halaman 2
Pemeriksaan khusus yang dilakukan antaralain: pemeriksaan tes fungsi hati, gula darah, analisa gas darah, skrining HIV, VDRL. darah rutin, hitung jenis, profil pembekuan, ureum, kreatinin dan elektrolit,
Penemuan tidaknormal , seperti anemia, trombositopenia, koagulopati, hiponatremia, dan naiknya ureum dan kreatinin. Hipokalsemia mungkin terjadi pada beberapa peristiwa , sebagai akibat chelasi dari kalsium yang
terionisasi oleh trigliserida yang dibebaskan oleh lipase bakterial.Leukositosis dengan hitung jenis lekosit di atas 15.000/mm3 dan .pergeseran ke kiri ditemukan pada lebih dari 85% peristiwa . Neutrofilia menunjukan infeksi bakteri yang hebat. Perlu dilihat bahwa leukositosis mungkin tidak ditemukan pada pasien dengan imunosupressi , Anemia mungkin tampak sebagai petunjuk sepsis. Koagulopati bisa ditanda kan dengan naiknya Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT), dan trombositopenia. naiknya nilai fibrinogen dan D-dimer positif menunjukan onset dari Disseminated Intravascular Coagulation (DIC).Kultur urin dan darah, bersamaan dengan apusan luka dan spesimen dari kultur bakteri perlu . Status HIV harus dipastikan pada semua pasien, sebab Fournier’s gangrene mungkin yaitu presentasi pasien dengan HIV. Imaging radiologis bisa bermanfaat jika diagnosa meragukan, namun
pemeriksaan ini jangan sampai menunda pengendalian pembedahan. X-ray perut dan pelvis mungkin akan memberi petunjuk gas pada lapisan fascia subkutan di area perineum dan dinding perut . Ultrasonografi memberi petunjuk yang lebih baik pada area
perineum dan skrotum. petunjuk bayangan hiperakustik pada fascia yaitu diagnosa bagi pembentukan gas dan lebih peka dibandingkan evaluasi klinis untuk krepitasi . walau demikian, pada pasien dengan nyeri yang hebat pada palpasi, pemeriksaan nultrasonografi akan dirasakan terlalu nyeri.Computerized Tomography (CT) lebih peka dalam menunjukan gas subkutan dan retroperitoneal dan terkumpulnya cairan, namun pemakaian zat kontras sebaiknya dihindari pada pasien dengan gagal ginjal. Magnetic Resonance (MR) yaitu modalitas imaging yang paling peka untuk
mengevaluasi patologi pada jaringan lunak, namun pemeriksaan ini mahal dan tidak semua rumah sakit memiliki modalitas ini.
diagnosa Fournier’s gangrene dibuat berdasar klinis. Biasanya diawali dengan gejala prodromal seperti demam, kelelahan, mual, dan muntah, rasa tidak nyaman di perineum, dan gula darah yang buruk pada penderita diabetes, selama 2 - 9 hari Rasa tidak nyaman di area genital dan perineal semakin memburuk, menimbulkan nyeri, gatal, dan rasa terbakar, erythema, pembengkakan, dan nekrosis kulit yang nyata. Mungkin akan ada discharge yang purulen dengan bau fekal. Nyeri mungkin akan mereda akibat munculnya kerusakan saraf ,. Krepitasi mungkin sulit ditemukan sebab nyeri pada saat palpasi, namun krepitasi ditemukan pada 40 - 70% peristiwa
petunjuk klinis seperti meningkatnya suhu badan , takikardia, takipnea, ileus, kendalikan gula darah yang buruk, dan kolaps vaskular mungkin ditemukan, namun tidak selalu ada, terutama pada pasien dengan gangguan
immunosupresif yang mendasarinya. diagnosa kadang terlambat akibat obesitas, komunikasi yang buruk (pada pasien stroke dan dementia) atau pemeriksaan fisik yang tidak kuat . Di Afrika, pasien biasanya mencari
bantuan pertama kali ke dukun, sehingga pengobatan medis terlambat dilakukan , Sekali ada nekrosis di kulit, fascia yang berada di bawahnya sudah mengalami nekrosis yang luas. ini menjelaskan penemuan yang sering dari gejala sistemik yang berada di luar proporsi
patologi yang tampak.Gejala dan tanda yang lain tergantung pada asal sumber infeksi. Adanya riwayat Lower Urinary Tract Syndrome (LUTS) menandakan
adanya striktur uretra. Gejala anorektal yang mendahului seperti nyeri, fissura atau hemorrhoids menandakan sumber infeksi dari anorektal. perlu untuk mendatangi dokter jika memiliki kecurigaan yang besar dengan rasa tak nyaman di perineum ditambah dengan gejala sistemik. diagnosa yang salah atau terlambat akan berakibat fatal dan membahayakan.
diagnosa banding untuk Fournier’s Gangrene antara lain:
, Hernia strangulate,Abses skrotum,Selulitis
Warfarin necrosis, Ecthyma gangrenosum (akibat septikemia Pseudomonas )
Streptococcal necrotizing fasciitis,Vascular occlusion syndrome, Herpes simplex,Gonococcal balanitis dan oedema,Pyoderma gangrenosum,Vasculitis allergy,. Polyarteritis nodosa,Necrolytic migratory erythema (glucagonoma syndrome),
pengobatan Fournier’s gangrene yaitu resusitasi
agresif bagi pasien, pemberian antibiotik berspektrum luas (Penicillin, Metronidazole, dan Cephalosporin generasi ketiga), dan surgical debridement
jaringan yang terinfeksi dan nekrosis. Debridement yaitu hal yang paling penting, dan tujuannya yaitu membawa pasien ke dalam ruang operasi
sesegera mungkin . Diversi urin baik dengan pemasangan kateter per uretra maupun dengan pemasangan kateter suprapubik (sistostomi) juga diperlukan. Diversi
fekal dengan colostomy diperlukan pada beberapa peristiwa , dengan tanda : Untuk menurunkan kontaminasi luka,. Bila luka meluas sampai sphincter ani . Perforasi colon atau rectum,Mengenai waktu yang cepat untuk dilakukan colostomy belum ada konsensus yang pasti, namun kecenderungan yang ada, dilakukan pada saat debridement berikutnya, saat kondisi pasien sudah mulai membaik. pilihan lain lain untuk diversi fekal yaitu dengan memakai rectal catheter. pengobatan awal dan preoperasi Jika ada keraguan dalam diagnosa Fournier’s gangrene, pemeriksaan imaging dan laboratorium diperlukan, namun sebaiknya jangan sampai menunda pembedahan. pemicu infeksi sebaiknya dipastikan, dan diingat bahwa pemicu urogenital (striktur uretra) dan infeksi anorektal yaitu faktor pemicu yang paling sering terjadi. .Pemasangan kateter transuretral 16Fr bisa dipakai untuk memastikan
ada tidaknya striktur uretra dan adanya nyeri pada DRE menandakan adanya abses ischiorectal. Jika pemeriksaan itu dirasakan terlalu nyeri oleh penderita, bisa dilakukan di ruang operasi di bawah anestesi umum,
pada beberapa saat sebelum dilakukan debridement.
Resusitasi cairan yang agresif dengan cairan kristaloid atau koloid perlu untuk optimalisasi status hemodinamik pada pasien yang mengalami kekurangan volume cairan atau pada pasien sepsis.Anemia sebaiknya dikoreksi sampai Hb di atas 10 g/dl. Koagulopati
(naiknya International Normalized Ratio [INR], PT, PTT atau trombosit < 100.000) sebaiknya didiagnosa sebelum operasi dan trombosit harus diberikan intraoperasi jika pasien mengalami trombositopenia berat. Pasien dengan diabetes biasanya memiliki hiperglikemia berat, yang bisa dikoreksi dengan glucose-insulin sliding scale. Nilai elektrolit yang tidaknormal harus dikoreksi sebisa mungkin, tanpa menunda debridement.
Terapi antibiotik sebaiknya sesegera mungkin diberikan secara cepat sesuai kultur. Antibiotik parenteral dosis tinggi dan berspektrum luas yang antaralain: bakteri Gram-positif dan Gram-negatif aerob, dan bakteri
anaerob sebaiknya dipakai Antibiotik golongan aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga atau generasi keempat efektif untuk melawan
bakteri Gram-negatif, Metronidazole untuk melawan infeksi bakteri anaerob, dan Penicillin melawan bakteri Gram-positif. Biasanya pemakaian kombinasi
ketiga antibiotik itu , masing-masing satu dari tiap kelompok, secara klinis efektif . walau demikian, untuk memastikan antibiotik yang kuat melawan enterococci, menyarankan pemakaian .kombinasi dari ureido-penicillin piperacillin dengan tazobactam inhibitor beta-
laktamase. bahwa antibiotik tidak akan bisa menembus
jaringan yang nekrosis atau iskemik, dan hanya bisa berfungsi sebagai lanjutan dari pengobatan bedah definitif , Tetanus toksoid sebaiknya diberikan pada semua pasien Onset of Shock Septic ditandai antaralain : perubahan sensorik, hipotensi, .hipoperfusi, oliguria, asidosis laktat. Kegagalan multiorgan harus
diatasi dan dicegah dengan pengobatan cairan yang agresif dan pemantauan vaskular invasif. Tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure) lebih dari 65 mmHg dan tekanan vena sentral (CVP) sekitar 8 - 12 cm H2O
harus tetap dipertahankan. ini dilakukan dengan tujuan optimalisasi penghantaran oksigen dengan:
Optimalisasi transpor oksigen dengan memakai Packed Red Cell (PRC) untuk mempertahankan hemoglobin di atas 10 g/dl. Mempertahankan saturasi oksigen di atas 90% dengan memakai masker oksigen, Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) atau ventilasi mekanik.
Optimalisasi cardiac output dengan meningkatkan heart rate dan stroke volume, dengan memakai obat-obatan simpatomimetik dan volume ekspansi.
Pembedahan Debridement yang segera dan agresif perlu , sebab secara menonjol bisa menurunkan angka kesakitan dan kematian Prosedur ini sebaiknya dilakukan dalam anestesi umum, sebab penyebaran infeksi yang sesungguhnya biasanya tidak diketahui
pada preoperasi . Pasien sebaiknya diletakkan pada posisi dorsal lithotomy ,Tujuan debridement yaitu untuk
membuang sumber infeksi dan jaringan yang terinfeksi Ahli bedah dan pasien sebaiknya disiapkan pada kemungkinan debridement radikal.Insisi midline perineal dan scrotal biasanya memberi paparan awal
yang terbaik . Debridement diperluas secara radial dari insisi kulit, dengan tetap memperhatikan anatomi dari fascia. Hanya kulit yang tampak nekrosis saja yang dieksisi. Kulit yang masih viabel harus dimobilisasi
sehingga semua jaringan subkutan dan fascia di bawahnya yang mengalami nekrosis bisa dieksisi.
tanda yang baik dari perluasan infeksi yaitu yang mana fascia yang terkena tidak bisa dipisahkan dari fascia dan otot di sebelah dalamnya dengan diseksi tumpul . Tepi luka seharusnya berdarah seperti jaringan normal, yang
menandakan pembuluh darah yang patent.
