leukemia 2

























halaman  2


Sebagian besar kabar  tentang efek imatinib terhadap fertilitas 
kita  masih berwujud  kabar  peristiwa  yang potensial memicu  
gangguan spermatogenesis akibat imatinib. Pada peristiwa  pertama,   
pasien berusia 19 tahun dengan diagnosa  sindrom hypereosinophilic yang 
memperoleh  imatinib dosis makin naik mulai 400 mg sampai 800 mg per hari, hasil analisa  semen sesudah  15 bulan terapi imatinib menandakan  
oligospermia (volume 2,5 ml; jumlah sperma, <1.000.000 per mililiter, 27% 
menandakan  motilitas rendah dan 74% imotilitas total). Pada peristiwa  serupa 
lainnya juga pada lakilaki  berusia 19 tahun dari analisa  semen menandakan  
oligozoospermia berat sesudah  pemberian imatinib jangka lama sebelum 
pubertas , terjadi penurunan  
menonjol  dari testosteron serum dan peningkatan yang menonjol  dari 
luteinizing hormone (LH) dan kadar FSH pada 34 pasien baru CML BCR ABL-positif yang memperoleh  imatinib 6 bulan terapi.   bahwa 
paparan imatinib memicu  penurunan kadar testosteron pada pasien 
CML dewasa jauh lebih awal dibandingkan dengan kabar  sebelumnya 
, hasil penelitian  terhadap 16  kehamilan yang memakai imatinib saat pembuahan. Dari 9 hasil yang diketahui, 2 kehamilan berakhir dengan aborsi, 3  kematian 
dalam kandungan pada 14  minggu usia kehamilan dan 4 kehamilan 
melahirkan 2 bayi normal ,Data tentang dampak imatinib pada kesuburan perempuan  terbatas pada 
beberapa kabar  peristiwa .  publikasi yang mengabarkan  terjadinya 
kegagalan fungsi ovarium pada perempuan  CML yang berusia 20 tahun 
yang memperoleh  imatinib 2 tahun , kabar  
peristiwa  lain pada perempuan  Asia berusia 19 tahun menandakan  rendahnya 
tanggapan  ovarium terhadap gonadotropin saat memakai  imatinib, dan 
tanggapan  ovarium kembali normal sesudah  imatinib dihentikan,Ada  kabar  tentang perempuan  hamil saat memakai  imatinib namun  menghentikan pengobatan pada trimester pertama atau 
tetap memakai  imatinib selama kehamilan. ada yang 
mengabarkan  kehamilan sampai melahirkan dengan selamat.  pertama kali mempublikasikan evaluasi 21  
kehamilan yang menerima imatinib. walau  5 kehamilan terjadi aborsi 
spontan dan 1 kehamilan menghentikan terapi imatinib, 13 kehamilan 
melahirkan dengan normal,  pasien CML yang hamil saat 
memperoleh  TKI. 8 pasangan suami istri, sang suami yang menerima 
imatinib, semuanya melahirkan bayi 3  yang sehat. Di antara  20  pasangan, 
si ibu yang menerima imatinib, 8 kehamilan berakhir dengan aborsi elektif; 
3 kehamilan terjadi aborsi spontan dan 7 kehamilan sampai aterm, dan 
 melahirkan 8 bayi yang sehat, memiliki perkembangbiakan  dan perkembangan 
yang normal , peneliti menyarankan tindakan 
pencegahan khusus untuk pasien perempuan  yang menerima imatinib dengan 
memakai  kontrasepsi yang memadai. Sebuah riset  baru-baru ini 
mengabarkan  bahwa enam dari 29 kehamilan di antara pasien perempuan  dengan 
CML yang menerima imatinib terjadi efek samping , penelitian  untuk 
mengetahui efek imatinib pada 190 perempuan  yang menerima imatinib 
selama kehamilan. Data hasil yang tersedia yaitu  100 perempuan  hamil. 
Dari jumlah itu , 50% melahirkan bayi yang sehat, 28% perempuan  hamil 
memilih milih  terminasi (tiga bayi teridentifikasi diperoleh  kelainan) dan 14% 
mengalami keguguran.  total 12 bayi teridentifikasi kelainan, 3 di 
antaranya memiliki malformasi kompleks, berwujud  exencephaly, encephalocele
dan kelainan bentuk tulang tengkorak. Temuan ini memicu
kekhawatiran keamanan akibat pemakaian  imatinib selama kehamilan 
perempuan  hamil saat memakai  imatinib. Dari jumlah itu , 
100 perempuan  meneruskan  kehamilan mereka sampai cukup bulan. Enam 
puluh dua di antara mereka tidak diketahui pada akhirnya. Di antara 
109 kehamilan yang diketahui, (33%) muncul  komplikasi, yaitu aborsi 
spontan pada 24 pasien, lahir mati pada 1 pasien, malformasi pada 9 pasien 
dan berat badan lahir rendah pada 2 pasien ,Kejadian CML yang bersamaan dengan kehamilan sangat jarang, 
diperkirakan 1-2/100.000 kehamilan , diagnosa  
CML selama kehamilan sebagian besar diketahui pada saat kehamilan 
trimester kedua atau ketiga sebab  gejala awal tidak khusus . 
Faktor terpenting dalam tata laksana CML pada masa kehamilan 
yaitu  waktu diagnosa , toleransi klinis terhadap penyakit, dan efek 
samping obat terhadap ibu dan anaknya. Pengobatan CML selama 
kehamilan memicu  dilema terhadap si ibu maupun janin, bisa efek 
langsung berwujud  teratogenik; ataupun efek lambat yang jarang, yaitu 
gangguan gonad dan endokrinologis serta gangguan perkembangbiakan  
dan perkembangan sistem saraf pusat. Risiko ini khususnya bisa pada 
kehamilan trimester pertama yang memperoleh  kemoterapi. CML sendiri 
yang terjadi saat kehamilan ada risiko terjadi leukostasis dan insufisiensi 
plasenta dengan konsekuensi berat bayi lahir rendah, kelahiran prematur 
dan peningkatan mortalitas z
Pye dan kawan-kawan, mengabarkan  bahwa imatinib selama 
kehamilan dapat memicu  peningkatan risiko kelainan janin yang 
 serius atau aborsi spontan. Melihat risiko dan manfaatnya, maka harus 
hati-hati sebelum memulai pengobatan selama kehamilan, terutama 
trimester pertama ,
Pye dan kawan-kawan, menyampaikan bahwa perempuan  yang berpotensi 
hamil harus memakai  kontrasepsi yang memadai saat memakai  
imatinib. Imatinib harus dihindari dalam kehamilan kecuali pada peristiwa  
kehamilan yang tidak disengaja atau direncanakan hamil, evaluasi risiko/
manfaat harus dilakukan secara pasien al
Pada tikus betina yang diberi imatinib dengan dosis 100 mg/kg, 
diperoleh  konsentrasi imatinib dan metabolit aktifnya 3 kali lebih 
banyak dalam air susu dibandingkan  dalam plasma. Pada perempuan  laktasi yang 
memakai  terapi TKI disarankan untuk tidak menyusui, sebab  
TKI akan diekskresikan ke dalam ASI sekitar 1 % dari dosis 
 hanya ada beberapa penelitian tentang pemakaian  
dasatinib, nilotinib, dan bosutinib pada kehamilan   hasil 
penelitiannya pada 19 pasien hamil (8 perempuan  hamil yang memperoleh  terapi 
dasatinib dan 8 perempuan  hamil yang suaminya yang menerima dasatinib 
sebab  CML). Dari delapan perempuan yang hamil saat memperoleh  terapi 
dasatinib, tiga di antaranya mengalami aborsi terapeutik, dua perempuan  
hamil terjadi aborsi spontan, dan tiga perempuan  sisanya melahirkan bayi 
yang viabel  3 perempuan  hamil trimester 
pertama saat menerima pengobatan nilotinib. 3 perempuan  hamil itu  
melahirkan tanpa komplikasi obstetrik atau anomali struktural neonatus. 
perkembangbiakan  dan perkembangan kedua bayinya dikabarkan  normal 
,Bosutinib merupakan TKI yang relatif baru, yang bekerja 
sebagai inhibitor dual kinase dari autofosforilasi ABL dan Src kinase. 
Mekanisme kerja dengan cara menghambat perkembangbiakan  sel tidaknormal  
dan mempromosikan apoptosis. Bosutinib juga menandakan  remisi 
sitogenetik dan molekuler yang menonjol  dengan efek samping minimal 
 terapi CML pada kehamilan tergantung pada saat 
diagnosa  CML dipastikan.
a. Pada peristiwa  CML yang diketahui secara insidental selama pemeriksaan 
darah rutin selama kehamilan, ada beberapa opsi pendekatan terapi 
berikut ini.
-- Busulphan. Busulphan jarang dipakai  dalam pengelolaan 
CML dalam tahap  kronis dan harus dihindari pada kehamilan 
-- Leukapheresis. Leukapheresis sebagai satu-satunya yang 
