reproduksi pria





Seorang laki-laki  dibentuk melalui beberapa proses yang mulanya ditentukan saat  fertilisasi. Kromosom seks hasil fertilisasi menentukan gonad yang akan dibentuk (pada laki-laki  yaitu  testis). Selanjutnya, pembentukan sistem saluran, kelenjar aksesoris, dan organ genital eksterna dipengaruhi oleh fungsi gonad melalui kerja beragam hormon. 
PENENTUAN SEKS
Jenis kelamin manusia sudah  ditentukan sejak terjadinya fertilisasi. bila  spermatozoa yang memiliki 22 autosom dan satu kromosom seks X 
(biasanya ditulis sebagai 23,X) membuahi oosit sekunder maka akan terbentuk personal  baru dengan kromosom 46,XX yang normalnya akan menjadi wanita. bila  spermatozoa yang membuahi mengandung 22 autosom dan satu  kromosom (biasanya ditulis sebagai 23,Y) maka personal  baru yang terbentuk yaitu  46,XY yang akan menjadi seorang laki-laki . Sebuah bagian pada kromosom Y bertanggung jawab dalam  pembentukan laki-laki . Bagian ini awalnya dinamakan  testis determining  region (TDF) lalu   dinamakan  sex determining region on the Y chromosome 
(SRY)  maka  ketiadaan SRY pada personal  
46,XY menimbulkan fenotip wanita (46,XY female) dan keberadaan SRY pada personal  46,XX dapat menimbulkan fenotip laki-laki  (46,XX male). riset membuktikan bahwa penambahan Sry pada tikus dapat memicu  tikus  XX berkembang menjadi jantan 
EMBRIOLOGI TESTIS
Gonad dibentuk dari tiga sumber, yaitu
--. ektoderm berupa sel germinal primordial.
Mesotelium berproliferasi dan mesenkim yang menyertainya berkondensasi membentuk genital ridge, sebuah tonjolan jaringan medial 
terhadap mesonefros. 
--. mesotelium (epitel coelomic) yang melapisi dinding posterior perut , 
--. mesenkim yang mendasari (berasal dari intermediate mesoderm), Epitel genital ridge membentuk proyeksi mirip jari ke  dalam mesenkim, yang dinamakan  korda seks primer  Korda seks  primer melakukan penetrasi mesenkim sehingga gonad membentuk bagian korteks dan medula. Pada minggu ketiga, sel germinal bermigrasi dari yolk sac menuju genital ridge. Dari minggu keempat hingga kedelapan, sel germinal 
ini akan bersatu dan membentuk calon gonad 
Pada manusia, SRY diekspresikan dari masa embrionik hari ke-41,  memuncak singkat sesudah nya dan tetap hadir dengan kadar yang rendah 
di luar embriogenesis . Untuk itu, embrio manusia belum dapat dibedakan jenis kelaminnya hingga minggu ke6 dan gonad yang sudah  terbentuk sebelumnya masih bersifat bipotensial. Maksudnya, gonad memiliki potensi menjadi testis maupun ovarium.Pada akhir minggu ke6, SRY menginduksi peningkatan ekspresi  SOX9 (SOX9 merupakan target SRY baik secara langsung maupun 
tidak langsung). Selain SRY, riset  hewan membuktikan bahwa Sf1 juga  diperlukan  untuk upregulation Sox9  SF1 
 (NR5A1) diekspresikan pada gonad bipotensial sebelum onset SRY. SF1 dapat  melakukan ”upregulation” ekspresi SRY. Bersama dengan SOX9, SF1 mengatur tingkat ekspresi anti mullerian hormone (AMH). Inisiasi SRY kepada SOX9 dilanjutkan pada ekspresi fibroblast growth factor 
9 (FGF9) yang ada  pada prekursor sel Sertoli. FGF9 berfungsi menjaga ekspresi SOX9 dan  menahan ekspresi WNT4. FGF9 merupakan faktor 
pertumbuhan yang terlibat dalam beragam proses perkembangan seperti  proliferasi sel, survival, migrasi, dan diferensiasi selama perkembangan 
embrio. FGF9 pada bipotensial gonad berperan dalam perkembangan sel Sertoli  Sementara dengan ditahannya ekspresi WNT4  maka jalur perkembangan ovarium ditiadakan. maka  gonad 
bipotensial berkembang menjadi testis.
Gambar  Gonad bipotensial yang memiliki SRY akan menginduksi SOX9 yang akan meningkatkan ekspresi FGF9. SOX9 dan FGF9 saling memberi  stimulasi  dan memicu  perkembangan sel Sertoli. Keduanya juga akan menekan ekspresi WNT4 sehingga jalur pembentukan ovarium tidak terjadi. maka , gonad bipotensial akan berkembang menjadi testis. 
Pada embrio 46,XY, untuk membentuk testis, medula berkembang menjadi testis dan korteks akan mengalami regresi, sedang  pada embrio 
46,XX korteks berkembang dan medula yang akan mengalami regresi  sehingga terbentuk ovarium  Underlying mesenkim akan  berproliferasi dan berkondensasi membentuk lapisan fibrous tebal yang  dinamakan  tunika albuginea. Tunika albuginea memisahkan korda seks dengan 
epitel coelomic. Tunika albuginea juga membentuk septa fibrous, membagi testis  menjadi 200–300 kompartemen. Tiap kompartemen mengandung dua hingga  tiga korda seks. Korda seks akan membentuk tubulus semineferus yang ujung bebasnya  saling berkaitan  membentuk rete testis. Rete testis akan bergabung dengan  sisa tubulus mesonefros (duktuli eferentes). Sebagian sel yang ada  pada  korda seks juga akan membentuk sel Sertoli, mesenkim yang berada di genital 
ridge akan membentuk sel Leydig, sementara sel germinal primordial di dalam tubulus seminiferus akan berkembang menjadi spermatogonia. 
Organ genital interna laki-laki  antara lain sistem saluran ditambah   kelenjar  aksesorisnya.   Pada minggu ketujuh, saluran reproduksi masih bersifat bipotensial. Meskipun mesonefros mengalami 
regresi, tubulus mesonefros tumbuh menuju gonadal ridge dan saling  berkaitan . Sistem saluran kedua yaitu  duktus paramesonefros (muller)  yang berasal dari invaginasi epitel coelomic pada bagian lateral gonadal ridge. 
Sel Sertoli akan menghasilkan anti-mullerian hormone (AMH)/Mullerian  inhibiting substance (MIS) yang akan berperan pada regresi duktus Muller  secara ipsilateral. Akibat regresi ini, pada laki-laki  hanya ada  sisa duktus  muller berupa apendiks testis dan utrikulus prostatikus. 
Sel Leydig yang terletak di luar tubulus akan menghasilkan testosteron  dan insulin-like hormone 3 (INSL3). Testosteron yang terbentuk oleh sel Leydig  selama organogenesis “berkomunikasi” dengan dua cara, yaitu endokrin 
(disekresikan ke aliran darah) dan eksokrin (menuju duktus Wolfii)  Duktus wolfii mengalami pajanan testosteron konsentrasi tinggi untuk 
menjaga persistensinya dan membentuk duktus eferen, duktus epididimis,  vas deferens, duktus ejakulatorius, dan vesikula seminalis.
Kadar testosteron di dalam darah terlalu kecil untuk bekerja secara endokrin. Untuk itu, testosteron perlu direduksi oleh enzim 5-alfa reduktase  menjadi Dihidrotestosteron (DHT). Dihidrotestosteron mampu mengikat 
reseptor androgen 5–10 kali lebih kuat dibandingkan dengan testosteron 
. Sinus urogenital pada laki-laki  akibat pengaruh DHT akan  membentuk uretra, prostat, dan kelenjar bulbouretralis. DHT tidak hanya dapat dihasilkan dari reduksi testosteron (jalur klasik/
front door), namun  juga melalui substrat lainnya (jalur alternatif/back door).  AKR1C2 yaitu  gen yang mengkode produksi enzim yang ikutserta  
dalam jalur alternatif pembentukan DHT ini.  mengidentifikasi mutasi AKR1C2 pada empat personal  46,XY dengan gangguan perkembangan 
seks (DSD). personal -personal  yang terkena, mengalami penurunan  maskulinisasi tingkat sedang hingga berat saat lahir. Mutasi AKR1C2 pada  kedua alel mengonfirmasikan peran penting AKR1C2 dan menguatkan hipotesis bahwa jalur klasik dan alternatif biosintesis androgen testis 
diperlukan  untuk pembentukan organ seks laki-laki  normal 
EMBRIOLOGI ORGAN GENITAL EKSTERNA
Organ genital eksterna tidak berdiferensiasi hingga minggu kedelapan.  Awalnya calon genitalia eksterna mengandung genital tubercle genital di tengah dan dikelilingi oleh lipatan genital dalam dan  luar (inner dan outer genital fold). 
Di antara inner genital fold ada  urethral plate dan sinus urogenital. DHT  merangsang pertumbuhan genital tubercle menjadi penis bersamaan dengan 
pertumbuhan perineum membungkus sinus urogenital, sedang  kanalisasi  urethral plate untuk membentuk uretra. Pada bagian anterior penis ada   garis sisa penyatuan yang dinamakan  raphe penis. Fusi outer genital fold (dinamakan  
juga labioscrotal swelling) membentuk skrotum. Di tempat penyatuan skrotum  ada  garis persatuan yang dinamakan raphe scrotum.
PENURUNAN TESTIS KE SKROTUM
normalnya  testis terletak di dalam skrotum. Mekanisme  perpindahan testis dari perut  ke dalam skrotum melalui dua tahap , yaitu 
tahap  trans-abdominal dan tahap  inguinoskrotal 
Antara minggu ke-8 dan 15, INSL3 menstimulasi pertumbuhan  gubernakulum yang akan menahan testis di rongga pelvis saat perut   membesar. Pembesaran gubernakulum menahan testis di lokasi terbentuknya  anulus inguinalis profunda saat rongga perut  bertumbuh. sebab  proses 
ini bersifat pasif, kejadian testis terletak di dalam perut  sangatlah jarang.  Di saat yang bersamaan, testosteron memicu  regresi ligamentum 
suspensorium kranial.  Pada minggu ke-25 hingga 35, testosteron menstimulasi gubernakulum 
untuk tumbuh keluar dari dinding perut  dibimbing oleh nervus  genitofemoralis yang mengeluarkan neurotransmiter dari ujung saraf  sensorisnya untuk gradien kemotaksis yang diikuti oleh gubernakulum.  Prosesus vaginalis dan otot kremaster tumbuh di dalam gubernakulum. 
Sesudah  berada di dalam skrotum, gubernakulum akan menciut. Tekanan  intra-abdominal dan penciutan gubernakulum memicu  testis masuk 
ke dalam skrotum. Proses ini lebih kompleks dibandingkan tahap  pertama  sehingga kegagalannya lebih sering.
MASA PRAPUBERTAS
Siklus hidup manusia dapat dibagi menjadi lima tahap: (1) intrauterin,  yaitu embrio dan janin, (2) masa bayi dan balita , (3) pubertas dan 
remaja, (4) awal dan dewasa menengah, dan (5) akhir dewasa dan usia tua.  Masa bayi dan balita  untuk selanjutnya diistilahkan sebagai masa 
pra pubertas. Tahapan ini ditandai dengan pertumbuhan fisik yang lambat namun  
berlangsung terus-menerus. Sepanjang masa ini organ genital baik eksterna  maupun interna tetap imatur. Pertumbuhan organ genital seirama dengan  pertumbuhan fisik biasanya . Pertumbuhan dan perkembangan organ 
genitalia yang lambat ini disebabkan oleh rendahnya hormon testosteron pada masa ini.
LETAK TESTIS
saat  kelahiran, testis belum berada di dalam skrotum pada sekitar  3-4% dari laki-laki (30% pada bayi baru lahir prematur). Pada usia satu tahun, 
sekitar 0,8% dari laki-laki masih memiliki testis dalam rongga panggul dan  0,3%, testis gagal turun saat  spermatogenesis seharusnya dimulai (sekitar 
usia 10 tahun). Kegagalan penurunan testis unilateral sekitar lima kali lebih  sering bila dibandingkan kegagalan penurunan bilateral. 
Proses spermatogenesis memerlukan  suhu 3,1°C (5,6°F) lebih rendah  dibandingkan di dalam rongga perut. Jika spermatogenesis dimulai sedang  
testis tetap dalam rongga tubuh (kriptorkismus), kerusakan akibat suhu dapat  terjadi pada sel germinal testis, namun  sel Sertoli dan sel Leydig dapat bertahan.  maka  laki-laki ini infertil namun  struktur seks sekundernya tetap  berkembang sebab  sekresi androgen dari sel Leydig tetap normal. Infertilitas  pada laki-laki  dengan kriptorkismus bilateral 3,5 kali lebih sering dibandingkan  kelompok kriptorkismus unilateral, dan 6 kali lebih sering bila dibandingkan 
dengan populasi umum , Kriptorkismus perlu diterapi secara dini di awal masa balita  
sebab  kecenderungannya untuk membentuk jaringan kanker dan  meningkatkan kemungkinan infertilitas. Pembedahan atau pengobatan 
dengan gonadotropin atau gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dapat  dilakukan untuk menurunkan testis. Efektivitas terapi hormonal ini masih  menjadi kontroversi. Sebuah sistematic review menandakan  bahwa terapi  hormonal berkhasiat  yang sedikit lebih baik dibandingkan  plasebo, sementara orkidopeksi berkhasiat  yang baik. pemakaian  terapi  hormonal hanya disarankan pada beberapa masalah  dengan lokasi awal testis  yang rendah , Riwayat kriptorkismus berkaitan  dengan penurunan fertilitas di masa 
depan. Namun, orkidopeksi pada usia yang lebih dini dapat meningkatkan  fertilitas. sebab  itu, saat ini terjadi kecenderungan untuk segera melakukan 
orkidopeksi pada usia yang lebih muda,  European 
Association of Urology menyarankan pembedahan harus diselesaikan pada  usia 12 bulan atau terakhir 18 bulan , sementara American 
Urological Association menyarankan pembedahan dilakukan dalam satu tahun pada bayi yang tidak mengalami penurunan testis spontan hingga usia 
6 bulan (dikoreksi dengan usia kehamilan) 
MASA PRAPUBERTAS
UKURAN TESTIS
Tubulus seminiferus di testis seorang laki-laki yang baru lahir lebih  banyak berisi spermatogonium dan sel Sertoli. Beberapa sel Leydig hadir saat  lahir, namun  pada usia enam bulan sel-sel ini hampir tidak terlihat  di testis. Pada awal kehidupan postnatal, ukuran testis akan meningkat secara  perlahan namun  terus-menerus. Spermatogonium hanya mengalami proliferasi 
mitosis dan berkontribusi kecil terhadap pertumbuhan ini. Berbeda dengan  saat pubertas, terjadi peningkatan yang bermakna pada ukuran testis sebab   semua bagian testis berkontribusi untuk meningkatkan ukuran testis. Akibat 
rangsangan gonadotropin, sel Sertoli aktif bermitosis . Pembelahan ini akan berhenti saat sel germinal mengalami meiosis. Tubulus 
seminiferus yang awalnya solid mengalami kanalisasi, sel Sertoli intratubular meningkatkan aktivitas dan ukuran testis. Volume sebuah testis pada anak  usia satu tahun sekitar 0,7 ml, delapan tahun sekitar 0,8 ml, dan saat  pubertas sekitar 3,0 ml. sedang  volume testis dewasa yaitu  sekitar 16,5 
ml, berarti terjadi peningkatan volume sekitar 24 kali lipat.
KADAR HORMON PREPUBERTAS
Pulse generator GnRH berkembang dan mulai berfungsi pada trimester pertama kehidupan janin. Kadar gonadotropin pada janin cukup tinggi, 
kadang mencapai kadar dewasa dan puncaknya pada pertengahan kehamilan. hormon  ini menginduksi produksi testosteron oleh testis yang 
sedang berkembang sehingga terjadi diferensiasi seks dari saluran reproduksi, genitalia eksterna, dan otak. lalu  pada kehamilan, tingginya tingkat 
steroid yang dihasilkan oleh plasenta dan  gonad menghambat hipotalamus  dan hipofisis dengan umpan balik negatif, mengurangi GnRH janin dan 
konsentrasi gonadotropin. Saat lahir, hilangnya umpan balik negatif testosteron mengaktifkan 
kembali hipotalamus dan hipofisis. Dalam beberapa menit dari kelahiran,  kadar LH meningkat pada bayi laki-laki dan tetap tinggi sampai sekitar usia  enam bulan. maka  testosteron juga meningkat. Tingginya kadar  hormon gonadotropin dan steroid gonad dalam beberapa bulan pertama 
sesudah  kelahiran kadang-kadang dinamakan  sebagai “pubertas mini bayi”. Kadar testosteron ini tampak meningkat selama dua sampai empat bulan awal  kehidupan seorang bayi; testosteron postnatal ini mungkin diperlukan untuk 
perkembangan normal dari penis dan skrotum. Bayi laki-laki menandakan   puncak testosteron plasma postnatal dengan konsentrasi 2–3 ng/ml hingga 3  bulan Sesudah  kelahiran, namun  menurun sekitar 0,5 ng/ml dalam 3–4 bulan. 
Gambar Kadar beberapa hormon pada laki-laki  prapubertas
golongan  usia : A (n = 6), 1–7 hari; B (n = 5), 1 minggu–2 bulan; C (n = 6), 3–4 bulan; 
D (n = 5), 5–11 bulan; E (n = 5), 1–2 tahun; F (n = 5), 3–4 tahun; G(n = 5), 5 tahun 
hingga onset pubertas. 
Tanda bintangmenandakan kemaknaan statistik dibandingkan dengan golongan  
usia sebelumnya *, p < 0,05; **, p < 0,01; ***, p < 0,001 

 MASA PRAPUBERTAS
seperti  testosteron, kadar inhibin B meningkat dengan  kadar puncak pada usia sekitar 3–4 bulan. ada  korelasi positif yang  bermakna antara kadar inhibin B, gonadotropin, dan testosteron selama 
dua tahun kehidupan. Sesudah  peningkatan ini, kadar inhibin B menurun  secara bermakna dan tetap rendah hingga pubertas   Selain menghasilkan  inhibin B, selama masa prapubertas sel Sertoli terus  menghasilkan  anti-Müllerian hormone (AMH) dan saat pubertas kadar AMH 
akan menurun secara drastis.  Sesudah  kenaikan awal sekresi hormon reproduksi, kadar FSH dan LH 
menurun dan tetap rendah selama masa balita  yang dinamakan  juga  “juvenile pause”. Kadar hormon ini tidak cukup tinggi untuk memulai fungsi  gonad pada anak-anak. 
Hormon lain menandakan  peningkatan kadar darah saat prapubertas laki-laki. Growth hormone (GH) disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior 
dalam jumlah yang lebih besar mendekati pubertas dan bertanggung jawab  bersama dengan androgen untuk pertumbuhan tulang panjang dan jaringan 
lainnya. GH juga berefek  besar pada sintesis protein dan peningkatan kadar gula darah. Anak-anak dengan kekurangan GH menandakan  
tertundanya kematangan seks dan  perawakan pendek. Peningkatan sekresi hormon tiroid dapat memicu  peningkatan metabolisme pada kedua 
jenis kelamin. Hormon tiroid juga penting untuk pertumbuhan fisik
MASA PUBERTAS
Kata pubertas berasal dari “pubes” kata Latin yang berarti “rambut”.  Pubertas yaitu  keadaan transisi yang meliputi  semua perubahan fisiologis, 
morfologis, dan perilaku yang terjadi pada personal  dari yang tidak subur  berkembang menjadi subur (dewasa). Secara morfologis, proses ini termasuk 
perubahan internal dan eksternal ciri-ciri seks primer dan sekunder. Bila  pada wanita  menarche menjadi sebuah tanda yang jelas dari terjadinya 
pubertas, sedang  tanda tahap yang sama pada anak laki-laki yaitu  ejakulasi pertama, yang sering terjadi nokturnal yang dinamakan  “mimpi 
basah”. 
ONSET PUBERTAS
Manusia mengalami pubertas jauh sesudah  kelahirannya. Sebagian besar wanita  menjadi subur antara 12–14 tahun, pada spesies non-primata pubertas terjadi jauh lebih awal, antara lain 6–7 bulan di domba betina, 12  bulan pada sapi, 7 bulan di babi, dan 30–35 hari pada tikus. 
National Health and Nutrition Examination Survey III (NHANES III) di  Amerika melaporkan rata-rata usia 10,1 tahun bagi anak laki-laki kaukasian 
memasuki G2 (Tinggaard et al., 2012). Pada anak laki-laki di Turki, G2 terjadi 
pada usia rata-rata 11,76 + 1,28 tahun dan G5 pada usia 13,87 + 0,83 tahun 
 Sementara riset  di Thailand menandakan  G2 terjadi pada usia rata-rata 11,3 + 1,3 tahun dan G5 terjadi pada usia 14,5 ± 0,9 tahun  maka  dapat disimpulkan bahwa pubertas laki-laki tidak dimulai pada usia kronologis ataupun memerlukan jangka 
waktu yang sama untuk mencapai penyelesaiannya.
Meskipun dimulai dan memerlukan  rentang waktu yang berbeda,  urutan perubahan pada pubertas tidak banyak beragam . Beberapa tahun 
sebelum tanda-tanda yang jelas dari pematangan seksual, serangkaian perubahan lain di sebagian besar organ dan struktur tubuh dimulai 2–4 tahun 
sebelum terjadinya ejakulasi pertama. Perubahan ini tergantung dan diatur oleh peningkatan kadar steroid seks dari gonad (gonadarche). 
 MASA PUBERTAS
 usia  onset pubertas pada beberapa negara dengan marker klinis yang berbeda-beda. rata-rata  usia  mencapai stadium 2 genital atau volume testis  minimal 4 ml (bola merah) dan rata-rata  usia  mencapai stadium 2 rambut pubis 
(bola abu) pada anak laki-laki kaukasian. Ukuran bola menandakan  jumlah  relawan , contoh  Swedia (SWE) 166 anak dan Islandia (ISL) 2.751 anak. Hanya riset  cross-sectional dengan jumlah relawan  lebih dari 100 anak. *Volume testis 
minimal 3 ml 
MEKANISME PEMICU PUBERTAS
Selama masa balita  pematangan seksual mengalami penekanan.  Lepasnya penekanan ini memicu  terpicunya pubertas. ada  dua teori 
mengenai proses penekanan dan pemicu munculnya  pubertas, yang pertama  melibatkan perubahan pada “gonadostat” otak dan yang kedua yaitu  “central  drive hypothesis”. Pada teori gonadostat, androgen mengerahkan umpan balik negatif  pada produksi GnRH dari hipotalamus anak, memicu  sangat rendahnya kadar GnRH. Akibatnya FSH dan LH ikut menjadi rendah. sudah  
dihipotesiskan bahwa hipotalamus anak yaitu  6–15 kali lebih peka   terhadap umpan balik negatif steroid dibandingkan  orang dewasa. Oleh sebab  
itu, walaupun kadar androgen rendah pada anak-anak, namun  kadar itu   cukup efektif menghambat sekresi GnRH dan gonadotropin. Pubertas 
dimulai akibat kepekaan  hipotalamus terhadap umpan balik negatif steroid  berkurang. Artinya, set point untuk umpan balik negatif meningkat sehingga  diperlukan konsentrasi hormon steroid yang lebih tinggi dalam darah untuk 
menurunkan sekresi gonadotropin dari kelenjar hipofisis anterior. Jadi, meskipun terjadi peningkatan sirkulasi steroid sebab  meningkatnya sekresi gonadotropin, kadar steroid ini tidak cukup tinggi untuk memblokir kenaikan  sekresi gonadotropin. Namun, ada  kelemahan pada teori ini, anak yang lahir tanpa gonad (kurang steroid untuk umpan balik negatif)  ternyata tetap berkadar  gonadotropin yang sangat rendah selama masa  balita  dan sekresi GnRH tetap terjadi pada usia normal pubertas. Bukti yang semakin berkembang menandakan  bahwa perubahan kritis  yang memicu onset pubertas yaitu  lepasnya inhibisi pusat terhadap pulse generator GnRH. Menurut hipotesis ini, pulse generator GnRH secara aktif  dihambat oleh area  lain dari otak selama masa balita . Penghambatan ini dihilangkan pada masa pubertas, memungkinkan hipotalamus untuk menghasilkan GnRH dalam pola dewasa. Selain hambatan, tidak adanya  stimulasi terhadap neuron GnRH juga bisa menjadi dasar dari belum 
terjadinya pubertas. Teori ini dinamakan  “central drive hypothesis”. Teori  ini didukung oleh fakta lesi atau tumor dari area  otak tertentu pada tikus 
betina memicu  pubertas dini, yang menandakan  bahwa area -area   otak tertentu biasanya menghambat sekresi GnRH sampai pubertas. Neuron  yang mensekresi GABA dan neuropeptide Y diduga berperan untuk menekan  sekresi GnRH selama masa balita . maka  perubahan 
di otak dapat melepaskan penghambatan pulse generator GnRH pada awal  pubertas. namun  apa yang mengendalikan  waktu pubertas masih merupakan  misteri. faktor  dari  lingkungan dapat mempengaruhi  waktu dimulainya pubertas.
Kisspeptin dan GPR54 merupakan bagian penting dari jalur  mengendalikan sekresi GnRH. GPR54 yaitu  reseptor Kisspeptin yang  merupakan produk dari KISS1R. masalah  tertunda atau tidak terjadinya pubertas  sudah  dikaitkan dengan lesi genetik yang menonaktifkan KISSPEPTIN 1 
(KISS1) atau pada gen KISS1R  Selain itu, 
mutasi baik KISS1 atau KISS1R yang mengaktifkan keduanya, sudah  ditemukan pada anak-anak dengan pubertas prekoks 
 MASA PUBERTAS
Di dalam hipotalamus, ada  dua populasi neuron penghasil  kisspeptin. Populasi yang lebih besar terletak di nukleus arcuatus (ARC), 
mengekspresikan ERα, neurokinin B, dan dynorfin A. Neuron ini diistilahkan 
dengan neuron KNDγ sebab  mengekspresikan kisspeptin, neurokinin, dan  dynorfin pada tikus dan domba.Populasi kedua tidak mengekspresikan 
neurokinin dan dynorfin, ditemukan pada nukleus anteroventral  periventrikular (AVPV) dan meluas sepanjang ventrikel ketiga hingga ke  nukleus periventrikular (PVN). Kedua populasi neuron kisspeptin bersinapsis  ke neuron GnRH, namun  neuron di ARC juga bersinapsis secara ekstensif di 
dalam ARC, 
PERUBAHAN FISIK SELAMA PUBERTAS
Pada masa remaja, terjadi percepatan pertumbuhan (growth spurt) yang  diikuti oleh perlambatan di sebagian besar dimensi tulang. Peristiwa ini  dapat dibagi menjadi tiga tahap: (1) waktu kecepatan pertumbuhan minimum 
(minimum growth velocity/MGV); (2) puncak kecepatan tinggi (peak  height velocity/PHV); dan (3) waktu kecepatan pertumbuhan menurun dan 
berhentinya pertumbuhan pada fusi epifisis. Anak laki-laki mulai percepatan  pertumbuhan mereka sekitar 2 tahun lebih lambat dibandingkan rata-rata 
anak wanita . sebab  itu, mereka lebih tinggi pada usia MGV dan saat  mencapai PHV mereka nanti. Pada G2 dan G3, kadar testosteron pagi antara 
2,4–4,2 nmol/l berkaitan  dengan 50% peningkatan kecepatan pertumbuhan dari pertumbuhan prapubertas menuju PHV, Hampir setiap dimensi otot dan rangka terlibat dalam percepatan 
pertumbuhan remaja laki-laki dan wanita . Namun, terjadi perbedaan perkembangan regional pada kedua jenis kelamin sehingga meningkatkan 
dimorfisme seksual pada orang dewasa, contoh  di bahu (yang lebih besar pada anak laki-laki) dan pinggul (lebih besar pada anak wanita ). 
tahap  pertumbuhan dinamis ini tergantung pada steroid seks dan hormon pertumbuhan.
seperti  pertumbuhan, perubahan yang cukup besar dalam komposisi tubuh terjadi selama masa pubertas. Lean body mass dan lemak  tubuh prapubertas hampir identik pada kedua jenis kelamin, namun  laki-laki  dewasa memiliki sekitar 1,5 kali lean body mass dibandingkan wanita , 
sementara wanita  memiliki dua kali lebih banyak lemak tubuh  dibandingkan laki-laki. Selain itu, massa tulang laki-laki yaitu  1,5 kali dari 
wanita . Perubahan massa tubuh ini dimulai sekitar usia 6 tahun pada  wanita  dan 9 tahun pada laki-laki dan menampilkan perubahan awal 
komposisi tubuh saat pubertas. Kekuatan rata-rata laki-laki yang lebih besar  dibanding dengan wanita  mencerminkan jumlah sel-sel otot yang lebih 
banyak sebab  efek anabolik androgen. 
MASA PUBERTAS
Tabel  Komposisi tubuh wanita  18 tahun dan laki-laki 15  tahun dengan tinggi dan berat yang sama 
Variabel wanita  laki-laki 
Tinggi (cm) 165,0 165,0
Total cairan tubuh (l) 29,5 36,0
Lean body weight (kg) 41,0 50,0
Lemak (kg) 16,0 7,0
Lemak/berat tubuh (%) 28,0 12,0
Total cairan tubuh/berat (%) 51,8 63,0