Jika discharge purulent tidak bisa diperoleh dari uretra, kateter 16 Fr bisa dipasang sampai ke buli, ini menandakan bahwa uretra bukan yaitu sumber infeksi. Bila kateter transuretra tidak bisa dipasang
dengan mudah, bisa dilakukan pemasangan kateter suprapubik . Kateterisasi penting untuk pemantauan cairan dan perawatan luka yang kuat
Colostomy ditanda kan bila sphincter ani terkena, dan bila ada perforasi rektal atau colon, pada pasien immunocompromized dengan inkontinense fekal, dan bila ada infeksi yang luas yang mengenai segitiga
perineal posterior. Colostomy memungkinkan perawatan luka yang lebih baik ,bahwa pembuatan colostomy bisa ditunda sampai debridement kedua bila pasien sudah diresusitasi dengan lebih baik dan lebih stabil, sebab
sebagian besar pasien dengan penyakit yang akut mengalami ileus paling tidak sampai 48 jam sesudah masuk rumah sakit Testis, sebab suplai darahnya nonperineal, jarang terkena, dan orchidectomy diperlukan hanya pada sekitar 10 - 20% peristiwa , jika ada infeksi
yang luas atau adanya pemicu testikuler sebagai sumber infeksi Selama scrotectomy, semua jaringan yang nekrosis kecuali testis dan spermatic cord harus didebridement. Testis bisa dipendam/dimasukkan ke
dalam kantung femoral lateral, atau di dalam subcutaneous perut pouch, tergantung luasnya debridement yang dilakukan. Tindakan ini sebaiknya
tidak dilakukan pada debridement awal, namun dilakukan pada prosedur berikutnya, untuk menurunkan risiko abses femoral dan perluasan infeksi. Jika testis dibenamkan ke dalam kantung femoral, sebaiknya diletakkan
pada level yang berbeda, untuk mengeliminasi risiko testis saling bergesekan pada saat pasien berjalan Pemindahan testis dari kantung dan rekonstruksi scrotal bisa dipertimbangkan kemudian.
Management Post operasi
Luka harus diamati tiap hari. Rata-rata diperlukan 2,5 kali debridement pada tiap pasien yang dikabarkan dalam literatur Kultur bakteri harus diperiksa untuk memastikan
pemberian terapi antibiotik yang sesuai. Jika pasien mengalami gagal ginjal, pemberian aminoglycoside harus dihindari, dan bisa diberikan golongan sefalosporin generasi ketiga atau keempat.Infeksi nosokomial harus dicegah sebisa mungkin. Komplikasi pulmonal (seperti atelektasis) harus dicegah. Jika pada pascaoperasi
demam masih ditemukan atau secara klinis pasien tidak membaik, harus dicurigai adanya sumber infeksi yang persisten. CT scan atau MRI bisa menunjukan pemicu infeksi yang berasal dari intraperut atau
retroperitoneal. walau bila pada pemeriksaan itu hasilnya negatif, sebaiknya juga dipikirkan untuk reeksplorasi dan redebridement dalam anestesia. Gula darah dipertahankan pada level 4 - 6 mmol/l (74 - 110 mg/dl) untuk optimalisasi imunitas seluler dan mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan sepsis, tanpa memperhatikan apakah pasien memiliki riwayat
diabetes atau tidak Pada pasien dengan infeksi akut, munculnya ileus, stress ulcers dan translokasi flora usus yaitu komplikasi yang sering ditemukan. Stress
ulcers bisa dicegah dengan pemberian sucralfate (1g tiap 6 - 8 jam). Integritas usus bisa dipertahankan dengan dimulainya feeding gastrointestinal sedini
mungkin dan memakai enteral feeding dibandingkan pemberian nutrisi parenteral ,
Oksigen Hiperbarik
Hyperbaric Oxygen (HBO) sudah dipakai sebagai terapi dalam pengobatan Fournier’s gangrene. Protokol yang biasa dipakai berwujud sesi multipel pada 2,5 atm selama 90 menit dengan inhalasi oksigen 100% tiap
20 menit ,HBO meningkatkan level tekanan oksigen di jaringan dan berdampak yang menguntungkan pada proses penyembuhan luka. Oxygen Free Radical
dibebaskan dari jaringan yang hipoksia, yang bersifat toksik pada bakteri anaerobik. Aktivitas fibroblast meningkat dengan diikuti angiogenesis yang akan mempercepat penyembuhan luka. Namun HBO ini mahal dan tidak nyaman. Kontratanda metode ini
yaitu yang mana ruang udara tertutup pada badan bisa mengalami kerusakan akibat ekspansi pada saat pengembalian ke tekanan atmosfer yang normal,
seperti sinusitis, otitis media, asma, dan penyakit pulmonal bulosa (bullous pulmonary disease). Perhatian khusus harus diberikan pada penderita diabetes,
yang mana hipoglikemia bisa dieksaserbasi oleh HBO.
Beberapa kita mempertanyakan efikasi empirik dari HBO, dan menyarankan pasien sebaiknya diseleksi, jika area permukaan badan yang terinfeksi amat luas atau memberi respon yang buruk pada infeksi anaerob. Penting dicatat bahwa HBO ini hanya yaitu terapi
tambahan dan tidak menimbulkan penundaan pemberian antibiotik yang sesuai dan debridement
Perawatan luka yang sudah di debridement memungkinkan debridement kimia sebagai tambahan, pencegahan reinfeksi, dan mempercepat penyembuhan alami dan granulasi. Hidrogen peroksida, Eusol, povidone
iodine, dan sodium hipoklorit (Dakin solution) yaitu agen yang paling sering dipakai Eusol (Edinburgh University solution) yaitu desinfektan klorin yang termasuk di dalam kelompok agen terapeutik yang esensial
dari WHO. Larutan ini terdiri dari calcium hypochlorite 1,25 g dan asam borat 1,25 g di dalam 100 ml air steril. walau tidak tersedia secara komersial, larutan ini mudah diperoleh di rumah sakit, dan harganya tidak mahal dan
yaitu agen yang efektif dipakai di negara berkembang. Irigasi sederhana dengan larutan NaCl steril menjaga dressing/balutan tetap lembab dan bisa efektif dalam membersihkan luka terbuka yang luas. Madu juga bisa dipakai , sebab osmolaritasnya yang tinggi dan pH yang .rendah membuat madu yaitu agen yang baik, yang mana madu bisa meningkatkan konsentrasi oksigen lokal dan membantu epitelialisasi luka ,Infeksi luka Pseudomonas, ditandai dengan residu berwarna hijau dan bau khas pada balutan, bisa secara efektif diterapi dengan balutan asam asetat 5%.
Bila pasien sudah stabil dan berada dalam status anabolik, dengan granulasi pada luka, rekonstruksi area yang tanpa kulit itu bisa dilakukan. Skin graft hanya dilakukan bila luka bersih dan sehat dengan hasil kultur apus bakteri negatif.Pembedahan Rekonstruksi Tergantung dari luas ndampak kulit, pilihan untuk rekonstruksi berwujud
penjahitan luka, split thickness skin graft, atau myocutaneous vascularized pedicle flap. defek yang kecil bisa ditutup dengan penjahitan primer, khususnya
bila hanya lipatan kulit scrotum yang terkena. Split thickness skin grafting yaitu cara yang paling sering dipakai dan memberi hasil yang baik, bahkan pada defek yang luas Kulit yang sehat dari tungkai, bokong, dan lengan bisa dipakai sebagai donor, baik dalam setting tunggal atau multipel. defek kulit pada shaft penis haruslah di graft secara bebas untuk mencegah pembentukan scar fibrotic yang bisa menimbulkan masalah ereksi di kemudian hari.Pada defek yang luas, khususnya bila ada tendon ekspose, flap
myokutan vaskuler bisa dipakai . Flap femoral medial, contoh gracilis myocutaneous pedicle flap, memberi hasil yang terbaik, sebab dekat dengan perineum, mobilitas yang baik, dan scar pada donor tersembunyi
Flap lain yang memakai arteri epigastica inferior bisa dipertimbangkan. Pada lakilaki dengan komorbid striktur uretra, urethroplasty mungkin akan sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan akibat kehilangan kulit
penoscrotal yang luas dan bahkan uretra itu sendiri. Mukosa bukal bisa dipakai untuk merekonstruksi uretra, namun pada beberapa peristiwa dengan kehilangan jaringan yang luas, urethrostomy perineal permanen bisa menjadi pilihan terbaik.
Komplikasi
Sepsis yang tak teratasi mungkin akibat debridement yang tak sempurna, yang mungkin masih diperoleh sumber infeksi, atau pada pasien dengan respon imun yang buruk. Kegagalan multiorgan tampaknya akibat dari sepsis yang tak teratasi dan sebagian besar mengenai sistem kardiovaskular pulmo dan sistem renal. Koagulopati, kolesistitis akalkuli dan cedera serebrovaskular sudah dikabarkan Myositis dan myonekrosis pada area paha atas mungkin terjadi akibat sepsis yang berasal dari kantung testicular subkutan yang terjadi selama debridement pertama dibandingkan dengan debridement kedua
Komplikasi lanjut bisa berwujud :
Kehilangan income/pemasukan dan permasalahan dalam kehidupan ,keluarga akibat masa perawatan yang lama.. Lymphedema pada tungkai akibat debridement pelvis dan bisa diikuti dengan munculnya thrombophlebitis
Chordee, ereksi yang nyeri, dan disfungsi ereksi
. Infertilitas sebagai akibat dibenamkannya testis di kantung femoral (temperatur tinggi). Squamous cell carcinoma pada jaringan parut . Kontraktur akibat immobilisasi yang lama, Depresi akibat perubahan badan dismorfik
Prognosis
dikabarkan angka kematian pada Fournier’s gangrene berkisar antara 0% - 50% dengan rata-rata 25% - 30%. Faktor yang berkaitan dengan outcome yaitu disabilitas fisik, perluasan infeksi, pengobatan yang terlambat,
status imunitas yang buruk, diabetes mellitus, usia tua, dan kegagalan multiorgan . Nilai laboratorium yang berkaitan dengan meningkatnya angka kematian yaitu leukositosis, naiknya ureum, kreatinin, alkaline phosphatase (ALP) dan lactate dehydrogenase (LD),
dan penurunan hemoglobin, albumin, bicarbonate, sodium, dan potasium
Torsio apendiks testis atau apendiks epididimis yaitu salah satu dari pemicu akut skrotum dan sering terjadi kesalahan dalam mendiagnosa
dengan epididimitis atau epididymo-orchitis. Torsio apendiks testis berasal dari sisa-sisa cranial mullerian sedang apendiks eididimis berasal dari sisa-sisa
duktus Wolfii. Anatomi dari apendiks beragam . Apendiks testis terletak pada pole atas testis atau di antara testis dan epididimis, sedang apendiks
epididimis terletak di sepanjang caput itu
Epidemiologi
Torsio apendiks paling sering muncul pada usia pubertas yaitu usia 7 - 14 tahun. pemicu pasti torsio apendiks tidak diketahui dengan pasti, diduga sebab adanya stimulasi hormon saat pebertas, memicu munculnya naiknya ukuran dan membuat lebih mudah untuk berputar
Faktor Risiko
munculnya torsio apendiks biasanya pada anak-anak usia pubertas PatogenesisDalam perjalanan torsio testis, lesi dari torsio bisa berubah menjadi edema dan sumbatan sampai terjadi perdarahan dan nekrosis jaringan yang
memicu infiltrasi komponen inflamasi seperti neutrofil atau eosinofil. Akibatnya, terjadi fibrosis dan kalsifikasi jaringan yang mengalami torsio
diagnosa Manifestasi Klinis Nyeri pada torsio apendiks biasanya tidak separah nyeri pada torsio testis dan biasanya rasa sakit dan pembengkakan muncul secara bertahap selama beberapa hari. Gejala yang muncul bisa beragam mulai nyeri yang mendadak atau bertahap, mulai perasaan tidak nyaman, sampai nyeri yang
hebat. Beberapa penelitian gagal menandakan perbedaan yang menonjol antara nyeri pada torsioapendiks dibandingkan dengan torsio testis, namun
pasien dengan torsio apendiks memiliki gejala sistemik
seperti mual, muntah atau nyeri tidak seberat pada torsio testis. Selain itu, rasa sakit bisa meningkat dengan aktivitas dan menghilang saat istirahat
Pemeriksaan Fisik
Pada proses awal kita bisa merasakan adanya apendiks testis yang terpelintir dengan cara memalpasi pada area yang nyeri atau ada massa di pole atas testis (3 - 5 mm), ini bisa dilakukan sebelum terjadi edema dan inflamasi lokal pada testis. Pada pemeriksaan fisik diperoleh
nodul di superior dari testis ditambah nyeri, dengan atau menghilangnya reflek kremaster. Pada beberapa peristiwa , apendiks yang mengalami infark bisa dilihat melalui kulit skrotum sebagai blue dot sign yang patognomonik untuk
torsio apendiks Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung pada tingkat keparahan inflamasi dan waktu munculnya gejala. Blue dot sign pertama kali
dideskripsikan oleh Dresner pada tahun 1973 sebagai perubahan warna yang terlihat pada dinding skrotum pada anak laki-laki prepubertas saat kulit ditarik pada awal perjalanan penyakit. Blue dot sign dikabarkan muncul sekitar 0 - 52%. “Blue dot” bisa terlihat sebelum terjadi edema skrotum, apendik yang bengkak mungkin muncul sebagai “Blue dot”. sebab proses inflamasi yang
