halaman 2
Sebagian besar kabar tentang efek imatinib terhadap fertilitas
kita masih berwujud kabar peristiwa yang potensial memicu
gangguan spermatogenesis akibat imatinib. Pada peristiwa pertama,
pasien berusia 19 tahun dengan diagnosa sindrom hypereosinophilic yang
memperoleh imatinib dosis makin naik mulai 400 mg sampai 800 mg per hari, hasil analisa semen sesudah 15 bulan terapi imatinib menandakan
oligospermia (volume 2,5 ml; jumlah sperma, <1.000.000 per mililiter, 27%
menandakan motilitas rendah dan 74% imotilitas total). Pada peristiwa serupa
lainnya juga pada lakilaki berusia 19 tahun dari analisa semen menandakan
oligozoospermia berat sesudah pemberian imatinib jangka lama sebelum
pubertas , terjadi penurunan
menonjol dari testosteron serum dan peningkatan yang menonjol dari
luteinizing hormone (LH) dan kadar FSH pada 34 pasien baru CML BCR ABL-positif yang memperoleh imatinib 6 bulan terapi. bahwa
paparan imatinib memicu penurunan kadar testosteron pada pasien
CML dewasa jauh lebih awal dibandingkan dengan kabar sebelumnya
, hasil penelitian terhadap 16 kehamilan yang memakai imatinib saat pembuahan. Dari 9 hasil yang diketahui, 2 kehamilan berakhir dengan aborsi, 3 kematian
dalam kandungan pada 14 minggu usia kehamilan dan 4 kehamilan
melahirkan 2 bayi normal ,Data tentang dampak imatinib pada kesuburan perempuan terbatas pada
beberapa kabar peristiwa . publikasi yang mengabarkan terjadinya
kegagalan fungsi ovarium pada perempuan CML yang berusia 20 tahun
yang memperoleh imatinib 2 tahun , kabar
peristiwa lain pada perempuan Asia berusia 19 tahun menandakan rendahnya
tanggapan ovarium terhadap gonadotropin saat memakai imatinib, dan
tanggapan ovarium kembali normal sesudah imatinib dihentikan,Ada kabar tentang perempuan hamil saat memakai imatinib namun menghentikan pengobatan pada trimester pertama atau
tetap memakai imatinib selama kehamilan. ada yang
mengabarkan kehamilan sampai melahirkan dengan selamat. pertama kali mempublikasikan evaluasi 21
kehamilan yang menerima imatinib. walau 5 kehamilan terjadi aborsi
spontan dan 1 kehamilan menghentikan terapi imatinib, 13 kehamilan
melahirkan dengan normal, pasien CML yang hamil saat
memperoleh TKI. 8 pasangan suami istri, sang suami yang menerima
imatinib, semuanya melahirkan bayi 3 yang sehat. Di antara 20 pasangan,
si ibu yang menerima imatinib, 8 kehamilan berakhir dengan aborsi elektif;
3 kehamilan terjadi aborsi spontan dan 7 kehamilan sampai aterm, dan
melahirkan 8 bayi yang sehat, memiliki perkembangbiakan dan perkembangan
yang normal , peneliti menyarankan tindakan
pencegahan khusus untuk pasien perempuan yang menerima imatinib dengan
memakai kontrasepsi yang memadai. Sebuah riset baru-baru ini
mengabarkan bahwa enam dari 29 kehamilan di antara pasien perempuan dengan
CML yang menerima imatinib terjadi efek samping , penelitian untuk
mengetahui efek imatinib pada 190 perempuan yang menerima imatinib
selama kehamilan. Data hasil yang tersedia yaitu 100 perempuan hamil.
Dari jumlah itu , 50% melahirkan bayi yang sehat, 28% perempuan hamil
memilih milih terminasi (tiga bayi teridentifikasi diperoleh kelainan) dan 14%
mengalami keguguran. total 12 bayi teridentifikasi kelainan, 3 di
antaranya memiliki malformasi kompleks, berwujud exencephaly, encephalocele
dan kelainan bentuk tulang tengkorak. Temuan ini memicu
kekhawatiran keamanan akibat pemakaian imatinib selama kehamilan
perempuan hamil saat memakai imatinib. Dari jumlah itu ,
100 perempuan meneruskan kehamilan mereka sampai cukup bulan. Enam
puluh dua di antara mereka tidak diketahui pada akhirnya. Di antara
109 kehamilan yang diketahui, (33%) muncul komplikasi, yaitu aborsi
spontan pada 24 pasien, lahir mati pada 1 pasien, malformasi pada 9 pasien
dan berat badan lahir rendah pada 2 pasien ,Kejadian CML yang bersamaan dengan kehamilan sangat jarang,
diperkirakan 1-2/100.000 kehamilan , diagnosa
CML selama kehamilan sebagian besar diketahui pada saat kehamilan
trimester kedua atau ketiga sebab gejala awal tidak khusus .
Faktor terpenting dalam tata laksana CML pada masa kehamilan
yaitu waktu diagnosa , toleransi klinis terhadap penyakit, dan efek
samping obat terhadap ibu dan anaknya. Pengobatan CML selama
kehamilan memicu dilema terhadap si ibu maupun janin, bisa efek
langsung berwujud teratogenik; ataupun efek lambat yang jarang, yaitu
gangguan gonad dan endokrinologis serta gangguan perkembangbiakan
dan perkembangan sistem saraf pusat. Risiko ini khususnya bisa pada
kehamilan trimester pertama yang memperoleh kemoterapi. CML sendiri
yang terjadi saat kehamilan ada risiko terjadi leukostasis dan insufisiensi
plasenta dengan konsekuensi berat bayi lahir rendah, kelahiran prematur
dan peningkatan mortalitas z
Pye dan kawan-kawan, mengabarkan bahwa imatinib selama
kehamilan dapat memicu peningkatan risiko kelainan janin yang
serius atau aborsi spontan. Melihat risiko dan manfaatnya, maka harus
hati-hati sebelum memulai pengobatan selama kehamilan, terutama
trimester pertama ,
Pye dan kawan-kawan, menyampaikan bahwa perempuan yang berpotensi
hamil harus memakai kontrasepsi yang memadai saat memakai
imatinib. Imatinib harus dihindari dalam kehamilan kecuali pada peristiwa
kehamilan yang tidak disengaja atau direncanakan hamil, evaluasi risiko/
manfaat harus dilakukan secara pasien al
Pada tikus betina yang diberi imatinib dengan dosis 100 mg/kg,
diperoleh konsentrasi imatinib dan metabolit aktifnya 3 kali lebih
banyak dalam air susu dibandingkan dalam plasma. Pada perempuan laktasi yang
memakai terapi TKI disarankan untuk tidak menyusui, sebab
TKI akan diekskresikan ke dalam ASI sekitar 1 % dari dosis
hanya ada beberapa penelitian tentang pemakaian
dasatinib, nilotinib, dan bosutinib pada kehamilan hasil
penelitiannya pada 19 pasien hamil (8 perempuan hamil yang memperoleh terapi
dasatinib dan 8 perempuan hamil yang suaminya yang menerima dasatinib
sebab CML). Dari delapan perempuan yang hamil saat memperoleh terapi
dasatinib, tiga di antaranya mengalami aborsi terapeutik, dua perempuan
hamil terjadi aborsi spontan, dan tiga perempuan sisanya melahirkan bayi
yang viabel 3 perempuan hamil trimester
pertama saat menerima pengobatan nilotinib. 3 perempuan hamil itu
melahirkan tanpa komplikasi obstetrik atau anomali struktural neonatus.
perkembangbiakan dan perkembangan kedua bayinya dikabarkan normal
,Bosutinib merupakan TKI yang relatif baru, yang bekerja
sebagai inhibitor dual kinase dari autofosforilasi ABL dan Src kinase.
Mekanisme kerja dengan cara menghambat perkembangbiakan sel tidaknormal
dan mempromosikan apoptosis. Bosutinib juga menandakan remisi
sitogenetik dan molekuler yang menonjol dengan efek samping minimal
terapi CML pada kehamilan tergantung pada saat
diagnosa CML dipastikan.
a. Pada peristiwa CML yang diketahui secara insidental selama pemeriksaan
darah rutin selama kehamilan, ada beberapa opsi pendekatan terapi
berikut ini.
-- Busulphan. Busulphan jarang dipakai dalam pengelolaan
CML dalam tahap kronis dan harus dihindari pada kehamilan
-- Leukapheresis. Leukapheresis sebagai satu-satunya yang
dipakai untuk CML pada kehamilan tanpa efek samping
pada pasien dan janin
-- Transplantasi sel induk. Transplantasi sel induk alogenik
merupakan kontraindikasi selama kehamilan.
-- iInterferon-alfa. Sampai saat ini belum ada kabar mengenai efek
teratogenik interferon, sehingga interferon itu dianggap
sebagai obat yang aman selama kehamilan. IFN-α untuk CML
pada kehamilan disetujui FDA sebagai kategori C. Dosis IFN-α
3–6 juta unit setiap hari sampai 5–8 juta unit setiap hari. Namun
tidak ada data tentang keamanan IFN selama menyusui dan
tidak diketahui apakah ada komponen obat yang diekskresikan
dalam ASI
-- Hidroksiurea. Hidroksiurea merupakan obat sitotoksik
yang menghambat sintesis DNA dengan mengurangi
produksi deoksiribonukleotida melalui penghambatan enzim
ribonukleotida reduktase. Hidroksiurea dianggap aman selama
kehamilan dan diekskresikan ke dalam ASI
b. Kehamilan yang diketahui sesudah diagnosa nya pasti dan sesudah
pengobatan CML.