PERKEMBANGAN CIRI SEKS PRIMER
Testis tumbuh seperti  sudah  dijelaskan pada bahasan perkembangan masa prapubertas. Demikian pula skrotum dan penis laki-laki puber tumbuh  secara bermakna. Frekuensi ereksi spontan, yang terjadi pada bayi dan bahkan 
pada janin laki-laki, meningkat selama masa pubertas. Ereksi ini dapat  dianggap mengganggu bagi personal  atau orang tuanya. Frekuensi baik ereksi  spontan dan emisi nokturnal cenderung menurun sesudah  pubertas. Mimpi  basah dimulai pada laki-laki puber. Emisi ini cenderung terjadi saat  tidur atau tepat sesudah  bangun. Ejakulasi awal laki-laki puber (selama emisi  nokturnal, masturbasi, atau koitus) relatif masih bebas spermatozoa, namun   selalu ada kemungkinan ada  beberapa spermatozoa subur di dalamnya. 
Ejakulasi pertama ini tidak menandakan kesuburan sebab  ejakulat terdiri dari sedikit  seminal plasma dan spermatozoa. Peristiwa dramatis ini 
yaitu  tanda bahwa testis sudah  “terbangun” dan sedang memulai memangku aktivitas testis dewasa.
PERUBAHAN CIRI SEKS SEKUNDER
Terjadi perkembangan ciri sekunder pada masa pubertas, contoh  pubis, pertumbuhan janggut, dan perubahan suara. Rambut pubis berkembang, 
rambut juga muncul di ketiak, wajah, dada, dan ekstremitas. Kelenjar keringat  berkembang di ketiak dan dapat menghasilkan bau sebab  adanya bakteri  dalam sekresinya yang berminyak. Kelenjar sebasea menjadi aktif pada  kulit skrotum, wajah, punggung, dan dada; jerawat muncul pada beberapa  personal . Pada laki-laki puber, puting menjadi berpigmen dan areola gelap  dan melebar 
Pita suara dalam laring dua kali lipat lebih panjang pada laki-laki  pubertas sehingga menurunkan nada suara. Dalam dunia musik, Cooksey 
mendefinisikan enam pola perkembangan suara pada pubertas (C staging)  berdasar  rentang nada menyanyi dan tessitura (rentang nada tengah yang 
paling nyaman untuk bernyanyi) menemukan perubahan sifat  suara yang  mendadak di antara tahap Tanner G3 dan G4. Perubahan ini terjadi secara  gradual pada tahap C3 hingga C5 dengan memakai  C staging. Mereka 
menyimpulkan ada  korelasi antara perubahan suara dan volume testis.
MASA PUBERTAS
PERUBAHAN HORMONAL MASA PUBERTAS
Perubahan endokrin yang terdeteksi awal sehubungan dengan pubertas  yaitu  peningkatan progresif konsentrasi androgen adrenal di dalam plasma,  terutama dehidroepiandrosteron (DHEA) dan dehidroepiandrosteron sulfat  (DHEAS). Kenaikan ini dinamakan  adrenarche dan terjadi pada usia 8–15 tahun.  Kepentingan adrenarche pada pubertas tidak jelas. Kondisi ini tampaknya tidak  menjadi penting untuk kejadian pubertas, namun  mungkin menjadi penanda 
berakhirnya periode pertumbuhan otak yang cepat. 
Pubertas melibatkan peningkatan pelepasan GnRH, gonadotropin, dan  steroid seks dari hipotalamus, hipofisis, dan gonad. Peristiwa paling penting 
dalam inisiasi pubertas yaitu  aktivasi hipotalamus untuk mensekresi GnRH,  melewati sistem portal ke hipofisis dan bekerja pada reseptor GnRH agar 
hipofisis melepaskan gonadotropin lalu   merangsang gonad.  Selama tahap balita  sekresi gonadotropin dan kadarnya di  dalam darah sangat rendah. Pada periode G1 (akhir prapubertas) dan G2  (awal pubertas) terjadi peningkatan kadar FSH dan LH. Kadar FSH menjadi  landai pada G4 dan sedikit penurunan pada G5  Hal ini dapat terjadi sebab  selama  G1 dan G2, inhibin-B yang diproduksi oleh sel Sertoli dan memiliki peran 
autokrin dan parakrin dalam pertambahan dan diferensiasi sel Sertoli,  Leydig, dan spermatogonia. Pada tahap selanjutnya, inhibin B diproduksi 
oleh sel germinal bersama sel Sertoli dan bertindak secara endokrin sebagai  umpan balik terhadap FSH (Radicioni et al., 2005). Meskipun ada  peran 
sel germinal dan sel Leydig dalam produksi inhibin-B, namun  kemaknaannya  masih kontroversial dan sel Sertoli harus tetap dianggap sebagai sumber 
utama inhibin-B,  LH menstimulasi sel Leydig untuk menghasilkan  testosteron sehingga 
peningkatan kadar LH selama pubertas akan diikuti oleh peningkatan kadar testosteron. Peningkatan ini terjadi pada setiap tahap pubertas hingga 
dewasa. bahwa terjadi variasi kadar hormon dalam satu hari.  Awalnya sekresi hormon gonadotropin terjadi pada malam hari saat tidur.  Pada akhir pubertas, denyut LH siang juga meningkat, namun  kurang dari  denyut yang terjadi di malam hari, sampai akhirnya pola dewasa dengan kadar basal yang lebih tinggi dicapai tanpa variasi denyut sepanjang hari. Testosteron disekresikan dengan pola diurnal pada anak laki-laki baik  prapubertas maupun pubertas. Kadar terendah diperoleh pada sore hari dan kadar tertinggi ditemukan pada pagi hari sekitar jam 6 pagi Kadar estradiol baru menunjukan pola diurnal 
MASA PUBERTAS
pada pertengahan pubertas dengan kadar puncak pada jam 6 pagi  Gambar  Kadar rata-rata hormon harian dari 12 anak laki-laki sehat sepanjang 
pubertas. Pada riset  ini tahap pubertas dibagi menjadi prapubertas 1 (volume  testis 1 atau 2 cc), prapubertas 2 (volume testis 3 cc), pubertas awal (volume testis 4–9 cc), Mid-pubertas (volume testis 10–15 cc), dan pubertas akhir volume testis > 16 cc)
PERUBAHAN PERILAKU
Remaja harus menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis, anatomi,  dan transformasi psikologis yang luar biasa selama proses pubertas. Tubuh mereka berubah dengan cepat dan maka  citra tubuh mereka  (bagaimana mereka memandang tubuh mereka terutama dalam hubungan terhadap tubuh teman-temannya) juga berubah. Semua penyimpangan  tubuhnya dari apa yang mereka atau temannya anggap normal dapat 
memicu  rendah diri. Seseorang yang mengalami pubertas lebih dini  atau terlambat dibandingkan teman-temannya dapat mengalami masalah 
psikologis. Seorang laki-laki dapat khawatir dengan ukuran penis atau fisiknya jika tidak dalam kriteria normal.  Selain itu, pertumbuhan otak turut terjadi pada masa ini. Peningkatan  substantia grisea di beberapa area  otak, diikuti oleh kematian sel neuron.  Remodeling otak ini terutama jelas pada lobus frontal, yaitu  area  otak  yang terlibat dalam mengatur emosi dan perencanaan atau tindakan  pengorganisasian dan  menghambat perilaku impulsif. Masa pubertas terjadi bersamaan dengan masa remaja, periode menuju  dewasa, saat  banyak pembelajaran sosial berlangsung. Panjang periode  ini ditentukan secara sosial maupun biologis. Selama masa remaja, mereka 
harus belajar mencapai tingkat ekonomi dan emosional dewasa, dalam rangka pemisahan dari keluarga (menjadi mandiri), mengembangkan tujuan kerja  yang realistis, dan “berdamai” dengan seksualitas yang muncul. Sehubungan 
dengan seksualitas, mereka harus menerima fantasi seksual, ambivalensi  tentang hubungan seksual, yaitu kekhawatiran tentang kecukupan seksual,  kebingungan tentang cinta, dan kekhawatiran tentang penyakit menular 
seksual. Selain itu, mereka harus mencapai penyesuaian itu  dalam  publik  yang mengharapkan perilaku orang dewasa dari mereka namun   sering tidak memperlakukan mereka sebagai orang dewasa. maka   masa ini yaitu  pengesahan untuk pemahaman dan fleksibilitas manusia yang kebanyakan remaja menjadi dewasa, yaitu  anggota publik  yang memiliki kemampuan.
Semua perubahan ini dapat membuat remaja mengalami masa  kekacauan perilaku. Sebagai contoh, remaja dapat terlibat dalam perilaku 
lebih berisiko, berkonflik dengan orang tua mereka, dan lebih rentan pada tekanan dari sesama. Beberapa masalah kesehatan mental seperti depresi, konflik, perubahan suasana hati, dan niat bunuh diri meningkat. Sejauh mana remaja menjadi dan tetap bermasalah beragam , tergantung dengan budaya dan keadaan personal .
KLASIFIKASI TAHAP PUBERTAS 
Perubahan selama masa pubertas berguna bagi dokter untuk dapat  mengkaji remaja dan menentukan tahapan pubertas yang dialami seseorang. Untuk tujuan ini, beberapa sifat  anatomi yang berubah dalam  berbagai tahapan sudah  digolongkan  ke dalam lima tahap seperti  
dikemukakan oleh Tanner. Perubahan ini meliputi  pertumbuhan dan perkembangan pubis dan genital (penis, skrotum, dan  testis) pada laki-laki, dan  pubis dan payudara pada wanita . 
MASA PUBERTAS
Tabel Tahap Tanner pada laki-laki versi awal 
Tahap Pubis
Genital
Penis Skrotum (testis)
1 balita  (tidak ada) balita  balita 
2 Hanya sedikit, panjang, 
sedikit berpigmen, lurus 
atau sedikit keriting tumbuh 
hanya di pangkal penis
- Skrotum dan testis 
membesar, tekstur 
skrotum berubah, 
nampak kemerahan 
pada kulit putih 
3 Lebih gelap, mulai 
mengeriting, mulai tumbuh 
melewati simfisis pubis 
Memanjang Lebih besar
4 Menyerupai tipe dewasa 
(kasar dan kering), namun  
dalam jumlah yang kurang.
Membesar Semakin besar, kulit 
skrotum menjadi 
gelap
5 Distribusi dewasa; menyebar 
ke permukaan medial paha. 
Dewasa Dewasa


Metode Tanner sudah  dipakai  untuk tahap pubertas sejak 1969 . Namun, metode Tanner memiliki keterbatasan sebab  metode ini bergantung pada pengamatan hanya sedikit  dari 
sifat  seksual sekunder. Salah satunya yaitu  perkembangan payudara  pada wanita . Pada obesitas, pengamatan payudara tanpa palpasi, mungkin tidak akurat. Selain itu, tahap Tanner pada awalnya hanya berdasar  perkembangan anak kulit putih. Lebih baik untuk menyertakan ras dan etnis 
lainnya dalam metode identifikasi pubertas. Dengan perkembangan ilmu kedokteran, tahap Tanner lalu  mengalami beberapa rekayasa  dalam 
penilaiannya.
Tabel  Tahap Tanner pada laki-laki 
Tahap Pubis
Genital
Penis Testis
T1:  Prapubertas 
akhir
P1:  Tidak ada G1: Prapubertas < 3 cc
T2:  Pubertas awal P2:  Hanya sedikit, 
panjang, sedikit 
berpigmen
G2: Sedikit 
membesar 
3 cc
T3:  Mid pubertas 
awal
P3:  Lebih gelap, mulai 
mengeriting 
G3: Penis semakin 
memanjang
 4–9 cc
T4:  Mid pubertas 
lanjutan
P4:  Menyerupai tipe 
dewasa (kasar 
dan kering), namun  
dalam jumlah 
yang kurang.
G4: Lebih besar; 
luas glans 
meningkat
10–15 cc
T5:  Pubertas akhir/
dewasa
P5:  Distribusi dewasa; 
menyebar ke 
permukaan medial 
paha. 
G5: Dewasa > 15 cc
(diadaptasi dari berbagai sumber)
KECENDERUNGAN MENURUNNYA ONSET PUBERTAS
Usia menarche pada wanita  biasanya menandakan  penurunan  yang stabil dengan laju sekitar tiga bulan per dekade selama 150 tahun terakhir. Namun tingkat penurunan ini sekarang tampaknya melambat. Data  Eropa menandakan  bahwa wanita  pada pertengahan abad kesembilan  belas memasuki menarche pada usia 16–17 tahun dibanding dengan saat ini  sekitar usia 13 tahun. Di Amerika Serikat, rata-rata usia menarche yaitu  14,2  tahun pada tahun 1900, namun  saat ini diperkirakan 12,7 tahun. Saat ini, pada  beberapa gadis, munculnya  perkembangan payudara terjadi sejak usia delapan  tahun; sebelumnya, perkembangan seksual pada usia ini dianggap pubertas 
MASA PUBERTAS
prekoks. Rata-rata usia perkembangan pubertas pada anak wanita  kulit  putih di Amerika Serikat dimulai sebelum usia 10 tahun dan pada anak 
wanita  kulit hitam sebelum usia sembilan tahun. Fenomena ini dinamakan  “kecenderungan sekuler” onset pubertas. riset  onset pubertas anak laki-laki jauh lebih sedikit dibandingkan   wanita . Oleh sebab  itu, kecenderungan sekuler onset pubertas anak laki-laki kurang dipelajari dan belum dapat dipastikan. Di Belanda, dalam  riset  tentang pematangan pubertas antara tahun 1965 dan 1997,  tidak ditemukan adanya kecenderungan sekuler sesudah  tahun 1980. Volume 
testis 4 ml dicapai pada usia 11,5 tahun . Di Athena, tidak ditemukan perubahan menonjol  dalam usia pencapaian G2 antara 
tahun 1996 dan 2007–2009, yaitu 11,4 dan 11,3 tahun, Sementara pada tahun 2012, data dari jaringan Pediatric Research in  Office Setting menyatakan bahwa pertumbuhan testis dan perkembangan  rambut kemaluan yaitu  6 bulan sampai 2 tahun lebih awal dari pada masa 
sebelumnya  riset  dari Kopenhagen, Denmark 
menandakan  penurunan onset pubertas sebesar 3 bulan antara periode tahun 
1991–1993 dan 2006–2008, yaitu dari 11,92 menjadi 11,66 tahun 
Faktor lingkungan yang mempengaruhi  fisiologi anak juga dapat  mempengaruhi  waktu pematangan seks dan pubertas. Dari sekian banyak 
faktor yang mungkin, nutrisi, panjang hari, stres, iklim, dan interaksi sosial  sudah  diteliti. Namun, sangat sulit untuk memisahkan efek satu faktor 
lingkungan dari faktor-faktor lainnya. Sebagian besar pembahasan yang  disajikan pada bahasan berikut ini lebih banyak dari sumber wanita  
sebab sumber laki-laki belum terlalu banyak.
1. Makanan
Apa yang bertanggung jawab untuk penurunan usia pubertas? Beberapa bukti menandakan  bahwa peningkatan gizi dan kesehatan di masa kecil 
merupakan salah satu faktor. wanita  di negara-negara dengan gizi yang  lebih buruk cenderung memperlihatkan pubertas relatif tertunda. Bahkan, 
kelaparan akut mencegah pubertas. Rendahnya nutrisi di area  pedalaman hutan hujan  
dibandingkan dengan area  perkotaan, di kelas sosial yang lebih rendah, dan dalam keluarga yang lebih besar dapat menjelaskan usia lanjut di pubertas  terlihat dalam kelompok ini.
Hal ini juga diketahui bahwa gadis-gadis remaja dengan anoreksia  nervosa, yaitu  gangguan asupan makanan yang sangat kurang, mencapai 
pubertas pada usia yang relatif terlambat, seperti yang ditemukan pada atlet  wanita  yang ramping dan penari balet.Bagaimana nutrisi mempengaruhi  mekanisme untuk mengatur awal  pematangan seksual? Salah satu dugaan yaitu  bahwa beberapa  lemak  diperlukan dalam tubuh wanita  sebelum menarche dapat terjadi. Diduga  bahwa wanita  harus berada pada berat badan kritis sekitar 45 kg (104 lb) dan 11 kg (24 lb) harus merupakan lemak (17%) sebelum pematangan  seks dapat dimulai. Meskipun ada  banyak kontroversi tentang hipotesis ini, namun  jelas bahwa status gizi yang memadai diperlukan untuk inisiasi pubertas sehingga memiliki terlalu sedikit lemak dapat menunda menarche. Mungkin, melalui seleksi alam, wanita  terlibat dalam mekanisme untuk 
memastikan bahwa mereka sudah  memiliki cukup energi yang tersimpan  untuk melahirkan dengan sukses.  Gadis gemuk cenderung mencapai pubertas pada usia lebih awal dari  gadis-gadis lain, dan epidemi obesitas sudah  dikutip sebagai kemungkinan  pemicu  pubertas dini pada anak wanita  (namun  tidak di anak laki-laki). Jika berat badan kritis atau massa lemak penting yang diperlukan untuk memasuki pubertas, bagaimana alur sinyal metabolisme dari sistem  reproduksi untuk melanjutkan perkembangan pubertas?
Satu sinyal yang diusulkan yaitu  protein yang dinamakan  leptin, yang  diproduksi oleh sel adiposa. Kadar leptin meningkat untuk menekan nafsu makan melalui umpan balik negatif ke hipotalamus. Tikus yang kekurangan  gen untuk leptin makan dengan lahap dan mengalami obesitas. Tikus-tikus  ini juga infertil, namun  jika leptin diberikan, kesuburan mereka dipulihkan.
Manusia yang kekurangan kemampuan untuk menghasilkan leptin  atau reseptornya dapat gagal untuk memasuki pubertas. Sebaliknya, anak-
anak kelebihan berat badan, yang berkadar  leptin lebih tinggi dibandingkan   anak-anak dari berat rata-rata, cenderung memasuki pubertas lebih awal dari sebaya  mereka yang ramping. Hal ini terutama berlaku untuk anak wanita  yang kelebihan berat badan. maka  kadar ambang 
MASA PUBERTAS
leptin mungkin diperlukan untuk inisiasi pubertas. Hal ini mungkin  membantu menjelaskan mengapa wanita  penderita gizi buruk seperti  penderita anoreksia nervosa, yang berkadar  leptin yang sangat rendah,  sering tertunda pubertasnya. ada  laporan masalah  laki-laki dewasa (22 
tahun) dengan mutasi LEP mengalami hipogonadisme dan tidak munculnya  
ciri seks sekunder,  Pada anak laki-laki dan wanita , 
tingkat sirkulasi leptin meningkat sebelum masa pubertas. sebab  protein  pengikat leptin berkurang dalam darah selama akhir masa balita , 
bioavailabilitas leptin dapat meningkat secara dramatis. Reseptor leptin  ditemukan di hipotalamus dan hipofisis dan  sel gonad, dan riset   menandakan  bahwa leptin meningkatkan laju pulse GnRH. Pada orang 
dewasa, kadar leptin lebih tinggi pada wanita  dibandingkan pada laki-laki, dan perbedaan ini tetap terjadi sampai usia tua.  personal  dengan kelebihan berat badan memiliki tingkat sirkulasi leptin  yang sangat tinggi, namun  peningkatan ini tidak menghasilkan pengurangan  asupan kalori atau meningkatkan metabolisme. Ada kemungkinan bahwa  personal  obesitas mengalami resistansi leptin. Lebih banyak pekerjaan akan diperlukan  untuk menemukan bagaimana molekul ini mempengaruhi  interaksi antara berat badan, lemak tubuh, dan  status reproduksi. Meskipun leptin mungkin berefek  permisif pada  perkembangan pubertas, kadar leptin yang tinggi tidak cukup untuk memulai 
pubertas prekoks. Faktor metabolik lain yang terkait dengan status gizi dan/atau obesitas dapat mempengaruhi  waktu pubertas. contoh , resistansi 
insulin dan peningkatan sekresi insulin yaitu  komponen fisiologis  normal pubertas. Pada anak wanita  yang kelebihan berat badan atau 
obesitas, memicu  peningkatan sekresi insulin secara berlebihan, dan peningkatan tanggapan  insulin dapat memicu  pubertas terjadi lebih 
dini. Salah satu mekanismenya mungkin melalui kadar estrogen yang lebih  tinggi. Menanggapi peningkatan kadar insulin di sirkulasi, kelenjar adrenal  meningkatkan sintesis androgen. Androgen dikonversi ke estrogen oleh 
aromatase, enzim yang diproduksi oleh jaringan adiposa. maka   anak wanita  gemuk menghasilkan lebih banyak estrogen dibandingkan  sebaya 
rekan mereka yang ramping, dan kenaikan estrogen prapubertas ini dapat merangsang pertumbuhan awal jaringan payudara.
2. Panjang Hari dan Musim
Kegelapan dapat meningkatkan sintesis dan sekresi kelenjar pineal, contoh  melatonin dan zat-zat ini dapat menghambat fungsi reproduksi 
pada hewan dengan siklus reproduksi musiman. Cahaya berefek   sebaliknya. Dengan adanya lampu (pencahayaan buatan), manusia memiliki 
peningkatan panjang hari buatan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini diduga bertanggung jawab sebagian atas penurunan usia pubertas saat 
ini. Pada anak-anak yang memiliki lesi kelenjar pineal yang memicu  tidak berfungsinya kelenjar pineal akan mengalami pubertas prekoks. 
Sebaliknya, sekitar sepertiga dari anak-anak dengan tumor pineal sekretori  memperlihatkan pubertas tertunda. Namun, anak-anak buta dengan persepsi  cahaya terbatas tetap mencapai pubertas pada usia lebih dini dibandingkan  anak-anak dengan penglihatan normal, dan wanita  tanpa persepsi cahaya  mengalami menarche paling awal. Anak tuna rungu juga cenderung mencapai 
pubertas dini; maka  kekurangan sensorik pada biasanya  dapat mempercepat kematangan seks.
Beberapa bukti menandakan  bahwa wanita  lebih cepat mencapai  menarche pada waktu tertentu dalam satu tahun; waktu ini beragam  
antararea  geografis. Pengaruh panjang hari terhadap musiman pubertas  ini belum diketahui. 
3. Stres
Pada hewan laboratorium, berbagai jenis stres lingkungan (emosional atau fisik) dapat menunda kematangan seksual. Setiap jenis stressor jangka 
panjang menghasilkan satu perangkat tanggapan  stres fisiologis yang oleh Hans  Selye dinamakan  sebagai “sindrom adaptasi umum”.
Meskipun sindrom ini meliputi   berbagai mekanisme tanggapan , komponen  utamanya yaitu  pembesaran kelenjar adrenal dan meningkatnya sekresi  hormon steroid adrenal seperti kortisol. Beberapa percaya bahwa peningkatan fungsi adrenal ini dapat menghambat sistem reproduksi. Ada beberapa  informasi bahwa stres (emosional atau fisik) dapat menunda pubertas pada  manusia. ada  bukti bahwa stres selama masa bayi dan balita  dapat  mempercepat pubertas. Akhirnya, stres keluarga berperan pada cepatnya  pubertas pada anak wanita . Gadis yang tumbuh tanpa adanya seorang  ayah biologis, terutama dengan hadirnya ayah tiri, cenderung masuk pubertas  dini.
4. polusi  Lingkungan
Beberapa bahan kimia yang dipakai  dalam sintesis plastik dan dalam proses industri lainnya bertindak sebagai estrogen lemah. ahli biologi  berhipotesa  bahwa paparan “xenoestrogens” yang semakin meluas ini dapat mempercepat pubertas. Pada anak-anak dengan kelebihan berat badan, 
estrogen lemah yang disintesis oleh jaringan adiposa dapat memicu  peningkatan estrogen pada darah. Paparan estrogen ini pada anak wanita  
menimbulkan tanda-tanda pubertas yang belum jelas apakah pubertas ini bersifat “nyata” atau “pseudo pubertas”. Jika estrogen lingkungan 
mempercepat perkembangan seksual secara menonjol , seharusnya terjadi  epidemi ginekomastia pada anak laki-laki. Estrogen yang meningkat selama  masa kandungan pada anak laki-laki memicu  testicular dysgenesis 
syndrome (TDS). Namun, polusi lingkungan (contoh  dioxin, polychlorinated biphenyls atau PCBs) sudah  terlibat dalam menunda pubertas laki-laki. Banyak riset  yang diperlukan untuk mempelajari  efek dari kontaminan 
lingkungan yang mengganggu pada perkembangan pubertas.
5. Iklim dan Ketinggian
Dahulu, dianggap bahwa anak-anak di area  lebih hangat mencapai  pubertas pada usia lebih dini dibandingkan di area  dingin. Namun perbandingan 
statistik sudah  menandakan  bahwa perbedaan ini sebab  faktor lain selain  suhu. Ketinggian tampaknya berefek  pada onset pubertas. Memang, 
untuk setiap kenaikan 100 m, pubertas tertunda sekitar tiga bulan. Mekanisme  bagaimana ketinggian menekan proses pematangan seksual tidak diketahui  dengan jelas dan mungkin terkait dengan gizi yang lebih buruk, hipoksia, dan 
pengeluaran energi yang lebih besar pada ketinggian yang lebih tinggi.
6. Genetika 
Faktor genetik berinteraksi dengan faktor lingkungan untuk menentukan  usia kematangan seksual. Bahkan, perbedaan usia menarche antarnegara mungkin berkaitan dengan perbedaan genetik pada populasi dan  perbedaan  dalam kesehatan dan gizi anak-anak. Diperkirakan bahwa 50–75% dari  keragaman dalam usia pubertas yaitu  sebab  perbedaan genetik. contoh ,  usia saat menarche cenderung serupa di ibu dan anak wanita . Selain itu,  pada wanita  kembar identik (genotipe identik), usia menarche biasanya 
berbeda dengan selisih maksimal dua bulan. Faktor pembeda di sini yaitu   perbedaan berat lahir atau paparan lingkungan sosial dan fisik yang sedikit 
berbeda selama masa balita . Sebaliknya, perbedaan antara usia  menarche pada anak wanita  kembar fraternal bisa sampai delapan bulan. 
Di Amerika Serikat, wanita  kulit hitam mencapai pubertas sekitar satu tahun lebih awal dari wanita  kulit putih, hal ini mungkin mencerminkan 
perbedaan genetik. Dalam riset  NHANES III antara tahun 1988 dan 1994, usia rata-rata 
saat permulaan pubertas anak laki-laki kulit hitam sekitar 9,2 tahun, anak  laki-laki kulit putih 10,0 tahun, dan anak laki-laki Amerika Meksiko 10,3 
tahun . Namun, riset  cross-sectional yang lebih baru (antara  tahun 2005 hingga 2010) di Amerika Serikat menandakan  usia rata-rata  untuk pencapaian TV sebesar > 3 mL pada kulit putih yaitu  9,95 tahun,  Afrika-Amerika 9,71 tahun, dan Hispanik 9,63 tahun. Sementara untuk > 
4 mL masing-masing yaitu  11,46, 11,75, dan 11,29 tahun. Data terakhir ini  tidak mendukung anggapan bahwa anak laki-laki Afrika-Amerika lebih awal  mengalami pubertas dibandingkan anak laki-laki Eropa-Amerika  maka  peran genetik (ras) dalam menentukan  mulainya pubertas laki-laki  belum dapat dipastikan.
7. Kelainan Pubertas
Secara medis, pubertas yang terjadi tidaknormal  lebih awal diistilahkan dengan pubertas prekoks. Untuk anak laki-laki, pubertas prekoks masih 
didefinisikan sebagai perkembangan seksual (Tanner 2) sebelum usia sembilan tahun. Pubertas prekoks dilaporkan pada anak wanita  10 kali lebih sering  dibandingkan anak laki-laki. sedang , pubertas dianggap tertunda pada laki-laki jika tidak ada pertumbuhan testis hingga usia 14 tahun atau jika  tidak ada lonjakan pertumbuhan tulang hingga usia 18 tahun. Pubertas prekoks dapat digolongkan  menjadi dua, yaitu sentral (sejati) yang bersifat gonadotropin dependent/progresif dan perifer (pseudo 
MASA PUBERTAS
pubertas prekoks) yang bersifat gonadotropin independent. Aksis hipotalamus,  hipofisis, dan testis aktif memicu munculnya  pubertas pada tipe sentral, sementara pada tipe perifer, aksis ini tidak aktif,  Klasifikasi etiologi pubertas prekoks ditampilkan pada Tabel 