dipakai  untuk CML pada kehamilan tanpa efek samping 
pada pasien dan janin 
--  Transplantasi sel induk. Transplantasi sel induk alogenik 
merupakan kontraindikasi selama kehamilan.
-- iInterferon-alfa. Sampai saat ini belum ada kabar  mengenai efek 
teratogenik interferon, sehingga interferon itu  dianggap 
sebagai obat yang aman selama kehamilan. IFN-α untuk CML 
pada kehamilan disetujui FDA sebagai kategori C. Dosis IFN-α
3–6 juta unit setiap hari sampai 5–8 juta unit setiap hari. Namun 
tidak ada data tentang keamanan IFN selama menyusui dan 
tidak diketahui apakah ada komponen obat yang diekskresikan 
dalam ASI 
-- Hidroksiurea. Hidroksiurea merupakan obat sitotoksik 
yang menghambat sintesis DNA dengan mengurangi 
produksi deoksiribonukleotida melalui penghambatan enzim 
ribonukleotida reduktase. Hidroksiurea dianggap aman selama 
kehamilan dan diekskresikan ke dalam ASI 
b. Kehamilan yang diketahui sesudah  diagnosa nya pasti dan sesudah  
pengobatan CML.
Maka pilihan yang harus diputuskan yaitu  sebagai berikut: 
---Menghentikan imatinib dan memantau  dengan cermat 
terjadinya kekambuhan hematologis dan sitogenetik. bahwa imatinib dapat dihentikan 
bila sudah mencapai remisi molekuler lengkap (penurunan > 5 log BCR-ABL dan transkrip tidak terdeteksi secara PCR
kuantitatif) selama minimal 2 tahun.  mensyaratkan Imatinib dihentikan bila tercapai 
tanggapan  sitogenetik lengkap (CCyR) atau CMR, dan imatinib 
diberikan lagi jika terjadi kekambuhan hematologis, sitogenetik 
atau molekuler Jika terjadi relaps pada trimester 
pertama kehamilan maka leukapheresis dilakukan secara rutin 
sampai akhir trimester pertama, sedang  pada kehamilan 
trimester kedua dan ketiga dipertimbangkan leukapheresis/
IFN-α atau kombinasi keduanya. Untuk sepasien  perempuan  yang 
sudah  mencapai CMR selama minimal 2 tahun, TKI dapat 
dihentikan sebelum terjadi konsepsi yang direncanakan. Pasien 
juga harus diedukasi tentang risiko dan manfaat menghentikan 
TKI sebelum konsepsi. Pasien harus secara teratur dilakukan 
pemeriksaan darah dan BCR ABL kuantitatif. Jika pasien terus 
berada dalam CMR/CCyR, maka diikuti sampai melahirkan. 
Jika terjadi lost of CMR maka dilakukan leukapheresis pada 
trimester pertama dan pada trimester kedua dan ketiga dapat 
dipertimbangkan IFN-α, leukapheresis atau keduanya.
---Tetap meneruskan  imatinib dan kehamilan dipantau dengan 
ketat, dipertimbangkan terminasi jika diperoleh  kelainan janin 
secara kelainan menonjol . 
c. Pada pasien CML yang merencanakan kehamilan, maka diberikan 
pilihan berikut ini.
---Untuk pasien sudah memakai  Imatinib. Imatinib 
dihentikan hanya untuk perempuan  yang sudah  mencapai tanggapan  
molekuler yang optimal sebelum direncanakan konsepsi. 
  CMR minimal selama 2 tahun 
merupakan waktu yang relatif aman untuk penghentian imatinib 
 bahwa pasien dalam 
kondisi  CCyR dan MMR, masih bisa menghentikan imatinib untuk periode waktu yang memungkinkan sehingga anak tanpa 
terpapar obat  Jika pasien tidak dalam kondisi 
CCyR/CMR, maka penghentian TKI dapat memicu  relaps 
sitogenetik atau hematologis 
Sampai saat ini belum ada konsensus bagaimana manajemen CML 
pada situasi kehamilan. berdasar  beberapa literatur diusulkan alur 
,Untuk pasien hamil yang menderita CML tahap  kronis, tidak diperlukan 
pengobatan jika jumlah sel putih tetap di bawah 100 x 109/L dan jumlah 
trombosit kurang dari 500 x 109/L. sedang  bila perempuan  hamil mengalami 
CML AP atau CML tahap  krisis blastik harus segera mulai terapi dengan 
kemoterapi. Pada trimester akhir, jika memungkinkan maka terminasi 
harus segera dipertimbangkan. Penghentian imatinib sementara harus 
dipertimbangkan selama trimester pertama. Terminasi kehamilan dianggap 
aman bagi ibu saat  CML terdiagnosa  pada saat trimester pertama. jika  
pasien CML sudah dalam terapi TKI dan sedang hamil, TKI dapat dihentikan 
jika sudah dalam kondisi  CMR selama minimal 2 tahun. Pasien harus 
diberitahu tentang risiko menghentikan TKI dan manfaat pemeriksaan darah 
lengkap dan BCR-ABL PCR kuantitatif secara teratur. jika  tanggapan  terapi 
menandakan  CMR/CCyR, pasien diikuti sampai melahirkan. Jika terjadi 
kekambuhan maka dilakukan leukaferesis sampai kehamilan mencapai 
akhir trimester pertama dan jika  sudah masuk trimester kedua dan ketiga 
kehamilan dipertimbangkan tindakan leukaferesis/IFN-α, atau kombinasi 
leukapheresis dan IFN-α. Leukaferesis berisiko  minimal pada 
janin. Sampai saat ini belum ada yang menyarankan  lekosit berapa 
leukaferesis dilakukan ,Keterlibatan okular yang terbukti secara klinis sering terjadi pada 
pasien dengan leukemia, sekitar 50% terjadi pada saat terdiagnosa . Namun, 
sebagian besar asimtomatik ,
bahwa hanya 9% dari pasien CML yang datang dengan gejala mata 
pada saat diagnosa  awal. Keterlibatan saraf optik biasanya mengarah 
pada kehilangan penglihatan yang relatif cepat dan berpotensi ireversibel 
 Keterlibatan okuler sering terlihat 
pada leukemia akut dibandingkan  pada leukemia kronis. Pemeriksaan fundus 
okular merupakan pemeriksaan yang tidak patognomonik untuk CML 
sebab  kelainan yang ditemukan bisa diperoleh  pada berbagai penyakit 
lokal dan sistemik yang mengikutsertakan  mata ,Keterlibatan yang utama akibat CML yaitu  infiltrasi leukemia 
langsung jaringan okular dan retinopati sekunder akibat leukemia 
yang merupakan komplikasi hematologi leukemia seperti anemia dan 
hiperviskositas,  contoh nya perdarahan retina, cotton wool spots. Manifestasi 
oftalmik leukemia, dibagi menjadi: 
Primer: infiltrasi langsung dari sel-sel neoplastik
Sekunder: keterlibatan tidak langsung dari sel non-viable atau sel 
displastik, akibat kemoterapi, maupun terapi imunosupresan.
---Untuk pasien yang belum memakai  Imatinib. Untuk 
CML tahap  kronis, pasien pra-pubertas harus diedukasi tentang 
risiko dan manfaat TKI, efek terhadap kesuburan, dan kapan 
mulai pemakaian  TKI. Semua pasien sesudah  pubertas yang baru 
didiagnosa  juga harus diberi edukasi tentang efek TKI pada 
kesuburan dan kehamilan dan juga ditawarkan kriopreservasi 
sperma/oosit sebelum memulai TKI. 
Keterlibatan retina pada CML hanya beberapa peristiwa  yang sudah  
dikabarkan  terjadinya retinopati pada saat CML terdiagnosa  mungkin tidak 
mempengaruhi  prognosis pasien ini, walau  ini   dapat 
berakibat buruk pada mata jika tidak diatasi  dengan tepat  Keterlibatan retina secara primer diakibatkan oleh infiltrasi 
sel-sel ganas, dan sekunder diakibatkan oleh anemia dan hiperviskositas. 
Pada peristiwa  ALL yang mengalami kekambuhan, terjadi angiopati difus 
retina unilateral, sedang  pada pasien CML tampak beberapa nodul 
difus berwarna abu-abu dengan berbagai ukuran. Retinopati leukemia 
lebih menandakan  gambaran klinis di retina yang diakibatkan oleh 
anemia, trombositopenia dan hiperviskositas, dibandingkan  akibat infiltrasi 
leukemia. 
Manifestasi sering  yaitu  pelebaran vena dan tortuositas. 
Perdarahan retina  terjadi pada semua 
tingkat, biasanya di pole posterior dan dapat disertai adanya sel leukemia pada area white centre, agregasi trombosit-fibrin, atau septik emboli. Selain 
itu, cotton wool spot dapat menjadi tanda bahwa adanya leukemia.  bahwa pada saat terdiagnosa  leukemia, maka 20 % 
akan mengalami perdarahan intraretinal, 19% mengalami perdarahan 
retina, dan 19% ada  gambaran seperti cotton wool spot.

