SARAF
Sistem saraf otonom (ANS/ autonomic nervous system) berperan dalam kegiatan involunter badan (yang diantaranya meliputi homeostasis termoregulasi,
kardiovaskular, gastrointestinal). ANS terbagi kedalam 2 cabang utama, yaitu sistem saraf simpatetik (SNS/ sympathetic nervous system), yang mengendalikan tanggapan fight or flight , dan sistem saraf parasimpatetik (PNS/ parasympatethic nervous system), yang bekerja mengawasi fungsi pemeliharaan badan , yang diantaranya meliputi fungsi pencernaan dan sistem genitourinari. kegiatan SNS dan PNS penting untuk fungsi kehidupan kita . keadaan penyakit maupun stres akibat tindakan operasi keduanya bisa memicu terjadinya perubahan pada ANS, bahkan bisa memicu dampak yang berbahaya bagi badan .maka selama penanganan anestetik yaitu untuk merekayasa tanggapan otonom normal badan agar supaya bisa menjaga
pasien tetap dalam keadaan aman. anestesi saat ini tampak memiliki banyak obat farmakologis yang bisa merubah kegiatan otonom; namun untuk memakai obat ini, harus menelusuri pengertian lebih jauh bagaimana ilmu mengenai anatomi dan fisiologi sistem saraf otonom.
Sistem Saraf Simpatetik ,Serabut preganglionik SNS berasal dari area torakolumbalis spinalis Badan
sel neuron ini tampak terletak pada materi abu-abu (gray matter) tulang belakang, dan serabut saraf memanjang ke ganglia berpasangan di sepanjang rantai simpatik, mengarah langsung secara lateral ke kolumna vertebral, atau ke pleksus distal yang tidak berpasangan (contohnya:Pleksus celiaca atau pleksus mesenterik). Serabut simpatetik preganglionik tidak
hanya bersinapsis pada ganglion di tingkat asalnya pada korda spinalis, namun juga bisa menaiki dan menuruni ganglia berpasangan sehingga muncul tanggapan simpatetik yang tidak hanya terbatas pada satu segmen saja. Neuron sesudah ganglionik SNS lalu mengarah ke organ target. maka serabut praganglion simpatetik biasanya secara relatif pendek,
ini sebab ganglia simpatetik biasanya berposisi dekat dengan sistem saraf pusat (SSP), dan serabut sesudah ganglionik memanjang sebelum menginervasi organ efektor
Representasi skematis sistem saraf otonom yang menunjukan inervasi fungsional organ efektor tepi dan asal anatomik saraf otonom tepi dari tulang belakang.
Pada foto sebelah kanan, ditampilkan inervasi persarafan simpatetik dari paravertebral ke
organ efektor . Pada foto sebelah kiri, ditampilkan invervasi persarafan parasimpatetik dari paravertebral ke organ efektor .Angka romawi pada saraf yang berasal dari area tektum batang otak yaitu mengacu pada saraf-saraf kranial yang memberi aliran parasimpatetik ke organ efektor kepala, leher, dan trunkus/ batang badan .
Serabut praganglionik dan serabut sesudah ganglionik dari sistem saraf parasimpatetik melepaskan asetilkolin (ACh) sebagai neurotransmiter. sedang untuk sistem saraf simpatetik, neurotransmitter yang dilepaskan diujung terminal preganglionik dari sistem saraf simpatetik yaitu asetilkolin (ACh), dan neurotransmitter yang dilepas di serabut sesudah ganglionik yaitu norepinefrin (NE) (kecuali serabut sesudah ganglionik untuk kelenjar keringat, yang melepaskan ACh).
Norepinefrin yaitu neurotransmiter utama yang dilepaskan di ujung terminal neuron sesudah ganglionik pada sinaps dengan organ target Neurotransmiter sistem saraf pusat primer lainnya yaitu meliputi epinefrin dan dopamin. Selain itu, kotransmiter, seperti adenosin trifosfat (ATP) dan neuropeptida Y juga bisa memodulasi kegiatan simpatetik. Norepinefrin dan epinefrin bisa mengikat secara pascasinaptik dengan reseptor adrenergik,
yang meliputi reseptor α1-, β1-, β2-, dan β3. saat norepinefrin berikatan dengan reseptor α2, yang berlokasi secara prasinapstik pada terminal simpatetik sesudah ganglionik , pelepasan norepinefrin berikutnya pun menurun (umpan balik negatif). Dopamin (D) berikatan dengan reseptor D1 secara pascasinaptik atau dengan reseptor-reseptor D2 secara prasinaptik.
Neurotransmitter simpatetik disintesis dari tirosin pada ujung saraf simpatetik sesudah ganglionik
Langkah pembatas laju yaitu transformasi tirosin menjadi dihidroksifenilalanin (DOPA), yang dikatalisis oleh enzim tirosin hidroksilase. DOPA lalu dikonversi menjadi dopamine, lalu saat sudah masuk ke vesikel penyimpanan pada terminal saraf, maka oleh beta-hidroksilasi akan dikonversi menjadi norepinefrin. Pada medula adrenal, norepinefrin dimetilasi menjadi epinefrin. Neurotransmiter disimpan pada vesikula
sampai saraf sesudah ganglionik terstimulasi. lalu vesikula menyatu dengan membran sel dan melepaskan kandungannya ke dalam sinaps .
biasanya , 1% dari total norepinefrin yang disimpan akan dilepaskan dengan tiap depolarisasi, sehingga akan ada banyak cadangan fungsional. Norepinefrin lalu berikatan dengan reseptor adrenergik prasinaps dan pascasinaps. Reseptor pascasinaptik lalu mengaktifkan sistem ‘post mesengger’ melalui kegiatan yang berkaitan dengan protein G. sesudah norepinefrin dilepaskan dari reseptor, sebagian besar norepinefrin akan secara aktif diambil kembali (reuptake) di terminal saraf prasinaptik dan diangkut ke vesikula penyimpanan. Norepinefrin yang lolos dari
proses reuptake (penyerapan kembali) dan masuk ke sirkulasi akan termetabolisasi baik oleh enzim monoamine oksidase (MAO) atau enzim catechol-O-methyltransferase (COMT) di dalam darah, liver, atau ginjal.
parasympatethic nervous system muncul dari saraf kranial III, VII, IX, X, dan dari segmen sakrum ,Tidak seperti ganglia SNS, ganglia parasympatethic nervous system berlokasi di dekat organ target nya (atau
bahkan di dalam organ itu ) . Seperti halnya sympathetic nervous system, terminal saraf praganglionik bisa melepaskan ACh ke dalam sinaps, dan sel postganglionik akan mengikat
ACh melalui reseptor nikotinik. Terminal saraf sesudah ganglionik lalu akan melepaskan ACh ke dalam sinapsis yang dimiliki oleh sel organ target. Reseptor ACh pada organ target yaitu reseptor muskarinik. Seperti halnya reseptor adrenergik, reseptor muskarinik bergabung dengan protein G dan sistem kurir kedua. ACh pun secara cepat dinonaktifkan di dalam sinaps
oleh enzim cholinesterase. Pengaruh reseptor kolinergik dan adrenergik penstimulan di seluruh badan ditunjukkan pada Tabel
aad = L-amino dekarboksilase aromatik; DβH: dopamin β-hidroksilase; dopa, L-dihidroksifenialanin; NE, norepinefrin; tyr hyd: tirosin hidroksilase; tanda lingkaran tebal/utuh: pembawa aktif.
Norepinefrin, yaitu satu neurotransmiter adrenergik primer yang bisa berikatan dengan reseptor α dan β. Norepinefrin utamanya dipakai untuk meningkatkan resistensi vaskular sistemik melalui dampak α1-adrenergik nya. Seperti semua katekolamin endogen, waktu paruh yang dimiliki norepinefrin sangat pendek (2,5 menit), sehingga neorepinefrin biasanya
diberi melalui infus terusmenerus dengan laju 3 mg/menit atau lebih dan dititrasi untuk mencapai dampak yang diinginkan. Peningkatan resistensi sistemik tampak bisa memicu reflex bradikardi. Selain itu, sebab norepinefrin bisa membatasi sirkulasi paru-paru, ginjal, dan mesenterik, maka pemberiannya melalui infus haruslah terus dipantau untuk mencegah terjadinya organ injury. Infus norepinefrin yang berkepanjangan juga bisa memicu iskemia pada jari jari tangan sebab sifatnya yang yaitu vasokonstriktor perifer.
Seperti halnya norepinefrin, epinefrin juga bisa berikatan dengan reseptor α- dan β- adrenergik. Epinefrin eksogen bisa diberi melalui intravena pada pasien yang berada dalam keadaan gawat darurat yang mengancam jiwanya untuk menangani keadaan henti jantung, kolaps sirkulasi, dan anafilaksis. Senyawa ini juga biasa dipakai secara lokal untuk
mengurangi penyebaran anestesi lokal dan untuk mengurangi laju kehilangan darah sebab tindakan operasi. Beberapa dampak terapeutik yang dimiliki epinefrin diantaranya yaitu inotropi positif, kronotropi, dan peningkatan konduksi pada jantung (β1); relaksasi otot polos pada pembuluh darah dan bronkial (β2); dan vasokonstriksi (α1). dampak yang bersifat mendominasi sangatlah tergantung pada dosis epinefrin yang diberi . Epinefrin juga berdampak endokrin dan metabolik yang bisa meningkatkan kadar glukosa darah, laktat, free fatty acid.
Dosis intravena 1,0 mg bisa diberi untuk penanganan kolaps kardiovaskular, asistol, fibrilasi ventrikel, disosiasi elektromekanis, atau syok anafilaksis untuk mengkonstriksi (menyempitkan) pembuluh darah tepi dan mempertahankan perfusi miokardium dan serebral. Pada keadaan yang bersifat tidak terlalu akut, epinefrin bisa diberi melalui infusi terusmenerus . tanggapan masing-masing pasien terhadap epinefrin sangat beragam, sehingga infus harus dititrasi untuk memberi pengaruh , dan pasien pun harus terus dipantau untuk mengetahui muncul tidaknya gejala gangguan pada ginjal, otak, atau perfusi miokardium. biasanya , laju infusi 1 hingga 2 mg/menit haruslah bisa harus merangsang reseptor β2
dan menurunkan resistensi saluran pernafasan dan tonus pembuluh darah. Laju 2 hingga 10 mg/menit bisa meningkatkan laju denyut jantung, kontraktilitas, dan konduksi melalui .nodus artrioventrikular. Pada dosis yang lebih tinggi dari 10 mg/menit, dampak α1-adrenergik akan mendominasi, dan vasokonstriksi umum yang dihasilkan bisa memicu refleks
bradikardia.