a. Pubertas prekoks sentral
 Pada sebagian masalah , pubertas prekoks sentral (PPS) bersifat idiopatik. Sebagian lainnya memiliki sebab yang sudah  diketahui seperti genetik 
(mutasi aktif gen KISS1R dan KISS1, mutasi inaktif gen MKRN3, dan  tidaknormal itas kromosom), tumor saraf pusat (astrositoma, ependimoma, 
glioma optik/hipotalamus, adenoma yang mensekresikan LH, pinealoma, neurofibroma, kraniofaringioma), dan lain sebagainya, 
 Pengukuran kadar LH sebelum sesudah  stimulasi GnRH kerja singkat dipakai  untuk mendeteksi aktivasi aksis hipotalalmus-hipofisis-gonad. Konsentrasi LH basal > 0,6 IU/L (metode immunofluorometrik) atau   > 0,3 IU/L (metode immunochemiluminescene dan electrochemiluminescence) 
dianggap sebagai pubertas. Uji  stimulasi memakai  GnRH short-acting (gonadorelin intravena, 100  Î¼g) dapat disarankan  pada kondisi tertentu. LH basal 0,6 U / L,  diukur dengan IFMA, mampu mendiagnosa PPS pada 71,4% anak laki-
laki . Pengukuran LH 30 sampai 120 menit sesudah  aplikasi pertama analog kerja panjang GnRH bulanan dapat menjadi  alternatif untuk mengonfirmasikan diagnosa biokimia PPS.
 Terapi pilihan untuk PPS yaitu  administrasi GnRH analog. GnRH analog  akan berkompetisi dengan GnRH untuk menempati reseptor GnRH 
di hipofisis. awalnya , analog GnRH menstimulasi sintesis dan  sekresi gonadotropin. Namun, dalam pemakaian  kronis memicu   down-regulation reseptor GnRH sehingga menekan produksi hormon gonadotropin yang pada gilirannya akan menurunkan kadar testosteron 
 Leuprorelin asetat dan triptorelin dengan dosis 75–100  Î¼g/kg merupakan obat yang umum dipakai . Secara praktis, 3,75 mg  analog GnRH diberikan secara intramuskular atau subkutan setiap 4 minggu 
b. Hiperplasia adrenal kongenital 
 Salah satu bentuk pseudo pubertas yang umum yaitu  hiperplasia  adrenal kongenital (CAH). CAH merupakan kelainan familial  autosomal resesif dengan adanya gangguan pada jalur sintesis kortisol. Sebagian besar masalah , yaitu sekitar 90%, disebabkan oleh defisiensi 21-hydroxylase yang ditandai dengan produksi androgen berlebih yang  tingkat keparahannya beragam  pada beberapa subtipe yang berbeda.  Hal ini memicu  meningkatnya sekresi adrenocorticotropic hormone  (ACTH), hiperplasia adrenal, overproduksi steroid adrenal yang tidak 
memerlukan aktivitas enzim yang kurang itu , dan  defisiensi  steroid yang terletak distal dari tahapan enzimatik yang terganggu.   Data dari sekitar 6,5 juta bayi baru lahir di seluruh dunia yang diskrining 
untuk defisiensi 21-hydroxylase menandakan  bahwa CAH klasik terjadi  pada 1:13.000 hingga 1:15.000 kelahiran hidup. CAH bentuk klasik yang 
berat merupakan pemicu  tersering genitalia ambigus pada fetus yang  secara genetik yaitu  wanita . Manifestasinya secara klinis tampak 
dari adanya virilisasi prenatal pada wanita  yang terkena kelainan  ini. Gangguan pubertas dan infertilitas pada pasien-pasien CAH sudah  
diketahui dengan baik, namun  pubertas normal dan fertilitas dapat  dicapai dengan keberhasilan pengobatan. Terapi eksperimental dengan deksametason pada awal gestasi berhasil 
mengurangi virilisasi pada fetus wanita  yang terkena CAH klasik  secara menonjol . Terapi penggantian dengan glukokortikoid dan 
mineralokortikoid postnatal diperlukan  oleh hampir semua pasien seusia   hidup. Terapi CAH prenatal dengan deksametasone pada wanita  
hamil yang fetusnya mungkin mengalami CAH sudah  dideskripsikan  sejak 30 tahun lalu , namun  terapi ini masih tetap bersifat kontroversial 
sebab  7 dari 8 fetus yang diterapi tidak memperoleh  manfaat dari  itu  dan  sebab  bukti-bukti menandakan  bahwa terapi itu  berefek  yang tidak diharapkan pada fungsi metabolik maupun 
fungsi kognitif atau behavioural. 
8. Pubertas Terlambat
Pubertas dianggap terlambat bila  pubertas belum dimulai pada usia  14 tahun atau lebih. ada  beberapa pemicu  umum pubertas terlambat 
seperti  ditampilkan pada Tabel 
Constitutional delay of puberty (CDP)
CDP hingga saat ini merupakan pemicu  terbanyak dari pubertas  terlambat (pubertas tarda). Pada laki-laki, prevalensinya mencapai 1:40. Durasi 
dan urutan dari pubertas, begitu pubertas dimulai, biasanya normal pada anak  laki-laki dengan CDP. Perkembangan pubertas berakhir dengan kematangan  seksual yang lengkap dan kesuburan yang normal. Oleh sebab  itu, CDP  harus dilihat sebagai varian fungsional ekstrem dari onset perkembangan  pubertas normal. Meskipun CDP bukan suatu penyakit, keterlambatan  perkembangan pubertas bisa menjadi beban psikologis bagi remaja. CDP  terjadi sebagai kondisi yang diturunkan atau sporadis 
Perkembangan  pubertas yang terjadi sesudah nya didefinisikan sebagai pubertas tarda, 
Selain anamnesis, kurva pertumbuhan dan pemeriksaan fisik  menyeluruh, penentuan usia tulang dari pergelangan tangan dan tangan 
kiri (termasuk epifisis ulnar dan radial) merupakan prosedur diagnostik  yang penting  CDP dapat didiagnosa hanya jika kondisi  yang mendasari sudah  dikesampingkan dan jika pubertas terlambat ini diikuti dengan perkembangan pubertas yang spontan, Permasalahan utama dalam diagnosa yaitu  dalam membedakan CDP 
dengan isolated/idiopathic hypogonadotropic hypogonadism. Pada sebagian besar 
pasien CDP, perkembangan pubertas spontan dimulai sebelum usia 20 tahun. 
Indikasi untuk terapi biasanya bukan sebab  keterlambatan pubertas itu  sendiri, namun  tekanan psikologis yang disebabkan oleh kurangnya virilisasi  dan/atau postur pendek. Terapi pilihan untuk remaja tanpa tanda-tanda 
pubertas yaitu  injeksi testosterone enanthate atau alternatifnya dengan hCG  atau pulsatile GnRH 
9. Sindrom Klinefelter 
Angka kejadian sindrom Klinefelter sekitar 1 dari 500 laki-laki. Sindrom  ini merupakan pemicu  paling sering dari hipergonadotropik hipogonadisme. 
Gejala klinis sindrom Klinefelter tidak khas dan sering diabaikan. Beberapa gejala yang tampak antara lain panjang lengan yang tidak proporsional 
dengan panjang tubuh, testis berukuran kecil dan keras, namun  virilisasi  sering normal. Gejala klinis lain yang mungkin timbul antara lain kelainan 
jantung, gangguan perilaku dan kognitif, dan peningkatan risiko kejadian  kanker payudara. Sindrom Klinefelter didiagnosa dengan analisis kariotipe memakai  darah perifer. Bentuk kelainan kromosom yang paling sering  pada sindrom Klinefelter yaitu  47,XXY. sedang  kromosom tipe mosaik  hanya ditemukan sekitar 15–20% pada sindrom Klinefelter.  Sindrom Klinefelter harus dipertimbangkan pada semua laki-laki 
dengan azoospermia atau konsentrasi sperma yang sangat rendah dan ditambah  ukuran testis kecil. Sperma pada pasien Klinefelter dapat ditemukan dengan  cara sperm retrieval dengan tingkat keberhasilan sekitar 48–66%. Beberapa 
parameter klinis yang dapat memprediksi keberhasilan sperm retrieval antara  lain Klinefelter tipe mosaik (47,XXY/XY), pola rambut wajah yang normal, dan tidak adanya ginekomastia. Sayangnya, ukuran testis, kadar FSH, dan  testosteron tidak menandakan  adanya korelasi dengan kondisi spermatozoa. Pendekatan dengan pemberian aromatase inhibitor atau human chorionic 
gonadotropin diikuti dengan mikrodiseksi TESE (Testicular Sperm Extraction) 
memberi  angka keberhasilan hingga 72% untuk menemukan spermatozoa  pada pasien Klinefelter. Perbaikan spermatozoa biasanya lebih baik pada tipe  mosaik dibandingkan tipe non mosaik. Namun, kadang  tipe mosaik ini  tidak teridentifikasi pada beberapa laboratorium.  Pemeriksaan spermatozoa dilakukan setidaknya pada dua ejakulat dengan melakukan sentrifugasi bila spermatozoa sulit ditemukan. Jika  spermatozoa ditemukan sesudah  dilakukan sentrifugasi, biasanya ada  kemungkinan spermatozoa ditemukan pada jaringan testis, sehingga tindakan 
biopsi mungkin diperlukan. Dampak yang mungkin terjadi akibat biopsi  yaitu  defisiensi androgen sebab  kerusakan jaringan testis. Kemungkinan 
semua pasien dengan sindrom Klinefelter harus dilakukan pemantauan status  androgen jangka panjang, terutama pada pasien dengan biopsi testis. Tata laksana pasien dengan sindrom Klinefelter harus meliputi  usaha   perbaikan spermatozoa untuk fertilitas dan terapi sulih androgen pada usia 
tua. Spermatozoa yang ditemukan pada sperm retrieval dapat dipakai untuk  melakukan IVF (In Vitro Fertilization) dan ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm Injection).  Sebelum melakukan IVF (In Vitro Fertilization) dan ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm 
Injection), kedua pasangan harus diberikan informasi tentang kemungkinan  memiliki anak dengan sindrom Klinefelter. Konseling mungkin sulit sebab   calon ayah kadang  memiliki inteligensia yang rendah. Konseling harus 
meliputi  diagnosa praimplantasi dan amniosintesis. 
10. Sindrom Kallmann 
Sindrom Kallmann (SK) merupakan kelainan genetika yang  dikaitkan  dengan adanya kondisi hipogonadotropik-hipogonadisme dan 
anosmia. Walaupun bisa juga muncul dengan variasi tidaknormal itas lainnya,  contoh  gerakan bagian atas tubuh yang seperti cermin dan agenesis renal  pada X-linked SK, dan tidaknormal itas kraniofasial pada autosomal SK meliputi   
gangguan bibir sumbing dan celah langit-langit mulut, Kondisi hipogonadotropik-hipogonadisme kerap  terjadi akibat  gangguan produksi Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) yang memicu  penurunan kadar hormon LH dan FSH yang dihasilkan kelenjar pituitari.  Mikropenis ataupun kriptorkidisme juga sering ditemui sebagai manisfestasi  klinis awal SK, termasuk banyak pasien yang mengalami gangguan maupun 
keterlambatan mengalami pubertas. Pemberian GnRH eksogenus secara  pulsatil dapat meningkatkan produksi LH dan FSH pada pasien dengan SK dan mampu menginduksi pubertas dan kesuburan 
 STEROIDOGENESIS
Testis laki-laki  dewasa biasanya  memiliki dua fungsi utama di dua  kompartemen yang berbeda, yaitu membentuk androgen dan membentuk sel 
benih (gametogenesis) yang pada laki-laki  dinamakan  spermatogenesis. Pembentukan 
androgen ini sering diistilahkan sebagai steroidogenesis, sebuah istilah yang  sebetulnya  jauh lebih luas maknanya. Meskipun terpisah, kedua fungsi ini  saling berkaitan. Meskipun 
testis merupakan organ penghasil androgen utama, peran adrenal dalam  steroidogenesis juga perlu dipahami. Pada kondisi tertentu, steroidogenesis 
adrenal memberi  dampak pada perkembangan seks baik pada laki-laki  dan wanita. 
HORMON STEROID 
Steroid merupakan molekul organik lipofilik, memiliki 4 cincin inti  dan berfungsi untuk membawa pesan kimiawi tertentu 
Menurut fungsinya, ada  tiga kelas utama steroid yaitu glukokortikoid,  mineralokortikoid, dan steroid seks. Semua steroid baik alami maupun sintesis 
tersusun atas 4 cincin inti yang dinamakan  siklo-pentano-perhidrofenantren. Cincin ini terdiri dari cincin sikloheksan (cincin A, B, dan C) dan  cincin 
siklopentan (cincin D) i 
Androgen merupakan steroid seks pada laki-laki . Hormon ini berperan pada  berbagai fungsi organ reproduksi maupun non reproduksi. Androgen dapat  berupa testosteron, 5α-dihidrotestosteron (DHT), androsteron, androstenedion, 
17-hidroksiprogesteron, progesteron, dan pregnenolon. Komponen utama  androgen yaitu  testosteron yang dihasilkan dalam jumlah besar oleh testis  dan dalam jumlah lebih kecil oleh kelenjar adrenal. Peran androgen pada laki-laki  
tergantung pada berbagai faktor, seperti jumlah androgen yang diproduksi, distribusi, metabolisme, dan interaksi dengan reseptor, dan  ekskresinya.
STEROIDOGENESIS TESTIS
Sel Leydig merupakan penghasil utama testosteron. Sel yang terletak di  kompartemen interstitial testis ini menghasilkan  sekitar 95% testosteron yang 
bersirkulasi pada laki-laki . laki-laki  dewasa memiliki sekitar 200 juta sel Leydig. Testis 
menghasilkan  sekitar 6–7 mg testosteron setiap hari. Konsentrasi testosteron di dalam testis 80 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi di  darah tepi. 
Sel Leydig mengonversikan kolesterol menjadi testosteron. Di dalam sel ini, testosteron juga dapat diubah menjadi dihidrotestoteron atau estradiol. 
Sel Leydig menghasilkan  estradiol namun  dalam jumlah yang kecil, sekitar 20 % dari aromatisasi periferal, 
Kelenjar adrenal (juga dinamakan  kelenjar suprarenal) merupakan kelenjar endokrin yang menghasilkan  beragam hormon, termasuk testosteron. Kelenjar ini terdiri dari bagian korteks dan medula. Kelenjar adrenal memiliki 
tiga lapisan korteks, terdiri dari zona glomerulosa (luar), zona fasikulata 
(tengah), dan zona retikularis (dalam).
Steroidogenesis adrenal memiliki makna steroidogenesis yang lebih luas dibandingkan steroidogenesis testis. Proses ini memiliki “jalur bersama” yang  mirip dengan steroidogenesis testis maupun sel teka ovarium. Namun, pada 
proses selanjutnya sebagian progesteron atas pengaruh renin-angiotensin  akan memasuki jalur pembentukan mineralokortikoid (aldosteron) di zona glomerulosa. Adrenocorticotropic hormone (ACTH) menstimulasi 17-OH-progesteron untuk memasuki jalur pembentukan glukokortikoid (kortisol dan kortison). Sementara androgen adrenal akan di bentuk di zona retikularis 