berlanjut, edema skrotum menghalangi apendiks yang bengkak, sehingga salah satu tandanya menghilang. Semakin lama waktu munculnya apendiks testis semakin susah untuk membedakan apendiks testis dari akut skrotum lainnya. sebab beberapa gejala tidak menonjol dan pemeriksaan fisik pada skrotum juga ditemui pembengkakan dan nyeri ,Pemeriksaan reflek kremaster bisa menunjukan hasil yang positif dan negatif, sebaiknya pemeriksaan reflek kremaster pada torsio apendiks tidak dipakai sebagai pedoman apakah pasien mengalami torsio atau tidak
Pemeriksaan Penunjang
Pada USG akan nampak pembesaran pada apendiks testis. Pada suatu penelitian, ukuran torsio apendiks testis antara 5 - 10 mm (rata-rata 7 mm), dan
ukuran normal apendiks antara 1,6 - 4,5 mm (rata-rata 3,1). bahwa ukuran testis apendiks normal berkisar antara 1 dan 7 mm. Oleh sebab itu, kriteria cut off poin yaitu 5 mm atau lebih besar untuk ukuran torsio apendiks. Hasil ini sesuai dari penelitian lain, yang mengabarkan
bahwa ukuran torsio apendiks testis berkisar antara 5 dan 16 mm . Pada USG testis diperoleh ekogenisitas yang normal, vaskularisasi yang normal, dan torsio appendiks akan tampak sebagai nodul dengan ekogenisitas yang beragam . Adanya hidrokel memicu
pembesaran dari kepala epididimis dan terjadi penebalan kulit. petunjuk testis yang normal bisa mengabaikan adanya torsio testis. sedang pada USG Doppler, tidak tampak aliran darah pada torsio apendiks, namun terlihat
naiknya aliran darah yang di sekelilingnya. petunjuk hipoekoik pada torsio apendiks dengan onset nyeri 24 jam pertama, sedang petunjuk Blue Dot Sign pada pasien dengan torsio apendiks kiri.
isoekoik dan hiperekoik bisa diamati pada pasien yang diperiksa lebih dari 24 jam sesudah muncul nya nyeri USG Doppler potongan aksial testis kanan pada laki-laki 3 tahun dengan nyeri skrotum yang berlangsung selama 5 jam. tampak petunjuk testis dengan bentuk, struktur, dan vaskularisasi yang normal Pada torsio apendiks nampak petunjuk nodul avascular hipoechoic yang dikelilingi oleh naiknya vaskularisasi.
pengobatan
Tata laksana pada torsio apendiks testis bisa dilakukan tanpa pembedahan dan hanya dengan pengobatan pendukung namun sesudah ada kepastian bahwa diagnosa torsio testis sudah disingkirkan. Dari 800 pasien yang sudah diteliti, hanya sekitar 5% yang memerlukan pembedahan, sebab pada torsio apendiks sering gejalanya hilang secara spontan. Gejala akan
berkurang sekitar 3-5 hari dengan pembatasan kegiatan untuk meminimalisasi rasa sakit, bed rest, dan pemakaian NSAID seperti ibuprofen. Selain itu, scrotal support dengan celana ketat bisa mengurangi mobilitas dari testis dan mengurangi nyeri. Nyeri yang berat dan berkepanjangan atau episode yang berulang harus dilakukan pembedahan untuk mengurangi nyeri dan
morbiditas
Komplikasi Testis yang sudah mengalami nekrosis jika tetap dibiarkan berada di dalam skrotum akan merangsang terbentuknya antibodi antisperma sehingga
mengurangi kemampuan fertilitas di kemudian hari
Prognosis
sebab torsio apendiks, yaitu proses yang self-limited, maka campurtangan pembedahan pun biasanya jarang dilakukan, sehingga biasanya prognosisnya baik. Tujuan terapi hanya untuk mengurangi proses inflamasi
dengan kompres es atau dengan pemberian obat antiinflamasi, dan mengurangi aktifitas fisik
Trauma pada testis biasanya termasuk peristiwa trauma yang jarang. peristiwa trauma pada skrotum dan testis sering terjadi secara unilateral, hanya sekitar 1% dari semua peristiwa dengan trauma skrotum dan testis bilateral Pada trauma skrotum, penetrasi yang melibatkan kedua testis diperoleh 36% dari semua peristiwa . Sekitar 80% dari trauma testis diakibatkan
oleh trauma tumpul Trauma testis bisa dibagi menjadi tiga kategori berdasar pemicu nya, yaitu trauma tumpul testis, trauma tusuk testis, dan degloving testis. Umunya kejadian nya pada usia 10 - 40 tahun. Trauma tumpul pada skrotum bisa memicu dislokasi, rupture, dan hematom subkutaneus skrotum. Ruptur testis bisa terjadi sebanyak 55% dari seluruh trauma tumpul skrotum
Patogenesis
Testis ditutupi oleh jaringan ikat yang dinamakan tunika vaginalis dan tunika albuginea. Tunika albuginea yaitu lapisan visceral yang menutupi testis sedang tunika vaginalis yaitu lapisan parietal yang berasal
dari hydrocele sac. Tunika albuginea yaitu lapisan yang melindungi testis jika testis ruptur. Diperlu kan tekanan sekuat 50 kg untuk memicu testis ruptur.
Lapisan tunika albuginea memiliki jalur ke tunika vaginalis sehingga jika terjadi perdarahan maka akan masuk ke tunika vaginalis yang dinamakan hematocele. Kerusakan pada tunika vaginalis bisa memicu ekstravasasi
darah ke dinding skrotum yang dinamakan hematom skrotum ada dua faktor yang melindungi testis dari trauma minor, yaitu lapisan tipis dari cairan serous, yang memisahkan tunika albuginea dengan tunika vaginalis sehingga testis bisa bergerak bebas di dalam kantong
skrotum. Yang kedua, testis tergantung di dalam skrotum oleh funikulus spermatikus, sehingga bisa bergerak bebas di dalam area genitalia
Trauma Tumpul Testis
Trauma tumpul pada skrotum bisa memicu dislokasi, ruptur dan hematocele. Dislokasi testis Secara keseluruhan kejadian dislokasi testis relatif jarang, biasanya terjadi sebab kecelakaan kendaraan bermotor dan lalu lintas di jalan Dislokasi bilateral pernah dikabarkan sebanyak 23% dari dislokasi testis, terdiri dari:
Dislokasi internal, pada peristiwa ini posisi testis berpindah ke cincin inguinal eksternal, kanalis ingunalis, dan rongga perut . Dislokasi subkutaneus, dengan perpindahan pada epifisial dari testis
Testis Ruptur
Testis ruptur ditemukan sebanyak 50% dari trauma tumpul pada skrotum. peristiwa ini terjadi sebab adanya kompresi yang kuat ke ramus pubis inferior sehingga memicu rupture pada tunika albuginea pada
testis. Sebuah penelitian oleh Wasko dan Goldstein memperkirakan bahwa perlu kekuatan sekitar 50 kg untuk memicu Testis ruptur
Hematocele
Hematocele diarti kan sebagai kumpulan darah yang berada di antara lapisan parietal dan viseral tunika vaginalis yang memicu naiknya ukuran skrotum. Hematocele bisa digolongkan menjadi dua: idiopatik
dan sekunder. Hematocele idiopatik atau spontan memberi riwayat trauma pada testis, atau nyeri pada organ dan tampaknya lebih sering terjadi
pada pasien lansia zHematocele sekunder biasanya terkait dengan riwayat trauma pada skrotum,
operasi di area sekitarnya, atau neoplasma. Hematocele sekunder non-traumatik bisa dipicu oleh perubahan hematologis atau vaskulitis
diagnosa
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan dasar dalam melakukan diagnosa trauma testis. Testis Ruptur harus dipertimbangkan dalam semua peristiwa trauma tumpul skrotum. Kebanyakan pasien mengeluhkan rasa sakit skrotum dan mual. Pembengkakan dan echymosis bisa terjadi secara beragam dan derajat hematoma tidak berkaitan dengan keparahan cedera, tidak ditemukannya bengkak, echymosis, dan atau hematoma tidak sepenuhnya bisa mengabaikan ruptur testis, dan kontusio tanpa fraktur
bisa memicu pendarahan yang menonjol . Perdarahan skrotum dan hematocele bersamaan dengan nyeri tekan skrotum sering menghambat pemeriksaan fisik. Trauma uretra yang terjadi bersamaan dengan trauma
testis juga harus dicurigai dan dievaluasi saat diperoleh darah di meatus atau jika mekanisme cedera dan adanya hematuria. Pada trauma tembus harus dilakukan pemeriksaan hati-hati pada struktur sekitarnya, terutama
pada arteri femoralis. Pemeriksaan penunjang ultrasonografi (USG) membantu dalam melakukan diagnosa , khususnya pada peristiwa trauma tumpul yang mana diperoleh kesulitan pada pemeriksaan fisiknya , USG bisa dilakukan untuk menentukan hematoma intra dan atau ekstra-testis, kontusio testis, atau testis ruptur
Pasien biasanya akan datang dengan keluhan nyeri pada skrotum post trauma, mual, muntah, dan dengan kondisi lemah. Tanda - tanda yang sering muncul seperti edema skrotum dan testis tidak teraba ,Hasil USG yang normal tidak boleh menunda untuk dilakukan eksplorasi
pembedahan saat temuan pemeriksaan fisik menandakan kerusakan testis; diagnosa definitif sering dilakukan di ruang operasi.Pemeriksaan USG bermanfaat pada trauma testis, pada beberapa
penelitian akurasi yang diperoleh pada pemeriksaan ini mencapai 94%. Informasi yang diperoleh dari pemeriksaan dengan USG bisa ditingkatkan
jika memakai USG Doppler, dengan USG Doppler ini bisa
memeriksa perfusi pada testis. Pada peristiwa yang mana tidak bisa dipakai USG, bisa diganti dengan pemeriksaan CT-Scan atau MRI testis. namun
pemeriksaan ini tidak bisa meningkatkan secara menonjol dalam mendeteksi ruptur testis
pengobatan
Trauma tumpul testis Dislokasi testis sebab trauma bisa ditangani dengan reposisi manual dan orchidopexy sekunder. Jika reposisi manual primer tidak bisa dilakukan, maka segera lakukan orchidopexy Trauma tumpul pada skrotum bisa memicu hematocele tanpa adanya ruptur testis. mengatasi konservatif dengan memakai es batu, analgetik non steroid, dan istirahat total disarankan pada hematocele lebih kecil dari 3 kali ukuran testis kontralateral. bahwa risiko mengatasi konservatif pada trauma tumpul skrotum memerlukan campurtangan > 3 hari pada banyak peristiwa , dengan dilakukannya orkidektomi bahkan pada testis non ruptur sebab diperoleh nya infeksi lokal dan nyeri. Sehingga mengatasi secara operasi kurang dari 72 jam menciptakan hasil yang lebih baik dibandingkan konservatif ,Nyeri dan perawatan di rumah sakit dalam waktu lama bisa dikurangi dengan penaganan operasi secara dini pada hematocele luas. Jika penyembuhan yang lama pada Hematocele, maka operasi eksplorasi
disarankan. Dengan mengevakuasi klot darah dari tunika vaginalis, nyeri testis bisa disembuhkan dan dihilangkan lebih cepat. Pada peristiwa dengan testis ruptur, operasi eksplorasi dengan eksisi tubulus testis yang nekrosis
dan penutupan tunika albuginea bersifat wajib dan ditambah drainase yang baik ,Dengan campurtangan dini, 80% trauma pada testis bisa diselamatkan dan
berfungsi endokrin testis yang normal. Pemberian antibiotik intravena dan NSAID dalam 6 jam sesudah trauma memicu pengurangan risiko infeksi. Dislokasi testis akibat trauma bisa direposisi secara manual diikuti
dengan operasi orchidopeksi ,
Trauma Tusuk Testis
Trauma penetrasi pada skrotum memerlukan operasi eksplorasi yang diikuti tindakan debridement pada jaringan yang sudah non viabel. Penyusunan kembali pada kerusakan testis akibat trauma tusuk bisa dengan mudah dilakukan pada sebagian besar peristiwa . namun pada infeksi berat atau .necrotizing fasciitis akan dilakukan debridement. sesudah terjadi granulasi pada
luka, operasi rekonstruksi dengan penutupan sekunder kulit skrotum dan penempatan testis bisa dilakukan, jika memungkinkan bisa dilakukan graft dengan split thickness graft pada rekonstruksi skrotum
Pada peristiwa luka tembak, biasanya sekitar 90% testis tidak bisa diselamatkan pada semua peristiwa , gangguan total pada funikulus spermatikus
ditangani dengan memperbaiki vaskularisasi jika memungkinkan. Operasi mikro pada rekonstruksi vas deferens dengan vasovasostomy atau
tubulovasostomy harus dilakukan pada kondisi hemodinamik stabil jika ada kerusakan pada tunika albuginea, mobilisasi pada flap tunika vaginalis bisa dipakai dalam penutupan testis. jika pasien dalam kondisi tidak stabil atau rekonstruksi tidak bisa dilakukan,
maka orkidektomi harus dilakukan. Tunika albuginea harus ditutup dengan jahitan benang kecil yang bisa diserap sesudah menghilangkan jaringan nekrotik. Bahkan defek kecil pada tunika albuginea harus ditutup sebab pembengkakan dan tekanan intratestis yang progresif bisa merusak tubulus seminiferus.