Segmen anterior jarang terkena pada leukemia, namun  manifestasi 
pada lokasi ini dapat memicu  kekambuhan. Kelainan vena berbentuk 
koma pada konjungtiva segmen anterior akibat hiperviskositas 
Membran pembatas internal (inner limiting membrane)   
berfungsi sebagai penghalang infiltrasi sel leukemia, namun sel-sel 
leukemia masih mampu masuk ke vitreous melalui neovaskularisasi 
diskus optikus dan perdarahan vitreous, sehingga sel-sel ganas dapat 
masuk ke rongga vitreous. Leukemia dan kemoterapi dapat memicu  
tanggapan  imun melemah dan mempermudah infeksi oportunistik. Infeksi 
yang biasa terjadi yaitu  jamur (Candida dan Aspergillus), bakteri, virus 
(CMV, varicella, zoster, herpes simplex, mumps) dan protozoa. Virus yang 
sudah  dikabarkan  menginvasi retina yaitu  HSV, VZV, dan CMV dapat 
memicu  nekrosis retinitis dan pelepasan retina. Mumps virus sudah  
terbukti memicu  uveitis granulomatosa ,TKI yang tersedia sebagai lini pertama untuk terapi CML tahap  kronis 
yaitu  imatinib 400-800 mg/hari, nilotinib 300 mg dua kali sehari atau 
dasatinib 100 mg/hari. Pemilihan TKI harus didasarkan pada tujuan 
pengobatan, usia, komorbiditas dan harus mempertimbangkan efek 
samping dari obat. Sebelum menentukan jenis terapi lini pertama, tujuan 
terapi harus didiskusikan dengan pasien dan keluarganya. Ketiga TKI 
itu  merupakan terapi lini pertama, dengan tingkat daya tahan hidup  yang sama 
(I, A). Namun, kemungkinan untuk mencapai Deep Molecular Remission
(DMR) lebih tinggi dengan terapi dasatinib dan nilotinib dibandingkan 
dengan imatinib [V, C]. Hal ini dipakai  pada perempuan  muda yang 
merencanakan untuk hamil. Risiko transformasi ke AP dan BP lebih 
rendah pada pasien dengan Sokal sedang atau tinggi, bila memakai  
dasatinib atau nilotinib [I, A]. 
Imatinib generik relatif lebih murah, dan memberi profil keamanan, 
khususnya pada pasien usia lanjut  pasien yang memperoleh  dosis lebih tinggi dari 800 mg/hari bisa 
mencapai DMR lebih cepat dibandingkan yang memperoleh  dosis 
standar  Uji meta analisa  menyimpulkan bahwa dengan dosis lebih tinggi bisa mencapai 
Major Molecular tanggapan e (MMR) pada 13 bulan pengobatan ,Strategi lini pertama lainnya yaitu  kombinasi TKI dengan IFN-α. 
Penelitian  terhadap pasien CML-CP mengabarkan  bahwa 
golongan  imatinib 400mg/hari plus PEG-IFNα menandakan  MMR dan 
DMR lebih tinggi  Dasatinib merupakan TKI 
multikinase generasi kedua, yang memiliki  kekuatan 200 kali lebih kuat dari pada imatinib, dengan dosis awal 100 mg sehari sekali. Nilotinib 
yaitu  TKI yang berstruktur  yang analog dengan imatinib yang 
memiliki  kekuatan 10-30 kali lebih kuat dari imatinib secara in vitro. 
Dalam riset  praklinis, nilotinib efektif terhadap CML yang mengalami 
32 dari 33 mutasi bcr-abl yang resisten terhadap imatinib. Namun tidak 
efektif terhadap mutasi T3151. Nilotinib lebih unggul dibandingkan  imatinib 
pada CML semua kategori skor Sokal dalam hal CCyR dan MMR ,
Komorbiditas yaitu  pemicu  utama kematian pada pasien CML 
dan dapat diperburuk oleh efek samping obat yang tidak diinginkan. 
Sehingga usia pasien, komorbiditas dan profil toksisitas TKI khusus  harus 
dipertimbangkan [V, B]. Masing-masing TKI memiliki profil toksisitas 
yang berbeda yang harus dipertimbangkan saat  memutuskan terapi. 
Keamanan dan tolerabilitas yaitu  pertimbangan penting dalam memilih milih  
inhibitor tirosine kinase. Efek samping pada setiap kondisi pasien yang 
 sudah ada sebelumnya juga harus dipertimbangkan dalam memilih milih  
inhibitor generasi kedua. Sebagai contoh bahwa Efusi pleura lebih sering 
terjadi pada pasien yang menerima terapi dasatinib. Oleh sebab  itu pasien 
dengan faktor risiko adanya efusi pleura, atau penyakit paru obstruktif 
kronis (PPOK) lebih besar terjadi komplikasi ini pada terapi dengan 
Dasatinib. 
Untuk pasien yang berisiko terjadi efusi pleura maka dasatinib 
harus dihindari. Hipertensi arteri pulmonal (PAH) yaitu  komplikasi 
dasatinib yang jarang, dan pasien yang pernah mengalami PAH sebaiknya 
dipertimbangkan untuk memakai  TKI lini pertama lainnya. Imatinib 
sebagian besar memicu  efek samping yang menetap namun  sebagian 
besar ringan sampai sedang secara menonjol  pada kualitas hidup  Termasuk penambahan berat badan, kurang gairah kurang tenaga , edema perifer dan 
periorbital, nyeri tulang dan otot, mual mulas perih kembung , dan lain-lain. Semua TKI yang 
tersedia dapat memperpanjang interval QT; dengan demikian, kalium dan 
magnesium harus cukup sebelum memulai terapi [V, B]. 
Salah satu efek samping nilotinib adanya peningkatan risiko 
pankreatitis atau terjadi pemanjangan QT interval. Sehingga pasien 
dengan riwayat pankreatitis berat, pemberian nilotinib harus dipantau 
ketat , juga sebelum pemberian Nilotinib, EKG pasien diperiksa lalu   data mutasi  mampu membantu  
dalam memilih milih  TKI generasi kedua yang tepat, sebab  mutasi tertentu 
resisten terhadap obat tertentu (Branford et al., 2009).
Dasatinib juga menghambat fungsi trombosit, dan pasien yang secara 
bersamaan memakai  antikoagulan berisiko lebih tinggi terjadi 
komplikasi perdarahan [V, B]. Nilotinib memicu  hiperglikemia, harus 
hati-hati bila diberikan pada pasien diabetes melitus (DM) yang belum 
terkendali. Nilotinib juga sudah  dikaitkan dengan kejadian vaskular dan 
vasooklusif vaskular, seperti penyakit jantung iskemik, serebrovaskular 
iskemik, dan penyakit oklusif area  perifer [I, C].
Hydroxyurea (40 mg/kg berat badan/hari) dipakai  sebagai 
terapi awal pada saat BCR–ABL1 belum bisa diperiksa, untuk mencegah 
penyulit akibat lekositosis atau terjadinya lekostasis. jika  BCR ABL sudah ada maka TKI harus segera diberikan dan Hydroxyurea 
segera ditappering sebelum dihentikan. Untuk menghindari terjadinya 
sindroma tumor lisis, maka kebutuhan cairan disarankan 2,5–3L per 
hari dengan mempertimbangkan performa jantung dan ginjal. Sodium 
bicarbonat diberikan dengan mempertahankan pH urine 6,4–6,8 untuk 
mengoptimalkan bersihan asam urat. Allopurinol bisa diberikan 
meningkatkan risiko akumulasi xanthine pada gagal ginjal, dan sebaiknya 
dibatasi pada pasien yang memberi  gejala hiperurisemia. Pilihan untuk 
mengganti TKI, sangat tergantung pada tanggapan , yaitu tingkat tanggapan  
sitogenetik, tanggapan  molekuler dan pada deteksi mutasi domain BCR-ABL1 
kinase. Hochhaus dan rekannya dalam riset nya tentang mutasi khusus  
domain kinase BCR-ABL yang diidentifikasi sesudah  terapi TKI mengabarkan  
bahwa kegagalan terapi dasatinib lebih sering dikaitkan dengan mutasi 
pada V299 dan F317, sementara Resistensi nilotinib dikaitkan dengan 
mutasi pada P-loop, terutama pada Y253 dan E255, atau pada residu F311 
atau F359 ,
Efek hasil terapi merupakan target yang diinginkan dalam setiap 
pengobatan. Pemantauan terhadap efek keganasan, gejala, dan komplikasi 
dapat diperoleh secara subjektif maupun objektif. Informasi subjektif yang 
didapat dari pasien maupun keluarga pasien sangat tergantung pada latar 
belakang  kepribadiannya. Data secara objektif dapat diperoleh dengan 
memakai parameter yang sudah standar. Untuk keganasan darah yang 
tidak bisa dilihat secara langsung, maka tanggapan  terapi bisa diperoleh 
berdasar  data-data dari laboratorium atau radiologis 
Penilaian reguler pasien CML yaitu  untuk mendata  sedini 
mungkin hasil pengobatan yang tidak menandakan  tanggapan  optimal 
sehingga dicarikan strategi pengobatan alternatif. Dalam menentukan 
hasil pengobatan terhadap tumor solid maupun pada keganasan darah, 
biasanya meliputi 2 hal, yaitu efek terhadap tumor atau penyakit 
primernya, gejala klinis  yang dimuncul kan, komplikasi  , 
serta efek terhadap daya tahan hidup Penilaian tanggapan  molekuler merupakan komponen 
penting dalam tata laksana CML. 

