medis bedah 1






























































halaman  1


Seiring dengan kemajuan teknologi ultrasonografi (USG) tidak lagi menjadi barang mewah dan didominasi pemakaiannya  oleh dokter radiologi.  USG  dari department based menjadi bedside. Di masa depan  mungkin USG  menjadi stetoskop dalam mengatasi  pasien gawat darurat    dimungkinkan  telesonography sebagai peralatan medis  diagnosa  jarak jauh,Point-of-Care Ultra Sonography (POCUS) yaitu  tehnik  pencitraan yang   bermanfaat   untuk   pasien gawat darurat. Dengan POCUS dokter  bisa cepat  mendiagnosa  pasien,Pasien yang mengalami kritis  harus segera memperoleh  
mengatasi  secara cepat  mengatasi  yang tidak cepat  
memicu  munculnya  kematian atau kecacatan pada pasien. Angka kematian pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) meningkat sampai 16% tahun 1980 - 1999,pemicu  kematian terbanyak di IGD antara lain penyakit jantung, trauma, cerebrovascular attact (CVA), dan sepsis Mortalitas pasien yang dirawat di IGD dipengaruhi 
faktor usia, keadaan  pasien saat tiba di IGD,  pengendalian   yang  diberikan Lama perawatan dan lama waktu tunggu  pasien sebelum dipindah ke ruang perawatan atau ke ICU dan ramainya  pasien yang dirawat di UGD terkait  meningkatnya mortalitas  pasien IGD, pengendalian  kritis  yang cepat  pada pasien yang dirawat di IGD  menurunkan mortalitas  morbiditas     biaya perawatan  dan lama perawatan di rumah sakit  ,
Ruang  lingkup POCUS dalam mengatasi  pasien gawat darurat antara lain:
-USG in trauma -Screening perut  ultrasonography 
-Goal directed echocardiography -Thoracic ultrasonography
Goal directed echocardiography berbeda dengan echocardiogram  komprehensif yang dilakukan  oleh spesialis (kardiologi) yang ahli . tehnik  ini hanya melihat beberapa petunjuk  echocardiografi. Saat ini goal directed 
echocardiography menjadi peralatan medis  diagnosa  yang diandalkan  dan bisa  dilakukan  dalam waktu singkat  untuk menganalisa  hemodinamik yang tidak stabil, syok sampai dengan cardiac arrest ,
pengendalian  terbaru  mengatasi  Pasien Kritis
Goal directed echocardiography harus diartikan  dalam kaitannya dengan adanya ketidakstabilan hemodinamik, dengan menganalisa  fungsi fisiologi jantung dan bukan mengevaluasi kelainan anatomi jantung. Diferensial diagnosa   hemodinamik tidak stabil bisa  dengan mudah diingat memakai  istilah  SHOCK (Septic, Hypovolemic, Obstructive, Cardiogenic, Combination jenis syok 
yang lain). cara  yang dipakai  untuk membuat diagnosa  antaralain:  
perut  sonografi  mencari kemungkinan adanya rupture  aorta perut . Pemeriksaan ini bisa  diulangi sebagai pemantauan  sesuai perubahan klinis pasien.
Focused Assessment with Sonography on Trauma (FAST) yaitu  pemeriksaan  ultrasonografi yang paling banyak dilakukan  pada   pasien trauma. FAST  efektif  dan cepat  mendeteksi  adanya internal bleeding sebagai pemicu  hemodinamik tidak stabil pada pasien trauma, yaitu adanya petunjuk  cairan bebas di hepatorenal space 
(Morison’s pouch), the splenorenal space, and the pelvis or Pouch of Douglas. 
 Extended FAST (EFAST) yaitu  prosedur FAST yang 
diteruskan  sampai bagian toraks pada pasien yang mengalami trauma toraks ,alat ini untuk mendeteksi adanya hemato thorax, pneumotoraks, atau tamponade 
jantung ,Namun setiap dokter yang melakukan ultrasonografi harus memahami  limitasi dari prosedur itu , sebab  pada kondisi tertentu hasil pencitraan  USG akan tidak pasti dengan kondisi fisiologis dan patologis yang lain.
Ultrasonografi toraks  untuk menganalisa  pasien yang mengalami distres napas dengan aerasi normal, pneumothorax, konsolidasi, atau efusi pleura. Dekompensasi kordis dengan oedema paru bisa  dibedakan dari pemicu  distres napas yang lain dengan kepekaan  dan pengkhususan   mencapai  90% dan 96%. Untuk membedakan pneumonia kepekaan  dan pengkhususan  nya  mencapai 94% dan 96%, sedang  untuk pneumotoraks mencapai 90% dan 99% ,
hasil USG harus selalu terkait  dengan keadaan  pasien. Kesalahan  biasanya terjadi sebab  banyak faktor antara lain kurangnya keahlian , tidak melakukan pemeriksaan pencitraan lanjutan pada peristiwa  yang sulit ,kesalahan tehnik  USG, kesalahan mengartikan  pencitraan USG, kesalahan pemakaian   peralatan medis  USG, kurangnya pemahaman mengenai  diferensial diagnosa ,  
mengatasi  pasien gawat darurat memerlukan pemahaman fisiologi, patofisiologi yang baik, dan bukti terbaru  dalam pemilihan modalitas terapi. Ultrasonografi menjadi pilihan   yang menjanjikan dalam menangani pasien gawat terutama   dalam  diagnosa  dan pemantauan kondisi. Pada pasien syok terapi cairan tidak selalu memberi  hasil  baik. Diperlukan pemahaman fisiologis untuk menentukan kapan terapi cairan diberika
Tujuan pertama  dari terapi cairan yaitu  menambah volume untuk meningkatkan cardiac output, namun  pada kondisi tertentu pemberian cairan justru akan memberi  dampak  merugikan bahkan bisa  meningkatkan 
mortalitas, Tidak ada kepastian berapa jumlah yang harus diberikan dan kapan  dihentikan. Parameter makrosirkulasi seperti  produksi urin ,nadi, tekanan darah, tidak bisa  menunjukan  secara akurat kecukupan perfusi  di mikrosirkulasi. Maka   penting bagi tenaga medis  untuk mengetahui -kapan untuk mulai membuang cairan, 
-kapan menghentikan pengeluaran cairan -kapan cairan diberikan,-kapan cairan dihentikan,
pengendalian  terapi cairan terkait jumlah deposit  yang diberikan pada pasien kritis secara konseptual bisa  dibagi dalam 4 tahap  ROSE/D yang dalam 
masing-masing tahap  memiliki modalitas terapi, target, dan pemantauan  yang berbeda. tahap  itu  yaitu  ROSE/D, yaitu : 
-(R)escue yaitu  tahap  awal resusitasi, pada tahap  ini banyak protokol  mengenai  jumlah cairan yang disarankan  namun kesepakatan yang diambil 
di antara dokter  yaitu  target tekanan darah sistolik ≥ 80 mmHg atau  mean arterial pressure (MAP) ≥ 55 mmHg pada dewasa muda dan MAP ≥  65 mmHg pada pasien tua atau dengan banyak comorbid. pemantauan  yang 
dipakai  antara lain parameter tanda vital standar atau lebih baik bila ditambah  pengukuran fungsi jantung dengan echocardiografi.
-(O)ptimization, pada tahap  ini terapi cairan   untuk mencapai kemanjuran  perfusi jaringan yang harus diselesaikan  dalam waktu maksimal 24 jam. Pada tahap  ini pasien masih belum stabil  namun  sudah tidak mengalami mada kritis . Terapi cairan, vasopressor, 
inotrope, dan vasodilator yaitu  modalitas terapi pertama  pada tahap  ini. Pada tahap  ini target terapinya antara lain MAP > 65 mm Hg , Cardiac  Index > 2.5 L min-1m-2, Pulse Pressure Variation (PPV) < 14%, Left ventricular 
End-Diastolic Area Index (LVEDAI) 8−12 cm-1m-2.
-(S)tabilization, tahap  ini berlangsung sampai beberapa hari. Pada tahap  ini seharusnya dipantau berat badan per hari sebagai pemantau  munculnya  kelebihan cairan. Pada tahap  ini keseimbangan cairan nol atau negatif 
tampak memberi  outcome yang lebih baik. 
-(E)vacuation / (D)eresucitation, pada tahap  ini terjadi pembuangan  cairan dari dalam badan . Namun sering kali pasien tidak mengalami  pengeluaran cairan secara spontan dan memerlukan modalitas terapi  untuk meningkatkan ekskresi urin. Pemberian cairan yang berlebihan pada tahap  ini bisa  memberi  dampak  negative.
Untuk mencegah munculnya  hemodilusi dan overload cairan yang  memberi  dampak  negatif pada pasien diperlukan  cara untuk memperkirakan  apakah pasien akan tanggap  pada pemberian cairan. 
penunjuk  preload statis seperti central venous pressure (CVP) atau pulmonary  artery occlusion pressure (PAOP) ternyata tidak bisa  memperkirakan  secara akurat 
tanggap    curah jantung pada  pemberian cairan. Penjelasannya yaitu  pada  grafik frank starling kemiringan fungsi jantung tergantung pada fungsi sistolik 
jantung, sedang  tenaga medis  tidak bisa memastikan fungsi sistolik pasien  berada pada posisi kemiringan yang mana , faktanya bahwa CVP tidak bisa  membantu menentukan  tanggap   ivitas preload, bukan berarti CVP tidak perlu diukur. CVP yaitu  penanda penting  untuk menentukan status preload (bukan tanggap  ivitas  
dari preload). CVP  yaitu  determinan dari gradien tekanan pada perfusi organ (MAP dikurangi CVP). CVP yang tinggi bisa  mengganggu  fungsi ginjal dan terkait  dengan kejadian acute kidney injury (AKI) ,
beberapa  parameter dinamis  bisa  dipercaya sebagai penanda  tanggap  ivitas  cardiac output pada  pemberian cairan. Di antaranya yaitu   pulse pressure variation (PPV) dan stroke volume variation (SSV). dari parameter itu  yaitu  bahwa naiknya  tekanan intratorakal pada saat pemberian tekanan positif saat inspirasi akan menurunkan preload pada  ventrikel kanan. ini  akan menurunkan  turunnya preload pada ventrikel 
kiri dan tanggap    stroke volume, beragam  dimensi vena cava yang diukur dengan memakai  alat USG 
juga bisa  dipakai  dalam memperkirakan  tanggap   ivitas cairan. Pengukuran  ini berdasar  fisiologi interaksi jantung paru. Perubahan tekanan intratorakal yang diturunkan  oleh tekanan positif pada ventilasi mekanik 
memicu  munculnya  beragam  pada vena cava pada pasien yang mengalami hipovolemi ,
Fluid challenge yaitu  pemberian beberapa  cairan dalam waktu singkat yang sering dipakai  untuk memprovokasi perubahan tanggap     hemodinamik yang dipantau  melalui parameter dinamik. Sebagai pilihan lain  
yaitu  passive leg raising (PLR) test. PLR secara reversible memberi  pemuat   cairan sebanyak kurang lebih 300 ml darah ke dalam sirkulasi sistemik. Dan  bisa  diulangi tanpa harus memberi  tambahan beban pada keseimbangan cairan. PLR test secara menonjol  bisa  mengurangi pemberian cairan yang  tidak perlu pada pasien kritis ,beberapa  tehnik  untuk menganalisa  tanggap  ivitas  cairan memiliki  keterbatasan, namun dari masing-masing tehnik  bisa  saling melengkapi. 
Pilihan untuk tehnik  menganalisa  tanggap  ivitas  cairan tergantung pada kondisi pasien dan pilihan tehnik  yang tersedia.  bahwa keputusan memberi  cairan tidak boleh berdasar  hanya pada  adanya tanggap  ivitas  cairan namun  juga pada ketidakstabilan hemodinamik 
dan tidak adanya risiko munculnya  overload cairan. Strategi yang logis   dalam menentukan tanggap  ivitas  cairan sebagai panduan dalam memberi  atau membatasi pemberian cairan tampaknya yaitu  cara terbaik dalam 
pengendalian  cairan pada pasien kritis ,berapa banyak, kapan terapi cairan dihentikan, dan kapan cairan harus dievakuasi dari dalam badan . 


HEMODINAMIK
Hemodinamik yaitu  pemeriksaan segi  fisik sifat  fisiologis vaskular perifer ,sirkulasi darah, fungsi jantung, 
Pemantauan hemodinamik bisa  digolongkan  menjadi noninvasif  dan invasif ,Pengukuran hemodinamik penting untuk melakukan  diagnosa  yang cepat , menentukan terapi yang sesuai,  pemantauan tanggap  pada 
terapi yang diberikan , Pengukuran hemodinamik ini 
mengenali syok sedini mungkin, sehingga  bisa  dilakukan tindakan yang cepat  pada  bantuan sirkulasi ,
pemantauan hemodinamik   untuk  memantau pengobatan  yang diberikan guna memperoleh  informasi keseimbangan homeostatik badan .pemantauan hemodinamik   untuk mendeteksi,  mengidentifikasi kelainan fisiologis secara dini ,  Pemantauan hemodinamik bukan tindakan terapeutik namun  hanya 
memberi  informasi kepada tenaga medis  dan informasi itu  perlu disesuaikan  dengan klinis pasien agar bisa  memberi  penanganan cepat  . Dasar dari pemantauan hemodinamik yaitu  perfusi jaringan yang kuat , seperti 
keseimbangan antara pasokan  oksigen dengan permintaan , mempertahankan gizi nutrisi,  suhu badan , dan keseimbangan elektrokimiawi sehingga manifestasi klinis dari gangguan hemodinamik berwujud  gangguan fungsi organ badan  yang  bila tidak ditangani secara cepat   akan jatuh ke dalam gagal fungsi organ multipel ,

Metode Noninvasif pada Pemantauan Hemodinamik 
Penilaian Pernapasan Frekuensi napas yaitu  penunjuk  awal yang penting  dari disfungsi  sel. Penilaian ini yaitu  penunjuk  fisiologis yang cukup peka  dan 
harus dipantau dan dipantau  teratur. Frekuensi dan kedalaman pernapasan pada awalnya meningkat sebagai tanggap  pada hipoksia ,

a. Frekuensi Pernapasan 
 -  Selain RR, juga harus dinilai irama napas, amplitude (kedalaman) napas, simetris atau tidak, dan  effort yang dikeluarkan pasien untuk bernapas.
 -  Normal dewasa Laju napas/Respiratory Rate (RR) yaitu  12-20 kali/menit.
 -  RR dihitung minimal selama 30 detik.
 -  Jika RR pasien berada di luar parameter RR dewasa normal, maka RR harus dihitung selama satu menit penuh untuk memastikan akurasi  dan mengevaluasi irama pernapasan.

b. Saturasi Oksigen 
-  Saturasi oksigen < 90% berkorelasi dengan kadar oksigen darah yang   rendah dan memerlukan  penanganan cepat . Jika saturasi oksigen rendah, biasanya akan terlihat tanda-tanda lain dari 
distres napas.
 -  Pulse oximetry mengukur saturasi oksigen dalam darah arteri. Perubahan saturasi oksigen yaitu  tanda penting dari gangguan pernapasan. Awalnya badan  akan mencoba dan mengkompensasi hipoksemia dengan meningkatkan laju dan kedalaman pernapasan. 
 -  Saturasi oksigen normal yaitu  antara 95 - 98%.
 
