submukosa hidung yaitu  sumber  neurotrophins  yang mengatur kelangsungan hidup  eosinofil di paru-paru, meningkatkan produksi IgE khusus  dan mengubah profil sitokin terhadap dominasi TH2.  ini dan yang lainnya menandakan  interaksi 
antara SSP dan sistem kekebalan tubuh bersifat kompleks dan dua arah.Mengatasi stres dalam penanganan penyakit alergi menyeluruh.
cara  untuk manajemen stres sebagai bagian dari rencana perawatan komprehensif 
harus mengikutsertakan  identifikasi populasi berisiko  tinggi atau, idealnya, pasien . usaha  
yang saat ini dilakukan yaitu  mengidentifikasi biomarker yang akan mengkategorikan pasien  ke dalam kategori risiko stres psikologis untuk kepentingan program profilaksis pada pasien  berisiko  tertingg, dalam rangka mengurangi  ketidakseimbangan imunoregulator. Metode psikologis, fisiologis, farmakologis atau beberapa kombinasi untuk memperbaiki kemampuan pasien  dalam mengatasi situasi stres secara klinis 
bisa menjadi inti cara  intervensi untuk manajemen stres .  menunjukkan efek menggembirakan dari intervensi psikologis pada penyakit alergi.  ekspresif mengenai  kejadian stres dikaitkan dengan pengurangan gejala pada pasien 
asma. Biofeedback dan  citra mental berperan  positif dalam manajemen asma, bahwa terapi relaksasi berefek  positif pada asma,  Psikoterapi bisa  mengurangi jumlah eksaserbasi asma dan kunjungan ke unit emergensi pada pasien asma yang depresi. Olahraga memiliki beragam efek pada fungsi kekebalan tubuh. Program latihan lbisa  ditoleransi dengan baik pada anak dengan asma ringan sampai sedang dengan cara meningkatkan kebugaran,  Program 
rehabilitasi dengan latihan memperbaiki kapasitas ventilasi dan  penurunan hiperpnea pada pengidap  asma ringan . Namun olahraga yang berlebihan bisa  memicu  eksaserbasi asma yang tidak terkendali  dengan baik. Intervensi farmakologis pada stres meliputi  agen psikoaktif. Antidepresan trisiklik mungkin berperan  terapeutik pada asma dengan menekan sitokin proinflamasi, menginduksi molekul anti-inflamasi dan mencegah efek dari molekul inflamasi ini di 
otak,  Populasi anak-anak dan remaja dengan asma memiliki prevalensi gangguan 
kecemasan yang tinggi . Obat anxiolytic mungkin berguna  dalam meningkatkan  kualitas terapi pengidap  asma yang memiliki gangguan kecemasan . Vitamin C dan vitamin E bisa  mengurangi ketidakseimbangan imunoregulasi pada pasien  yang  mengalami stres,  



Penyakit kardiovaskular (PKV) khususnya penyakit jantung koroner (PJK) akibat  proses aterosklerosis saat ini yaitu  pemicu  kematian,  walau  aterosklerosis  berdampak  pada usia dewasa atau menengah, tapis udah  diketahui  bahwa terjadinya aterosklerosis melalui suatu perkembangan proses yang panjang dimulai sejak awal kehidupan sampai usia anak dan remaja. Pada sebagian besar anak, perubahan vaskular yaitu   awal ateroskelrosis   
ringan atau minimal yang bisa  dikurangi atau diminimalisasi dengan gaya hidup sehat 
 atau diet yang sehat. namun , pada beberapa golongan  anak proses ini  bisa  terjadi lebih cepat oleh sebab  ada    faktor risiko  atau penyakit-penyakit tertentu. Untuk itu, identifikasi anak-anak yang memiliki  faktor risko menjadi   penting agar intervensi dini untuk menghambat 
berlanjutnya proses aterosklerosis guna mencegah penyakit kardiovaskular dilalu  
hari seperti infark miokard, stroke dan penyakit arteri perifer.Pencegahan faktor risiko kardiovaskularPada dasarnya ada   tujuan utama untuk promosi kesehatan kardiovaskular 
pada anak yaitu: identifikasi dan pengobatan  anak dengan risiko aterosklerosis dini yang memiliki  faktor risiko seperti hipertensi, kegemukan , dyslipidemia, insulin resistance, aktivitas fisik yang kurang,  merokok yang dinamakan  primary prevention. pencegahan berkembangnya faktor risiko aterosklerosis  berdasar  penilaian biasa  dan terfokus pada gaya hidp sehat, beberapa bukti bahwa proses awal ateroskerosis terjadi di usia muda, usaha -usaha  pencegahan PKV di usia dewasa dan  apa peran penting dokter spesialis anak saat ini agar generasi muda dalam 3-4 dasawarsa lalu  akan terhindar dari PKV khususnya PJK dan stroke Proses awal aterosklerosis yang dimulai sejak usia anak berwujud  akumulasi fatty streak-lipidengorged macrophag (foam cells) dan T-limfosit pada tunika intima pembuluh darah arteri. lalu  bisa  berkembang dengan terbentuknya fatty streak atau bisa terjadi regresi. Pada berat badan eberapa pasien  akumulasi lipid makin bertambah seiring dengan pertambahan waktu yang diselimuti oleh fibromuskular dan terbentuk fibrous plaque. Sesudah  itu semakin lama fibrous plaque makin bertambah besar sampai terbentuk kalsifikasi, perdarahan atau ruptur dan trombosis. Terlihat bahwa pada usia dekade ke 3-4 sudah mulai terjadi penebalan tunika intima media arteri dengan dampak  disfungsi endotel (endothelial dysfunction) yang sudah bisa  dideteksi dengan pemeriksaan fungsi vaskular berwujud  flow mediated dilation(FMD) atau dengan pemeriksaan struktur vaskular berwujud  ketebalan tunika intima media (cIMT=carotid intima media thickness).ada   bukti (evidence) bahwa aterosklerosis sudah  terjadi sejak usia muda. 
Identifikasi faktor risiko kardiovaskular pada usia muda   penting dilakukan untuk  mencegah komplikasi kardiovaskular pada usia dewasa. Aterosklerosis yang terjadi sejak usia muda terbukti dari hasil riset  autopsi terhadap tentara AS yang terbunuh pada perang  Korea, bahwa 70% pada pasien  yang berusia  rata-rata 28 tahun sudah  mengalami  aterosklerosis arteri koroner.Pada penelitian secara nasional di Jepang mennujukkan bahwa golongan  usia  1 
bulan sampai 39 tahun ditemukan fatty streaks di aorta pada 28% anak < 1 tahun dan  3% arteri koroner pada anak berusia  1-9 tahun. Berlangsungnya proses aterosklerosis 
sejak usia muda didukung oleh riset  PDAY (pathological determinants of atherosclerosis in 
youth) terhadap 2.976 pasien  dengan golongan  usia  15-34 tahun. Fatty streak pada  aorta perut  meningkat dari 20% pada usia  15-19 tahun dan 40% pada usia  30-34 tahun, sedang  pada arteri koroner kanan sekitar 10% pada subjek golongan  usia  15-19 tahun dan 30% pada golongan  usia  30-34 tahun. Faktor risiko kardiovaskular yang bisa  diidentifikasi pada anak 
dan remaja Faktor risiko bisa  diartikan  sebagai faktor yang memicu  peningkatan risiko 
terjadinya  penyakit. Ternyata semakin banyak faktor risiko pada pasien , semakin tinggi angka morbiditas dan mortalitas.  bahwa semakin banyak jumlah faktor risiko yang ada    pada   pasien  maka semakin besar persentase kelainan pada arteri koroner. Autopsi yang dilakukan terhadap subyek yang berusia  2-39 tahun menandakan  arteri koroner berwujud  
fibrous plaque berikut   0,6%, 0,7%, 2%,  7%. ada subjek yang memiliki  faktor risiko 0,1, 2, dan 3 atau 4. Proses aterosklerosis dipercepat oleh beragam faktor risiko yang ditemukan pada 
masa anak dan remaja seperti faktor nutrisi, aktivitas fisik  yang kurang, merokok, kegemukan ,
penyakit-penyakit tertentu termasuk hipertensi, diabetes melitus dan penyakit Kawasaki. 
  ternyata faktor nutrisi pada periode neonatal sampai masa bayi berperan dalam  terjadinya proses aterosklerosis. Pada anak dan remaja ada    bukti secara tidak langsung  bahwa sudah  terjadi proses aterosklerosis dengan ditemukannya perubahan anatomi  vaskular seperti peningkatan ketebalan tunika intima media (KTIM) arteri karotis, perubahan mekanik kelenturan pembuluh darah (penurunan distensibilitas) dan terjadi 
perubahan fisiologi pembuluh darah arteri dengan penurunan flow mediated vasodilatation
(FMD).Oleh sebab  proses atrosklerosis terjadi sejak awal kehidupan termasuk sejak masa 
bayi maka deteksi faktor risiko pada masa anak dan remaja   penting agar bisa  mencegah terjadi komplikasi suatu saat . Pamantauan faktor risiko pada anak akan bisa  mengidentikasi dan   faktor ini  sehingga disfungsi dari endotel pembuluh darah akan bisa  dihindari. Pada dasarnya faktor risiko kardiovaskular berada dalam 4 ranah yaitu : patofisiologik,  genetik, behavioral (tingkah laku), lingkungan, sudah  diketahui bahwa faktor risiko kardiovaskular yang teridentifikasi berkaitan  
dengan kondisi kehidupan meliputi riwayat keluaga, usia  dan jenis kelamin. sedang  itu yang ternasuk faktor risiko patofisiologik meliputi diabetes mellitus,  tekanan darah tinggi, lipids, 
kegemukan ,  Faktor behavioral meliputi merokok, nutrisi/diet, in-aktivitas fisik .   ada faktor risiko yang  emerging  yang meliputi sindrom 
metabolik, petanda inflamasi dan faktor  perinatal. Secara tradisional faktor risiko  kardiovaskular bisa  digolongkan menjadi 3 golongan  yaitu :
-Faktor risiko yang baru muncul  meliputi inflamasi/infeksi sistemik, sitokines, CRP dan homosistein. Faktor risiko yang ada    pada   pasien  akan memicu  disfungsi endotel vaskular yang bisa  memicu  penurunan produksi 
NO, peningkatan tanggapan  inflamasi endotel dan hiperplasia intima yang pada akhirnya 
terbentuk lesi aterosklerotik.