jika kedua testis rusak parah sesudah dioperasi atau sesudah orkidektomi, maka harus dilakukan ekstraksi sperma epididimis testis (TESE) untuk produksi di masa depan Laserasi luas pada kulit skrotum memerlukan campurtangan bedah untuk penutupan kulit sesudah pembuangan benda asing. sebab sifat kulit skrotum
yang elastis, biasanya sebagian besar defek bisa ditutup. Perawatan luka penting dalam pemulihan
tanda operasi eksplorasi pada trauma skrotum:
. Ruptur testis, eksplorasi dengan melakukan evakuasi pada hematom, eksisi tubulus seminiferus yang rusak, dan memperbaiki kerusakan pada tunika albuginea.
. Trauma penetrasi, eksplorasi untuk melihat apakah ada trauma vaskular dan memperbaiki struktur jaringan yang rusak ,Pemberian antibiotik profilaksis disarankan pada trauma penetrasi skrotum, walau data yang mendukung kurang. Pemberian profilaksis tetanus harus diberikan Komplikasi dan Prognosis.Komplikasi pengendalian nonoperasi pada ruptur testis sering
dipicu oleh infeksi, atrofi, nekrosis, dan orkidektomi yang tertunda. Insiden testis yang bisa diselamatkan melebihi 90% dengan eksplorasi dan repair dalam waktu 3 hari sesudah cedera Nilai keselamatan testis
dengan pengendalian konservatif mencapai 30%, sedang pada orkidektomi yang tertunda antara 20% dan 50%
. Sekitar 44% dari pasien awalnya diterapi secara
konservatif, pada akhirnya akan menjalani eksplorasi pembedahan sebab rasa sakit, infeksi, dan hematom persisten , saat pemulihan dan waktu untuk kembali ke kegiatan normal secara menonjol berkurang sesudah dilakukan pembedahan dini.Tidak seperti ruptur testis pada trauma tumpul, trauma penetrasi testis terkait dengan nilai keselamatan testis hanya 31% hingga 64% peristiwa Mayoritas pasien yang melalui pembedahan, berfungsi hormonal dan kesuburan yang kuat .
Para tenaga medis di Instalasi Gawat Darurat (IGD) berpotensi menangani pasien gaduh gelisah setiap hari. biasanya , pasien gaduh gelisah dibawa ke IGD oleh pihak keluarga, tetangga, masyarakat , untuk menangani kondisi pasien itu . Pasien gaduh gelisah biasanya tidak memiliki insight terkait kondisinya saat itu, bahkan mengalami ketidakmampuan dalam menganalisa realita, sehingga pasien tidak merasa dirinya sakit dan tidak merasa perlu
mencari pertolongan medis. Pasien gaduh gelisah yang tidak segera ditangani dengan baik akan berisiko mencederai dirinya sendiri dan pasien -pasien di sekitarnya. Kondisi gaduh gelisah bisa diarti kan sebagai aktivitas psikomotor yang berlebihan, yang kadang terkait dengan kondisi ketegangan psikologis. gejala ketegangan yang muncul termasuk diam, berteriak, membanting sesuatu , mengancam pasien lain berlari tanpa tujuan, mencengkeramkan tangan, pandangan mata yang terus-menerus, mengepalkan tinjunya, perkataan yang mendesak, Kondisi gaduh gelisah yaitu salah satu kritis psikiatri, namun pemicu nya bisa terjadi sebab kondisi medis umum pasien, atau akibat kondisi kejiwaan (psikiatri) pasien. Sayangnya, para tenaga medis saat ini masih sering terjebak dalam suatu stigma, yang mana pasien gaduh
gelisah sering terkait dengan kondisi kejiwaan pasien, dengan kata lain sebab pasien dianggap gila. Oleh sebab itu, penting bagi para tenaga medis untuk lebih memahami akan adanya kemungkinan suatu kondisi organik yang melatarbelakangi kondisi pasien dan melakukan pemeriksaan secara holistik. Kondisi medis umum yang sering terkait dengan kondisi gaduh
gelisah yaitu hipoglikemia, hipoksia, traumatic brain injury, intoksikasi zat, perdarahan masif, hipertermia, hipotermia, meningitis, ensefalitis, ensefalopati, sepsis, stroke, status epileptikus, kejang, tumor otak, gangguan kelenjar tiroid, Huntington’s disease, dan Wilson’s disease. sedang kondisi psikiatri yang bisa menimbulkan kondisi gaduh gelisah yaitu delirium, gangguan mental organik, demensia, gangguan panik/cemas, gangguan
kepribadian borderline/paranoid, gangguan depresi agitatif, gangguan mental dan perilaku akibat penyalahgunaan zat, skizofrenia, gangguan psikotik
akut dan sementara, gangguan afektif bipolar episode kini manik dengan atau tanpa gejala psikotik, gangguan skizoafektif, autis, retardasi mental, ADHD, dan amok
Pertama lakukan pemeriksaan awal yang akurat melalui pemeriksaan vital sign, mencari riwayat penyakit organik dan psikiatri bedan pengobatan pasien sebelumnya, lalu melakukan pemeriksaan kesadaran dan kognitif
pasien. Jika perlu, dilakukan pula pemeriksaan laboratorium darah lengkap, kadar elektrolit, kadar gula darah, toksikologi urin, maupun tingkat oksigenasi
pasien. Tes MMSE (Mini Mental State Examination) juga bisa dilakukan jika pasien sudah dalam keadaan tenang dan kooperasi untuk mendeteksi adakah gangguan kognitif. Kondisi gaduh gelisah sebaiknya ditangani
dengan kecurigaan, dipicu oleh adanya kondisi medik umum, terutama pada pasien yang tidak memiliki riwayat penyakit psikiatri sebelumnya. Pemeriksaan ini untuk mengetahui etiologi yang mendasari kondisi pasien, sekaligus untuk mengeksklusi kemungkinan adanya kondisi medis umum yang mengancam nyawa pasien
Dalam praktik sehari-hari, pasien sering salah terdiagnosa sebagai gangguan psikotik, padahal pasien jatuh dalam kondisi delirium disebab kan pemeriksa tidak melakukan pemeriksaan secara holistik. Kondisi gaduh gelisah juga bisa dipicu oleh adanya kondisi intoksikasi atau withdrawal, sehingga wawancara akan riwayat pemakaian zat pada pasien juga perlu dilakukan. Jika segala kemungkinan kondisi organik sudah tersingkirkan,
maka bisa dipertimbangkan adanya gangguan psikiatri pada pasien , ada empat poin penting dalam mengatasi pasien gaduh gelisah yaitu, manipulasi lingkungan, verbal
de-escalation, fiksasi mekanik, dan campurtangan farmakologi, di antaranya Manipulasi Lingkungan
Perhatian pertama dalam mengatasi pasien gaduh gelisah yaitu memastikan keselamatan pasien dan pasien -pasien yang ada di sekitar pasien. Tenaga medis jangan menempatkan dirinya di situasi yang tak
menguntungkan, contohnya melakukan pemeriksaan seorang yang diri, melakukan pemeriksaan di ruang tertutup atau akses ke pintu keluar terhalang. Semua
barang yang berpotensi mencederai diri pasien atau pasien lain, sebaiknya dijauhkan dari jangkauan pasien. Tempatkan pasien di ruangan yang tenang dengan pencahayaan yang cukup, sambil ditemani oleh keluarga yang dikenal oleh pasien ,tehnik verbal de-escalation yaitu suatu tehnik untuk menenangkan pasien yang terbukti bisa mengurangi kondisi gaduh gelisah pasien dan potensi munculnya tindak kekerasan pasien. Pemeriksa harus bisa bersikap tenang, meyakinkan dan waspada akan apapun kemungkinan yang bisa
terjadi ,tehnik dasar verbal de-escalation
Buat batasan jelas , Tawarkan pilihan dan optimisme,Ada tanya jawab antara pasien dan petugas
Menghargai individu dan lingkungan, Tidak bersifat provokatif,Membina kontak verbal,Komunikasi singkat/ringkasan. Identifikasi keinginan dan perasaan, Dengarkan secara jelas apa yang diucapkan pasien
,Setuju atau setuju untuk tidak setuju,
tenaga medis sebaiknya menghormati hak dan
privasi pasien, tidak memprovokasi atau mengancam pasien sebab akan makin memperparah kondisi gaduh gelisah pasien. Tenaga medis juga sebaiknya mempertahankan kontak secara verbal dengan pasien, dengan cara mengajukan pertanyaan secara singkat, tidak terlalu panjang. Tanyakan bagaimana perasaan pasien dan adakah hal yang diinginkan. Dengarkan dan
pahami perkataan pasien, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Gunakan tehnik agree to disagree jika hal itu bisa menenangkan pasien. Berikanlah
keyakinan pada pasien bahwa kita berniat untuk membantunya, bukan untuk menyakitinya. Jika kondisi pasien sudah mulai tenang, terangkanlah kondisi
pasien saat ini dan berikan penjelasan mengenai pemeriksaan dan terapi apa yang akan diberikan untuk pasien. Tenaga medis juga sebaiknya memberi
penjelasan pada keluarga maupun tenaga medis lain yang terkait mengenai kondisi pasien saat ini dan kemungkinan kondisi gaduh gelisahnya saat ini .berisiko bisa mencederai diri pasien dan pasien -pasien di sekitarnya.