BIOSINTESIS TESTOSTERON
Bahan dasar hormon steroid yaitu  kolesterol. Luteinizing hormone (LH), mengendalikan steroidogenesis dan homeostatis kolesterol dalam sel Leydig  secara sentral. Kolesterol berada di dalam sel Leydig melalui dua cara, yaitu 
secara endosistosis, dimediasi reseptor LDL atau disintesis de novo di dalam sel  Leydig dari acetyl-coenzyme A. Testosteron turut berperan dalam homeostasis  lipid di dalam sel Leydig dan memodulasi ekspresi gen yang terlibat dalam 
sintesis kolesterol de novo, Kolesterol baik yang masuk melalui reseptor LDL maupun sintesis de 
novo akan disimpan ke dalam cytoplasmic lipid droplets dalam bentuk kolesterol  ester sesudah  diesterifikasi oleh acyl-CoA cholesterol transferase. Jumlah lipid droplets berbanding terbalik dengan kecepatan sintesis androgen. Bila  sintesis androgen lambat, maka jumlah lipid droplet akan banyak, begitu pun  sebaliknya. Melalui aktivasi LH, kolesterol ester ini akan dihidrolisis oleh 
kolesterol ester hidrolase untuk selanjutnya mengalami steroidogenesis. Kolesterol memasuki mitokondria dengan bantuan Steroidogenic acute 
regulatory protein (StAR). StAR terletak di membran dalam mitokondria dan  berperan dalam perpindahan kolesterol dari membran luar menuju membran dalam mitokondria. Mekanisme yang pasti bagaimana StAR menstimulasi  influks kolesterol masih belum jelas, namun begitu StAR berkaitan  dengan kolesterol, terjadi perubahan konformasional yang membuka  kantung pengikat kolesterol (Cholesterol-binding pocket). Sesudah  fosforilasi, StAR berinteraksi dengan voltage-dependent anion channel 1 (VDAC1) pada 
membran luar. Di dalam mitokondria, kolesterol diubah menjadi pregnenolon dengan  bantuan sebuah enzim yang ada  di membran dalam mitokondria, P450  side-chain cleveage (P450ssc). Pregnenolon selanjutnya akan berdifusi melalui 
membran mitokondria menuju retikulum endoplasma. 
Proses selanjutnya yang terjadi di retikulum endoplasma dapat melalui  jalur ∆4 atau ∆5. ∆4 atau ∆5 merujuk pada penempatan ikatan rangkap pada steroid. Jalur ∆5 lebih dominan dibandingkan ∆4 pada manusia. 
Pada jalur ∆4, pregnenolon diubah menjadi progesteron oleh 3β- Hydroxysteroid dehydrogenase (3β-HSD). Enzim CYP21A2 lalu  
mengonversikan progesteron menjadi 17α-hydroksiprogesteron. Enzim  yang sama melepaskan rantai samping sehingga terbentuk androstenedion. Androstendion dikonversi menjadi testosteron melalui kerja enzim 17β 
Hydroxysteroid dehydrogenase (17β-HSD). 
Pada jalur ∆5, oleh P450c17, pregnenolon dikonversi menjadi produk 
antara 17-hidroksipregnenolon. Selanjutnya, P450c17 mengonversikan produk 
antara itu  menjadi dehidroepiandrosteron (DHEA). DHEA lalu   dikonversi menjadi androstenedion oleh kerja enzim 3β-HSD. Testosteron 
lalu  terbentuk dari androstenedion seperti  terjadi pada jalur  ∆4. Mekanisme pengangkutan testosteron dari sel Leydig ke dalam  darah atau getah bening tidak sepenuhnya diketahui. Androgen mungkin  menyebar ke cairan interstitial dan lalu  masuk ke kapiler testis  atau memasuki kapiler secara langsung dari sel Leydig yang bersentuhan  langsung dengan mikrovaskuler testis secara difusi pasif. Konsentrasi  testosteron pada sirkulasi limfatik dan darah vena testis sangat mirip, namun  ada  perbedaan kecepatan aliran pada kedua sistem itu . sebab  itu, 
transportasi testosteron di dalam sirkulasi darah terjadi utamanya melalui vena spermatika. 
PERAN LH DALAM SINTESIS TESTOSTERON
LH merupakan glikoprotein dimerik. LH berikatan dengan reseptor  khusus pada sel Leydig yang tergolong dalam keluarga G-coupled receptors. 
Reseptor LH juga ditemukan di organ lain seperti prostat, 
Kerja utama LH yaitu  menempel ke reseptornya pada sel Leydig dan  menginduksi sintesis dan  pengeluaran testosteron. Selain itu LH berperan 
dalam regulasi jumlah sel Leydig. Sementara peran LH pada organ lain belum  diketahui.
Perlu dicatat bahwa LH mungkin bukan satu-satunya faktor yang menstimulasi produksi testosteron. Human chorionic gonadotropin (hCG) 
dapat berikatan dengan reseptor LH dan menstimulasi sel Leydig untuk  menghasilkan  testosteron. Hal ini dibuktikan dengan testosteron yang mampu  diproduksi oleh testis janin sebab  pengaruh LH janin dan hCG ibu. Pada mutasi rantai β LH, gonadotropin menjadi inaktif namun diferensiasi seksual  tetap normal sebab  testosteron tetap diproduksi atas rangsangan hCG 
maternal,  HCG juga dipakai  untuk meningkatkan 
kadar testosteron endogen pada stimulasi spermatogenesis. riset  pemberian LH eksogen menandakan  bahwa produksi testosteron meningkat sebelum LH mencapai sel Leydig melalui ruang interstitial
PERAN FAKTOR LAIN DALAM STEROIDOGENESIS
Growth factor (GF) tampaknya berpengaruh  terhadap fungsi sel Leydig riset  ini menyimpulkan bahwa fungsi lokal inhibin dan aktivin dapat menjadi modulasi aktivitas steroidogenik. 
Aktivin menghambat atau merangsang steroidogenesis sel Leydig. biasanya  insulin-like growth factor 1 (IGF-1) dan transforming growth factor α (TGF-α) bertindak sebagai aktivator aktivitas sel Leydig, sementara TGF-β 
bertindak sebagai inhibitor. Pada sel Leydig manusia, aktivitas steroidogenik juga distimulasi oleh epidermal growth factor (EGF).
Hormon tiroid mempercepat diferensiasi sel Leydig dan juga menstimulasi ekspresi StAR dan produksi steroid di dalam sel yang sudah  berkembang secara sempurna  Glukokortikoid menghambat enzim-enzim steroidogenik dan  menginduksi apoptosis sel Leydig tikus, . FSH rekombinan 
menstimulasi produksi testosteron pada laki-laki  dan pada  pasien dengan defisiensi FSH. Hal ini mendukung  ide interaksi antara sel Sertoli, sel Leydig, dan sel peritubular dalam 
hubungannya dengan kerja androgen dan gonadotropin. 
TRANSPOR TESTOSTERON DI DALAM DARAH
Sebagian testosteron terikat dengan molekul protein. Di dalam plasma, testosteron utamanya terikat dengan albumin atau sex hormone binding globulin (SHBG) yang diproduksi oleh hepatosit. Di dalam testis, testosteron terikat  oleh Androgen-binding protein (ABP), sebuah molekul mirip dengan SHBG yang  diproduksi oleh sel Sertoli. Pada testis manusia, hasil transkripsi gen SHBG 
diekspresikan di dalam sel germinal dan mengkode isoform SHBG yang lebih  kecil 4–5 kDa dibandingkan SHBG plasma. Kapasitas pengikatannya juga  lebih rendah dibandingkan SHBG plasma . SHBG tidak hanya berikatan dengan testosteron, namun  juga dengan estradiol. Ikatan testosteron terhadap SHBG tiga kali lebih kuat dibandingkan dengan estradiol.  Pada laki-laki  normal, hanya 2–3% dari testosteron total yang bersirkulasi  secara bebas, sementara 44% berikatan dengan SHBG, 50% berikatan 
dengan albumin, dan 3,5% berikatan dengan cortisol binding globulin.  Afinitas testosteron terhadap molekul albumin sekitar 100 kali lebih rendah  dibandingkan dengan SHBG. Namun, sebab  konsentrasi albumin lebih  tinggi dibandingkan dengan SHBG, kapasitas pengikatan kedua protein ini  secara total hampir sama. Testosteron bebas dan terikat albumin merupakan 
“bioavailabe testosterone”. Rasio testosteron terikat SHBG terhadap testosteron bebas sebanding  dengan konsentrasi SHBG. sebab  penghitungan langsung kadar testosteron 
bebas tidak praktis, sudah  dibuat beberapa rumus untuk memperkirakan  konsentrasi testosteron bebas dan bioavailable testosterone di dalam serum. Rumus yang pernah dipublikasikan antara lain dari Sodergard, Vermeulen, 
STEROIDOGENESIS
Emadi-Konjin, Morris, dan Ly. Semua rumus ini perlu divalidasi ulang sesuai  dengan kondisi lokal sebelum dipakai Konsentrasi SHBG di serum dipengaruhi oleh berbagai faktor. Estrogen 
menstimulasi dan androgen menghambat produksi SHBG. maka   wajar bila ditemukan bahwa kadar SHBG laki-laki  lebih rendah dibandingkan  kadar 
SHBG pada wanita. Kadar SHBG laki-laki  sekitar sepertiga hingga setengah  konsentrasi pada wanita. Hormon tiroid merupakan stimulator kuat produksi  SHBG.  Dalam kondisi laki-laki  dengan aksis hipotalamus-hipofisis-testis yang 
normal, peningkatan kadar SHBG akan diikuti dengan penurunan akut  kadar testosteron bebas dan secara bersamaan terjadi peningkatan sintesis 
testosteron yang terjadi hingga diperoleh keseimbangan. Beberapa kondisi  yang mempengaruhi  produksi SHBG dirangkum dalam Tabel  Faktor-faktor yang mempengaruhi  konsentrasi SHBG Stimulasi produksi SHBG Inhibisi produksi SHBG Aplikasi estrogen Terapi androgen
Defisiensi testosteron Obesitas
Defisiensi hormon pertumbuhan Akromegali
Hepatitis Sindrom nefrotik
Sirosis Glukokortikoid
pemakaian  fenitoin Hiperinsulinemia
Hipertiroidisme Hipotiroidisme
Gen SHBG terletak di 17p12-p13 dan mengkodekan polipeptida yang mengandung 402 residu asam amino. Polimorfisme gen SHBG dapat 
memicu  perubahan konsentrasi SHBG personal . Mutasi pada lokus  rs6259 menghasilkan penambahan rantai gula lalu   menurunkan 
kecepatan metabolisme pembersihan SHBG dan memperpanjang waktu paruh SHBG. Mutasi ini memicu  kadar SHBG meningkat sehingga mengubah  aktivitas biologis androgen dan selanjutnya memicu  infertilitas laki-laki  
MEKANISME MASUKNYA TESTOSTERON KE DALAM SEL TARGET
Untuk bekerja, testosteron bebas perlu masuk ke dalam sel dan menempel pada reseptor intraseluler. Mekanisme masuknya testosteron ke  dalam sel dapat melalui empat mekanisme, yaitu testosteron masuk secara  bebas, endositosis dimediasi oleh reseptor terhadap molekul lipofilik yang  mengandung steroid, endositosis dimediasi reseptor terhadap steroid, dan  pengambilan molekul yang dimediasi melewati membran.
STEROIDOGENESIS
Terjadi disosiasi testosteron dan hormon steroid lainnya dari protein  pengikat di kapiler. Interaksi protein pengikat dengan glikokaliks endotelial 
memicu  perubahan struktural dan memicu  perubahan afinitas protein pengikat. maka  testosteron menjadi bebas dan dapat 
menyebar secara bebas ke dalam sel target, 
Pada endositosis, dimediasi oleh reseptor terhadap molekul lipofilik yang  mengandung steroid, testosteron, dan hormon steroid lainnya yang berikatan dengan molekul lipofilik seperti LDL akan berikatan dengan reseptornya.  Ikatan ligan dan reseptor ini akan diendositosis dan didegradasi di dalam lisosom sehingga hormon dapat bebas dan menempel pada reseptornya 
Para ahli biasanya  berpendapat bahwa fraksi testosteron bebas dan  bioavailable yang aktif secara biologis. Namun, megalin, reseptor endositosis LDL di jaringan reproduksi, dapat meningkatkan serapan seluler testosteron 
yang terikat pada SHBG melalui proses endositosis 
Sesudah  degradasi intraseluler, testosteron bebas di sitoplasma, Pada pengambilan molekul yang dimediasi melewati membran ditambah    protein pengikatnya menempel pada kanal steroid. lalu  testosteron akan masuk ke dalam sel, 
METABOLISME TESTOSTERON
Testis menghasilkan Androgen seperti testosteron, 5α-dihydrotestosterone  (DHT), androsteron, androstenedion, 17-hidroksiprogesteron, progesteron, dan  pregnenolone. Peran androstenedion, progesteron, dan 17-hidroksiprogesteron 
di dalam testis belum diketahui, namun  reseptor progesteron sudah  ditemukan di sel peritubular dan spermatozoa, Sebagian testosteron mengalami metabolisme (biotransformasi) baik  menjadi metabolit aktif seperti DHT dan estradiol maupun metabolit yang tidak aktif untuk diekskresikan. Proses transformasi ini antara lain melalui 
aromatisasi, reduksi, dan glukoronidasi.
AROMATISASI TESTOSTERON
Aromatisasi testosteron memicu  terbentuknya estradiol. Estradiol juga dapat diproduksi sebagai hasil dari aromatisasi androstendion menjadi 
estron yang selanjutnya direduksi menjadi estradiol pada jaringan tepi, 
Estrogen mempengaruhi  testosteron baik secara sinergis maupun  antagonis. Estrogen diperlukan  untuk penutupan epifisis. Kadar bioavailable 
estrogen dan testosteron berkaitan  erat dengan turnover tulang yang  tinggi dan rendahnya risiko fraktur osteoporosis. Defisiensi aromatase pada 
laki-laki  dikaitkan  dengan kejadian resistansi insulin dan diabetes melitus  tipe 2. Gangguan rasio estrogen terhadap testosteron diduga bertanggung  jawab terhadap perkembangan gangguan toleransi glukosa dan resistansi 
insulin pada pasien dengan defisiensi aromatase yang memperoleh  terapi  sulih testosteron. Ketidakseimbangan rasio estrogen terhadap testosteron juga  diduga sebagai pemicu  ginekomastia. 
REDUKSI TESTOSTERON
Reduksi testosteron menjadi DHT terjadi di retikulum endoplasma  melalui kerja enzim 5α-reduktase yang terletak di dalam mikrosom. 
Testosteron dan DHT berikatan dengan reseptor androgen yang sama di  intraseluler untuk mengatur ekspresi gen pada jaringan target. Namun, kedua  hormon menghasilkan tanggapan  biologis yang berbeda. Mekanisme molekuler 
yang membawa perbedaan aktivitas ini belum diketahui.  ada  tiga isoform 5α-reduktase yang sudah  diidentifikasi pada 
manusia  Enzim yang dikenal dengan nama lain 3-Oxo-5-Alpha-Steroid 4-Dehydrogenase ini independen terhadap nikotinamida adenin 
dinukleotida fosfat (NADPH), memicu  reduksi ikatan rangkap pada posisi empat sampai lima pada steroid C19 dan  steroid C21.  Gen untuk 5α-reduktase tipe 1 (SRD5A1) terletak pada kromosom 5p15,  mengkodekan protein dengan 259 asam amino. Gen untuk 5α-reduktase tipe 2 
(SRD5A2) ada pada kromosom 2p23, mengkodekan protein yang sedikit lebih 
pendek dengan 254 asam amino. sedang  gen untuk 5α-reduktase tipe 3  (SRD5A3) terletak pada kromosom 4q12, mengkodekan protein dengan 318  asam amino. 5α-reduktase tipe 3 hanya memiliki kemiripan 19% dengan tipe 
1 dan 20% dengan tipe 2 (Azzouni et al., 2012).
 Peran SRD5A3 pada sistem reproduksi belum jelas. Mutasi SRD5A3 dilaporkan memicu  sindroma multi sistem yang terdiri dari mal formasi mata, hipoplasia vermis serebelar, dan keterlambatan perkembangan 
STEROIDOGENESIS
psikomotor  Untuk itu, pembahasan mengenai 5α-
reduktase lebih diarahkan ke tipe 1 dan 2.
Enzim 5α-reduktase tipe 1 dan 2 sangat mirip namun  menandakan  sifat  biokimia yang berbeda. Enzim tipe 1 bekerja optimal pada pH basa, sedang  
pH optimal untuk tipe 2 bersifat asam. Selain itu, distribusi jaringan keduanya  berbeda. 5 α-reduktase tipe 1 terletak di kulit non-genital, hati, otak, prostat, ovarium, dan testis. sedang  tipe 2 terutama aktif pada jaringan androgen-
dependent klasik, seperti epididimis, kulit genital, vesikula seminalis, testis dan  prostat, namun  juga di hati, rahim, payudara, folikel rambut, dan plasenta. Pada tingkat sel, DHT mempertahankan diferensiasi dan pertumbuhan   dan  sangat penting untuk perkembangan seksual normal dan virilisasi 
pada laki-laki . DHT juga mempengaruhi  massa otot dan pendalaman suara. DHT  mentransaktifkan reseptor androgen, yang memicu  transkripsi gen dan  pertumbuhan prostat.
JALUR ALTERNATIF SINTESIS DHT
Reduksi testosteron bukan satu-satunya jalur biosintesis DHT. Di testis  tammar wallaby muda (sejenis kanguru), DHT dapat terbentuk dari reduksi 
17 OH-Progesteron menjadi 5α pregnan-17α-ol-3,20-done (pdione) yang lebih  lanjut menjadi 5α pregnan-3α, 17α -diol-20-one (pdiol) melalui alternatif lain, jalur “pintu belakang” (backdoor). Jalur pintu belakang ini sudah  diduga terjadi 
pada manusia juga. Hal ini dibuktikan dengan identifikasi mutasi patologis  gen yang terlibat dalam jalur pintu belakang pada pasien laki-laki dengan  genital eksternal yang kurang mengalami maskulinisasi  dan  analisis profil steroid urine menandakan  relevansi jalur ini terhadap virilisasi 
tidaknormal  pada wanita  dengan defisiensi 21-hidroksilase . maka  jalur pintu belakang bekerja pada testis janin  dalam kondisi fisiologis untuk menghasilkan jumlah DHT yang cukup untuk 
perkembangan seks laki-laki dan kemungkinan diinduksi oleh adrenal janin  dan permanen dalam kondisi patologis defisiensi 21-hidroksilase, 
METABOLISME UNTUK EKSKRESI ANDROGEN
DHT dieliminasi oleh enzim 3α-HSD (aldo-keto reduktase1C2), yang mereduksi 5α-DHT menjadi 3α-androstanediol (3αdiol). Perubahan ini 
bersifat reversibel sehingga 3αdiol dapat diubah kembali menjadi 5α-DHT  melalui aktivitas enzim ini. Pada kulit non genital, pembentukan DHT dari 
3αdiol hampir setara dengan reduksi DHT menjadi 3αdiol. Namun, pada  kulit genital, kecepatan pembentukan DHT dari 3αdiol dua kali lebih tinggi 
dibandingkan reduksi DHT, Enzim lain yang terlibat dalam metabolisme DHT yaitu  3βHSD, 
yang mereduksi DHT menjadi 3β-androstanediol (3βdiol) dan microsomal  uridine diphospho-glucuronic transferase (UDPGT), yang mengkristalkan DHT  menjadi asam glukuronat. Reaksi ini dapat dibalik oleh enzim lain, yaitu  
β-glukoronidase 

STEROIDOGENESIS
,  Pada jaringan manusia, ada  lima isoform Aldo-Ketoreduktase (AKR) dengan berbagai aktivitas reduktase pada posisi 3-, 17 dan 20-ketosteroid. 
Isoform AKR1C2 mendominasi konversi 5α-DHT menjadi 3α-diol. Peran  kelima isoform dirangkum dalam Tabel   Aldo-Keto Reduktase manusia yang terlibat dalam 
metabolisme hormon 
Gen Enzim Reaksi Lokasi 
AKR1C1 20α(3β)-HSD Progesteron → 20α-
hidroksiprogesteron
10p15-10p14
5α-DHT → 3β-
androstanediol
AKR1C2 3α-HSD tipe 2 5α-DHT → 3α-
androstanediol
10p15--10p14
AKR1C3 17β-HSD tipe 5
Prostaglandin F 
sintase 
Δ4-androstene-3,17-dion 
→ testosterone
PGH2→ PGF2α
PGD2→ 11β-PGF2
10p15--10p14
AKR1C4 3α-HSD tipe 1 3-ketosteroid → 3α-
hidroksisteroid
10p15--10p14
AKR1D1 Steroid 5β-reduktase Δ4-3-ketosteroid → 5β-
dihydrosteroid
7q32-7q33


Testosteron diekskresikan terutama sebagai konjugat glukuronid  sesudah  glukuronidasi oleh UGT sementara  sebagian kecil dalam bentuk bebas. Enzim ini memiliki peran kunci dalam 
homeostasis beberapa  molekul endogen termasuk hormon steroid dan  memfasilitasi ekskresi testosteron dalam empedu dan urine   UGT2B17 merupakan salah satu anggota UGT2B yang sangat aktif  dalam glukoronidasi androgen. riset  menandakan  perbedaan  profil ekskresi testosteron di urine pada ras yang berbeda akibat polimorfisme 
UGBT2B17  Interpretasi hasil uji doping dapat rancu  sebab  polimorfisme ini.
Tabel  Kadar fraksi metabolit androgen glukuronidasi dan tak  terkonjugasi pada laki-laki  sehat dibagi berdasar  etnis 
Etnis
Korea (n = 74) Swedia (n = 122)
Rasio T/EpiT 0,15 (0,08–0,68) 1,8 (1,0–2,6)b
4-Androstenedion 0,13 (0,09–0,17) 0,32 (0,22–0,45)b
5-Androstene-3β,17α-diol 4,4 (3,2– 6,7) 6,7 (5,1–8,8)b
Testosteron 0,33 (0,25– 0,58) 5,4 (3,7–7,1)b
Epitestosteron 3,0 (1,9–4,1) 3,4 (2,0–5,0)
Dihidrotestosteron 0,50 (0,23– 0,80) 1,2 (0,64–1,8)b
5α-Androstanedione 0,60 (0,40–0,91) 0,96 (0,61–1,6)b
5α-Androstane,3α,17β-diol 4,9 (3,7– 6,3) 4,9 (3,6–6,4)
5β-Androstane,3α,17β-diol 3,74 (2,52–5,83) 10,1 (6,2–15,2)b
Androsteron 218 (171–264) 240 (196–309)a
Etiocholanolon 119 (88,3–182)a 99,2 (57,3–158)
11β-OH Androsteron 62,9 (48,1–94,8) 82,5 (61,5–114)b
11β-OH Etiocholanolon 4,3 (1,56 –12,5) 23,0 (6,9–40,7)b
Hasil ditampilkan dalam median (ng/μmol) dengan persetil 25 dan 75.
a P < 0,01; b P < 0,001 


STEROIDOGENESIS
MEKANISME KERJA ANDROGEN
Androgen dapat bekerja melalui reseptor androgen dengan cara mengikat DNA yang untuk mengatur transkripsi gen target atau dengan  cara yang tidak terikat dengan DNA untuk memulai kejadian seluler yang cepat seperti fosforilasi 
 Mekanisme pertama 
dinamakan  efek genomik, sebuah mekanisme yang sudah  lama dikenal. sedang  mekanisme kedua dinamakan  efek non-genomik. 
RESEPTOR ANDROGEN 
Langkah pertama dalam kerja androgen secara genomik yaitu  berikatan dengan reseptor androgen (Androgen receptor/AR) yang juga 
dinamakan  NR3C4 (nuclear receptor subfamily 3, group C, member 4). AR,  reseptor mineralokortikoid, glukokortikoid, hormon tiroid, retinol, metabolit  asam lemak, estrogen, dan progesteron termasuk dalam keluarga reseptor 
nuklear. AR dan reseptor inti lainnya bertindak sebagai faktor transkripsional  melalui sebuah mekanisme umum di mana mereka berikatan dengan ligan  di sitoplasma, menginduksi perubahan konformasional, melepaskan diri dari 
kompleks chaperon, dimerisasi, dan translokasi inti 
Kita mengenal 48 reseptor nuklir yang dikodekan dalam genom manusia. Dalam banyak masalah , ligannya sudah  diidentifikasi, namun  beberapa 
“reseptor yatim piatu” tetap ada. Reseptor nuklear dibagi menjadi dua  subfamili. Subfamili pertama yaitu  reseptor yang pasangan ligan mereka 
membentuk homodimer, seperti AR dan reseptor steroid lainnya; subfamili  lain membentuk heterodimer dengan hanya satu ligan, seperti reseptor hormon tiroid.
Tabel  Beberapa reseptor inti dan ligannya 
Reseptor Singkatan Ligan
Reseptor androgen AR Testosteron/DHT
Reseptor estrogen ER Estrogen
Estrogen-related receptor ERR ?
Glucocorticoid receptor GR Kortisol
Mineralocorticoid receptor MR Aldosteron
Progesterone receptor PR Progesteron
Retinoic acid receptor RAR Retinoic acid
Retinoid orphan receptor ROR ?
Retinoic acid-related receptor RXR Rexinoid
Liver X receptor LXR Oxysterols
Peroxisome proliferator-activated receptor γ PPARγ Fatty acid 
metabolites
Thyroid hormone receptor TR Thyroid hormone
Vitamin D3 receptor VDR Vitamin D3
(Sever & Glass, 2013)
AR terdiri dari tiga domain fungsional utama: domain pengaturan 
transkripsi N-terminal, domain pengikat DNA (DNA binding domain / 
DBD) dan domain pengikatan ligan (Ligand binding domain/LBD) (Gambar 
8). Domain N-terminal AR yaitu  yang paling beragam , sementara DBD 
yaitu  area  yang paling memiliki kemiripan di antara keluarga reseptor 
hormon steroid. 
DBD dari semua reseptor nuklir hormon steroid terdiri dari dua jari seng 
yang mengenali urutan DNA yang khusus . Jari-jari zink ini memudahkan 
pengikatan DNA oleh AR sehingga memungkinkan fungsi aktivasi dari 
N-terminal dan domain pengikatan ligan untuk merangsang atau menekan 
transkripsi gen-gen ini. 
DBD terhubung ke domain pengikat ligan oleh area  engsel (hinge). LDB 
juga memiliki struktur serupa antara reseptor nuklir dan memediasi interaksi 
antara AR, HSP dan chaperon, dan  berinteraksi dengan N-terminal AR untuk  menstabilkan ikatan androgen 