- Faktor risiko 
yang bisa  diubah  yang dinamakan  juga dengan faktor risiko tradisional  meliputi hiperlipidemia, kegemukan /kurang aktivitas, diabetes mellitus, merokok,  hipertensi,
- Faktor risiko intrinsik meliputi predisposisi genetik, faktor lingkungan dan peningkatan susceptibility, 
Gaya hidup  dan kebiasaan makan yaitu  faktor risiko yang   penting dalam pencegahan progresivitas penyakit akibat aterosklerosis. ini berdefisiensi  bahwa gaya hidup yang sehat dan kebiasaan makanan sehat  yaitu  bagian dari 
program pencegahan penyakit kardiovaskular pada anak dan remaja.derajat aterosklerosis pada anak dan remaja memiliki  korelasi  yang kuat dengan faktor risiko yang ditemukan pada masa dewasa. maka  jika  faktor  risiko ini tidak memperoleh   perhatian kemungkinan besar nanti akan  terjadi peningkatan kejadian penyakit kardiovaskular pada remaja sekarang ini saat  
mereka memasuki usia dewasa. maka  eliminasi dan mengurangi faktor risiko kardiovaskular harus segera dilakukan pada anak dan remaja ataupun golongan  usia  lainnya. beberapa faktor risiko kardiovaskular seperti  aktivitas fisik,  diet aterogenik genetik, hipertensi, dislipidemia, kegemukan , sindrom metabolik, bisa  terkait dengan penyakit kardiovaskular Pencegahan berkembangnya faktor risiko kardiovaskular di usia muda harus diobati   melalui usaha  promosi dan pendidikan  pada tingkat pelayanan primer anak berwujud  gaya hidup sehat  baik secara pasien  atau  pada tingkat  komunitas dengan mengadvokasi program kesehatan sekolah dan juga  public awareness  terhadap pemilihan makanan yang sehat. Dengan pendekatan dan cara  pencegahan pada golongan  anak dan remaja maka diharapkan akan terjadi penurunan ateroskelrosis pada populasi sehingga   akan terjadi penurunan PKV.memfokuskan pada 3 area penting untuk menurunkan risiko 
berkembangnya proses aterosklerosis yaitu : 
Pajanan terhadap rokok .Nutrisi,  Aktivitas fisik  , 
Konstruksi ideal dalam pencegahan penyakit kardiovaskular pada pasien  dewasa sudah  diadaptasi untuk anak dan remaja yang meliputi: tekanan darah, pajanan terhadap rokok, indeks masa tubuh, aktivitas fisik , nutrisi, kolesterol, gula darah puasa,  dalam riset  kohort dengan pemantauan jangka panjang, kesehatan kardiovaskular yang baik pada anak remaja dan dewasa muda berkaitan  erat dengan rendahnya 
prevalensi PKV pada usia dewasa. 10 Hal ini  terkait dengan rendahnya prevalensi hipertensi, dislipidemia dan menurunnya ketebalan tunika intima media (KTIM) aorta dan arteri karotis.
Nutrisi yang baik sejak masa kelahiran   berguna  untuk kesehatan kardiovaskular khususnya untuk mencegah kegemukan  , dislipiemia dan hipertensi dan  resistensi insulin/diabetes. Pemberian ASI  bisa  menurunkan risiko terjadinya kegemukan  dan 
dislipidemia. maka  sejalan dengan saran  WHO, AAP menyarankan  untuk pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan lalu  bisa  diteruskan sampai 
usia  12 bulan. Penelitian terhadap anak remaja yang berusia  15-18 tahun  menandakan  ketebalan tunika intima media (KTIM) yang memperoleh   ASI eksklusif 4-6 bulan, lebih rendah dibandingkan golongan  yang memperoleh   ASI dalam periode singkat atau terlalu lama. maka terbukti bahwa pemberian ASI  eksklusif mengurangi munculnya salah satu faktor risiko aterosklerosis.   ada    kecenderungan rendahnya kadar kolesterol total trigliserida pada subyek dengan durasi ASI 4-6 bulan dibandingkan dengan subyek golongan  durasi ASI yang lebih singkat. Sesuai dengan kebutuhan berdasar  gender dan kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan 
total lemak dibatasi tidak lebih dari 30% total kebutuhan kalori dengan lemak jenuh 
 7-10% total kalori dan kolesterol kurang dari 300 mg/hari. namun pembatasan lemak tidak disarankan  pada bayi kurang dari 12 bulan, kecuali ada indikasi medik.   anak sampai remaja dan dewasa muda disarankan  untuk mengkonsumsi lebih banyak sayuran dan buah-buahan.Aktivitas fisik  walau  dengan data penelitian yang terbatas pada anak sudah  tampak 
bahwa peningkatan aktivitas fisik  dan pengurangan waktu  sedentary  pada anak remaja 
memberi  manfaat dalam menurunkan risiko aterosklerosis dan PKV. Pada riset  STRIP (Special Turku coronary risk faktor  intervention project for children) di Finlandia  menandakan  aktivitas fisik  yang rendah pada remaja berkaitan   dengan peningkatan KTIM dan penurunan fungsi endotel vaskular (FMD).Pada remaja  sedentary  yang meningkatkan aktivitas fisik nya ternyata progresivirtas KTIM menurun dibandingkan dengan remaja yang tidak meningkatkan aktivitas fisik . riset  STRIP yang lain menandakan  kelompk remaja yang  sedentary  berisiko   menderita 
sindrom metabolik dibandingkan dengan golongan  subyek yang lebih banyak melakukan 
aktivitas fisik .Dalam riset jangka panjang cardiovascular risk in young Finns dengan subyek berusia  3-18 tahun menandakan  aktivitas fisik  yang kurang berkaitan  erat dengan pecepatan progresivitas ketebalan tunika intima media (KTIM) sesudah  27 tahun pengamatan. Dalam riset  lain menandakan  program latihan  yang meningkatkan kebugaran fisik  memicu  penurunan faktor risiko kardiovaskular seperti indeks masa tubuh, tekanan darah dan elastisitas arteri dan memperbaiki profil lipids.berdasar  data yang ada,panel ahli NHBL membuat saran  sebagai berikut:
- Untuk anak-anak yang lebih muda hendaknya pasien tua tidak membatasi aktivitas 
bermain sepanjang aman dan pada lingkungan yang mendukung.
- Semua anak > 5 tahun harus meneliti  kegiatan moderate to vigorous activity (MVA) 
setidaknya 60 menit perhari. Contoh aktivitas yang moderate yaitu  jogging, main baseball. sedang  aktivitas yang vigorous seperti lari, tennis dan sepak bola.
- Waktu untuk  leisure  harus tidak lebih dari 2 jam per hari contoh  duduk di depan TV atau bermain game.Hindari merokok Dokter, khususnya dokter spesialis anak harus selalu memberi  konseling/pendidikan  mengenai  pentingnya bebas asap rokok di lingkungan anak dan keluarga. Anak dan 
pasien tua selalu harus diberitahu mengenai  efek buruk merokok termasuk risiko penyakit 
kardiovaskular untuk mereka dan anak-anak
Sebagai pedoman dalam promosi kesehatan kardiovaskular pada anak dan remaja 
meliputi hal-hal yang terkait nutrisi/diet, merokok dan aktivitas fisik  Pedoman yang sudah  disusun oleh American Heart Association (AHA) bisa  dipakai  oleh dokter spesialis anak sebagai usaha  promosi kesehatan pada anak untuk menghindari risiko penyakit kardiovaskular, Beberapa 
intervensi harus dilakukan bilamana ditemukan faktor  risiko pada anak dan remaja baik intervensi farmakologis atau  non-farmakologis.Pada saat pemeriksaan rutin dan supervisi anak, uji    bisa  dilakukan sesuai dengan anjuran AAP, AHA dan NHLBI untuk mengidentifikasi apakah   anak memiliki  faktor risiko ateroskelrosis. Screening atau uji tapis  diartikan  sebagai 
suatu uji terhadap penyakit pada pasien  atau populasi yang terlihat normal. Tujuan 
dari uji tapis  yaitu  untuk mengidentifikasi anak yang berisiko   suatu penyakit. 
sifat  penyakit dengan kandidat untuk uji tapis :  Prevalens yang jelas pada populasi normal. Jelas akan terjadi morbiditas dan mortalitas bila tidak diobati,Sampai saat ini tidak disarankan  untuk melakukan uji tapis  faktor  risiko aterosklerosis pada semua anak. saran  mutakhir dari American Academy of Pediatrics (AAP) untuk skrining faktor risiko dilakukan pada anak dan remaja yang memiliki  satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
Dislipidemia dan insulin resistance,  Penyakit-penyakit risiko tinggi  seperti penyakit Kawasaki, penyakit  ginjal, HIV/AIDS,  Riwayat keluarga  dengan penyakit kardiovaskular dini (untuk laki-laki usia  < 55 tahun dan wanita < 65 tahun), kolesterol dan lipid tinggi  dan  diabetes mellitus,  kegemukan , hiperetensi, Skrining harus dilakukan sesudah  usia  2 tahun, namun tidak lebih dari usia  10   tahun yang meliputi: - Profil lipid (puasa)
- Kadar gula darah (puasa)- Exercise/latihan, diet dan tidur- Riwayat merokok atau terpapar (exposure) terhadap rokok- Tekanan darah (diperiksa pada 3 tempat terpisah)- Indeks massa tubuh (IMT),  Seperti pada pasien  dewasa yang memiliki  beberapa faktor risiko PKV, maka pada 
anak dan remaja harus dilakukan intervensi bila memiliki  faktor risiko sebagai berikut:
- Profil lipid tidaknormal - Hipertensi- Peningkatan indeks massa tubuh (BMI) atau kegemukan - Gula darah puasa > 100mg/dL (5,6mmol/L)- Terpapar rokok - Gaya hidup  sedentary - Riwayat PKV dalam keluarga,  intervensi pada penyakit koroner, stroke 
dan sudden cardiac death pada orangtua  atau saudara laki-laki sebelum usia  55 tahun 
dan pasien tua wanita  atau saudara wanita  sebelum usia  65 tahun  Dalam Pedoman terintegrasi mengenai  kesehatan kardiovaskular NHLBI (National Heart Lung and Blood Institute) menyarankan  untuk melakukan uji tapis  terhadap 
faktor risiko kardiovaskular pada beberapa tingkatan usia  anak, Dengan mengetahui atau mengidentifikasi faktor risiko aterosklerosis sudah bisa  diidentifikasi pada anak sejak usia dini maka bisa  dilakukan beragam usaha  intervensi 
sehingga   anak suatu saat  akan terhindar dari komplikasi aterosklerosis yang bisa  memicu  PKV yang fatal. namun  di dalam praktik klinis sehari-hari para dokter termasuk dokter spesialis anak (SpA)   jarang memberi  perhatian terhadap faktor risiko kardiovaskular yang mungkin ada    pada anak dan remaja. beragam hal yang terkait dengan proses aterosklerosis yang sudah  terjadi sejak usia anak dan remaja,  dokter spesialis anak (SpA)   melakukan Uji tapis  rutin dan pemeriksaan  meliputi :
- Pemilaian terhadap diet dan  frekuensi dan kualitas cukup/kurangnya aktivitas fisik.
- Penilaian riwayat tidur (sleep history). Durasi dan kualitas tidur yaitu  salah satu 
faktor risko yang baru terhadap kejadian PKV.