Maka pilihan yang harus diputuskan yaitu sebagai berikut:
---Menghentikan imatinib dan memantau dengan cermat
terjadinya kekambuhan hematologis dan sitogenetik. bahwa imatinib dapat dihentikan
bila sudah mencapai remisi molekuler lengkap (penurunan > 5 log BCR-ABL dan transkrip tidak terdeteksi secara PCR
kuantitatif) selama minimal 2 tahun. mensyaratkan Imatinib dihentikan bila tercapai
tanggapan sitogenetik lengkap (CCyR) atau CMR, dan imatinib
diberikan lagi jika terjadi kekambuhan hematologis, sitogenetik
atau molekuler Jika terjadi relaps pada trimester
pertama kehamilan maka leukapheresis dilakukan secara rutin
sampai akhir trimester pertama, sedang pada kehamilan
trimester kedua dan ketiga dipertimbangkan leukapheresis/
IFN-α atau kombinasi keduanya. Untuk sepasien perempuan yang
sudah mencapai CMR selama minimal 2 tahun, TKI dapat
dihentikan sebelum terjadi konsepsi yang direncanakan. Pasien
juga harus diedukasi tentang risiko dan manfaat menghentikan
TKI sebelum konsepsi. Pasien harus secara teratur dilakukan
pemeriksaan darah dan BCR ABL kuantitatif. Jika pasien terus
berada dalam CMR/CCyR, maka diikuti sampai melahirkan.
Jika terjadi lost of CMR maka dilakukan leukapheresis pada
trimester pertama dan pada trimester kedua dan ketiga dapat
dipertimbangkan IFN-α, leukapheresis atau keduanya.
---Tetap meneruskan imatinib dan kehamilan dipantau dengan
ketat, dipertimbangkan terminasi jika diperoleh kelainan janin
secara kelainan menonjol .
c. Pada pasien CML yang merencanakan kehamilan, maka diberikan
pilihan berikut ini.
---Untuk pasien sudah memakai Imatinib. Imatinib
dihentikan hanya untuk perempuan yang sudah mencapai tanggapan
molekuler yang optimal sebelum direncanakan konsepsi.
CMR minimal selama 2 tahun
merupakan waktu yang relatif aman untuk penghentian imatinib
bahwa pasien dalam
kondisi CCyR dan MMR, masih bisa menghentikan imatinib untuk periode waktu yang memungkinkan sehingga anak tanpa
terpapar obat Jika pasien tidak dalam kondisi
CCyR/CMR, maka penghentian TKI dapat memicu relaps
sitogenetik atau hematologis
Sampai saat ini belum ada konsensus bagaimana manajemen CML
pada situasi kehamilan. berdasar beberapa literatur diusulkan alur
,Untuk pasien hamil yang menderita CML tahap kronis, tidak diperlukan
pengobatan jika jumlah sel putih tetap di bawah 100 x 109/L dan jumlah
trombosit kurang dari 500 x 109/L. sedang bila perempuan hamil mengalami
CML AP atau CML tahap krisis blastik harus segera mulai terapi dengan
kemoterapi. Pada trimester akhir, jika memungkinkan maka terminasi
harus segera dipertimbangkan. Penghentian imatinib sementara harus
dipertimbangkan selama trimester pertama. Terminasi kehamilan dianggap
aman bagi ibu saat CML terdiagnosa pada saat trimester pertama. jika
pasien CML sudah dalam terapi TKI dan sedang hamil, TKI dapat dihentikan
jika sudah dalam kondisi CMR selama minimal 2 tahun. Pasien harus
diberitahu tentang risiko menghentikan TKI dan manfaat pemeriksaan darah
lengkap dan BCR-ABL PCR kuantitatif secara teratur. jika tanggapan terapi
menandakan CMR/CCyR, pasien diikuti sampai melahirkan. Jika terjadi
kekambuhan maka dilakukan leukaferesis sampai kehamilan mencapai
akhir trimester pertama dan jika sudah masuk trimester kedua dan ketiga
kehamilan dipertimbangkan tindakan leukaferesis/IFN-α, atau kombinasi
leukapheresis dan IFN-α. Leukaferesis berisiko minimal pada
janin. Sampai saat ini belum ada yang menyarankan lekosit berapa
leukaferesis dilakukan ,Keterlibatan okular yang terbukti secara klinis sering terjadi pada
pasien dengan leukemia, sekitar 50% terjadi pada saat terdiagnosa . Namun,
sebagian besar asimtomatik ,
bahwa hanya 9% dari pasien CML yang datang dengan gejala mata
pada saat diagnosa awal. Keterlibatan saraf optik biasanya mengarah
pada kehilangan penglihatan yang relatif cepat dan berpotensi ireversibel
Keterlibatan okuler sering terlihat
pada leukemia akut dibandingkan pada leukemia kronis. Pemeriksaan fundus
okular merupakan pemeriksaan yang tidak patognomonik untuk CML
sebab kelainan yang ditemukan bisa diperoleh pada berbagai penyakit
lokal dan sistemik yang mengikutsertakan mata ,Keterlibatan yang utama akibat CML yaitu infiltrasi leukemia
langsung jaringan okular dan retinopati sekunder akibat leukemia
yang merupakan komplikasi hematologi leukemia seperti anemia dan
hiperviskositas, contoh nya perdarahan retina, cotton wool spots. Manifestasi
oftalmik leukemia, dibagi menjadi:
Primer: infiltrasi langsung dari sel-sel neoplastik
Sekunder: keterlibatan tidak langsung dari sel non-viable atau sel
displastik, akibat kemoterapi, maupun terapi imunosupresan.
---Untuk pasien yang belum memakai Imatinib. Untuk
CML tahap kronis, pasien pra-pubertas harus diedukasi tentang
risiko dan manfaat TKI, efek terhadap kesuburan, dan kapan
mulai pemakaian TKI. Semua pasien sesudah pubertas yang baru
didiagnosa juga harus diberi edukasi tentang efek TKI pada
kesuburan dan kehamilan dan juga ditawarkan kriopreservasi
sperma/oosit sebelum memulai TKI.
Keterlibatan retina pada CML hanya beberapa peristiwa yang sudah
dikabarkan terjadinya retinopati pada saat CML terdiagnosa mungkin tidak
mempengaruhi prognosis pasien ini, walau ini dapat
berakibat buruk pada mata jika tidak diatasi dengan tepat Keterlibatan retina secara primer diakibatkan oleh infiltrasi
sel-sel ganas, dan sekunder diakibatkan oleh anemia dan hiperviskositas.
Pada peristiwa ALL yang mengalami kekambuhan, terjadi angiopati difus
retina unilateral, sedang pada pasien CML tampak beberapa nodul
difus berwarna abu-abu dengan berbagai ukuran. Retinopati leukemia
lebih menandakan gambaran klinis di retina yang diakibatkan oleh
anemia, trombositopenia dan hiperviskositas, dibandingkan akibat infiltrasi
leukemia.
Manifestasi sering yaitu pelebaran vena dan tortuositas.
Perdarahan retina terjadi pada semua
tingkat, biasanya di pole posterior dan dapat disertai adanya sel leukemia pada area white centre, agregasi trombosit-fibrin, atau septik emboli. Selain
itu, cotton wool spot dapat menjadi tanda bahwa adanya leukemia. bahwa pada saat terdiagnosa leukemia, maka 20 %
akan mengalami perdarahan intraretinal, 19% mengalami perdarahan
retina, dan 19% ada gambaran seperti cotton wool spot.
Segmen anterior jarang terkena pada leukemia, namun manifestasi
pada lokasi ini dapat memicu kekambuhan. Kelainan vena berbentuk
koma pada konjungtiva segmen anterior akibat hiperviskositas
Membran pembatas internal (inner limiting membrane)
berfungsi sebagai penghalang infiltrasi sel leukemia, namun sel-sel
leukemia masih mampu masuk ke vitreous melalui neovaskularisasi
diskus optikus dan perdarahan vitreous, sehingga sel-sel ganas dapat
masuk ke rongga vitreous. Leukemia dan kemoterapi dapat memicu
tanggapan imun melemah dan mempermudah infeksi oportunistik. Infeksi
yang biasa terjadi yaitu jamur (Candida dan Aspergillus), bakteri, virus
(CMV, varicella, zoster, herpes simplex, mumps) dan protozoa. Virus yang
sudah dikabarkan menginvasi retina yaitu HSV, VZV, dan CMV dapat
memicu nekrosis retinitis dan pelepasan retina. Mumps virus sudah
terbukti memicu uveitis granulomatosa ,TKI yang tersedia sebagai lini pertama untuk terapi CML tahap kronis
yaitu imatinib 400-800 mg/hari, nilotinib 300 mg dua kali sehari atau
dasatinib 100 mg/hari. Pemilihan TKI harus didasarkan pada tujuan
pengobatan, usia, komorbiditas dan harus mempertimbangkan efek
samping dari obat. Sebelum menentukan jenis terapi lini pertama, tujuan
terapi harus didiskusikan dengan pasien dan keluarganya. Ketiga TKI
itu merupakan terapi lini pertama, dengan tingkat daya tahan hidup yang sama
(I, A). Namun, kemungkinan untuk mencapai Deep Molecular Remission
(DMR) lebih tinggi dengan terapi dasatinib dan nilotinib dibandingkan
dengan imatinib [V, C]. Hal ini dipakai pada perempuan muda yang
merencanakan untuk hamil. Risiko transformasi ke AP dan BP lebih
rendah pada pasien dengan Sokal sedang atau tinggi, bila memakai
dasatinib atau nilotinib [I, A].