Epinefrin juga bisa diberi dalam bentuk aerosol untuk menangani edema saluran pernafasan. Bronkospasme bisa ditangani epinefrin yang diberi secara subkutan dalam dosis 300 mg setiap 20 menit dengan maksimum tiga dosis. pemakaian epinefrin bisa menangani bronkospasme, melalui dampak langsungnya sebagai bronkodilator, dan sebab
senyawa ini bisa mengurangi pelepasan zat bronkospastik yang diinduksi antigen (seperti
yang terjadi selama anafilaksis) dengan menstabilkan sel-sel mastosit yang melepaskan zat-zat ini. sebab epinefrin bisa mengurangi periode refrakter miokardium, maka risiko aritmia selama anestesi halotan bisa meningkat saat epinefrin diberi . Risiko aritmia tampaknya yaitu lebih rendah pada anak-anak, namun bisa meningkat jika terjadi hipokapnia.
Selain bisa mengikat ke reseptor α dan β, dopamin juga bisa berikatan dengan reseptor dopaminergik. Selain dampak langsungnya, dopamin bisa beraksi secara tidak langsung melalui penstimulasian pelepasan norepinefrin dari vesikula penyimpanan. Dopamin memiliki .keunikan atas kemampuannya untuk meningkatkan aliran darah melalui ginjal dan mesenterik pada keadaan yang mirip renjat dengan mengikat ke reseptor D1 postjungsional. Dopamin secara cepat dimetabolisme oleh MAO dan COMT, dan dopamin tampak memiliki waktu paruh 1 menit, sehingga dopamin harus diberi melalui infus terusmenerus . Pada dosis antara 0,5 dan 2,0 mg/kg/menit, reseptor D1 terstimulasi dan jaringan pembuluh ginjal dan mesenterik menjadi terdilatasi. saat infus ditingkatkan menjadi 2 sampai 10 mg/kg/menit,
reseptor β1 akan terstimulasi, dan ini pun akan meningkatkan kontraktilitas dan curah jantung. Pada dosis ≥ 10 mg/kg/menit, pengikatan reseptor α1 pun mendominasi, dan ini ditandai dengan konstriksi vaskulatur yang menurunkan manfaat dari perfusi ginjal.
dahulu , dopamin sering dipakai untuk menangani pasien penderita syok. Konsep dasarnya yaitu bahwa penginfusian dopamin - melalui peningkatan aliran darah ginjal - dianggap bisa melindungi ginjal dan membantu diuresis. Namun, sudah menemukan bahwa dopamin tidak berdampak menguntungkan bagi fungsi ginjal pada keadaan syok, dan pemakaian rutinnya bagi pasien penderita syok pun kembali
diperdebatkan.
Isoproterenol (Isuprel) bisa memicu stimulasi β-adrenergik non selektif dan murni. Stimulasi β1-adrenergik nya yaitu lebih tinggi dari dampak β2-adrenergiknya. Popularitas senyawa ini pun menurun sebab tampak bahwa isoproterenol bisa memicu berbagai efeksamping , yang diantaranya meliputi takikardia dan aritmia. Zat ini sudah tidak menjadi
bagian di dalam protokol Dukungan Hidup Jantung Lanjut , dan sekarang zat ini dipakai sebagai senyawa kronotropik bagi mereka yang memperoleh transplantasi jantung. sebab isoproterenol tidak masuk ke ujung-ujung saraf adrenergik, maka waktu paruhnya yaitu lebih lama dibandingkan katekolamin endogen.
Dobutamin, yang merupakan suatu analog sintetis dopamine yang tampak berdampak β1-adrenergik. Jika dibandingkan dengan isoproterenol, dampak inotropi tampak lebih dominan dibandingkan kronotropi. Dobutamin bisa memunculkan dampak tipe β2 yang lebih rendah dibandingkan dengan isoproterenol, dan juga dampak tipe α1 yang lebih rendah dibandingkan dengan norepinefrin. Dobutamin secara khusus bermanfaat bagi pasien penderita gagal jantung kongestif (CHF/congestive heart failure) atau infark miokardium yang diperburuk dengan rendahnya curah jantung. sebab dobutamin bisa secara langsung menstimulasi reseptor-β1, maka dopamin tidak tergantung pada simpanan norepinefrin endogen untuk
pengaruhnya, dan akan masih bermanfaat pada keadaan yang mana pasien kekurangan katekolamin,
seperti contohnya pada masalah pengidapan gagal jantung kongestif kronis. Penanganan berkepanjangan dengan dobutamin tampak bisa memicu penurunan regulasi reseptor-β sesudah 3 hari. Untuk pemberian dosis yang lebih rendah dibandingkan 20 mg/kg/menit biasanya tidak akan memicu takikardia
Fenoldopam merupakan satu agonis D1 selektif dan vasodilator yang kuat yang bisa meningkatkan aliran darah ginjal dan diuresis. sebab riset klinis yang sudah
dilakukan menghasilkan temuan beragam hasil beragam , maka fenoldopam sudah tidak lagi dipakai untuk penanganan hipertensi kronis atau gagal jantung kongestif. Sebagai gantinya, fenoldopam intravena, dengan laju infusi 0,1 sampai 0,8 mg/kg/menit, sudah disetujui untuk diterapkan di dalam penanganan hipertensi parah. Fenoldopam bisa menjadi
pengganti natrium nitroprusida dengan tingkat efeksamping yang lebih rendah (contohnya:
pasien tidak akan mengalami toksisitas tiosianat, dampak rebound, atau sindrom curi koroner), dan
sekaligus bisa meningkatkan fungsi ginjal. dampak puncak dari zat ini akan memakan waktu 15 .menit.
Amina Simpatomimetik Non-katekolamina
Hampir dari seluruh amina simpatomimetik non-katekolamin beraksi pada reseptor α dan β melalui aktifitas langsung (pengikatan obat oleh reseptor adrenergik) maupun tidak langsung (pelepasan simpanan norepinefrin endogen). Mefentermin dan metaraminol tampak sudah jarang dipakai lagi, sehingga amina simpatomimetik non-katekolamin yang biasa dipakai saat ini yaitu efedrin.
Efedrin bisa meningkatkan tekanan darah arteri dan berdampak inotropik positif. sebab tidak berdampak yang merugikan pada aliran darah uterus (pada model binatang percobaan ), maka efedrin menjadi sering dipakai sebagai presor pada pasien hamil yang menderita tekanan darah rendah. namun fenilefrin lebih banyak dipilih sebab kemampuannya .untuk menurunkan tingkat risiko akan asidosis janin , Sebagai
akibat dari dampak stimulasi β1-adrenergik, efedrin tampak sangat membantu di dalam menangani hipotensi dengan tingkat keparahan sedang, terutama jika keadaan itu ditambah dengan bradikardia. Dosis efedrin yang biasa diberi yaitu 2,5 sampai 25 mg via intravena atau 25 sampai 50 mg yang diberi secara intramuskular.Takifilaksis merupakan dampak
samping tidak langsung dari efedrin bisa terjadi jika simpanan norepinefrin berkurang atau habis. Selain itu, walaupun obat dengan kegiatan tak-langsung banyak dipakai sebagai terapi lini pertama untuk penanganan hipotensi intraoperatif, riset epidemiologis (yang membahas mengenai efeksamping selama anestesi) menunjukkan bahwa ketergantungan pada efedrin di dalam keadaan gawat darurat bisa menimbulkan
kematian (morbiditas).
Agonist reseptor α-Adrenergik selektif
Agonis α1-Adrenergik
Fenilefrin (Neo-Sinefrin), merupakan α1-agonis selektif yang sering dipakai untuk vasokonstriksi tepi saat curah jantung mencukupi (contoh pada masalah hipotensi sesudah pemakaian anestesi spinal). Zat ini juga bisa dipakai untuk mempertahankan beban-hilir
pada pasien dengan stenosis aorta yang perfusi koronernya terganggu sebab penurunan resistensi vaskular sistemik. saat diberi secara intravena, fenilefrin memiliki onset yang cepat dengan durasi aksi yang relatif singkat (5 hingga 10 menit). Zat ini bisa diberi sebagai bolus 40 sampai 100 mg atau sebagai infus dengan laju 10 sampai 20 mg/menit. Fenilefrin dengan dosis sampai 1 mg bisa memperlambat takikardia supraventrikular .melalui aksi refleks nya. Fenilefrin juga bisa berperan sebagai dekongestan hidung. Jika dipakai secara topikal, baik sebagai terapi tunggal atau terapi yang dikombinasikan dengan
anestesi lokal, fenilefrin bisa dipakai pada lubang hidung sebelum dilakukannya intubasi nasotrakeal.
Agonis α2-Adrenergik
α2-agonis dianggap memiliki arti yang lebih penting untuk dijadikan sebagai analgesik dan tambahan anestetik. dampak utama dari zat ini yaitu bersifat simpatolitik. Zat ini bisa menurunkan pelepasan norepinefrin tepi melalui penstimulasikan reseptor-reseptor α2 penghambatan prajungsional. Secara tradisional, zat ini sudah dipakai sebagai obat anti
hipertensi, namun penerapanya semakin sering dilakukan untuk fungsi sedasi, anti- anxiety (anti cemas), dan analgesik.
Clonidin yaitu obat agonis selektif α2-adrenoreseptor. dampak antihipertensi nya berasal dari atenuasi pusat dan outflow simpatetik. Penghentian pemakaian clonidine tampak bisa memicu terjadinya krisis hipertensi, maka pemberian clonidine harus terus
diteruskan selama periode perioperasi. Clonidine dalam bentuk patch/ koyo transdermal sudah tersedia bagi pasien yang tidak ingin meminumnya. Meskipun data mengenai pemakaian α2-agonis sebagai anestesi tunggal terbatas, namun tampak bahwa obat ini
bisa mengurangi tingkat kebutuhan akan anestesi intravena atau inhalasi lainnya sebagai bagian dari teknik anestesi umum atau regional. pemakaian clonidine, dexmedetomidine, dan mivazerol selama perioperasi tampak bisa menurunkan risiko infarksi miokardium dan tingkat kematian perioperasi pada pasien yang pernah memperoleh tindakan bedah
vaskular.Selain pemakaian nya selama operasi, α2-agonis bisa memberi dampak analgesi yang efektif untuk menangani nyeri akut dan kronis, khususnya sebagai pelengkap anestetik .lokal dan opioid. Clonidine epidural bisa diindikasikan untuk penanganan nyeri yang sulit diatasi, yang mana ini dijadikan dasar atas pemakaian clonidine parenteral di eropa disimpulkan masih menjadi obat langka. Clonidine juga bisa dipakai untuk menangani pasien penderita distrofi reflex simpatetik dan sindrom-sindrom nyeri neuropatik lainnya.