Penilaian Denyut Elektrokardiografi (EKG) 
Denyut yang cepat, lemah, dan bergelombang yaitu  tanda khas dari syok. Denyut yang memantul penuh atau menusuk mungkin yaitu   tanda dari anemia, blok jantung, atau tahap awal syok septik. Perbedaan 
antara denyut sentral dan denyut distal mungkin dipicu  oleh penurunan curah jantung. Pemantauan EKG yaitu  metode noninvasif yang   berharga dan memantau denyut jantung secara terus menerus . Pemantauan ini bisa  .memberi  informasi kepada tenaga medis  pada  tanda-tanda awal penurunan  curah jantung. Namun tentu saja harus dikonfirmasi dengan data-data klinis  dan penunjang yang lain ,

Urin yang keluar dari badan  secara tidak langsung memberi  petunjuk  mengenai perfusi ke ginjal. 25 persen curah jantung pasien  yang sehat akan memberi  perfusi ke ginjal. saat  perfusi ginjal kuat , maka urin yang keluar seharusnya lebih dari 0,5 mL/kg/jam. Menurunnya urin 
yang keluar dari badan  mungkin yaitu  tanda awal dari syok. Jika mengalami oliguria atau anuria, maka ginjal tidak mampu mengekskresikan sisa-sisa metabolisme badan , dan jika terjadi dalam waktu yang lama bisa memicu  asidosismetabolik,  hyperkalemia ,uremia,  Pada pasien kritis, gagal ginjal akut biasanya dipicu  oleh perfusi ginjal yang tidak kuat , yaitu kegagalan prarenal. Jika pasien memakai  kateter, maka pastikan selang kateter tidak tersumbat ,
naiknya  suhu badan  bisa  menimbulkan kehilangan cairan  dan elektrolit. Dehidrasi hipernatremia (naiknya  natrium) bisa   meningkatkan naiknya  suhu. Penurunan suhu badan  bisa  diakibatkan 
oleh hipovolemia, pada kekurangan cairan yang berat, suhu rektal bisa  turun sampai 35°C ,
 -  membanding-bandingkan  antara suhu inti (core temperature: suhu esophagus, tympani, atau rectal) dengan suhu ekstremitas (ujung-ujung jari tangan 
atau kaki), memiliki  arti  yang penting. Semakin jauh jaraknya maka semakin kuat dugaan munculnya  vasokonstriksi. yang mana vasokonstriksi  bisa jadi yaitu  kompensasi dari gangguan jantung atau volume. Atau mungkin primer akibat gangguan di pembuluh darah.-  Suhu dewasa normal yaitu  antara 36,5°C - 37,5°C.
 -  Minimal, suhu yang akan dinilai dua kali sehari ,
 -  Denyut nadi harus dihitung selama 1 menit (untuk mendeteksi jika  ritme tidak teratur).
 -  Denyut nadi normal untuk pasien  dewasa yaitu  60 - 100 kali/menit.
 -  Denyut nadi harus dihitung saat  pasien sedang beristirahat.
 -  Denyut nadi diukur dengan meraba nadi radialis dan brachialis pasien.
 -  Nadi radial pasien harus dinilai untuk tingkat, irama, dan amplitudo (kekuatan).
Tekanan darah arterial yaitu  tekanan yang dimunculkan  oleh volume darah yang bersirkulasi pada dinding arteri. Perubahan pada cardiac output atau resistensi perifer bisa  mempengaruhi tekanan darah. Pasien dengan 
curah jantung yang rendah bisa  mempertahankan tekanan darah normalnya melalui vasokontriksi, sedang  pasien dengan vasodilatasi mungkin mengalami hipotensi walaupun curah jantungnya tinggi, contoh  pada 
sepsis ,Tekanan arterial rata-rata (Mean Arterial Pressure/MAP) yaitu   hasil pembacaan tekanan rata-rata di dalam sistem arterial juga berfungsi  sebagai penunjuk  yang bermanfaat   sebab  bisa  memperkirakan perfusi 
menuju organ-organ yang esensial seperti ginjal dan otak. Keakuratan  pengukuran tekanan darah sering terlupakan. Faktor  yang akurat dalam pengukuran terkanan darah yaitu  lebar manset dan  posisi lengan.  jika manset yang terlalu lebar  menciptakan  pembacaan tekanan darah yang rendah palsu. Manset yang terlalu sempit  menciptakan  pembacaan  tekanan darah yang tinggi palsu,European  standart menyarankan  lebar manset sebaiknya 40%, dan panjangnya 80 - 100% dari lingkar ekstremitas. Posisi lengan harus ditopang pada posisi 
horizontal setinggi jantung. Pengaturan posisi yang tidak benar selama  mengukur tekanan darah bisa  memicu  kesalahan sebesar 10%.  Penilaian darah arterial bisa  dilihat melalui denyut nadi, dan tekanan darah ,
 

Prinsip Pemantauan dengan Transduser
a. Metode Pemantauan CVP 
 ada   dua pemantauan CVP, yaitu : 
 -  Sistem transduser: memungkinkan pembacaan secara terus menerus  yang ditampilkan di pemantau . 
 Pemantauan CVP secara normal menandakan  pengukuran antaralain: :    5 - 10 mmHg mid-aksila 
 7 - 14 cmH2O mid-aksila. 
 -  Sistem manometer: memungkinkan pembacaan intermitten dan  kurang akurat dibandingkan sistem transduser dan lebih jarang  dipakai . 
b. Prinsip-Prinsip Pemantauan Tekanan Vena Sentral
 Tekanan vena sentral (Central Venous Pressure, CVP) mencerminkan  tekanan pengisian atrium kanan atau preload ventrikel kanan dan bergantung pada volume darah, tonus vaskular, dan fungsi jantung. CVP normal yaitu  0 - 8 mmHg. Hasil pembacaan CVP yang rendah 
biasanya menandakan  hipovolemia, sedang  hasil pembacaan CVP  yang tinggi memiliki beberapa  pemicu , antaralain:: embolisme paru,  hipervolemia, gagal 
jantung, 
c. tanda  pemakaian kateter vena sentral
 beberapa  tanda  untuk pemakaian kateter vena sentral yaitu  :  -  pengukuran tekanan vena sentral,  -  akses vena yang buruk,  -  pacu jantung. -  resusitasi cairan,  -  pemberian obat dan cairan,  -  pemberian makan secara parenteral,




faktor  yang mempengaruhi  Perfusi Jaringan ,antaralain: 
a. Sistemic Vascular Resitance (Resistensi Pembuluh Darah Sistemik) Sistemic Vascular Resistance yaitu  resistensi pada  aliran darah yang  ditentukan oleh tonus susunan otot vaskular dan diameter pembuluh  darah. Otot polos di dalam arteriol dikendalikan  oleh pusat vasomotor di medulla. Otot ini berada dalam keadaan kontraksi parsial yang  dipicu  oleh aktivitas saraf simpatis secara terus menerus . naiknya  aktivitas vasomotor memicu  vasokontriksi arteriol sehingga terjadi 
naiknya  resistensi perifer. Jika curah jantung tetap konstan, maka  tekanan darah akan meningkat, begitu juga sebaliknya, penurunan  aktivitas vasomotor memicu  vasodilatasi dan penurunan pada resistensi perifer 
b. Curah Jantung (Cardiac Output)
 Curah jantung yaitu  jumlah darah yang disuntikan  dari  ventrikel kiri dalam satu menit. Pada saat istirahat, jumlahnya sekitar  5000 ml. Curah jantung ditentukan oleh denyut jantung dan isi sekuncup  Denyut jantung dipengaruhi oleh aktivitas baroreseptor, pireksia, 
pusat-pusat yang lebih tinggi, tekanan intrakranial, kadar oksigen dan karbondioksida dalam darah. Volume sekuncup yaitu  jumlah  darah yang disuntikan  dari ventrikel kiri dalam satu kontraksi. Saat  istirahat jumlahnya sekitar 70 ml. Isi sekuncup dipengaruhi oleh denyut  jantung, kontraktilitas miokard, preload, dan afterload ,



Cedera otak terbanyak dialami usia produktif (15 - 44 tahun) dan didominasi laki-laki (54%). pemicu  dari cedera otak yang terbanyak yaitu  Kecelakaan Lalu Lintas    jatuh dari ketinggian, kekerasan,  olahraga. korban 
kecelakaan lalu lintas  sebesar 77% berada pada usia produktif  peristiwa  kecelakaan sering memicu  kematian. beberapa  macam bentuk kematian antara lain yaitu  immediate/instant (very early) kematian yang biasanya dipicu  sebab  kerusakan otak berat atau  cedera pada jantung dan pembuluh darah besar.  ini tidak bisa  
ditolong. Early death yaitu  kematian sebelum 4 jam. Biasanya early death  terjadi pada cedera otak, yaitu gangguan airway;  rupture lien,epidural hematom (EDH), subdural hematom (SDH), intrakranial hematom (ICH); 
Waktu  4 jam yaitu  golden period, yaitu  waktu keadaan pasien yang bisa  membaik dengan resusitasi. Late death yaitu  kematian dalam waktu hari  hingga minggu. Kematian ini lebih dipicu  sebab  sepsis, Multiple Organ  Dysfunction Syndrome (MODS), dan Secondary Brain Injury , Dalam menangani kecelakaan maka perlu dilakukan mengatasi   dengan cara primary survey, yang terdiri dari mengatasi  airway, breathing, circulation, disability, dan exposure. Pada peristiwa  mengatasi  di lapangan maka mengatasi  berubah menjadi Dr ABC, suatu istilah yang mana penolong  melakukan pertolongan terlebih dahulu dengan danger remove sesudah  itu 
melakukan pertolongan dengan airway, breathing, dan circulation , beberapa  cara dipakai  untuk melakukan penilaian  kesadaran pada pasien cedera kepala. masalah ini  penilaian kesadaran  dengan A: Alert, V: Respond to verbal, P: Respond to pain, U: Untanggap   ive, 
masih sering dipakai  pada pasien cedera otak. Selama berkembangnya waktu maka penilaian kesadaran lebih memilih GCS (Glascow Coma Scales) sebagai alat untuk menentukan tingkatan cedera otak. Hingga saat ini GCS 
masih dipakai  pada hampir seluruh tenaga medis  di dunia untuk menentukan derajat kesadaran . Lesi perdarahan pada cedera  otak   dipicu   beberapa  mekanisme. Bentuk perdarahan antara lain subarachnoid 
hemorrhage (SAH),EDH, SDH, ICH, intraventricular hemorrhage (IVH),   Akibat dari perdarahan ini maka memicu   naiknya  tekanan intrakranial di otak. Jika naiknya  tekanan otak tidak bisa  dikompensasi maka akan terjadi herniasi otak yang akhirnya  bisa  memicu  munculnya  kematian ,Tekanan intrakranial   penting dalam sejarah bedah saraf.  naiknya  tekanan intrakranial   sering terjadi pada pasien cedera  kepala.  bisa  memicu  kematian, maka pemakaian  alat  pantau tekanan intrakranial saat itu sering dilakukan  sebelum dilakukan 
diagnosa ,Pemasangan alat pemantau  melalui lumbar diperkenalkan pertama kali  oleh Quincke pada tahun 1897. Pemasangan pada lumbar ini yaitu  
pemantauan tekanan intrakranial secara tidak langsung (indirect).  Pengembangan alat pantau tekanan intrakranial melalui ventrikel dan  tranduser dimulai oleh Guillaume-Janny pada tahun 1951 dan Lundberg 
1960 ,  tahun 1960, Lundberg mengabarkan  
pemasangan kateter intraventrikel pada  203 pasien dengan bermacam  macam diagnosa bedah saraf yang berbeda ,Tekanan intrakranial yaitu  kombinasi dari tekanan di dalam rongga otak yang dihasilkan oleh jaringan otak, volume darah di otak, dan cairan 
serebrospinal. Ada beberapa kondisi yang memicu  kenaikan tekanan  intrakranial, antara lain :
Cedera otak berat,  Proses iskemik dan hipoksia pada otak.SOL (Space Occupying Lesion), Hydrocephalus, Subarachnoid Hemorrhage, Infeksi intrakranial,
Gejala dan pemeriksaan klinis dari naiknya  tekanan intrakranial  yaitu  antaralain: : 
1. Kejang
 naiknya  tekanan intrakranial bisa  menimbulkan  munculnya  kejang pada pasien cedera otak.
2. Funduskopi: Papilledema
 Papilledema muncul sebab  adanya tekanan pada lapisan subarachnoid  pada nervus optikus atau obstruksi pada aliran axoplasmic yang memicu  filling pada optic cup dan dilatasi vena retina. 
3. Nyeri kepala
 Nyeri kepala makin meningkat saat bangun pagi dipicu  sebab  saat tidur terjadi vasodilatasi pembuluh darah oleh sebab  retensi CO2 saat  tidur. Munculnya rasa nyeri oleh sebab  penekanan pembuluh darah dan penekanan duramater (keduanya peka  pada  nyeri).
4. Mual dan muntah
 Mual dan muntah makin memberat saat pagi hari.
5. Penurunan kesadaran
 Penurunan kesadaran seperti merasa mengantuk dan bahkan tidak  sadar yaitu  tanda naiknya  tekanan intrakranial.