- Riwayat PKV dalam keluarga (heart attack, intervensi pada penyakit koroner, stroke 
dan sudden cardiac death pada orangtua  atau saudara laki-laki sebelum usia  55 tahun 
dan pasien tua wanita  atau saudara wanita  sebelum usia  65 tahun)
- Lakukan uji tapis  lipid pada anak dan remaja. Untuk anak tanpa faktor risiko dilakukan pada usia  9-11 tahun dan pemeriksaan berikutnya pada usia  17-21 tahun. disarankan  pemantauan lebih awal dan agak sering bila ada    faktor risiko 
PKV.
- Lakukan screening diabetes tipe-2 pada anak-anak dan remaja yang berisiko  dengan 
melakukan pemeriksaan gula darah puasa atau HbA1C setiap 3 tahun pada pasien >10 tahun yang mengalami kegemukan  ataupun overweight, dan memiliki  2 faktor risiko tambahan diabetes.
- Lakukan identifikasi kondisi  lain yang terkait dengan terjadi percepatan aterosklerosis.
- Pengukuran tekanan darah (tentukan percentile usia  dan tinggi badan)- Menilai indeks massa tubuh (sesuai percentile BMI)- Mengenai kemungkinan riwayat   anak terpajan asap rokok baik tiap pasien , atau perokok pasif, 




Perawakan pendek atau stunting ditemukan pada beberapa  anak berusia  kurang  dari 5 tahun di seluruh dunia. Sebagian besar dipicu  oleh nutrisi inkuat  dan infeksi berulang pada 1000 hari pertama kehidupan. Stunting memicu  gangguan perkembangan fisik dan kognitif, sehingga anak menjadi pasien  dewasa yang  kurang produktif dengan kondisi  kesehatan yang buruk.  Masalah utama yang menyertai stunting yaitu  gangguan fungsi kognitif, yang sulit  dipulihkan. maka  meski  terjadi catch-up tinggi badan, fungsi kognitif tetap terganggu. Stunting diartikan  sebagai nilai Z-score tinggi badan menurut usia  <2SD di bawah 
median pada kurva WHO dari populasi, dan yaitu  petanda malnutrisi kronik.Bayi baru lahir dengan berat lahir kurang dari persentil 10 untuk masa kehamilan bisa  yaitu  bayi small for gestational age (SGA) atau bayi yang mengalami intrauterine 
growth restriction (IUGR).7-9 IUGR dibagi menjadi tipe 1 (tipe simetris, tipe proporsional, 
atau stunting) dan tipe 2 (tipe asimetris, disproporsional, atau wasting) tergantung masa 
terjadinya gangguan. Sebanyak 20-30% di antara bayi dengan IUGR yaitu  tipe stunting, ditandai dengan penurunan ukuran semua organ sebab  gangguan pada tahap  hiperplasia. Sisanya sebanyak 70-80% yaitu  IUGR tipe wasting yang ditandai penurunan ukuran organ namun  ukuran kepala normal. memakai  istilah  sindrom stunting  untuk membedakannya dengan pendek sebab  faktor konstitusional. Pada sindrom stunting, 
beragam perubahan patologis memicu  gangguan pertumbuhan linier pada usia dini yang berkaitan  dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, dan berkurangnya kapasitas fisik pada masa dewasa. bahwa prevalensi stunting di negara kita  cenderung tidak berubah sama sekali dari tahun ke tahun. Faktor terpenting sebagai pemicu  stunting yaitu  kurangnya asupan nutrisi termasuk 
ASI, makanan pendamping ASI dan mikronutrien  dan  infeksi terutama diare.Faktor lingkungan yang berperan contoh  kurangnya sanitasi, kebersihan dan tersedianya  air bersih, pendidikan ibu,   kemiskinan.Stunting yang dimulai intrauterin ditemukan pada 20% bayi baru lahir. Sebanyak 
80% stunting terjadi sebab  faktor gizi dan infeksi dan ditemukan pada usia  6-18 bulan.Masa dalam kandungan sampai 2 tahun pertama dalam kehidupan dinamakan  sebagai 1000 hari pertama kehidupan,   dianggap sebagai masa kritis   anak bisa  mengalami stunting.Stunting diturunkan ke generasi berikutnya, stunting, gangguan kognitif  dan sikap  diturunkan ke generasi berikutnya. Hal yang sama juga tampak  pada manusia. Anak yang lahir dari pasien tua yang mengalami stunting menunjukkan nilai developmental quotient (DQ) dan fungsi kognitif yang kurang dibandingkan anak yang lahir dari pasien tua normal. , ibu yang mengalami stunting dimasa kecilnya dan bayi yang lahir prematur atau berat badan LR juga yaitu  faktor risiko. ini menunjukkan bahwa stunting bisa  diturunkan lintas generasi.Pertumbuhan linier dipengaruhi oleh osifikasi lempeng pertumbuhan endokondral. 
Faktor nutrisi dan inflamasi mempengaruhi  pertumbuhan linier. Faktor kompleks lain 
yang mempengaruhi  meliputi faktor genetik, fisiologi, endokrin,  kecukupan tidur (melalui pengaruhnya terhadap sekresi growth hormone). Inflamasi yang menyertai  infeksi dan disfungsi usus menghambat osifikasi endokondral melalui beragam mediator contoh  sitokin proinflamasi, activin A-follistatin system, glukokortikoid,  fibroblast growth faktor 21 (FGF21). Pada hewan, pertumbuhan linier   peka  terhadap 
asupan protein dan zinc, yang bekerja melalui insulin, insulin-like growth faktor -1 (IGF-
1), triiodothyronine, asam amino dan zinc untuk menstimulasi lempeng pertumbuhan. ini dihambat oleh sitokin inflamasi. Ibu dari bayi yang mengalami stunting intrauterin menunjukkan kadar IGF-1 yang rendah saat kelahiran. Bayi juga menunjukkan kadar IGF-1 yang rendah selama tahun pertama kehidupan. Ada suatu hal baru dalam   stunting. Anak yang mengalami stunting menunjukkan kadar  asam amino esensial yaitu 
tryptophan, isoleucine, leucine, valine, methionine, threonine, histidine, phenyl-alanine, lysine
yang rendah dibandingkan  checkup  (p<0,01). Beberapa asam amino lain yaitu arginine, 
glycine, glutamine,   asam amino non esensial asparagine, glutamate, serine, dan sfingolipid 
juga menunjukkan kadar yang lebih rendah. Dari penelitian ini muncul hipotesis bahwa 
stunting bukan semata-mata kekurangan gizi, namun  dipicu  kurangnya asam amino 
esensial dan kolin yang diperlukan untuk sintesis sfingolipid dan gliserofosfolipid., Pengaruh stunting terhadap susunan saraf pusat
Patologi Hanya ada sedikit penelitian mengenai patologi otak yang mengalami gangguan selama 
2 tahun pertama kehidupan. Hipotesis yang dibuat yaitu  malnutrisi memicu  gangguan mielinasi (hipotesis neural). Malnutrisi juga mempengaruhi sinaps. sudah  diketahui bahwa perkembangan dan arborisasi dendrit selesai sekitar 2 tahun pertama kehidupan. Perubahan yang ditemukan pada otak anak yang mengalami malnutrisi yaitu  
pemendekan dendrit, berkurangnya jumlah percabangan dendrit, dan adanya cabang 
tidaknormal  yang dinamakan  sebagai cabang displastik. Pada anak dengan malnutrisi akut 
ditambah  gangguan perkembangan, sering ditemukan atrofi otak pada pemeriksaan MRI
Dampak stunting terhadap kemampuan belajar fungsi kognitif Anak yang mengalami malnutrisi menandakan  sikap  apatis dan kurangnya gerak, yang menunjukkan adanya gangguan fungsi susunan saraf pusat. Hipotesis yang  dibuat yaitu  anak kekurangan enerji untuk belajar, sehingga mempengaruhi fungsi perkembangan (hipotesis developmental).sudah  banyak dibuktikan bahwa stunting memicu  kurangnya kemampuan 
belajar dan prestasi akademis. Penelitian terhadap 19.997 pasien  dewasa di Brazil  bahwa stunting masa anak memicu  gangguan memori, kemampuan  belajar, konsentrasi dan bahasa pada masa dewasa. Stunting juga mengganggu sikap  anak, yang lalu  mempengaruhi  sikap dalam pengasuhan anak. Anak yang mengalami stunting menandakan  beragam gangguan 
sikap  contoh  keterlambatan gerak, apatis dan berkurangnya sikap  eksplorasi.Semua ini mempengaruhi  interaksi dengan pengasuh dan lingkungan.bahwa anak yang mengalami stunting lebih banyak mengalami gangguan konduk 
dengan kemampuan akademik yang lebih rendah dibandingkan  checkup . Remaja yang masih mengalami stunting lebih sering mengalami ansietas, depresi, kurang percaya diri dan lebih hiperaktif.Catch-up, membagi catch-up pada usia  24 bulan, 5 tahun dan remaja. Catchup tinggi badan pada usia  24-48 bulan ditemukan pada beragam penelitian,  Catch-up ini yaitu  hasil  dari maturasi sistem imun anak sehingga mengurangi inflamasi. Catch-up sesudah  usia  24 bulan merefleksikan tersedianya nutrisi yang baik.Catch-up fungsi kognitif Untuk menilai apakah catch-up memicu  perbaikan fungsi kognitif,  dilakukan pembagian sebagai berikut:
- Tidak mengalami stunting pada usia  2 dan 5 
tahun (normal), -Stunting menetap pada usia  2-5 tahun (persisten), - Tidak mengalami 
stunting pada usia  2 tahun namun  mengalami stunting pada usia  5 tahun (lambat) -
Stunting pada usia  2 tahun namun  tidak stunting pada usia  5 tahun (catch-up) 
Anak yang mengalami catch-up menunjukkan fungsi kognitif yang lebih buruk  dibandingkan anak yang tidak mengalami stunting dan sama buruk dengan anak yang  tetap mengalami stunting. jika  terjadi catch-up pada usia  2 tahun, ada    perbedaan hasil penelitian. Satu penelitian  bahwa fungsi kognitif tetap lebih buruk 
dibandingkan anak yang normal. sesuai  penelitian longitudinal pada 1674 anak di 
Peru menandakan  anak yang mengalami catch-up pada usia  2 tahun memiliki perbendaharaan kata (P=0,6) dan uji kognitif yang sama baik (P=0,7) dibandingkan anak normal.