Imatinib generik relatif lebih murah, dan memberi profil keamanan,
khususnya pada pasien usia lanjut pasien yang memperoleh dosis lebih tinggi dari 800 mg/hari bisa
mencapai DMR lebih cepat dibandingkan yang memperoleh dosis
standar Uji meta analisa menyimpulkan bahwa dengan dosis lebih tinggi bisa mencapai
Major Molecular tanggapan e (MMR) pada 13 bulan pengobatan ,Strategi lini pertama lainnya yaitu kombinasi TKI dengan IFN-α.
Penelitian terhadap pasien CML-CP mengabarkan bahwa
golongan imatinib 400mg/hari plus PEG-IFNα menandakan MMR dan
DMR lebih tinggi Dasatinib merupakan TKI
multikinase generasi kedua, yang memiliki kekuatan 200 kali lebih kuat dari pada imatinib, dengan dosis awal 100 mg sehari sekali. Nilotinib
yaitu TKI yang berstruktur yang analog dengan imatinib yang
memiliki kekuatan 10-30 kali lebih kuat dari imatinib secara in vitro.
Dalam riset praklinis, nilotinib efektif terhadap CML yang mengalami
32 dari 33 mutasi bcr-abl yang resisten terhadap imatinib. Namun tidak
efektif terhadap mutasi T3151. Nilotinib lebih unggul dibandingkan imatinib
pada CML semua kategori skor Sokal dalam hal CCyR dan MMR ,
Komorbiditas yaitu pemicu utama kematian pada pasien CML
dan dapat diperburuk oleh efek samping obat yang tidak diinginkan.
Sehingga usia pasien, komorbiditas dan profil toksisitas TKI khusus harus
dipertimbangkan [V, B]. Masing-masing TKI memiliki profil toksisitas
yang berbeda yang harus dipertimbangkan saat memutuskan terapi.
Keamanan dan tolerabilitas yaitu pertimbangan penting dalam memilih milih
inhibitor tirosine kinase. Efek samping pada setiap kondisi pasien yang
sudah ada sebelumnya juga harus dipertimbangkan dalam memilih milih
inhibitor generasi kedua. Sebagai contoh bahwa Efusi pleura lebih sering
terjadi pada pasien yang menerima terapi dasatinib. Oleh sebab itu pasien
dengan faktor risiko adanya efusi pleura, atau penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK) lebih besar terjadi komplikasi ini pada terapi dengan
Dasatinib.
Untuk pasien yang berisiko terjadi efusi pleura maka dasatinib
harus dihindari. Hipertensi arteri pulmonal (PAH) yaitu komplikasi
dasatinib yang jarang, dan pasien yang pernah mengalami PAH sebaiknya
dipertimbangkan untuk memakai TKI lini pertama lainnya. Imatinib
sebagian besar memicu efek samping yang menetap namun sebagian
besar ringan sampai sedang secara menonjol pada kualitas hidup Termasuk penambahan berat badan, kurang gairah kurang tenaga , edema perifer dan
periorbital, nyeri tulang dan otot, mual mulas perih kembung , dan lain-lain. Semua TKI yang
tersedia dapat memperpanjang interval QT; dengan demikian, kalium dan
magnesium harus cukup sebelum memulai terapi [V, B].
Salah satu efek samping nilotinib adanya peningkatan risiko
pankreatitis atau terjadi pemanjangan QT interval. Sehingga pasien
dengan riwayat pankreatitis berat, pemberian nilotinib harus dipantau
ketat , juga sebelum pemberian Nilotinib, EKG pasien diperiksa lalu data mutasi mampu membantu
dalam memilih milih TKI generasi kedua yang tepat, sebab mutasi tertentu
resisten terhadap obat tertentu (Branford et al., 2009).
Dasatinib juga menghambat fungsi trombosit, dan pasien yang secara
bersamaan memakai antikoagulan berisiko lebih tinggi terjadi
komplikasi perdarahan [V, B]. Nilotinib memicu hiperglikemia, harus
hati-hati bila diberikan pada pasien diabetes melitus (DM) yang belum
terkendali. Nilotinib juga sudah dikaitkan dengan kejadian vaskular dan
vasooklusif vaskular, seperti penyakit jantung iskemik, serebrovaskular
iskemik, dan penyakit oklusif area perifer [I, C].
Hydroxyurea (40 mg/kg berat badan/hari) dipakai sebagai
terapi awal pada saat BCR–ABL1 belum bisa diperiksa, untuk mencegah
penyulit akibat lekositosis atau terjadinya lekostasis. jika BCR ABL sudah ada maka TKI harus segera diberikan dan Hydroxyurea
segera ditappering sebelum dihentikan. Untuk menghindari terjadinya
sindroma tumor lisis, maka kebutuhan cairan disarankan 2,5–3L per
hari dengan mempertimbangkan performa jantung dan ginjal. Sodium
bicarbonat diberikan dengan mempertahankan pH urine 6,4–6,8 untuk
mengoptimalkan bersihan asam urat. Allopurinol bisa diberikan
meningkatkan risiko akumulasi xanthine pada gagal ginjal, dan sebaiknya
dibatasi pada pasien yang memberi gejala hiperurisemia. Pilihan untuk
mengganti TKI, sangat tergantung pada tanggapan , yaitu tingkat tanggapan
sitogenetik, tanggapan molekuler dan pada deteksi mutasi domain BCR-ABL1
kinase. Hochhaus dan rekannya dalam riset nya tentang mutasi khusus
domain kinase BCR-ABL yang diidentifikasi sesudah terapi TKI mengabarkan
bahwa kegagalan terapi dasatinib lebih sering dikaitkan dengan mutasi
pada V299 dan F317, sementara Resistensi nilotinib dikaitkan dengan
mutasi pada P-loop, terutama pada Y253 dan E255, atau pada residu F311
atau F359 ,
Efek hasil terapi merupakan target yang diinginkan dalam setiap
pengobatan. Pemantauan terhadap efek keganasan, gejala, dan komplikasi
dapat diperoleh secara subjektif maupun objektif. Informasi subjektif yang
didapat dari pasien maupun keluarga pasien sangat tergantung pada latar
belakang kepribadiannya. Data secara objektif dapat diperoleh dengan
memakai parameter yang sudah standar. Untuk keganasan darah yang
tidak bisa dilihat secara langsung, maka tanggapan terapi bisa diperoleh
berdasar data-data dari laboratorium atau radiologis
Penilaian reguler pasien CML yaitu untuk mendata sedini
mungkin hasil pengobatan yang tidak menandakan tanggapan optimal
sehingga dicarikan strategi pengobatan alternatif. Dalam menentukan
hasil pengobatan terhadap tumor solid maupun pada keganasan darah,
biasanya meliputi 2 hal, yaitu efek terhadap tumor atau penyakit
primernya, gejala klinis yang dimuncul kan, komplikasi ,
serta efek terhadap daya tahan hidup Penilaian tanggapan molekuler merupakan komponen
penting dalam tata laksana CML.
tanggapan terapi dan deteksi sedini mungkin munculnya kekambuhan
merupakan salah satu strategi dalam penatalaksanaan CML. Ada 3 kriteria
tanggapan terapi untuk mengevalusi hasil terapi pada CML, yaitu tanggapan
Hematologi, tanggapan Sitogenetik, dan tanggapan Molekuler ,
kriteria tanggapan terapi menurut guide line ESMO 2017 :
a. tanggapan Hematologi
tanggapan hematologi dapat ditentukan sesudah 4 minggu pengobatan
dengan melakukan evaluasi darah lengkap dan hapusan darah tepi
setiap 2 minggu sejak pengobatan dimulai. Complete Hematologic
tanggapan e (CHR) atau tanggapan Lengkap Hematologi, jika secara
hematologis jumlah leukosit < 10 x 109/L dengan hitung jenis leukosit
normal, jumlah trombosit < 10 x 109/L, basofil < 5%, tidak diperoleh sel
muda dan promyelosit pada darah tepi, dan tanpa gejala dan tanda-tanda
penyakit.
b. tanggapan Sitogenetik
tanggapan sitogenetik yaitu tanggapan terapi untuk menentukan residual
kromosom Philadelphia yang dilakukan dengan cara karyotiping minimal
20 metafase dari sel lekosit cairan sumsum tulang yang diambil dengan
cara aspirasi bone marrow. Pemeriksaan sitogenetik dilakukan sesudah 6
bulan pengobatan . tanggapan sitogenetik dibedakan menjadi 5
tanggapan sebagai berikut:
--Minimal Cytogenetic tanggapan e (Minimal CyR)
Minimal Cytogenetic tanggapan e atau tanggapan sitogenetik
minimal, jika masih diperoleh kromosom Ph 66%–95% dari
20 metafase .
-- No Cytogenetic tanggapan e (NoCyR)
No Cytogenetic tanggapan jika masih diperoleh kromosom Ph > 95%
dari 20 metafase .