Epidural hematoma (EDH) yaitu  akumulasi darah antara tulang  kepala dan duramater yang terjadi akibat separasi tulang (tabula interna)  dan duramater (lapisan periosteal) sehingga memicu  robekan pada  pembuluh darah yang berjalan di sekitar duramater dan tulang. Robekan 
pembuluh darah itu  bisa  dipicu  oleh separasi tulang-dura atau  robeknya pembuluh darah akibat fraktur tulang kepala ,Etiologi dari EDH klasik muncul di area  temporoparietal oleh sebab   robeknya arteri meningika media , Epidural hematoma juga bisa   terjadi sebab  perdarahan dari vena pada dura dengan peristiwa  sebanyak 10%  dan vena diploe (pembuluh darah di dalam tulang) dari tulang dengan peristiwa   sebanyak 40% ,
EDH jarang sekali melewati sutura, kecuali sutura sagitalis di area   midline (EDH mudah melewati garis tengah dan garis tengah ada   sinus sagitalis superior). Perdarahan paling sering berasal dari robeknya pembuluh 
darah dura (a.v duramater, terutama   a. meningea media) dan jarang terjadi  secara spontan tanpa adanya trauma. EDH spontan tanpa trauma bisa  terjadi  akibat infeksi, sinusitis, anomali vaskuler, dan gagal ginjal kronis. Pada anak-anak, EDH terjadi sebab  peregangan atau robeknya arteria meningeal tanpa  diperoleh fraktur. EDH jarang terjadi pada anak-anak dan pasien  tua sebab  
pada anak-anak compliance dari tulang lebih tinggi dan jalur arteri meningika media lebih dangkal dan pada pasien  tua, dura, dan tulang melekat kuat 

Gejala klinis yang khas pada EDH yaitu  adanya lucid interval (riwayat  penurunan kesadaran, kembalinya kesadaran sementara, dan penurunan kesadaran kembali)  Gejala klasik lucid interval pertama kali ditemukan oleh Jacobson pada tahun 1886 . Lucid interval tidak selalu 
ada pada EDH dan lucid interval hanya muncul dengan persentase di bawah 30% . Munculnya  kesadaran penuh untuk sementara yaitu  tanda bahwa proses cedera 
kepala primer tidak memicu  kerusakan pada tingkat axon.

Subdural hematoma (SDH) yaitu  salah satu jenis lesi massa  intrakranial. Subdural hematoma (SDH) didiagnosa  pada CT-Scan sebagai  lesi ekstraparenkimal, hiperdense petunjuk  akumulasi darah berbentuk 
bulan sabit antara dura dan parenkim otak , SDH yaitu  akumulasi darah pada ruang antara arachnoid dan dura yang  terbentuk saat  terjadi robekan vena atau arteri yang berada di antara dura  dan arachnoid  Perdarahan ini berasal dari robeknya bridging veins,  terutama   yang berdekatan dengan sinus sagital superior, akibat akselerasi  deselerasi kepala, dan tidak selalu akibat direct impact, Sesuai dengan Kaye’s Essential Neurosurgery membagi SDH menjadi 3  bagian dan dibagi berdasar   waktu kejadian.  pembagian 
SDH : 
 Subdural Hematoma Akut: kurang 3 hari;
 Subdural Hematoma Subakut: 4 - 21 hari; 
 Subdural Hematoma Kronis: diatas 21 hari.
arti  intracerebral hematoma (ICH) atau perdarahan intraserebral  yaitu  suatu perdarahan pada parenkim otak dengan ukuran lebih dari  2 cm. sedang  yang berukuran kurang dari 2 cm dinamakan  kontusio arti  lain mengatakan perdarahan intraserebral yaitu   perdarahan dengan diameter lebih dari 1 cm , Istilah burst 
lobe dipakai  untuk lesi perdarahan subdural, kontusio, dan perdarahan  intraserebral yang dikelilingi edema vasogenik dan iskemia ,Perdarahan intraserebral dipicu  oleh rupturnya pembuluh darah (bisa  melibatkan satu pembuluh darah atau lebih) pada saat terjadi trauma. 
Cedera ini bisa  terjadi pada sisi yang sama dengan sisi benturan (lesi coup),  berlawanan (contra coup), atau bisa  pula terjadi pada struktur profunda (intermediate coup)  sering     terjadi pada area yang mana deselerasi 
tiba-tiba dari kepala, memicu  otak membentur tonjolan tulang (contoh  pada area  polus temporal, frontal, oksipital), Pasien dengan terapi anti koagulan meningkatkan munculnya  perdarahan  intraserebral walaupun benturan saat trauma hanya yaitu  benturan  yang ringan.   bahwa pemakaian  rekombinan 
faktor VIIa bisa  mengurangi munculnya  pembesaran perdarahan intraserebral ,Perdarahan intraserebral akut dengan pemeriksaan CT-Scan akan tampak  area yang hiperdense (putih) dengan area  sekitar yang hipodense (hitam).  Warna hipodense ini akan kita namakan  area  edema. Semakin lama  waktunya area  yang hipodense ini akan semakin membesar pada hari ke  4 dan area  yang hiperdense akan berwarna sama dengan parenkim otak. 
Bila tampak bentukan cairan dalam perdarahan (fluid level) menandakan   sebagai kelainan koagulopati atau pencairan bekuan darah dan keadaan ini  memiliki  prognosis jelek, Adanya perdarahan intraserebral di area  yang tidak diharapkan atau  area  yang   dalam perlu kita curigai sebagai kemungkinan adanya  luka tembus penetrasi atau pecahnya pembuluh darah spontan. Pada pasien  seperti ini maka diperlukan pemeriksaan angiografi untuk mengetahui lesi  pada pembuluh darah dan untuk segera melalukan terapi agar menghindari perdarahan lebih lanjut atau emboli dari diseksi atau aneurisma.






Penentuan dalam tindakan bedah saraf untuk melakukan konservatif  tindakan bedah yang mana keduanya yaitu  cara 
yang akan dipilih untuk menolong pasien cedera otak 
Ada tanda  tertentu pada pasien cedera otak agar bisa  dilakukan tindakan  operasi. masalah ini  yang kita lihat yaitu  dampak  massa yang dipicu   oleh perdarahan atau bengkak dari sel otak. Bentuk dari dampak  massa yaitu  
munculnya  pergeseran otak yang kita kenal sebagai midline shift. Untuk  perdarahannya maka akan dilihat tebal dari perdarahan itu  atau dilihat  dari volume perdarahan berdasar  atas rumus dari hukum Broderick.
 Di negara berkembang  masih terkendala  dalam hal transportasi. Sistem transportasi untuk melakukan 
pengiriman pasien ke  rumahsakit  yang lebih  memadai menentukan mortalitas dan morbiditas dari pasien itu .  beberapa  macam bentuk transportasi sudah  diciptakan untuk mempercepat  transfer pasien, namun   bentuk transportasi itu   dipilih berdasar  bentuk geografis dari masing-masing area  .





arti  instalasi gawat darurat  yaitu  bagian dari rumah sakit yang menampung dan melayani pasien  yang   gawat sedang  kritis  di bidang orthopaedi antaralain:  beberapa hal, di antaranya yaitu  patah tulang terbuka,  kompartemen sindrom akut, cedera neurovaskuler, dislokasi sendi, dan sendi  septik.

Patah tulang terbuka yaitu  suatu discontinuetas  tulang yang terjadi  luka terbuka pada kulit yang terhubung dengan dunia luar dan jaringan lunak  di bawahnya ada   hubungan dengan area  patahan dan hematoma-nya 

Epidemiologi Kejadian patah tulang  selama tahun 2008 sekitar 5055 peristiwa  dalam setahun.  lokasi tersering munculnya   patah tulang terbuka yaitu  di tungkai bawah dan kaki, dan diafisis tibia  dan distal tibia yaitu  area  yang paling sering terkena. Patah tulang 
terbuka pada jari cukup sering terjadi namun  jarang mengalami kerusakan  yang parah. Kontras dengan patah tulang terbuka yang terjadi pada paha,  tungkai bawah maupun kaki yang memiliki kejadian  tinggi munculnya  patah  tulang terbuka tingkat  III ,
Patogenesis Kerusakan jaringan lunak pada patah tulang terbuka memiliki 3  unsur, yaitu: kontaminasi luka dan patah tulang oleh ekspos dari lingkungan  eksternal; stripping dan devaskularisasi yang memicu  kerusakan 
jaringan lunak dan meningkatkan risiko infeksi; dan rusak atau hilangnya  jaringan lunak yang menyelimuti  tulang sehingga berpengaruh pada   proses penyembuhan tulang dan metode stabilisasi tulang  
diagnosa  Patah tulang terbuka bisa   diidentifikasi dari adanya luka di area  patahan tulang,   bisa  dilihat adanya darah yang  keluar dari luka berwarna agak kehitaman (darah dari intrameduler)  tampak juga adanya fat bubble sign, yaitu cairan  dari intrameduler yang mengandung fat globule sehingga berwarna kuning 
keemasan seperti minyak. Tanda-tanda di atas yaitu  tanda pasti dari  adanya patah tulang terbuka,
Patah tulang terbuka digolongkan  menjadi 3 tingkat    yaitu: 
a. Tipe 1  -  Luka biasanya kecil kurang dari 1 cm dengan kerusakan jaringan  lunak yang minimal dan konfigurasi patah tulang yang sederhana .
b. Tipe 2  -  Luka lebih dari 1 cm dengan kerusakan jaringan lunak sedang dan patah tulang sedikit kominutif. 
c. Tipe 3  -  Luka yang cukup besar bisa mencapai 10 cm dengan kerusakan jaringan lunak yang berat dan patah tulang yang kominutif, bisa ditambah   dengan cedera neurovaskuler  ,  penggolongan  ini   untuk mempermudah komunikasi  antar tenaga medis dan berkaitan  dengan pengobatan  dan prognosisnya 
 
Dislokasi yaitu  cedera pada sendi yang mana ujung dari tulang pada  sendi itu  lepas dari posisi normalnya. Sering terjadi pada bahu dan jari,  lokasi lain antaralain:  siku, lutut maupun pinggul. Dislokasi pada sendi besar 
terkait  dengan adanya cedera pada jaringan saraf dan pembuluh  darah di sekitarnya,
Epidemiologi Dislokasi sendi yang paling sering terjadi yaitu  pada bahu yang mana  96% yaitu  dislokasi sendi bahu anterior. Gejala klinisnya yaitu  terlihat  adanya tanda sulkus , yang tampak kosong pada bahu yang 
mengalami dislokasi. Dari perabaan di sisi anterior bahu juga diperoleh  adanya massa keras, yaitu caput humeri,
Komplikasi neurovaskuler yang sering terjadi pada dislokasi sendi bahu .yaitu  lesi pada arteri maupun nervus axillaris, sehingga perlu  tindakan  yang segera untuk dilakukan reposisi, Dislokasi sendi pada ekstremitas bawah yang cukup sering terjadi yaitu  
pada sendi lutut. Menjadi   berbahaya sebab  sering terjadi lesi pada  arteri poplitea yang memberi nutrisi pada tungkai bagian bawah. Selain itu  bisa  juga terjadi lesi dari nervus peroneus (17 - 43%). Bila dari klinis dicurigai 
adanya lesi pada arteri poplitea maka harus segera dilakukan angiogram ,Segera dilakukan reposisi, bila vaskularisasi tidak membaik maka harus dilakukan operasi eksplorasi ,

Hal yang perlu diperhatikan untuk pertolongan pertama pada patah  tulang terbuka yaitu  kita harus evaluasi survei primer ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure). Identifikasi cedera yang bisa  
membahayakan nyawa. sesudah  pasien stabil bisa  dilakukan pemeriksaan dari kepala sampai kaki untuk menemukan adanya cedera di lokasi lain.  Status neurovaskuler juga harus diperiksa dengan teliti  ,
Tidak disarankan   melakukkan eksplorasi luka di Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebab  akan makin memperburuk kontaminasi, irigasi dengan  normal salin boleh dilakukan di IGD bila operasi debridement akan tertunda ,
Menurut Appley, prinsip dasar mengatasi  patah tulang terbuka ada  4, yaitu: antibiotik profilaksis, debridement luka dan fraktur dengan segera  di ruang operasi, stabilisasi fraktur, dan penutupan luka segera di ruang 
operasi. Untuk antibotik profilaksis seharusnya kita menyesuaikan dengan peta kuman di Rumah Sakit tempat pasien dirawat, namun co-amoxiclav 
atau cefuroxime bisa  dijadikan sebagai obat pilihan pertama, yang   diberikan sesegera mungkin dan ditambahkan gentamycin saat debridement 
 memakai  protap  untuk  antibiotik pada patah tulang terbuka, yaitu: Cefalosporin generasi 1 selama 
3 hari untuk patah tulang terbuka tingkat  1; Cefalosporin dan Aminoglikosida  selama 3 hari untuk patah tulang terbuka tingkat  2;  Cefalosporin dan  Aminoglikosida selama 5 hari untuk patah tulang terbuka tingkat  3.
Infeksi dan sepsis yaitu  komplikasi tersering dari patah tulang terbuka. Kemungkinan infeksi sekitar 0-4% untuk patah tulang terbuka tingkat  I dan sekitar 15-40% untuk patah tulang terbuka tingkat  III. Infeksi akut 
memungkinkan munculnya  osteomyelitis kronis di kemudian hari. Osteomyelitis  kronis bisa  menjadi komplikasi lanjutan sekitar 6% dari peristiwa  patah tulang 
terbuka. Komplikasi lain yang bisa  terjadi yaitu  Nonunion yang bisa  terjadi pada 49% dari peristiwa  patah tulang terbuka .