tanggapan  terapi dan deteksi sedini mungkin munculnya  kekambuhan 
merupakan salah satu strategi dalam penatalaksanaan CML. Ada 3 kriteria 
tanggapan  terapi untuk mengevalusi hasil terapi pada CML, yaitu tanggapan  
Hematologi, tanggapan  Sitogenetik, dan tanggapan  Molekuler ,
 kriteria tanggapan  terapi menurut guide line ESMO 2017 : 

a. tanggapan  Hematologi
tanggapan  hematologi dapat ditentukan sesudah  4 minggu pengobatan 
dengan melakukan evaluasi darah lengkap dan hapusan darah tepi 
setiap 2 minggu sejak pengobatan dimulai. Complete Hematologic 
tanggapan e (CHR) atau tanggapan  Lengkap Hematologi, jika  secara 
hematologis jumlah leukosit < 10 x 109/L dengan hitung jenis leukosit 
normal, jumlah trombosit < 10 x 109/L, basofil < 5%, tidak diperoleh  sel 
muda dan promyelosit pada darah tepi, dan tanpa gejala dan tanda-tanda 
penyakit. 

b. tanggapan  Sitogenetik
tanggapan  sitogenetik yaitu  tanggapan  terapi untuk menentukan residual 
kromosom Philadelphia yang dilakukan dengan cara karyotiping minimal 
20 metafase   dari sel lekosit cairan sumsum tulang yang diambil dengan 
cara aspirasi bone marrow. Pemeriksaan sitogenetik dilakukan sesudah  6 
bulan pengobatan . tanggapan  sitogenetik dibedakan menjadi 5 
tanggapan  sebagai berikut:
--Minimal Cytogenetic tanggapan e (Minimal CyR)
 Minimal Cytogenetic tanggapan e atau tanggapan  sitogenetik 
minimal, jika  masih diperoleh  kromosom Ph 66%–95% dari 
20 metafase  .
-- No Cytogenetic tanggapan e (NoCyR) 
 No Cytogenetic tanggapan  jika  masih diperoleh  kromosom Ph > 95% 
dari 20 metafase  .
-- Complete Cytogenetic tanggapan e (Complete CyR)
 Complete Cytogenetic tanggapan e atau tanggapan  sitogenetik lengkap, jika  
tidak diperoleh  kromosom Ph dari 20 metafase   dengan metode 
"chromosome banding analysis" atau tidak diperoleh  kromosom Ph 
dengan metode FISH (Fluorescence in situ hybridization). 
-- Partial Cytogenetic tanggapan e (Partial CyR)
 Partial Cytogenetic tanggapan e atau tanggapan  parsial, jika  masih 
diperoleh  kromosom Ph 1%-35% dari 20 metafase  .
-- Minor Cytogenetic tanggapan e (Minor CyR)
 Minor Cytogenetic tanggapan e atau tanggapan  Sitogenetik Minor, jika  
masih diperoleh  kromosom Ph > 36%-65% dari 20 metafase  . 

c. tanggapan  Molekuler
tanggapan  molekuler merupakan tolok ukur untuk mengetahui tanggapan  
pengobatan secara molekuler dengan mengukur jumlah transkrip BCR 
ABL dengan pemeriksaan PCR kuantitatif (RT-PCR). Pemeriksaan ini 
dilakukan dengan mengambil darah pada buffycoat untuk mengukur 
transkrip BCR-ABL, yang dinyatakan sebagai BCR-ABL dengan Skala 
Internasional (IS). Pemantauan harus dilakukan setiap 3 bulan sampai 
tercapai MMR , Pemeriksaan molekuler ini merupakan teknik 
pemantauan yang paling peka , dengan demikian bisa mendeteksi tanda tanda resisten obat lebih awal.

--- Early Molecular tanggapan e (EMR)
 Early Molecular tanggapan e atau tanggapan  Molekular Dini (RMD), 
jika  BCR-ABL< 10% (IS) pada 3 bulan terapi dengan imatinib 
Kegagalan mencapai RMD dihubungkan dengan 
risiko terjadinya progresivitas dan daya tahan hidup  yang rendah. Pasien yang 
memperoleh  imatinib 400 mg, nilotinib 2 x 300 mg maupun nilotinib 2 x 
400 mg dengan penghentian dosis ≥ 5 hari berturutan memicu  
kegagalan RMD lebih besar menguji 15 dari 16 riset  bahwa 
pencapaian RMD juga berkaitan OS dan PFS yang lebih panjang. 
RMD juga berkaitan kemungkinan peningkatan MMR dan tanggapan  
molekular dalam seperti MR4.5 (BCR-ABL ≤ 0,0032%, penurunan 4,5 
log) ,  
pencapaian RMD juga berkaitan OS dan PFS yang lebih tinggi. RMD 
juga berkaitan kemungkinan peningkatan MMR dan tanggapan  molekular 
dalam seperti MR4.5 (BCR-ABL ≤ 0,0032%, penurunan 4,5 log) 

---  Complete Molecular tanggapan e (CMR)
 Complete Molecular tanggapan e atau tanggapan  Molekuler Lengkap, jika  
konsentrasi transkrip BCR-ABL tidak dapat terdeteksi dengan metode 
RQ-PCR.
--- Major Molecular tanggapan e (MMR) 
 Major Molecular tanggapan e atau tanggapan  Molekuler Mayor atau 
MR3, jika  BCR-ABL< 0,1% (IS) atau bila terjadi penurunan BCR ABL1mRNA 3-log, setara dengan 109 sel leukemia. 
--- Deep Molecular tanggapan e4 
 Deep Molecular tanggapan e4, jika  BCR-ABL1 ≤ 0,01% IS atau BCR-ABL 
tidak terdeteksi minimal 10.000 ABL atau 24.000 GUS transcripts.
--- Deep Molecular tanggapan e4,5 
 Deep Molecular tanggapan e4,5, jika  BCR-ABL1 ≤ 0,0032% IS atau 
BCR-ABL tidak terdeteksi minimal 32.000 ABL atau 77.000 GUS 
transcripts.



Untuk menilai efek pengobatan maka dilakukan pemeriksaan darah 
lengkap dan hapusan darah tepi setiap 2 minggu, sampai tercapai tanggapan  
hematologi lengkap yang lalu   tiap 3 bulan 
Pemantauan hasil terapi terhadap TKI disarankan  sesuai 
guideline National Comprehensive Cancer Network (NCCN), European 
LeukemiaNet (ELN), dan European Society of Medical Oncology (ESMO) 
meliputi : qPCR BCR ABL sesuai International Scale (IS),Sitogenetik bone marrow
,

NCCN menyarankan  pemeriksaan qPCR untuk menentukan 
milestone tanggapan  molekuler dalam 3 bulan pertama terapi, yaitu transkrip 
BCR-ABL tercapai ≤ 10%. pencapaian ini untuk menentukan apakah dosis 
tetap atau dosis dinaikkan atau bahkan diganti dengan TKI lainnya. 
jika  dalam evaluasi tiap 3 bulanan berikutnya tercapai transkrip 
BCR-ABL (IS) ≤ 1%, maka pemeriksaan diteruskan  sampai 2 tahun dan 
diperpanjang 3-6 bulan sesudah nya. jika  terjadi peningkatan BCR-ABL 
1 log, sebaiknya dilakukan ulangan QPCR 1-3 bulan.
Menurut guideline NCCN 2019:
-- Pemeriksaan analisa  mutasi domain BCR-ABL, yaitu pada saat 
gagal mencapai tanggapan  milestone, relaps hematologi atau sitologi, 
peningkatan 1 log kadar BCR-ABL serta hilangnya MMR dan pada 
saat progresi ke tahap  akselerasi atau krisis blas.
--Pemeriksaan sitogenetik sumsum tulang dilaksanakan pada 
saat diagnosa , gagal mencapai tanggapan  milestone dan saat relaps 
hematologi atau sitogenetik 
--Pemeriksaan PCR kuantitatif pada saat diagnosa ; setiap 3 bulan 
sesudah  terapi awal dan sesudah  kadar BCR-ABL ≤ 1% tercapai dilakukan pemeriksaan setiap 3 bulan selama 2 tahun dan setiap 3-6 
bulan sesudahnya; jika ada  peningkatan 1 log kadar BCR-ABL
dari MMR, pemeriksaan PCR kuantitatif diulang dalam 1-3 bulan



b. European LeukemiaNet 2013
Menurut guideline European LeukemiaNet, dilakukan evaluasi 
kromosom Ph dan transkrip BCR-ABL setiap 3 bulan, sesuai target tanggapan  
terapi yang optimal. dinamakan  sebagai tanggapan  terapi yang optimal bila 
: Dalam 12 bulan pertama kadar transkrip BCR-ABL1 ≤ 0.1% (MMR). 
Dalam pemeriksaan 3 bulan pertama tercapai Ph+ ≤ 35%, atau BCR ABL1 ≤ 10%
,Dalam 6 bulan pertama bila kromosom Ph 0%, (CCyR) dan atau  BCR ABL1 ≤ 1%
,
gagal terapi didefinisikan sebagai 
hilangnya tanggapan  hematologi lengkap dan atau Ph+ > 95% sesudah  3 bulan 
terapi atau sesudah  6 bulan terapi Ph+ > 35 % atau Bcr-Abl>10, atau sesudah  
12 bulan Ph+ ≥ 1 % atau Bcr-Abl > 1 % ,

c. European Society of Medical Oncology (ESMO)
berdasar  hasil kesepakatan ESMO tahun 2017: 
-- ESMO menyarankan  pemeriksaan kromosom atau BCR ABL setiap 3 bulan
--tanggapan  terapi yang optimal terhadap terapi lini pertama, 
bila :
• dalam 3 bulan pertama Ph+ ≤ 95%, atau transkrip BCR-ABL 
< 10%;
• dalam 6 bulan pertama Ph+ ≤ 35%, atau BCR-ABL < 10%; 
dan
• dalam 12 bulan pertama Ph + 0, atau BCR-ABL ≤ 1%.
--Pada saat diagnosa  hanya disarankan  pemeriksaan 
hematologi, sitologi sumsum tulang, karyotipe, pemeriksaan 
BCR-ABL kualitatif dan BCR-ABL metode FISH 
-- Pemeriksaan hematologi setiap 15 hari sampai tercapai CHR, 
dan setiap 3 bulan untuk monitor tanggapan  terapi 
--Pemeriksaan analisa  mutasi hanya disarankan  pada tahap  
akselerasi atau krisis blastik dan peristiwa  gagal terapi ,
--Pemeriksaan PCR kuantitatif hanya disarankan  setiap 3 
bulan untuk menilai tanggapan  molekuler dan setiap 4-6 minggu 
tahun pertama sesudah  penghentian terapi  




Sejak ditemukan imatinib, Imatinib sudah  terbukti  efektif dalam 
hal pencapaian remisi dan tingkat kematian dari pasien CML mengalami 
penurunan secara drastis. namun  lebih dari 33% pasien tidak mencapai 
tanggapan  yang optimal, 3% dari CML tahap  kronis, 20% dari CML tahap  
akselerasi, dan 50% dari CML tahap  krisis blastik tidak menanggapi 
sama sekali terhadap inhibitor tirosin kinase generasi pertama (imatinib). 
Bahkan tiap tahun mereka yang tanggapan  juga masih mengalami kekambuhan 
antara 0,4%–5,5%. Resistensi terhadap obat merupakan tantangan agar segera mengetahui sedini mungkin tanda-tanda terjadinya 
Resistensi obat itu . berdasar  saat munculnya  Resistensi imatinib 
dapat digolongkan menjadi Resistensi primer dan sekunder.