Fiksasi dilakukan untuk membatasi mobilitas fisik pasien, dengan cara mengikat pasien memakai cloth bands agar pasien tidak mencederai dirinya sendiri maupun pasien lain. Fiksasi harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mencederai pasien. Komplikasi yang bisa terjadi akibat fiksasi mekanik yaitu trauma psikologis pasien, dehidrasi, fraktur ekstrimitas, depresi napas, bahkan kematian mendadak. Oleh sebab itu, pasien juga harus dipemantauan secara ketat selama difiksasi
Sedasi total dulunya yaitu tujuan pertama dalam mengatasi pasien gaduh gelisah. namun ini ternyata menyulitkan membangun therapeutic alliance, penentuan diagnosa , dan pengawasan kondisi pasien. pemakaian
obat saat ini lebih bertujuan untuk menenangkan pasien dan mengurangi agresivitas pasien, namun pemeriksa masih memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan yang diperlukan. Obat yang paling sering dipakai biasanya yaitu obat injeksi antipsikotik tipikal (haloperidol), obat golongan benzodiazepine (diazepam,
lorazepam) dan obat injeksi antipsikotik atipikal (Olanzapine, Aripiprazole).
Rash dan keluhan kulit sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan beberapa diantaranya termasuk dalam kritis dermatologi, sehingga tenaga medis perlu mengetahui tipe-tipe kelainan yang termasuk
dalam kritis dalam bidang dermatologi yang bisa membahayakan pasien. perlu mengerti pengobatan yang cepat dalam menangani peristiwa itu . juga memahami waktu dan cara yang cepat dalam merujuk pasien yang mengalami kritis dalam bidang kulit.
Steven-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) yaitu reaksi akut berwujud nekrosis dan epidermolisis yang berat pada kulit dan mukosa yang berbahaya terutama diturunkan oleh obat , TEN dan SJS yaitu erupsi alergi obat yang paling berat ,
Epidemiologi kejadian SJS sekitar 1 - 8 peristiwa persejuta pasien/tahun dan TEN sekitar 0,9 - 1,9 peristiwa persejuta pasien/tahun . bisa terjadi pada semua usia , lebih sering pada wanita. Mortalitas SJS sekitar 3- 17% sedang TEN sekitar 39% ,Beberapa faktor seperti usia lanjut, kondisi komorbiditas yang dimiliki , luasnya lesi menentukan prognosis pasien
Patofisiologi TEN dan SJS secara pasti belum diketahui, namun diduga faktor paling sering yaitu obat-obatan. Lebih dari 1000 obat bisa memicu TEN dan SJS . Terjadi reaksi sitotoksik yang memicu nekrosis epidermis yang ditambah dengan infiltrat mononuklear akibat reaksi sel imun terutama Sel T sitotoksik pada bentuk native obat.
Sekitar 30% TEN dan SJS pemicu nya idiopatik. Agen pemicu infeksi lebih sering memicu eritema multiforme, walaupun bisa berkaitan dengan TEN dan SJS namun jarang .
Kerentanan genetik yaitu HLA-B*1502 dan HLA-B*5801
berperan pada beberapa obat ,
Obat-obatan yang berisiko memicu TEN dan SJS :
Sulfapyridine Quinolones Other NSAIDs ,
(except aspirin),Furosemide,Sulfadoxine Cyclins Sertraline Aldactone,sulfasalazine Macrolides Calcium channel ,
blockers,Carbamazepine β Blockers,Lamotrigine Angiotensin,converting enzyme ,inhibitors,
Phenobarbital Angiotensin II ,receptor antagonists,
Phenytoin Statins,Phenylbutazone Harmones,
Nevirapine Vitamins,Oxicam NSAIDs,Thiacetazone,
Paracetamol ,(acetaminophen),Aspirin,
Sulfamethoxazole Aminopenicillins Pyrazolone ,
analgesics,Sulfonylurea,Sulfadiazine Cephalosporins Corticosteroids Thiazide, dluretics,
bahwa pemicu terbanyak TEN dan SJS terbanyak yaitu obat antimikrobial sebesar 52%, NSAID sebesar 21%, dan anti kejang sebesar 19 %
Beberapa obat masih diduga berisiko memicu TEN dan SJS (parasetamol, pirasolon, kortikosteroid,
beberapa NSAID kecuali aspirin, sertraline).
Beberapa obat berisiko rendah memicu TEN dan SJS , contoh NSAID golongan asam asetat (diklofenak), beberapa antibiotik (aminopenisilin, sefalosporin,
kuinolon, siklin, dan makrolid).
Beberapa obat tidak terbukti berisiko memicu TEN dan SJS , contoh aspirin, sulfonilurea, beberapa diuretik, beberapa hormon, beberapa antihipertensi, dan vitamin
beberapa obat berisiko sering memicu TEN dan SJS , antara lain alopurinol, obat-obat golongan sulfa, obat-obat neuroleptik, dan beberapa non-steroid anti-inflammation (NSAID) golongan oxicam.
Manifestasi klinis dimulai dalam 8 minggu (biasanya 4 - 35 hari) sesudah terpajan obat pertama kali, namun ada yang terjadi dalam beberapa jam. Gejala tidakkhusus contoh demam, nyeri kepala, rhinitis, batuk, malaise bisa
mendahului lesi mukokutan 1 - 3 hari sebelumnya. Kemudian disusul nyeri telan atau rasa terbakar atau menyengat pada mata
Manifestasi klinis TEN dan SJS yang mengalami nekrolisis epidermal beragam . Pedoman dalam
merujuk pasien ke tempat rumahsakit yang sesuai yaitu
mempertimbangkan keadaan masing-masing pasien
sesudah didiagnosa TEN, dievaluasi BSA yang terkena. Jika BSA < 10% dan progresivitas penyakit lambat dan tidak diperoleh pertanda yang berat, kemudian kondisi pasien stabil, maka pasien dirawat inap standar. Jika pasien mengalami progresifitas penyakit, maka pasien sebaiknya dirujuk ke rumahsakit Jika BSA yang terkena ≥ 10% ditambah beberapa kelainan laboratorium contoh bikarbonat serum, kadar urea, kadar glukosa, respiratory rate meningkat, dan tekanan O2 < 80 mmHg, maka
sebaiknya pasien langsung dirujuk ke rumahsakit .
Erupsi kulit diawali pada wajah, badan bagian atas, dan ekstremitas bagian proksimal, dan penyebaran simetris. Ekstremitas bagian distal jarang terkena walaupun bisa terjadi. Lesi menyebar dengan cepat dalam beberapa
hari bahkan dalam beberapa jam. Lesi awal berwujud bercak eritematosa berwarna merah keunguan atau purpura, berbentuk tidak beraturan dengan kecenderungan bergabung. Sering muncul lesi atipik dengan bagian tengah lebih gelap. Lesi nekrotik cenderung meluas, bisa terbentuk bula dengan
Nikolsky sign positif dan mudah pecah meninggalkan lesi yang oozing. Purpura dan makula eritematosa berkembang menjadi bula yang rapuh dan epidermolisis, terutama di badan dan tungkai atas , berdasar luasnya lesi kulit berdasar Body Surface Area (BSA) dibedakan
menjadi :
1. SJS: kurang dari 10% (BSA)
2. SJS/TEN overlap: 10% - 30% BSA
3. TEN: lebih dari 30% BSA
Keterlibatan membran mukosa terjadi sekitar 90% peristiwa . Diawali dengan erupsi eritematosa kemudian menjadi erosi di mukosa mulut, mata, dan genitalia yang nyeri. Hal itu memicu fotofobia, konjungtivitis, dan nyeri saat miksi .
bisa terjadi komplikasi di saluran pernapasan contoh batuk, bronkiolitis, bahkan bisa terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Komplikasi di saluran pencernaan akibat nekrosis epitel pada esophagus, usus,
atau kolon yang bermanifestasi diare, malabsorbsi, melena, bahkan perforasi. bisa terjadi gangguan ginjal berwujud proteinuria, mikroalbuminemia,
hematuria, azotemia .
Lesi awal berwujud bercak eritematosa berwarna merah keunguan atau purpura; bentuknya tidak beraturan dengan kecenderungan bergabung. Sering diperoleh lesi di mukosa.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang memastikan diagnosa . Pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi keparahan dan untuk kepentingan pengobatan . Pemeriksaan yang diperlukan yaitu darah
lengkap, urin lengkap, gas darah, elektrolit, albumin, fungsi ginjal, fungsi liver, gula darah. Pemeriksaan histopatologi diperlukan jika diagnosa meragukan.
Pada pemeriksaan histopatologis diperoleh apoptosis keratinosit, nekrosis, bula, infiltrat mononuklear, dan eosinofil .
TEN dan SJS yaitu penyakit yang berbahaya . diagnosa segera dan penghentian obat-obatan yang diduga menjadi pemicu , terapi pendukung yang dilakukan di rumah sakit diperlukan segera. Perlu diberikan terapi simtomatis untuk meningkatkan kualitas pasien. Keseimbangan elektrolit, hemodinamik, nutrisi yang cukup juga berperan penting untuk kesembuhan. Perawatan lesi kulit dan mukosa dan gejala lain yang dimiliki juga penting dilakukan dengan cepat . Jika diduga ada infeksi yang dimiliki , maka perlu diberikan antibiotik dengan pemilihan antibiotik yang cepat atau antibiotik yang bukan yaitu pemicu SJS
dan TEN ,Terapi kortikosteroid masih kontroversial.