-- Complete Cytogenetic tanggapan e (Complete CyR)
Complete Cytogenetic tanggapan e atau tanggapan sitogenetik lengkap, jika
tidak diperoleh kromosom Ph dari 20 metafase dengan metode
"chromosome banding analysis" atau tidak diperoleh kromosom Ph
dengan metode FISH (Fluorescence in situ hybridization).
-- Partial Cytogenetic tanggapan e (Partial CyR)
Partial Cytogenetic tanggapan e atau tanggapan parsial, jika masih
diperoleh kromosom Ph 1%-35% dari 20 metafase .
-- Minor Cytogenetic tanggapan e (Minor CyR)
Minor Cytogenetic tanggapan e atau tanggapan Sitogenetik Minor, jika
masih diperoleh kromosom Ph > 36%-65% dari 20 metafase .
c. tanggapan Molekuler
tanggapan molekuler merupakan tolok ukur untuk mengetahui tanggapan
pengobatan secara molekuler dengan mengukur jumlah transkrip BCR
ABL dengan pemeriksaan PCR kuantitatif (RT-PCR). Pemeriksaan ini
dilakukan dengan mengambil darah pada buffycoat untuk mengukur
transkrip BCR-ABL, yang dinyatakan sebagai BCR-ABL dengan Skala
Internasional (IS). Pemantauan harus dilakukan setiap 3 bulan sampai
tercapai MMR , Pemeriksaan molekuler ini merupakan teknik
pemantauan yang paling peka , dengan demikian bisa mendeteksi tanda tanda resisten obat lebih awal.
--- Early Molecular tanggapan e (EMR)
Early Molecular tanggapan e atau tanggapan Molekular Dini (RMD),
jika BCR-ABL< 10% (IS) pada 3 bulan terapi dengan imatinib
Kegagalan mencapai RMD dihubungkan dengan
risiko terjadinya progresivitas dan daya tahan hidup yang rendah. Pasien yang
memperoleh imatinib 400 mg, nilotinib 2 x 300 mg maupun nilotinib 2 x
400 mg dengan penghentian dosis ≥ 5 hari berturutan memicu
kegagalan RMD lebih besar menguji 15 dari 16 riset bahwa
pencapaian RMD juga berkaitan OS dan PFS yang lebih panjang.
RMD juga berkaitan kemungkinan peningkatan MMR dan tanggapan
molekular dalam seperti MR4.5 (BCR-ABL ≤ 0,0032%, penurunan 4,5
log) ,
pencapaian RMD juga berkaitan OS dan PFS yang lebih tinggi. RMD
juga berkaitan kemungkinan peningkatan MMR dan tanggapan molekular
dalam seperti MR4.5 (BCR-ABL ≤ 0,0032%, penurunan 4,5 log)
--- Complete Molecular tanggapan e (CMR)
Complete Molecular tanggapan e atau tanggapan Molekuler Lengkap, jika
konsentrasi transkrip BCR-ABL tidak dapat terdeteksi dengan metode
RQ-PCR.
--- Major Molecular tanggapan e (MMR)
Major Molecular tanggapan e atau tanggapan Molekuler Mayor atau
MR3, jika BCR-ABL< 0,1% (IS) atau bila terjadi penurunan BCR ABL1mRNA 3-log, setara dengan 109 sel leukemia.
--- Deep Molecular tanggapan e4
Deep Molecular tanggapan e4, jika BCR-ABL1 ≤ 0,01% IS atau BCR-ABL
tidak terdeteksi minimal 10.000 ABL atau 24.000 GUS transcripts.
--- Deep Molecular tanggapan e4,5
Deep Molecular tanggapan e4,5, jika BCR-ABL1 ≤ 0,0032% IS atau
BCR-ABL tidak terdeteksi minimal 32.000 ABL atau 77.000 GUS
transcripts.
Untuk menilai efek pengobatan maka dilakukan pemeriksaan darah
lengkap dan hapusan darah tepi setiap 2 minggu, sampai tercapai tanggapan
hematologi lengkap yang lalu tiap 3 bulan
Pemantauan hasil terapi terhadap TKI disarankan sesuai
guideline National Comprehensive Cancer Network (NCCN), European
LeukemiaNet (ELN), dan European Society of Medical Oncology (ESMO)
meliputi : qPCR BCR ABL sesuai International Scale (IS),Sitogenetik bone marrow
,
NCCN menyarankan pemeriksaan qPCR untuk menentukan
milestone tanggapan molekuler dalam 3 bulan pertama terapi, yaitu transkrip
BCR-ABL tercapai ≤ 10%. pencapaian ini untuk menentukan apakah dosis
tetap atau dosis dinaikkan atau bahkan diganti dengan TKI lainnya.
jika dalam evaluasi tiap 3 bulanan berikutnya tercapai transkrip
BCR-ABL (IS) ≤ 1%, maka pemeriksaan diteruskan sampai 2 tahun dan
diperpanjang 3-6 bulan sesudah nya. jika terjadi peningkatan BCR-ABL
1 log, sebaiknya dilakukan ulangan QPCR 1-3 bulan.
Menurut guideline NCCN 2019:
-- Pemeriksaan analisa mutasi domain BCR-ABL, yaitu pada saat
gagal mencapai tanggapan milestone, relaps hematologi atau sitologi,
peningkatan 1 log kadar BCR-ABL serta hilangnya MMR dan pada
saat progresi ke tahap akselerasi atau krisis blas.
--Pemeriksaan sitogenetik sumsum tulang dilaksanakan pada
saat diagnosa , gagal mencapai tanggapan milestone dan saat relaps
hematologi atau sitogenetik
--Pemeriksaan PCR kuantitatif pada saat diagnosa ; setiap 3 bulan
sesudah terapi awal dan sesudah kadar BCR-ABL ≤ 1% tercapai dilakukan pemeriksaan setiap 3 bulan selama 2 tahun dan setiap 3-6
bulan sesudahnya; jika ada peningkatan 1 log kadar BCR-ABL
dari MMR, pemeriksaan PCR kuantitatif diulang dalam 1-3 bulan
b. European LeukemiaNet 2013
Menurut guideline European LeukemiaNet, dilakukan evaluasi
kromosom Ph dan transkrip BCR-ABL setiap 3 bulan, sesuai target tanggapan
terapi yang optimal. dinamakan sebagai tanggapan terapi yang optimal bila
: Dalam 12 bulan pertama kadar transkrip BCR-ABL1 ≤ 0.1% (MMR).
Dalam pemeriksaan 3 bulan pertama tercapai Ph+ ≤ 35%, atau BCR ABL1 ≤ 10%
,Dalam 6 bulan pertama bila kromosom Ph 0%, (CCyR) dan atau BCR ABL1 ≤ 1%
,
gagal terapi didefinisikan sebagai
hilangnya tanggapan hematologi lengkap dan atau Ph+ > 95% sesudah 3 bulan
terapi atau sesudah 6 bulan terapi Ph+ > 35 % atau Bcr-Abl>10, atau sesudah
12 bulan Ph+ ≥ 1 % atau Bcr-Abl > 1 % ,
c. European Society of Medical Oncology (ESMO)
berdasar hasil kesepakatan ESMO tahun 2017:
-- ESMO menyarankan pemeriksaan kromosom atau BCR ABL setiap 3 bulan
--tanggapan terapi yang optimal terhadap terapi lini pertama,
bila :
• dalam 3 bulan pertama Ph+ ≤ 95%, atau transkrip BCR-ABL
< 10%;
• dalam 6 bulan pertama Ph+ ≤ 35%, atau BCR-ABL < 10%;
dan
• dalam 12 bulan pertama Ph + 0, atau BCR-ABL ≤ 1%.
--Pada saat diagnosa hanya disarankan pemeriksaan
hematologi, sitologi sumsum tulang, karyotipe, pemeriksaan
BCR-ABL kualitatif dan BCR-ABL metode FISH
-- Pemeriksaan hematologi setiap 15 hari sampai tercapai CHR,
dan setiap 3 bulan untuk monitor tanggapan terapi
--Pemeriksaan analisa mutasi hanya disarankan pada tahap
akselerasi atau krisis blastik dan peristiwa gagal terapi ,
--Pemeriksaan PCR kuantitatif hanya disarankan setiap 3
bulan untuk menilai tanggapan molekuler dan setiap 4-6 minggu
tahun pertama sesudah penghentian terapi
Sejak ditemukan imatinib, Imatinib sudah terbukti efektif dalam
hal pencapaian remisi dan tingkat kematian dari pasien CML mengalami
penurunan secara drastis. namun lebih dari 33% pasien tidak mencapai
tanggapan yang optimal, 3% dari CML tahap kronis, 20% dari CML tahap
akselerasi, dan 50% dari CML tahap krisis blastik tidak menanggapi
sama sekali terhadap inhibitor tirosin kinase generasi pertama (imatinib).
Bahkan tiap tahun mereka yang tanggapan juga masih mengalami kekambuhan
antara 0,4%–5,5%. Resistensi terhadap obat merupakan tantangan agar segera mengetahui sedini mungkin tanda-tanda terjadinya
Resistensi obat itu . berdasar saat munculnya Resistensi imatinib
dapat digolongkan menjadi Resistensi primer dan sekunder.
Resistensi primer yaitu kegagalan mencapai salah satu dari kriteria–
kriteria tanggapan terapi yang ditetapkan berdasar pedoman European
Leukemia Net (ELN) atau National Comprehensive Cancer Network (NCCN).