Resistensi primer yaitu  kegagalan mencapai salah satu dari kriteria–
kriteria tanggapan  terapi yang ditetapkan berdasar  pedoman European 
Leukemia Net (ELN) atau National Comprehensive Cancer Network (NCCN). 
Resistensi primer didefinisikan sebagai kurangnya tanggapan  terhadap 
pengobatan imatinib awal. Resistensi primer dibagi lagi menjadi Resistensi 
hematologi dan sitogenetik. dinamakan  sebagai Resistensi hematologi 
bila dalam waktu 3 sampai 6 bulan sejak dimulai pengobatan gagal 
menormalkan darah perifer. Insiden Resistensi hematologi diperoleh  
pada 2-4%. sedang  Resistensi sitogenetik bila sesudah  6 bulan sejak 
pengobatan gagal mencapai tanggapan  sitogenetik. Resistensi sitogenetik 
primer lebih sering terjadi, sekitar 15%-25%. Ekspresi aberan dari transporter
obat dalam darah dan ikatan dengan protein plasma dapat berkontribusi
terhadap munculnya  Resistensi primer dengan cara merubah konsentrasi 
TKI intraseluler dan TKI plasma 
Pemantauan kadar plasma imatinib diperlukan untuk menentukan 
kepatuhan pasien terhadap terapi. Namun, sampai saat ini belum ada data 
yang mendukung perubahan terapi berdasar  kadar imatinib plasma 
mempengaruhi  hasil pengobatan.
Kadar transporter kation organik 1 (OCT-1) sebelum terapi sudah  
dikabarkan  sebagai prediktor tanggapan  paling kuat terhadap imatinib, 
namun uptake seluler dari dasatinib atau nilotinib tidak bergantung pada 
ekspresi OCT-1, Hal ini menandakan  bahwa pasien dengan ekspresi 
OCT1 rendah mungkin memiliki hasil yang lebih baik dengan dasatinib 
atau nilotinib dibandingkan dengan imatinib.
Resistensi sekunder, bila salah satu dari berikut: 
a. terjadi progresifitas 
ke arah tahap  akselerasi ataupun krisis blastik; 
b. hilangnya tanggapan  lengkap 
hematologi atau tanggapan  parsial hematologi pada pasien yang sebelumnya 
pernah tanggapan  terhadap inhibitor tirosin kinase terjadi pada mereka yang 
sebelumnya sudah  mencapai dan lalu  kehilangan tanggapan  mereka 
sesuai dengan pedoman itu  Pada Resistensi sekunder, mutasi titik pada domain kinase BCR-ABL1 
yaitu  mekanisme yang sering  dan berhubungan dengan prognosis 
yang buruk dan risiko yang lebih tinggi munculnya  progresivitas penyakit. 
Di antara mutasi domain kinase BCR-ABL1, mutasi T315I merupakan 
jenis mutasi yang ganas dan memicu  Resistensi terhadap imatinib, 
dasatinib, nilotinib, dan bosutinib. Mutasi lainnya seperti F317L dan V299L 
yaitu  mutan yang terbukti memicu  Resistensi terhadap dasatinib 
dan Y253H, E255K/V, dan F359V/C memicu  resisten terhadap 
nilotinib.

Mekanisme Resistensi terhadap imatinib dapat bergantung BCR-ABL 
(mutasi titik domain kinase atau amplifikasi gen) ataupun tidak tergantung 
pada BCR-ABL.

a. Mutasi Domain Kinase (KD) ABL
Point mutation pada domain BCR-ABL kinase (KD) dapat memicu  
Resistensi imatinib, terutama Resistensi sekunder, dan bertanggung jawab 
atas kegagalan pengobatan dalam banyak peristiwa . Efek molekuler yang dimuncul kan oleh mutasi 
domain kinase Bcr-Abl akan merusak ikatan hidrogen antara obat dan 
protein.
Mutasi bisa diperoleh  pada empat area : lengkung pengikat 
ATP (p-loop), area  kontak, area  a-loop serta domain katalitik. Mutasi 
BCR-ABL sering  terjadi pada area  P-loop (30%-40% dari seluruh 
mutasi). P-loop yaitu  suatu struktur fleksibel yang secara fisiologis 
mengikat residu fosfat ATP. Pasien CML yang mengalami mutasi pada 
P-loop menandakan  prognosis yang buruk. Mutasi P-loop banyak ada  
 pada CML tahap  akselerasi atau krisis blastik. Pada mutasi P-loop akan 
 memicu  sensitivitas yang lebih rendah 70-100 kali lipat terhadap 
imatinib bila dibanding dengan BCR-ABL yang tanpa mengalami 
mutasi.
Mutasi titik dapat mengubah konformasi onkoprotein BCR-ABL 
menjadi bentuk aktif yang memicu  perubahan konformasi di tempat 
pengikatan imatinib, dan menghambat ikatan imatinib ,dan juga dapat menghilangkan molekul yang diperlukan untuk ikatan, 
sehingga mengurangi manfaat obat Sampai saat ini lebih dari 100 mutasi titik sudah  diketahui yang 
paling penting yaitu  mutasi T315I, Y253H, dan F255K. T315I dan 
mutasi tertentu yang terjadi di P-loop yaitu  mutasi yang sering  
diperoleh  . Mutasi T315I (mutasi gatekeeper) diperoleh  
pada 4-15% pasien yang menunjukan Resistensi imatinib. Pada jenis 
mutasi T315I terjadi substitusi nukleotida dari gen ABL, sehingga terjadi 
perubahan treonin menjadi isoleusin pada asam amino 315 (Th315 menjadi 
Ile315). Mutasi ini menghilangkan molekul oksigen yang diperlukan 
untuk ikatan hidrogen antara imatinib dan ABL kinase dan mutasi bisa 
mencegah pengaturan konformasi yang diperlukan untuk pengikatan inhibitor tirosin kinase dan stabilisasi konformasi kinase aktif. Mutasi 
ini memicu  Resistensi terhadap imatinib, nilotinib, dan dasatinib. 
Mutasi ini juga dihubungkan dengan Resistensi imatinib sekunder yang 
biasanya terjadi pada stadium akhir dari penyakit dan berhubungan 
dengan usia lanjut, yang memperoleh  interferon sebelumnya, dan skor 
Sokal yang tinggi , meneliti 21 asam amino 
yang terlibat pada mutasi area  kontak. Mutasi-mutasi tertentu, seperti 
M244V, M351T, dan F311L juga memicu  Resistensi terhadap inhibitor 
tirosin kinase (imatinib). Mutasi F317L dan V299L yaitu  mutan yang 
terbukti memicu  Resistensi terhadap dasatinib, sedang  Y253H, 
E255K/V, dan F359V/C memicu  resisten terhadap nilotinib. Y253H 
merupakan salah satu jenis mutasi pada p-loop yang cukup jarang. Jenis 
ini dikabarkan  oleh peneliti pada seor yang terjadi krisis blastik yang 
memperoleh  imatinib. 
Mutasi T1052C juga merupakan salah satu mutasi pada domain kinase 
yang memicu  Resistensi parsial terhadap imatinib. Mutasi T932C 
merupakan mutasi yang jarang diperoleh . sedang  menonjol si klinis 
akibat mutasi lain masih kontroversial
Keterangan: Imatinib ditunjukkan sebagai rangkaian rantai warna emas. Posisi 1-3 lingkaran 
warna merah merupakan mutasi yang secara langsung mempengaruhi  ikatan imatinib. Semua 
posisi lainnya mungkin mempengaruhi  kemampuan kinase untuk membentuk konformasi 
yang diperlukan untuk mengikat imatinib, termasuk di lingkaran P (4-8, hijau) dan di sekitar 
A-loop aktifitas  (9-13; ungu). Loop aktifitas  berwarna ungu. Posisi asam amino yang mutasi: 
1 F317,, 2 T315, 3, F359, 4, M244, 5, G250, 6, Q252, 7, Y253, 8, E255, 9, M351; 10, E355, 11, V379, 
12, L387, 13, H396.
 meneliti hubungan 
mutasi domain kinase BCR-ABL dengan Resistensi imatinib. Diperkirakan 
21 asam amino terjadi mutasi pada area  kontak,  contoh  pada Thr315, 
Phe317, dan Phe359. Mutasi yang terjadi pada Thr315 mengurangi 
sensitivitas imatinib dan merupakan pemicu  Resistensi pada sebagian 
besar pasien. juga diperoleh  mutasi Phe 317 Leu pada beberapa 
pasien saat terjadi Resistensi obat.
foto  Peta mutasi domain kinase pada BCR-ABL 
 pada 16 pasien 
CML BCR ABL positif yang tidak menanggapi lengkap terhadap 
imatinib menemukan 3 profil kombinasi mutasi, yaitu mutasi C944T, 
T1052C, dan T932C. Mutasi C944T diperoleh  pada 9 pasien, T1052C pada 16 pasien, dan T932 C diperoleh  pada 13 pasien. sedang  2 pasien 
diperoleh  1 jenis mutasi, yaitu T1052C, 5 pasien diperoleh  2 jenis mutasi 
T1052C dan T932C, dan 8 pasien diperoleh  3 jenis mutasi C944T, T1052C 
dan T932C,Mutasi-mutasi tertentu, seperti M244V, M351T, dan Phe311L juga 
memicu  Resistensi terhadap inhibitor tirosin kinase (imatinib). 
Phe311L mekanisme memicu  Resistensi belum diketahui ,Mutasi-mutasi 
itu  secara uji biokimia dan uji seluler mutasi akan menandakan  
penurunan sensitivitas terhadap imatinib masing-masing sebanyak 1,8 
dan 2,8 kali lipat. Resistensi yang dipicu  oleh mekanisme itu  
dapat diatasi dengan peningkatan dosis imatinib. 
foto Rumus bangun Threonine dan Isoleucine. 
berdasar  struktur kristal dari domain kinase Abl bahwa pada 
mutasi T315I saat isoleusin menggantikan treonin, zat ini tidak menyediakan 
atom oksigen untuk pengikatan dengan imatinib. Penggantian treonin 
 dengan isoleusin juga mengganggu ikatan hidrogen imatinib. isoleusin 
mengandung sebuah gugus hidrokarbon ekstra pada rantai samping yang 
 memicu  steric hindrance bagi imatinib, sehingga ikatan obat ini lemah 
dan memicu  Resistensi. 
 Mutasi T1052C juga merupakan salah satu mutasi pada domain 
kinase yang memicu  Resistensi parsial terhadap imatinib. Pada 
mutasi T1052C, urutan nukleotida nomer 1052 di mana kodon ATG yang 
menyandi asam amino Methionin pada kodon asam amino 351 akan 
 berubah menjadi kodon TCC yang menyandi asam amino Threonin. 
16 pasien CML BCR 
ABL positif yang tidak menanggapi lengkap terhadap imatinib 
menemukan T1052C pada semua pasien (16 pasien) itu ,
Mutasi T1052C ini akan melemahkan secara parsial ikatan imatinib 
pada targetnya dan memicu  Resistensi obat parsial 
foto 5 Rumus bangun Methionine, Phenylalanine, dan Serine.
Mutasi T932C merupakan mutasi yang jarang diperoleh . Pada mutasi 
T932C, urutan nukleotida nomer 932 di mana kodon TTC yang menyandi 
asam amino Phenilalanin pada kodon asam amino 311 akan berubah 
 menjadi kodon TCC yang menyandi asam amino Serin , pada 16 pasien CML BCR 
ABL positif yang tidak menanggapi molekular lengkap terhadap 
imatinib menemukan mutasi T932 C pada 13 pasien ,