Seperti clonidine, dexmedetomidine bersifat selektif kuat untuk reseptor-α2. Waktu paruh dexmedetomidine yaitu 2,3 jam, dan waktu paruh penyebaranya tidak lebih dari 5 menit, yang mana ini membuat dampak klinisnya sangat singkat. Tidak seperti clonidine,
dexmedetomidine tersedia dalam bentuk cairan intravena. Dosis yang biasa dipakai yaitu infus 0,3 - 0,7 mg/kg/jam baik dengan atau tanpa dosis awal 1 mg/kg yang diberi selama 10 menit.Pada para individu yang sehat, dexmedetomidine bisa meningkatkan risiko sedasi, analgesia, dan amnesia; obat ini bisa mengurangi laju detak jantung dan curah jantung sesuai pada dosis yang dipakai . dampak sedatif dan analgesik dari obat ini dianggap sudah bisa dipakai di dalam praktek klinik. Dampak minor dari sedasi yang terinduksi α2 terhadap fungsi pernafasan - yang dikombinasikan dengan singkat nya durasi aksi
dexmedetomidine -membuat obat ini bisa dipakai untuk intubasi fiberoptik. Infus dexmedetomidine perioperatif di dalam penanganan pasien obesitas penderita Obstructive Sleep Apnea (OSA) tampak bisa meminimalisir tingkat kebutuhan akan narkotik, dan selain itu, pemakaian obat ini juga tampak bisa memberi dampak analgesia yang cukup.
Beberapa efeksamping Penyekatan β-Adrenergik
Bradikardia yang bisa mengancam jiwa, bahkan asistol, bisa terjadi akibat pemakaian penyekatan β, dan penurunan tingkat kontraktilitas tampak bisa memicu gagal jantung kongestif pada pasien penderita gangguan fungsi jantung. Pada pasien pengidap
penyakit paru-paru bronkospastik, β blocker mungkin akan berakibat fatal. Diabetes mellitus yaitu satu bentuk kontraindikasi relatif akibat pemakaian antagonis β-adrenergik jangka panjang, ini sebab akan muncul tanda hipoglikemia (takikardia dan tremor) akibat tidak efektif nya glikogenolisis kompensatori. Untuk menghindari pemburukan keadaan hipertensi, pemakaian β-blocker pada pasien dengan feokhromositoma haruslah dihindari, kecuali
reseptor α sudah diblokir disekat. Overdosis obat penyekat-β bisa ditangani dengan pemakaian atropin, namun isoproterenol, dobutamin, atau glukagon juga mungkin akan diperlukan (bersamaan dengan pemakaian alat pacu jantung) untuk menjaga laju
kontraksi yang cukup memadai.Interaksi obat yang tidak diinginkan akibat pemakaian β- blocker yaitu hal yang mungkin terjadi. Verapamil berkontraindikasi dengan β-blocker, sehingga dokter haruslah seksama saat mengkombinasikan kedua obat ini. Hal serupa,
pengkombinasian dari digoxin dan β-blocker bisa memunculkan efeksamping yang kuat terhadap laju denyut dan konduksi jantung, dan harus dipakai secara bijak dan cermat.
Berbeda dengan banyaknya pilihan obat untuk memanipulasi tanggapan adrenergik, berbeda pilihan obat yang bisa mempengaruhi transmisi kolinergik. Hanya sejumlah kecil obat kolinergik langsung bisa dipakai secara topikal untuk penanganan glaukoma atau untuk pengembalian fungsi gastrointestinal atau fungsi kemih. Beberapa kelas obat yang memiliki relevansi dengan para dokter spesiali anestesiologi yaitu obat antikolinergik (antagonis muskarinik) dan antikolinesterase.
Antagonis muskarinik bisa melawan dengan asetilkolin yang dilepaskan secara saraf untuk akses ke kolinoseptor muskarinik dan untuk menyekat dampak asetilkolin. Akibat dari pemakaian antagonis muskarinik yaitu laju denyut jantung yang cepat, mengantuk, dan mulut kering. Dengan pengecualian senyawa amonium kuaterner yang tidak mudah melintasi sawar darah-otak dan yang tidak terlalu beraksi pada SSP, tampak bahwa tidak ada spesifisitas aksi yang menonjol di antara obat ini; yang mana obat ini bisa menyekat semua
dampak muskarinik dengan tingkat efikasi (kemanjuran) yang sama, walaupun memang ada
beberapa perbedaan kuantitatif pada dampak nya
Atropin dengan struktur tersiernya tampak bisa melewati sawar darah-otak. Dengan demikian, dosis yang tinggi (1 - 2 mg) bisa mempengaruhi sistem saraf pusat. Sebaliknya, sebab struktur kuarterner glikopirrolat obat antimuskarinik sintetik (Robinul), maka obat itu tidak bisa melintasi sawar darah-otak. Glikopirrolat tampak memiliki durasi aksi yang lebih lama jika dibandingkan dengan atropin, .obat ini sudah menggantikan peran atropin untuk memblokir dampak muskarinik yang merugikan (ex:bradikardia) akibat obat antikolinesterase .
. Scopolamine juga bisa melintasi sawar darah-otak bisa mempengaruhi sistem saraf pusat sebab melewati sawar darah otak. Preparasi scopolamine dalam bentuk koyo atau patch bisa dipakai secara profilaktik untuk penanganan mual dan muntah pasca-operasi, namun demikian, hal itu memiliki hubungan dengan kemunculan efeksamping pada organ mata,
kandung kemih, kulit, dan juga bisa memunculkan dampak fisiologis. Gangguan mental (contohnya waham atau delirium) yang bisa muncul sesudah pemakaian atropine atau scopolamine bisa ditangani dengan physostigmine, yaitu satu antikolinesterase yang mampu melintasi sawar darah-otak.
obat antikolinesterase tampak bisa mengganggu inaktivasi asetilkolin oleh enzim kolinesterase, dan bisa menjaga/ memelihara agonisme kolinergik pada reseptor nikotinik dan muskarinik. obat ini dipakai untuk mengembalikan penyekatan neuromuskular
(lihat Bab 12) dan juga untuk menangani keadaan miastenia gravis. efeksamping yang paling menonjol dari pemakaian obat ini yaitu bradikardia. Inhibitor kolinesterase yang biasa dipakai yaitu physostigmine, neostigmine, pyridostigmine, dan edrophonium. Selain bisa membalikkan dampak obat penyekatan neuromuskular melalui peningkatan konsentrasi
asetilkolin pada sambungan neuromuskular, inhibitor kolinesterase tampak bisa merangsang fungsi usus, dan bisa diterapkan (dengan cara topikal/ oles) pada mata sebagai miotik. Satu obat oles (ekhotiofat iodid) tampak bisa secara terbalik mengikat kolinesterase dan bisa mengganggu metabolisme suksinilkolin (sebab antikolinesterase juga bisa mengganggu fungsi enzim pseudokholinesterase).
Propranolol (Inderal, Ipran), yang merupakan β-blocker prototipe, yaitu obat penyekat-β nonselektif. sebab tingkat kelarutan pada lemaknya yang tinggi, obat ini dimetabolisme secara luas pada liver, namun tingkat metabolisme nya sangatlah beragam pada masing-masing pasien. Pembersihan atau klirens obat ini bisa terganggu oleh penyakit liver ataupun perubahan aliran darah pada hati. Propranolol tersedia dalam bentuk intravena, dan awalnya diberi sebagai bolus atau infus. Infus propranolol sebagian besar
sudah digantikan oleh esmolol yang bisa beraksi lebih singkat. Untuk pemberian bolus, dosis 0,1 mg/kg bisa diberi , namun kebanyakan dokter lebih cenderung memulai terapi dengan dosis yang jauh lebih rendah, yaitu 0,25 dan 0,5 mg, yang lalu dititrasi untuk memperoleh dampak nya. Propranolol tampak bisa menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin ke arah kanan, yang mana ini mungkin bisa menjelaskan
kemanjurannya di dalam penanggulangan gangguan-gangguan vasospastik.
Metoprolol (Lopressor), yang merupakan satu penyekat β-adrenergik kardioselektif, disetujui bisa dipakai untuk tatalaksana angina pektoris dan infarkmiokardium akut. Dosis obat yang dipakai pada pasien gagal hati tidak perlu penyesuaian dosis. Dosis oral yang umum untuk obat ini yaitu 100 sampai 200 mg/hari (sekali atau dua kali sehari) untuk menangani
hipertensi, dan dua kali sehari untuk menangani angina pektoris. Dosis intravena 2,5 sampai 5 mg bisa diberi setiap 2 sampai 5 menit, hingga dosis total nya mencapai 15 mg, yang dititrasikan sesuai dengan laju denyut jantung dan tekanan darah.
Labetalol (Trandate, Normodyne) beraksi sebagai antagonis kompetitif pada reseptor α1 dan β-adrenergik. Obat ini bisa dimetabolisme di dalam liver, dan pembersihan atau klirensnya dipengaruhi oleh perfusi liver. Labetalol bisa diberi secara intravena setiap 5 menit dalam dosis 5 sampai 10 mg, atau melalui infus dengan laju sampai 2 mg/menit. Obat ini cukup efektif di dalam penanganan pasien dengan diseksi aorta, atau pada masalah darurat hipertensi. sebab vasodilatasi tidak ditambah dengan takikardia, labetalol bisa diberi kepada pasien penderita jantung pasca operasi. Obat ini bisa dipakai untuk menangani hipertensi selama kehamilan untuk jangka pendek, maupun panjang. Labetalol tidak mempengaruhi aliran darah uterus, bahkan jika terjadi penurunan tekanan darah yang menonjol sekalipun.
sebab dihidrolisis oleh esterase yang dibawa darah, esmolol (Brevibloc) tampak memiliki waktu paruh yang singkat, yaitu hanya 9 sampai 10 menit, yang mana ini bisa memberi manfaat di dalam praktik anestesi. Obat ini biasanya dipakai untuk dampak blokade durasi singkat, atau pada pasien sakit kritis dengan keadaan bradikardia, gagal jantung, atau masalah hipotensi yang perlu penanganan dengan cepat. Esmolol yaitu bersifat kardioselektif, dan dampak puncak dosis awalnya tercapat dalam 5 sampai 10 menit, dan bisa berkurang dalam 20 sampai 30 menit. Obat ini bisa diberi sebagai bolus 0,5 mg/kg atau
sebagai infus. saat dipakai di dalam penanganan takikardia supraventrikular, bolus 500 mg/kg bisa diberi lebih dari 1 menit, yang lalu diikuti dengan infus 50 mg/kg/menit selama 4 menit. Jika denyut jantung tidak terkendali, maka lakukan pemberian dosis awal yang diikuti dengan infus 100 mg/kg/menit selama 4 menit. Jika perlu, urutan ini bisa diulangi dengan infus yang ditingkatkan menjadi 50 mg/kg/menit sampai 200 atau 300 mg/kg/menit. Esmolol yaitu obat yang aman dan efektif untuk penanganan hipertensi dan
takikardia intra- dan pasca-operasi. Jika pemakaian secara terusmenerus diperlukan, maka obat ini
bisa diganti dengan β-blocker kardioselektif yang lebih tahan lama, seperti contohnya dengan metoprolol.
Agonis reseptor β2-Adrenergik
β2- agonis bisa dipakai untuk menangani penyakit saluran pernafasan akut. Zat yang biasa dipakai diantaranya meliputi metaproterenol (Alupent, Metaprel), terbutaline (Brethine, Bricanyl), dan albuterol (Proventil, Ventolin). β2-Agonis juga bisa dipakai untuk menginterupsi persalinan prematur. Ritodrine (Yutopar) sudah tersedia di pasaran untuk tujuan/
indikasi ini. Sayangnya, efeksamping dari pemakaian β1-adrenergik sering muncul, terutama saat obat itu diberi secara intravena. Dalam dosis yang tinggi, selektivitas β2-reseptor bisa hilang sehingga menimbulkan efeksamping yang parah akibat stimulasi β1- adrenergik itu .