TEN dan SJS yaitu kondisi yang berbahaya sehingga perlu pengendalian yang optimal ,
Beberapa terapi diperlukan untuk pengobatan TEN dan SJS , yaitu:
Perawatan mata jika ada lesi di mukosa mata.,
Perawatan mukosa rongga mulut,Perawatan genitalia, Kortikosteroid,Intravenous immunoglobulin (IVIG),Siklosporin,Plasmapharesis atau hemodilisis,Anti TNF-α ,
Segera hentikan obat yang dicurigai, Terapi pendukung dan simptomatis, Dijaga keseimbangan elektrolit dan hemodinamik,,Menjamin nutrisi yang cukup,Terapi antibiotik jika dicurigai ada infeksi sekunder, pilih antibiotik yang jarang memicu TEN dan SJS ,,
kortikosteroid bisa mencegah perluasan penyakit saat
diberikan selama tahap awal, terutama pemberian intravena dalam beberapa hari. kortikosteroid tidak bisa menghentikan proses penyakit dan bisa memicu dampak samping terutama sepsis.
penelitian kohor dengan desain penelitian yang besar menyarankan terapi steroid pada TEN dan SJS dengan hasil yang bagus ,Usulan pemakaian IVIG berdasar hipotesis bahwa kematian sel melalui perantaraan Fas bisa dicegah atau diputus rantainya dengan anti-Fas
yang ada pada immunoglobulin (Ig). Hasil penelitian masih belum konsisten, sebagian menandakan hasil baik, sebagian menolak pemakaian IVIG untuk TEN dan SJS. Mekanisme Fas-L/Fas juga bukan yaitu mekanisme pertama munculnya TEN dan SJS ,
Beberapa komplikasi yang bisa terjadi antara lain infeksi bahkan sampai sepsis, gagal organ, komplikasi pada paru, kekeringan konjungtiva, dan gangguan lakrimasi. Lesi pada kulit bisa meninggalkan hipopigmentasi
atau hiperpigmentasi
Siklosporin yaitu agen imunosupresif kuat yang bisa mengaktifkan sitokin Th2, menghambat sel T CD8+ sitotoksik, dan antiapoptosis melalui hambatan Fas-L, nuclear factor-κβ (NF- κβ), dan TNF-α. kabar efek siklosporin A dalam menghambat progresi TEN dan SJS jika diberikan di tahap awal, namun masih perlu pembuktian yang lebih lanjut Laporan peristiwa yang terbatas memakai plasmapharesis atau hemodialisis untuk TEN dan SJS . namun keterbatasan penelitian dan pemakaian kateter intravaskular yang diperlukan untuk terapi memicu terapi ini tidak disarankan . Anti TNF-α antibodi monoklonal pernah dipakai
untuk terapi TEN dan SJS , namun sebab keterbatasan bukti ilmiah belum disarankan lebih lanjut ,
diagnosa banding SJS antara lain eritema multifome, varicela, Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP), generalized bullous drug eruption,
pemfigus paraneoplastik, reaksi fototoksik, graft-versus-host disease, toksisitas kimia, dan luka bakar
Eritrodermi (Exfoliative Dermatitis/ED) yaitu eritema dan skuama pada kulit difus yang melibatkan lebih dari 98% area permukaan badan . ED yaitu salah satu kondisi kulit yang berpotensi memiliki komplikasi sistemik dan mengancam nyawa sebab gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan termoregulator, demam, takikardi, kegagalan cardiac output, hipoalbuminemia, dan sepsis ( Dermatosis yang diderita sebelumnya berperan dengan munculnya ED. Psoriasis yaitu dermatosis yang paling
sering mendasari munculnya ED ,
Beberapa faktor kulit yang mendasari munculnya ED yaitu :
yang. Jarang: penyakit imun bulosa, penyakit jaringan ikat, infeksi (scabies, dermatofitosis), piryriasis rubra pilaris (PRP), keganasan.. Idiopatik (20%),Psoriasis,Dermatitis atopik,Dermatitis seboroik,Spongiosis dermatoses,Reaksi hiperkepekaan ,Cutaneous T-cell lymphoma (CTCL),Obat-obatan, Kelainan kongenital (iktiosis),
Di antara pemicu -pemicu itu yang sering mendasari sebagai Underlying Diseases ED yaitu psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis spongiosis yang lain, reaksi hiperkepekaan sebab obat, CTCL ,
Penting dicari penyakit atau kondisi kulit yang mendasari sebelumnya dan faktor risiko yang memicu muncul nya ED. Anamnesis yang cermat pada dermatosis sebelumnya yang diderita membantu diagnosa .
Kondisi-kondisi yang yaitu faktor pemicu juga perlu dicari. Onset munculnya ED juga bermanfaat untuk menentukan penyakit dasarnya. contoh , dermatosis primer biasanya memiliki onset lambat. namun , jika
pemicu nya reaksi obat, maka memiliki perjalanan penyakit yang cepat. ED sebab antikonvulsan, antibiotik, dan alopurinol biasanya terjadi dalam waktu 2 - 5 minggu sesudah konsumsi obat
Patogenesis Masih belum diketahui dengan pasti mekanisme penyakit yang mendasari munculnya ED. Beberapa sitokin dan kemokin yang berperan dalam patogenesis ED yaitu sel Th1 dan sitokinnya, sel Th2 dan
sitokinnya, reseptor kemokin CCR4, CCR5, dan CXCR3. Interaksi molekul adesi (ICAM 1, VCAM 1, E-selektin) dengan ligan penting dalam menentukan
tanggap imunologis. Interaksi molekul adesi dan sitokin meningkatkan mitosis dan kecepatan turn over epidermis. Skuama memicu kehilangan protein, asam amino, dan asam nukleat. Kolonisasi Staphylococcus aureus atau antigen lain seperti toxic shock syndrome toxin-1 berperan pada patogenesis ED
munculnya ED biasanya perlu faktor pemicu . Faktor
pemicu ED yaitu :
Obat-obatan: litium, terbinafin, antimalaria, antiepilepsi, antibiotik (penisilin, sulfonamide, vancomycin), alopurinol, gold, cimetidine, dapson..Agen biologi (efalizumab),Infeksi contoh HIV (Human Immunodeficiency Virus),Kehamilan,stres depresi Fototerapi Iritan topikal misaltar, Penyakit sistemik, Penghentian kortikosteroid topikal yang poten atau kortikosteroid oral, Metroteksat,
Presentasi klasik ED berwujud bercak eritematosa yang meluas dan menyatu menjadi generalisata. arti ED yaitu jika melibatkan lebih dari 96% permukaan kulit pasien. Beberapa hari sesudah muncul eritematosa,
skuama tipis keputihan atau kekuningan muncul. Lesi bisa mengenai rambut dan kuku. Skuama pada kulit kepala, alopesia, efluvium yang difus bisa terjadi. bisa juga terjadi onikolisis, subungual hiperkeratosis,
splinter hemorrhages, paronikia, Beau’s line. petunjuk menonjol penyakit yang mendasari membantu diagnosa , namun sering sulit diperoleh petunjuk khas dermatosis sebelumnya jika sudah terjadi ED
diagnosa ED antaralain:
Dermatohistopatologi, Laboratorium lain yang diperlukan sesuai kondisi pasien ,
Riwayat penyakit,Pemeriksaan fisik,Mencari kelainan kulit yang mendasari atau sebagai pemicu ,
ED bisa ditambah gejala seperti takikardia, gagal jantung, gangguan termoregulator, limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, dan pretibial edematosa
Pemeriksaan laboratorium tidak menonjol . bisa terjadi anemia, leukositosis, limfositosis, eosinophilia, IgE meningkat, albuminemia, naiknya sedimentasi eritrosit, ketidakseimbangan elektrolit, gangguan
fungsi ginjal dan liver. Perlu dilakukan pemeriksaan lain yang menunjang diagnosa atau mengabaikan diagnosa dari kelainan yang muncul . Pemeriksaan histopatologi ED sebagian besar tidak menonjol , sebagian
tergantung penyakit yang mendasari. Kebanyakan petunjuk histopatologi sulit untuk menandakan penyakit dasarnya. Pemeriksaan penunjang lain diperlukan sesuai dengan kemungkinan penyakit yang sebelumnya mendasari
pengobatan ED antaralain:
Antibiotik diberikan jika terjadi infeksi sekunder,
Terapi sesuai kelainan kulit sebelumnya yang mendasari,Terapi kondisi yang yaitu komorbiditas,Kortikosteroid sistemik bermanfaat untuk ED sebab reaksi hiperkepekaan .Nutrisi yang baik,Antihistamin bisa diberikan jika diperlukan untuk tujuan sedasi atau menurunkan gejala pruritus,Perawatan di rumah sakit untuk peristiwa yang akut Menurunkan gejala simptomatis yang diarahkan ke faktor yang mendasari atau sebagai pemicu pengobatan komplikasi sistemik yang potensial terjadi,Keseimbangan hemodinamik dan elektrolit, Terapi lain yang bisa dipertimbangkan sesuai kondisi pasien: beberapa agen biologis contoh infliximab, etanercept namun perlu pembuktian ilmiah yang lebih banyak. metotreksat, siklosporin, asitretin, myophenolate mofetil, azathriopin,
Prognosis beragam dan tergantung terutama pada pemicu yang mendasari. ED sebab obat memiliki prognosis lebih baik dibandingkan ED sebab keganasan
Pasien sebaiknya dirawat di ruangan dengan suhu 30 - 32oC dan lingkungan yang kelembabannya terjaga untuk menjamin kenyamanan. Perlu diberikan pelembab kulit. Hal itu penting untuk mencegah hipotermia. Perawatan kulit yang baik, emolien, dan kortikosteroid topikal potensi rendah bisa diberikan ,
Pasien dengan ED yang akut dan lesi aktif memerlukan perawatan di rumah sakit untuk keseimbangan cairan dan elektrolit, hemodinamik, menjaga kardiorespirasi tetap baik. Keperlu an nutrisi juga perlu tercukupi.
Beberapa pasien yang kronis dan lesi tidak aktif bisa dilakukan rawat jalan
Jika penyakit yang mendasari tidak diketahui, terapi empiris dengan agen sistemik contoh metotreksat, siklosporin, asitretin, myophenolate mofetil, dan kortikosteroid sistemik bisa dipakai . Jika diduga kuat sebab psoriasis, pemberian kortikosteroid sistemik sebaiknya dihindari sebab potensi memicu rebound flare. Agen imunosupresif bisa diberikan sesudah mengabaikan pemicu keganasan seperti CTCL
Kusta yaitu penyakit kronik, dalam perjalanannya sering terjadi kondisi yang bisa memicu kecatatan komplikasi serius sehingga memerlukan diagnosa yang cepat dan pengobatan ,Kusta (Morbus Hansen/MH) yaitu infeksi granulomatosa kronik yang dipicu oleh Mycobacterium leprae yang bisa mengenai kulit dan saraf. MH dibedakan menjadi 5 tipe yaitu: TT (Polar Tuberkuloid), BT (Borderline Tuberkuloid), BB (Borderline), BL (Borderline Leprosy), dan LL (Polar Lepromatous) Reaksi kusta yaitu proses keradangan akibat proses imunologis, yang memicu kerusakan jaringan. Reaksi kusta meningkatkan
morbiditas. Reaksi kusta sering terjadi selama atau sesudah pengobatan kusta, namun bisa terjadi sebelum pengobatan. Hal itu memicu pasien mengeluh bahwa sudah patuh pada pengobatan, namun justru mengalami kondisi yang tidak menyenangkan sebab reaksi kusta yang dialaminya sehingga memerlukan pengobatan Reaksi kusta bisa memicu nyeri pada saraf, kehilangan sensoris, dan kehilangan fungsi,
jenis reaksi kusta:
Reaksi Tipe I (Reaksi Reversal/Rr),RR biasanya terjadi pada pasien tipe BL, namun bisa terjadi pada tipe LL, BB, atau BT. RR yaitu reaksi hiperkepekaan tipe lambat (Delayed-Type Hypersensitivity/DTH) pada antigen M. lepra,Pasien bisa beralih dari tipe MH lepromatosa ke tipe yang mengarah ke tuberkuloid (upgrading). Pada RR terjadi naiknya Cell-Mediated Immunity (CMI). Pasien tipe LL tidak pernah berkembang menjadi DTH ,
Secara klinis, reaksi DTH ditandai dengan lesi lama menjadi lebih tampak atau muncul lesi baru. Warna khasnya yaitu eritematosa keunguan gelap. Kadang muncul lesi anular, konsentrik, dan eksematosa. Lesi sering soliter walaupun bisa multipel. Bisa terjadi iritis dan limfedema. Neuritis terjadi mulai dari ringan sampai berat, dan potensi memicu kerusakan, terutama jika melibatkan beberapa saraf. bisa terjadi gangguan sensoris berbentuk stocking glove dan kelemahan motoris
Reaksi Tipe II (Eritema Nodosum Leprosum /ENL)
ENL terjadi paling sering pada MH tipe LL, namun bisa terjadi pada MH tipe BL walaupun lebih jarang. ENL bisa terjadi sebelum, selama, dan sesudah pengobatan. Manifestasi klinis berwujud nodul-nodul di dermis dan
subkutis, berwarna pink muda, dan nyeri. bisa ditambah demam, anoreksia, dan malaise. Atralgia dan artritis lebih sering terjadi dibandingkan neuritis, adenitis, orchitis/epidimitis, atau iritis. Sering diperoleh di ekstremitas atas
dan bawah, lesi di wajah diperoleh pada separuh pasien. Lesi mungkin bersifat targetoid, vesikular, pustular, ulseratif, atau nekrotik
Pemeriksaan histopatologis ENL berwujud “a bottom-heavy”, menandakan gradien sel inflamasi, jarang atau hampir tidak ada di papila dermis, namun banyak di dermis bagian bawah atau subkutis. Infiltrat diperoleh di dermis dengan edema papila dermis. Neutrofil banyak ditemukan, diperoleh limfosit, penebalan epidermis, panikulitis lobular, dan fibrosis. sering diperoleh vaskulitis
Lucio phenomenon yaitu infark hemoragis pada kulit, lesi berwujud infiltrasi difus pada kulit, keunguan pada tangan dan tungkai, teleangiektasis, perforasi septum nasi, alopesia totalis, dan kadang diperoleh glove-stocking
anestesi. Lesi nyeri dan sering ditambah krusta, bisa sembuh dengan meninggalkan jaringan parut. Beberapa lesi berwujud bula. Sering terjadi ulserasi, beragam dalam ukuran dan derajat beratnya .