b. Amplifikasi atau Duplikasi BCR-ABL
ada  banyak penelitian yang berkaitan dengan amplifikasi 
onkogen ABL kinase , Amplifikasi dan 
overekspresi BCR-ABL merupakan salah satu cara agar sel CML bisa lepas 
dari imatinib. Pasien CML krisis blastik yang resisten terhadap imatinib 
akibat dari duplikasi genetik BCR-ABL. Amplifikasi Abl dikabarkan  
pada pasien CML yang resisten terhadap imatinib.  adanya amplifikasi BCR-ABL pada pasien 
CML yang resisten terhadap imatinib. adanya  amplifikasi BCR-ABL pada beberapa pasien 
CML yang resisten terhadap imatinib. meneliti 
darah perifer pasien CML yang mengalami krisis blastik yang resisten 
terhadap imatinib dan menandakan  peningkatan aktivitas Abl kinase 
akibat duplikasi genetik Bcr-Abl. Mahon dan rekan, secara in vitro juga 
mengabarkan  amplifikasi pada rangkaian Abl pada pasien yang resisten 
terhadap imatinib 
Mekanisme yang berperan memicu  Resistensi imatinib yang 
tidak tergantung BCR-ABL, yaitu  transporter efflux dan influx, hambatan 
apoptosis (Inhibitors Apoptotic Protein), dan transcription factors. Terjadi 
peningkatan clearance obat akibat dari peningkatan ekspresi P-glycoprotein 
pump efflux yang meningkatkan efflux obat dan menurunkan akumulasi 
obat intraseluler, terjadi penurunan absorbsi obat sekunder akibat 
penurunan ekspresi transporter organic-1 (hOCT1), terjadi sekuestrasi 
imatinib akibat dari peningkatan protein serum α-1 glikoprotein asam 
yang mengikat imatinib dan merusak pengikatan berikutnya pada 
ABL kinase, menurunkan konsentrasi obat serum, dan memicu  
aktifitas  sinyal jalur alternatif melalui Ras/Raf/MEK kinase, STAT, Erk2, 
atau SFK fosforilasi BCR-ABL dan peningkatan transkrip prostaglandin endoperoxide synthase 1/cyclooxygenase 1 .
Konsentrasi obat intraseluler dan metabolit menentukan efficacy, 
toxicity, dan interaksi obat. Keseimbangan antara ekspresi aliran keluar 
oleh transporter efflux multidrug (MDR1, ABCB1, ABCG2ABCB1) dan aliran 
masuk substrat (oleh hOCT1) akan menentukan konsentrasi obat tingkat 
intraselular. Pasien yang menandakan  tanggapan  yang sub optimal ternyata 
memiliki  kadar hOCT1 yang rendah. dikabarkan  golongan  pasien 
yang mencapai MMR (89%) lebih tinggi pada golongan  pasien aktivitas 
hOCT yang tinggi dibandingkan yang memiliki  aktivitas hOCT yang 
rendah (55%). juga kadar hOCT yang rendah berkorelasi dengan 
rendahnya OS dan EFS. Penelitian terbaru menandakan  bahwa ada  
perbedaan yang menonjol  terhadap tanggapan  sitogenetik, PFS dan OS 
berdasar  jumlah ekspresi hOCT1 sebelum pengobatan. Pasien dengan 
hOCT1yang rendah akan menurunkan kecepatan mencapai MMR selama 
12 bulan bila memperoleh  imatinib dosis standar dibandingkan dengan 
imatinib dosis tinggi.
Konsekuensi perubahan ekspresi transporter terhadap akumulasi 
imatinib intraseluler. (A) Dalam kondisi normal, konsentrasi imatinib 
memadai dalam sel dan sel leukemia mengalami kematian. (B) transporter 
uptake under ekspresi atau transporter efflux overekspresi, sehingga 
konsentrasi imatinib intraseluler terlalu rendah untuk menghambat BCR ABL ,Efisiensi sebuah obat dapat dipengaruhi oleh ikatan obat dengan 
protein plasma darah (serum albumin kita , lipoprotein, glikoprotein, 
dan globulin α, β, dan γ). Semakin sedikit obat berikatan dengan protein 
plasma darah, semakin efisien obat itu  dapat melintasi membran sel. 
Imatinib, dasatinib, dan nilotinib terikat lebih dari 95% dengan plasma 
protein. dikabarkan  bahwa konsentrasi imatinib plasma yang tidak 
kuat  merupakan salah satu pemicu  munculnya  Resistensi terhadap 
imatinib. juga dengan kuatnya ikatan antara imatinib dengan 
albumin akan menurunkan efek terapeutik obat. 
Transcription factors. Jalur transduksi sinyal dalam sel bertindak 
dengan cara mengirimkan sinyal ekstraseluler ke faktor transkripsi, yang 
menghasilkan perubahan ekspresi gen. Namun, sudah  diketahui bahwa 
sebagian besar jalur sinyal pada kanker mengalami deregulasi yang 
memicu  perubahan ekspresi dan fungsi faktor transkripsi. aktifitas  
konstitutif dari faktor nuklir kappa B (NFkB) dan inaktifitas  faktor forkhead 
box O (FoxO) terbukti sangat berperan dalam transformasi karsinogenik. 
Oleh sebab  itu, memodulasi aktivitas FoxO dan NFkB tampaknya 
merupakan strategi terapi yang rasional ,
Genomic analysis. Genomic events yang terkait dengan tanggapan  
terapi yang tidak optimal pada CML kurang dipahami. Branford sudah  
melakukan exome sequencing, variasi jumlah salinan dan atau  RNA-Seq 
untuk menemukan mutasi pada saat diagnosa  dan CML tahap  krisis blastik. 
Varian gen kanker terdeteksi pada 15/27 pasien (56%) pada pasien CML-BC 
atau yang tanggapan  terapi tidak optimal, dan pada 3/19 yang menandakan  
tanggapan  yang optimal (16%). Gen yang sering bermutasi saat diagnosa  
yaitu  ASXL1, IKZF1, dan RUNX1. Metiltransferase SETD1B yaitu  
gen yang bermutasi berulang baru. Varian baru yang terkait dengan 
translokasi Philadelphia yang terdeteksi pada saat diagnosa  yaitu  
11/46 pasien (24%). Varian ini lebih sering diperoleh  pada pasien yang 
menandakan  tanggapan  terapi yang tidak optimal (33%) dibandingkan yang 
optimal (11%), P = 0,07. Pada tiga puluh sembilan pasien CML tahap  krisis 
blastik, semua memiliki varian gen kanker, termasuk mutasi domain ABL1 
kinase. analisa  genomik mengungkapkan banyak varian yang relevan 
pada pasien dengan hasil terapi yang tidak optimal dan semua pasien 
CML tahap  krisis blastik Pengujian biomarker yang disempurnakan di masa 
depan untuk varian khusus  kemungkinan akan memberi  informasi 
prognostik untuk memfasilitasi pendekatan terapeutik yang sesuaikan 
dengan faktor risiko yang ada.
Secara biasa  hasil pengobatan pasien yang menerima imatinib 
sangat luar biasa. Pada observasi selama 8 tahun yang dilakukan oleh 
riset  IRIS, OS dikabarkan  85% dan kematian terkait CML pada 7%. 
Namun, hanya 55% dari mereka yang bisa meneruskan  terapi, yang lain 
menghentikan terapi sebab  intoleransi obat atau progresivitas penyakit. 
Dari uji klinis lini pertama lainnya, diperkirakan bahwa 20% hingga 30% 
pasien akan mengalami Resistensi terhadap imatinib. Druker dan kawan kawan meneliti bahwa di antara 553 pasien CML yang memperoleh  terapi 
imatinib dikabarkan  7% pasien progresif menjadi tahap  akselerasi atau krisis 
blastik. Pasien CML yang menandakan  Resistensi imatinib biasanya  
memiliki mutasi domain BCR-ABL kinase. dengan direct sequencing menemukan mutasi domain BCR-ABL kinase 
hampir selalu berkaitan dengan pasien CML yang mengalami Resistensi 
terhadap Imatinib, dan pasien dengan mutasi pada P-loop memiliki 
prognosis jelek,
Penelitian  202 pasien CML yang memperoleh  
imatinib, 169 dari 201 pasien CML menandakan  tanggapan  terapi optimal 
hanya 7,3%, sedang  tanggapan  terapi sub optimal sebesar 23,2%. Hal ini 
menandakan  adanya Resistensi yang tinggi terhadap obat Tyrosin Kinase 
Inhibitor (TKI), terutama obat imatinib. Berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan tanggapan  terapi atau mengatasi pasien yang resisten TKI, 
yaitu peningkatan dosis Imatinib, pemakaian  Inhibitor Tirosin Kinase 
generasi terbaru berikutnya dan transplantasi sumsum tulang.
Dasar pemikiran untuk peningkatan dosis imatinib yaitu : pengalaman klinis yang 
menandakan  tanggapan  pada tahap  I riset  17; 
pada CML tahap  
akselerasi dosis 600 mg imatinib secara independen terkait dengan waktu 
yang secara menonjol  menandakan  daya tahan hidup  lebih baik dibandingkan 
dengan dosis 400 mg
overekspresi Bcr-Abl dan amplifikasi BCR-ABL sebagai mekanisme 
Resistensi yang dapat diatasi dengan konsentrasi imatinib yang lebih 
tinggi; 
 fakta bahwa beberapa mutasi masih peka  terhadap imatinib 
pada konsentrasi yang sedikit lebih tinggi; 