Kompartemen sindrom akut yaitu  naiknya  tekanan osteofascial  kompartemen yang dipicu  oleh suatu trauma (perdarahan, edema,  inflamasi) 
Epidemiologi  munculnya  kompartemen sindrom akut 
yaitu  3  dari 100.000  per tahun. lakilaki  mengalami  8  per 100.000  dibandingkan wanita yang hanya 0,4 per 100.000 populasi. Penyakit dasar  yang memicu  kompartemen sindrom akut paling sering yaitu  patah 
tulang (80% peristiwa ). Patah tulang yang paling sering memberi  komplikasi kompartemen sindrom akut pada pasien  dewasa yaitu  patah pada diafisis 
tibia ,
 
Patogenesis Patah tulang pada kaki maupun tangan bisa  memicu  iskemia  yang parah walaupun tidak ada lesi pada pembuluh darah besar, perdarahan,  edema, dan inflamasi bisa  meningkatkan tekanan di dalam kompartemen  ossefascia, lalu terjadi penurunan aliran kapiler yang menciptakan  suatu  iskemia dari otot. Edema terus berkelanjutan sehingga menimbulkan tekanan yang makin tinggi dan iskemia yang lebih parah lagi. kekacauan  ini  akan berhenti sesudah  12 jam atau kurang, otot dan saraf pada kompartemen  itu  sudah  mengalami nekrosis .

diagnosa  Gejala klinis yang  dikenal yaitu  “5P”, yaitu Pulselessness,Pain, Paraesthesia, Pallor, Paralysis. Gejala yang paling awal yaitu  nyeri (Pain) dan  Paraesthesia. Nyeri yang dimaksud disini yaitu  nyeri saat dilakukan passive  stretching ,Gejala kemudian  yaitu  paraesthesia, bila sudah ditemukan 2 gejala awal  ini maka harus waspada dan dilakukan pengawasan  ketat. Untuk mengkonfirmasi   diagnosa  kompartemen sindrom harus memakai  alat pengukur tekanan  intrakompartmental. Perbedaan tekanan (AP)  - perbedaan tekanan antara 
tekanan diastolik dan tekanan intrakompartmental‒ yang kurang dari .30 mmHG yaitu  suatu tanda  pasti untuk dilakukan dekompresi dengan  fasciotomi. Namun bila tidak diperoleh alat untuk mengukur tekanan 
intrakompartmental maka diagnosa  bisa  dilakukan  dengan klinis saja 
mengatasi  kompartmen sindrom akut yang paling efektif  yaitu   dengan fasciotomi, yang bila tertunda maka akan menimbulkan komplikasi  yang   buruk. Namun sebelum dilakukan fasciotomi semua prosedur  pemantauan  harus sudah dilakukan, seperti melepaskan semua benda yang  antaralain:  ekstremitas seperti kasa pembalut ataupun gips, termasuk padding di  dalam gips juga harus dilepaskan. Membuka gips  bisa  menurunkan 
tekanan intrakompartmental. Ekstremitas tidak boleh diangkat melebihi  ketinggian jantung. Hipotensi harus dikoreksi dan terakhir, oksigen harus  diberikan untuk memastikan saturasi oksigen dalam badan  tetap bagus 



SENDI SEPTIK
  Infeksi pada sendi bisa  terjadi sebab  beberapa hal, di antaranya:  adanya penyebaran langsung dari tulang sekitarnya yang  mengalami infeksi; penyebaran via aliran darah yang bisa bersumber  dari lokasi yang jauh. Bakteri yang sering menjadi pemicu  infeksi pada  sendi yaitu  Staphylococcus aureus, Haemophilius influenzae, yang cukup jarang  yaitu  Streptococcus, Escherichia coli, dan Proteus , adanya luka tusukan langsung seperti injeksi intraartikuler atau tindakan  artroskopi,
Patologi munculnya  sendi septik  yaitu  tahap  awal yang mana terjadi synovitis akut ditambah  dengan 
pembentukan eksudat seropurulen dan naiknya  cairan synovial, dengan  adanya pus di dalam sendi maka akan terjadi erosi pada tulang rawan   sebagian sebab  enzim yang diciptakan oleh bakteri, sebagian 
lagi dari enzim proteolitik yang dibentuk oleh sel synovial. Bila pada tahap  ini  pasien tidak memperoleh  terapi maka tulang rawan akan hancur semua 
 dan sendi akan menjadi ankilosing atau menyatu ,
 diagnosa  pada sendi septik bisa  dilakukan dengan 
pemeriksaan klinis dan laboratorium . Adanya nyeri sendi dan bengkak dan  teraba hangat dan kemerahan yaitu  beberapa gejala klinis dari  sendi septik. Selain itu biasanya ditambah  dengan penurunan range of motion  (ROM) dari sendi itu . Untuk pemeriksaan laboratorium  bisa dilakukan  pemeriksaan laju endap darah dan hitung leukosit yang biasanya akan terjadi 
naiknya  dan  kultur darah yang positif. Pemeriksaan lain yang akurat  untuk melakukan  diagnosa  yaitu  aspirasi cairan sendi, jumlah hitung 
sel darah putih di cairan synovial normalnya di bawah 300 per mL, pada  sendi septik jumlah hitung sel darah putih bisa mencapai 50.000 per mL 
mengatasi  pada sendi septik bisa  dimulai dari terapi penunjang  seperti cairan intravena untuk mencegah dehidrasi pada pasien. Sendi yang  terkena dilakukan imobilisasi dengan pemasangan splint, atau bila terjadi 
pada sendi pinggul bisa  dilakukan traksi. Antibiotik bisa  dimasukkan dan  bisa  dilakukan drainase cairan pus dari dalam sendi dan dilakukan irigasi  dengan cairan normal salin 


kejadian  kritis  peristiwa  bedah pada neonatus, bayi, dan 
anak memang tidak sebanyak kritis  medik pada anak.  kejadian  kritis  bedah anak mencapai  5-14% dari peristiwa  gawat darurat pada anak , namun  
keterlambatan identifikasi dan mengatasi  peristiwa  kritis  bedah  pada bayi dan anak  meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas  pasien sampai di atas 65%, Untuk itu diperlukan   tenaga medis  yang bertugas di instalasi  gawat darurat  masing-masing dalam mengenali 
dan memberi  pengobatan  awal peristiwa  kritis  di bidang  bedah anak. Penting memahami cara pengenalan dan deteksi dini peristiwa   kritis  bedah anak melalui cara  penggolongan  gejala klinis  (symptomand sign) yang khas sesuai kelainan yang diderita, pengobatan  awal 
pasien yang bisa  dilakukan  sesuai dengan fasilitas yang ada dan kompetensi  yang dimiliki. Dengan meningkatnya pengetahuan dan pemahaman mengenai  hal itu , diharapkan bisa  mengurangi  kejadian  komplikasi akibat 
keterlambatan mengatasi  peristiwa  gawat darurat bidang bedah anak.

Ruang lingkup gawat darurat bidang bedah anak   dibagi berdasar   beberapa kategori. Mengingat bahwa kelainan pada bayi dan anak berkaitan  dengan usia, sistem organ, dan etiologi. Tiap kategori itu  memiliki  petunjuk  klinis dan ciri khas tersendiri. Pembagian kategori gawat darurat bidang bedah anak berdasar usia ,  yaitu  :
 -  neonatus (0 - 1 bulan),
 -  batita dan balita (young child) (1 - 5 tahun),
 -  anak-anak (5 - 11 tahun), dan
 -  remaja  (12 - 18 tahun).
Kondisi kritis  bidang bedah anak memiliki  ciri khas 
tersendiri sesuai dengan kategori usia  pasien. Pada usia neonatus, sering      kelainan yang diperoleh   yaitu  kelainan bawaan/kongenital,   mungkin  juga manifestasi kelainan bawaan baru terlihat pada usia balita. Pada peristiwa  trauma mungkin  ada   pada usia remaja, namun jangan dilupakan juga trauma akibat kekerasan 
pada anak banyak ditemui  pada usia balita dan anak-anak ,Ruang lingkup berdasar sistem organ, terutama   yang berkaitan   dengan bidang bedah anak kita  membaginya antaralain : 
-kelainan di dinding perut .
-sistem pencernaan/gastroenterologi dan hepatobilier;
-sistem urogenital/saluran kencing dan alat kelamin; 
Kelainan yang dibagi berdasar sistem organ berkaitan   
dengan petunjuk  gejala klinis dan etiologi yang mendasari, Etiologi dibagi  menjadi ,antaralain 
1. kritis  trauma
2. kritis  nontrauma -  kelainan bawaan -  infeksi
 -  noninfeksi.
akan dilakukan cara  penggolongan    itu  dari penggabungan gejala klinis, sistem organ, usia, dan etiologi. Untuk itu kita  penggolongan  kritis  bidang 
bedah anak yang sering terjadi   antaralain : 
peristiwa  perdarahan saluran cerna, peristiwa  benda asing yang tertelan,  peristiwa  trauma. peristiwa  kritis  perut , peristiwa  akut inguinal/scrotum,



Selain kemampuan mengenali secara klinis peristiwa  ktlritis   bidang bedah anak secara dini, peran screening kelainan bawaan pada  bayi dalam kandungan juga berperan  dalam deteksi dini potensial kritis  yang mungkin terjadi pada peristiwa  bedah anak. Deteksi dini kelainan bawaan pada bayi sejak dalam kandungan 
bisa  dilakukan dengan metode amniosintesis, pemeriksaan darah, dan pemeriksaan ultrasonografi (USG) fetomaternal. USG fetomaternal sudah 
menjadi program nasional di negara kita   . Saat ini kebijakan kesehatan   negarakita  mewajibkan untuk dilakukannya pemeriksaan USG fetomaternal minimal 1x selama masa kehamilan. Diharapkan  jika  terdeteksi kelainan bawaan sejak dalam masa kehamilan bisa  
dipersiapkan pencegahan   mengatasi  lanjutan pada bayi dan ibu. Kelainan  bawaan yang berkaitan  dengan anatomi fetus sudah bisa tampak pada  kehamilan trismester ke dua. kelainan   bawaan organ gasrointestinal  dan defek   pada dinding perut dan dada  bisa  dideteksi pada trimester  kedua. Polyhidramnion biasanya ada   pada peristiwa  atresia saluran cerna. jika  terdeteksi atau dicurigai adanya kelainan pada bayi sejak  dalam kandungan, maka perlu dilakukan persiapan untuk diagnosa   lebih lanjut dan sistem rujukan pada ibu dalam proses persalinannya nanti. Untuk peristiwa  kelainan bawaan bidang bedah anak yang sudah terdeteksi sejak dalam kandungan, maka ibu pasien harus diarahkan untuk melahirkan rumah sakit yang sudah memiliki  peralatan medis  pendukung dan tim dokter spesialis yang bisa merawat dan melakukan tindakan operasi pada neonatus dan bayi (
peristiwa  kritis  perut  pada bayi dan anak dikenali dari 
adanya tanda-tanda akut perut . Gejala klinis yang paling banyak ditemui  pada akut perut  yaitu  nyeri perut. Nyeri perut ini sering     ditambah   keluhan penyerta berwujud  flatus,muntah, distensi perut, dan gangguan buang air 
besar, Kondisi akut perut  pada pasien bayi dan anak-anak ini  yaitu  manifestasi dari beberapa kondisi patologis intraperut , yang  banyak ditemui  antara lain 
. perforasi/ruptur organ berongga.strangulasi organ intraperut , inflamasi organ intraperut  dengan atau tanpa ditambah  gejala  peritonitis;. obstruksi;
Kumpulan gejala klinis dari akut perut  yang ada, maka kita harus bisa  memilah mana yang memiliki  arti  bedah dan gawat darurat bedah. Sehingga meningkatkan kecepatan diagnosa  klinis dan mencegah  keterlambatan pengobatan  pasien bayi dan anak 


Nyeri perut akut pada anak sering     menimbulkan dilema baik intrepertasi dan diagnosa  nya. walau  sebagian besar nyeri perut pada anak yaitu  kondisi peristiwa  nonbedah, keterlambatan diagnosa akut 
perut  dari gejala nyeri perut akut bisa  meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pasien. masalah ini  yang penting bagi dokter  yaitu   bagaimana mengenali nyeri perut  yang penting  bedah dan yang memerlukan tindakan    segera. Secara klinis, nyeri perut dibagi menjadi tiga kategori, yaitu nyeri  visceral (splanchnic), parietal (somatic), dan reffered (nyeri alih). Nyeri visceral  biasanya terasa tumpul, sulit dilokalisasi, dan terasa di garis tengah. Kondisi  patologis yang menimbulkan nyeri visceral ini ada   pada kondisi organ  intraperut  yang mengalami edema, dilatasi, atau iskemia. Nyeri visceral 
bisa  ditemui  pada peristiwa  appendicitis awal, gastroenteritis, konstipasi,  trauma perut , dan lainnya ,
Nyeri parietal biasanya terasa tajam, intens, terlokalisir dan bisa   diperberat dengan batuk dan  pergerakan. Nyeri ini bersumber dari adanya iskemik jaringan, inflamasi atau peregangan dari peritoneum parietal yang  ditransmisikan serat aferen ke dorsal root ganglia pada sisi level dermatom yang  sama. Kondisi ini bisa  terjadi pada kerusakan/inflamasi organ lebih lanjut  dan strangulasi contohnya appendisitis akut, volvulus, dan hernian inkarserata , Nyeri alih/referred pain memiliki  sifat   seperti nyeri parietal  namun  terasa di area  lain yang memiliki  dermatom persarafan yang sama dengan organ yang mengalami cedera/inflamasi. Contohnya pada 
peristiwa  pneumonia yang sering     datang dengan keluhan nyeri perut  sebab  dermatome T9 yaitu  jalur yang sama untuk aferen dari paru dan perut . 
Nyeri yang khas untuk kelainan bedah yang lain yaitu  nyeri kolik. Nyeri  kolik dipicu  oleh regangan dari organ berongga, biasanya dipicu   oleh adanya obstruksi sehingga organ berongga akan dilatasi dan adanya 
gerak mendorong dari organ itu  untuk melepaskan obstruksi. Nyeri  ini memiliki  ciri khas yang hilang muncul   sesuai gerak peristalsis organ. Rasanya tajam dan intens selama gelombang persitalsis muncul. Contoh dari 
nyeri kolikter bisa  pada peristiwa  intususepsi, batu ureter, dan batu kandung  empedu,
pemicu  nyeri perut  akut pada anak ,antaralain : 
1. pemicu  Saluran Kencing dan Genital: 
Kehamilan ektopik-Torsio ovarium/testis-Endometriosis -Hematocolpos•Infeksi saluran kencing-Batu saluran kencing-Dismenorea Mittelschmerz-Penyakit inflamasi pelvis-Threatened abortion -
2. pemicu  saluran cerna: 
Ulkus peptikum-Divetikulum Meckel-Inflammatory bowel disease-Intoleransi Laktosa,-Gastroenteritis-Apendisitis-Limfadenitis mesenterika-Konstipasi-Trauma perut -Obstruksi interstinum-Peritonitis-Keracunan makanan-
3. Gangguan hati, limpa dan saluran bilier :
Rupture of the spleen-Pankreatitis-Hepatitis-Kolesistitis-Kolelitiasis-Splenic infarction-