Antagonis reseptor α-Adrenergik
α1- antagonis sudah lama dipakai sebagai obat antihipertensi, namun sebab efeksamping nya
(yang diantaranya meliputi hipotensi ortostatik yang menonjol dan juga retensi cairan), maka obat ini menjadi kurang popular. Sebagai penggantinya, sudah ditemukan obat pengganti yang sudah beredar di pasaran untuk dipakai di dalam pengendalian tekanan
darah arteri.
Fenoksibenzamin
Fenoksibenzamin (Dibenzyline) merupakan antagonis α1-adrenergik prototipikal (walaupun obat ini juga berdampak α2-antagonis). sebab fenoksibenzamin bisa secara antagonis mengikat reseptor-α1, maka reseptor-reseptor yang baru pun harus disintesiskan sebelum pemulihan lengkap. Fenoksibenzamin tampak bisa menurunkan tingkat resistensi tepi dan bisa meningkatkan curah jantung. efeksamping utama dari pemakaian obat ini yaitu hipotensi ortostatik, yang mana penderitanya bisa mengalami pingsan sebab perubahan posisi dari berbaring ke berdiri. Salah satu efeksamping lainnya yaitu hidung tersumbat.
Fenoksibenzamin paling sering dipakai di dalam pengobatan feokhromositoma. Zat pada obat ini bersifat simpatoktomi yang mana ini bisa membuat tekanan darah arteri menjadi lebih stabil selama reseksi bedah tumor. saat simpatomimetik eksogen diberi sesudah penyekatan α1, maka dampak vasokonstriktifnya menjadi terhambat. Meskipun bersifat pengikatan balik ke reseptor, penanganan yang direkomendasikan untuk masalah overdosis
fenoksibenzamin yaitu pemberian norepinefrin.
Prazosin (Minipress) merupakan satu α1 blocker selektif yang mengantagonisasi dampak vasokonstriktor norepinefrin dan epinefrin. Hipotensi ortostatik merupakan satu masalah utama di dalam pemakaian prazosin. Tidak seperti obat antihipertensi lainnya, prazosin tampak bisa meningkatkan profil lipid (lemak darah) dengan menurunkan kadar lipid
densitas rendah dan meningkatkan level lipid densitas tinggi. Dosis awal prazosin yang biasa diberi yaitu 0,5 sampai 1 mg, yang diberi pada waktu tidur sebab hipotensi ortostatik.
Antagonis α2 seperti seperti yohimbine bisa meningkatkan pelepasan norepinefrin, namun
demikian, zat ini sangat jarang dipakai secara klinis di bagian anestesi.
Antagonis β-Adrenergik
Beberapa antagonis β-adrenergik (yaitu β-blocker) sering diberi kepada pasien yang akan menjalani operasi. Beberapa indikasi klinis untuk penyekatan β-adrenergik diantaranya yaitu penyakit jantung iskemik, penanganan pasca infarksi, aritmia, kardiomiopati
hipertrofik, hipertensi, gagal jantung, profilaksis migrain, tirotoksikosis, dan glaukoma. Pada tahun 1990. penelitian Iskemia Perioperatif menunjukkan nilai untuk mulai memberi penyekatan β pada pasien yang
memiliki risiko akan penyakit arteri koroner. Para subjek penelitian yang diberi β-blocker tampak bisa mengurangi tingkat kematian 2 tahun (yang mana tingkat sintasan/ keselamatan pasien di kelompok plasebo yaitu 65% vs 84% di kelompok yang ditangani dengan
atenolol). Mekanisme untuk peningkatan tingkat sintasan pasien yaitu penurunan tanggapan stres
bedah oleh β-blocker. ini dan temuan konfirmasi lainnya sudah memberi tekanan politik dan administrasi yang luar biasa untuk meningkatkan tingkat pemakaian β-blocker secara perioperatif. namun beberapa penelitian terbaru, sudah mempertanyakan nilai dari penyekatan β perioperatif.
bahwa tidak ada penurunan tingkat risiko kematian bagi pasien yang pernah menjalani bedah vaskular (yang mana menurut riset sebelumnya, mereka yang memiliki risiko tinggi), dan penelitian DIPOM tidak menemukan adanya manfaat pada mereka yang menderita. Pada satu penelitian retrospektif yang berukuran besar, tampak bahwa ada dampak negatif dari β blocker untuk pasien yang tidak mengidap
penyakit arteri koroner. Sehingga dalam hal ini, satu-satunya indikasi yang kuat untuk memakai β blocker yaitu pada pasien yang memerlukan bedah vaskular dan pada mereka yang memiliki risiko tinggi akan gangguan jantung. β -blocker harus terus diberi
kepada mereka yang biasa memakai nya di dalam penanganan angina, aritmia, atau hipertensi. Penyekat β-adrenergik yang paling umum dipakai dalam praktik anestesi yaitu propranolol, metoprolol, labetalol, dan esmolol, ini sebab semuanya tersedia dalam bentuk formula intravena dan berdampak yang sudah terkarakterisasi dengan baik. Perbedaan yang
paling menonjol di antara obat ini yaitu pada kardioselektivitas dan durasi aksi nya.
β-blocker non-selektif bisa beraksi pada reseptor β1 dan β2. β-blocker kardioselektif tampak memiliki afinitas yang lebih kuat untuk reseptor β1-adrenergik dibandingkan dengan reseptor β2-adrenergik. Dengan penyekatan selektif β1, kecepatan konduksi atrioventrikular, laju denyut jantung, dan kontraktilitas jantung bisa menurun. Pelepasan renin oleh apparatus
jukstaglomerular dan lipolisis pada adiposit juga akan menurun. Pada dosis yang lebih tinggi, selektivitas relatif untuk reseptor β1 bisa hilang reseptor β2 juga akan terhambat, dengan potensi bronkokonstriksi, vasokonstriksi tepi, dan penurunan glikogenolisis.
Beberapa efeksamping Penyekatan β-Adrenergik
Bradikardia yang bisa mengancam jiwa, bahkan asistol, bisa terjadi akibat pemakaian penyekatan β, dan penurunan tingkat kontraktilitas tampak bisa memicu gagal jantung kongestif pada pasien penderita gangguan fungsi jantung. Pada pasien pengidap
penyakit paru-paru bronkospastik, β blocker mungkin akan berakibat fatal. Diabetes mellitus yaitu satu bentuk kontraindikasi relatif akibat pemakaian antagonis β-adrenergik jangka panjang, ini sebab akan muncul tanda hipoglikemia (takikardia dan tremor) akibat tidak efektif nya glikogenolisis kompensatori. Untuk menghindari pemburukan keadaan hipertensi, pemakaian β-blocker pada pasien dengan feokhromositoma haruslah dihindari, kecuali
reseptor α sudah diblokir disekat. Overdosis obat penyekat-β bisa ditangani dengan pemakaian atropin, namun isoproterenol, dobutamin, atau glukagon juga mungkin akan diperlukan (bersamaan dengan pemakaian alat pacu jantung) untuk menjaga laju
kontraksi yang cukup memadai.Interaksi obat yang tidak diinginkan akibat pemakaian β- blocker yaitu hal yang mungkin terjadi. Verapamil berkontraindikasi dengan β-blocker, sehingga dokter haruslah seksama saat mengkombinasikan kedua obat ini. Hal serupa,
pengkombinasian dari digoxin dan β-blocker bisa memunculkan efeksamping yang kuat terhadap laju denyut dan konduksi jantung, dan harus dipakai secara bijak dan cermat.
NEUROFISIOLOGI
Impuls saraf akan melewati membran sel saraf sebagai suatu potensial aksi. Proses ini difasilitasi oleh adanya reseptor yang ada pada membran sel saraf. maka jika aksoplasma (sitoplasma dari akson) dihilangkan
maka ini tidak akan mengganggu proses konduksi impuls saraf. Serabut saraf memperoleh sumber nutrisinya dari badan sel. Sehingga, jika serabut saraf ini dirusak maka serabut saraf di bagian perifer akan mengalami degenerasi yang dikenal dengan degenerasi Wallerian. Akson-akson pada saraf tepi atau saraf perifer mampu untuk regenerasi, begitu juga selubung mielinnya. namun , kemampuan regenerasi ini tidak dimiliki oleh sel saraf di otak dan di medula spinalis. Saat ini, riset dilakukan untuk mempelajari keadaan yang bisa meningkatkan proses regenerasi saraf pusat khususnya pada masalah injuri saraf pusat.
Serabut saraf aferen merupakan serabut saraf yang mentransmisikan impuls dari reseptor pada saraf tepi menuju ke saraf pusat. sedang serabut saraf eferen merupakan serabut saraf yang mentransmisikan impuls dari saraf pusat menuju ke saraf tepi. Serabut saraf aferen digolongkan menjadi serabut sarat tipe A, B dan C berdasar diameter dan kecepatan konduksi impuls
sarafnya. Kecepatan konduksi suatu impuls akan meningkat dan berbanding lurus dengan peningkatan diameter saraf itu . ini disebab kan diameter serabut
saraf yang besar akan menurunkan resistensi longitudinal yang diakibatkan sebab adanya influks ion.2 Serabut saraf dengan diameter terbesar dan kecepatan transmisi impuls tercepat digolongkan ke dalam serabut saraf tipe A. Serabut saraf tipe A ini dibagi lagi menjadi serabut α, β, ᵞ, dan ᵟ. Serabut saraf tipe A-α1 menginervasi serabut otot sedang serabut saraf tipe A-α1b menginervasi tendon Golgi pada organ. Serabut saraf aferen tipe A-α berperan dalam pengaturan refleks dan tonus otot. Semua jenis mekanoreseptor pada kulit seperti Korpus Meissner, reseptor rambut, Korpus Paccini) mentransmisikan impuls saraf melalui serabut saraf tipe A- β. Impuls yang berasal dari sentuhan dan nyeri cepat ditransmisikan oleh serabut saraf tipe A-ᵟ yang bermielin. Serabut saraf ini memiliki serabut saraf
bebas di akhirnya (free nerve ending). Serabut saraf tipe C mentransmisikan impuls berupa sensasi nyeri lambat, pruritus, dan suhu.