Pada pasien CML yang gagal terapi atau yang memberi tanggapan  yang 
suboptimal, dosis imatinib dapat dinaikkan. Di Amerika Serikat, dosis 
imatinib dari 400-600 mg/hari dinaikkan hingga dosis 600-800 mg dan 
di Uni Eropa, peningkatan 800mg/hari juga sudah  disetujui untuk pasien
CML tahap  kronis. Dosis imatinib yang dinaikkan sampai 800 mg per hari 
sudah  memberi  hasil yang baik pada beberapa peristiwa  yang mengalami 
Resistensi primer, walaupun durasinya pendek Dari penelitian IRIS tercatat ada perbaikan menonjol  dalam tanggapan  
terapi dan peningkatan FFP (Free from Progression Disease) pada pasien yang 
sudah  memperoleh  peningkatan dosis menjadi 600 mg atau 800 mg per hari, 
dari dosis standar 400 mg/hari. juga  pada pasien yang belum 
mencapai CHR dalam 3 bulan, 86% pasien akhirnya menandakan  CHR 
3 bulan sesudah  dosis dinaikkan, dan 29% pasien akhirnya menandakan  
CCyR dalam waktu 12 bulan. Pada pasien yang tidak mencapai CyR dalam 
12 bulan, 25% mencapai MCyR dalam waktu 12 bulan sesudah  dosis imatinib 
dinaikkan 50% selama 24 bulan. Dari pasien-pasien ini, 50% mencapai CCyR 
hingga 48 bulan. Pada pasien dengan kehilangan MCyR, 50% mencapai 
MCyR kembali dalam 12,5 bulan, 33% di antaranya mencapai CCyR. Pada 
pasien yang mengalami progresivitas penyakit, 67% menandakan  jumlah 
leukosit normal. Dari catatan, eskalasi dosis tidak dicoba bagi mereka yang 
kehilangan CCyR,meneliti efikasi jangka panjang dosis imatinib yang 
dinaikkan dari 400 mg perhari menjadi 600-800 mg per hari sesudah  gagal 
sitogenetik atau hematologi pada 84 pasien dengan CML tahap  kronis (CP CML). sesudah  diikuti selama 61 bulan, pada 21 pasien dengan kegagalan 
hematologi dikabarkan  48% mencapai CHR, dan hanya 14% yang mencapai 
CyR. Pada 63 pasien yang mengalami gagal sitogenetika, 75% menandakan  
CCyR; EFS 2 tahun pada 57% peristiwa  dan EFS 3 tahun sebesar 47%. Di antara 
mereka yang mengalami gagal sitogenetik, dengan meningkatkan dosis 
menjadi 600-800 mg ternyata CCyR kedua bisa mencapai 52% dan EFS 
2 tahun 88% ,Jadi pada pasien yang sudah  mengalami 
intoleransi imatinib, meningkatkan dosis imatinib bukanlah strategi yang 
tepat.
Uji klinis tentang pemakaian  imatinib dosis tinggi pada Resistensi 
imatinib dosis standar masih sangat terbatas. Peningkatan dosis imatinib 
hingga 600 atau 800 mg/hari memicu  CyR pada 19 dari 34 pasien 
dengan CP CML yang mengalami Resistensi sitogenetik atau kambuh 
jika  dosis 400 mg imatinib. Pada suatu riset  lainnya, pasien yang 
resisten terhadap imatinib diberi dosis dari 300 menjadi 600 mg/hari 
atau dari 400 menjadi 800 mg/hari, diperoleh  hasil 65% dari 20 pasien 
menandakan  Resistensi hematologi, dan satu pasien mengalami CyR 
parsial. Di antara 34 pasien yang mengalami Resistensi sitogenetik, 56% 
mencapai CyR Mayor (MCyR). Suatu penelitian lainnya pada 16 pasien 
CML-CP atau CML-AP yang sudah  kambuh atau refrakter terhadap 
imatinib, dengan peningkatan dosis dari 400 mg menjadi 600 mg/hari 
menunjukan hasil CyR minimal, dan lima pasien menandakan  tanggapan  
sitogenetik (dua CCyR, dua CyRs parsial, dan satu CyR minor). 

Pendekatan terapi pasien yang mengalami Resistensi/intoleransi 
terhadap imatinib yaitu  dengan memakai  Tyrosine Kinase Inhibitor
generasi berikutnya, yaitu dasatinib, nilotinib, bosutinib, dan ponatinib 
[V, A] . Pemeriksaan sumsum tulang diperlukan pada 
saat terjadi gagal terapi yang bertujuan untuk menentukan tahap  CML yang 
tepat, dan untuk analisa  mutasi BCR-ABL1. analisa  mutasi diperlukan 
pada pasien yang gagal terhadap imatinib atau bahkan yang gagal dengan TKI generasi kedua, atau mereka yang progresif menjadi CML-AP/BP [V, 
A]. Terapi lini kedua dengan nilotinib, dasatinib atau bosutinib memberi 
.tanggapan e rate yang tinggi pada pasien yang pada awalnya tidak menanggapi   
dengan imatinib dosis standar  Peningkatan dosis 
memang dapat memperbaiki tanggapan  terapi, namun  terapi dengan TKI lini 
kedua tampaknya lebih efektif.
 Ponatinib yaitu  TKI generasi ketiga pan-BCR-ABL untuk pasien 
 CML, leukemia limfoblastik akut (ALL) Ph+, pasien CML yang gagal 
 terhadap imatinib, dasatinib, nilotinib, dan yang menandakan  mutasi 
T315I yang resisten terhadap imatinib. Selain menghambat BCR-ABL, 
 ponatinib juga menghambat FLT3, FGFR, VEGFR, PDGFR dan c-Kit 
 Efek samping ponatinib biasanya dapat 
ditoleransi dengan baik. Ponatinib dengan dosis 60 mg, sering terjadi efek 
yang tidak diinginkan (≥ 10% derajat berapa pun) berwujud  trombositopenia 
(24%), sakit kepala (14%), mual mulas perih kembung  (14%), artralgia (13%), dan kurang gairah kurang tenaga  (13%). 
Efek samping lainnya yaitu  anemia (11%), peningkatan enzim lipase 
(11%), pankreatitis (10%), spasme otot (11%), ruam (11%), dan mialgia (10%) 
,Bosutinib dosis 500 mg/hari sudah  terbukti memiliki efek terapeutik 
kuat terhadap pasien yang mengalami mutasi BCR-ABL1 yang resisten 
terhadap dasatinib dan nilotinib. Penelitian tahap  II yang bertujuan 
mengevaluasi efikasi dan keamanan bosutinib (dosis 500 mg sekali sehari) 
 pada 288 pasien CML-CP yang resisten atau intoleran terhadap imatinib 
mengabarkan  bahwa pasien yang mencapai CHR sebanyak 86%, dan yang 
mencapai MyR sebesar 53% (41% CCyR), PFS 2 tahun sebesar 79%, dan OS 
sebesar 92%. Efek samping Bosutinib biasanya  diare, nausea, vomiting, 
dan rash. Diare terjadi pada 84% pasien, sekitar 9% diare grade 3. Efek 
samping lainnya yaitu  myelosupesi ringan dan gangguan fungsi hati 
,Omacetaxine atau Homoharringtonine yaitu  agen cetaxine pertama 
dari golongan alkaloid cephalotax yang diberikan secara subkutan terhadap 
pasien CML yang gagal atau intoleran terhadap beberapa inhibitor tirosin 
kinase dan yang diperoleh  mutasi T315I. Omacetaxine sudah  disetujui oleh 
FDA pada bulan Oktober 2012 untuk pengobatan pasien CML tahap  kronis atau CML tahap  akselerasi yang resisten atau yang tidak toleran terhadap 
 2 TKI atau lebih, berdasar  pada 2 penelitian cohort yang sebelumnya 
resisten atau intoleran terhadap dasatinib atau nilotinib. Omacetaxine sudah  
dievaluasi pada pasien CML Ph+ yang memiliki mutasi T315I dan resisten 
terhadap terapi imatinib. Omacetaxine bekerja dengan cara menghambat 
 sementara pemanjangan protein yang tidak bergantung pada BCR-ABL. 
 Dengan memblokir fungsi ribosom, menurunkan kadar intraseluler 
beberapa protein pengaturan antiapoptotik. 
Suatu penelitian tahap  2 dilakukan Cortes dan tim untuk mengetahui 
 efikasi pemakaian  omacetaxine mepesuccinate subkutan pada pasien 
yang gagal sesudah  TKI failure pada pasien CML-AP yang menandakan  
T315I. Pasien memperoleh  omacetaxine 1,25 mg/m2/subkutan 2x per hari, 
hari 1-14 setiap siklus 28 hari sampai tercapai tanggapan  hematologi atau 
maksimal 6 siklus, dan diteruskan  hari ke 1-7 tiap 28 hari sebagai terapi 
pemeliharaan. Hasil penelitian itu  mengabarkan  bahwa dari 62 pasien 
.yang diikutkan, CHR pada 48 pasien (77%) dengan median durasi tanggapan  
9,1 bulan. sedang  14 pasien (23%) menandakan  MCyR, CCyR 16% dan 
.MMR 17%. Median PFS yaitu  7,7 bulan. ESO hematologi Grade 3/4 berwujud  
trombositopenia (76%), neutropenia (44%), dan anemia (39%), yang dapat 
.ditangani dengan penurunan dosis. ESO Non-hematologi kebanyakan 
grade 1/2, yaitu infeksi (42%), diare (40%), dan nausea (34%) Penelitian tahap  2, multicenter, noncomparative, open-label yang 
dilakukan oleh Cortes dan kawan-kawan tahun 2003, tentang omacetaxine 
mepesucinate subkutan pada 46 pasien CML-CP yang resisten atau tidak 
toleran terhadap inhibitor tirosin kinase. Tujuan penelitian ini yaitu  
untuk menentukan efikasi dan keamanan omacetaxine mepesucinate 
subkutan. Semua pasien yang diikutkan dalam penelitian ini sudah  
menerima imatinib, 83% menerima dasatinib, dan 57% nilotinib. tanggapan  
Hematologi diperoleh  pada 31 pasien (67%); rata-rata durasi tanggapan  
sekitar 7,0 bulan. Sepuluh pasien mencapai MCyR (22%), CCyR 2 (4%). Rata rata PFS yaitu  7,0 bulan, dan OS yaitu  30,1 bulan. Toksisitas hematologi 
derajat 3/4 berwujud  trombositopenia (54%), neutropenia (48%), dan anemia 
(33%). Efek samping non-hematologis biasanya  grade 1/2, yaitu berwujud diare (44%), mual mulas perih kembung  (30%), kurang gairah kurang tenaga  (24%), pireksia (20%), sakit kepala (20%), 
dan asthenia (20%) ,