mengartikan  nyeri pada bayi dan anak memiliki  tingkat kesulitan tersendiri sesuai dengan jenis nyeri dan onset usia pasien. Pada anak sampai usia remaja mereka kurang memiliki  kemampuan melokalisir dan 
mengetahui onset nyeri yang diderita. Pada bayi tanggap  pada nyeri sudah   ada, namun manifestasi klinik hanya bisa  dilihat dari ekspresi wajah dan 
tangisannya 

pemicu  nyeri perut  akut pada anak : 
-- Obat dan toksin: 
Keracunan Timah-Bisa ular-Eritromisin-Salisilat-
--Gangguan Metabolik:
Insufisiensi Adrenal akut,-Ketoasidosis Diabetikum -Hipoglikemia-Porfiria-
--Gangguan Hematologis:
Sindroma Hemolitik Uremik-Anemia sel sickle-Purpura Henoch-Schönlein-
-- pemicu  Paru: 
-Diaphragmatic pleurisy-Pneumonia,
--Lain-lain: 
Angioneuroticedema-Familial Mediterranean fever,
-Kolik infantil-Nyeri Fungsional-Faringitis-
diagnosa  banding nyeri akut perut  berdasar  usia
 Lahir sampai 1 tahunVolvulus - Hernia inkarserata - Penyakit Hirschsprung’s
 - Kolik infantil - Gastroenteritis  - Konstipasi - Infeksi Saluran Kencing - Intususepsi - 
2 sampai 3 tahun:
Trauma  - Faringitis - Krisis sel Sickle - Purpura Henoch-Schönlein - Mesenteric lymphadenitis - Gastroenteritis  - Apendisitis - Konstipasi - Infeksi Saluran Kencing - Intususepsi - Volvulus - 
6 sampai 11 tahun: 
Krisis sel Sickle - Purpura Henoch-Schönlein - Limfadenitis Mesenterika - Gastroenteritis  - Apendisitis - Konstipasi - Nyeri Fungsional - Infeksi saluran kencing - Trauma - Faringitis  - Pneumonia  - 
diagnosa  banding nyeri akut perut  berdasar  usia
12 sampai 18 tahun : 
Penyakit inflamasi Pelvis - Ancaman aborsi - Hamil Ektopik - Torsio ovarium / testis - Apendisitis - Gastroenteritis  - Konstipasi - Dismenorea Mittelschmerz - 
Kondisi distensi perut  terdiri dari beberapa etiologi antara lain massa,  cairan (ascites), dilatasi usus sebab  obstruksi, perforasi organ berongga,  dilatasi akibat paralitik, dan peritonitis. Pada bayi dan anak, petunjuk  
klinis obstruksi sering     tampak dengan adanya distensi perut  yang  menyeluruh, namun tidak demikian pada peristiwa  obstruksi di neonatus.  Pada neonatus, level osbtruksi memiliki  petunjuk  distensi perut   yang berbeda. Pada peristiwa  obstruksi usus letak tinggi contoh  pada peristiwa   atresia duodenum, IHPS (infantile hypertropic pyloric stenosis), atresia jejenum,  sering     tidak tampak petunjuk  distensi perut  yang menyeluruh. 
sebab  konten usus bagian proksimal biasanya sudah dimuntahkan, sehingga  bagian usus yang dilatasi (biasanya duodenum dan gaster) akan mengecil 
kembali. Pada kondisi yang tidak terdeteksi lebih awal, akan tampak distensi perut  bagian atas, di atas umbilicus. Biasanya tampak kontur gaster  ditambah  petunjuk  peristaltik gaster (gastric wave)  sedang  pada neonatus dengan kondisi obstruksi usus level rendah,  petunjuk  klinis distensi perut  tampak menyeluruh sebab  dilatasi 
sebagian besar usus sampai ileum terminal dan colon. Untuk diagnosa   banding distensi perut  sebab  pemicu  nonobstruksi bisa disingkirkan  melalui pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang foto polos 
perut  dua sisi. Pada neonatus dan bayi sering     agak sulit dibedakan  apakah distensi perut  pada kondisi akut perut  yaitu  akibat  obstruksi atau peritonitis. ini  dipicu  sebab  petunjuk  klinis defans  muskular pada bayi dan anak sulit diinterpretasikan mengingat otot perut  
pada bayi dan neonatus masih tipis dan belum berkembang. ini  bisa   dibantu dengan pemeriksaan foto polos perut  pada pasien itu  

arti  muntah di bidang bedah yaitu  ekspulsi isi lambung secara  kuat dan involunter melalui mulut kadang juga melalui hidung akibat adanya  gangguan pasase distal dari pintu keluar lambung. Gangguan pasase disini 
sebagian besar dipicu  sebab  adanya obstruksi. Level obstruksi ada   pada level saluran cerna bagian atas (gastric outlet sampai dengan jejenum)  sampai saluran cerna bagian bawah (ileum terminal sampai dengan anus).
Muntah penting  bedah bisa  digolongkan  sesuai warnanya, waktu/onset  muntah sesudah  intake dan kualitasnya. Untuk warna bisa  digolongkan  
sebagai bilious dan nonbilious vomitting. Muntah bilious terjadi bila bile  dikeluarkan bersama dengan isi lambung. Muntah nonbilious bisa  berwujud   isi lambung tanpa bile, darah dan isi ileum konten/feses. Pada neonatus dan 
bayi, setiap muntah bilious harus dicurigai sebagai akibat adanya gangguan  pasase usus sampai terbukti tidak 
Neonatus yang mengalami muntah bilious pada hari-hari pertama  kelahirannya dengan atau tanpa pemberian intake yaitu  salah satu  tanda menonjol  adanya obstruksi akibat kelainan kongenital pada usus. 
Kecurigaan ini harus ditindaklanjuti dengan mencari gejala penyerta dan  melakukan pemeriksaan penunjang. Muntah bilious pada neonatus sering     berkaitan  dengan peristiwa  obstruksi di level duodenum, Hirschsprung’s 
disease, maupun atresia jejenoileal. Muntah nonbilious yang sesuai dengan  konten lambung pada neonatus dan bayi bisa  diakibatkan adanya antral web, atau stenosis dari pylorus. Pada peristiwa  itu  biasanya ditambah  muntah  dengan kualitas proyektil. Muntah darah profus juga menjadi perhatian  serius terutama   berkaitan  dengan masalah hemodinamik pasien. 
Pada peristiwa  itu  resusitasi cairan yaitu  tindakan pertama  pada  perdarahan saluran cerna yang ditambah  dengan gangguan hemodinamik.  Selain hal itu  di atas, muntah memiliki  arti  bedah lebih tinggi  bila ditambah  gejala klinis akut perut  lainnya 

Gangguan buang air besar  bedah antaralain:  onset buang air besar pertama sesudah  lahir (meconeum), warna meconeum, dan konsistensi.  Meconeum yang terlambat (delayed meconeum) yaitu  salah satu gejala  penyakit Hirschsprung’s pada neonatus. petunjuk  mekoneum yang pucat  yaitu  gejala dari kondisi atresia pada usus. Feses yang berbau busuk dan 
cair sering diperoleh pada pasien dengan enterocolitis. dibawah ini masalah   yang  harus diperhatikan untuk kemungkinan gangguan saluran cerna ditinjau 
dari mekoneum/feses yang keluar pada pasien : 
 -  feses ditambah  darah, -  warna feses pucat sampai seperti dempul, -  konsistensi feses keras, frekuensi jarang, -  diare,  -  konstipasi (kronik/progresif, mendadak).
 -  meconeum terlambat (neonatus),
 -  warna meconeum tidak normal (berwarna pucat, kering, berbulir-bulir, berbau busuk) pada neonates,