Neuron merupakan elemen dasar yang berkaitan dengan proses penyaluran sinyal di dalam badan . Suatu neuron terdiri atas badan sel atau dinamakan
soma, dendrit dan serabut saraf yang dinamakan dengan akson. Dendrit merupakan suatu struktur terspesialisasi yang merupakan bagian dari badan sel. Akson dari suatu neuron biasanya akan berakhir dan membentuk suatu sinaps dengan badan sel ataupun dendrit dari neuron lainnya. Akson terhubung dengan sel neuron lain pada terminal pre-sinaps. ada celah sinaps yang memisahkan terminap pre-sinaps dengan badan sel atau dendrit dari neuron lainnya dalam kaskade pesinyalan impuls saraf. Transmisi impuls antara neuron satu dengan neuron lainnya pada sinaps dimediasi oleh pelepasan suatu mediator kimiawi yaitu suatu neurotransmiter seperti glutamat atau ᵞ-aminobutyric acid (GABA) yang dilepaskan dari terminal pre-sinaps. Membran pada neuron post-sinaps memiliki reseptor tempat terikatnya neurotransmiter yang dilepas dari terminal pre-sinaps,
yang mana kemudian impuls saraf kemudian akan diteruskan oleh neuron itu .
Suatu segi dari ilmu anestesi yaitu kemampuan untuk menghilangkan kesadaran pasien sehingga prosedur operasi bisa berlangsung dan mengembalikan kesadaran itu sesudah prosedur operasi selesai. Saat ini pengertian mengenai kesadaran dan mekanisme biologis yang mendasarinya belum mendalam. Namun saat ini pengertian mengenai neurofisiologi lebih dipakai untuk mempelajari bagaimana mekanisme suatu obat anestesi bekerja dengan reseptornya pada sistem saraf sehingga bisa memberi suatu dampak anestesia dan analgesia,
Selubung mielin yang membungkus serabut saraf tipe A dan B berperan sebagai isolator yang bisa mencegah tersalurnya ion melewati membran sel saraf. sedang serabut saraf tipe C merupakan serabut saraf yang tidak
bermielin. Selubung mielin ini tidak melindungi serabut saraf secara keseluruhan. namun ada area pada akson (+ 1-2 mm) yang tidak tertutupi oleh selubung mielin. area ini dikenal dengan sebutan Nodus Ranvier3 ,Pada nodus ranvier terjadi perpindahan ion-ion secara bebas antara cairan ekstraseluelr dengan serabut saraf. Potensial aksi pada serabut saraf bermielin akan ditransmisikan dari nodus ke nodus (seperti meloncat-loncat) sedang pada serabut saraf yang tidak memiliki selubung mielin, maka impuls saraf hanya akan ditransmisikam secara terusmenerus . Keberadaan selubung mielin dan nodus ranvier memicu jalannya transmisi impuls saraf mejadi lebih cepat sebab transimisi impuls sarafnya meloncat dari nodus ke nodus atau dinamakan Konduksi Saltatorik..3 Adanya konduksi saltatorik ini akan meningkatkan kecepatan transmisi impuls menjadi 10 kali lipat. Keberadaan nodus ranvier ini memicu proses depolarisasi hanya terbatas pada membran sel yang berada dalam nodus ranvier. ini memiliki keuntungan sebab dengan sedikitnya area yang terdepolarisasi makam akan lebih sedikit pula transfer ion yang diperlukan untuk mempertahankan gradien konsentrasi ion dalam serabut saraf. Selain itu, semakin sedikit pula energi yang diperlukan untuk mempertahankan gradien konsentrasi anatara natrium dan kalium yang
diperlukan dalam proses transmisi impuls. Keberadaan stuktur ini bisa menghemat energi hingga 100 kali lipat.
Saraf perifer bisa mengalami injuri akibat terjadinya iskemia pada vasa nervorum antar-neuron. ini bisa terjadi sebab adanya peregangan saraf secara berlebih atau akibat kompresi eksternal. riset mengenai konduksi saraf sangat penting dalam melokalisasi dan menilai disfungsi pada saraf perifer. Demielinasi fokal pada serabut saraf bisa memicu lambatnya konduksi
saraf dan menurunnya amplitudo impuls saraf yang dikirimkan ke otot ataupun ke saraf sensoris lainnya. Adanya denervasi potensial aksi pada otot
menandakan bahwa terjadi kerusakan akson atau kerusakan pada kornu anterior medula spinalis. Perubahan pada unit motor potensial juga bisa terjadi
akibat reinervasi otot skeletal oleh saraf yang selamat dari kerusakan. gejala terjadinya denervasi saraf akan muncul 18-21 hari sesudah saraf mengalami
kerusakan. Tes elektromiografi sangat peenting untuk mengevaluasi etiologi dari disfungsi saraf yang terjadi.
Potensial aksi sebetulnya tejadi di seluruh membran sel, ini didasarkan adanya perbedaan konsentrasi ion natrium dan kalium antara intra-seluler dan ekstra-seluler. Perbedaan gradien konsentrasi ion itu
dipertahankan oleh adanya suatu enzim pada membran sel yang dinamakan enzim Na-K ATPase atau dinamakan pompa Na-K. Pompa Na-K ini bekerja dengan cara mentranfer tiga ion Natrium keluar sel dan 2 ion Kalium ke dalam sel. Gradien konsentrasi ini memicu adanya potensial positif di luar membran sel dan potensial negatif di dalam sel. Perbedaan potensial
membran ini dinamakan Resting Membrane Potential. Sitoplasma sel memiliki potensi listrik sebesar -60 hingga -80 mV diabandingkan dengan cairan ekstraseluler.5 saat suatu saluran ion tertentu terbuka maka akan terjadi perpindahan ion menuruni gradien konsentrasinya. Potensial aksi merupakan suatu perubahan yang cepat pada membran sel saraf akibat terbukanya saluran ion Natrium dan terjadi influks Natrium menuruni gradien konsentrasinya. Akibatnya
meningkatnya jumlah Natrium di dalam sel, sedang jumlah Kalium tetap maka terjadi perubahan potensial listrik membran yang mana potensial listrik intraseluelr
menjadi lebih positif dibandingkan ektraseluler. sesudah terjadi depolarisasi maka resting membrane potential akan dikembalikan lagi melalui suatu proses yang dinamakan dengan repolarisasi. Pada proses ini saluran Natrium yang tadi terbuka akan menutup dan diikuti dengan terbukanya saluran Kalium. Kalium akan
berpindah keluar sel menuruni gradien konsentrasinya dan mengembalikan potensial membran dalam sel menjadi negatif.
Potensial Aksi menyebar di sepanjang serabut saraf dan ini merupakan dasar mekanisme transmisi sinyal pada sistem saraf. Potensial aksi menyebar disepanjang perjalanan serabut saraf melalui mekanisme depolarisasi sistem saraf. Depolarisasi di sepanjang serabut saraf inilah yang kita kenal dengan istilah
impuls saraf. Biasanya keseluruhan potensial aksi akan berlangsung selama kurang dari 1 millisecond.5
Selama terjadinya potensial aksi, membran sel saraf berada dalam keadaan sulit untuk mengalami stimulasi lanjutan. keadaan ini dinamakan sebagai suatu keadaan absolute refractory period. keadaan ini terjadi sebab keberadaan saluran ion Natrium yang berada dalam keadaan inaktif dalam jumlah yang besar selama periode itu . Namun pada akhir periode potensial aksi, stimulus yang lebih kuat dari normal bisa menimbulkan munculnya potensial aksi sekunder. keadaan ini dinamakan sebagai relative refractory period. keadaan ini menandakan bahwa perlunya untuk mengaktivasi beberapa saluran ion Natrium untuk memicu munculnya potensial aksi.
Defisiensi kalsium pada cairan ekstraseluler (hipokalsemia) akan mencegah penutupan saluran ion natrium diantara potensial aksi. keadaan ini akan
memicu masuknya natrium secara terus-menerus ke dalam sel sehingga sel mengalami depolarisasi yang berkepanjangan atau mengalami potensial aksi yang
berulang. dinamakan tetani. begitu juga sebaliknya, yang mana tingginya kadar ion kalsium di dalam darah akan mengurangi permeabilitas membran sel terhadap natrium. ini akan mengurangi eksitabilitas sel saraf untuk mengalami depolarisasi.
Rendahnya konsentrasi ion kalium dalam cairan ekstraseluelr akan meningkatkan potensial negatif membran di dalam sel saraf. Akibatnya akan terjadi hiperpolarisasi sel saraf dan penurunan eksitabilitas membran sel saraf sebab sulit untuk mencapai nilai ambang untuk terjadi potensial aksi. Kelemahan
otot skeletal yang terjadi sesudah pasien mengalami hipokalemia merupakan hasil dari terjadinya hiperpolarisasi dari membran sel otot skeleton itu . Obat anestesi lokal akan menurunkan permeabilitas membran sel saraf terhadap ion natrium, mencegah tercapainya nilai ambang untuk memunculkan suatu potensial aksi. Blokade saluran ion sodium pada jantung memakai obat anestesi lokal akan menimbulkan gangguan konduksi impuls dan menurunkan kontraktilitas otot jantung.
Neurotransmiter merupakan suatu mediator kimiawi yang dilepaskan ke dalam celah sinaps sebagai tanggapan terhadap potensial aksi yang sudah mencapai ujung saraf. Pelepasan neurotransmiter bergantung pada kekuatan impuls dan memerlukan influks ion kalsium pada terminal pre-sinaps. Vesikel-vesikel pada sinaps yang berasal dari badan sel ataupun dendrit merupakan tempat sintesis dan penyimpanan neurotransmiter lebih lanjut. Vesikel itu bisa mengandung lebih dari satu jenis neurotransmiter. Neurotransmiter di dalamnya bisa bersifat eksitatorik ataupun inhibitorik, bergantung pada reseptor proteinnya. Reseptor post-sinaps itu bisa bersifat eksitatorik ataupun inhibitorik, ini menunjukkan bahwa pada neuron post-sinaps memang ada dua jenis reseptor yang berbeda fungsinya. Disamping itu, jenis neurotransmiter yang sama bahkan bisa bersifat eksitatorik di suatu tempat namun bersifat inhibitorik di tempat lain. ini bergantung pada kegiatan G-
protein couple receptor yang mana reseptor ini dikaitkan dengan keberadaan suatu G-protein yang akan menentukan polaritas tanggapan dari suatu impuls. Beberapa neurotransmiter juga bisa berfungsi sebagai neuromodulator dan sebagai agonis yang mana neurotransmiter ini akan nmempengaruhi sensitivitas suatu reseptor terhadap neurotransmiter lainnya. Sebagai suatu contoh: glycine merupakan suatu
agonis pada reseptor N-methyl-d-aspartate (NMDA).8
Suatu prosedur anestesi dengan memakai gas inhalasi bekerja secara luas yang mana prosedur ini mampu untuk merekayasa neurotransmiter baik itu neurotransmiter inhibitorik ataupun eksitatorik pada pre-sinaps dan post-sinaps di saraf pusat. Mekanisme pasti untuk menjelaskan bagaimana dampak ini terjadi masih belum tampak dengan jelas. Kemungkinannya
yaitu metode anestesi ini bekerja dengan cara berinteraksi dengan banyak jenis neurotransmiter melalui mekanisme yang bervariasi pula. biasanya , anestesi ini menghambat kerja reseptor eksitatorik yaitu reseptor NMDA dan reseptor nicotinic acethylcoline dan memfasilitasi kerja reseptor inhibitorik yaitu GABA dan glycine.