STEROIDOGENESIS
 foto Domain fungsional AR: domain N-terminal domain, DNA binding domain (DBD), Ligand binding domain. (H – hinge region, AF-1 – transcriptional 
activating function 1, AF-2 – transcriptional activating function 2, NLS – nuclear 
localisation signal, NES – nuclear export signal, 

GEN RESEPTOR ANDROGEN
Gen AR terletak di kromosom Xq11-12 yang terdiri dari delapan ekson. Penjelasan mengenai masing-masing ekson dirangkum dalam Tabel 
 Gen AR dan domain yang dibentuk
Ekson Domain Fungsi
1 N-terminal Pengaturan transkripsi protein
2 Jari zink pertama Pengikatan khusus  reseptor 
androgen dengan pasangan 
nukleotida kedua dan kelima dari 
elemen tanggapan if androgen.
3 Jari zink kedua Menstabilkan ikatan reseptor DNA 
melalui interaksi hidrofobik dengan 
jari pertama, dan berkontribusi 
terhadap spesifisitas ikatan DNA 
reseptor, yang memicu  
dimerisasi dua molekul reseptor.
4–8 Domain pengikat ligand Mengikat steroid 
Ditemukan tiga kodon pada domain N-terminal AR. CAG, mengkode 
poliglutamin yang polimorf, sedang  TGG mengkode poliprolin dan GGC 
untuk poliglisin. Pada laki-laki  normal, ditemukan sekitar 17–29 ulangan CAG dan 
13–17 ulangan GGC. Pada AR, alel CAG dan GGC yang panjang dikaitkan dengan penurunan fungsi trans-aktivasi dan sudah  dikaitkan dengan kanker 
pada wanita. Jumlah ulangan glutamin pada reseptor androgen berkaitan  dengan azoospermia atau oligozoospermia, namun  hubungan ini tidak jelas. Pada AR, alel CAG ukuran kecil (< 19 ulangan) dan GGC (< 15 ulangan)  menghasilkan aktivitas reseptor yang lebih tinggi, dan sudah  dikaitkan dengan usia onset kanker prostat yang lebih dini, tingkat yang lebih tinggi, dan  
stadium yang  saat  diagnosa. 
MEKANISME KERJA GENOMIK ANDROGEN DI DALAM SEL
Androgen berikatan dengan AR pada LBD di sitoplasma. DHT berikatan  dengan afinitas yang lebih tinggi dibandingkan  testosteron, sebab  testosteron  lebih cepat terdisosiasi dari reseptor. Steroid lain seperti androstenedion,  estradiol, dan progesteron berikatan dengan reseptor androgen dengan afinitas yang lebih rendah. Ikatan antara ligan dan AR memicu  AR lepas dari chaperon seperti heat shock protein 90 (HSP 90). Chaperon bertanggung jawab untuk menjaga AR  dalam keadaan inaktif. Tanpa ligannya, reseptor androgen dapat berikatan dengan ligan homolog atau heterolog di sitoplasma dan mendesak efek 
penghambatan pada proses kematian sel. 
Transpor inti dimediasi oleh reseptor impor melalui sebuah jalur yang mempekerjakan dua protein, yaitu importin-a dan importin-b. Kompleks 
reseptor androgen importin-a dan importin-b lalu  bergerak melalui  kompleks pori-pori inti dan terdisosiasi, lalu  dimediasi oleh guanosine 
triphosphatase (GTPase) sehingga melepaskan AR di dalam nukleus. Di dalam nukleus, ligan dan reseptor berikatan terhadap urutan tertentu 
dari DNA genomik dan menginduksi stimulasi sintesis RNA. Remodeling  kromatin seperti rekayasa  histon berperan dalam transkripsi gen dan  banyak reseptor nuklear yang berinteraksi dengan koregulator melakukan  peran penting dalam transkripsi gen. Histon demetilase yaitu  pemain kunci dalam regulasi transkripsi yang dimediasi oleh androgen. Regulasi ekspresi reseptor androgen pada tingkat transkripsi dan 
translasi sangat kompleks dan bergantung pada faktor-faktor seperti usia, jenis sel, dan jaringan. biasanya , androgen berefek  positif pada 
stabilisasi protein reseptor sehingga pemberian androgen memicu  penghambatan degradasi reseptor dan maka  meningkatkan kadar 
protein AR. Efek androgen pada mRNA AR yaitu  kebalikannya. Dalam  masalah  ini, administrasi androgen memicu  down regulation mRNA AR  dengan memendekkan paruh-paruh mRNA.Jalur non-genomik dimulai sesudah  androgen mengikat reseptor yang memediasi 
tindakan awal yang dipicu oleh steroid seks. Selain reseptor steroid membran klasik, ada  reseptor baru, yang dipasangkan ke protein G, mengaktifkan 
kaskade protein kinase atau yang bertindak pada tingkat second messenger seperti 
PI3K/AKT/mTOR atau PI3K/AKT/cAMP/Ca2+ atau jalur dimediasi ERK seperti PI3K/
AKT/MAPK-ERK/Elk1 
EFEK NONGENOMIK ANDROGEN
Beberapa tanggapan  steroid melibatkan mekanisme non-genomik. Ada  beberapa kriteria/golongan  dasar untuk tanggapan  androgen dianggap bersifat non-genomik, yaitu 1) kecepatan: efek harus terjadi dalam waktu yang  singkat (detik sampai menit), tidak cukup lama sehingga memungkinkan terjadinya transkripsi/translasi gen. Biasanya, tanggapan  seluler yang memenuhi 
persyaratan ini yaitu  perubahan kalsium intraseluler bebas dan pengaktifan  jalur utusan kedua (second messenger);  dimediasi membran: tanggapan nya mungkin melibatkan reseptor atau protein pengikat yang tertanam di atau  terkait membran, dengan aksi yang dapat diinduksi bahkan saat  steroid  dikonjugasikan ke molekul yang mencegahnya masuk jauh ke dalam 
sitoplasma atau translokasi ke inti bila terikat dengan reseptor. Contoh yang biasanya  yaitu  pemakaian  testosteron yang terkonjugasi ke 
molekul besar seperti albumin serum sapi (BSA); dan 3) tidak adanya aktivasi  transkripsi/translasi: tanggapan  steroid tertentu dapat muncul dalam sistem di mana transkripsi gen atau sintesis protein tidak mungkin terjadi, Mekanisme kerja androgen secara non-genomik dapat terjadi melalui peran SHBG. Reseptor untuk SHBG sudah  diidentifikasi di banyak jaringan  termasuk prostat, testis, payudara, dan hati. SHBG selain bertindak sebagai pengatur konsentrasi testosteron, ia juga memainkan peran penting agar beberapa hormon steroid dapat bekerja tanpa memasuki sel, 
Efek membran androgen sudah  diketahui pada tanggapan  fungsional  seperti sekresi PSA yang cepat oleh sel prostat dan sekresi GnRH oleh sel pituitari  Manusia dapat mencium  sedikit  androstenone (16 ene-5a-androsten-3-one) sebagai senyawa  volatil. Sangat mungkin bahwa bau ini dipicu oleh reseptor membran khusus 
untuk androstenone di dalam neuron sensoris penciuman, Diketahui bahwa semua reseptor penciuman yaitu  reseptor G-protein-coupled.
Ketergantungan spermatogenesis pada kadar testosteron tinggi tidak  dapat dijelaskan oleh sifat reseptor inti klasik dan sebab  kadar testosteron 
yang diperlukan  untuk mempertahankan spermatogenesis normal jauh lebih 
tinggi dibandingkan  tingkat kejenuhan AR afinitas tinggi.  Testosteron dapat merekayasa  kerentanan sel T terhadap penyakit  menular. Efek testosteron pada mobilitas kalsium melalui membran sel T sudah  dilaporkan . sebab  sel T tidak memiliki reseptor androgen  klasik, tanggapan  biologis ini juga menandakan  adanya keterlibatan reseptor 
membran plasma non konvensional untuk ekspresi efek androgen ini.  beberapa  contoh  yang terkait dengan aksi androgen nongenomik dilaporkan baru-baru ini. Androgen akut (contoh  dalam kira-kira  30 menit) mengubah frekuensi aktivitas peristaltik dan menambah amplitudo 
aktivitas kontraktil otot usus kecil 
. Ada juga bukti yang cukup bahwa efek non-genomik dari steroid dimediasi melalui 
reseptor inti yang merangsang jalur pensinyalan di sitoplasma sel target 
ANDROGEN INSENSITIVITY SYNDROME
Defek AR seperti delesi atau mutasi inaktif dapat mengubah fungsi  reseptor menimbulkan kondisi klinis yang dinamakan  androgen  insensitivity syndrome (AIS). AIS yaitu  kelainan yang terjadi sebab  mutasi  AR yang memicu  resistansi terhadap testosteron. ada  lebih dari 400 
mutasi AR yang sudah  diketahui memicu  AIS 
Pada personal  46,XY, fenotipe AIS sangat beragam , mulai dari  kurangnya virilisasi hingga feminisasi testis. Mutasi yang memicu   resistansi ringan dinamakan  mild androgen insensitivity syndrome (MAIS). Kondisi ini ditandai oleh kurangnya virilisasi dan/atau infertilitas. Resistansi 
parsial AR yang lebih berat dinamakan  partial androgen insensitivity  syndrome (PAIS), memicu  genitalia ambigu. Mutasi yang menonaktifkan 
gen reseptor androgen menghasilkan fenotipe wanita sebab  kurangnya  aktivitas androgen secara keseluruhan. Namun tidak ditemukan rahim dan hanya sebagian vagina yang terbentuk dan selama pubertas rambut kemaluan  dan aksilaris jarang atau tidak ada. Kondisi ini dinamakan  sindrom insensifitas   androgen lengkap (complete androgen insensitivity syndrome/CAIS) 
atau dahulu dinamakan  sebagai sindrom feminisasi testis (testicular feminization 
syndrome)  untuk memiliki kapasitas membuahi telur secara  alamiah, spermatozoa memerlukan  peran organ lain dari sistem reproduksi 
laki-laki . saat  diejakulasikan, spermatozoa akan bergabung dengan seminal  plasma yang dihasilkan oleh beberapa kelenjar tambahan. Spermatozoa hanya  menyusun 2–5% dari ejakulat ini, selebihnya merupakan seminal plasma 
. Berbagai perubahan pada spermatozoa selama berada di bsaluran reproduksi wanita juga perlu terjadi. maka  lingkup bahasan bab ini tidak hanya tentang proses  yang terjadi pada testis, namun  juga pada peran kelenjar tambahan dan  
produk akhir dari spermatogenesis, yaitu spermatozoa, dan seminal plasma.  Proses pembentukan spermatozoa dikenal dengan ist i lah 
spermatogenesis. Menurut Clermont, proses ini pada manusia berlangsung dalam waktu 64 hari di dalam testis dengan tambahan waktu 10–14 hari 
di dalam epididimis untuk maturasi spermatozoa. maka   keseluruhan proses memerlukan  waktu 70 + 4 hari  Namun,  riset  yang lebih baru menandakan  bahwa keseluruhan proses dari produksi  hingga siap ejakulasi spermatozoa selesai dalam waktu yang lebih singkat, 
rata-rata 64 ± 8 hari dan dengan rentang 42–76 hari, 
Spermatogenesis terjadi di dalam testis, tepatnya di dalam tubulus  seminiferus. Proses ini merupakan proses kompleks yang melibatkan berbagai sel dan hormon. Spermatogenesis dimulai saat pubertas dan bersinambung 
sepanjang kehidupan laki-laki  dewasa.
ANATOMI TESTIS
Kata testis memiliki padanan kata “testimony” atau “testify” yang berarti saksi. Hal ini terjadi sebab  pada zaman dahulu orang bersumpah sambil 
memegang pangkal pahanya. Istilah lain yang dipakai  untuk testis yaitu  
“orchis”. Testis berbentuk ovoid dengan ukuran panjang ± 4,5 cm, lebar; + 3,5 
cm; tebal + 3 cm, dan  berat 15–25 gram. 
Testis dibungkus oleh tunika vaginalis dan tunika albuginea. Tunika  albuginea memasuki testis, membentuk sekat-sekat yang dikenal dengan 
istilah septum testis. Ruangan yang terbentuk oleh septa testis dinamakan  lobus  testis. Dalam sebuah testis ada  250–300 lobulus testis. Di dalam lobus  testis inilah ada  dua kompartemen yang dapat dibedakan secara anatomis 
maupun fisiologis, yaitu kompartemen tubular dan interstitial. Secara  sederhana dapat dijelaskan bahwa kompartemen tubular berperan dalam 
spermatogenesis sementara interstitial berperan pada steroidogenesis. Meskipun secara anatomis terpisah, namun  kedua kompartemen  berkaitan  fisiologis secara erat. Untuk menghasilkan spermatozoa dalam  kuantitas dan kualitas yang normal, kedua kompartemen perlu bekerja 
dengan baik. Fungsi kedua kompartemen ini dikendalikan  secara endokrin oleh  hipotalamus dan hipofisis dan  mekanisme lokal (parakrin dan autokrin).
KOMPARTEMEN TUBULAR
Kompartemen tubular mengisi sekitar 60–80% volume total testis. Kompartemen ini mengandung sel germinal, sel peritubular, dan sel Sertoli. 
Panjang sebuah tubulus seminiferus bila direntangkan sekitar 30–80 cm. bila  dihitung secara kumulatif, panjang tubulus seminferus dalam sebuah  testis sekitar 360 m.
Tubulus seminiferus dibungkus oleh lamina propia yang terdiri dari  membran basal, lapisan kolagen, dan sel peritubular (myofibroblas). Sel ini 
secara bertingkat mengelilingi tubulus dan membentuk lapisan konsentrikal.  Sel ini menghasilkan beberapa faktor yang terlibat dalam kontraktilitas selular, yaitu panactin, desmin, gelsolin, myosin dan actin . Sel  ini juga menyekresi matriks ekstraselular dan faktor-faktor lain yang khas diekspresikan oleh sel jaringan ikat seperti kolagen, laminin, vimentin,  fibronectin, growth factors, protein fibroblast, dan molekul adhesi Kultur sel peritubular manusia juga terbukti 
menghasilkan nerve growth factor dan molekul proinflamasi seperti Il-1b dan  cyclooxygenase-2 di bawah pengaruh TNF-α,  Baru-baru 
ini ditemukan bahwa sel peritubular juga mensekresikan pigment epithelium-
derived factor (PEDF), yang mungkin bertanggung jawab atas avaskularitas  tubulus seminiferus,  Sperma matur ditranspor keluar  dari tubulus seminiferus oleh kontraksi sel ini. Kontraktilitas sel peritubular diatur oleh endothelin dan peptida relaksan adrenomedullin yang diproduksi 
oleh sel Sertoli, 
SEL SERTOLI
Sel Sertoli yaitu  sel somatik di dalam tubulus yang sesudah  mencapai usia dewasa tidak aktif membelah lagi. Nama ini berasal dari penemunya, 
Enrico Sertoli (1842–1910), ilmuwan Italia yang pertama kali menjelaskannya. Sel ini terletak di membran basal dan meluas hingga ke lumen tubulus  seminiferus. Sel ini dapat dianggap sebagai struktur penunjang sel benih. 
Sepanjang badan sel, ada  sel benih dengan berbagai tingkat diferensiasi,  dari spermatogonium hingga elongated spermatid. 
biasanya , sel Sertoli berfungsi untuk mengkoordinasi  spermatogenesis.  Hal ini dapat dilakukan melalui struktur ektoplasma khusus menjaga batas  dan orientasi sperma selama diferensiasi, sintesis dan sekresi beragam faktor 
(protein, sitokin, growth factors, opioid, steroid, prostaglandin, modulator pembelahan sel, dan lain-laim), fagositosis, dan memiliki mikrotubulus dan  
filamen intermediet yang memberi  kemampuan untuk adaptasi bentuk  sel. Pada manusia, setiap sel Sertoli berkontak dengan sekitar 10 sel geminal 
atau 1,5 spermatozoa . Sel Sertoli juga menciptakan  dan menjaga patensi lumen tubulus melalui sekresi cairan tubular. Lebih  dari 90% cairan sel Sertoli disekresikan ke dalam lumen tubulus. Elemen  struktural khusus pada sawar darah testis mencegah reabsorpsi cairan ini 
untuk menghasilkan tekanan yang berfungsi menjaga patensi lumen. Sperma  ditranspor di dalam cairan tubular. Komposisi cairan ini pada manusia belum  diketahui dengan pasti. riset  yang ada baru mengetahui komposisi  cairan tubulus pada tikus, Sel Sertoli yang berdekatan akan membentuk Sertoli cells tight junction 
yang termasuk blood-testis-barrier atau sawar darah testis. Penutupan sawar  darah testis ini terjadi saat meiosis sel benih sudah  terjadi dan proliferasi  sel Sertoli sudah  berhenti. Sawar darah testis membagi epitel seminiferus 
menjadi dua bagian, yaitu regio basal tempat sel benih stadium awal dan  regio adluminal tempat sel benih stadium lanjut  Selama perkembangannya, sel benih berpindah dari basal menuju 
adluminal. Proses ini terjadi melalui disolusi dan perakitan kembali tight  junction di atas dan di bawah sel benih yang berpindah. Sawar darah testis  berfungsi sebagai isolasi fisik sel haploid (pembelahan meiosis memicu   spermatosit primer dari keadaan diploid akan berubah menjadi haploid pada  tahap selanjutnya) untuk mencegah pengenalan sel haploid oleh sistem imun 
dan persiapan lingkungan khusus untuk proses meiosis dan perkembangan  sperma 
SEL BENIH (SEL GERMINAL)
Beragam sel benih tersusun dalam hubungan selular yang tipikal di dalam  tubulus seminiferus. Sel ini terdiri dari sel punca pada bagian basal hingga spermatozoa pada lumen. Spermatogonia terletak pada bagian basal epitel  seminiferus dan digolongkan  menjadi tipe A dan B. Tipe A dibedakan menjadi  spermatogonium Ad (dark) dan spermatogonium Ap (pale). Spermatogonium 
Ad sangat jarang membelah dan tidak menandakan  aktivitas proliferasi dalam kondisi normal , Spermatogonia ini dianggap sebagai 
sel punca testikular  Sel ini akan mengalami mitosis saat jumlah spermatogonia berkurang secara drastis, contohnya sebab  radiasi  sedang  spermatogonium Ap membelah, memperbaharui diri dan berdiferensiasi menjadi spermatogonium B.
Dari spermatogonium B, spermatosit preleptopten dihasilkan sebelum  permulaan pembelahan meiosis. lalu  sel ini memulai menggandakan 
kromosomnya (2n /4C), terus mengalami berbagai tahap  hingga tahap  pachiten  yang ditandai oleh sintesis RNA yang intensif. Spermatid merupakan hasil akhir pembelahan meiosis dan mengandung kromosom separuh dari sel  somatik (haploid). 
Spermatid awalnya berbentuk bulat (round spermatid) dan tidak aktif  membelah. Sel ini mengalami serangkaian perubahan menjadi elongated spermatid yang dinamakan  spermiogenesis dan dilepas dari sel Sertoli 
menjadi spermatozoa melalui spermiasi. Spermatozoa merupakan bentuk  sel matur dari sel germinal yang ada  dalam tubulus seminiferus. 
Pembahasan mengenai morfologi spermatozoa  akan dibahas pada  sub pokok bahasan tersendiri.
REGULASI HORMONAL PADA SPERMATOGENESIS
Sistem Kisspeptin-GPR54
Spermatogenesis dipengaruhi oleh regulasi endokrin dan  lokal yaitu  melalui poros Hipotalalmus-Hipofisis-Testis. Hipotalamus akan menyekresi GnRH yang diatur oleh sistem kisspeptin-GPR54. Kisspeptin yaitu  produk 
dari gen KISS, yang terletak di kromosom 1q32.1. KISS1 mulanya dijelaskan  sebagai sebuah gen supresor tumor pada manusia untuk kemampuannya 
menghambat pertumbuhan melanoma dan metastasis kanker payudara.  lalu  diketahui bahwa kisspeptin (juga dinamakan  metastin) yaitu  
ligan alami dari reseptor GPR54 (G protein coupled receptor) yang memiliki  peran dalam menginisiasi sekresi GnRH saat pubertas. Neuron yang mengekspresikan Kisspeptin terletak di nukleus 
anteroventral periventricular (AVPV), nucleus periventricular, nucleus anterodorsal  preoptic dan nucleus arcuatus (ARC). Gen KISS1 juga diekspresikan pada  plasenta, testis, pankreas, dan usus.  Bila diinjeksikan, kisspeptin menstimulasi sekresi LH, melalui interaksi  dengan reseptor, GPR54 yang terletak di permukaan neuron sekretor 
GnRH. Gen GPR54 terletak pada kromosom 19p13.3. Pada tahun 2003  ditemukan bahwa mutasi yang memicu  hilangnya fungsi pada GPR54 pada manusia memicu  kegagalan pubertas dan hipogonadotropik 
hipogonadisme  maka  sistem  kisspeptin-GPR54 penting untuk menginisiasi sekresi gonadotropin saat pubertas dan mempertahankan androgenisasi saat  masa dewasa.  Neuron kisspeptin yang terletak di ARC dan AVPV mengirim proyeksi ke 
area medial preoptica, sebuah regio yang kaya dengan badan sel neuron GnRH 
yang mengekspresikan GPR54. 
GnRH yang akan memerintahkan hipofisis untuk menghasilkan hormon  gonadotropin (FSH dan LH). FSH mengaktifkan sel Sertoli, sementara LH 
merangsang sel Leydig untuk menghasilkan testosteron. Sebagian testosteron  akan diikat oleh androgen binding protein (ABP) yang diproduksi oleh sel Sertoli, nsementara sebagian kecil akan masuk ke sirkulasi. Pengikatan testosteron oleh 
ABP membantu pergerakan testosteron ke arah lumen tubulus seminiferus.seperti  di bagian lain, testosteron bekerja melalui reseptornya 
(AR). Namun, pada tubulus seminiferus, tempat terjadinya spermatogenesis,  AR tidak ditemukan pada sel germinal. AR ditemukan pada sel sertoli dan peritubular (Peritubular Myoid Cell = PTC). Spermatosit memiliki reseptor ABP, 
protein yang dihasilkan oleh sel Sertoli. maka  peran testosteron  dalam spermatogenesis dimediasi oleh sel Sertoli dan PTC.
Peran testosteron terhadap spermatogenesis dibuktikan melalui  riset  knock-out reseptor androgen seperti Sertoli Cell Androgen Receptor 
Knock Out (SCARKO) dan Androgen Receptor Knock Out (ARKO) 
Tabel  Manifestasi klinis knock out reseptor androgen pada beberapa sel 
Knock out Manifestasi Klinis
Sel Sertoli Infertil, tidak ditemukan sel germinal post meiotic
PTC Infertil, reduksi semua tahap sel germinal
Sel Leydig Fertil, sel Leydig immatur
Testosteron dan metabolitnya dalam darah yang berlebihan akan 
memberi  umpan balik negatif kepada hipotalamus. Testosteron, Estradiol, 
dan DHT mengurangi frekuensi pulsasi GnRH 
Steroid tidak dapat mempengaruhi  sekresi 
GnRH secara langsung pada neuron GnRH, namun  melalui neuron kisspeptin  pada ARC.
SPERMATOGENESIS
Testosteron melalui estradiol dalam darah yang berlebihan akan  memberi  umpan balik negatif ke hipofisis . Namun, metabolit testosteron lainnya, DHT di darah tidak memiliki peran penting 
dalam proses ini . Pada level hipofisis, testosteron dan estradiol menghambat kerja GnRH . riset  hewan  menandakan  hambatan kerja GnRH ini disebabkan sebab  testosteron  mengubah tanggapan  Ca2+ terhadap induksi GnRH (GnRH induced calcium signal)  pada sel gonadotrop , Umpan balik ini memicu  sel 
gonadotrop mengurangi produksi FSH maupun LH 
Sel Sertoli, menyekresikan inhibin B untuk memberi  umpan balik  kepada hipofisis agar mengurangi sekresi FSH. Dalam spermatogenesis, 
testosteron yang berperan yaitu  testosteron intratestikular yang berperan  secara parakrin, bukan yang beredar di dalam darah. Fenomena ini dapat  menjelaskan mengapa pemberian testosteron eksogen dapat memicu  terjadinya penurunan jumlah sperma dalam ejakulat.
FSH Inhibin B 
PTC 
LH T 
E2 
DHT 