Gejala klinis akut inguinal dan scrotum memiliki  gejala klinis berwujud  benjolan pada lipat paha, nyeri, tanda radang, atau dengan atau tanpa ditambah   panas badan. Etiologi dari kondisi akut inguinal/scrotum bisa  dipicu  
sebab  proses inflamasi dan strangulasi antara lain hernia incarserata, torsio testis, lymphadenitis acuta, epididymitis, dan abses inguinal .
Bila kita menemukan   perdarahan saluran cerna, pertama kali  yang harus diperhatikan yaitu , apakah perdarahan ini memicu  gangguan hemodinamik pada bayi/anak itu . jika  terjadi gangguan  hemodinamik/syok pada pasien maka pengobatan  awal yaitu  resusitasi dan  stabilisasi ,
Pada kondisi yang sudah  tersusitasi atau stabil, maka bisa  dilakukan pengobatan  kemudian , yaitu mencari sumber perdarahan. Sumber perdarahan  saluran cerna bisa  dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan saluran cerna atas  dan perdarahan saluran cerna bawah. Untuk membedakannya, dilihat dari warna darah yang bercampur dengan feses yang keluar. Perdarahan saluran 
cerna bagian atas ditandai dengan warna feses bercampur darah hitam seperti  petis/melena. jika  pasien muntah diperoleh muntahan darah berwarna  hitam/hematemesis. ini  dipicu  sebab  darah bercampur dengan asam  lambung dan terbentuk hematin. sedang  untuk perdarahan saluran cerna  bagian bawah (mulai ileum terminal sampai dengan rectum) warna darah yang 
keluar bersama dengan feses yaitu  mulai dari merah segar, merah gelap (maroon) dan merah terang (current jelly stool). Untuk mempermudah diagnosa   etiologi peristiwa  perdarahan saluran cerna, maka kita harus memperhatikan  perkiraan lokasi perdarahan, tipe perdarahan (dilihat dari warna) dan usia  pasien. Berikut pembagian etiologi perdarahan saluran cerna berdasar tipe perdarahan dan usia pasien.
Dengan mengetahui asal perdarahan dan kemungkinan etiologinya, maka kita bisa  merencanakan tindakan terapi atau rencana diagnosa   lebih lanjut. jika  kondisi perdarahan pada pasien tidak profus, maka persiapan 
rujukan bisa  dilakukan secara urgen atau elektif .
peristiwa  benda asing yang tertelan cukup banyak ditemui  pada anak-anak. kejadian  puncaknya pada usia 1- 10 tahun. Sebagian besar kejadiannya  tidak disengaja  98% , kecuali pada pasien dengan gangguan syaraf dan 
jiwa. Pada pasien anak, 84% benda asing di saluran cerna akan keluar secara alami, dan hanya  10 % yang memerlukan terapi pengambilan dari saluran 
cerna secara endoskopi, 1% memerlukan tindakan operasi sebab  adanya  komplikasi ,Gejala klinis tertelan benda asing bisa simtomatik dan asimtomatik. Pada benda asing sudah melewati sfingter esofagus bagian bawah 40% pasiennya asimtomatik. Gejala klinis yang tampak bisa  antaralain:  nyeri telan,  hematemesis, muntah, batuk, drooling, sesak dan gejala intoksikasi bila barang 
yang tertelan yaitu  bahan toksik contoh  baterai. Gejala klinis yang tampak  tergantung pada lokasi dari benda asing dan komplikasi yang dimunculkan . tanda  ekstraksi benda asing yang tertelan tergantung pada beberapa 
faktor antara lain tipe benda asing, lokasi benda asing yang terjeba di saluran.cerna, kondisi umum pasien, peralatan medis , dan prasana yang tersedia. Untuk lebih 
jelas dan ringkasnya bisa  dilihat pada tabel berikut ini.
Trauma masih yaitu  pemicu  pertama  kematian pada anak usia 1 - 15 tahun. Pada bayi, berperan sebanyak 6% pada  angka kematian.  Setiap periode usia memiliki  kecenderungan jenis trauma yang berbeda. 
Prinsip mengatasi  trauma pada anak memakai  pedoman ATLS dengan  perhatian khusus kondisi anatomi dan fisiologi anak berbeda dengan dewasa  Trauma perut  pada anak  memicu  cedera organ liver dan  lien, sebab  kurang terlindungi oleh tulang rusuk. Perdarahan yang terjadi  sering    bisa  berhenti selama dilakukan resusitasi yang kuat , sehingga  pada kondisi internal bleeding pada anak kebanyakan bisa  diterapi dengan  nonoperative management (NOM). Laparatomi kebanyakan dilakukan pada  peristiwa  rupture organ berongga dan luka tusuk/tembus , Resusitasi cairan pada peristiwa  trauma dengan hemodinamik yang tidak  stabil dilakukan dengan pemberian 20cc/kg Ringer Lactate secara bolus dan 
segera dilakukan konsultasi dengan dokter bedah. Pemberian cairan ini bisa   diulang 1x lagi. jika  dalam pengawasan  belum membaik, segera disiapkan 
pemberian Packed Red Cell sebanyak 10 cc/kg dengan persiapan tim bedah  untuk melakukan resusitasi bedah  
Trauma pada bayi dan anak juga antaralain:  trauma akibat kekerasan.  Kematian pada anak tahun pertama sebab  trauma biasanya dipicu  adanya kekerasan pada anak., kita harus mencurigai dan mengenali adanya faktor kekerasan pada  anak setiap kita menemukan   peristiwa  trauma anak. Kecurigaan   adanya kekerasan pada anak antara lain bila ada   hal-antaralain : 
 -  pasien  tua/pengantar tidak tanggap     nasihat  pengobatan/tidak terlalu peduli dengan nasihat  medis yang diberikan; 
 -  perbedaan keterangan mengenai trauma yang terjadi antara pasien  tua  dan pengasuh/keluarga lainnya.
 -  perbedaan antara riwayat/anamnesis trauma pada  derajat trauma fisik yang diderita;
 -  waktu trauma dan waktu berobat/pemeriksaan yang terlalu lama;
 -  riwayat adanya trauma berulang dan pengobatan di IGD yang  berbeda;
Pada pemeriksaan fisik, kecurigaan adanya kekerasan pada anak dan memerlukan pemeriksaan  lebih lanjut yaitu  :
 -  patah tulang panjang pada anak usia kurang dari 3 tahun; -  luka yang tidak wajar, seperti gigitan, luka bakar akibat rokik, bekas tali;  -  trauma pada area genital atau perianal; -  bekas luka/scar multiple dan tanda penyembuhan fraktur pada foto  rontgen;
 -  bekas luka bakar derajat dua dan tiga pada area yang tidak wajar. -  multiple subdural hematoma, terutama   
tanpa adanya fraktur tulang tengkorak yang baru;
 -  perdarahan retina; -  trauma perioral;  -  rupture organ internal tanpa adanya tanda trauma tumpul mayor;
jika  kita jumpai kecurigaan kekerasan pada anak, tehnik  anamnesis sebaiknya tidak mengikutkan orang   yang kita curigai sebagai pelaku berada dalam satu ruangan dengan anak yang mengalami kekerasan  itu . Pemeriksaan fisik terutama   pada korban kekerasan seksual harus mempertimbangkan kondisi psikis pasien sehingga tidak menimbulkan trauma lebih lanjut  
kritis  bidang bedah anak bisa  digolongkan berdasar sistem organ, usia dan etiologi. Penting bagi dokter  untuk bisa  melaksanakan deteksi dini kondisi kritis  pada bayi dan anak sehingga bisa   melakukan pengobatan  dengan cepat  dan melakukan rujukan dengan cepat 
jika  diperlukan. Pengenalan kondisi kritis  itu  bisa  
dilakukan dengan memahami penggolongan  spektrum kritis  itu   dan dikaitkan  dengan petunjuk  klinis yang khas/sering ada   pada  kondisi patologis yang terjadi. kritis  pada bayi dan anak bisa   antaralain:  kritis  perut  akut scrotum/inguinal, benda asing yang  tertelan, perdarahan saluran cerna, trauma dan kekerasan pada anak. Deteksi  dini dan pengobatan  kritis  pada bayi dan anak secara cepat   diharapkan bisa  menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada bayi  dan anak.
Kedaruratan di bidang bedah antaralain:  banyak segi  dan 
bisa  dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kedaruratan trauma dan nontrauma. 
Banyak penyakit yang bisa  memicu  kedaruratan bedah 
nontrauma di area  perut , di antaranya yaitu :
saluran cerna, -  ruptur aorta, -  ikterus obstruktif, 
 -  peritonitis, -  obstruksi gastro intestinal, -  perdarahan 
arti  Peritonitis yaitu  inflamasi membran serosa yang menyelimuti  rongga perut  bedan  organ-organ di dalamnya. Peritonitis bisa  dikategorikan  menjadi 3 kelompok berdasar  etiologinya , yaitu:
 -  Peritonitis sekunder, dipicu  sebab  perforasi organ berongga baik sebab  penyakit, trauma, maupun iatrogenik. Contoh peritonitis 
sekunder yang sering ditemui yaitu  apendisitis perforasi dan perforasi gaster.
 -  Peritonitis tertier, yaitu peritonitis yang persisten atau rekuren sesudah  nterapi atau operasi yang kuat 
 -  Peritonitis primer, yang dipicu  sebab  penyebaran hematogenous 
 - biasanya pada pasien immunocompromised -  seperti peritonitis tuberkulosis dan spontaneous bacterial peritonitis (SBP). Pada peritonitis primer tidak ada   perforasi dari organ berongga.
diagnosa  peritonitis dilakukan  terutama   melalui pemeriksaan klinis, yaitu anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang dilakukan  untuk mencari lebih jauh mengenai kemungkinan etiologi peritonitis. Hal - hal  yang mungkin diperoleh dari pemeriksaan klinis peritonitis yaitu  ,antaralain : 
a. Pemeriksaan penunjang yang bisa  dilakukan  untuk membantu melakukan  diagnosa  peritonitis yaitu :
-  Amilase dan lipase pada dugaan pankreatitis.
 -  Kultur kuman.-  Lekosit: normal, lekositosis.
 -  Liver Function Test, apakah ada abses liver.
b. Radiologi: 
 -  Dekompresi dengan memasang NGT, kateter,  needle dekompresi bila diperlukan; -  Antibiotik broad spectrum;
 -  Antipiretik;  -  Volume resuscitation, hati - hati pada usia tua; -  pemantauan  cairan dengan memasang kateter;
 -  Koreksi elektrolit; -  Terapi definitif . -  Foto polos perut  (BOF): ground glass appearance. -  BOF erect: air sickle/free air di bawah diafragma  -  LLD (Left lateral decubitus): free air di atas hepar -  USG perut : abses liver, tubo ovarial abscess (TOA), appendisitis. USG tidak bisa mendeteksi cairan kurang dari 100 mL. pengobatan ,
c. Anamnesis
 Anamnesis pada peristiwa  peritonitis  untuk melakukan  
diagnosa  dan mencari kemungkinan etiologi. Hal - hal yang bisa  diketahui dari anamnesis yaitu :
 -  riwayat operasi. -  gaya hidup/kebiasaan: minum jamu, pemakaian imunosupresan. -  sifat   nyeri: onset, perjalanan nyeri. -  gejala penyerta: demam, diare, konstipasi, mual muntah. -  riwayat penyakit penyerta: gastritis, inflammatory bowel disease, divertikulitis, typhoid.
d. Pemeriksaan fisik
 -  perut :-Inspeksi: flat, distended, parut paska operasi.
-Auskultasi: bising usus menurun.-Palpasi: nyeri tekan seluruh perut, defans muscular.-Perkusi: pekak hepar menghilang.  -  Rectal toucher (RT): nyeri seluruh kuadran.
 -  Akral: hangat, dingin. -  Vital sign: hipertermi, takikardi, hipotensi (shock). -  Torakss: mencari penyakit penyerta.


Etiologi dari obstruksi gastrointestinal berbeda antara negara maju  dan negara berkembang. pemicu  terbanyak di negara maju yaitu volvulus (5%) adhesi (55 - 79%), disusul hernia (11- 22%), keganasan (12 - 25%), Crohn disease (7%),    pemicu  terbanyak di negara berkembang  yaitu  hernia (20 - 30%), adhesi (20%), tuberkulosis (14%), keganasan, Crohn disease, volvulus, dan infeksi parasit .
 Obstruksi GIT   digolongkan  berdasar  beberapa cara, yaitu: -  Simple atau strangulasi. -  Partial atau total bowel obstruction, 
Obstruksi GIT  dibedakan dengan ileus paralitik yang dipicu   sebab  post gastroenteritis, hipokalemi, pemakaian obat spasmolitik, sepsis, peritonitis, 
diagnosa  obstruksi gastrointestinal tract (GIT) dilakukan  berdasar  pemeriksaan klinis dan penunjang ,
a. Pemeriksaan Fisik
 Tanda-tanda yang bisa  diperoleh dari pemeriksaan fisik yaitu  : 
 -  Auskultasi: bising usus meningkat atau menurun.
 -  Palpasi: adakah massa, tegang, nyeri tekan.
 -  Perkusi: timpani.
 -  RT: ampula recti kolaps, adakah massa, adakah darah atau feses pada sarung tangan.
 -  Inspeksi: distended, darm countour, darm steifung, benjolan di inguinal/umbilicus.
b.. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksan penunjang untuk melakukan  diagnosa , etiologi, maupun komplikasi dari ostruksi GIT yaitu  antaralain : 
 -  Radiologi: 
-BOF, berwujud  petunjuk  Herring bone  atau coiled spring
-LLD, berwujud  petunjuk  step ladder/air-fluid level ,
 untuk mengetahui level obstruksi  pada peristiwa  malignansi atau intususepsi pada anak-anak.
-CT-Scan dan magnetic resonance imaging (MRI).
-CT Enteroclysis, bisa  dipakai sebagai peralatan medis  diagnosa   sekaligus terapi pada beberapa peristiwa .
 -  Laboratorium:
-Imbalance elektrolit sebab  muntah atau dehidrasi, mengabaikan   kemungkinan ileus paralitik sebab  hipokalemi.-Serum kreatinin meningkat sebab  dehidrasi.
-Lekosit, bisa  normal atau meningkat bila sudah  terjadi 
enterocolitis atau perforasi.-Anemi sebab  perdarahan kronis GIT sering dipicu  sebab  kanker kolorektal.
c. Anamnesis
 Dari anamnesis bisa  dibedakan apakah sebab  proses akut atau kronis (keganasan). Data yang bisa  diperoleh yaitu  antaralain : 
-  Riwayat buang air besar dengan kaliber kecil-kecil atau buang air besar darah menandakan kemungkinan adanya keganasan, terutama   bila ditambah  dengan penurunan berat badan. -  Distensi perut  (50%). -  Panas dan takikardi, yang yaitu  gejala lanjut dan sering berkaitan dengan strangulasi. -  Nyeri perut berwujud  nyeri kolik yang crampy dan intermittent. Nyeri ini bisa  meningkat bila terjadi perforasi maupun iskemi. 
 -  Nausea/vomitting (40 -60%), bisa cepat  terjadi terutama   bila obstruksi terletak di proksimal.
 -  Tidak bisa flatus atau buang air besar (75 - 80%).
 Faktor risiko:
-Riwayat keganasan kolon atau ovarium.-Inflammatory bowel disease.-Riwayat operasi perut , radioterapi.
pengobatan 
Beberapa terapi awal untuk obstruksi di bawah ini bisa  dilakukan  oleh dokter jaga di IGD dan yaitu  kompetensi level 3, yaitu :
 -  antibiotic broad spectrum untuk gram negatif  anerobik;
 -  steroid, pada obstruksi sebab  inflammatory bowel disease atau radiation enteritis yang akut;
 -  terapi pendukung : analgetik, antiemetik;
 -  terapi non operasi  untuk obstruksi partial atau simple bisa  dilakukan  maksimal selama 3 hari dengan pengawasan dari dokter bedah; 
 -  operasi oleh dokter bedah. Pada obstruksi yang sudah  mengalami strangulasi harus dilakukan  operasi cito.
 -  resusitasi cairan, hati-hati pada usia tua;
 -  pemantauan  cairan dengan memasang kateter;
 -  dekompresi dengan memasang NGT dan kateter;
Advanced Trauma Life Support (ATLS) dari American College of Surgeon yang mulai ada sejak tahun 1980. 
mengalami beberapa perubahan dan saat ini sudah menerbitkan panduan   dalam mengatasi  trauma  dikenal 
dengan initial assessment untuk menganalisa  kondisi kedaruratan secara cepat. Initial assessment terdiri dari beberapa tahapan ,
Primary survey yaitu  langkah awal untuk mengidentifikasi secara cepat masalah yang muncul   pada peristiwa  trauma. Kelima hal dalam primary 
survey diterangkan menurut urutan prioritas namun dalam prakteknya di  lapangan dilakukan  secara simultan. Primary survey antaralain:  
a.  Masalah disability atau kesadaran menurun bisa  dipicu  oleh perdarahan intrakranial atau edem otak. Lucid interval sebab  epidural haemorrhage harus diwaspadai dan terus dilakukan re-evaluasi.  Hal-hal yang bisa  dilakukan untuk mengidentifikasi masalah disability 
yaitu : -  Memeriksa adakah lateralisasi dengan melihat ukuran pupil dan reflek cahaya, -  Memeriksa skala kesadaran antara lain dengan metode AVPU (Alert, Verbal, Pain, Untanggap   ive) atau GCS (Glasgow Coma Scale).
b. Exposure atau kendalikan  lingkungan. Pakaian pasien harus dibuka semua agar bisa  dilakukan pemeriksaan 
dan evaluasi secara menyeluruh namun harus tetap dijaga agar tidak terjadi hipotermi.Resusitasi
sesudah  primary survey, maka dilakukan  resusitasi pada  permasalahan  yang ada ,
c.  Breathing, Hal - hal yang bisa  dilakukan untuk mengidentifikasi masalah breathing yaitu :
 -  perkusi: redup, hipersonor; 
 -  suara napas: vesikuler, meningkat atau menurun.
 -  menghitung frekuensi napas/Respiratory rate (RR);
 -  melihat gerakan dada simetris atau tidak;
 Distres napas antara lain bisa  dipicu  oleh pneumotorakss, flail  chest dengan contusio pulmonum, hematotorakss, atau fraktur costa.
mengatasi  masalah breathing dengan cara:
 -  Pemberian oksigen.
 -  Needle toraksocintesis pada peristiwa  tension pneumotorakss.
 -  Punksi pleura atau pemasangan chest tube.
d. Circulation with haemorrhage control
 Hal - hal yang bisa  dilihat untuk mengidentifikasi masalah circulation  secara cepat yaitu :
 -  nadi. -  tingkat kesadaran; -  warna kulit yang menandakan perfusi jaringan; 
 -  Internal bleeding paling banyak dipicu  oleh perdarahan 
intraperut , hematotorakss masif, dan fraktur pelvis.
 -  Eksternal bleeding terutama   pada ekstremitas.
 Hati - hati pada pasien  tua, anak kecil, atlet, dan riwayat pemakaian obat - obatan sebab  pasien tidak bereaksi secara normal. Sumber  perdarahan bisa  berasal dari dalam badan  yang tidak terlihat maupun yang terlihat dari luar.mengatasi  masalah circulation dengan cara: 
 -  Pemasangan double infus untuk resusitasi cairan. Resusitasi dilakukan dengan pemberian kristaloid (Ringer lactate), koloid maupun darah tergantung dari derajat shock. Hindari pemakaian  vasopresor, steroid, atau Nabic. Pemberian cairan atau darah yang masih dingin bisa  memicu munculnya  hipotermi.
 -  Pelvic sling untuk kecurigaan fraktur pelvis.
 -  Bebat tekan untuk menghentikan sementara perdarahan eksternal. 
e. Airway with C-spine control, Masalah airway bisa  dilihat dengan memeriksa suara napas dengan metode look, listen, and feel. Masalah yang mungkin muncul   pada airway  yaitu :
 -  Obstruksi jalan napas sebab  benda asing, cairan, ataupun fraktur maksilofasial.
 -  Fraktur servikal harus selalu dicurigai terutama   pada kondisi:,-adanya jejas di atas clavicula, -nyeri leher.-kesadaran menurun,
mengatasi  masalah airway bisa  dengan cara noninvasif maupun invasif. 
 -  Invasif dengan cricothyroidotomy, endo tracheal tube (ETT). C-spine immobilisation dengan collar brace atau dengan meletakkan bantal pasir yang mengapit leher.
 -  Non invasif bisa  dilakukan dengan dua cara, yaitu:
-Tanpa alat dengan chin lift dan jaw thrust.
-Dengan alat seperti tube nasofaring, tube orofaring, suction cairan/darah.