anestesi hirup ini akan menekan jaringan eksitatorik di semua tingkatan saraf melalui interaksi dengan membran sel neuron. ini menghasilkan penurunan
pelepasan neurotransmiter dan penurunan transmisi impuls pada sinaps sehingga akan menurunkan tanggapan eksitatorik post-sinaps pula. .Daftar mediator kimia yang berfungsi sebagai neurotransmiter eksitatorik ataupun inhibitorik semakin hari semakin bertambah. Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik utama pada sistem saraf pusat. sedang GABA merupakan neurotransmiter inhibitorik utama pada sistem saraf pusat. Asetilkolin, dopamin, histamin, dan norepinefrine merupakan neurotransmiter yang beredar secara luas dan berperan dalam mekanisme tidur-bangun yang direkayasa dalam pemakaian anestesia . Selain neurotransmiter, pada terminal pre-sinaps juga ada neuromodulator. namun neuromodulator ini tidak ikut dan dalam menginduksi perubahan pada membran post-sinaps akibat
adanya suatu impuls saraf. Fungsi neuromodulator itu hanya untuk memperkuat, memperpanjang, mengurangi ataupun memperpendek tanggapan post-
sinaps terhadap neurotransmiter tertentu.
septor terhadap suatu neurotransmiter pada sistem saraf digolongkan berdasar letak reseptor itu pada sel. Reseptor yang terletak pada membran sel berperan sebagai tranduser sinyal yang mana ia bekerja dengan cara mengikat molekul pesinyalan ekstraseluler dan mengubah informasi itu menjadi suatu sinyal intraseluler yang akan mempengaruhi fungsi molekul targetnya di dalam sel. Sebagian besar molekul-molekul pensinyalan sel ini bersifat hidrofobik dan
bereaksi dengan reseptor pada permukaan sel yang kemudian diubah menjadi molekul dampak tor baik secara langsung ataupun tidak langsung. ada tiga kelas
reseptor permukaan sel yang digolongkan berdasar mekanisme transduksi sinyal yaitu: guanine nucleotide-binding Protein (G protein) coupled receptors,
ligand-gated ion channels, dan enzyme-linked transmembrane receptors. G-protein coupled receptors ada pada membran plasma. Reseptor
ini bekerja dengan perantara protein G. Saat ligan berikatan dengan reseptor maka akan terjadi aktivasi dari protein G. Protein ini lalu akan bekerja
mengaktivasi ataupun menginhibisi suatu enzim, saluran ion atau target lainnya. Reseptor ini merupakan jenis reseptor permukaan sel yang terbanyak. Protein G
memiliki beberapa sub-unit yaitu sub-unit α, β, dan ᵞ. Dari sub-unit itu akan terbentuk beberapa isoform dari protein G ini yang kemudian berfungsi sebagai
menstimulasi ataupun menghambat fungsi beebrapa enzim dan saluran ion tertentu. Sebagian besar hormon dan neurotransmiter berinteraksi dengan reseptor
ini untuk membentuk suatu tanggapan seluler. tanggapan seluler yang dihasilkan sering akan memicu suatu perubahan pada potensial membran sel dan menimbulkan suatu eksitasi neuronal. ada diversitas yang luas dari reseptor ini untuk ligan yang sama seperti halnya ada banyak reseptor yang berbeda terhadap katekolamin dan opioid.
Ligand-gated ion channels merupakan suatu saluran atau saluran pada membran plasma yang menanggapi secara langsung terhadap ligan-ligan ekstraseluler tanpa melalui perantara protein G. Reseptor ini merupakan salah satu bagian dari tiga kelas saluran ion yang ada. yang mana saluran ion lainnya yaitu
voltage-gated ion channel yang menanggapi terhadap perubahan potensial dan other-gated ion channel yang memiliki banyak mekanisme untuk teraktivasi.
Transmisi impuls ecara cepat melalui sinaps difasilitasi oleh voltage-gated ion channel yang kemudian akan meneruskan sinyal itu . sedang Transmisi sinyal melewati sinaps difasilitasi oleh ligand-gated ion channel.
Enzyme-linked transmembrane receptors bukan merupakan reseptor yang berperan dalam proses pesinyalan sel saraf sebab reseptor ini memiliki suatu dampak yang lambat di dalam sel. Sebagian besar enzyme-linked transmembrane receptors merupakan tyrosine-kinase yang berfungsi dalam sebagai second messenger untuk proses fosforilasi intraseluler saat suatu ligan sudah berikatan dengan reseptor
permukaan sel. Reseptor insulin, atrial natriuretic peptide receptors, dan reseptor untuk sebagian besar growth factor merupakan contoh dari tyrosine kinase-linked transmembrane receptors. ada pula reseptor intraseluler. Contohnya yaitu reseptor steroid dan
reseptor hormon tiroid yang bekerja pada nukleus yang mana hormon ini meregulasi transkripsi gen tertentu. Suatu inhibitor fosfodiesterase seperti kafein, milrinon
dan sildenafil bekerja pada sitosol dengan cara menghambat kegiatan fosfodiesterase, meningkatkan konsentrasi cyclic adenosine monophosphate
(cAMP). Reseptor ini juga tidak terlibat dalam pesinyalan saraf sebab memberi tanggapan seluler yang cukup lambat.
G protein-coupled receptors terdiri atas tiga komponen ysng terpisah yaitu: reseptor protein, tiga protein G (α, β, ᵞ) dan dampak tor. Area pengenalnya berada pada bagian luar membran sel yang mana struktur ini berfungsi untuk .memberi akses terhadap ligan endogen yang bersifat hidrofilik dan akses obat ektraseluler untuk masuk. sedang area katalitik dari reseptor ini
berada di bagian dalam membran sel. ada hampir sekitar 16 protein Gα, 5 protein Gβ dan 11 protein Gᵞ yang menjadikan reseptor ini bisa menimbulkan
dampak seluler yang bervariasi. G protein-coupled receptors terdiri atas sebuah protein yang tersusun atas
7 domain transmembran yang memutar. Terikatnya ligan ekstraseluler pada reseptor ini akan memicu terjadinya perubahan pada struktur protein.
Perubahan ini akan mengaktivasi protein Gα sehingga protein Gα mengarah ke bagian dalam dari reseptor itu . Proses aktivasi ini melibatkan pertukaran antara guanin difosfat (GDP) menjadi guanin trifosfat (GTP) yang terikat pada reseptor. Protein Gα yang teraktivasi akan dilepas ke sitoplasma dan berfungsi
sebagai second messenger yang akan berinteraksi dengan protein lain di dalam sel. saat protein Gα ini menemukan targetnya, GTP akan dihidrolisis menjadi
GDP dan energi yang dilepaskan dari proses hidrolisis itu akan dipakai sebagai sumber energi untuk menimbulkan suatu dampak pada protein targetnya.
Substansia P merupakan neurotransmiter eksitatorik yang dilepaskan oleh bagian terminal serabut saraf pembawa rangsang nyeri yang memiliki ber-sinpas
di substansia gelatinosa pada medula spinalis. Substansia P ini berfungsi mengaktivasi neurokinin-1 G protein coupled receptor.
Endorfin merupakan opioid endogen yang disekresikan oleh bagian terminal dari serabut saraf pada hipofisis, talamus, hipotalamus, batang otak dan medula spinalis. Endorfin berkerja pada reseptor μ opioid. Reseptor ini
merupakan reseptor yang sama tempat obat opioid berikatan saat opioid diadministrasikan ke dalam badan . Endorfin disekresikan sesudah berolahraga dan
saat pasien mengalami nyeri ataupun cemas. Endorfin akan memfasilitasi pelepasan dopamin dan mengaktivasi jalur inhibitorik untuk nyeri.
Serotonin (5-HT) ada dalam konsentrasi yang tinggi di otak. Serotonin .bekerja pada ligand-gated ion channels dan G protein-coupled receptor. Reseptor serotonin berlokasi pada chemoreceptor trigger zone (suatu area pada medula oblongata yang menerima impuls yang berasal dari obat di dalam darah dan berkaitan dengan pusat muntah di otak). Reseptor serotonin ini bisa dihambat oleh obat sepertti ondansetron, granisetron dan obat anti-emetik lainnya
Histamin ada dalam konsentrasi yang tinggi pada hipotalamus dan ARAS. Neuron yang mengandung histamin ada pada nukleus tuberomammillary di hipotalamus diaman nukleus ini akan teraktivasi selama tahap bangun. obat antihistamin yang bisa menimbulkan dampak sedasi bekerja pada area ini dengan cara melewati sawar darah otak dan menghambat kerja H1 G protein-coupled receptors.
Protein Gαs dan Gαi berfungsi memodulasi adenilat siklase sedang protein G lainnya memodulasi protein-protein khusus di dalam sel. Pada beberapa masalah , sinyal ditransmisikan melalui Gβᵞ bukan Gα, seperti yang sudah dijelaskan lebih lanjut mengenai mekanisme protein G meregulasi saluran ion
kalium.Beberapa hormon dan obat speerti katekolamin, opioid, anti-kolinergik dan antihistamin bekerja pada sel melalui perantara G protein-coupled receptors ini.
Berbeda dengan tanggapan seluler yang dimediasi oleh saluran ion, tanggapan seluler yang melibatkan G protein-coupled receptors ini menyalurkan sinyal dalam
hitungan detik hingga menit. Bebeberapa saluran ion juga bekerja dengan melibatkan protein G ini. Hal itu akan dibahas lebih lanjut,
Dopamin merupakan 50% katekolamin yang berada pada sistem saraf pusat, yang mana konsentrasi dopamin tertinggi berada pada basal ganglia. Dopamin bisa bersifat inhibitorik ataupun eksitatorik, bergantung pada reseptor dopaminergik yang teraktivasi. Dopamin penting dalam reward system di otak. Dopamin juga berperan dalam mekanisme adiksi dan toleransi terhadap obat anestesi dan obat analgesik.