TAHAPAN SPERMATOGENESIS
Spermatogenesis terjadi di dalam tubulus seminiferus, dimulai dari pembelahan sel punca yang bersifat diploid dan berakhir dengan 
pembentukan spermatozoa matur yang haploid. Proses ini dapat dibagi menjadi empat tahap  sebagai berikut. 
1. Proliferasi mitosis dan diferensiasi spermatogonia (spermatogoniogenesis 
dan spermatositogenesis).
2. Pembelahan meiosis, yaitu pembelahan spermatosit menjadi  spermatid
 Pembelahan meiosis merupakan proses penting di mana terjadi rekombinasi material genetik dan reduksi kromosom. Protahap  meiosis  pertama merupakan tahap  terpanjang dalam proses meiosis. tahap  ini berlangsung 1–3 minggu, sementara keseluruhan tahap  lainnya 
diselesaikan dalam waktu 1–2 hari. Dari spermatogonium B, spermatosit preleptopten dihasilkan sebelum permulaan pembelahan meiosis. Sel ini memulai menggandakan 
kromosomnya (2n /4C), lalu  terus mengalami berbagai tahap  hingga tahap  pachiten yang ditandai oleh sintesis RNA yang intensif. Spermatosit sekunder merupakan hasil dari pembelahan meiosis pertama yang  mengandung kromosom haploid dalam kondisi terduplikasi (n/2C). Selama meiosis 2, spermatosit membelah menjadi spermatid yang haploid (n/C). 
 Spermatid baik round maupun elongated mengandung kromosom haploid sehingga sudah memiliki semua informasi yang diperlukan  untuk 
fertilisasi. Sejak era ICSI, meskipun lebih sulit dan memiliki angka keberhasilan yang rendah, round spermatid dapat dipakai  untuk 
membuahi oosit 
3. Spermiogenesis, yaitu perubahan spermatid menjadi spermatozoa Spermiogenesis merupakan proses diferensiasi sel yang berlangsung 
kira-kira tiga minggu. Proses ini terdiri dari empat tahap , yaitu Golgi, cap, akrosom dan maturasi. 
 Pada tahap ini terjadi pembentukan akrosom, pemanjangan spermatid, kondensasi inti, pembentukan mid piece dan ekor, dan  reduksi volume sitoplasma.
 SPERMATOGENESIS
4. Spermiasi, pelepasan spermatozoa dari epitel germinal menuju lumen tubulus.
Di dalam tubulus seminiferus, seluruh komponen sel germinal mewakili satu dari 6 tahapan spermatogenesis yang dijelaskan oleh Clermont 
Tahapan ini didefinisikan sebagai sebuah hubungan sifat  sel germinal  yang mewakili beberapa gelombang spermatogenesis yang terjadi secara bersamaan di dalam epitel seminiferus. Epitel seminiferus manusia biasanya  
menandakan  susunan yang multi tahap. 
PERAN EPIDIDIMIS
Epididimis merupakan saluran transportasi spermatozoa dari testis menuju ke organ yang lebih distal dan  berperan dalam penyimpanan 
sementara hingga terjadi proses ejakulasi. Pada manusia waktu yang  diperlukan  spermatozoa untuk melewati saluran ini antara 4 hingga 12 hari. 
Pada kebanyakan mamalia, proses transit ini berlangsung antara 8 hingga 13 hari. Secara alami, spermatozoa memperoleh kapasitas fertilisasi sesudah  melalui epididimis 
 SPERMATOGENESIS
1. Maturasi sperma
Proses yang terjadi di epididimis, di mana spermatozoa meningkatkan  kemampuannya untuk membuahi telur dinamakan  sebagai maturasi sperma. Proses ini dikaitkan  dengan berbagai perubahan fisiologis, biokimia, dan morfologi pada spermatozoa, Persentase spermatozoa dengan kepala normal meningkat di sepanjang 
epididimis. Induksi gerak merupakan fenomena tergantung waktu. Kejadian gerak spontan dapat disebabkan oleh pengaruh waktu baik selama di dalam epididimis, maupun di bagian yang lebih proksimal akibat adanya obstruksi  epididimis ataupun duktus deferens  Meskipun potensi 
gerak tidak mutlak ditentukan oleh epididimis, selama di dalam epididimis,  spermatozoa mengalami proses pembentukan pola gerak yang matur yang ditandai oleh peningkatan nilai parameter kinematik seperti persentase gerak, 
kecepatan gerak maju (straight-line velocity/VSL) dan kelurusannya. 
2. Peran epididimis pada interaksi spermatozoa dan oosit Maturasi kemampuan spermatozoa untuk berikatan dengan zona  pelusida terjadi di epididimis. Reseptor zona pada spermatozoa testikular  mengalami rekayasa  baik dalam ukuran dan lokasinya selama transit di epididimis. Epididymal secreted glycoprotein (P34H) yang disekresikan oleh  epididimis juga berperan dalam pengikatan zona  dan ketiadaannya dapat menjadi prediktor kegagalan IVF konvensional 
3. Pembentukan kemampuan mengalami dan menginduksi reaksi akrosomReaksi akrosom lebih banyak terjadi pada sperma matur. Saat 
spermatozoa epididimis diinkubasi, reaksi akrosom spontan lebih sedikit  pada spermatozoa yang berasal dari bagian kaput bila dibandingkan dengan bagian korpus dan kauda 
4. Kemampuan fertilisasi sperma
Kemampuan fertilisasi sperma meningkat sesuai dengan lokasinya di dalam epididimis. Semakin ke distal (kauda), maka kemampuan fertilisasi 
semakin meningkat. Hal ini dibuktikan baik pada uji ikatan dengan membran  vitelin hamster, parameter keberhasilan ICSI (angka fertilisasi, implantasi dan keguguran) antara spermatozoa testikular dan epididimis, dan  laporan 
kehamilan spontan pada pasangan Sesudah  anastomosis bedah akibat obstruksi  saluran transportasi sperma
5. Penyimpanan sperma dalam epididimis
Kapasitas penyimpanan sperma pada distal kauda epididimis tidaklah besar, sementara transportasi spermatozoa melaluinya cepat. Sesudah  dua 
minggu abstinensia, spermatozoa tampak di urine 
Peningkatan solubilitas oksigen pada temperatur yang rendah  dapat membantu viabilitas spermatozoa. Spermatozoa dalam  epididimis manusia dapat mempertahankan kemampuan membuahi secara  in vitro setidaknya 30 jam sesudah  kematian 
6. Perlindungan sperma
Beberapa protein yang disekresikan dalam cairan epididimis berperan dalam pengurangan spesies oksigen reaktif dalam cairan luminal seperti 
GPX5, thioredoxin, GSTM1-3, SOD1, dan PRDX2- 5. Beberapa protein dan peptida seperti β-defensins, lipocalins, dan CRES dapat berperan dalam 
melawan serangan bakteri 
SPERMATOZOA
Johan Ham mengatakan kepada Antoni van Leeuwenhoek bahwa  dia sudah  melihat “zaaddiertjes/animalcules/hewan kecil” dalam cairan mani manusia. Ham menduga “hewan kecil” ini dihasilkan oleh proses pembusukan. Leeuwenhoek berpikir sebaliknya, menganggap “hewan  kecil” sebagai komponen semen yang normal  Pada bulan  November 1677, dia menulis surat kepada William Brouncker, Presiden Royal 
Society of London untuk menjelaskan penemuan ini. Dalam surat berikutnya  tertanggal 18 Maret 1678, dia menandakan  gambar sel sperma manusia dan  anjing Pengamatan Leeuwenhoek membangkitkan konsep (aliran) “spermist”. 
Dalam konsep ini, wanita hanya berfungsi sebagai “inkubator” untuk hewan kecil dan seluruh sifat  keturunan diwarisi dari benih laki-laki  
SPERMATOGENESIS
ini. Paham ini bertentangan dengan tesis Sir William Harvey tahun 1651  yang menganggap bahwa telur itu yaitu  satu-satunya sumber dari semua kehidupan baru. Gagasan ini diadopsi secara luas oleh banyak “ovists” . Namun, sekarang kita mengerti bahwa spermatozoa  dan oosit mengandung separuh perangkat kromosom (haploid) dan masing-masing berkontribusi secara genetik terhadap keturunan mereka.
STRUKTUR SPERMATOZOA
Spermatozoa merupakan sel memanjang, terdiri dari kepala yang mengandung inti dan ekor yang mengandung perangkat yang diperlukan  untuk motilitasnya. Bagian-bagian sperma dijelaskan secara detail sebagai berikut.
Kepala Sperma
Kepala sperma berbentuk oval, berukuran sekitar 4,5 x 3 μm, mengandung  inti dengan jumlah kromosom haploid dan kromatin yang padat. Kondensasi  kromatin terdiri dari kompleks DNA yang mengandung protamin. Bagian  ujung anterior dari kepala sperma diliputi oleh akrosom, sebuah kantong  dengan membran dua lapis yang mengandung akrosin, hyaluronidase dan 
enzim hidrolitik lainnya yang terlibat dalam proses fertilisasi. 
Ekor Sperma
Ekor sperma terdiri dari leher, middle, principal, dan end piece. 
1. Leher atau connecting piece yang berukuran sekitar 0,5 μm, membentuk  plat basal, sentriol. Plat basal berlanjut ke posterior dengan 9 serabut luar padat/kasar yang berproyeksi ke seluruh ekor.
2. Middle Piece
 Middle piece berukuran sekitar 3,5 μm. Pada bagian pusatnya bersama dengan keseluruhan panjang ekor ada  aksonema. Aksonema 
 SPERMATOGENESIS
sendiri tersusun dari 9 pasang mikrotubulus yang tersusun secara radial  mengelilingi dua filamen sentral. Aksonema dikelilingi 9 serat kasar/
padat luar. Aksonema dan serat padat pada middle piece diselubungi oleh  beberapa  mitokondria. Mitokondria menyediakan energi (ATP) yang 
diperlukan  untuk motilitas sperma.
3. Principal Piece
 Principal piece merupakan kelanjutan posterior dari anulus dan menyebar hingga mendekati bagian ujung ekor, tersusun dari aksonema sentral 
dan serat kasar. Selaput fibrous memberi  stabilitas untuk elemen kontraktil dari ekor.
4. End Piece/Terminal Piece 
 End piece berukuran sekitar 3 μm, merupakan kelanjutan posterior dari bagian akhir selubung fibrous yang hanya mengandung aksonema 
sentral yang diselubungi oleh membran plasma. Aksonema bertanggung jawab untuk motilitas. Pasangan mikrotubulus luar dari pola 9 + 2 
menghasilkan gelombang pada ekor melalui gerakan meluncur antara pasangan yang berdekatan. 
Gambar  Komponen dari aksonema secara skematis. Kompleks aksonema terdiri atas 9 pasang mikrotubulus yang saling terkait oleh nexin dan dikaitkan  dengan selubung pusat dari pasangan sentral oleh radial spokes 
MORFOLOGI SPERMA
Dengan pewarnaan, kepala, leher, dan sebagian ekor terwarnai,  sementara end piece tidak terwarnai. Berbagai teknik pewarnaan sudah  
diterapkan pada pemeriksaan morfologi spermatozoa. Perbedaan teknik ini dapat memicu  perubahan morfometrik pada kepala spermatozoa 
Menurut kriteria ketat Krueger, spermatozoa yang dianggap normal  secara morfologi yaitu  sperma yang identik dengan spermatozoa yang 
diperoleh dari traktus reproduksi wanita, terutama mukus endoservik  post koital  dan juga dari 
permukaan zona pelusida,  Dengan penerapan kriteria ketat ini, beberapa kriteria morfologi, 
hubungan antara persentase bentuk normal dan berbagai titik akhir fertilitas  (time-to-pregnancy/TTP), angka kehamilan in vivo dan in vitro sudah  dibuktikan,  Hasil yang berbeda pada IVF konvensional dilaporkan oleh Ghirelli-Filho
PERAN KELENJAR AKSESORIS REPRODUKSI laki-laki  Kelenjar seks aksesori merupakan bagian dari sistem reproduksi laki-laki yang memiliki peran penting dalam proses fertilisasi. Kelenjar seks aksesori laki-laki  utama yaitu  vesikula seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar Cowper  Produk kelenjar ini berfungsi untuk memberi nutrisi dan 
mengaktifkan spermatozoa, membersihkan saluran uretra sebelum ejakulasi, dan bertindak sebagai alat transportasi untuk sperma di saluran wanita. 
Kelenjar Cowper
Kelenjar Cowper atau kelenjar bulbourethral ditemukan oleh seorang ahli bedah Inggris, William Cowper pada abad ketujuh Kelenjar seks ini berasal dari sinus urogenital intermediate dan homolog  dengan kelenjar Bartholini pada wanita
Kelenjar Cowper berpasangan dan terletak di bawah kelenjar prostat di  diafragma urogenital, posterior dan lateral ke uretra membranosa, berada di 
 SPERMATOGENESIS
antara otot bulbospongiosus dan tertanam di dalam otot perineum transversal. Kedua kelenjar bergabung dengan uretra  Kelenjar ini berukuran sekitar 1 cm dan berwarna kuning  Kelenjar Cowper mengeluarkan glikoprotein ke dalam bulbus uretra 
selama tahap  excitement and plateau 
 Sekresinya berupa cairan lendir jernih, kental, alkali, dan disekresikan pra ejakulasi . biasanya  sekresi Cowper mengandung kurang dari 1% komposisi  semen , Cairan pra ejakulasi ini berfungsi sebagai pelumas untuk cairan ejakulat, 
membantu menetralisir keasaman residu urine di uretra, dan keasaman vagina,  dan  melumasi ujung penis selama hubungan seksual  Pada  semen, cairan ini tampak sebagai bahan mirip jeli 
Selain itu, kelenjar Cowper diduga berkontribusi pada imunitas saluran  urogenital dengan mengeluarkan glikoprotein, termasuk antigen khusus   prostat (PSA) dan ditemukannya sel-sel imunokompeten  pada kelenjar ini  , riset  hewan menandakan  bahwa pembuangan kelenjar ini memicu  penurunan bermakna volume rata-rata semen dan nilai pH dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun tidak ada perbedaan menonjol  yang diamati di antara parameter lainnya 
Prostat
Prostat menyumbang sekitar 30% dari total volume mani . Kelenjar prostat terletak di antara diafragma urogenital dan leher kandung kemih. Prostat mengelilingi kedua duktus ejakulatorius dan juga 
uretra, Prostat yaitu  kelenjar multilobulasi heterogen yang terdiri dari empat  zona: zona transisi, pusat dan perifer, dan  stroma fibro-otot anterior. Zona sentral mengelilingi duktus ejakulatorius dan membentuk sekitar 25% kelenjar. 
Zona perifer yaitu  penyumbang utama jaringan kelenjar, membentuk 70% volume prostat. Zona transisi mengelilingi urethra prostat proksimal dan 
menempati hanya 5–10% dari volume prostat. Di bagian anterior ada   stroma fibro-muskular yang terdiri dari serat otot polos, kolagen padat, dan 
fibroblast. Zona sentral dan periferal secara kolektif dinamakan  prostat luar atau  kortikal. Prostat bagian dalam atau periurethral terdiri dari stroma fibro-otot  anterior dan zona transisi 
Prostat terdiri dari kelenjar tubuloalveolar yang terbuka ke uretra pars  prostatika. Prostat mengeluarkan cairan yang mengandung berbagai macam enzim proteolitik dan elektrolit. Sekresi prostat dilepaskan sesudah  kelenjar  bulbourethral melepaskan sekresinya, Produk kelenjar prostat yang dapat diperiksa untuk menilai fungsinya 
antara lain yaitu  citric acid, zinc, γ-glutamil transpeptidase dan fosfatase  asam . Prostate specific antigen (PSA) merupakan produk kelenjar 
yang berperan pada likuifaksi semen dan keberadaannya di dalam darah  sudah  dimanfaatkan untuk diagnosa keganasan prostat  Oksitosin dan reseptornya sudah  diidentifikasi pada prostat manusia. Oksitosin memodulasi kontraktilitas jaringan prostat dan juga untuk 
mengatur konsentrasi lokal dari androgen aktif secara biologis 
Vesikula Seminalis
Vesikula seminalis merupakan organ berpasangan, berbentuk seperti kantung, terletak di antara permukaan posterior kandung kemih dan rektum. 
Keduanya terletak di samping dan di luar vasa deferentia dan berdekatan dengan ureter, kandung kemih, dan  prostat. Vesikel seminalis pada ujung 
 SPERMATOGENESIS
inferiornya membentuk kanal sempit yang menyatu ke arah rekannya untuk bergabung dengan vas deferens yang sesuai yang membentuk duktus 
ejakulatorius, Neuron adrenergik pendek yang berasal dari ganglia pelvis ditemukan  menginervasi dinding otot vesikula seminalis. Selama tahap  emisi ejakulasi  impuls simpatik menghasilkan kontraksi kontinu pada otot polos. Akibatnya, sekresi vesikula seminalis dikirim ke uretra dalam persiapan ekspulsi dari  penis.
Vesikula seminalis merupakan kontributor utama dan terakhir terhadap  seminal plasma, memasok 60 hingga 85% dari total volume semen. Vesikula 
seminalis mengeluarkan cairan yang bersifat basa. Sekresi utama dari kelenjar ini yaitu  fruktosa, protein dan prostaglandin. Produk lainnya meliputi   gula N-asetilamin  prolaktin , fibrinogen, asam askorbat  insulin atau peptida mirip  insulin  Glikodelin S  fibronektin dan  laktoferin 
Sekresi bersifat basa berfungsi sebagai buffer terhadap lingkungan asam yang spermatozoa akan temui di saluran reproduksi wanita. Nilai normal 
fruktosa yaitu  13 μmol atau lebih per ejakulasi  dan sangat penting bagi integritas fungsional spermatozoa sebab  ini yaitu  sumber  utama energi glikolitik untuk mempertahankan motilitas . ada  hubungan terbalik antara kadar fruktosa dengan konsentrasi  dan motilitas spermatozoa dalam seminal plasma  Protein utama dalam seminal plasma yaitu  semenogelin I dan II (SgI 
dan SgII)  Sebagian besar Sg disintesis dalam vesikula  seminalis dan sebagian kecil SgII disintesis oleh epididimis. Kadar protein 
ini dalam seminal plasma yaitu  50 g /L SgI dan 10 g /L SgII. Semenogelin  diperkirakan mempengaruhi  kapasitasi dan motilitas sperma  Sg juga berperan dalam imunitas melalui aktivitas antibakterial peptida  yang berasal dari fragmentasi Sg dan tergantung Zn  Sesudah  ejakulasi, Sg dan agregat fibronektin membentuk koagulum 
yang menjebak dan meimobilisasi spermatozoa 
Eppin (Epididymal protease inhibitor) turut mengikat kompleks Sg dan Fn   Koagulum lalu  cair dalam waktu 15–20  menit sebab  Sg dan Fn didegradasi oleh PSA sehingga spermatozoa dapat 
bergerak bebas dan berkapasitasi Kompleks Eppin-Sg-Fn melindungi spermatozoa sebelum kapasitasi dari protease yang secara  langsung dapat menyerang membran plasma sperma Antibodi Anti-Eppin mengganggu kompleks Eppin-Sg dan menghambat  degradasi Sg oleh PSA 
Peran lain dari vesikula seminalis yaitu  menghasilkan lipid yang  dinamakan  prostaglandin. Prostaglandin pertama kali ditemukan dalam ejakulat  pada tahun 1935 oleh Ulf von Euler dari Swedia, Awalnya, prostaglandin diduga diproduksi oleh prostat sebab  itu diberi 
nama sedemikian rupa. Namun, sekarang diketahui bahwa prostaglandin berasal dari vesikula seminalis  Senyawa pertama yang diidentifikasi yaitu  PGE1, PGE2, PGE3, PGF1, dan PGF2α. lalu , 19-hidroksi-PGE1, 19-hidroksi-PGE2, 19-hidroksi-PGF1α, dan 19-hidroksi-PGF2α sudah  diidentifikasi . Prostaglandin memiliki berbagai efek farmakologis,  termasuk stimulasi otot polos. Prostaglandin yang diproduksi oleh vesikula 
seminalis mendukung transportasi sperma dengan cara merangsang otot  polos saluran reproduksi laki-laki  selama proses ejakulasi yang akan mendorong pergerakan sperma. Dalam sistem reproduksi wanita, prostaglandin seminalis 
memicu  rahim dan vagina berkontraksi sesudah  melakukan hubungan  seksual yang juga memfasilitasi pengangkutan sperma ke lokasi fertilisasi 
 FERTILISASI ALAMIAH
Reproduksi alamiah dapat terjadi dengan cara seksual atau aseksual, tergantung jenis organismenya. Organisme uniseluler berkembang biak secara aseksual atau vegetatif. Mereka bereproduksi secara mitosis, mirip dengan 
sel-sel somatik pada tubuh organisme multiseluler. Beberapa organisme multiseluler seperti kadal dapat berkembang biak secara aseksual di mana sel telur dapat berkembang tanpa adanya spermatozoa yang membuahi. Proses  ini dikenal dengan istilah partenogenesis Sebagian organisme lainnya berkembang biak secara seksual. Pada 
sebagian hewan air dan amfibi, proses perkembangbiakan seksual ini terjadi di 
luar tubuh melalui proses fertilisasi eksternal. Sementara mamalia, termasuk manusia secara alamiah melakukan fertilisasi di dalam atau fertilisasi internal 
KOITUS
Pembuahan merupakan proses bersatunya spermatozoa dan sel telur  untuk membentuk personal  yang baru. Pada manusia, proses ini dapat terjadi secara alamiah maupun dengan bantuan. Untuk terjadinya proses fertilisasi 
alamiah perlu didahului dengan koitus. Melalui koitus, spermatozoa dari bagian distal kauda epididimis memasuki seminal plasma, ditransfer ke 
saluran reproduksi wanita, dan berjalan di dalam saluran reproduksi wanita  untuk membuahi sel telur yang baru diovulasikan. Proses koitus untuk 
fertilisasi memerlukan fungsi ereksi dan ejakulasi yang baik. 
EREKSI
Ereksi berasal dari bahasa latin erigere, merupakan keadaan kekerasan,  pembesaran, dan tegak yang terjadi pada penis atau klitoris, sering dipicu 
oleh gairah seksual, namun  juga terjadi selama tidur atau sesudah  stimulasi fisik.  Ereksi dihasilkan saat  tambahan darah memasuki organ dan tekanan darah 
di dalam organ meningkat. Keadaan ini dipengaruhi oleh stimulasi psikis dan 
fisik. Ereksi memicu  penis mampu untuk penetrasi ke dalam vagina 
dan mengeluarkan ejakulat. 
a. Anatomi ereksi
Struktur anatomi penis terpenting yang menentukan fungsi ereksi 
yaitu  kedua korpora kavernosa. Bentukan silinder itu  akan penuh 
terisi oleh darah saat  mengalami ereksi hingga mengalami perbesaran 
dan pemanjangan sampai dengan tiga perempat dari ukuran penis semula. 
Masing-masing korpora kavernosa memperoleh  suplai aliran darah dari 
arteri iliaka interna, yang merupakan cabang dari arteri iliaka komunis (Kirby 
& Lue, 2005).
Gambar 6.1 Anatomi Potongan Melintang Penis (Brant et al., 2009)

103BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH
Penis diinervasi oleh sistem saraf otonom (simpatis dan parasimpatis) 
dan somatik (sensoris dan motoris). Neuron-neuron saraf itu  bersumber 
dari saraf tulang belakang dan ganglia perifer yang bergabung mengikuti 
jalur simpatetik dan parasimpatetik membentuk saraf kavernosus. Serat saraf 
otonom ini memasuki korpora kavernosa dan korpus spongiosum untuk 
mengendalikan  aktivitas neurovaskular selama proses ereksi dan detumescence 
(Yuh & Shindel, 2017).
Gambar 6.2 Anatomi Arteri, Vena, dan Saraf Penis (Brant et al., 2009)

104
b. Fisiologi ereksi
i. Inisiasi ereksi
 berdasar  pencetusnya, secara konsep, ereksi dapat dibedakan 
menjadi ereksi refleksogenik, psikogenik, dan nokturnal. Ereksi 
refleksogenik dan psikogenik hanya dapat dipisahkan pada laki-laki 
dengan trauma medula spinalis, sedang  pada keadaan fisiologis 
saling tumpang tindih.
 Ereksi refleksogenik ditimbulkan oleh rangsangan taktil pada 
area genital dan ditransmisikan oleh saraf penis dorsal. Di dalam 
medula spinalis, terjadi transfer impuls menuju serabut parasimpatis 
eferen (nervi erigentes). Sesudah  transformasi pada pleksus pelvikus, 
ereksi ditimbulkan oleh saraf kavernosa. Bagian somatik dari 
saraf pudendus menginduksi kontraksi otot dasar panggul demi 
tercapainya rigiditas.
 Ereksi psikogenik terjadi saat  neurotransmiter, utamanya dopamin 
dan nitrit oksida (NO) dilepaskan akibat adanya rangsangan erotik 
di pusat seksual otak. Sinyal ditransmisikan ke korpora kavernosa 
melalui aktivasi sistem saraf parasimpatis dan transfer sinyal di 
dalam pusat erektil sakral, di mana NO dan vasoactive intestinal 
polypeptide (VIP) bertindak sebagai transmiter utama. Efek hambatan 
utama berasal dari pusat ereksi torakolumbal, dengan serabut 
parasimpatis bersama di dalam Nn. Kavernosi mencapai penis. 
 Secara fisiologis, korpora kavernosa lebih dipengaruhi oleh 
faktor-faktor penghambat ereksi dibandingkan faktor-faktor yang 
memfasilitasi. Hal ini menjelaskan mengapa penis lebih sering 
berada dalam keadaan flaksid. Ereksi nokturnal merupakan hasil 
dari siklus sirkadian. Tonus parasimpatis mendominasi selama 
malam, menimbulkan ereksi otonomik yang intermiten. Pada laki-laki , 
terjadi 3 hingga 5 tahap  ereksi dengan durasi 20–30 menit selama 
tahap  rapid eye movement saat sedang tidur. Ereksi nokturnal, sebab  
diasumsikan tidak dipengaruhi faktor-faktor kejiwaan, menjadi 
salah satu metode untuk membedakan disfungsi ereksi organik 
dengan nonorganik. Ereksi nokturnal dapat dinilai secara objektif 
memakai  Rigiscan® (Karadeniz et al., 1997).

105BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH
 Ketiga pencetus ereksi akan menimbulkan suatu reaksi lokal pada 
ujung saraf yang bertanggung jawab untuk memfasilitasi terjadinya 
ereksi. Penjelasan peristiwa ini dijelaskan dalam bahasan kendali 
lokal ereksi.
ii. Kendali lokal ereksi
 NO (nitrit oksida) merupakan mediator paling penting bagi terjadinya 
relaksasi korpus kavernosum (Andersson & Wagner, 1995). NO 
dikeluarkan oleh ujung saraf non adrenergic non cholinergic (NANC) 
dari Nn. kavernosi, di samping itu, NO juga dikeluarkan oleh seluruh 
endotel yang melapisi sinusoids dan pembuluh darah penis. 
 Bahan dasar NO yaitu  asam amino L-arginin dan oksigen yang 
dikatalisasi oleh NO sintase (NOS). ada  tiga isoform NOS yang 
dibedakan berdasar  lokasi pertama kali enzim ini ditemukan. 
Neuronal NOS (nNOS atau tipe 1) dan endothelial NOS (eNOS atau tipe 
3) bersifat Ca2+/calmodulin-dependent, sementara inducible NOS (iNOS 
atau tipe 2) bersifat Ca2+/calmodulin-independent, diekspresikan di 
makrofag dan jaringan lain sesudah  stimulus imunologis (Föstermann 
et al., 1994).
 Akibat cetusan ereksi, neuronal NO mula-mula dilepaskan. Pada 
gilirannya, NO mengaktifkan guanilil siklase yang terikat di 
membran, memicu  perubahan GTP menjadi 3’5’siklikguanosin 
monofosfat (cGMP). cGMP merupakan second messenger penting untuk 
aktivasi cGMP-dependent protein kinase G (PKG). sebab  pengaruh 
PKG, kalsium intraseluler bebas diambil oleh retikulum endoplasma, 
memicu  penurunan fluks kalsium dan peningkatan fluks 
kalium dari sel, yang menimbulkan depolarisasi yang diikuti dengan 
relaksasi otot polos pembuluh darah dan perubahan hemodinamik 
(Burnett, 2004). Didukung oleh perubahan mekanik dan peregangan 
dari otot, aktivasi lanjutan dari NO endotel yang berperan dalam 
mempertahankan relaksasi otot polos dan ereksi. 
 Pembentukan cAMP analog dengan cGMP saat  adenilil siklase 
yang terikat membran diaktifkan oleh VIP. Kedua second messengers 
merupakan subjek terhadap metabolisme fisiologis oleh beragam 
enzim phosphate diesterase, di mana tipe 3 dan 5 yaitu  yang relevan 
secara klinis. Aktivitas fosfodiesterase memicu  perubahan 

106
cGMP menjadi 5’GMP ataupun cAMP menjadi 5’AMP, yang bersifat 
inaktif.
 Persarafan simpatik mengikuti secara luas melalui reseptor adrenergik 
1 dan 2, memicu  peningkatan kadar kalsium dan kontraksi sel 
otot. Beragam substansi lokal disintesis di dalam jaringan erektil 
penis berpengaruh  inhibisi, seperti prostanoids, endothelin, 
dan angiotensin. Kontrol lokal ereksi lebih kuat dipengaruhi oleh 
testosteron dibandingkan dengan yang diperkirakan dahulu. Dengan 
demikian, defisiensi testosteron yang berkepanjangan memicu  
pengurangan serabut saraf yang mengandung NOS, downregulation 
nNOS dan eNOS, dan jumlah sel otot polos terus berkurang sebab  
apoptosis
iii. Hemodinamik
 Tiga faktor hemodinamik yang penting bagi terjadinya ereksi (van 
Ahlen & Kliesch, 2010) yaitu 
a. penurunan resistensi intrakavernosa akibat relaksasi sel-sel otot 
kavernosa
b. peningkatan aliran masuk arterial oleh dilatasi pembuluh nadi
c. restriksi aliran vena oleh kompresi intrakavernosa dan pleksus 
vena subtunika.
 Pengurangan tonus seluruh struktur otot korpus kavernosum yang 
ditambah dengan relaksasi sinusoid menghasilkan peningkatan aliran 
arteri. Secara klinis peristiwa ini berkaitan  dengan peningkatan 
tumescence dan pemanjangan penis. Pada sistem vena, drainase yang 
semula tidak dihalangi pada kondisi penis flaksid, akan dikurangi 
oleh reduksi diameter vena. Dengan pembesaran maksimal sinusoid 
kavernosa, venula di trabekula, dan vena emisaria yang melewati 
tunika albuginea semakin tertekan. Perubahan ini akhirnya 
memicu  ereksi penis yang lengkap.
 ada  lima tahap  ereksi. tahap  laten ditandai oleh penurunan 
tekanan intrakavernosa sesudah  distimulasi oleh Nn. kavernosi. 
Peristiwa ini diikuti oleh peningkatan perfusi arteri. sebab  sifat 
struktur elastik-fibromuskular dari korpora kavernosa, terjadi 
pemanjangan penis tanpa perubahan pada tekanan intrakavernosa. 
Selama tahap  tumesence, secara perlahan terjadi peningkatan tekanan 

107BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH
pada vena. Saat tekanan intrakavernosa sedikit kurang dari tekanan 
darah sistolik, sebuah plateau terjadi, yang ditandai oleh keadaan 
aliran arteri yang stabil dan aliran vena yang minimal (tahap  ereksi). 
Rigiditas maksimal akan diperoleh dengan kontraksi dari otot dasar 
panggul, yang meningkatkan tekanan intrakavernosa melebihi 
tekanan sistolik (tahap  rigiditas). Saat impuls saraf dihentikan, 
rigiditas, dan tumesence akan berkurang (tahap  detumescence).
tahap 
Resistensi 
kavernosa
Tekanan 
intrakavernosa
Aliran darah Penis
Latensi ↓ Stabil Arterial ↑, 
vena stabil
Memanjang
Tumesen Stabil ↑ stabil Membesar, 
Menegang
Ereksi Stabil Stabil 10 – 20 
mmHg di bawah 
sistol
Arteri ↓, 
vena ↓
Panjang 
maksimal
Rigiditas Stabil > sistol Arteri minimal 
vena oklusi
Besar dan 
tegang
 Maksimal
Detumesen ↑ Arteri dan vena 
minimal (nilai 
awal)
Flaksid
EJAKULASI
Ejakulasi didefinisikan sebagai ekspulsi cairan seminal melalui meatus 
uretra. Ejakulasi terjadi saat klimaks seksual, biasanya dengan orgasme 
(Kondoh, 2011). Ejakulasi terdiri atas dua tahap : emisi carian seminalis ke 
dalam uretra posterior yang dimediasi secara simpatis, diikuti dengan true 
ejaculation dan ekspulsi dari ejakulat yang dimediasi secara somatis (Ralph 
et al, 2005). Selama tahap  emisi, ejakulat dikeluarkan ke dalam uretra posterior 
melalui sekresi epithelial dan kontraksi peristaltik dari otot polos dari traktus 
seminalis. Ekspulsi terjadi jika cairan semen bergerak secara cepat melalui 
uretra dan keluar di meatus penis; hal ini melibatkan kontraksi pulsatil dari 
otot bulbokavernosum dan otot dasar panggul (Kondoh, 2011).

108
Gambar 6.3 Mekanisme ejakulasi
(Ralph & Wylie, 2005)
Selanjutnya, sinkronisasi antara penutupan dari bladder neck diikuti 
dengan relaksasi urinary sphincter merupakan proses krusial untuk mencegah 
aliran balik cairan semen ke dalam kandung kemih dan memperoleh  
propulsi akurat dari semen (Kondoh, 2011). Emisi dan penutupan dari bladder 
neck merupakan fenomena yang dikendalikan  oleh saraf simpatis dari segmen 
thorakolumbal Th9-L3, sementara ekspulsi dari cairan semen ditransmisikan 
oleh suatu refleks involunter (S2-4) dari nervus pudendus (van Ahlen & 
Kliesch, 2010). 

109BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH
MIGRASI SPERMATOZOA DARI SEMINAL PLASMA MENUJU LENDIR 
SERVIKS
Sesudah  ejakulasi, spermatozoa dideposit di dalam vagina pada seminal 
plasmanya yang menetralisir keasaman vagina. Spermatozoa lalu  
bermigrasi dari seminal plasma menuju lendir serviks yang menyebar ke 
vagina. Hanya spermatozoa yang mampu bergerak dan memiliki bentuk 
normal yang mampu menembus lendir serviks, sementara sisanya akan keluar 
bersama dengan mengalirnya seminal plasma dari vagina wanita. Lendir ini 
pada masa sekitar ovulasi sesuai untuk dilewati oleh spermatozoa (Montimer, 
1995). Namun, gangguan interaksi antara spermatozoa dan lendir serviks 
dapat menjadi barier, ditandai oleh shaking phenomenon pada pemeriksaan 
lendir serviks Sesudah  koitus. Fenomena ini terjadi sebab  antibodi spermatozoa 
menempel pada bagian ekor. Kondisi ini dapat memicu  infertilitas akibat 
faktor serviks 
Spermatozoa yang menembus lendir serviks harus mampu bertahan 
di dalam saluran reproduksi wanita, bergerak menuju tuba, tempat di mana 
telur yang sudah  diovulasikan berada (Gambar 6.4).
Gambar 6.4 Perjalanan spermatozoa Sesudah  koitus.
(Anonym, 2018)

110
Mengapa spermatozoa dari uterus dapat menuju ke tuba yang terisi oleh 
oosit? Hal ini terjadi sebab  adanya signal yang mengatur agar spermatozoa 
bergerak menuju telur. Mekanisme spermatozoa bergerak menuju telur dapat 
melalui empat mekanisme, yaitu kemotaksis, rheotaksis, termotaksis, dan 
haptotaksis. Namun, pada mamalia mekanisme haptotaksis tidak terjadi 
(Wachten et al., 2017). Pada manusia, progesteron diduga bertindak sebagai 
kemoatraktan (Oren-Benaroya et al., 2008). Sperma menyelaraskan diri 
terhadap arah aliran cairan dari saluran telur ke rahim. Mekanisme ini dikenal 
sebagai rheotaksis, sebuah proses yang bersifat pasif, tanpa melibatkan influks 
kalsium (Zhang et al., 2016).
KAPASITASI PADA SALURAN REPRODUKSI WANITA DAN PERJALANAN 
SPERMATOZOA KE OVIDUCT
Spermatozoa lalu  bermigrasi ke dalam tuba dan akan menempel 
pada epitel tuba. Selama masa ini, spermatozoa mengalami proses paralel 
yang dikenal dengan dengan istilah kapasitasi. Kapasitasi yaitu  proses 
pengondisian yang memicu  spermatozoa mampu untuk mencapai 
dan membuahi sel telur. Spermatozoa dari ejakulat segar tidak mampu 
segera membuahi sel telur saat berkontak dengan sel telur secara in vitro, 
dan kemampuan ini timbul sesudah  periode kapasitasi ini sudah  berlalu. 
Kapasitasi menghasilkan perubahan status spermatozoa, menimbulkan 
gerakan hiperaktivasi dan kemampuan untuk menembus pelindung telur, dan 
mengalami reaksi akrosom yang diinduksi pada permukaan zona pelusida. 
Dipercaya bahwa spermatozoa in vivo menempel pada endosalpinx sebelum 
waktu ovulasi dalam keadaan tidak terkapasitasi dalam rangka menjaga 
viabilitasnya. 
Mekanisme Kapasitasi
Selama kapasitasi, spermatozoa kehilangan beberapa protein 
permukaannya yang dikenal dengan faktor dekapasitasi. Faktor ini berasal 
dari epididimis dan saat ejakulasi dari vesikula seminalis. Kehilangan faktor 
dekapasitasi ini diikuti oleh perubahan lipid membran plasma spermatozoa. 
Pembelahan enzimatik kutub polar menuju sterol nonpolar mengubah 
kekakuan membran dan pembuangan kolesterol oleh sterol-binding 

111BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH
protein mengubah kondisi membran lipid. Membran plasma merupakan 
micro-domain yang kaya akan kolesterol, sphingomyelin, glycosphingolipids, 
glycosylphosphatidylinositol (GPI)-anchored protein, dan kompleks molekul 
sinyal transduksi. Kehilangan kolesterol dari membran sperma memicu  
gangguan lipid membran untuk meningkatkan fluiditas membran dan 
memfasilitasi fusi membran yang diperlukan  untuk reaksi akrosom dan 
fusi sperma-oosit. Perubahan-perubahan molekular pada kapasitasi sperma 
dipelajari secara in vitro, peringatan perlu diberikan untuk ekstrapolasi ke 
in vivo. 
Konsekuensi Kapasitasi: Hiperaktivasi dan Migrasi menuju tempat fertilisasi
Dampak pertama dari kapasitasi yaitu  hiperaktivasi. Gerakan ini 
dikenali secara mikroskopis sebagai gerakan ‘mencambuk’ yang kuat oleh 
ekor spermatozoa, bergerak dengan amplitudo bengkokan yang besar, 
dan menghasilkan sebuah gerakan yang kencang, nonprogresif. Pencetus 
hiperaktivasi belum pasti, namun  dasar molekular hiperaktivasi termasuk 
influks kalsium melalui kanal ion CatSper (Qi et al. 2007). 
Peristiwa ini memicu  lepasnya spermatozoa dari epitelium oviduk, 
meningkatkan kemungkinan tumbukan spermatozoa dengan kumulus dan 
menyediakan dorongan bagi spermatozoa untuk pindah melalui cairan 
luminal yang kental, kumulus ooforus, dan zona pelusida yang mengelilingi 
oosit. 
Perpindahan spermatozoa menuju oosit di dalam ampula oviduct 
mungkin diarahkan oleh thermotaxis, tergantung perbedaan suhu. Ampula 
memiliki temperatur yang lebih tinggi dibandingkan isthmus. Hanya 
spermatozoa yang terkapasitasi yang metanggapan  pengaruh temperatur ini. 
PENETRASI KUMULUS OOFORUS
Sesudah  mencapai tempat fertilisasi di ampula tuba falopi, spermatozoa 
masih harus mengatasi dua hambatan yang berpotensi mencegah kontak 
langsung dengan oolemma, yaitu kumulus ooforus, di mana telur tertanam; 
dan zona pelusida mengelilingi oosit.
Kumulus oophorus terdiri dari sel-sel granulosa, termasuk “korona 
radiata”, berbatasan langsung ke sel telur. Sel-sel ini tertanam dalam matriks 

112
yang terutama terdiri dari asam hialuronat. Meskipun enzim litik pada 
permukaan sperma, seperti hialuronidase PH-20, mungkin terlibat dalam 
memfasilitasi berjalannya spermatozoa melalui kumulus, kebutuhan untuk 
kekuatan mekanik dari spermatozoa yang terhiperaktivasi tetap diperlukan . 
Spermatozoon kemungkinan diarahkan ke telur secara kemotaksis, migrasi 
spermatozoa menuju ke kemoatraktan dengan konsentrasi yang lebih tinggi. 
Sel-sel granulosa, terutama korona radiata, bisa mengeluarkan senyawa yang 
memediasi migrasi kemotaksis jarak pendek dalam kumulus.
Teori klasik mengatakan bahwa hanya spermatozoa dengan akrosom 
utuh yang dapat menembus kumulus. Jika reaksi akrosom spontan terjadi di 
luar kumulus, spermatozoa tidak dapat bermigrasi melalui lapisan ini, sebab  
spermatozoa yang sudah  mengalami reaksi akrosom melekat pada massa 
kumulus. Reaksi akrosom baru diperlukan untuk penetrasi spermatozoa 
pada permukaan zona pelusida. Sperma yang mengalami reaksi akrosom 
dalam massa kumulus sudah  dianggap “salah” bereaksi-akrosom. Namun, uji 
model hewan menemukan bahwa spermatozoa yang sudah  bereaksi akrosom 
tetap mampu menembus kumulus dan zona untuk kedua kalinya. (Inoue et 
al., 2011)
INTERAKSI SPERMATOZOA DENGAN ZONA PELUSIDA
Zona pelusida terdiri dari anyaman glikoprotein ZP1, ZP2, ZP3, dan 
ZP4/ZPB. ZP3 dan mungkin ZPB terlibat dalam ikatan sperma-zona. ZP1 
menyediakan integritas struktural untuk zona pelusida oleh filamen yang 
saling menyilang yang dibentuk oleh protein zona lainnya.
Kontak awal antara gamet terjadi antara kelompok karbohidrat 
terkait protein o zona pelusida ZP3 atau ZPB dengan “zona reseptor” pada 
spermatozoa. Berbagai protein yang terkait dengan permukaan sperma sudah  
dianggap mampu memediasi ikatan sperma-zona. Fucose atau fucoidan dan 
mannose, dilaporkan menghambat ikatan sperma-zona. Hal ini diduga terjadi 
akibat persaingan dengan struktur serupa pada permukaan sperma dengan 
zona pelusida.
Reseptor untuk ZP3 pada spermatozoa manusia termasuk protein integral 
membran yang sudah  ada pada spermatozoa testis dan sekresi epididimis 
yang melapisi permukaan sperma selama pematangan dalam epididimis, 
contoh , P34H. Adhesi zona-spermatozoa diduga tidak diperantarai oleh 

113BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH
satu reseptor. Pendekatan multimeric zona recognition complex (MZRC) sudah  
menyatakan bahwa sperma memakai  seperangkat kompleks protein 
multimolekuler untuk mengkoordinasikan adhesi mereka ke ligan yang 
ada  di zona pelusida (Reid et al., 2011; Redgrove et al., 2011).
Kekuatan sel sperma saja, tanpa enzim, mungkin cukup untuk penetrasi 
zona, namun  ada kemungkinan bahwa baik kekuatan mekanik dan enzimatik 
yaitu  sarana bagi spermatozoon untuk masuk ke ruang perivitellina. SPAM1/
PH-20 (hialuronidase permukaan sperma) disekresikan oleh epididimis manusia 
dan dapat berfungsi sebagai enzim dan reseptor zona (Evans et al., 2003).
Gambar 6.5 Proses interaksi spermatozoa dan oosit dari kontak dengan zona 
pelusida hingga singami (Cooper & Yeung, 2010)
Ikatan protein ZP3 dengan reseptor zona di membran yang berada di 
atas akrosom menimbulkan reaksi akrosom. Dampak dari pelepasan vesikel 
ini yaitu  pelepasan protease akrosom (contohnya akrosin), dan pajanan 

114
protease dari ikatan membran akrosom luar-dalam (akrosin dan precursornya 
proakrosin). Proakrosin juga bisa berfungsi sebagai protein pengikat zona 
dan berperan dalam postulat lain. Ikatan sekunder terhadap zona oleh 
spermatozoa yang bereaksi akrosom melibatkan ZP2, di saat membran plasma 
hilang dan ikatan ZP3 tidak lagi fungsional.
Gambar 6.6 Reaksi akrosom (Cooper & Yeung, 2010) 

115BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH
FUSI SPERMATOZOA DENGAN MEMBRAN VITELINA
Selain melepaskan enzim hidrolisis untuk memfasilitasi penetrasi zona, 
peran lain dari akrosom yaitu  menciptakan perubahan halus pada regio 
ekuatorial akrosom dan regio post akrosom (Gambar 6.3) yang diperlukan  
untuk fusi sperma-telur. Tidak seperti bagian proksimal regio akrosom, tidak 
ada  vesikulasi pada regio ekuatorial yang bersama dengan regio post 
akrosom dianggap sebagai tempat awal kontak sperma-sel telur. Kedua regio 
ini berikatan dengan membran oosit di regio yang kaya dengan mikrovili.
Protein kandidat lain untuk fusi sel telur yang diekspresikan oleh 
spermatozoa yaitu  Izumo-1 dan SPSPE1. Izumo-1 yaitu  sebuah protein 
yang terletak pada permukaan spermatozoa yang sudah  mengalami reaksi 
akrosom, memiliki kemampuan untuk mengenali dan bersatu dengan 
sel telur (Inoue et al., 2005). Reseptor izumo-1 pada telur yaitu  Cd9 dan 
protein yang awalnya  dinamakan  reseptor folat 4. Namun, sebab  
reseptor ini selanjutnya diketahui tidak mengikat folat, Bianchi menyarankan 
Juno sebagai nama penggantinya (Bianchi et al., 2014). Segmen ekuatorial 
merupakan tempat inisiasi fusi spermatozoa-telur pada mamalia. Dengan 
demikian protein fusi harus terletak di segmen ini. Pada spermatozoa yang 
sudah  bereaksi akrosom, Izumo-1 tidak hanya berlokasi di segmen ekuatorial 
namun  juga regio post akrosom. sebab  itu peneliti mencari protein lain 
yang hanya terletak di segmen ekuatorial sebagai inisiator kandidat fusi ini. 
SPESP1 (sperm equatorial segment protein 1) dapat diduga sebagai protein fusi 
sperma sel telur sebab  antibodi anti-SPESP1 menghambat fusi spermatozoa-
sel telur pada uji sel telur hamster bebas zona (Wolkowicz, et al., 2008) dan 
fertilisasi in vitro tikus (Lv, et al., 2010). Tikus dengan jantan Spesp1+/– dan 
Spesp1–/– memiliki spermatozoa yang berkemampuan fusi lebih rendah 
dibandingkan dengan yang tipe liar. maka  disimpulkan bahwa 
SPESP1 diperlukan  untuk menghasilkan kompetensi fusi yang sempurna 
(Fujihara et al., 2010).