Jika reaksi kusta ringan, pengobatan simtomatis dengan analgesik bisa diberikan. Pada pasien dengan reaksi tipe 2 yang parah, yang tidak tanggap kortikosteroid atau terjadi kontratanda kortikosteroid, klofazimin pada
dosis tinggi atau thalidomide bisa dipakai dengan pengawasan medis yang ketat. Clofazimine memerlukan 4 - 6 minggu sebelum dampak terlihat, oleh sebab itu tidak boleh dipakai sebagai obat tunggal untuk pengobatan reaksi tipe 2 yang parah. Namun, clofazimine bermanfaat untuk mengurangi ketergantungan pada kortikosteroid. Dosis clofazimine untuk pengobatan
reaksi tipe 2 yang parah yaitu 300 mg per hari, yang harus diberikan dalam 3 dosis 100 mg masing-masing. Durasi total dosis tinggi clofazimine ini tidak boleh melebihi 12 bulan. Thalidomide harus dihindari pada wanita usia subur
sebab memiliki dampak teratogen . Agen lainnya yang
bisa dipakai yaitu pentoksifilin yaitu derivat methylxanthine yang bisa menghambat produksi Tumor
Terapi Komplikasi Lain Tergantung komplikasi yang terjadi, contoh komplikasi pada mata dan lain-lain sebaiknya diberikan tata laksana yang baik sesuai dengan jenis
komplikasi yang terjadi
Neuritis bisa terjadi selama reaksi lepra atau bisa terjadi sesudah reaksi lepra. Neuritis yaitu radang akut saraf yang nyeri, terjadi edema lokal, dan hilangnya fungsi yang terjadi secara cepat. Neuritis bisa terjadi sebelum kusta didiagnosa , selama perawatan kusta, atau sampai beberapa tahun sesudah perawatan kusta sudah selesai. Semua neuritis dengan durasi kurang dari 6 bulan harus diobati dengan rejimen prednisolon oral 12 minggu
standar. Pengobatan prednisolon oral yang biasa dimulai dengan 40 - 60 mg setiap hari sampai maksimum 1 mg/kg berat badan per hari, biasanya bisa mengendalikan neuritis dalam beberapa hari. Sebagian besar neuritis bisa
diobati dengan baik dengan terapi standar prednisolon oral 12 minggu. Jika pasien dengan neuritis tidak tanggap terapi kortikosteroid, maka harus dikirim ke pusat rujukan yang ada tenaga spesialis
peristiwa urtikaria akut dan angioedema sekitar 4 - 33% dari seluruh peristiwa dermatologi yang ada di IGD
Sebagian besar pemicu urtikaria akut tidak diketahui. Namun, beberapa pemicu yang bisa diketahui antara lain berwujud makanan, obat-obatan, lingkungan (pollen, zat kimiawi, tanaman, jamur, dan lain-lain), paparan pada lateks, tekanan pada kulit, paparan dingin atau panas , stres depresi kehamilan, infeksi, malaria, dan infeksi parasit
Urtikaria yaitu bercak merah dan atau angioedema yang
muncul secara mendadak dan tiba-tiba. petunjuk urtikaria berwujud edema superfisial sirkumskripta pada kulit yang berwarna merah terang, biasanya ditambah dengan rasa gatal atau sensasi terbakar. sedang angioedema yaitu edema pada dermis bagian dalam, subkutis, dan membrane mukosa yang ditandai dengan adanya bercak kemerahan yang berbatas tidak tegas. Keluhan pada angioedema biasanya berwujud sensasi nyeri dan
terbakar. Angioedema pada faring dan laring bisa yaitu suatu peristiwa kritis , dipicu adanya risiko kejadian asfiksia ,Urtikaria akut dan angioedema yaitu dermatologi
yang memicu pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD). sebab rasa gatal yang mengganggu aktivitas
dan tidur. sedang angioedema pada faring dan laring bisa yaitu suatu peristiwa kritis , dipicu adanya risiko kejadian asfiksia ,
Lesi urtikaria bisa muncul dalam beberapa menit dan bisa bertahan beberapa menit, lalu kembali normal dalam waktu 1 - 24 jam. Angioedema bisa memberi gejala berwujud sensasi nyeri, terbakar, tidak gatal, berwujud
edema yang berbatas tidak tegas pada dermis dalam dan subkutis atau membran mukosa. biasanya angioedema sewarna dengan kulit, dan biasanya muncul secara perlahan bisa bertahan sampai beberapa hari. Pada tipe angioedema tertentu selain kulit dan mukosa, saluran pencernaan juga bisa mengalami hal sejenis . Angioedema pada faring dan laring bisa yaitu suatu peristiwa kritis , dipicu adanya risiko kejadian
asfiksia,
Urtikaria akut ada ikatan antara antigen dengan IgE yang memicu degranulasi sel Mast, diikuti oleh pelepasan histamin dan mediator kimiawi lainnya seperti Platelet-Activating Factor (PAF), dan juga sitokin yang akan
memicu adanya aktivasi saraf sensoris, vasodilatasi, dan ekstravasasi plasma ,ada dua mediator pada angioedema yang bertanggung jawab yaitu histamin dan bradikinin. Sebagian besar angioedema yang terjadi yaitu
dimediatori oleh histamin, namun perlu diwaspadai gejala angioedema yang dimediatori oleh bradikinin ,
pada urtikaria nampak adanya edema pada dermis bagian atas yang ditambah dengan dilatasi pembuluh darah vena dan limfatik. Pada angioedema perubahan sejenis terjadi pada dermis bagian bawah dan subkutis
Urtikaria akut dan angioedema yaitu peristiwa kritis di
bidang dermatologi yang bisa ditemukan. diagnosa dan pengobatan awal yang cepat dalam mengenali dan mengatasi kritis diperlukan. Sehingga komplikasi yang tidak diinginkan bisa dihindari, dan pasien memperoleh terapi yang sesuai.
diagnosa pada lesi urtikaria akut biasanya cukup dengan
anamnesis dan pemeriksaan klinis. Pada urtikaria akut, keluhan khas secara tiba-tiba dan sembuh sempurna dalam waktu kurang dari 6 minggu. Keluhan ini bisa ditambah atau tanpa angioedema. Pada peristiwa urtikaria yang tidak menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam dan gejala menetap lebih dari 6 minggu, maka pasien bisa dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ,
Lesi berwujud wheals bisa muncul pada seluruh bagian badan , berubah bentuk, muncul dan muncul kembali pada beberapa tempat, dan bisa mengalami perluasan. Lesi biasanya gatal dan memiliki ukuran beragam dari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter dan membentuk petunjuk berwujud pulau-pulau lebar. Lesi biasanya menghilang dalam 1 - 24 jam dan kulit akan kembali seperti semula ,
Sebagian besar keluhan pasien urtikaria akut hanya terbatas pada kulit, namun pada beberapa peristiwa ditemukan gejala sistemik berwujud susah napas
(5%), pusing (3%), nyeri kepala (8%), nausea (9%), diare (0,2%). demam (8%), gejala saluran pernapasan
(6%), gejala saluran pencernaan (5%), hipotensi atau takikardi (1%), nyeri sendi (10%), konjungtivitis (1%), Reaksi anafilaksis bisa ditemukan ,Pada angioedema, lesi bisa berwarna kemerahan maupun sewarna
kulit yang muncul secara tiba-tiba. Hal itu dipicu adanya pembengkakan kulit pada dermis bagian bawah dan subkutis dan sering terjadi pada membran mukosa. Keluhan subjektif pada pasien sering berwujud nyeri
dibandingkan dengan rasa gatal. Lesi angioedema mengalami resolusi lebih lambat dibandingkan dengan urtikaria. Lesi biasanya akan menghilang perlahan dalam rentang waktu 72 jam. Lesi angioedema sering ditemukan pada area bibir, pipi, area periorbital, genitalia, ekstrimitas distal, lidah, dan faring. Angioedema pada faring dan laring bisa yaitu suatu peristiwa kritis , dipicu adanya risiko kejadian asfiksia.