Norepinefrin ada dalam jumlah yang besar pada Ascending Reticular Activating System (ARAS) dan pada hipotalamus. Neurotransmiter ini berperan
penting dalam mekanisme tidur-bangun dan mekanisme analgesia. Neuron yang menanggapi terhadap norepinefrin akan mengirimkan sinyal eksitatorik (melalui α1) dan sinyal inhibitorik (melalui α2). Sinyal ini akan disebarkan pada otak terutama
pada korteks otak. Mekanisme sedasi oleh dexmedetomidin dimediasi oleh aktivasi reseptor adrenergik α2 pada lokus seruleus dan menghambat nukleus ventro lateral preoptic (VLPO) dari hipotalamus yang merupakan faktor endogen dalam regulasi mekanisme tidur-bangun. Jaras-jaras noradrenergik desenden yang mengarah ke bagian dorsal medula spinalis berperan dalam menghambat transmisi sinyal nyeri. Jalur inilah yang direkayasa pada teknik anastesi post-operatif dengan clonidine epidural dan pada intrapartum analgesia.
bahwa resting membrane potential suatu sel berkisar antara -60 mV hingga -80 mV, yang mana bagian dalam sel memiliki potensial yang lebih negatif dibandingkan potensial pada cairan ekstraseluler. Membran sel yang terdiri atas bilayer fosfolipid bersifat tidak permeabel terhadap ion, sehingga agar ion-ion itu bisa bergerak masuk ataupun keluar sel diperlukan suatu saluran ion yang khusus . Jika pergerakan suatu ion memicu bagian dalam sel menjadi semakin negatif dibandingkan bagian luar sel yang mana sel dikatakan mengalami hiperpolarisasi, ini akan memicu sulitnya suatu potensial aksi untuk terbentuk. Jika pergerakan ion memicu bagian dalam kurang negatif dibandingkan bagian luar sel maka keadaan ini dinamakan sebagai suatu depolarisasi dan ini akan memudahkan terbentuknya suatu potensial aksi.
saat suatu saluran ion terbuka, ion-ion akan cenderung berpindah mengikuti gradien konsentrasinya. Konsentrasi ion natrium, kalsium dan klorida
lebih tinggi di ektraseluler dibandingkan dengan intraseluler. Akibatnya ion-ion itu akan berpindah ke dalam sel saat saluran ion khusus terhadap ion
itu terbuka. Sementara itu, konsentrasi ion kalium lebih tinggi di intraseluler dibandingkan ekstraseluler sehingga saat saluran ion kalium terbuka maka ion
ini akan cenderung berpindah keluar sel. Perpindahan kalium ke dalam sel bisa terjadi sebagai suatu pengecualian sebagai tanggapan terhadap perbedaan potensial listrik. saat natrium masuk ke dalam sel, natrium akan memicu bagian dalan sel menjadi kurang negatif. Pada keadaan ini saluran natrium memicu sel mengalami depolarisasi. saat kalium berpindah keluar sel, perpindahan ini akan memicu bagian dalam sel semakin negatif. Akibatnya saluran kalium ini memicu sel mengalami hiperpolarisasi. Saluran ion natrium terbuka , memicu bagian dalam sel kurang negatif sehingga suatu potensial aksi bisa
dimulai. kemudian saluran ion kalium akan terbuka untuk mengembalikan .potensial negatif di dalam sel sehingga potensial aksi yang tadi sudah terbentuk
akan terhenti.saat ion klorida berpindah ke dalam sel, bagian dalam sel akan menjadi semakin negatif (terjadi hiperpolarisasi). sebab akan sulit untuk memulai suatu potensial aksi pada sel yang mengalami hiperpolarisasi, maka saluran ion klorida
ini bersifat inhibitorik sampai sesudah kelahiran. saat ion kalsium berpindah masuk ke dalam sel, bagian dalam sel akan menjadi kurang negatif dibandingkan
dengan bagian luar sel dan sel dinamakan mengalami depolarisasi. Pada sel yang mengalami depolarisasi, suatu potensial aksi akan lebih mudah terbentuk.
Sehingga saluran ion kalsium bersifat eksitatorik. Kalsium juga bisa berperan sebagai second messenger di intraseluler. saat membran sel mengalami depolarisasi (yang mana bagian luar sel menjadi lebih negatif dibandingkan bagian dalam sel), atau jika suatu ligan tertentu berikatan dengan reseptor di sel maka saluran ion akan mengalami perubahan konformasi yang mana saluran ion ini akan terbuka dan ion khusus
terhadap saluran ini akan melewatinya. Sekitar 104 - 105 ion bergerak melewati satu saluran ion per millisecond dan ribuan saluran ion bisa terbuka selama
terjadinya suatu potensial aksi.
Ligand-Gated Ion Channels
Merupakan kompleks sub-unit protein yang bekerja sebagai portal untuk pertukaran ion-ion. Saluran ion ini berperan dalam transmisi sinyal secara cepat pada sinaps diantara dua sel yang tereksitasi. Terikatnya signaling molecule pada reseptor ini akan memicu terjadinya perubahan konformasi pada saluran ion,
yang mana saluran ion akan terbuka ataupun tertutup dan perubahan ini akan .mempengaruhi permeabilitas membran sel dan potensial membran. Ligand-Gated
Ion Channels teraktivasi oleh suatu ligan tertentu sesuai nama saluran ini. contoh : reseptor asetilkolin nikotinik (nAChRs), reseptor serotonin (5-HT3), reseptor GABA dan reseptor glisin. Bahkan saluran ini juga bisa diberi nama berdasar agonis ligan dari saluran ion ini. contoh: reseptor NMDA dan reseptor AMPA bisa terbuka jika berikatan dengan NMDA dan AMPA
namun ligan sebetulnya dari reseptor itu yaitu glutamat.
Excitatory Ligand Gated Ion Channels Saluran ini memicu bagian dalam sel menjadi kurang negatif
sehingga memicu perpindahan kation untuk masuk ke dalam sel.
Asetilkolin merupakan neurotransmiter eksitatorik yang mengaktivasi reseptor muskarinik dan nikotinik pada sistem saraf pusat. Reseptor asetilkolin nikotinik merupakan saluran kation non-khusus , yang mana saluran ion ini memungkinkan natrium, kadang kalsium untuk berpindah masuk ke dalam sel, dan kalium untuk keluar sel. sebab perpindahan natrium-kalium terjadi akibat adanya suatu gradien konsentrasi dan gradien potensial listrik, maka saluran ion ini akan menghasilkan suatu potensial positif di dalam sel
sehingga saluran ini memicu terjadinya depolarisasi sel. Reseptor asetilkolin nikotinik di otak ada paling banyak pada area pre-sinaps yang mana reseptor ini
berfungsi berfungsi sebagai modulator utama untuk memicu pelepasan neurotransmiter lainnya. Neuron pelepas asetilkolin berperan dalam jalur pengaturan proses tidur-bangun yang mana asetilkolin disini memicu pasien terbangun. Meskipun sebagian besar obat anestesi volatil merupakan inhibitor yang kuat pada reseptor asetilkolin nikotinik ini, inhibisi nikotinik secara langsung bukan merupakan pemicu
dampak hipnotik dari pemakaian obat anestesi volatil ini. obat anestesi volatil bekerja sebagai antagonis reseptor asetilkolin nikotinik. Injeksi nikotin pada
talamus bagian sentral-medial akan membalikkan dampak hipnotis dari sevofluran. namun pada masalah ini, nikotin bekerja sebagai suatu stimulus
untuk membangunkan pasien . Pemberian suatu antagonis mekamilamin nikotinik spektrum luas secara mikroinfus tidak akan menambah dampak hipnotik dari sevofluran..dampak eksitatorik pada sistem saraf pusat dimediasi oleh saluran ion
nikotinik. ini berlawanan dengan dampak inhibitorik yang dimediasi oleh reseptor asetilkolin muskarinik pada sistem saraf parasimpatis. Reseptor asetilkolin muskarinik juga berperan dalam aktivasi kontraksi
otot. Obat pelemas otot yang bersifat non-depolarisasi bekerja dengan cara menghambat tempat pengikatan asetilkolin. sebab saluran ion ini memicu
depolarisasi dan bersifat eksitatorik.
Glutamat merupakan neurotransmiter (berupa asam amino) bersifat eksitatorik dengan jumlah yang besar pada sistem saraf pusat. Reseptor glutamat
merupakan suatu saluran kation yang bersifat non-selektif. Saluran ini .memfasilitasi ion natrium dan kalsium untuk masuk ke dalam sel dan ion kalium
untuk keluar sel. Saluran ion ini juga bersifat eksitatorik sebab memicu potensial listrik dalam sel menjadi kurang negatif. Reseptor glutamat ini tersebar
secara luas pada sistem saraf pusat. Glutamat berperan dalam proses belajar, memori, transduksi nyeri, dan proses patologis seperti injuri neuron eksitotoksik yang terjadi sesudah adanya suatu trauma atau iskemia pada sistem saraf pusat. .Glutamat disintesis melalui proses deaminasi glutamin melalui siklus asam
trikarboksil. Glutamat lalu dilepas ke celah sinaps sebagai suatu tanggapan terhadap adanya proses depolarisasi pada terminal pre-sinaps. Pelepasan glutamat dari terminal pre-sinaps merupakan suatu proses yang memerlukan suatu ion kalsium yang diregulasi oleh berbagai macam saluran ion kalsium. Seperti pada sistem neurotransmiter biasanya mekanisme kerja glutamat pada celah sinaps akan diterminasi oleh adanya proses re-uptake glutamat yang bergantung pada ion natrium ada 2 jenis reseptor glutamat yaitu reseptor inotropik dan reseptor
metabotropik. Reseptor inotropik glutamat (NMDA, AMPA dan reseptor kainat) termasuk ke dalam ligand-gated ion channel. Reseptor glutamat yang menanggapi
terhadap NMDA dikaitkan dengan mekanisme terjadinya nyeri neuropati dan toleransi terhadap opioid yang mana reseptor ini bisa dihambat oleh ketamin.
Reseptor NMDA memiliki permeabilitas yang tinggi terhadap kalsium. Reseptor glutamat yang menanggapi terhadap AMPA dan kinat merupakan reseptor yang terlibat dalam transmisi sinaps secara cepat dan plastisitas sinaps. Reseptor metabotropik glutamat merupakan reseptor transmembran yang
dihubungkan dengan G protein untuk memodulasi kerja second messenger .intraseluler seperti inositol fosfat dan nukleotida siklik.
Reseptor serotonin (5-HT) merupakan reseptor yang juga bersifat eksitatorik. Reseptor ini meruoakan saluran yang memungkinkan ion natrium, kalium dan kalsium untuk lewat sama seperti yang sudah dijelaskan pada reseptor asetilkolin nikotinik di atas.
Inhibitory ligand-gated ion channels memicu bagian dalam sel menjadi lebih negatif sebab saluran ion ini memungkinkan ion klorida untuk masuk ke dalam sel. Selain itu, saluran ion kalium juga memfasilitasi keluarnya ion kalium dari sel sehingga saluran ini juga bersifat inhibitorik.