Resistensi primer didefinisikan sebagai kurangnya tanggapan terhadap
pengobatan imatinib awal. Resistensi primer dibagi lagi menjadi Resistensi
hematologi dan sitogenetik. dinamakan sebagai Resistensi hematologi
bila dalam waktu 3 sampai 6 bulan sejak dimulai pengobatan gagal
menormalkan darah perifer. Insiden Resistensi hematologi diperoleh
pada 2-4%. sedang Resistensi sitogenetik bila sesudah 6 bulan sejak
pengobatan gagal mencapai tanggapan sitogenetik. Resistensi sitogenetik
primer lebih sering terjadi, sekitar 15%-25%. Ekspresi aberan dari transporter
obat dalam darah dan ikatan dengan protein plasma dapat berkontribusi
terhadap munculnya Resistensi primer dengan cara merubah konsentrasi
TKI intraseluler dan TKI plasma
Pemantauan kadar plasma imatinib diperlukan untuk menentukan
kepatuhan pasien terhadap terapi. Namun, sampai saat ini belum ada data
yang mendukung perubahan terapi berdasar kadar imatinib plasma
mempengaruhi hasil pengobatan.
Kadar transporter kation organik 1 (OCT-1) sebelum terapi sudah
dikabarkan sebagai prediktor tanggapan paling kuat terhadap imatinib,
namun uptake seluler dari dasatinib atau nilotinib tidak bergantung pada
ekspresi OCT-1, Hal ini menandakan bahwa pasien dengan ekspresi
OCT1 rendah mungkin memiliki hasil yang lebih baik dengan dasatinib
atau nilotinib dibandingkan dengan imatinib.
Resistensi sekunder, bila salah satu dari berikut:
a. terjadi progresifitas
ke arah tahap akselerasi ataupun krisis blastik;
b. hilangnya tanggapan lengkap
hematologi atau tanggapan parsial hematologi pada pasien yang sebelumnya
pernah tanggapan terhadap inhibitor tirosin kinase terjadi pada mereka yang
sebelumnya sudah mencapai dan lalu kehilangan tanggapan mereka
sesuai dengan pedoman itu Pada Resistensi sekunder, mutasi titik pada domain kinase BCR-ABL1
yaitu mekanisme yang sering dan berhubungan dengan prognosis
yang buruk dan risiko yang lebih tinggi munculnya progresivitas penyakit.
Di antara mutasi domain kinase BCR-ABL1, mutasi T315I merupakan
jenis mutasi yang ganas dan memicu Resistensi terhadap imatinib,
dasatinib, nilotinib, dan bosutinib. Mutasi lainnya seperti F317L dan V299L
yaitu mutan yang terbukti memicu Resistensi terhadap dasatinib
dan Y253H, E255K/V, dan F359V/C memicu resisten terhadap
nilotinib.
Mekanisme Resistensi terhadap imatinib dapat bergantung BCR-ABL
(mutasi titik domain kinase atau amplifikasi gen) ataupun tidak tergantung
pada BCR-ABL.
a. Mutasi Domain Kinase (KD) ABL
Point mutation pada domain BCR-ABL kinase (KD) dapat memicu
Resistensi imatinib, terutama Resistensi sekunder, dan bertanggung jawab
atas kegagalan pengobatan dalam banyak peristiwa . Efek molekuler yang dimuncul kan oleh mutasi
domain kinase Bcr-Abl akan merusak ikatan hidrogen antara obat dan
protein.
Mutasi bisa diperoleh pada empat area : lengkung pengikat
ATP (p-loop), area kontak, area a-loop serta domain katalitik. Mutasi
BCR-ABL sering terjadi pada area P-loop (30%-40% dari seluruh
mutasi). P-loop yaitu suatu struktur fleksibel yang secara fisiologis
mengikat residu fosfat ATP. Pasien CML yang mengalami mutasi pada
P-loop menandakan prognosis yang buruk. Mutasi P-loop banyak ada
pada CML tahap akselerasi atau krisis blastik. Pada mutasi P-loop akan
memicu sensitivitas yang lebih rendah 70-100 kali lipat terhadap
imatinib bila dibanding dengan BCR-ABL yang tanpa mengalami
mutasi.
Mutasi titik dapat mengubah konformasi onkoprotein BCR-ABL
menjadi bentuk aktif yang memicu perubahan konformasi di tempat
pengikatan imatinib, dan menghambat ikatan imatinib ,dan juga dapat menghilangkan molekul yang diperlukan untuk ikatan,
sehingga mengurangi manfaat obat Sampai saat ini lebih dari 100 mutasi titik sudah diketahui yang
paling penting yaitu mutasi T315I, Y253H, dan F255K. T315I dan
mutasi tertentu yang terjadi di P-loop yaitu mutasi yang sering
diperoleh . Mutasi T315I (mutasi gatekeeper) diperoleh
pada 4-15% pasien yang menunjukan Resistensi imatinib. Pada jenis
mutasi T315I terjadi substitusi nukleotida dari gen ABL, sehingga terjadi
perubahan treonin menjadi isoleusin pada asam amino 315 (Th315 menjadi
Ile315). Mutasi ini menghilangkan molekul oksigen yang diperlukan
untuk ikatan hidrogen antara imatinib dan ABL kinase dan mutasi bisa
mencegah pengaturan konformasi yang diperlukan untuk pengikatan inhibitor tirosin kinase dan stabilisasi konformasi kinase aktif. Mutasi
ini memicu Resistensi terhadap imatinib, nilotinib, dan dasatinib.
Mutasi ini juga dihubungkan dengan Resistensi imatinib sekunder yang
biasanya terjadi pada stadium akhir dari penyakit dan berhubungan
dengan usia lanjut, yang memperoleh interferon sebelumnya, dan skor
Sokal yang tinggi , meneliti 21 asam amino
yang terlibat pada mutasi area kontak. Mutasi-mutasi tertentu, seperti
M244V, M351T, dan F311L juga memicu Resistensi terhadap inhibitor
tirosin kinase (imatinib). Mutasi F317L dan V299L yaitu mutan yang
terbukti memicu Resistensi terhadap dasatinib, sedang Y253H,
E255K/V, dan F359V/C memicu resisten terhadap nilotinib. Y253H
merupakan salah satu jenis mutasi pada p-loop yang cukup jarang. Jenis
ini dikabarkan oleh peneliti pada seor yang terjadi krisis blastik yang
memperoleh imatinib.
Mutasi T1052C juga merupakan salah satu mutasi pada domain kinase
yang memicu Resistensi parsial terhadap imatinib. Mutasi T932C
merupakan mutasi yang jarang diperoleh . sedang menonjol si klinis
akibat mutasi lain masih kontroversial
Keterangan: Imatinib ditunjukkan sebagai rangkaian rantai warna emas. Posisi 1-3 lingkaran
warna merah merupakan mutasi yang secara langsung mempengaruhi ikatan imatinib. Semua
posisi lainnya mungkin mempengaruhi kemampuan kinase untuk membentuk konformasi
yang diperlukan untuk mengikat imatinib, termasuk di lingkaran P (4-8, hijau) dan di sekitar
A-loop aktifitas (9-13; ungu). Loop aktifitas berwarna ungu. Posisi asam amino yang mutasi:
1 F317,, 2 T315, 3, F359, 4, M244, 5, G250, 6, Q252, 7, Y253, 8, E255, 9, M351; 10, E355, 11, V379,
12, L387, 13, H396.
meneliti hubungan
mutasi domain kinase BCR-ABL dengan Resistensi imatinib. Diperkirakan
21 asam amino terjadi mutasi pada area kontak, contoh pada Thr315,
Phe317, dan Phe359. Mutasi yang terjadi pada Thr315 mengurangi
sensitivitas imatinib dan merupakan pemicu Resistensi pada sebagian
besar pasien. juga diperoleh mutasi Phe 317 Leu pada beberapa
pasien saat terjadi Resistensi obat.
foto Peta mutasi domain kinase pada BCR-ABL
pada 16 pasien
CML BCR ABL positif yang tidak menanggapi lengkap terhadap
imatinib menemukan 3 profil kombinasi mutasi, yaitu mutasi C944T,
T1052C, dan T932C. Mutasi C944T diperoleh pada 9 pasien, T1052C pada 16 pasien, dan T932 C diperoleh pada 13 pasien. sedang 2 pasien
diperoleh 1 jenis mutasi, yaitu T1052C, 5 pasien diperoleh 2 jenis mutasi
T1052C dan T932C, dan 8 pasien diperoleh 3 jenis mutasi C944T, T1052C
dan T932C,Mutasi-mutasi tertentu, seperti M244V, M351T, dan Phe311L juga
memicu Resistensi terhadap inhibitor tirosin kinase (imatinib).
Phe311L mekanisme memicu Resistensi belum diketahui ,Mutasi-mutasi
itu secara uji biokimia dan uji seluler mutasi akan menandakan
penurunan sensitivitas terhadap imatinib masing-masing sebanyak 1,8
dan 2,8 kali lipat. Resistensi yang dipicu oleh mekanisme itu
dapat diatasi dengan peningkatan dosis imatinib.
foto Rumus bangun Threonine dan Isoleucine.
berdasar struktur kristal dari domain kinase Abl bahwa pada
mutasi T315I saat isoleusin menggantikan treonin, zat ini tidak menyediakan
atom oksigen untuk pengikatan dengan imatinib. Penggantian treonin
dengan isoleusin juga mengganggu ikatan hidrogen imatinib. isoleusin
mengandung sebuah gugus hidrokarbon ekstra pada rantai samping yang
memicu steric hindrance bagi imatinib, sehingga ikatan obat ini lemah
dan memicu Resistensi.