Penelitian di Peru meliputi anak yang mengalami catch-up pada usia  sebelum 2 tahun, sehingga ini menunjukkan perlunya catch-up sebelum usia  2 tahun. Stimulasi pada usia muda memicu  peningkatan IQ, kemampuan verbal dan 
membaca lebih baik. Bila tidak dilakukan stimulasi, hasilnya lebih buruk dibandingkan  golongan  non-stunting., Anak yang lahir dari pasien tua yang mengalami stunting dan tidak mengalami stimulasi menandakan  nilai DQ yang lebih rendah,
jumlah anak berusia  kurang dari 5 tahun yang mengalami stuntingyaitu  1 juta anak,  The 
World Health Assembly Resolution mencanangkan pengurangan 40% jumlah anak stunting
berusia  kurang dari 5 tahun yang di adopsi oleh WHO.Target ini  dibuat berdasar  data dari 148 negara dan keberhasilan beberapa negara mengatasi stunting. Beberapa asupan mengenai usaha  komprehensif untuk menurunkan
prevalensi stunting Stunting dan wasting harus ditangani secara menyeluruh.Selama ini kesulitan muncul sebab  data tidak tersedia atau tidak akurat. beragam program suplementasi sudah  diteliti. Penelitian terhadap 3000  anak berusia  
6-23 bulan  dengan memakai  suplementasi protein, lemak, karbohidrat, multivitamin, asam folat, zinc dan kalsium tidak mengurangi stunting.  , suplementasi dengan suplemen barbasis lemak memperbaiki pertumbuhan linier dan mengurangi prevalensi stunting sesudah  suplementasi 6 bulan.Suplementasi harus diformulasikan dengan tepat untuk mengoptimalkan pertumbuhan tulang dan jaringan, ditetapkan bahwa salah satu hal yang penting yaitu  memiliki  kurva pertumbuhan secara nasional. meski  hal ini  sudah  pernah dilakukan, membuat program pendidikan komprehensif mengenai nutrisi dan intervensi gangguan nutrisi, dan  deteksi gangguan  perkembangan dan intervensi gangguan perkembangan. Semua ini harus dirumuskan dan dibuat dengan baik bersama-sama lintas unit kerja koordinasi, 
Beberapa hal sudah  diidentifikasi terkait peran perusahaan makanan bayi, yaitu investasi 
agrikultur lokal, membantu distribusi dan  checkup  kualitas, fortifikasi makanan dan minuman, perbaikan kualitas makanan pendamping ASI, investasi penelitian ilmiah di negara berkembang, reformasi produk yang berharga murah, dan advokasi. Perusahaan makanan bayi di negara kita   diajak bekerja bersama, mengesampingkan kepentingan  perusahaan, untuk mencari solusi bantuan bagi masalah stunting. 



vaksin
 vaksin yaitu  metode   efektif, murah  aman untuk meningkatkan kesehatan umat manusia. Anak-anak di semua negara secara rutin sudah  memperoleh   imunisasi untuk mencegah penyakit berbahaya sehingga imunisasi yaitu  dasar pencegahan dalam bidang kesehatan pasien . 
Namun disayangkan masih banyak negara berkembang yang masih belum bisa  mencapai universal child immunization (UCI) sebab  cakupan imunisasi yang rendah. sebetulnya  jika UCI bisa  dicapai maka setiap tahun kita bisa  menyelamatkan tiga juta anak yang meninggal akibat penyakit yang bisa  dicegah dengan imunisasi (PD3I).  imunisasi yaitu  usaha  pencegahan penyakit infeksi berbahaya yang   aman dan efektif. Tidak bisa  disangkal lagi bahwa dengan melakukan imunisasi, kehidupan di masa mendatang lebih sehat dan berguna  untuk 
semua golongan  usia .Guna menyongsong dan mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), diperlukan kajian tantangan dan usaha  penanggulangannya. pencegahan melalui pemberian imunisasi diperlukan  pada tiap tahapan golongan  usia  sejak lahir sampai lansia. 
Untuk memperoleh  vaksin yang aman dan efektif diperlukan pengetahuan dan  informasi yang benar mengenai vaksin  modern  yang diproduksi berdasar  bioteknologi canggih, dan bisa  diberikan pada semua golongan  usia . 
Keberhasilan program imunisasi   tergantung pada tercapainya kekebalan komunitas yaitu cakupan imunisasi yang tinggi (pada golongan  target), dan  mempertahankan dan  pemantauan keamanan vaksin.   beberapa manfaat/ value of vaccination , yaitu:
- Vaksin yang saat ini diberikan kepada pasien  yaitu  aman dan efektif- Vaksin berguna mencegah kematian dan kecacatan
- Vaksin memberi  kekebalan lebih baik dibandingkan  infeksi alami, 
- kekebalan di pasien  ini  akan memutuskan rantai penularan infeksi dari anak ke anak lain atau kepada pasien  dewasa.
- kekebalan komunitas 5%-20% dari anak-anak yang tidak diimunisasi juga akan terlindung, oleh sebab  penularan /penularan penyakit terputus, 
kekebalan ini  dinamakan .Kelebihan  lain, seiring angka kesakitan yang menurun akan menurun pula biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit, dan  mencegah kematian kecacatan yang akan menjadi beban pasien  seusia  hidupnya. 
-   bila   anak sudah memperoleh   vaksinasi tertentu, maka 80-95% dia akan terhidar dari penyakit ini  
-  Anak yang sudah memperoleh   imunisasi dia tidak akan menjadi sumber penularan. Semakin tinggi cakupan imunisasi. Semakin banyak bayi/anak yang memperoleh   vaksinasi maka semakin cepat terlihat penurunan angka kesakitan dan kematian.Dengan mencegah   anak dari penyakit infeksi yang berbahaya, berdefisiensi  akan meningkatkan kualitas hidup anak dan meningkatkan daya produktivitas suatu saat  
- Vaksin kombinasi  aman dan   berguna 
- Jika imunisasi distop maka penyakit infeksi yang berbahaya akan kembali berjangkit di pasien  dan akan memicu  wabah. Cukup banyak vaksin yang bisa mencegah penyakit yang berkaitan  dengan infeksi saluran nafas akut, yaitu vaksinasi campak bisa  mencegah 25%, pertusis 19%, Hib 9%, pneumokokus 29%. Mengingat hampir 50% dari diare dipicu  oleh rotavirus, maka vaksinasi rotavirus akan  berguna  dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian pada diare, 
Tidak semua kekebalan akibat imunisasi bisa  bertahan seusia  hidup, pada suatu  saat kekebalan akan menurun dan lalu  menghilang. Untuk penyakit yang  terus menerus mengancam seusia  hidup, maka untuk memutuskan rantai penularan,  kekebalan komunitas perlu dipertahankan dengan memberi  imunisasi ulangan.  untuk anak yang tidak memperoleh   imunisasi secara lengkap perlu diberikan  saat mereka menjelang dewasa atau anak hamil,  sedang  pada  lansia yang memiliki  kekebalan biasanya  sudah  menurun, diperlukan pencegahan  untuk infeksi yang bisa  memicu komplikasi yang serius. contoh  anak yang terkena penyakit campak akan mengalami demam
tinggi (terjadi pada 90% masalah ) sehingga anak bisa  mengalami kejang untukanak yang memiliki  riwayat kejang demam, bisa  mengalami pneumonia pada 40% masalah  atau ensefalitis 2% sebagai komplikasi campak. sedang  akibat imunisasi campak, demam yang mungkin muncul satu minggu sesudah  imunisasi terjadi pada sekitar 10% dari anak yang diimunisasi dan bisa  diobati dengan obat penurun panas.
beragam jenis vaksin yang beredar di pasien  sejak sepuluh tahun terakhir, yaitu  vaksin yang aman dan ampuh. Vaksin yang dipakai  di seluruh dunia memiliki  keamanan yang sama sebab  memakai  standarinternasional. Di samping itu, vaksin ini  bisa  memicu  kekebalan  (antibodi) yang lebih baik dan lebih tinggi kadarnya, sehingga bertahandalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan  vaksin  tradisional . Vaksin
yaitu  mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang namun  masih tetap mengandung sifat antigenisitas. Pada dasarnya vaksin dibagi menjadi vaksin hidup yang dilemahkan dan vaksin mati . Vaksin hidup
memiliki  kelebihan sebab  bisa  menghasilkan kadar antibodi yang lebih tinggi dan biasanya  bertahan lama. Namun, bisa  memicu  reaksi
simpang yang berat, seperti infeksi alami. sedang  vaksin mati, bisa  berwujud  mikroorganisme utuh atau komponennya. Komponen yang dipilih yaitu 
komponen mikroorganisme (antigen) yang bersifat imunogen defisiensi nya yang bertanggung jawab terhadap tanggapan  antibodi yang diinginkan. Kelebihan  vaksin mati atau komponen biasanya  tidak memberi  reaksi simpang yang berat , namun memicu  reaksi simpang lokal (pada  suntikan). Reaksi lokal ini  dipicu  oleh zat lain yang ada   di dalam vaksin seperti adjuvant, preservations, buffer, antibiotik,  zat pelarut. Zat-zat ini  diperlukan untuk meningkatkan titer antibodi yang dibentuk,sebagai pengawet, ataupun melindungi terhadap kontaminan pada vaksin yang dikemas dalam multi dose vial. Keinginan menghasilkan vaksin yang lebih aman dan bisa  memberi  perlindungan selama mungkin,  mengurangi reaksi
simpang yang bisa  dimunculkan, mencari antigen yang tepat, mencari adjuvan yang aman untuk meningkatkan kadar antibodi protektif sehingga bertahan lebih lama, memilih protein aktif yang bisa  berkonjugasi dengan antigen polisakarida, dan  memakai  DNA recombinant.  dengan teknologi rekayasa genetik, bisa  dihasilkan vaksin 
 rekombinan (vaksin rekombinan hepB), vaksin split (vaksin influenza), vaksin aselular pertusis, vaksin konjugasi (vaksin pneumokokus, meningokokus),vaksin kombinasi (vaksin DTP-Hib, DTP-hepatitis B, DTP-Hib-IPV), adjuvanted
vaccine (vaksin HPV), dan vaksin DNA (vaksin dengue). kuantitas vaksin yang diberikan, menentukan keberhasilan vaksinasi,  cara pemberian, dosis,interval pemberian,  jenis vaksin. Cara pemberian vaksin  mempengaruhi tanggapan  imun yang muncul. contoh  vaksin polio oral (OPV)  memicu  imunitas lokal di samping sistemik, sedang  vaksin polioparenteral (IPV)  memberi  imunitas sistemik yang lebih baik dibandingkan  lokal. mengenai dosis vaksin, dosis  terlalu tinggi atau terlalu rendah  mempengaruhi tanggapan  imun.Dosis terlalu tinggi  menghambat tanggapan imun,sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel imunokompeten. Maka dosis yang tepat yaitu  dosis yang sesuai dengan dosis yang disarankan . Frekuensi pemberian  mempengaruhi tanggapan  imun yang terjadi. tanggapan  imunsekunder memicu  sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping frekuensi, jarak pemberian mempengaruhi tanggapan  imun yang terjadi. jika  pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi khusus  masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi khusus  yang masih tinggi ini  sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten. Bahkan bisa  terjadi   reaksi Arthus, yaitu bengkak kemerahan di area  suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal.maka  jadwal pemberian ulang (booster),  Adjuvan yaitu  zat   nonkhusus  bisa  meningkatkan tanggapan  imun terhadap antigen. Adjuvan  meningkatkan tanggapan  imun dengan
mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan mengaktivasi sel APC (antigen presenting cells) untuk memproses antigen secara efektif dan menghasilkan  interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya. Namun adjuvan bisa  memicu  reaksi lokal sesudah  imunisasi,meski  biasanya  ringan. Keberhasilan imunisasi juga tergantung padastatus imun pejamu dan faktor genetik maka untuk pasien  dengan defisiensi  imun diperlukan panduan imunisasi khusus.