Dengan dikenalnya tyrosine kinase inhibitor (TKI), maka pengobatan 
CML sudah  banyak menggantikan BMT Allogenic. Walaupun tidak lagi 
disarankan  sebagai pengobatan lini pertama untuk CP-CML, 
namun BMT Allogenic masih merupakan terapi pilihan pada pasien
CML tahap  krisis blastik, atau pasien-pasien CML yang resisten terhadap 
semua jenis TKI yang menandakan  mutasi T315I dan mutasi BCR-ABL1 
lainnya, pasien CML yang intoleran terhadap semua TKI, dan CML tahap  
kronis tertentu 
Ponatinib dan omacetaxine efektif pada peristiwa  dengan mutasi T315I. The 
Center for International Blood and Marrow Transplant Research (CIBMTR) 
menyebutkan bahwa terapi TKI pre-transplant juga meningkatkan daya tahan hidup  
sesudah  transplantasi pada CML-CP. Dalam penelitian lain, tanggapan  
sitogenetik mayor atau tanggapan  sitogenetik lengkap terhadap terapi TKI 
sebelum allo-SCT dikaitkan dengan hasil terapi yang lebih baik. Pilihan 
TKI pretransplant untuk CML stadium lanjut masih belum standar, namun  
dasatinib dan nilotinib dapat diberikan secara aman sebelum allo-SCT 
tanpa berisiko terjadinya peningkatan transplant-related mortality (TRM). 
Dengan demikian sangat rasional bila pemakaian  TKI untuk mengurangi 
tumor burden sebelum allo-SCT pasien CML-AP dan CML-BP ,GVHD sangat terkait dengan efek GVL. Profilaksis GVHD berperan 
pada hasil transplantasi. Peran reduksi sel T pada residual penyakit 
dan rekurensi CML sudah  lama dikenal. Regimen transplantasi yang 
memakai  antibodi monoklonal alemtuzumab juga dikaitkan dengan 
pencegahan terjadinya GVHD. Regimen itu  dikaitkan dengan tingkat 
kekambuhan yang tinggi namun  dapat dikendalikan  dengan donor limfosit 
dan TKI, yang dapat menjadi adjuvan yang berguna, bahkan pada pasien 
yang sebelumnya resisten.
Terdeteksinya BCR-ABL dengan memakai  PCR yaitu  prediktor 
yang lebih dapat diandalkan pada pasien CML tahap  akselerasi atau tahap  
krisis blastik sesudah  transplantasi sebab  GVL munculnya  
lambat, maka BCR-ABL positif pada beberapa bulan pertama sesudah  SCT 
bukan merupakan petanda prognosis yang bagus. Namun, pola BCR-ABL 
sesudah  6 bulan sesudah  transplantasi dapat memprediksi risiko munculnya  
kekambuhan. Sebuah riset  menandakan  bahwa rasio ABL/BCR < 0,1% 
yang terjadi hingga 10 tahun sesudah  transplantasi berimplikasi pada 
terjadinya rendahnya kekambuhan. Dari 52 pasien sesudah  transplantasi 
dengan rasio BCR/ABL yang rendah, 6 pasien mengalami kekambuhan 
namun  pada akhirnya PCR menjadi negatif. Dengan penurunan dosis tahap 
conditioning (reduced-intensity conditioning = RIC) pada allo-SCT, berakibat 
pada masih terdeteksinya transkrip BCR-ABL, dan masih diperlukannya 
infus donor limfosit sebagai profilaksis untuk mempertahankan remisi 
molekuler lebih lama tanpa memakai  TKI. Pemantauan jangka panjang 
sesudah  transplantasi BCR-ABL diperlukan untuk mengantisipasi pasien 
yang kambuhnya lambat. BMT-allogenic dilakukan pada pasien muda (< 
55 tahun) yang memiliki HLA yang sesuai dengan HLA donor (HLA-A, 
HLA-B, HLA-DR). Bila tidak ada HLA yang sesuai, maka BMT dilakukan 
dengan matched unrelated donor. BMT unrelated donor memicu  risiko 
rejeksi segera atau lambat sebesar 16%, atau pun GVHD akut derajat III-IV
sebesar 50%, dan GVHD kronis sebesar 55%. Pada pasien usia < 30 tahun
BMT unrelated donor memberi  OS sekitar 31%-43%, dan 14%-27% pada 
pasien  yang lebih tua. Angka kematian terkait dengan BMT pasien sibling 
donor sekitar 15%, sedang  unrelated donor lebih tinggi lagi sekitar 
23% ,analisa  retrospektif pada 70 pasien CML (40% pada tahap  akselerasi 
atau krisis blastik) yang memperoleh  imatinib sebelum BMT menandakan 
engraftment 91% dan perkiraan kematian terkait transplantasi sebesar 40% 
dan kematian sebab  kambuh dalam 24 bulan sebesar 21%. Komplikasi 
GVHD akut sebesar 42% dan GVHD kronis 17%. dikabarkan  bahwa 
transplantasi alogenik dari donor saudara kandung yang sesuai HLA 
memiliki hasil yang lebih baik dari pada transplantasi alogenic dari donor 
syngeneic .
sudah  banyak penelitian untuk mengetahui peran TKI profilasis 
untuk mencegah kekambuhan sesudah  transplantasi dilakukan pada 
pasien CML risiko tinggi. Beberapa kabar  menandakan  bahwa TKI 
sesudah -transplantasi dini (termasuk TKI generasi kedua) aman untuk CML 
tahap  kronis namun  kurang efektif pada CML tahap  akselerasi atau CML tahap  
yang lebih lanjut. Pemberian TKI disertai donor infus limfosit tampaknya 
aman dan tidak berisiko GVHD. 
Relaps CML dapat terjadi hingga dekade kedua sesudah  transplantasi 
alogenik (allo-SCT). CML yang relaps diterapi dengan transfusi limfosit, 
TKI, kemoterapi, dan Transplantasi stemcell allogenic. Kombinasi terapi TKI 
dan infuse limfosit dapat memberi  6 tahun  daya tahan hidup  sesudah  transplantasi 
sebesar 60%, dan beberapa pasien menjadi bebas TKI. 
Kombinasi inhibitor tirosin kinase dengan transplantasi merupakan 
strategi baru yang menarik dan dapat memberi  usia  harapan hidup 
yang lebih panjang  penelitian secara acak  tentang analisa  keamanan yang dirancang untuk 
mengoptimalkan terapi imatinib dengan kombinasi peningkatan dosis, 
dan transplantasi terhadap 84 pasien CML yang menjalani transplantasi, 
sesudah  gagal terhadap imatinib, dan penyakit stadium lanjut. Kelangsungan 
hidup tiga tahun sesudah  transplantasi dari 59 pasien CML tahap  kronis 
yaitu  90% (median follow up 30 bulan). Kematian terkait transplantasi 
sekitar 9%. Perbandingan daya tahan hidup  pasien CML yang memiliki kecocokan 
HLA dengan pasien yang tidak memiliki kecocokan HLA tidak berbeda. 
Kelangsungan hidup tiga tahun sesudah  transplantasi pada 29 pasien CML 
tahap  akselerasi atau krisis blastik yaitu  54%. 85% pasien yang menjalani transplantasi mencapai remisi molekuler 
lengkap. Disimpulkan bahwa allo SCT yang memiliki  kecocokan donor 
dapat menjadi pilihan  kedua sesudah  gagal terhadap imatinib


leukemia 2 leukemia   2 Reviewed by bayi on April 21, 2022 Rating: 5

About

LINK VIDEO