Mutasi T1052C juga merupakan salah satu mutasi pada domain
kinase yang memicu Resistensi parsial terhadap imatinib. Pada
mutasi T1052C, urutan nukleotida nomer 1052 di mana kodon ATG yang
menyandi asam amino Methionin pada kodon asam amino 351 akan
berubah menjadi kodon TCC yang menyandi asam amino Threonin.
16 pasien CML BCR
ABL positif yang tidak menanggapi lengkap terhadap imatinib
menemukan T1052C pada semua pasien (16 pasien) itu ,
Mutasi T1052C ini akan melemahkan secara parsial ikatan imatinib
pada targetnya dan memicu Resistensi obat parsial
foto 5 Rumus bangun Methionine, Phenylalanine, dan Serine.
Mutasi T932C merupakan mutasi yang jarang diperoleh . Pada mutasi
T932C, urutan nukleotida nomer 932 di mana kodon TTC yang menyandi
asam amino Phenilalanin pada kodon asam amino 311 akan berubah
menjadi kodon TCC yang menyandi asam amino Serin , pada 16 pasien CML BCR
ABL positif yang tidak menanggapi molekular lengkap terhadap
imatinib menemukan mutasi T932 C pada 13 pasien ,
b. Amplifikasi atau Duplikasi BCR-ABL
ada banyak penelitian yang berkaitan dengan amplifikasi
onkogen ABL kinase , Amplifikasi dan
overekspresi BCR-ABL merupakan salah satu cara agar sel CML bisa lepas
dari imatinib. Pasien CML krisis blastik yang resisten terhadap imatinib
akibat dari duplikasi genetik BCR-ABL. Amplifikasi Abl dikabarkan
pada pasien CML yang resisten terhadap imatinib. adanya amplifikasi BCR-ABL pada pasien
CML yang resisten terhadap imatinib. adanya amplifikasi BCR-ABL pada beberapa pasien
CML yang resisten terhadap imatinib. meneliti
darah perifer pasien CML yang mengalami krisis blastik yang resisten
terhadap imatinib dan menandakan peningkatan aktivitas Abl kinase
akibat duplikasi genetik Bcr-Abl. Mahon dan rekan, secara in vitro juga
mengabarkan amplifikasi pada rangkaian Abl pada pasien yang resisten
terhadap imatinib
Mekanisme yang berperan memicu Resistensi imatinib yang
tidak tergantung BCR-ABL, yaitu transporter efflux dan influx, hambatan
apoptosis (Inhibitors Apoptotic Protein), dan transcription factors. Terjadi
peningkatan clearance obat akibat dari peningkatan ekspresi P-glycoprotein
pump efflux yang meningkatkan efflux obat dan menurunkan akumulasi
obat intraseluler, terjadi penurunan absorbsi obat sekunder akibat
penurunan ekspresi transporter organic-1 (hOCT1), terjadi sekuestrasi
imatinib akibat dari peningkatan protein serum α-1 glikoprotein asam
yang mengikat imatinib dan merusak pengikatan berikutnya pada
ABL kinase, menurunkan konsentrasi obat serum, dan memicu
aktifitas sinyal jalur alternatif melalui Ras/Raf/MEK kinase, STAT, Erk2,
atau SFK fosforilasi BCR-ABL dan peningkatan transkrip prostaglandin endoperoxide synthase 1/cyclooxygenase 1 .
Konsentrasi obat intraseluler dan metabolit menentukan efficacy,
toxicity, dan interaksi obat. Keseimbangan antara ekspresi aliran keluar
oleh transporter efflux multidrug (MDR1, ABCB1, ABCG2ABCB1) dan aliran
masuk substrat (oleh hOCT1) akan menentukan konsentrasi obat tingkat
intraselular. Pasien yang menandakan tanggapan yang sub optimal ternyata
memiliki kadar hOCT1 yang rendah. dikabarkan golongan pasien
yang mencapai MMR (89%) lebih tinggi pada golongan pasien aktivitas
hOCT yang tinggi dibandingkan yang memiliki aktivitas hOCT yang
rendah (55%). juga kadar hOCT yang rendah berkorelasi dengan
rendahnya OS dan EFS. Penelitian terbaru menandakan bahwa ada
perbedaan yang menonjol terhadap tanggapan sitogenetik, PFS dan OS
berdasar jumlah ekspresi hOCT1 sebelum pengobatan. Pasien dengan
hOCT1yang rendah akan menurunkan kecepatan mencapai MMR selama
12 bulan bila memperoleh imatinib dosis standar dibandingkan dengan
imatinib dosis tinggi.
Konsekuensi perubahan ekspresi transporter terhadap akumulasi
imatinib intraseluler. (A) Dalam kondisi normal, konsentrasi imatinib
memadai dalam sel dan sel leukemia mengalami kematian. (B) transporter
uptake under ekspresi atau transporter efflux overekspresi, sehingga
konsentrasi imatinib intraseluler terlalu rendah untuk menghambat BCR ABL ,Efisiensi sebuah obat dapat dipengaruhi oleh ikatan obat dengan
protein plasma darah (serum albumin kita , lipoprotein, glikoprotein,
dan globulin α, β, dan γ). Semakin sedikit obat berikatan dengan protein
plasma darah, semakin efisien obat itu dapat melintasi membran sel.
Imatinib, dasatinib, dan nilotinib terikat lebih dari 95% dengan plasma
protein. dikabarkan bahwa konsentrasi imatinib plasma yang tidak
kuat merupakan salah satu pemicu munculnya Resistensi terhadap
imatinib. juga dengan kuatnya ikatan antara imatinib dengan
albumin akan menurunkan efek terapeutik obat.
Transcription factors. Jalur transduksi sinyal dalam sel bertindak
dengan cara mengirimkan sinyal ekstraseluler ke faktor transkripsi, yang
menghasilkan perubahan ekspresi gen. Namun, sudah diketahui bahwa
sebagian besar jalur sinyal pada kanker mengalami deregulasi yang
memicu perubahan ekspresi dan fungsi faktor transkripsi. aktifitas
konstitutif dari faktor nuklir kappa B (NFkB) dan inaktifitas faktor forkhead
box O (FoxO) terbukti sangat berperan dalam transformasi karsinogenik.
Oleh sebab itu, memodulasi aktivitas FoxO dan NFkB tampaknya
merupakan strategi terapi yang rasional ,
Genomic analysis. Genomic events yang terkait dengan tanggapan
terapi yang tidak optimal pada CML kurang dipahami. Branford sudah
melakukan exome sequencing, variasi jumlah salinan dan atau RNA-Seq
untuk menemukan mutasi pada saat diagnosa dan CML tahap krisis blastik.
Varian gen kanker terdeteksi pada 15/27 pasien (56%) pada pasien CML-BC
atau yang tanggapan terapi tidak optimal, dan pada 3/19 yang menandakan
tanggapan yang optimal (16%). Gen yang sering bermutasi saat diagnosa
yaitu ASXL1, IKZF1, dan RUNX1. Metiltransferase SETD1B yaitu
gen yang bermutasi berulang baru. Varian baru yang terkait dengan
translokasi Philadelphia yang terdeteksi pada saat diagnosa yaitu
11/46 pasien (24%). Varian ini lebih sering diperoleh pada pasien yang
menandakan tanggapan terapi yang tidak optimal (33%) dibandingkan yang
optimal (11%), P = 0,07. Pada tiga puluh sembilan pasien CML tahap krisis
blastik, semua memiliki varian gen kanker, termasuk mutasi domain ABL1
kinase. analisa genomik mengungkapkan banyak varian yang relevan
pada pasien dengan hasil terapi yang tidak optimal dan semua pasien
CML tahap krisis blastik Pengujian biomarker yang disempurnakan di masa
depan untuk varian khusus kemungkinan akan memberi informasi
prognostik untuk memfasilitasi pendekatan terapeutik yang sesuaikan
dengan faktor risiko yang ada.
Secara biasa hasil pengobatan pasien yang menerima imatinib
sangat luar biasa. Pada observasi selama 8 tahun yang dilakukan oleh
riset IRIS, OS dikabarkan 85% dan kematian terkait CML pada 7%.
Namun, hanya 55% dari mereka yang bisa meneruskan terapi, yang lain
menghentikan terapi sebab intoleransi obat atau progresivitas penyakit.
Dari uji klinis lini pertama lainnya, diperkirakan bahwa 20% hingga 30%
pasien akan mengalami Resistensi terhadap imatinib. Druker dan kawan kawan meneliti bahwa di antara 553 pasien CML yang memperoleh terapi
imatinib dikabarkan 7% pasien progresif menjadi tahap akselerasi atau krisis
blastik. Pasien CML yang menandakan Resistensi imatinib biasanya
memiliki mutasi domain BCR-ABL kinase. dengan direct sequencing menemukan mutasi domain BCR-ABL kinase
hampir selalu berkaitan dengan pasien CML yang mengalami Resistensi
terhadap Imatinib, dan pasien dengan mutasi pada P-loop memiliki
prognosis jelek,
Penelitian 202 pasien CML yang memperoleh
imatinib, 169 dari 201 pasien CML menandakan tanggapan terapi optimal
hanya 7,3%, sedang tanggapan terapi sub optimal sebesar 23,2%. Hal ini
menandakan adanya Resistensi yang tinggi terhadap obat Tyrosin Kinase
Inhibitor (TKI), terutama obat imatinib. Berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan tanggapan terapi atau mengatasi pasien yang resisten TKI,
yaitu peningkatan dosis Imatinib, pemakaian Inhibitor Tirosin Kinase
generasi terbaru berikutnya dan transplantasi sumsum tulang.