 


Anemia
Anemia diartikan  sebagai kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari -2SD  pada rata-rata golongan  populasi berdasar  usia, jenis kelamin, dan geografis dan  ditambah  bukti rendahnya cadangan besi tubuh. Populasi paling rentan yaitu  anak usia pra-sekolah (6-59 bulan) dan wanita usia subur (WUS, usia 15-49 tahun). Secara global,
prevalensi anemia pada anak usia 6-59 bulan yaitu  3  %, sedang  WUS sebesar 28%. Wanita hamil lebih sering mengalami anemia (39%) dibandingkan wanita  tidak hamil (25%).  Prevalensi anemia di Asia Tenggara yaitu  52% (anakanak) dan 30% (WUS). prevalensi anemia di negara kita  yaitu  :Anemia pada anak kurang dari satu tahun masih   tinggi. Survei Kesehatan 
Rumah Tangga (SKRT) menandakan  60% bayi usia 0-6 bulan dan 64% usia 6-12 bulan mengalami anemia, Pada usia 0-6 bulan, kejadian ADB paling  tinggi pada usia 3-4 bulan, Perkembangan otak sudah dimulai sejak dalam kandungan. Sejak usia 22-44 minggu  sesudah  konsepsi, terjadi perubahan struktural dan fungsional, Pembentukan  lobus, girus, dan sulkus ditambah  peningkatan kompleksitas otak dengan pertumbuhan neuron dan sinaps. Mielinisasi menjadi   rentan jika  terjadi kekurangan nutrisi 
selama periode ini. Kebutuhan zat besi pada janin meningkat selama trimester akhir untuk proses 
pembentukan neuron dan metabolisme energi. Konsentrasi besi dalam otak paling tinggi 
saat lahir. Kadarnya akan menurun saat  bayi mengalami masa peralihan dari ASI ke MPASI. Konsentrasi ini akan meningkat lagi untuk proses mielinisasi. Besi berperan  dalam sintesis neurotransmiter monoamin yaitu serotonin dan dopamin. Melalui pembentukan akson dan sinaps, neurotransmiter ini berpengaruh dalam fungsi otak, pembentukan mood dan sikap  (inhibisi, afek, perhatian, motorik).ADB memicu  gangguan metabolisme pada hippocampus dan korteks prefrontal. Konsentrasi glutamat pada neuron akan meningkat yang diimbangi dengan penurunan  konsentrasi dopamin. ini memicu  dari perubahan kecepatan berpikir (mielinisasi), perubahan motorik dan afek (neurotransmiter), dan  pengenalan memori (hippocampus)Menurut Salah satu aspek dari akal budi yaitu  fungsi kognitif. Anak dengan defisiensi   besi kronis memiliki skor mental dan fungsi motorik lebih rendah.Anak menjadi menarik diri, tegang, tidak peka, kurang aktif, dan tidak bahagia. lalu , anak akan berisiko  mengalami gangguan perkembangan jangka panjang.Pertumbuhan bisa  diukur melalui berat dan tinggi badan.  anemia berkaitan dengan malnutrisi pada anak. Anemia 
meningkatkan risiko berat badan kurang, 
Bayi berisiko  tinggi mengalami anemia defisiensi   besi. ini dipengaruhi oleh tiga hal , yaitu 
kehilangan darah pada masa perinatal,  
 peningkatan kebutuhan zat besi terutama pada kondisi bayi berat lahir  rendah (berat badan LR), kurang bulan, kehamilan ganda, proses pertumbuhan, dan kadar Hb yang  rendah saat lahir,   faktor nutrisi, seperti  tidak memperoleh   ASI eksklusif, pemakaian  susu formula terlalu dini, dan kandungan zat  besi yang rendah. Bayi yang lahir dari ibu dengan anemia berisiko   tiga kali lipat menderita  anemia. Bila bayi tidak memperoleh   suplementasi selama satu tahun pertama maka akan  terjadi anemia defisiensi   besi,  Bayi kurang bulan dan berat badan LR berisiko  10 kali lipat  lebih tinggi untuk mengalami ADB. golongan  bayi ini memiliki cadangan zat besi yang  lebih rendah dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Cadangan yang kurang ini tidak bisa  mengimbangi peningkatan kebutuhan besi saat pacu pertumbuhan pada usia dua tahun pertama, 
Pada saat proses kelahiran, pemotongan tali pusat yang terlalu cepat bisa  mengurangi 
cadangan besi sebesar 15-35%. Bila ditunda selama 3 menit, volume sel darah merah 
bisa  bertambah sekitar 59%.Faktor nutrisi juga berperan dalam ADB. ASI mengandung zat besi yang memiliki  bioavailabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan susu formula. maka  ASI 
yaitu  sumber zat besi utama pada usia 6 bulan pertama. ASI eksklusif dari ibu  dengan ADB, walau  diberikan secara eksklusif, tidak bisa  mengatasi defisiensi   besi  pada bayinya. Angka cakupan ASI ekslusif di negara kita  sudah memenuhi target WHO sebesar 56%.  0Sesudah  usia 6 bulan, komposisi besi pada ASI tidak mampu mencukupi kebutuhan bayi. Pada saat ini diperlukan  makanan pendamping ASI (MPASI) untuk memenuhi  kebutuhan besi. Pengenalan MPASI terlalu dini (usia <4 bulan) atau terlalu lama (usia >6 bulan) akan meningkatkan risiko anemia dua kali lipat. Jenis MPASI yang diberikan 
juga mempengaruhi  risiko terjadinya ADB. MPASI sebaiknya mengandung sumber zat  besi yang langsung diserap tubuh atau berbentuk heme, Zat besi non heme yang lebih sulit diserap ada    pada sayur dan kacangPenyerapan zat besi bisa  ditingkatkan melalui sediaan besi heme (daging, ikan, makanan laut),   asam askorbat atau vitamin C (jus, sayuran hijau, kubis, ),   dan makanan yang difermentasi termasuk kecap.  komponen 
yang bisa  menghambat penyerapan besi yaitu  fitat (serealia, tepung, kacang-kacangan),   
inositol,   tanin (teh, kopi, coklat, produk herbal, rempah, beberapa sayuran),     kalsium 
pada susu dan produknya.Pola konsumsi enhancer dan inhibitor penyerapan zat besi yang tidak seimbang pada  anak di negara kita  yaitu  salah satu faktor risiko . Anak dengan konsumsi 
vitamin C di bawah angka kecukupan gizi (AKG)  berkaitan dengan kejadian anemia. kebiasaan minum teh sudah menjadi budaya. Dalam teh ada    tanin-polifenol yang mengikat mineral besi (termasuk seng dan kalsium) sehingga 
penyerapan zat besi berkurang. Faktor risiko anemia lain  yaitu  dampak  parasit. Infeksi 
parasit yang dipicu   oleh cacing tambang dan cacing gelang berkaitan   dengan  anemia. WHO menyarankan  pelaksanaan  pencegahan 
dua kali setiap tahun untuk negara dengan prevalensi lebih dari 20% termasuk negara kita , 
dilakukan.defisiensi   besi terjadi melalui tiga tahapan. Pertama yaitu  penurunan cadangan besi di jaringan tanpa adanya perubahan hematokrit atau besi serum. Pada saat ini, kadar feritin 
serum terdeteksi rendah. lalu  terjadi eritropoiesis ditambah  defisit besi. Cadangan  besi makrofag pada tahap ini benar-benar habis. Kadar besi serum akan menurun dan total iron-binding capacity (TIBC) meningkat tanpa ditambah  perubahan hematokrit. Eritropoiesis terhambat akibat kekurangan besi dan peningkatan reseptor transferin serum. Tahap terakhir yaitu  anemia defisiensi   besi. Eritrosit menjadi mikrositik hipokromik. ada    pula peningkatan RDW (red cell distribution width) dan FEP (free erythrocyte 
protoporphyrin). Tahap defisiensi   besi berlangsung cukup lama sehingga sebagian besar 
eritrosit yang bersirkulasi terbentuk dalam kondisi kekurangan besi. defisiensi   besi diartikan  jika 2 dari 3 indikator besi terpenuhi : SF (<10 µg/L), 
zinc protoporphirin (>142 µmol/L sel darah merah), dan saturasi transferrin (<10%),   ADB diartikan  defisiensi   besi dengan anemia.Sebagian besar pasien memiliki hasil pemeriksaan normal. dampak  klinis yang bisa  ditemukan bergantung pada organ sasaran hipoksia: 
 Susunan saraf pusat: Imunologi: rentan terinfeksi akibat gangguan proliferasi limfosit dan diferensiasi monosit/makrofag,   Metabolik: gangguan pertumbuhan seperti stunting.
pusing, pusing , mengantuk, dan lesu,    Kardiovaskular: nadi cepat,   Kulit dan 
mukosa: kulit dan konjunctiva pucat, koilonikia, glositis, stomatitis angularis, sklera biru, peka  terhadap suhu rendah, disfagia, rambut rontok,   
 analisa   bisa  dilakukan dengan memantau   tanggapan  terhadap terapi besi, terutama jika riwayat makanan yang dikonsumsi kurang mengandung zat besi. Peningkatan Hb 1 g/dl sesudah  1 bulan terapi, bisa  dipakai  untuk melakukan  defisiensi   besi.Untuk mencegah faktor risiko akibat infeksi, bisa  diusahakan  program pengendalian  infeksi oleh tenaga kesehatan dan pemerintah. dan  mengajak pasien  
untuk menjaga kebersihan makanan dan lingkungan.terapi ADB yaitu   mendiagnosa  , mencari pemicu  anemia dan mengatasi pemicu , mengganti defisiensi  , meningkatkan nutrisi dan menasihati   pasien .Pemberian terapi besi oral  untuk mengoreksi kadar Hb dan mengganti 
cadangan besi tubuh. Dosis yang dipakai  yaitu  4-6 mg/kg berat badan /hari besi elemental diberikan 3 kali sehari selama 10-12 minggu sehingga bisa  mengembalikan cadangan besi tubuh dan serum ferritin kembali normal. Efek samping yang bisa  terjadi berwujud  konstipasi, diare, mual dan muntah sebab  rasa logam,   feses yang berwarna gelap, Pemberian secara parenteral hanya diberikan jika pemberian secara oral tidak bisa  
ditoleransi, anemia harus dikoreksi cepat, dan gangguan penyerapan, contoh celiac disease
atau inflammatory bowel disease. Efek samping yang dimunculkan berwujud  reaksi alergi, 
anafilaksis,  hipotensi,  mengetahui etiologi defisiensi   zat besi untuk mencegah kegagalan 
terapi dan kambuhnya anemia sesudah  pengobatan dihentikan, terutama di usia anak-anak yang lebih tua yang cenderung memiliki ADB sekunder. Pengobatan ini  meliputi penanganan kecacingan, giardiasis, perdarahan kronis dari lokasi manapun,  infeksi berulang harus diobati, 



  ahli mikrobiologi penemu rotavirus, Ruth 
Bishop, dibawah kepemimpinan   klinisi gastroenterologi anak dari Royal Children 
Hospital/University of Melbourne, Graeme Barnes.   ilmuwan dasar calon penerima nobel,  bahwa rotavirus yaitu  pemicu  tertinggi diare cair akut. maka praktik pemberian antibiotik pada setiap diare selama periode itu tidaklah rasional. 