Pemakaian tourniquet sebaiknya tidak dilakukan sebab  bisa  memicu  iskemia di bagian distal, kecuali bila sudah  terjadi amputasi traumatika.
Pada primary survey bisa  dilakukan  beberapa tindakan tambahan  seperti :
 -  Kateter urin dan lambung.-  pemantau  EKG.
 Kateter urin tidak boleh dipasang bila ada dugaan ruptur uretra yang  ditandai dengan:
-Bloody dischrage.
-Hematom di scrotum atau perineum.
-Pada colok dubur diperoleh prostat melayang.
 Katerer lambung tidak boleh dipasang bila ada dugaan fraktur basis cranii (FBC) yang ditandai dengan: 
-Bloody rinorhea -Bloody otorhea-Brill hematoma
-Battle sign.
 -  pemantau  hasil resusitasi seperti blodd gas analysis (BGA), pulse oximetry, dan tekanan darah.
 -  Pemeriksaan penunjang lainnya seperti:
-Radiologi: Foto cervical lateral, torakss AP, dan pelvis AP.
-USG FAST (Focused Assessment with Sonography for Trauma) atau DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage). 
sesudah  mengatasi  awal, dilakukan evaluasi ulang mulai primary  survey sampai diperoleh kondisi pasien yang stabil. sesudah  kondisi stabil,  barulah dilakukan secondary survey. Bila kondisi pasien belum stabil, maka 
perlu dilakukan surgical resuscitation , Secondary survey yaitu  pemeriksaan komplit dari kepala sampai kaki 
(head to toe examination) yang dilakukan pada pasien dengan hemodinamik  yang stabil. Pada pasien dengan trauma yang mengancam nyawa, secondary 
survey dilakukan  sesudah  surgical resuscitation. Anamnesis pada secondary survey antaralain:  riwayat Mode of Injury (MOI) dan AMPLE. MOI trauma bisa  
terjadi sebab  :
  -  Trauma thermal, baik sebab  suhu panas maupun dingin -  Bahan berbahaya seperti bahan kimia, toksin,  radiasi. -  Trauma tajam -  Trauma tumpul,
Riwayat AMPLE antaralain: :
A: Alergi M: Medication P: Past illness
L: Last mealnE: Event/environment
Pemeriksaan fisik pada secondary survey dijelaskan  berdasar  regio maupun sistem organ (B1-B6). Hal - hal yang bisa  ditemukan pada pemeriksaan fisik berdasar  regio yaitu  antaralain : 
a. Kepala
 -  Trauma oculi -  Fraktur maksilofacial
b. Vertebra
 -  RT: tonus sfingter ani yang longgar menandakan ada trauma pada vertebra. -  Nyeri di area  vertebra
 -  Paresis pada ekstremitas
c. Torakss
 -  Kelainan pada mediastinum: ruptur aorta
 -  Kelainan pada tulang: fraktur costa, clavicula.
 -  Kelainan pada paru: pneumotorakss, hematotorakss, contusio pulmonum
 -  Kelainan pada jantung: tamponade jantung
d. perut 
 -  Adanya tanda-tanda internal bleeding termasuk retroperitoneal bleeding sebab  fraktur pelvis
 -  Adanya jejas di area  perut 
 -  Adanya tanda-tanda peritonitis
e. Perineum (termasuk genitalia)
 -  Tes kehamilan pada wanita usia subur
 -  Tanda-tanda ruptur uretr,
f. Muskuloskeletal/ekstremitas
 -  Penilaian pulsasi perifer -  Kompartemen sindrom.
 -  Luka dan deformitas. Tanda - tanda fraktur dilakukan  dengan adanya nyeri, krepitasi, atau gerakan tidaknormal 
 -  Fraktur pelvis,
g. Neurologis
 -  Adanya tanda-tanda fraktur basis cranii (FBC), -  Pemeriksaan motorik dan sensorik. -  Pemeriksaan tingkat kesadaran, -  Adanya lateralisasi,
sedang  untuk pemeriksaan berdasar  sistem organ bisa  
ditemukan hal-hal antaralain :  
B1. Breathing. Pemeriksaan yang mungkin diperoleh pada B1 yaitu : -  RR yang meningkat atau menurun
 -  Tanda-tanda pneumotorakss, hematotorakss, contusio pulmonum.
B2. Blood. Pemeriksaan yang mungkin diperoleh pada B2 yaitu : -  Tanda - tanda perfusi yang tidak kuat  -  Tanda-tanda tamponade jantung, -  Hipotensi -  Narrow pulse pressure -  Takikardi
B3. Brain. Pemeriksaan yang mungkin diperoleh pada B3 yaitu : -  Tanda-tanda FBC. -  GCS yang menurun
 -  Lateralisasi
B4. Bladder. Pemeriksaan yang mungkin diperoleh pada B4 yaitu : -  Hematuria -  Bloody discharge
 -  RT: prostat melayang menandakan adanya ruptur uretra.
B5. Bowel. Pemeriksaan yang mungkin diperoleh pada B5 yaitu : -  Tanda-tanda peritonitis: nyeri perut, defans musculer -  RT: nyeri sirkuler menandakan adanya peritonitis, darah pada sarung 
tangan menandakan ada trauma pada GIT.
B6. Bone. Pemeriksaan yang mungkin diperoleh pada B6 yaitu :-  Tanda-tanda fraktur pada ekstremitas
 -  RT: tonus sfingter ani longgar menandakan ada trauma pada vertebra. Adjunct to Secondary Survey
Pemeriksaan penunjang yang bisa  dilakukan  pada tahapan secondary .survey yaitu :
 -  Radiologi: CT-Scan kepala, retrotingkat  urethrogram/cystogram, IVP, foto polos perut  (BOF, LLD, BOF erect), CT-Scan perut , foto polos ekstremitas.
 -  USG perut . -  Laboratorium: SE, RFT, LFT, GDA, FH, urinalisis, laktat, toksikologi.
Nyeri skrotum  berkaitan  dengan struktur di dalam 
skrotum dan referred pain. Struktur yang berkaitan  antara lain: testis, epididemis, funikulus spermatikus,  jaringan skrotum. Referred pain bisa  berasal dari nyeri kolik pada saluran kencing atas. Misdiagnosa  bisa  terjadi bila tidak dilakukan pemeriksaan pemicu  nyeri skrotum secara baik 
Torsio testis yaitu  terpluntirnya funikulus spermatikus yang memicu  berhentinya aliran darah ke testis. Secara anatomi, bisa  dibagi menjadi ekstravaginal dan intravaginal ,. penyebaran  usia  torsio testis berwujud  bimodal, puncak pertama saat neonatus dan puncak 
kedua saat pubertas . Torsio testis yaitu  kritis  
di bidang Urologi dan diderita  4 per 100.000 laki-laki muda usia  kurang  dari 18 tahun. Kelainan ini menjadi pemicu  13 - 16% acute scrotum pada  anak-anak dan memicu  orchidectomy 46% pada pasien yang dilakukan 
pembedahan ,
Pasien biasanya  mengeluh nyeri testis akut dan sering ditambah  keluhan terbangun dari tidur oleh sebab  nyeri. Nyeri ringan dan meningkat pelan  bisa  dipicu  oleh torsio apendiks testis . Pada pemeriksaan fisik, testis terlihat membengkak sebab  obstruksi aliran darah vena. Posisi testis asimetris dengan testis torsio lebih tinggi dibandingkan  testis kontralateral (high riding testicle). Palpasi testis menandakan  testis normal berada pada posisi vertikal. Funikulus spermatikus testis torsio teraba 
membesar dan nyeri. Pemeriksaan refleks kremaster menurun atau negatif  pada testis torsio , Tanda dari Prehn  terbukti non menonjol  dan non diagnosa   untuk membedakan torsio testis  dan orchitis , Urinalisis membantu identifikasi piuria dan bakteriuria. pemakaian  ultrasonografi doppler bisa  membantu menganalisa  ada 
tidaknya aliran darah pada testis .
Terapi bedah identik pada torsio testis intravaginal dan ekstravaginal. Bila testis sudah nekrosis maka dilakukan orchidectomy dan orchidopexy pada sisi testis kontralateral. Bila petunjuk  nekrosis meragukan, maka testis bisa  diletakkan pada kasa hangat dan dilakukan evaluasi perubahan warna-turgor. 
Perubahan warna lebih cerah dan hangat menandakan testis masih viabel. Testis non nekrosis bisa  dilakukan fiksasi di tiga tempat dengan benang yang tidak diserap. Beberapa kita  menyarankan  penempatan testis di 
kantong subdartos untuk memfiksasi testis 
Torsio testis bisa  memicu  nekrosis dan pembentukan antibodi  antisperma  Testis yang mengalami torsio di bawah 6 jam, biasanya  masih baik dan bisa  diselamatkan. namun  , bila torsio  terjadi lebih dari 12 jam, maka testis sudah mengalami nekrosis dan perlu 
dilakukan orchidectomy. Testis nekrosis yang tidak dilakukan orchidectomy  memicu  nyeri testis kronis 
Intravaginal
Tipe ini terjadi sebab  testis dan epididemis dengan mudah bergerak di dalam tunika vaginalis dan terpluntir di funikulus spermatikus. ini  bisa  terjadi sebab  ikatan yang tidak normal funikulus spermatikus dan testis, sehingga testis bisa  berputar atau terpluntir dalam skrotum. Faktor 
risiko meningkat pada deformitas bell-clapper. Deformitas ini dipicu  oleh kegagalan melekatnya testis-epididemis pada dinding skrotum dan  ditandai dengan posisi testis yang horizontal. Torsio testis intravaginal biasanya  
terjadi pada usia muda, namun  bisa  terjadi pada anak-anak sampai dewasa .
Ekstravaginal�
Tipe ini bisa  diderita oleh janin atau bayi baru lahir (neonatus). Tipe ini  terjadi oleh sebab  kurangnya fiksasi gubernakulum dan tunika testis pada  dinding skrotum, sehingga memungkinkan testis, funikulus spermatikus, 
dan tunika vaginalis terpluntir sampai setinggi internal inguinal ring. Faktor  risiko meningkat pada penyakit kriptoskismus ,