Dasar pemikiran untuk peningkatan dosis imatinib yaitu : pengalaman klinis yang
menandakan tanggapan pada tahap I riset 17;
pada CML tahap
akselerasi dosis 600 mg imatinib secara independen terkait dengan waktu
yang secara menonjol menandakan daya tahan hidup lebih baik dibandingkan
dengan dosis 400 mg
overekspresi Bcr-Abl dan amplifikasi BCR-ABL sebagai mekanisme
Resistensi yang dapat diatasi dengan konsentrasi imatinib yang lebih
tinggi;
fakta bahwa beberapa mutasi masih peka terhadap imatinib
pada konsentrasi yang sedikit lebih tinggi;
Pada pasien CML yang gagal terapi atau yang memberi tanggapan yang
suboptimal, dosis imatinib dapat dinaikkan. Di Amerika Serikat, dosis
imatinib dari 400-600 mg/hari dinaikkan hingga dosis 600-800 mg dan
di Uni Eropa, peningkatan 800mg/hari juga sudah disetujui untuk pasien
CML tahap kronis. Dosis imatinib yang dinaikkan sampai 800 mg per hari
sudah memberi hasil yang baik pada beberapa peristiwa yang mengalami
Resistensi primer, walaupun durasinya pendek Dari penelitian IRIS tercatat ada perbaikan menonjol dalam tanggapan
terapi dan peningkatan FFP (Free from Progression Disease) pada pasien yang
sudah memperoleh peningkatan dosis menjadi 600 mg atau 800 mg per hari,
dari dosis standar 400 mg/hari. juga pada pasien yang belum
mencapai CHR dalam 3 bulan, 86% pasien akhirnya menandakan CHR
3 bulan sesudah dosis dinaikkan, dan 29% pasien akhirnya menandakan
CCyR dalam waktu 12 bulan. Pada pasien yang tidak mencapai CyR dalam
12 bulan, 25% mencapai MCyR dalam waktu 12 bulan sesudah dosis imatinib
dinaikkan 50% selama 24 bulan. Dari pasien-pasien ini, 50% mencapai CCyR
hingga 48 bulan. Pada pasien dengan kehilangan MCyR, 50% mencapai
MCyR kembali dalam 12,5 bulan, 33% di antaranya mencapai CCyR. Pada
pasien yang mengalami progresivitas penyakit, 67% menandakan jumlah
leukosit normal. Dari catatan, eskalasi dosis tidak dicoba bagi mereka yang
kehilangan CCyR,meneliti efikasi jangka panjang dosis imatinib yang
dinaikkan dari 400 mg perhari menjadi 600-800 mg per hari sesudah gagal
sitogenetik atau hematologi pada 84 pasien dengan CML tahap kronis (CP CML). sesudah diikuti selama 61 bulan, pada 21 pasien dengan kegagalan
hematologi dikabarkan 48% mencapai CHR, dan hanya 14% yang mencapai
CyR. Pada 63 pasien yang mengalami gagal sitogenetika, 75% menandakan
CCyR; EFS 2 tahun pada 57% peristiwa dan EFS 3 tahun sebesar 47%. Di antara
mereka yang mengalami gagal sitogenetik, dengan meningkatkan dosis
menjadi 600-800 mg ternyata CCyR kedua bisa mencapai 52% dan EFS
2 tahun 88% ,Jadi pada pasien yang sudah mengalami
intoleransi imatinib, meningkatkan dosis imatinib bukanlah strategi yang
tepat.
Uji klinis tentang pemakaian imatinib dosis tinggi pada Resistensi
imatinib dosis standar masih sangat terbatas. Peningkatan dosis imatinib
hingga 600 atau 800 mg/hari memicu CyR pada 19 dari 34 pasien
dengan CP CML yang mengalami Resistensi sitogenetik atau kambuh
jika dosis 400 mg imatinib. Pada suatu riset lainnya, pasien yang
resisten terhadap imatinib diberi dosis dari 300 menjadi 600 mg/hari
atau dari 400 menjadi 800 mg/hari, diperoleh hasil 65% dari 20 pasien
menandakan Resistensi hematologi, dan satu pasien mengalami CyR
parsial. Di antara 34 pasien yang mengalami Resistensi sitogenetik, 56%
mencapai CyR Mayor (MCyR). Suatu penelitian lainnya pada 16 pasien
CML-CP atau CML-AP yang sudah kambuh atau refrakter terhadap
imatinib, dengan peningkatan dosis dari 400 mg menjadi 600 mg/hari
menunjukan hasil CyR minimal, dan lima pasien menandakan tanggapan
sitogenetik (dua CCyR, dua CyRs parsial, dan satu CyR minor).
Pendekatan terapi pasien yang mengalami Resistensi/intoleransi
terhadap imatinib yaitu dengan memakai Tyrosine Kinase Inhibitor
generasi berikutnya, yaitu dasatinib, nilotinib, bosutinib, dan ponatinib
[V, A] . Pemeriksaan sumsum tulang diperlukan pada
saat terjadi gagal terapi yang bertujuan untuk menentukan tahap CML yang
tepat, dan untuk analisa mutasi BCR-ABL1. analisa mutasi diperlukan
pada pasien yang gagal terhadap imatinib atau bahkan yang gagal dengan TKI generasi kedua, atau mereka yang progresif menjadi CML-AP/BP [V,
A]. Terapi lini kedua dengan nilotinib, dasatinib atau bosutinib memberi
.tanggapan e rate yang tinggi pada pasien yang pada awalnya tidak menanggapi
dengan imatinib dosis standar Peningkatan dosis
memang dapat memperbaiki tanggapan terapi, namun terapi dengan TKI lini
kedua tampaknya lebih efektif.
Ponatinib yaitu TKI generasi ketiga pan-BCR-ABL untuk pasien
CML, leukemia limfoblastik akut (ALL) Ph+, pasien CML yang gagal
terhadap imatinib, dasatinib, nilotinib, dan yang menandakan mutasi
T315I yang resisten terhadap imatinib. Selain menghambat BCR-ABL,
ponatinib juga menghambat FLT3, FGFR, VEGFR, PDGFR dan c-Kit
Efek samping ponatinib biasanya dapat
ditoleransi dengan baik. Ponatinib dengan dosis 60 mg, sering terjadi efek
yang tidak diinginkan (≥ 10% derajat berapa pun) berwujud trombositopenia
(24%), sakit kepala (14%), mual mulas perih kembung (14%), artralgia (13%), dan kurang gairah kurang tenaga (13%).
Efek samping lainnya yaitu anemia (11%), peningkatan enzim lipase
(11%), pankreatitis (10%), spasme otot (11%), ruam (11%), dan mialgia (10%)
,Bosutinib dosis 500 mg/hari sudah terbukti memiliki efek terapeutik
kuat terhadap pasien yang mengalami mutasi BCR-ABL1 yang resisten
terhadap dasatinib dan nilotinib. Penelitian tahap II yang bertujuan
mengevaluasi efikasi dan keamanan bosutinib (dosis 500 mg sekali sehari)
pada 288 pasien CML-CP yang resisten atau intoleran terhadap imatinib
mengabarkan bahwa pasien yang mencapai CHR sebanyak 86%, dan yang
mencapai MyR sebesar 53% (41% CCyR), PFS 2 tahun sebesar 79%, dan OS
sebesar 92%. Efek samping Bosutinib biasanya diare, nausea, vomiting,
dan rash. Diare terjadi pada 84% pasien, sekitar 9% diare grade 3. Efek
samping lainnya yaitu myelosupesi ringan dan gangguan fungsi hati
,Omacetaxine atau Homoharringtonine yaitu agen cetaxine pertama
dari golongan alkaloid cephalotax yang diberikan secara subkutan terhadap
pasien CML yang gagal atau intoleran terhadap beberapa inhibitor tirosin
kinase dan yang diperoleh mutasi T315I. Omacetaxine sudah disetujui oleh
FDA pada bulan Oktober 2012 untuk pengobatan pasien CML tahap kronis atau CML tahap akselerasi yang resisten atau yang tidak toleran terhadap
2 TKI atau lebih, berdasar pada 2 penelitian cohort yang sebelumnya
resisten atau intoleran terhadap dasatinib atau nilotinib. Omacetaxine sudah
dievaluasi pada pasien CML Ph+ yang memiliki mutasi T315I dan resisten
terhadap terapi imatinib. Omacetaxine bekerja dengan cara menghambat
sementara pemanjangan protein yang tidak bergantung pada BCR-ABL.
Dengan memblokir fungsi ribosom, menurunkan kadar intraseluler
beberapa protein pengaturan antiapoptotik.