Sebagai kelanjutannya, pada tahun 2006 atas inisiatif WHO para peneliti rotavirus di Asia melakukan surveilans rotavirus dengan memakai  protokol generik WHO,   dinamakan  Asian Rotavirus Surveillance Network (ARSN). Protokol ini dipakai  diseluruh dunia. negara kita , membentuk IRSN (negara kita n Rotavirus Surveillance Network) yang mengikutsertakan   fakultas kedokteran, Saat itu ditemukan 60% rotavirus positif pada feses. Angka ini terhitung tinggi diantara negera-negara anggota ARSN. Surveilans yang sejak saat itu sampai sekarang dilakukan yaitu  penelitian yang   diperlukan 
untuk menemukan burden of disease, evolusi strain virus, perencanaan, pengembangan 
vaksin, implementasi vaksin, vaccine acceptability study, cost analysis,   pemantau  dampak 
pemberian vaksin. Setiap  baru etiologi diare, pusat kajian dalam surveilansnya dilibatkan dalam penelitian. Kajian ini  berwujud  pendidikan sumber daya manusia dan sarana laboratorium. 
Penelitian translasional berdefisiensi  pengalihan penelitian ke dalam praktik dan sebetulnya  bukanlah hal baru. peneliti memastikan pengobatan baru dan pengetahuan yang diperoleh  dari penelitian benar-benar mencapai sasaran 
dan diimplementasikan secara tepat pada target pasien, Selama ini banyak sekali penelitian yang tidak mencapai sasaran sehingga tidak bisa dirasakan secara langsung oleh pasien  saat  menerima pelayanan kesehatan. penelitian translasional   mungkin diinisiasi oleh para klinisi sebab  merekalah yang selalu berhadapan dengan pasien. maka klinisi tentunya menemukan permasalahan yang memicu  pertanyaan.  bahwa butuh waktu yang tidak sebentar dalam melakukan penelitian translasional. Setidaknya ada  3 hambatan dalam penelitian translasional yaitu perbedaan budaya antar mitra (akademisi, industri, pemerintah, pasien ), kurangnya sumber daya, dan rumitnya regulasi.  URO (oralit) diperkenalkan pada KONIKA I tahun 1968 oleh Prof.Sulianti Saroso yang kala itu pernah menjabat direktur ICDDR,B (International Centre for Diarrheal Disease Research, Bangladesh), Dhaka. Oralit  efektif dalam menurunkan angka kematian akibat diare pada balita sebesar 79%. ini   baik untuk pendidikan sebab   ini diteliti oleh 
dua residen dari FK terkemuka di Amerika Serikat yang sedang belajar di pusat ini  (David Nalin dan Richard Cash). Pada saat itu dehidrasi akibat kolera bisa  diatasi dengan cairan sederhana yaitu air, garam, dan gula yang diberikan per oral. Hasil guna cairan URO ini  pertama kali diujikan kepada para pengungsi perang kemerdekaan Bangladesh 
tahun 1971. lalu  penelitian ini diteruskan  secara internasional di mana kami, tiga peneliti dari negara kita  menjadi salah satu peneliti utama. Pemberian oralit saja tidak menurunkan durasi dan frekuensi penyakit ini sedang  pasien  menginginkan obat yang bisa  menghentikan diare.  bahwa salah satu pemicu  keparahan yaitu  kerusakan epitel usus akibat defisiensi   zinc. 
bahwa suplementasi zinc bisa  menurunkan durasi dan frekuensi diare.Sejak tahun 2001 Departemen Kesehatan meresmikan manajemen pokok yang dikenal sebagai LINTAS Diare:  berikan oralit,    zinc selama 10 hari berturut  ,   
ASI-makan,    antibiotik selektif,    nasihat pada ibu/keluarga,   , cara  pengendalian diare juga meliputi pendidikan  pengobatan  diare di rumah tangga, kewaspadaan dan penanggulangan KLB diare, usaha  pencegahan efektif, dan  pemantauan  dan evaluasi.Hasil evaluasi BASICS menandakan  dengan cara  ini , morbiditas diare masih belum berubah di mana setiap anak diperkirakan mengalami diare berulang hampir 2 kali per tahun.Tingginya morbiditas diare tidak hanya terjadi di negara kita  namun  juga di negara berkembang lainnya, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat. sanitasi dan kebersihan saja tidak cukup untuk menuntaskan masalah diare. ini berkaitan dengan pemicu  sebagian besar diare pada balita yaitu rotavirus. Rotavirus yaitu  patogen yang tidak bisa  dituntaskan dengan 5 lintas diare, sanitasi dan higienitas. maka , diperlukan vaksinasi sebagai usaha  pencegahan yang untuk  menurunkan frekuensi diare, 
Tingginya prevalensi rotavirus   memicu   peneliti untuk mencari jalan keluar  untuk  menurunkan morbiditas akibat mikroorganisme ini. penelitian yang sudah  dilakukan ditanggapi oleh WHO dan Global Alliance of Vaccines and Immunization (GAVI) dalam bentuk Rotavirus Surveillance Network. Dari surveilans ini , diperoleh data bahwa Asia yaitu  area  endemis 
rotavirus dengan mortalitas yang tinggi. Di taraf nasional, negara kita  membentuk IRSN
yang berhasil mengumpulkan data rotavirus sejak tahun 1978 hingga 2007,  beragam strain yang berhasil diidentifikasi dipakai  sebagai landasan dalam pengembangan vaksin rotavirus. Penemuan mutakhir vaksin rotavirus sudah  diimplementasikan di beragam  negara. Di negara maju, daya guna vaksin cukup tinggi sebesar 89% sedang  di negara berkembang baru mencapai 50%. Kesenjangan ini dipengaruhi oleh beragam faktor mulai dari sifat  virus , host immunity, sifat  vaksin, interaksi 
kandungan vaksin dengan host, distribusi vaksin, bahkan kebijakan yang berlaku di setiap 
negara.RotaTeq(R Kondisi mirip  terjadi di negara kita  ditambah  kurangnya kesadaran pasien  akan pentingnya vaksin dan anggapan klinisi bahwa vaksin rotavirus  masih dalam uji coba  atau belum masuk National Immunization Programme (NIP) sehingga enggan untuk menyarankan  kepada pasien .  angka kejadian diare akibat rotavirus berkurang sesudah  pemakaian  vaksin. 
Saat ini tengah dibangun  vaksin rotavirus yang lisensinya diberikan dari WHO pada PT. Biofarma negara kita  agar bisa  masuk ke dalam NIP.di India menemukan  lebih dari 90% diare nonbakterial dipicu  oleh norovirus (NoVs). NoVs yaitu  patogen gastroenteritis yang endemis di segala usia,  




Resusitasi cairan agresif tanpa pemantauan yang memadai bisa  memperburuk luaran anak sakit kritis yang sudah  mengalami gangguan keseimbangan asam basa, elektrolit dan metabolik. Resusitasi cairan konservatif dilakukan pada anak sakit kritis dengan beragam etiologi diterapkan untuk mengatasi gangguan hemodinamis dan 
menghindari lebih cairan,  Protokol resusitasi cairan awal memakai kristaloid isotonis  (NaCl 0,9%, Ringer Laktat, Ringer Asetat) dilakukan secara agresif terkendali lalu  diteruskan ke terapi cairan tahap lanjut.   ini akan meningkatkan tekanan hidrostatis dan bisa  memicu  akumulasi cairan interstisial dan  lebih cairan. Resusitasi dan terapi cairan pada anak sakit kritis memerlukan pemantauan hemodinamis ketat untuk melihat mampu-tanggapan  cairan (fluid tanggapan iveness) dan kecukupan hemodinamis tubuh dan  mencegah terjadinya lebih cairan. Syok sepsis sering dipakai sebagai model resusitasi dan terapi cairan pada anak sakit kritis.dampak  klinis lebih cairan bisa  berwujud  sesak, sembab, hepatomegali   peningkatan pemakaian otot napas tambahan dan denyut jantung.