GABA merupakan neurotransmiter inhibitorik terbesar di otak. saat dua molekul GABA berikatan dengan reseptor GABA, saluran ion klorida yang berada di tengah-tengah reseptor ini akan terbuka sehingga ion klorida akan masuk ke dalam sel melalui saluran ion itu menuruni gradien konsentrasinya , Ion klorida yang bermuatan negatif akan memicu terjadinya suatu hiperpolarisasi di dalam sel, ini memicu reseptor GABA
berfungsi sebagai reseptor inhibitorik segera sesudah kelahiran. Diestimasikan bahwa sepertiga sinaps yang berada di otak merupakan sinaps GABA. Saluran ion
klorida ini dibentuk oleh sub-unit α dan β tanpa atau dengan sub-unit ᵞ dan ᵟ. Pada neuron-neuron otak yang sedang berkembang memiliki konsentrasi ion klorida yang tinggi pada intraseluler. Akibatnya, terbukanya saluran ion klorida ini menginisiasi keluarnya ion klorida dari dalam sel. kemudian saat otak sudah pada tahap perkembangan lanjut, ada kotransport antara ion kalium dan ion klorida. Transporter ini akan menurunkan konsentrasi ion klorida intrasel melalui pertukaran ion klorida dengan ion kalium dari luar sel. ini memicu terjadinya perbedaan gradien konsentrasi yang mana klorida akan banyak ada di cairan ekstrasel sehingga ion ini akan cenderung berpindah ke
dalam sel. Perubahan konsentrasi ion klorida ini memicu terjadinya hiperpolarisasi sehingga reseptor ini dikatakan sebagai reseptor inhibitorik. Reseptor GABA merupakan target kerja dari obat anestesi seperti
propofol, etomidat, dan thiopental. Diamana dalam konsentrasi yang tinggi, obat- obatan ini akan membuka saluran ion klorida ini. sedang dalam konsentrasi rendah obat ini akan meningkatkan sensitifitas reseptor terhadap GABA eksogen. obat benzodiazepin juga bekerja melalui reseptor GABA dengan cara meningkatkan sensitivitas reseptor terhadap GABA eksogen. ada semakin banyak bukti bahwa reseptor GABA ekstrasinaptik berperan dalam terjadinya perubahan perilaku akibat pemakaian obat-
obat anestesi volatil.
Glisin merupakan neurotransmiter inhibitorik yang ada pada medula spinalis. Glisin bekerja melalui reseptor glisin untuk meningkatkan perpindahan ion klorida masuk ke dalam sel dan memicu hiperpolarisasi. Reseptor glisin juga ada di otak. Saluran ion ini berperan dalam berbagai proses neurologis dan bisa dipengaruhi oleh berbagai macam obat anestesi. namun reseptor ini tidak dikaitkan dengan perubahan perilaku yang disebabkan oleh pemakaian obat anestesi.
Voltage-gated ion channels merupakan suatu kompleks sub-unit protein yang bekerja sebagai suatu portal sensitif terhadap perubahan potensial membran.
Reseptor ini sensitif terhadap perubahan potensial listrik sebab saluran ion ini terbuka dan tertutup akibat adanya perubahan voltase listrik melewati membran
sel. Sebagai contoh, saluran ion natrium akan terbuka sebagai tanggapan terhadap terjadinya depolarisasi dan meneruskan potensial aksi pada membran sel saraf. Saluran ion ini ada pada neuron, otot skeletal, dan sel-sel endokrin. Saluran ion ini dinamakan berdasar ion-ion yang melewati saluran itu (contoh: saluran natrium, saluran kalium, saluran klorida dan saluran kalsium).
Voltage-gated ion channels merupakan saluran ion yang cukup menarik dalam ilmu anestesi sebab saluran ini merupakan target kerja obat anestesi lokal.
Obat anestesi lokal akan menghambat konduksi sel saraf melalui hambatan terhadap pergerakan natrium di dalam saluran ini. Saluran ion kalium kita yang berkaitan dengan gen ether-a-go-go
(hERG) merupakan saluran ion yang termasuk ke dalam voltage-gated ion channels. Saluran ion ini sensitif terhadap beberapa obat dan berperan penting dalam terjadinya kematian secara tiba-tiba akibat obat yang
memicu pasien mengalami torsades de point. obat yang menghambat saluran ion ini speerti droperidol sudah dinyatakan sebagai obat terlarang oleh Food and Drug Administration (FDA).
G Protein-Gated Ion Channels
Beberapa saluran ion bekerja melalui perantara protein G. Saluran ion kalium yang diperantarai oleh G protein merupakan suatu saluran ion yang banyak dibahas . Saluran ion jenis ini pertama kali diidentifikasi dari jantung yang mana saluran ion ini diregulasi oleh reseptor M2 asetilkolin muskarinik yang
diperantarai oleh protein G. Saluran ion ini merupakan saluran yang memfasilitasi perpindahan ion kalium yang tidak baisa yaitu kalium masuk ke dalam sel
mengikuti gradien potensialnya dibandingkan perpindahan kalium pe luar sel mengikuti gradien konsentrasinya,
Other-Gated Ion Channels
Other-gated ion channels merupakan saluran ion yang kerjanya dipengaruhi oleh ion-ion lain (hidrogen, kalsium), second messenger (cAMP, cGMP) dan sebab terjadi kerusakan jaringan (akibat asam, peregangan, suhu dan sitokin tertentu).
Konsentrasi Reseptor
Konsentrasi reseptor pada membran sel bisa selalu berubah-ubah. Tingginya konsentrasi suatu ligan pada sirkulasi sering memicu menurunnya densitas suatu reseptor target dari ligan itu pada membran sel.
Contohnya, tingginya konsentrasi norepinefrin di sirkulasi pada pasien pheokromositoma memicu terjadinya suatu down regulasi dari reseptor β-
adrenergik. Desensitisasi reseptor merupakan suatu proses fisiologis meskipun stimulus tetap ada. obat yang bersifat antagonis terhadap suatu reseptor
sering meningkatkan densitas reseptor pada membran sel (up-regulasi). Penghentian obat antagonis reseptor secara tiba-tiba bisa menghasilkan suatu tanggapan yang berlebihan terhadap agonis endogen dari reseptor itu . Ini meruoakan suatu alasan mengapa sebagian besar obat kardiovaskular harus tetap dilanjutkan selama periode post-operatif.
Beberapa penyakit dikaitkan dengan adanya disfungsi pada reseptor. Contohnya: kegagalan fungsi hormon paratiroid dan arginin vasopresin untuk meningkatkan cAMP pada organ target bermanifestasi sebagai
pseudohipoparatiroidisme dan diabetes insipidus nefrogenik. Grave’s disease dan myastenia gravis terjadi akibat adanya suatu antibodi yang menyerang thyroid-stimulating hormone (TSH) dan menyerang reseptor asetilkolin nikotinik.
Sinaps berfungsi sebagai suatu dioda yang mentransmisikan potensial aksi dari membran pre-sinaps menuju ke memran post-sinaps melewati suatu celah .sinaps. Membran pre-sinaps mengandung vesikel-vesikel yang berisi .neurotransmiter dan memiliki mekanisme pompa re-uptake untuk
mengembalikan neurotransmiter ke dalam aksoplasma pre-sinaps. Membran pre-sinaps juga mengandung voltage-gated ion channels. Transmisi sinyal apda sinaps dimulai saat potensial aksi mencapai voltage-gated ion channels ini. Depolarisasi menimbulkan masuknya ion kalsium melewati saluran ionnya. Ion kalsium ini akan berikatan dengan suatu protein khusus yang dinamakan release apparatus pada akson dan vesikel di membran pre-sinaps. Kalsium akan
memicu terjadinya fusi vesikel ke dalam membran dan pelepasan neurotransmiter pada celah sinaps melalui proses eksositosis. Kalsium yang ada pada cairan
ekstraseluler merupakan suatu syarat penting dalam proses pelepasan neurotransmiter sebagai tanggapan adanya suatu potensial aksi. dampak kerja kalsium
bisa dihambat oleh magnesium. Neurotransmiter pada celah sinaps akan berikatan dengan reseptor yang
ada pada membran post-sinaps. Area pengikatan ini merupakan bagian eferen dari .suatu potensial aksi yang kemudian akan diteruskan ke sel neuron lainnya. Pada membran post-sinaps ada berbagai jenis reseptor dan protein struktural yang berperan dalam mempertahankan homeostasis sinaps. .ada beberapa mikrokonsep mengenai bagaimana suatu sinap itu .
Pertama, sinaps dikatakan terdiri atas dua struktur yang saling berkaitan .membentuk sinaps. sering , neuron pre-sinaps berupa pelebaran dari akson
akibat adanya suatu vesikel-vesikel yang mengandung neurotransmiter pada struktur ini. Kedua, sinaps biasanya terlihat sebagai suatu celah yang melebar.
namun , sinaps biasanya cukup sempit, berukuran tidak lebih dari 20 nm. saat vesikel melepaskan isinya ke dalam celah sinaps, konsentrasi .neurotransmiter akan meningkat cukup tinggi pada waktu yang singkat. Terakhir, baik dendrit ataupun akson memiliki penjalaran yang meluas. perambatan ini bisa berkaitan dengan milyaran sel-sel otak membentuk suatu sirkuit yang sangat kompleks. Modulasi Sinaps
Resting transmembrane potential dari suatu neuron pada sistem saraf pusat berkisar antara -70 mV, dan kurang dari -90 mV pada saraf perifer dan otot
skeletal. Potensial ini penting dalam mengatur tanggapan sifitas dari suatu neuron dan dipengaruhi oleh reseptor-reseptor pompa Na-K ekstrasinaps. Inhibisi dan eksitasi dari potensial post-sinaps dimodulasi oleh sinyal-sinyal tertentu yang
akan menetukan apakah akan terjadi depolarisasi ataupun tidak terhadap adanya suatu stimulus.
Delay pada sinaps terjadi selama 0,3 - 0,5 millisecond. ini diperlukan untuk menyediakan waktu transmisi impuls menuju ke neuron post-sinaps. Waktu delay ini merupakan waktu yang dipakai untuk pelepasan neurotransmiter, .waktu untuk neurotransmiter itu berdifusi pada reseptor post-sinaps dan .waktu untuk mengubah permeabilitas membran post-sinaps sebagai tanggapan .terhadap ion tertentu.
Kelelahan sinaps merupakan penurunan impuls listrik pada membran post-sinaps saat suatu sinaps terus-menerus mengalami stimulasi. Contohnya:
kelelahan sinaps berupa penurunan eksitabilitias otak terjadi sesudah pasien mengalami kejang. ini merupakan suatu mekanisme protektif untuk
melindungi neuron dari stimulasi yang terus-menerus. Mekanisme terjadinya kelelahan sinaps ini kemungkinan sebab habisnya neurotransmiter yang disimpan pada vesikel pre-sinaps.
Fasilitasi post-tetanik merupakan suatu peningkatan tanggapan neuron post-sinaps terhadap stimulus. ini terjadi akibat adanya suatu periode istirahat
sesudah suatu neuron mengalami stimulasi dan eksitasi yang berkelanjutan. Fenomena ini dihasilkan akibat peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler yang .akan memicu pelepasan neurotransmiter. Fasilitasi post-tetanik ini merupakan mekanisme adanya suatu memori jangka pendek.
Faktor yang Mempengaruhi tanggapan Neuronal
Neuron sangat sensitif terhadap perubahan pH dari cairan interstisial di sekitarnya. Contohnya, keadaan alkalosis akan meningkatkan eksitabilitas suatu
neuron. Hiperventilasi bisa memicu terjadinya kejang pada pasien yang suseptibel. Sebaliknya, asidosis bisa menurunkan eksitabilitas suatu neuron. yang mana penurunan pH arteri hingga 7,0 berpotensi untuk menimbulkan koma. Hipoksia bisa memicu berhentinya kerja neuron secara total dalam
waktu 3-5 menit. ini tercermin dari terjadinya penurunan kesadaran secara tiba-tiba sesudah adanya penurunan aliran darah ke otak.