Suatu penelitian tahap 2 dilakukan Cortes dan tim untuk mengetahui
efikasi pemakaian omacetaxine mepesuccinate subkutan pada pasien
yang gagal sesudah TKI failure pada pasien CML-AP yang menandakan
T315I. Pasien memperoleh omacetaxine 1,25 mg/m2/subkutan 2x per hari,
hari 1-14 setiap siklus 28 hari sampai tercapai tanggapan hematologi atau
maksimal 6 siklus, dan diteruskan hari ke 1-7 tiap 28 hari sebagai terapi
pemeliharaan. Hasil penelitian itu mengabarkan bahwa dari 62 pasien
.yang diikutkan, CHR pada 48 pasien (77%) dengan median durasi tanggapan
9,1 bulan. sedang 14 pasien (23%) menandakan MCyR, CCyR 16% dan
.MMR 17%. Median PFS yaitu 7,7 bulan. ESO hematologi Grade 3/4 berwujud
trombositopenia (76%), neutropenia (44%), dan anemia (39%), yang dapat
.ditangani dengan penurunan dosis. ESO Non-hematologi kebanyakan
grade 1/2, yaitu infeksi (42%), diare (40%), dan nausea (34%) Penelitian tahap 2, multicenter, noncomparative, open-label yang
dilakukan oleh Cortes dan kawan-kawan tahun 2003, tentang omacetaxine
mepesucinate subkutan pada 46 pasien CML-CP yang resisten atau tidak
toleran terhadap inhibitor tirosin kinase. Tujuan penelitian ini yaitu
untuk menentukan efikasi dan keamanan omacetaxine mepesucinate
subkutan. Semua pasien yang diikutkan dalam penelitian ini sudah
menerima imatinib, 83% menerima dasatinib, dan 57% nilotinib. tanggapan
Hematologi diperoleh pada 31 pasien (67%); rata-rata durasi tanggapan
sekitar 7,0 bulan. Sepuluh pasien mencapai MCyR (22%), CCyR 2 (4%). Rata rata PFS yaitu 7,0 bulan, dan OS yaitu 30,1 bulan. Toksisitas hematologi
derajat 3/4 berwujud trombositopenia (54%), neutropenia (48%), dan anemia
(33%). Efek samping non-hematologis biasanya grade 1/2, yaitu berwujud diare (44%), mual mulas perih kembung (30%), kurang gairah kurang tenaga (24%), pireksia (20%), sakit kepala (20%),
dan asthenia (20%) ,
Dengan dikenalnya tyrosine kinase inhibitor (TKI), maka pengobatan
CML sudah banyak menggantikan BMT Allogenic. Walaupun tidak lagi
disarankan sebagai pengobatan lini pertama untuk CP-CML,
namun BMT Allogenic masih merupakan terapi pilihan pada pasien
CML tahap krisis blastik, atau pasien-pasien CML yang resisten terhadap
semua jenis TKI yang menandakan mutasi T315I dan mutasi BCR-ABL1
lainnya, pasien CML yang intoleran terhadap semua TKI, dan CML tahap
kronis tertentu
Ponatinib dan omacetaxine efektif pada peristiwa dengan mutasi T315I. The
Center for International Blood and Marrow Transplant Research (CIBMTR)
menyebutkan bahwa terapi TKI pre-transplant juga meningkatkan daya tahan hidup
sesudah transplantasi pada CML-CP. Dalam penelitian lain, tanggapan
sitogenetik mayor atau tanggapan sitogenetik lengkap terhadap terapi TKI
sebelum allo-SCT dikaitkan dengan hasil terapi yang lebih baik. Pilihan
TKI pretransplant untuk CML stadium lanjut masih belum standar, namun
dasatinib dan nilotinib dapat diberikan secara aman sebelum allo-SCT
tanpa berisiko terjadinya peningkatan transplant-related mortality (TRM).
Dengan demikian sangat rasional bila pemakaian TKI untuk mengurangi
tumor burden sebelum allo-SCT pasien CML-AP dan CML-BP ,GVHD sangat terkait dengan efek GVL. Profilaksis GVHD berperan
pada hasil transplantasi. Peran reduksi sel T pada residual penyakit
dan rekurensi CML sudah lama dikenal. Regimen transplantasi yang
memakai antibodi monoklonal alemtuzumab juga dikaitkan dengan
pencegahan terjadinya GVHD. Regimen itu dikaitkan dengan tingkat
kekambuhan yang tinggi namun dapat dikendalikan dengan donor limfosit
dan TKI, yang dapat menjadi adjuvan yang berguna, bahkan pada pasien
yang sebelumnya resisten.
Terdeteksinya BCR-ABL dengan memakai PCR yaitu prediktor
yang lebih dapat diandalkan pada pasien CML tahap akselerasi atau tahap
krisis blastik sesudah transplantasi sebab GVL munculnya
lambat, maka BCR-ABL positif pada beberapa bulan pertama sesudah SCT
bukan merupakan petanda prognosis yang bagus. Namun, pola BCR-ABL
sesudah 6 bulan sesudah transplantasi dapat memprediksi risiko munculnya
kekambuhan. Sebuah riset menandakan bahwa rasio ABL/BCR < 0,1%
yang terjadi hingga 10 tahun sesudah transplantasi berimplikasi pada
terjadinya rendahnya kekambuhan. Dari 52 pasien sesudah transplantasi
dengan rasio BCR/ABL yang rendah, 6 pasien mengalami kekambuhan
namun pada akhirnya PCR menjadi negatif. Dengan penurunan dosis tahap
conditioning (reduced-intensity conditioning = RIC) pada allo-SCT, berakibat
pada masih terdeteksinya transkrip BCR-ABL, dan masih diperlukannya
infus donor limfosit sebagai profilaksis untuk mempertahankan remisi
molekuler lebih lama tanpa memakai TKI. Pemantauan jangka panjang
sesudah transplantasi BCR-ABL diperlukan untuk mengantisipasi pasien
yang kambuhnya lambat. BMT-allogenic dilakukan pada pasien muda (<
55 tahun) yang memiliki HLA yang sesuai dengan HLA donor (HLA-A,
HLA-B, HLA-DR). Bila tidak ada HLA yang sesuai, maka BMT dilakukan
dengan matched unrelated donor. BMT unrelated donor memicu risiko
rejeksi segera atau lambat sebesar 16%, atau pun GVHD akut derajat III-IV
sebesar 50%, dan GVHD kronis sebesar 55%. Pada pasien usia < 30 tahun
BMT unrelated donor memberi OS sekitar 31%-43%, dan 14%-27% pada
pasien yang lebih tua. Angka kematian terkait dengan BMT pasien sibling
donor sekitar 15%, sedang unrelated donor lebih tinggi lagi sekitar
23% ,analisa retrospektif pada 70 pasien CML (40% pada tahap akselerasi
atau krisis blastik) yang memperoleh imatinib sebelum BMT menandakan
engraftment 91% dan perkiraan kematian terkait transplantasi sebesar 40%
dan kematian sebab kambuh dalam 24 bulan sebesar 21%. Komplikasi
GVHD akut sebesar 42% dan GVHD kronis 17%. dikabarkan bahwa
transplantasi alogenik dari donor saudara kandung yang sesuai HLA
memiliki hasil yang lebih baik dari pada transplantasi alogenic dari donor
syngeneic .
sudah banyak penelitian untuk mengetahui peran TKI profilasis
untuk mencegah kekambuhan sesudah transplantasi dilakukan pada
pasien CML risiko tinggi. Beberapa kabar menandakan bahwa TKI
sesudah -transplantasi dini (termasuk TKI generasi kedua) aman untuk CML
tahap kronis namun kurang efektif pada CML tahap akselerasi atau CML tahap
yang lebih lanjut. Pemberian TKI disertai donor infus limfosit tampaknya
aman dan tidak berisiko GVHD.
Relaps CML dapat terjadi hingga dekade kedua sesudah transplantasi
alogenik (allo-SCT). CML yang relaps diterapi dengan transfusi limfosit,
TKI, kemoterapi, dan Transplantasi stemcell allogenic. Kombinasi terapi TKI
dan infuse limfosit dapat memberi 6 tahun daya tahan hidup sesudah transplantasi
sebesar 60%, dan beberapa pasien menjadi bebas TKI.
Kombinasi inhibitor tirosin kinase dengan transplantasi merupakan
strategi baru yang menarik dan dapat memberi usia harapan hidup
yang lebih panjang penelitian secara acak tentang analisa keamanan yang dirancang untuk
mengoptimalkan terapi imatinib dengan kombinasi peningkatan dosis,
dan transplantasi terhadap 84 pasien CML yang menjalani transplantasi,
sesudah gagal terhadap imatinib, dan penyakit stadium lanjut. Kelangsungan
hidup tiga tahun sesudah transplantasi dari 59 pasien CML tahap kronis
yaitu 90% (median follow up 30 bulan). Kematian terkait transplantasi
sekitar 9%. Perbandingan daya tahan hidup pasien CML yang memiliki kecocokan
HLA dengan pasien yang tidak memiliki kecocokan HLA tidak berbeda.
Kelangsungan hidup tiga tahun sesudah transplantasi pada 29 pasien CML
tahap akselerasi atau krisis blastik yaitu 54%. 85% pasien yang menjalani transplantasi mencapai remisi molekuler
lengkap. Disimpulkan bahwa allo SCT yang memiliki kecocokan donor
dapat menjadi pilihan kedua sesudah gagal terhadap imatinib
leukemia 2
Reviewed by bayi
on
April 21, 2022
Rating:
About
LINK VIDEO