  cairan sebanyak >15% dari kebutuhan efektif sesudah resusitasi pada tahap  pulih sesudah  stabilitas hemodinamis tercapai pada anak akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. keseimbangan  cairan positif bisa  memicu   edema jaringan yang mengganggu penyerapan  saluran cerna dan ekskresi ginjal, meningkatkan tekanan intra perut  yaitu   faktor risiko dari sindrom kompartemen perut  dan sebagai bagian dari Global Increased Permeability Syndrome (GIPS), Bila terjadi lebih cairan maka harus dilakukan deresusitasi cairan, sebab  keseimbangan  cairan negatif sesudah  stabilisasi hemodinamis menghasilkan luaran lebih baik. agar   tidak terjadi lebih cairan, maka dilakukan pemantauan mampu-tanggapan  cairan pada anak sakit kritis yang bisa  dilakukan dengan memantau tanda vital klasik, pemantau hemodinamis statis atau terus-menerus  dengan memakai  alat sederhana non invasif, alat canggih, baik alat yang invasif, invasif minimal atau  non invasif. Inflamasi sistemis, vasoplegi dan permeabilitas mikrovaskuler tanggapan  inflamasi sistemis anak sakit kritis memicu  perubahan permeabilitas endotel yang memiliki implikasi penting dalam resusitasi dan terapi cairan. Kapiler yaitu  membran semi permeabel, cairan bisa  melewati membran ini sebab  tekanan osmosis 
dan hidrostatis. Selama terjadi inflamasi sistemis, permeabilitas kapiler meningkat akibat  rusaknya struktur glikokaliks endotel sehingga terjadi perembesan cairan plasma ke dalam 
jaringan interstitial.Pada kondisi  sepsis terjadi vasoplegi, kehilangan tonus arteri, venodilatasi, 
sekuestrasi cairan dan  perubahan fungsi ventrikel dan penurunan preload tanggapan iveness
yang memberi tanggapan  buruk terhadap resusitasi cairan, jadi masalah  bukan deplesi cairan. sebab  kondisi  ini , hampir semua cairan resusitasi (90%) terkumpul di dalam jaringan interstitial sehingga memicu  edema berat di dalam organ vital yang meningkatkan risiko disfungsi organ. ini menandakan   konservatif fisiologis dan hemodinamis tiap pasien  pada resusitasi cairan pengidap  sakit kritis yang mengalami syok   penting dan bisa  menurunkan morbiditas dan memperbaiki   penyakitnya, 
Resusitasi cairan agresif   meningkatkan tekanan hidrostatis mikrovaskuler dan memicu  lebih cairan yang berakumulasi di dalam ruang interstitial. Lebih cairan secara independen berkaitan  dengan gangguan fungsi organ, hipertensi intraperut  dan luaran yang buruk. Resusitasi cairan konservatif, membatasi asupan dan merangsang pembuangan bila terjadi lebih cairan, sehingga diharapkan akan memperbaiki  luaran penyakitnya.Resusitasi cairan, lebih cairan  dan deresusitasiAnak sakit kritis sering mengalami edema interstitial, hipoperfusi, hipoksemia, disoksia jaringan,   yang memicu  disfungsi mikrovaskuler. Resusitasi cairan dini <24 jam untuk  memulihkan perfusi jaringan, namun  terapi cairan lalu  tidak memberi  
efek ini , malah bila terus diberikan resusitasi cairan agresif bisa memicu  lebih cairan. Untuk membuang cairan yang berlebih perlu pelaksanaan  deresusitasi.Menurut protokol resusitasi cairan pada anak syok sepsis, cairan kristaloid isotonis diberikan sebanyak 20 mL/kg berat badan  (dan atau  koloid 10-20 mL/kg berat badan ), bolus cepat dalam waktu 5 menit, bisa  diulang sampai total 60mL/kg berat badan  dalam jam pertama dan bisa  
diberikan sampai 120 mL/kg berat badan  atau lebih dalam beberapa jam,  Resusitasi cairan anak sakit kritis  memakai cairan kristaloid isotonis, yaitu NaCl 0,9%, Ringer laktat, Ringer asetat dan cairan yang relatif baru yaitu cairan berimbang  dengan komposisi mirip plasma.Koloid alami albumin 5% bisa  ditambahkan bila jumlah cairan kristaloid untuk resusitasi syok  distributif anak sudah mencapai 40-60 mL/kberat badan B dan syok belum pulih (risiko lebih cairan). Albumin 5% bisa  diberikan juga pada kondisi  hipoalbuminemia (kadar albumin <3 gr/dL) atau terjadi asidosis metabolik hiperkloremia.Cairan koloid semisintetis (kanji hidroksi etil, gelatin, dekstran) pada syok sepsis dewasa meningkatkan risiko gagal ginjal akut, koagulopati dan kematian dibandingkan dengan kristaloid (NaCl 0,9% dan Ringer s asetat). Cairan kristaloid hipertonis bisa  dipakai untuk resusitasi  cairan volume kecil,(contoh  NaCl 3% dan natrium laktat hipertonis) bolus 5mL/kg berat badan  dalam waktu 5-15 menit, selain hemat cairan, bisa  menghindari jejas reperfusi dan lebih cairan pada sok distributif (syok sepsis).Lebih cairan sesudah  resusitasi dalam kondisi  bocor endotel (terutama organ vital paru, gastro-intestinum, ginjal, otak dan jantung) bisa  memicu  Global Increased Permeability Syndrome (GIPS).Target resusitasi cairan yaitu  pulih perfusi organ dalam satu jam sejak syok terdeteksi  meski  sering sulit tercapai, meliputi pulih tanda vital, derajat kesadaran, waktu pengisian kapiler dan luaran urin. Bila jumlah resusitasi cairan >60 mL/kg berat badan    berisiko  mengalami GIPS dan menurunkan  kemampuan pertukaran gas di tingkat alveolus atau  di tingkat jaringan. Kemampuan difusi oksigen   berkaitan  dengan derajat edema membran alveolus-kapiler akibat lebih cairan.Model three hit resusitasi cairan pengidap  sakit kritis Resusitasi cairan agresif bisa  memicu  lebih cairan dengan dampak  edema, sindrom polikompartemen (dua atau lebih kompartemen anatomis meningkat tekanannya), gagal multi organ dan luaran buruk. Pedoman EGDT resusitasi cairan pada syok sepsis   menekankan resusitasi awal. Malbrain mengembangkan model Three Hit pada pengidap  sakit kritis dewasa untuk mengatasi lebih cairan sesudah  resusitasi yang bisa  memicu  GIPS.
 Model ini  bisa diterapkan pada anak. Model Three Hit  Early adequate goal directed fluid management (EAFM)Kebanyakan penelitian mengacu pada pengobatan  resusitasi agresif EGDT (EAFM) untuk mencapai target resusitasi cairan sebanyak 25−50 mL/kg berat badan  dalam 6−8 jam pertama resusitasi pada masalah  syok hipovolemia dan syok sepsis. Resusitasi agresif bisa  berefek merugikan, yaitu terjadi lebih cairan sehingga muncul cara  resusitasi cairan yang lebih konservatif.Late Conservative Fluid Management (LCFM)  pengobatan  cairan konservatif kasip (LCFM) yang diartikan  sebagai keseimbangan  cairan nol atau negatif selama dua hari berturut   dalam minggu pertama perawatan di ruang intensif, yaitu  prediktor kelangsungan hidup yang kuat dan independen. Sebaliknya, pasien yang mengalami inflamasi sistemis persisten akan tetap mengalami bocor albumin transkapiler, tidak bisa mencapai tahap  Flow, dan terus mengalami keseimbangan  cairan positif.
Late Goal Directed Fluid Removal (LGFR). 
pengidap  yang mengalami lebih cairan perlu pembuangan cairan agresif dan aktif memakai diuretik dan terapi sulih ginjal dengan teknik ultrafiltrasi. pelaksanaan  ini dinamakan  
deresusitasi.Konsep Model  Three Hit 
- First Hit = jejas akut (contoh  pneumonia memicu  syok sepsis)
- Sencond Hit = multi-organ dysfunction syndrome (MODS) 
- Third Hit = glogal increased permeability syndrome (GIPS) Untuk membedakan resusitasi cairan tahap  awal dan tahap  lanjut, syok dibagi menjadi 2 tahap  yaitu tahap  Eberat badan  (tahap  surut) dan tahap  Flow (tahap  alir). tahap  Eberat badan  (surut)/First Hit, ditandai dengan  nadi lemah, ekstremitas dingin dan lembab . Pada tahap  Eberat badan , curah 
jantung rendah (low cardiac output) dan perfusi jaringan buruk,   terjadi peningkatan kebutuhan natrium dan air sebagai tanggapan  terhadap penurunan volume intravaskuler, disfungsi vasoregulator (vasoplegi) dan miokardium,   kebutuhan metabolisme meningkat dan  terjadi gangguan hantaran oksigen. Gangguan hemodinamis memicu  hipoksia jaringan global, inflamasi dan gagal napas. Pada tahap  Eberat badan  sering diberikan resusitasi cairan agresif, 
tahap  Flow (tahap  alir)/Second Hit/reperfusi/MODS yaitu  saat mengakhiri tahap  Eberat badan . 
Untuk menghindari keseimbangan  cairan positif, edema jaringan dan  disfungsi dan gagal organ, maka pengidap  harus melewati masa transisi dari tahap  Eberat badan  ke tahap  Flow yang berlangsung selama 48−72 jam. Pada tahap  ini terjadi peningkatan curah jantung, perfusi jaringan normal, diuresis, dan penurunan berat badan bertahap. Pada tahap  Flow terjadi keseimbangan antara mediator proinflamasi dan antiinflamasi, tidak diperlukan tunjangan hemodinamis agresif dan terapi cairan, namun  bila mengalami inflamasi sistemis persisten, pengidap  tetap berada pada tahap  bocor kapiler, tidak mengalami tahap  Flow (Third Hit/No Flow, GIPS, Kebocoran endotel memicu  cairan terakumulasi sehingga terjadi keseimbangan  cairan 
positif, dinamakan  Global Increased Permeability Syndrome (GIPS), yaitu kondisi pengidap  
yang tidak memberi tanggapan  terhadap resusitasi cairan, terjadi peningkatan capillary leak 
index (CLI), tidak membaik dengan pengobatan  CLFM, dan terus berlanjut menjadi  gagal multi organ. Capillary leak index = rasio C-reactive protein (CRP, mg/dL) terhadap albumin (g/liter) x 100. ini terjadi pada tahap  Third Hit, sesudah  First Hit dan Second Hit (jejas akut dan MODS).
 Model Three Hit dan GIPS yaitu  konsep efek merugikan resusitasi cairan agresif dan lebih cairan pada pengidap  sakit kritis. First Hit menggambarkan jejas akut beragam organ, berlanjut ke tahap  Second Hit saat  tubuh mengalami disfungsi multi organ, sedang  tahap  Third Hit gambaran utamanya yaitu  bocor endotel global, Terjadinya GIPS bisa  dipantau dengan peningkatan indeks bocor kapiler (capillary 
leak index [CLI]), cairan interstisial berlebih dan indeks cairan ekstravaskular paru menetap 
tinggi (extravascular lung water index [EVLWI]), late conservative fluid management (LCFM) tidak tercapai, dan akan berlanjut menjadi gagal multi organ. Terjadinya GIPS mencerminkan Third Hit sesudah  jejas akut (First hit) yang berlanjut menjadi sindrom disfungsi multiorgan (multi-organ dysfunction syndrome−MODS [Second hit]). Third Hitmungkin terjadi pada pengidap  yang tidak masuk ke tahap  Flow namun  tidak pulih. Bila pengidap  bisa  mengatasi tanggapan  inflamasi akut maka mikrosirkulasi dan bocor kapiler pulih dalam waktu 48−72 jam.