Epididimitis yaitu  suatu proses inflamasi atau keradangan yang  mengenai epididimis. Epididimitis akut yaitu  inflamasi epididimis yang terjadi mendadak, biasanya mengenai salah satu sisi atau unilateral dan sering  terjadi pada usia dewasa muda dengan aktivitas seksual yang aktif 
Epidemiologi : Di kanada  1 di antara 100000 laki-laki yang datang berobat ke poli urologi, didiagnosa  dengan epididimitis  ini  yaitu  kondisi yang bumum dengan insiden berkisar  3  peristiwa  per 100.000 lakilaki  dewasa 
Patogenesis Epididimitis akut biasanya akibat dari penyebaran infeksi buli-buli,  uretra, atau prostat lewat duktus ejakulatorius dan vas deferens menuju  epididimis. Pada bayi dan anak kecil, epididimitis sering berkaitan  
dengan infeksi saluran kemih (ISK) atau adanya penyakit kelainan anatomi  genitourinari yang mendasari pemicu  bakteri perlu dicurigai, kebanyakan episode epididimitis pada usia prepubertal yaitu   akibat sekunder sebab  post infeksi virus . Mumps  orchi-epididimitis harus dicurigai bila ada   gejala prodromal virus dan 
pembesaran kelenjar saliva. Bakteri yang sering menginfeksi pada anak usia prepubertal yaitu  Escherichia coli, pada Chlamydia trachomatis bisa  dicurigai pada seks aktif , Untuk laki-laki dengan usia  di bawah 35 tahun dengan seks aktif dengan wanita, mikroorganisme 
yang paling sering memicu  epididimitis yaitu  N. Gonorrhoeae dan C. trachomatis  Pada pasien yang lebih tua, pemicu  yang paling  sering yaitu  BPH, stasis urin, kateterisasi, dan ISK ,
diagnosa 
Pada epididimis akut proses inflamasi dan pembengkakan   dimulai pada bagian ekor atau tail yang kemudian menyebar keseluruh epididimis dan jaringan testis. Funikulus spermatikus harus dievaluasi untuk 
adanya proses inflamasi. Perlu dicurigai pada anak-anak dengan nyeri skrotum akut, onset yang tidak jelas, dan biasanya diikuti dengan gejala berkemih dan  
pembengkakan skrotum yang progresif. Berbeda dengan torsio testis, reflex chremasteric biasanya menandakan  intak dan prehn’s sign masih positif , Torsio testis yaitu  diagnosa  banding yang paling 
penting untuk disingkirkan  Pemeriksaan fisik menandakan  edema hemiskrotum eritematosa ,  nyeri pada area   epididimis. Dari banyaknya peristiwa , biasanya testis juga terkena proses inflamasi 
dan dinamakan  epididymo-orchitis , Pemeriksaan fisik yang dilakukan segera sesudah  penderita menjalani pemeriksaan urinalisis, uretritis, dan uretral discharge bisa  tidak ditemukan sebab  leukosit dan bakteri yang 
ada sudah  keluar bersamaan dengan pasien miksi.
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan yaitu  pengecatan  Gram pada swab uretra dan spesimen urin tengah. Jika hasil pemeriksaan  ditemukan bakteri diplokokus Gram-negatif intraseluler, maka infeksi 
disebab kan N. Gonorrhoeae. Jika hasil pemeriksaan ditemukan leukosit tanpa ditambah  bakteri, maka 2/3 peristiwa  bisa  dipicu  oleh bakteri C. trachomatis. 
Selain itu, pemeriksaan kultur sekaligus tes kepekaan kuman swab uretral dan specimen urin tengah juga perlu untuk dilakukan  ,Pada  peristiwa  penularan penyakit sekual, perlu dilakukan pemeriksaan Nucleic Acid 
Amplification Test (NAAT) pada urin tamping pertama , Pada pasien usia bayi dan anak-anak perlu dilakukan 
evaluasi lebih lanjut seperi USG perut , voiding cystourethrography, dan  bila perlu sistoskopi , USG Doppler harus dilakukan, biasanya menandakan  epididimis hiperemi dan membesar, penebalan 
dinding skrotum, naiknya  atau normalnya aliran menuju testis  MRI bisa  dipakai  sebagai modalitas sekunder ,
pengobatan 
Pada pasien yang dicurigai adanya penyakit menular seksual, perlu diinformasikan mengenai risiko dan disarankan  untuk tidak berkaitan  seks hingga bebas infeksi. pengendalian  dari epididimitis akut tergantung dari  organisme pemicu nya. Antibiotik dipilih berdasar  bukti empiris dimana  pada usia muda dan seksual aktif maka organisme yang sering memicu  yaitu  C. trachomatis. Antibiotik golongan fluoroquinolon seperti ofloxacin dan  levofloxacin menjadi pilihan dan bisa diteruskan  dengan doxycycline 200  mg/hari selama 2 minggu. Azithromycin bisa  diberikan sebagai pengganti 
Doxycyclin . Antibiotik golongan makrolid bisa  menjadi pilihan lain  
pilihan. Pada beberapa peristiwa  tidak perlu diberikan antibiotik, namun bila  urinalisis ada   bakteri, maka harus diberikan antibiotik tanggap    klinis terapi harus diperiksa ulang sesudah  tiga hari. Tindakan 
pendukung  berwujud  tirah baring, elevasi testis, dan skrotum dengan celana ketat dan  pemberian obat-obat anti inflamasi.Algoritma diagnosa   dan terapi pada lakilaki  dewasa dengan epididimitis akut. 
Komplikasi
Abses pada area  skrotum yang dipicu  sebab  epididimo-orkitis memerlukan  tindakan pembedahan 
Epididimitis 
yang berlangsung lama pada usia dewasa muda bisa  memicu  oklusi total pada duktus epididimis yang kemudian memicu  infertilitas.  penelitian   menemukan komplikasi terganggunya parameter semen 
salam epididimitis, namun membaik saat diberikan terapi yang kuat  . Epididimitis kronis bisa yaitu  sebuah manifestasi klinis dari tuberkulosa urogenital.
Prognosis
Gejala membaik sesudah  1 - 3 hari dengan edukasi yang baik, pemberian  antibiotik, NSAID dan elevasi skrotum 


Fournier’s gangrene yaitu  polimikrobial fascitiis nekrotikan di .area  perineum dan genitalia lakilaki . Penyakit ini bisa  berkembang menjadi infeksi jaringan lunak yang fulminan yang menyebar secara cepat sepanjang fascia, yang memicu  nekrosis kulit, jaringan 
lunak subkutan, dan fascia yang dikaitkan  dengan sepsis sistemik. Jika penyakit ini tidak didiagnosa  dengan cepat dan diterapi yang cepat , maka 
akan terjadi morbiditas dengan waktu perawatan yang lama dan bahkan bisa  terjadi kematian .Pada tahun 1764, Baurienne mengartikan  gangrene yang fulminan 
pada perineum lakilaki . walau  Jean Alfred Fournier, seorang yang   ahli dermatologi  dan venereologi yang kemudian  terkenal sebab  penyakit ini, yang mana pada tahun 1883, beliau menunjukan  5 peristiwa  gangrene di area  genitalia pada 5 lakilaki  muda, yang terjadi tanpa faktor pemicu  yang jelas.
Fournier’s gangrene bisa  mengenai lakilaki  dan wanita dengan angka kejadian pada lakilaki  10 kali lebih banyak dibandingkan pada wanita. Insiden yang rendah pada wanita sebab  drainage yang lebih baik dibandingkan  regio perineal melalui sekret vagina pada wanita. lakilaki  yang berkaitan  seks dengan sesama jenis berisiko  yang paling tinggi, khususnya infeksi yang dipicu  oleh community-associated Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) ,
Alkoholisme kronis, malnutrisi, sirosis hati, hygiene personal yang  buruk dan pengabaian diri sering ditemukan pada  pasien degan Fournier’s gangrene , Kondisi lain yang memicu  penurunan imunitas 
yang bisa  menjadi predisposisi pada  perkembangan Fournier’s gangrene  termasuk di antaranya yaitu  pemakaian  steroid dalam jangka waktu lama, 
transplantasi organ, kemoterapi pada keganasan seperti leukemia, juga infeksi HIV , Meningkatnya kejadian  HIV seiring dengan naiknya  peristiwa   Fournier’s gangrene, khususnya di Afrika. petunjuk  Fournier’s gangrene  mungkin yaitu  presentasi pertama pada pasien dengan infeksi HIV ,Faktor risiko termasuk nilai CD4 di bawah 400, kemoterapi pada  sarkoma Kaposi, dan akses femoral pada pemakaian obat intravena. Pasien 
HIV-positif dengan Fournier’s gangrene tampak pada penderita usia muda dan  memiliki spektrum bakteri pemicu  infeksi yang lebih luas ,Patogenesis Fournier’s gangrene ditandai adanya infeksi polimikrobial 
aerobik dan anaerobik yang diikuti trombosis vaskular dan nekrosis jaringan, diperburuk oleh pertahanan badan  yang buruk akibat satu atau lebih gangguan 
sistemik yang mendasarinya. Organisme aerobik yang menimbulkan koagulasi intravaskular dengan menurunkan  agregasi trombosit dan komplemen 
fiksasi, sedang  organisme anaerobik menciptakan  heparinase. Trombosis  vaskular memicu  nekrosis jaringan dan menurunkan clearance metabolit 
bakterial toksik, yang diikuti dengan proliferasi bakteri anaerob ,Jaringan yang hipoksik memicu  terbentuknya oksigen radikal  bebas (superoxide anions, hydrogen peroxide, radical hydroxil), yang berperan dalam patogenesis. dampak  dari radikal bebas termasuk disrupsi  membran sel yang memicu  kematian sel, menurunkan produksi  ATP yang memicu  penurunan penghantaran energi, dan kerusakan  DNA yang akan menimbulkan penurunan produksi protein ,
Organisme anaerob mensekresi beberapa  enzim dan toksin. Lecithinase,  collagenase, dan hyaluronidase memicu  dicernanya lapisan fascia,. Enzim-enzim itu  menciptakan  hidrogen dan nitrogen insoluble (tak larut dalam air), yang memicu  terbentuknya gas di dalam 
jaringan subkutan, yang secara klinis teraba sebagai krepitasi. Bakteri aerobik  menciptakan  CO2 yang larut dalam air dan jarang menimbulkan akumulasi 
gas subkutan. Endotoksin dilepaskan dari dinding sel bakteri Gram-negatif. Aktivasi makrofag dan aktivasi komplemen kemudian  diikuti pelepasan  sitokin pro-inflamatory dan menjadi dasar munculnya  syok septik 
Tergantung pada asal infeksi, jalur penyebaran bisa  dijelaskan dengan  referensi anatomis dari fascia dan perlekatannya. Infeksi yang berasal dari sebab urogenital, seperti pada pasien dengan striktur uretra dan infeksi 
saluran kemih yang memicu  muncul  nya abses parauretral, akan  menyebar dari corpus spongiosum dengan menembus tunica albuginea dan fascia Buck’s dan akan menyebar di bawah fascia Dartos dan fascia Colles  menuju ke fascia Scarpa, yang kemudian akan menyebar ke dinding perut   anterior. Infeksi yang berasal dari anorektal, contoh  abses ischiorektal, akan 
menyebar dari jaringan perirektal menuju ke fascia Colles. sebab  fascia Colles  berfenestra, memicu  infeksi menyebar dari area perirektal ke fascia  Dartos dari skrotum dan penis, dan dari bagian ini infeksi bisa  menyebar  ke fascia Scarpa dan dinding perut  anterior. sebab  fascia Colles berakhir  di membrana perineal, maka infeksi dari segitiga anterior perineum yang  berisi uretra bulbaris dan skrotum, tidak bisa  menyebar ke area perirektal, namun  sebab  fascia Colles berlubang-lubang, hal yang sebaliknya mungkin terjadi, contoh  infeksi segitiga posterior mungkin sering menyebar ke segitiga 
anterior dan kemudian menyebar ke dinding perut  anterior. Sehingga,  penting untuk mencoba melokalisasi asal dari infeksi awal. Infeksi  retroperitoneal, seperti abses perinefrik dan abses psoas, bisa  menyebar 
sepanjang canalis inguinalis dan fascia spermatica, yang berkaitan  dengan fascia Colles di sebelah dalam dari otot bulbocavernosa. Infeksi retroperitoneal  sebaiknya  dipertimbangkan sebagai pemicu  Fournier’s gangrene jika sumber  infeksi yang tampak jelas tidak ditemukan 
Diabetes melitus yaitu  penyakit sistemik yang  sering  dikaitkan  dengan penyakit ini, yang diderita oleh dua pertiga pasien dengan Fournier’s gangrene. Pasien dlebih tinggi pada  infeksi saluran kemih, akibat sistopati dengan stasis urin   Hiperglikemia menurunkan imunitas seluler dengan  menurunkan fungsi fagositik, yang memperlambat kemotaksis darilekosit  menuju area  yang mengalami inflamasi, adhesi neutrofil, dan destruksi 
oksidatif intraseluler dari patogen. Penyembuhan luka juga akan terlambat  akibat epitelialisasi yang tak sempurna dan deposisi kolagen  Sebagian pasien dengan hiperglikemia  dan diabetes juga memiliki penyakit mikrovaskular yang berpengaruh  secara penting  pada  patogenesis penyakit ini. walau  diabetes  melitus meningkatkan risiko perkembangan Fournier’s gangrene, namun  tidak meningkatkan angka kematian 
Epidemiologi
  keadaan ini meningkat seiring waktu, dan tampak 
jelas bahwa Fournier’s gangrene terjadi paling sering pada lakilaki  usia tua (dengan puncak insiden pada dekade kelima dan keenam) dan sebagian besar peristiwa  
memiliki sebab yang tidak teridentifikasi. Pada beberapa literatur lain dinamakan kan puncak usia terbanyak ditemukan pada usia antara 31 - 65 tahun,  dan 50 peristiwa  pediatrik dengan 69% terjadi pada bayi usia kurang dari 3 bulan ,Untungnya, kondisi ini yaitu  hal yang jarang terjadi, dengan  insiden yang dikabarkan  sebesar 1/19.500 dan hanya  antara 1 - 3%  dari pasien urologi yang dirawat inap  90 peristiwa  per tahun yang dikabarkan  sepanjang tahun 1980 - 1999. walau  
demikian, insidennya meningkat, sebagian besar tampaknya akibat  meningkatnya usia harapan hidup rata-rata pada populasi penduduk, seperti 
naiknya  jumlah pasien dengan terapi immunosupresif ,
Angka kematian   sekitar  5 %. Faktor yang berkaitan  
dengan tingginya mortalitas yaitu  sumber infeksi anorektal, usia tua, gagal ginjal, disfungsi,  hepar,penyakit yang meluas, (menyebar ke dinding perut  dan femoral), syok sepsis, Kematian  akibat penyakit sistemik seperti kegagalan multi organ ,sepsis, koagulopati, gagal ginjal akut, diabetik ketoasidosis, 
Pengetahuan mengenai anatomi area  perineum, urogenital, dan perut  bagian bawah  penting untuk dipahami pemicu  dan patogenesisnya  dari infeksi fulminan ini. Kemungkinan pemicu  Fournier’s gangrene tertera di tabel ,walau  Fournier’s gangrene terutama   mengenai lakilaki  usia tua, namun  bisa  juga mengenai semua usia , dan hampir sekitar 10% peristiwa  terjadi pada wanita . pemicu  khusus pada wanita  termasuk blok nervus pudendus atau episiotomi pada persalinan pervaginam, aborsi septik, histerektomi, dan abses vulva, dan  Bartholin ,faktor  pemicu  penyakit ini  harus dicari secara aktif, sebab  ini  menentukan pengobatan  dan prognosisnya Pada peristiwa  yang tampaknya idiopatik, pemicu nya mungkin tertutupi  oleh proses nekrosis penyakit ini.Setiap proses yang virulen, infeksi sinergis yang mencapai akses ke jaringan subkutan dari perineum bisa  yaitu  sumber pemicu  infeksi. pemicu  infeksi bisa  berasal dari urogenital, anorektal, kutaneus 
atau retroperitoneal. area  urogenital yang paling sering menjadi pemicu , yang mana striktur uretra yaitu  pemicu  pertama ,

medis bedah 1 medis bedah    1 Reviewed by bayi on Mei 20, 2022 Rating: 5

About

LINK VIDEO