116
Gambar 6.7 Proses fusi spermatozoa dengaan mebran vitelina. Proses ini diikuti 
dengan proses endositosis (Satouh et al., 2012) 
PERISTIWA Sesudah  FUSI
Pada manusia, baik kepala maupun ekor spermatozoa memasuki 
sitoplasma oosit, namun  membran plasma tertinggal pada permukaan oosit. 
Segera sesudah  spermatozoa memasuki oosit, terjadi tanggapan  oosit dalam tiga 
bentuk berikut. 
Melanjutkan Pembelahan Meiosis II
Meiosis belum terjadi secara lengkap saat oosit mengalami ovulasi; 
oosit tertahan pada periode metatahap  II. saat  spermatozoa masuk di waktu 
fertilisasi, blokade pembelahan dihentikan sehingga oosit dapat menyelesaikan 
meiosis. Fusi sperma-sel telur melepaskan ion kalsium dari simpanan 

 FERTILISASI ALAMIAH
intraseluler yang diikuti oleh osilasi kalsium yang terjadi beberapa jam hingga  pembentukan pronukleus betina. Faktor yang berperan dalam aktivasi oosit ini dinamakan  sebagai sperm-associated oocyte activation factor (SOAF). Beberapa kandidat SOAF yaitu  phospholipase C zeta (PLCζ) dan postacrosomal sheath 
WW binding protein (PAWP). PLCζ saat masuk ke oosit menghidrolisis PIP  menghasilkan IP3; IP3 berikatan dengan IP3RS memicu  pelepasan 
Ca2+ dari retikulum endoplasma. Kebutuhan akan PLCζ dibuktikan melalui  percobaan di mana spermatozoa dengan mutasi PLCζ menandakan  aktivitas enzim yang menyimpang dan gagal mengaktifkan oosit. Mikroinjeksi protein 
rekombinan PLCζ manusia lalu  mampu merangsang osilasi Ca2+ dengan  sifat  seperti saat fertilisasi yang diperlukan  untuk aktivasi oosit dan perkembangan menuju tahap blastokis 
Hampir separuh dekade sesudah  penemuan PLCζ, diajukan kandidat lain SOAF, yaitu PAWP. Kandidat baru ini merupakan protein khusus  
spermatozoa yang diduga berikatan dengan yes associated protein (YAP) dan 
berinteraksi dengan domain SH3 PLCγ oosit, menghasilkan aktivasi jalur 
signal fosfoinositida  riset  juga menandakan  
bahwa PAWP mampu menginduksi osilasi Ca2+ dan aktivasi oosit saat 
diinjeksikan ke dalam oosit manusia dan pengeluaran Ca2+ dapat dihambat 
sesudah  mikroinjeksi spermatozoa bersamaan dengan inhibitor kompetitif 
PAWP 
Bersamaan dengan selesainya meiosis, badan polar II akan terbentuk. 
Meskipun pada ICSI fusi sperma-sel telur dapat dilewati, aktivasi oosit tetap 
dapat terjadi. Namun terjadi keterlambatan yang disebabkan oleh pelepasan 
SOAF yang lebih lambat sebab  diperlukan  waktu untuk merusak perinuclear 
theka, tempat di mana SOAF berada. Keterlambatan ini juga memicu  
keterlambatan dekondensasi kromatin pada proses ICSI dibandingkan dengan 
fertilisasi melalui fusi sperma-telur 

Blokade terhadap Polispermi
Peristiwa awal dari aktivasi oosit yang dirangsang oleh sinyal kalsium 
yaitu  eksositosis granul kortikal yang terletak di permukaan oosit (Gambar 
2). Peristiwa ini menghambat poliploidi dengan mencegah spermatozoa lain 
memasuki sel telur dengan kerja pada dua tingkatan: Vitellus dan zona. Fusi 
granul vesikel dengan membran vitelina segera mengubah komposisi membran 
telur sehingga membran tidak memiliki afinitas terhadap spermatozoa. Peristiwa ini dikenal dengan istilah “vitelline block to polyspermy” atau 
“reaksi kortikal”. Granul dilepaskan ke ruang perivitellina, glikosidase mengubah ZP3 menjadi ZP3f, yang minim dengan karbohidrat, utamanya 
dikenali oleh reseptor zona yang ada pada spermatozoa, dan protease mendegradasi ZP2 menjadi ZP2f, yang tidak mampu berikatan dengan 
spermatozoa yang sudah  bereaksi akrosom  Mekanisme  ini dikenal dengan “zona block to polyspermy” atau “reaksi zona”.
Singami
Spermatozoa di dalam oosit akan bergerak mendekati pronukleus  betina dan akan membentuk pronukleus jantan, sementara ekornya akan lepas dan berdegenerasi. Kedua pronukleus ini sulit dibedakan dan mereka  akan berkontak dan kehilangan selaput intinya. Selama pertumbuhan, kedua pronukleus yang bersifat haploid ini perlu mereplikasi DNA sehingga tiap  sel dari zigot 2 sel yang akan terbentuk memiliki jumlah DNA yang normal.  Sesudah  sintesis DNA, kromosom tersusun pada spindle sebagai persiapan 
pembelahan mitosis. Dua puluh tiga kromosom ganda maternal dan 23  kromosom ganda paternal membagi secara longitudinal pada sentromer 
dan sister kromatid bergerak menuju kutub yang berlawanan, menyediakan  masing-masing zigot dengan kromosom diploid. Saat sister kromatid bergerak ke kutub yang berlawanan, sebuah alur dalam nampak pada permukaan sel,  secara perlahan membelah sitoplasma menjadi dua bagian.Untuk membentuk zigot 2-sel, zigot manusia harus memiliki dua sentriol selama intertahap  dan empat sentriol selama mitosis pertama. Oosit manusia tidak memiliki sentriol dan pronukleus perlu dikaitkan dengan aster 
mikrotubulus. Sentriol embrio diwariskan secara paternal  , Dogma tua mengatakan sentriol sperma dan matriks  perisentriolar di sekitarnya berkurang selama spermiogenesis dan sentriol  distal juga terdisintegrasi. Oleh sebab  itu, zigot hanya memiliki satu sumber  sentriol, yaitu  sentriol proksimal dari sperma.  menemukan bahwa komponen sisa sentriol distal spermatozoa mampu merekrut protein matriks perisentriolar, γ-tubulin, 
membentuk aster, membentuk sentriol baru, dan melokalisasi ke kutub  spindle, sambil mempertahankan kemelekatannya dengan aksonema 
pembelahan zigot sesudah  feritilisasi
Sesudah  terbentuk zigot (stadium 2-sel), zigot akan mengalami serangkaian pembelahan mitosis yang akan meningkatkan jumlah sel. Sel-sel ini menjadi lebih kecil setiap kali membelah dan dikenal dengan nama blastomer. 
Pembentukan Morula
Hingga tahap 8-sel, blastomer membentuk gumpalan yang tersusun longgar. Sesudah  pembelahan ketiga, blastomer memaksimalkan kontaknya, dan membentuk bola kompak yang diikat oleh tight junction. Proses kompaksi, 
memisahkan sel dalam (inner cell) yang berkomunikasi secara ekstensif oleh  gap junction dari sel luar (outer cell). Kira-kira 3 hari sesudah  fertilisasi, sel-sel dari embrio membelah lagi membentuk morula 16 sel (mulberry) yang terdiri 
dari inner cell mass dan dikelilingi oleh sel outer cell mass. Inner cell mass akan membentuk jaringan embrio sementara outer cell mass akan membentuk trofoblas yang berkontribusi membentuk plasenta.
Gambar Perkembangan Sesudah  fertilisasi dari terbentuknya pronukleus (A), zigot dari stadium 2 sel (B), stadium 4 sel (C), hingga morula (D dan E), dan  blastokista (F). Stadium 2 sel terjadi pada 30 jam Sesudah  fertilisasi, stadium 4 sel terjadi pada 40 jam Sesudah  fertilisasi, stadium 12–16 sel terjadi pada tiga hari Sesudah  fertilisasi; dan tahap  akhir morula terjadi pada hari keempat Sesudah  fertilisasi.
Pembentukan Blastosis
Saat morula memasuki rongga rahim, cairan mulai melakukan penetrasi melalui zona pelusida menuju ruang antar inner cell mass. Perlahan, ruang 
interselular saling bertemu, dan akhirnya membentuk rongga tunggal yang dinamakan  blastokel. saat  ini embryo dinamakan  blastokis. Inner cell mass dinamakan  sebagai embrioblast, sementara outer cell mass dinamakan  trofoblas, 
memipih dan membentuk dinding epitel blastokis. 
Blastokis lepas dari zona pelusida (hatching) sehingga implantasi dapat dimulai. Pada manusia, sel trofoblas yang berada di atas kutub  embrioblast mulai berpenetrasi di antara endometrium pada hari ke6. riset  baru menyimpulkan bahwa L-selectin pada sel trofoblas dan reseptor karbohidratnya pada epitel uterus memediasi perlekatan awal blastokis ke  uterus. Mekanisme yang sama dengan cara leukosit berinteraksi dengan endotel diduga terjadi untuk penangkapan blastokis dari rongga uterus oleh 
endometrium. Sesudah  penangkapan oleh selektin, perlekatan  dan invasi trofoblas melibatkan integrin yang diekspresikan oleh trofoblas dan  molekul matriks ekstraselular laminin dan fibronektin. Reseptor integrin  untuk laminin mendorong perlekatan, sementara fibronektin merangsang 
migrasi. maka  dengan berakhirnya perkembangan minggu pertama, zigot manusia sudah  melalui tahap  morula dan blastokis, dan sudah  
mulai berimplantasi di dalam mukosa rahim.
Sesudah  melewati masa dewasa, laki-laki  memasuki . Pada masa ini, laki-laki  mengalami proses penuaan. Perubahan yang membentuk dan mempengaruhi  penuaan ini bersifat kompleks. Pada tingkat biologis, penuaan 
dikaitkan dengan akumulasi bertahap berbagai kerusakan molekuler dan seluler  Seiring waktu, kerusakan ini memicu   penurunan bertahap pada kapasitas fisiologis dan peningkatan risiko berbagai  penyakit. Pada akhirnya, penuaan akan diakhiri dengan kematian. Perubahan ini tidak linier dan inkonsisten, hubungan itu  hanya 
terkait secara longgar dengan usia . Beberapa orang berusia 70 tahun dapat menikmati fungsi fisik dan mental yang baik, sementara yang 
lain mungkin lemah atau memerlukan  dukungan menonjol  untuk  memenuhi kebutuhan dasar mereka. Tingkat dan sejauh mana proses ini 
terjadi bergantung pada genetika, adanya penyakit, dan akumulasi efek faktor sosial ekonomi, gaya hidup, dan lingkungan. Dalam 
FERTILITAS 
Angka Kehamilan
Usia lanjut meningkatkan kejadian infertilitas. laki-laki  usia lanjut di atas 40 tahun (Advanced Paternal Age/APA) menandakan  penurunan angka 
keberhasilan reproduksi yang ditunjukkan oleh memanjangnya waktu untuk mencapai kehamilan dan juga tingkat pembuahan Terjadi peningkatan lima kali lipat waktu untuk mencapai kehamilan 
saat usia laki-laki  > 45 tahun. Bila dibandingkan dengan laki-laki  berusia < 25 tahun, laki-laki  APA (> 45 tahun) 4,6 kali lebih mungkin mengalami infertilitas (tidak menginduksi kehamilan sampai sesudah  1 tahun melakukan hubungan seks 
tanpa kontrasepsi). saat  orang-orang yang memerlukan  waktu lebih dari 2 tahun untuk menginduksi kehamilan dengan pasangan mereka diperiksa, laki-laki  APA kemungkinan 12,5 kali lebih banyak ditemui Penurunan fertilitas akibat usia sudah  nampak pada usia yang lebih 
muda. riset di Australia yang mengamati 585 pasangan menemukan peningkatan risiko infertilitas pada pasangan laki-laki berusia 35 tahun dibandingkan dengan usia yang lebih muda 
Penurunan potensi menghamili tidak hanya terjadi pada kondisi kehamilan spontan, namun  juga pada penerapan inseminasi intrauterin Dalam masalah  
pemakaian  inseminasi intrauterin dan usia wanita dikendalikan, usia laki-laki  lebih dari 35 tahun dikaitkan dengan tingkat kehamilan 50% lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki  berusia di bawah 30 tahun Dari 2.276 siklus inseminasi, intrauterin pada wanita berusia kurang dari 35 
tahun, angka kehamilan terendah terjadi pada kelompok laki-laki  berusia lebih dari 50 tahun  Penurunan potensi ini tidak terjadi pada 
fertilisasi in vitro. Tidak ditemukan korelasi antara usia laki-laki  dan tingkat fertilisasi, implantasi, kehamilan, keguguran, dan kelahiran hidup pada IVF, namun  ditemukan penurunan pembentukan blastokista menonjol  , dalam riset  multisenter, De la Rochebrochard mengidentifikasi peningkatan risiko keguguran yang jelas pada hasil  kehamilan untuk laki-laki  berusia di atas 40 tahun  Penurunan kesuburan laki-laki  ini mungkin disebabkan oleh  berbagai faktor seperti kuantitas dan kualitas spermatozoa maupun frekuensi 
hubungan seksual yang berkurang pada . Kuantitas dan kualitas spermatozoa dipelajari  dengan menilai berbagai parameter semen. 
Kuantitas dan Kualitas Spermatozoa 
Analisis semen merupakan cara yang umum dipakai  untuk memperkirakan potensi kesuburan laki-laki . Beberapa pemeriksaan lain seperti 
vitalitas dan indeks fragmentasi DNA juga mulai dipakai  untuk tujuan  ini. Pengaruh usia terhadap hasil pemeriksaan semen sudah  dipelajari namun  
memperoleh  hasil yang tidak terlalu bermakna secara statistik. Winkle menganalisis parameter semen dan DFI pada 320 pasien acak dan 
84 kontrol normozoospermia dan menemukan bahwa konsentrasi, motilitas,  morfologi, dan fragmentasi DNA tidak memburuk pada laki-laki  usia lanjut.  Meskipun terjadi penurunan motilitas, penurunan ini tidak bermakna secara statistik 
Pada riset  lain memakai  kelompok laki-laki  infertil, ada  penurunan vitalitas, motilitas total, dan persentase penurunan morfologi normal seiring 
bertambahnya usia namun  tidak berbeda secara menonjol . Pada kelompok ini  juga ditemukan kecenderungan untuk peningkatan tingkat fragmentasi DNA dan diploid dengan usia yang tidak menonjol  secara statistik. Hubungan 
terbalik secara bermakna ditemukan antara usia pasien, volume semen (r =  -0,83; p = 0,032), dan vitalitas (r = -0,219; p = 0,01). Konsentrasi spermatozoa secara menonjol  dan positif berkaitan  dengan usia (r = 0,1996; p = 0,021) 
Gambar  Hubungan volume semen, vitalitas, konsentrasi, dan persentase  diploid spermatozoa dengan usiaBerbeda dengan riset  sebelumnya, riset  retrospektif  dengan 9.168 pasien menandakan  bahwa terjadi penurunan menonjol  
pada volume semen, jumlah sperma, motilitas, viabilitas dan morfologi normal, dan penurunan kadar alfa-glukosidase dan  fruktosa dalam kaitannya dengan usia Dari ketiga riset  ini, dapat kita simpulkan bahwa terjadi penurunan 
volume semen yang bermakna dengan bertambahnya usia. Sementara motilitas 
dan morfologi mengalami penurunan yang tidak bermakna. Pada beberapa riset , konsentrasi sperma meningkat sebab  adanya penurunan volume semen sehingga peningkatan ini tidak boleh diartikan sebagai peningkatan fungsi spermatogenesis testis pada . Fungsi spermatogenesis ini dikonfirmasi dengan pemeriksaan testis.Meskipun pada banyak jaringan telomer memendek setiap terjadi pembelahan sel, panjang telomer meningkat dengan penuaan pada 
spermatozoa  ada  dua kemungkinan mekanisme 
untuk menjelaskan panjang telomer yang lebih panjang pada spermatozoa laki-laki  lanjut usia, yaitu ekspresi telomerase testis yang tinggi memicu   pemanjangan telomer kromosom spermatozoa  dan sel induk germinal dengan telomer panjang cenderung bereplikasi dibandingkan dengan yang memiliki telomer pendek 
TESTIS 
Penuaan memicu  penurunan volume testis. riset 
menandakan  bahwa laki-laki  tua memiliki volume testis yang lebih kecil secara menonjol  dibandingkan  laki-laki  yang lebih muda  Well 
menyelidiki pengaruh usia pada volume testis dan menandakan  bahwa  puncak volume testis terjadi pada usia 25 tahun. Penurunan yang kecil namun  
menonjol  diamati pada usia 80 dan 90 tahun . Sementara riset  lain menandakan  bahwa antara usia 40 dan 60 tahun, volume testis relatif konstan dengan hanya sedikit penurunan, namun  sesudah  usia 60 tahun, volume testis menurun secara menonjol  riset  histomorfometrik dari tiga puluh enam laki-laki  lanjut usia (61–102 tahun) dan 10 laki-laki  muda (29–40 tahun) menandakan  jumlah sel germinal dan sel Sertoli menurun seiring bertambahnya usia. Tingkat aneuploidi sel post 
miotik yaitu  1,1% untuk kelompok kontrol, 1,29% untuk subjek yang lebih tua dengan spermatogenesis yang terjaga, dan 14,28% untuk subjek dengan  spermiogenesis arrested. 

Jumlah sel benih (spermatogonia, spermatosit, dan spermatozoa) dan sel Sertoli berdasar  usia 
Analisis optikal fraktionator yang dioptimalkan pada testis jenazah  menandakan  penurunan jumlah populasi sel Sertoli dengan penuaan namun  tidak ada penurunan terkait jumlah sel benih per 
sel Sertoli. 
PROFIL HORMON laki-laki  
FSH dan InhibinB
riset  longitudinal terhadap laki-laki  menandakan  peningkatan kadar FSH 
yang bermakna dengan bertambahnya usia sekitar 3,1 % per tahun  Namun, riset  cross-sectional menandakan   bahwa kadar inhibin B hanya sedikit lebih rendah dari pada laki-laki  muda 
 Meskipun demikian, kadar inhibin B menandakan  
korelasi terbalik yang kuat dengan FSH dan korelasi positif yang kuat dengan volume testis pada laki-laki  yang lebih tua  Peningkatan 
kadar FSH merupakan mekanisme kompensasi untuk melestarikan fungsi sel  Sertoli yang mengalami pengurangan jumlah  LH ada  kenaikan kadar LH pada laki-laki  tua namun  dengan sedikit toleransi. Hal ini  tampak pada riset  terhadap laki-laki  muda yang menandakan  bahwa 
penurunan sintesis testosteron secara moderat tidak perlu dikompensasi  sepenuhnya oleh peningkatan sekresi LH  Kenaikan  kontra-regulasi pada hormon LH sedikit lebih kecil bila dibandingkan dengan FSH, sekitar 0,9% per tahun . Sesudah  peningkatan ini, terjadi penurunan yang tidak bermakna pada usia yang sangat lanjut (lebih dari 95 tahun) 

Steroid, Penuaan reproduksi pada laki-laki  juga ditandai dengan penurunan bertahap 
kadar testosteron serum. Beberapa publikasi riset  kohort longitudinal  tentang laki-laki  Amerika , Australia,  laki-laki  Eropa , dan Brazil menandakan  penurunan kadar testosteron total 0,8–2% 
per tahun dari dekade keempat dan seterusnya. Sebaliknya, kadar SHBG  meningkat sebesar 1,3–2,5% per tahun dengan usia sehingga penurunan kadar testosteron bebas lebih besar dibandingkan  total testosteron dan biasanya 
di kisaran 2–3% per tahun.  Gambar  Model regresi kecenderungan usia  dengan kadar testosteron dari 
50 subjek yang dipilih secara acak pada Massachusetts Male Aging Study (a) cross 
sectional data awal, (b) data longitudinal, (c) cross sectional data follow up 
Data tentang dampak penuaan pada dua metabolit utama testosteron,  DHT dan estradiol dalam populasi masih terbatas. Massachusetts Male Aging  Study (MMAS) menandakan  peningkatan DHT 3,5% per tahun pada analisis  data longitudinal, namun  tidak pada data cross sectional . 
riset  cross-sectional lain menandakan  hasil yang berbeda-beda. Terjadi  penurunan yang bermakna pada kadar DHT kelompok usia 80 sampai 
89 tahun dibandingkan kelompok 30 sampai 39 tahun, namun  tidak ada  perubahan bermakna pada kadar DHT antarkelompok usia lainnya 
Sementara riset  lainnya menandakan  kadar DHT tetap konstan , Tidak seperti testosteron, riset  menandakan  hasil yang berbeda 
mengenai perubahan kadar estradiol akibat usia. riset   menandakan  tidak ada perubahan kadar estradiol dengan bertambahnya 
usia , sementara riset  lain menemukan penurunan 
 Namun, peningkatan SHBG dapat memicu  
penurunan kadar bioavailable estradiol yang jauh lebih bermakna  Ditemukan bahwa usia berbanding terbalik dengan kadar estradiol bebas. Konsentrasi estradiol ini lebih rendah pada laki-laki  dengan 
indeks massa tubuh lebih rendah dan kadar SHBG yang lebih tinggi  Hubungan antara konsentrasi estradiol dan indeks massa tubuh mungkin disebabkan oleh aktivitas aromatase pada jaringan lemak, terutama  lemak subkutan perut  
FUNGSI SEKSUAL 
Penuaan membawa beberapa  perubahan fisik dan psikologis yang  bisa berdampak pada performa dan kesenangan seksual. Meskipun jumlah 
aktivitas seksual biasanya  menurun seiring bertambahnya usia, ketertarikan  seksual dan kemampuan aktivitas seksual tidak sepenuhnya hilang  Masalah (disfungsi seksual) yang terkait usia pada laki-laki  yaitu  disfungsi ereksi .
Disfungsi Ereksi
Disfungsi ereksi (DE) yaitu  ketidakmampuan untuk mencapai atau  mempertahankan ereksi yang cukup keras untuk menyelesaikan aktivitas 
seksual. DE sangat terkait dengan penuaan dan lebih sering terjadi pada laki-laki  tua 
Penuaan laki-laki  memicu  remodeling jaringan korpora kavernosa. Hal ini terjadi sebab  testosteron yang berperan dalam perkembangan korpora kavernosa, homeostasis sel otot polos, ekspresi eNOS dan PDE-5 berkurang. Persentase sel otot polos dan serat elastis dari jala matriks ekstraseluler di korpora kavernosa menurun seiring bertambahnya usia dan memicu 
perubahan ukuran penis dan mengurangi ekstensibilitas dan elastisitas 

tunika albuginea . Hal ini nampak dari ukuran penis 
yang lebih besar saat flaksid secara bermakna namun  lebih kecil saat ereksi Selain remodeling jaringan korpora kavernosa, DE biasanya  disebabkan oleh penyakit aterosklerotik arteri penis, yang memicu  penurunan oksigen dan fibrosis akibat iskemi. DE mungkin juga timbul sebab  
berkurangnya produksi NO sebagai konsekuensi diabetes atau penuaan sebab  aktivitas nNOS atau eNOS yang lebih rendah melalui degradasi 
neuronal atau kerusakan endotel 

DAFTAR ARTI LAMBANG
& = dan 
° = derajat suhu
% = persen
± = kurang/lebih
/ = per
≥ = lebih dari sama dengan
≤ = kurang dari sama dengan
cc = cubic centimeter 
kg = kilogram
lb = pon
ml  = mililiter
mg = milligram
: = perbandingan
DAFTAR SINGKATAN
TDF = testis determining region
SRY = sex determining region on the Y chromosome
AMH = anti mullerian hormone
FGF9 = fibroblast growth factor 9
INSL3 = insulin-like hormone 3
DHT = dihidrotestosteron
MIS = mullerian inhibiting substance
GnRH = gonadotropin-releasing hormone
GH = growth hormone
NHANES III = national health and nutrition examination survey III
ARC = arcuatus
AVPV = anteroventral periventricular
PVN = nucleus periventricular
MGV = minimum growth velocity
PHV = peak height velocity
DHEA = dehydroepiandrosterone
DHEAS = dehydroepiandrosterone sulphate
TDS = testicular dysgenesis syndrome
PPS = pubertas prekoks sentral
ACTH = adrenocorticotropic hormone
CDP = constitutional delay of puberty
TESE = testicular sperm extraction 
IVF = in vitro fertilization
ICSI = intra cytoplasmic sperm injection
SK = sindrom kallmann
LH = luteinizing hormone
StAR = steroidogenic acute regulatory protein
VDAC1 = voltage-dependent anion channel 1
HSD =hydroxysteroid dehydrogenase
hCG = human chorionic gonadotropin
IGF-1 = insulin-like growth factor 1
TGF-α = transforming growth factor α
EGF = epidermal growth factor
SHBG = sex hormone binding globulin
ABP = androgen-binding protein
NADPH = nikotinamida adenin nukleotida fosfat
AKR = aldo-ketoreduktase
GTPase = guanosine triphosphatase
AIS = androgen insensitivity syndrome
MAIS = mild androgen insensitivity syndrome
SCARKO = sertoli cell androgen receptor knock out
ARKO = androgen receptor knockout
VIP = vasoactive intestinal polypeptide
NANC = non adrenergic non cholinergic
NOS = NO sintase
GPI = glycosylphosphatidylinositol
SOAF = sperm-associated oocyte activation factor
XY = wanita 
XX = Laki-laki

reproduksi pria reproduksi pria Reviewed by bayi on Desember 19, 2022 Rating: 5

About

LINK VIDEO