Model Three-Hit bisa  diperluas menjadi Four-Hit dan dibagi lima stadium pemberian cairan: Resusitasi, Optimalisasi, Stabilisasi, dan Evakuasi diikuti oleh risiko Hipoperfusi. Konsepnya bisa  diuraikan melalui lima tahap  klinis resusitasi dan terapi cairan berikut :
tahap  Resusitasi 
- Resusitasi cairan ( bolus sebanyak 4 mL/kg berat badan  dalam waktu 10−15 menit)
- Targetnya yaitu  early adequate goal directed fluid management (EAFM), akan memicu  keseimbangan  cairan positif. Target resusitasi cairan yaitu : MAP >65 mm Hg, CI >2,5 L/min/m2, PPV < 12%, LVEDAI > 8 cm/m2 (anak menyesuaikan)tahap  Optimalisasi 
- Derajat keseimbangan  cairan positif yaitu  penanda derajat berat tahap  ini
- Risiko mengalami sindrom polikompartemen
- Tidak stabil, syok terkompensasi yang memerlukan cairan untuk memulihkan curah 
jantung 
- Berlangsung dalam beberapa jam 
- Terjadi iskemia dan reperfusi
- Target: MAP >65 mmHg , CI >2,5 L/min/m2, PPV <14%, LVEDAI 8−12 cm/m2, pantau IAP (<15 mmHg) dan hitung APP (>55 mm Hg). Optimalisasi preload  dengan GEDVI 640−800 mL/m2 (anak menyesuaikan) tahap  Stabilisasi  Terjadi dalam beberapa hari,  Hanya diberikan terapi cairan untuk rumatan dan pengganti , Tidak ada syok atau ancaman syok , Pantau berat badan, keseimbangan  cairan dan fungsi organ setiap hari
Target: keseimbangan  cairan netral atau negatif,    EVLWI <10−12 mL/kg berat badan , PVPI <2.5, 
IAP <15 mmHg , APP >55 mmHg , COP >16−18 mmHg , and CLI <60 (anak menyesuaikan)
tahap  Evakuasi  pengidap  sakit kritis yang tidak mengalami peralihan dari tahap  Eberat badan  ke tahap  Flow sesudah  Second Hit akan mengalami global increased permeability syndrome (GIPS)
 Lebih cairan akan memicu  disfungsi end-organ 
 kondisi  ini memerlukan pengobatan  buang cairan: late goal directed fluid therapy(LGDT) (deresusitasi) untuk mencapai keseimbangan  cairan negatif,  Hindari pengobatan  buang cairan berlebihan yang bisa  memicu  hipovolemia
Resusitasi cairan agresif EGDT mengutamakan resusitasi awal. Sesudah  resusitasi cairan 
agresif awal bisa  mengatasi syok lalu  harus melakukan restriksi cairan dan menghindari edema interstitial organ vital. Bila terjadi lebih cairan, selain restriksi cairan, bisa  dilakukan ekskresi cairan melalui deresusitasi seperti PAL Treatment bantuan ventilasi non invasif (NIV, contoh  Positive end expiratory pressure [PEEP]), 
Albumin, dan Lasix (furosemid). Akumulasi cairan di rongga ke tiga berkaitan  dengan gangguan fungsi organ dan luaran yang buruk. Sebaliknya keseimbangan  cairan negatif berkaitan  dengan perbaikan harapan hidup dan peningkatan fungsi paru. Targetnya keseimbangan  cairan nol atau negatif serendah-rendahnya pada hari ke−3 dan 
mempertahankan  keseimbangan  cairan kumulatif pada hari ke−7 
- Diuretik atau terapi sulih ginjal (kombinasi dengan albumin) dipakai untuk mobilisasi 
cairan pada pengidap  yang hemodinamisnya stabil dengan hipertensi intraperut  
dan keseimbangan  cairan kumulatif positif sesudah melakukan resusitasi cairan dan sudah  
mengatasi sumber infeksi Resusitasi cairan agresif berlebih akan memperburuk kondisi anak sakit kritis dan mungkin terjadi edema, hipertensi, gagal napas, jejas dan paresis saluran cerna yang 
lambat pulih.Persentase lebih cairan (fluid overload percentage/FO%) dihitung dengan rumus  ini:
FO% = (jumlah cairan masuk - jumlah cairan keluar [mL])/Berat Badan saat masuk 
x100%.
Lebih cairan >15% akan mempengaruhi  fungsi paru yang bisa  diukur dari derajat  hipoksemia dan sering terjadi pada pengidap  gagal napas akut. Keseimbangan cairan bergeser menjadi positif secara cepat pada pengidap  sakit kritis akibat resusitasi cairan  dan bocor endotel kapiler. Pasien syok dekompensata memerlukan cairan resusitasi lebih  banyak untuk stabilisasi hemodinamis.
Pendekatan pengobatan  P.A.L. (PEEP−Albumin−Lasix)
- Berikan PEEP tinggi selama 30 menit (paling sedikit sama dengan tekanan intraperut ) untuk menarik cairan dari alveoli kedalam interstitium, lalu ,
- Albumin (2 x 100 mL albumin 20% dalam 60 menit untuk hari ke-1, lalu  titrasi sampai tercapai kadar albumin >30 g/L) untuk menarik cairan dari interstitium ke dalam sirkulasi 
- Furosemid (Lasix) infus selama 60 menit (sesudah albumin) dosis 60 mg/jam selama 
4 jam, lalu  titrasi antara 5-20 mg/jam untuk menghasilkan luaran urin >100 mL/jam
- Dipakai pada pengidap  acute lung injury agar   terjadi keseimbangan  cairan negatif, 
mengurangi EVLWI dan IAP, dan  memperpendek waktu pemakaian ventilator tanpa 
mengganggu fungsi organ , Pemantauan hemodinamis resusitasi cairan dan mampu tanggapan  caira, Resusitasi cairan terlalu agresif bisa  memicu  lebih cairan dan  gangguan fungsi 
jantung dan perfusi jaringan. Beberapa parameter yang dipakai  untuk pemantauan  hemodinamis dan mampu tanggapan  cairan (fluid tanggapan iveness) yaitu:
a. Penilaian parameter klinis untuk menilai kecukupan perfusi jaringan:
- Status mental/ tingkat kesadaran, - Perfusi kulit (pucat, mottling, sianosis), - Ekstremitas dingin, 
- Waktu pengisian kapiler, - Luaran urin, 
- Laktat plasma, - Gas darah: pH, BE, HCO3, pCO2,
- Saturasi oksigen, - Tekanan darah arteri rata-rata (Mean arterial pressure/MAP), 
b. Parameter statis
- Global end-diastolic volume dan intrathoracic blood volume (GEDV dan ITBV)
- Central venous pressure (CVP)
- Pulmonary artery occlusion pressure (PAOP)
- RV end-diastolic volume dan LV end-diastolic area (RVEDV dan LVEDV)
c. Parameter dinamis
- Indeks cairan ekstravaskuler paru (extravascular lung water index/EVLWI) 
- Tekanan intraperut  (intra-perut  pressure/IAP)
- Ultrasound cardiac output pemantau  device (USCOM)
- ragam  volume sekuncup
- ragam  tekanan nadi
- ragam  tekanan sistole dan diastole
- Aortic blood velocity (DVpeak)
- Superior vena cava collapsibility index dan inferior vena cava distensibilty index
d. Modified fluid challenge
- Passive leg raise (PLR) pada dewasa bisa  memobilisasi cairan 300 cc 
- Bolus cairan mini (100−200 mL, anak sesuaikan dengan berat badan 5 mL/kg berat badan )
Pemantau statis untuk pasien syok sudah tradisi lama dipakai untuk menilai curah jantung sesudah  resusitasi cairan, terutama tekanan vena sentral dan tekanan arteri pulmonalis (preload tanggapan iveness).Bukti baru menandakan  tekanan vena 
sentral dan tekanan arteri pulmonalis yaitu  pemantau mampu tanggapan  cairan yang 
tidak baik.Pengaruh ragam  respirasi pada tekanan vena sentral berguna untuk memantau mampu tanggapan  cairan pada pasien yang bernapas spontan,   juga variabel hemodinamis tekanan baji kapiler paru dan curah jantung dari pengukuran kateter arteri pulmonalis berguna untuk menentukan jenis syok dan menilai tanggapan  terapi namun  tidak bisa memperkirakan  preload tanggapan iveness.
Pemantau  untuk menilai preload tanggapan iveness yaitu  perubahan tahap  volume sekuncup dan tekanan darah sistole saat  pasien syok dipasang ventilasi mekanis. ragam  volume sekuncup (Stroke volume variation/SVV) yaitu  beda rasio volume sekuncup maksimum selama beberapa siklus napas dan volume sekuncup 
rata-rata dalam periode yang sama. Nilai SVV >15% pada pasien yang memperoleh   volume tidal >8 mL/kg berat badan  atau SVV >10% pada pasien yang memperoleh   volume tidal 
mL/kg berat badan  akurat untuk memperkirakan  preload tanggapan iveness pada pasien dengan dada  tertutup. Alat pemantau komersial seperti PiCCO, LiDCOplus, Volume View/EV1000, dan FloTrac memakai pulse contour analysis untuk mendeteksi curah jantung dan SVV secara tidak langsung. Pulse contour analysis berdasar  hubungan antara volume sekuncup, komplians aorta dan tahanan vaskuler sistemis. Alat LiDCO memakai pulse power analysis untuk mengubah gelombang arteri ke dalam gelombang volume-waktu. Indikator Perfusi Jaringan. Tujuan utama resusitasi cairan adalan memulihkan perfusi jaringan, namun  pemantau hemodinamis tidak mengukur perfusi jaringan. Indikator kecukupan perfusi meliputi SVO2, ScVO2, dan laktat. saran  Surviving Sepsis Campaign tercapainya kadar ScVO2 >70% dalam 6 jam sejak sepsis terdeteksi. 
Hiperlaktatemia (kadar laktat plasma >4 mmol/L)   baik untuk mendeteksi sepsis berat. Kadar laktat plasma normal (<2 mmol/L) dan bersihan laktat (kadarnya turun 10% per jam) yaitu  target resusitasi syok sepsis, disamping parameter hemodinamis  lainnya. Sirkulasi usus terganggu sejak awal terjadinya hipopperfusi. sebab  aliran darah gaster menurun, maka pH mukosa gaster (pHi) yang diukur dengan tonometer,   
mencerminkan perfusi usus. Nilai pHi dihitung dari CO2 lumen gaster dan bikarbonat  darah,   nilai rendah menunjukkan hipoperfusi berat. Pemantau perfusi jaringan lainnya yang jarang dipakai yaitu  Sidestream Dark Field imaging technique (SDF), kapnometri sublingual, dan near infrared spectroscopy (NIRS).Pemantauan parameter klinis untuk menilai kecukupan perfusi jaringan yaitu   dasar pemantau status hemodimamis pasien syok. Pemantauan statis invasif seperti CVP dan PAOP saat ini masih banyak dipakai, meski  sudah ada beragam bukti bahwa nilai 
pemantau statis sering tidak sesuai dengan kondisi  klinis sebetulnya , sehingga pemantauan 
pasien sakit kritis saat ini sudah beralih ke pemantauan dinamis noninvasif atau invasif 
minimal, seperti ultrasonografi dan bioimpedans, dan  pemantauan indeks kebocoran  kapiler (CLI), indeks cairan ekstravaskuler paru (EVLWI), tekanan intraperut  (IAP), keseimbangan  cairan dan lebih cairan pada tahap  eberat badan  dan tahap  flow.






kesehatan anak 1 kesehatan anak  1 Reviewed by bayi on Agustus 15, 2022 Rating: 5