Pemeriksaan laboratorium rutin pada urtikaria banyak dipelajari pada beberapa penelitian . Namun pada urtikaria akut, tidak ada pemeriksaan laboratorium rutin yang diperlukan
pengobatan Pada pasien dengan urtikaria akut dan angioedema yang datang ke Instalasi Gawat Darurat perlu dilakukan penilaian untuk menganalisa ada tidaknya kritis .adanya perubahan suara, suara parau atau serak, dyspnea, dan stidor yaitu prediktor
diperlu kannya bantuan pernapasan Pada pasien angioedema, perlu dilakukan penilaian saluran napas bagian atas, jika ditemukan adanya gangguan pada jalan napas, maka bisa dilakukan intubasi nasotrakheal
maupun krikotiroidektomi. pengobatan medikamentosa pada angioedema disesuaikan dengan patogenesis yang mendasari
Pada peristiwa urtikaria, jika tidak memberi perbaikan
gejala simptomatik dan tanggap klinis dalam waktu 2 minggu maka bisa diberikan terapi lini kedua yaitu, pemberian AH-1 generasi 2 ditingkatkan secara bertahap sampai 4 kali dosis normal dengan memperhatikan dampak samping yang bisa muncul
pemakaian steroid yang dikombinasikan dengan AH pada peristiwa urtikaria akut pada beberapa penelitian , tidak menandakan perbedaan yang penting jika dibandingkan dengan pemakaian antihistamin saja. , pasien urtikaria akut tanpa angioedema yang
diterapi dengan prednison dan levocetirizin tidak menandakan perbaikan gejala simptomatik dan tanggap klinis dibandingkan dengan levocetirizin saja
Urtikaria akut berbeda dari tipe urtikaria yang lain dan bisa
sembuh sendiri. Terapi biasanya bertujuan untuk meredakan gejala simptomatik pengobatan pertama pada urtikaria akut dan angioedema yaitu identifikasi dan menghindari paparan pada faktor pemicu
Untuk mengurangi rasa gatal dan gejala simptomatik pada urtikaria akut bisa diberikan terapi medikamentosa. pemakaian antihistamin-1 (AH-1) yang bekerja pada reseptor histamin-1 yang terutama berada pada
sel endotel dan ujung saraf sensoris akan bisa mengurangi gejala berwujud urtikaria dan rasa gatal .
menyarankan pemakaian AH-1 generasi kedua
sebagai terapi lini pertama pada urtikaria. ini disebab kan AH-1 generasi 2 memiliki beberapa keunggulan dibandingkan AH-1 generasi sebelumnya. Antihistamin generasi 2 (AH-2) memiliki keunggulan antara lain minimal atau tidak berdampak sedasi dan bebas dampak anti kolinergik. Antihistamin generasi 2 seperti cetirizin, loratadin, dan fexofenadine memiliki
keamanan yang lebih baik jika dibandingkan dengan golongan sebelumnya yang berdampak sedatif. Pada saat ini, jenis antihistamin yang tersedia di pasaran jumlahnya beragam, namun hanya ada 7 jenis AH yang
sudah diuji pada peristiwa urtikaria yaitu ruptadin, bilastin ,cetirizin, desloratadin, fexofenadine, levocetirizin, loratadine,
Urtikaria akut yang luas dan mengenai sebagian besar kulit bisa terjadi bersamaan dengan reaksi anafilaksis. Tenaga medis yang menangani urtikaria akut sebaiknya bisa menentukan ada tidaknya reaksi anafilaksis ,
Reaksi anafilaksis bisa dicurigai jika ada lesi
kulit yang luas, ditambah dengan bengkak pada area mata, bibir, dan ekstrimitas. Keluhan pasien berwujud adanya urtikaria atau angioedema yang ditambah dengan suara napas berwujud wheezing, stridor, kepala yang terasa ringan dan melayang, mual, muntah, bisa diikuti dengan pingsan dan hilangnya kesadaran ,Rasa gatal yang menetap dalam waktu yang lama pada urtikaria
bisa memberi gangguan baik pada pola hidup maupun pola tidur pasien sehingga mengganggu mood dan keadaan emosional pasien. Namun hal itu biasanya jarang ditemukan pada peristiwa urtikaria akut
kritis yaitu suatu kejadian mendadak, tidak terduga dan
tidak diharapkan, namun memerlukan pengobatan segera secara cepat, yang termasuk dalam
kritis antaralain: :genitourinarius lakilaki , kritis pelvis. kritis muskuloskeletal,kritis pediatri . kritis CNS,kritis kepala leher, kritis tulang belakang . kritis toraks , kritis kardiovaskular. kritis perut . kritis ginekologi dan obstetri,kritis ,
Pemeriksaan radiologi berperan dalam melakukan diagnosa dengan memakai sinar (pengion atau nonpengion). sinar nonpengion ditemukan pada modalitas ultrasonografi (USG), Magnetic Resonance Imaging (MRI). Sinar pengion ditemukan dalam sinar X atau sinar gamma,,Radiologi diagnosa terdiri dari foto X-ray konvensional, Computed Tomography Scan (CT Scan), MRI, kedokteran nuklir, dan arteriografi. Satu modalitas radiologi saja tidak bisa dipakai untuk mendiagnosa semua peristiwa kritis . Setiap peristiwa radiologi berbeda memerlukan modalitas radiologi yang berbeda pula ,Hal-hal yang harus diketahui saat pasien gawat darurat akan dilakukan pemeriksaan radiologi :
Mempersiapkan pasien ,Pemilihan modalitas pencitraan yang cepat untuk menjawab pertanyaan klinis secara menonjol :
Mengetahui kemampuan alat-alat radiologi yang dimiliki oleh IGD ,Mengetahui tanda pemeriksaan , Mengetahui evaluasi struktur apa yang diharapkan pada masing-masing modalitas pencitraan,. Mengecek kontratanda pemeriksaan radiologi . Berdiskusi dengan dokter jaga radiologi/radiolog
kritis central nervous system (cns) terdiri dari :
1. Perdarahan (Trauma maupun Nontrauma)
tanda adanya perdarahan dilakukan saat terjadi trauma kepala dan adanya defisit neurologi. Perdarahan bisa terjadi sebab traumatik maupun nontraumatik. Perdarahan traumatik terdiri dari pendarahan
ekstradural, subdural maupun memar cerebral. sedang perdarahan nontraumatik terdiri dari pendarahan subarachnoid, intraparenkimal,
2. Patah Tulang Kepala
tanda adanya patah tulang kepala, jika terjadi riwayat trauma dan adanya cedera kulit kepala. Modalitas yang biasanya dipakai pada patah tulang kepala yaitu :
CT scan otak kondisi tulang pada irisan aksial dan koronal ,Foto polos kepala/ skull (AP/lateral)
Pencitraan yang dipakai untuk perdarahan (traumatik maupun nontraumatik) yaitu CT scan otak.
3. Infark Serebral
tanda adanya infark serebral, jika ada kerusakan neurologi fokal dan stroke. Modalitas pencitraan yang dipakai untuk infark serebral yaitu CT scan otak dan MRI: DWI (Diffusion Weighted Imaging) dan MR Angiografi ,
4. Trauma Spinal
tanda trauma spinal terjadi saat adanya riwayat trauma dan terjatuh dari tempat tinggi. Trauma spinal bisa berwujud fraktur vertebra maupun cedera myelum. Modalitas yang dipakai untuk trauma spinal yaitu
foto polos vertebra (proyeksi lateral dan AP) CT scan
kritis maksilofasial terjadi saat adanya riwayat trauma
pada wajah, perusakan wajah, maupun luka memar pada sebagian wajah. Modalitas yang dipakai untuk kritis maksilofasial yaitu foto polos kepala/ skull (proyeksi lateral dan PA), CT scan tulang wajah dengan rekonstruksi tiga dimensi (3D) dan CT scan kondisi tulang pada risan aksial dan koronal
Cedera orbital terjadi saat adanya riwayat trauma orbital dan riwayat benda asing pada mata. Pencitraan yang dipakai yaitu foto polos kepala/ skull (proyeksi lateral dan PA), foto polos water’s dan CT scan
orbita dengan rekonstruksi tiga dimensi (3D) dan CT scan kondisi tulang pada irisan aksial dan koronal
kritis toraks terdiri dari trauma dada dan benda asing jalan napas ,
1. Trauma Dada
Trauma dada bisa berwujud fraktur kosta, hematotoraks, pneumotoraks, pneumomediastinum, memar, laserasi, dan hematoma paru, cedera esofagus, dan cedera diafragma. tanda adanya trauma dada, jika ditemukan adanya riwayat trauma ditambah kesulitan bernapas. Modalitas pencitraan yang dipakai antara lain foto polos dada (proyeksi PA dan lateral) CT scan toraks, dan angiografi. Contusional pulmonum kanan dengan fraktur kosta multipel.
2. Benda asing jalan napas/Airway foreign body
tanda adanya benda asing jalan napas jika kejadian itu
terjadi pada anak-anak, adanya kesulitan bernapas, dan pasien tidak sadarkan diri. Modalitas yang dipakai yaitu foto polos leher dan dada (proyeksi PA dan lateral) dan CT scan toraks.
kritis kardiovaskular terbagi menjadi beberapa peristiwa
emergensi , antara lain:
1. Edema Paru
Edema paru yaitu akumulasi cairan pada ruang udara dan parenkim paru. Gejala edema paru yaitu kesulitan bernapas, batuk darah, dan sesak. Modalitas pencitraan yang dipakai yaitu foto polos dada (proyeksi PA dan lateral), CT scan arteriografi MR angiografi, dan aortografi ,
2. Emboli Paru
Emboli paru yaitu penyumbatan arteri pulmonal oleh suatu embolus yang terjadi secara tiba-tiba. Gejala emboli paru yaitu kesulitan bernapas dan sesak, dan bisa memicu kematian mendadak. Modalitas pencitraan yang dipakai yaitu CT scan toraks, CT scan
arteriografi dan arteriografi
3. Emboli Jantung
tanda ditemukannya adanya emboli jantung, jika ada keluhan dyspneu dan cardiac output (COP) rendah. Modalitas yang dipakai yaitu foto polos dada (proyeksi PA dan lateral) dan ekokardiografi.
4. Efusi Perikardial
Efusi perikardial terjadi saat adanya nyeri pada dada, pergeseran tulang rusuk, dan detak jantung melemah saat auskultasi. Modalitas yang dipakai pada kejadian efusi perikardia yaitu foto polos dada
(proyeksi PA dan lateral) dan ekokardiografi.
5. Diseksi Aorta
Diseksi aorta terjadi saat nyeri dada substernal secara tiba-tiba. Modalitas pencitraan yang dipakai yaitu foto polos dada (proyeksi PA dan lateral), CT scan arteriografi
6. Iskemi Perifer (Akut)
Iskemi perifer akut terjadi saat adanya keluhan nyeri hebat mendadak, kedinginan, mati rasa atau pucat pada sebagian ektremitas. Modalitas pencitraan yang dipakai yaitu CT scan arteriografi ,arteriografi, dan Color Doppler US (kronik).
7. Deep Vein Thrombosis (DVT)
DVT terjadi saat ada gejala khusus nyeri, edema, dan kulit pucat. Modalitas pencitraan yang dipakai untuk melakukan diagnosa yaitu Color Doppler US ,CT scan venografi , dan venografi.
peristiwa kritis perut terbagi menjadi dua, yaitu sebab
riwayat trauma dan nontrauma. kritis perut sebab
trauma bisa berwujud hematoperitonium, cedera viseral (hati, limfa, ginjal, dan lain-lain. kritis perut nontrauma bisa berwujud obstruksi intestinal, apendisitis, perforasi usus, asites, ikterus, peritonitis, dan pendarahan gastrointestinalis ,
- Ikterus
Ikterus terjadi saat adanya perubahan warna kulit menjadi kekuning-kuningan, urin gelap, dan tinja pucat. Modalitas yang dipakai yaitu USG , CT scan, dan Endoscopic Retro tingkat Cholangiopancreaticography (ERCP) ,
-Obstruksi Intestinal
Obstruksi intestinal terjadi saat adanya nyeri di area perut, mual, dan muntah, dan perut tenderness. Modalitas yang dipakai untuk diagnosa yaitu foto polos perut (supine, erek, dan Left Lateral Decubitus/LLD) dan CT scan.Ultrasonografi FAST menandakan cairan bebas di morison pouch. Laserasi Liver (CT scan dan USG)
Obstruksi ileus (Foto polos perut dan LLD)
-Perforasi Gastrointestinal
Perforasi gastrointestinal terjadi saat adanya riwayat ulkus peptikum maupun peritonitis. Modalitas yang dipakai untuk melakukan diagnosa yaitu foto polos perut (supine, erek, dan left lateral decubitus/LLD) dan CT scan ,
-Apendisitis
Dugaan apendisitis diberikan saat adanya nyeri kuadran kanan bawah yang muncul secara tiba-tiba dan nyeri lepas. Modalitas yang dipakai untuk melakukan diagnosa yaitu foto polos perut , US, dan CT scan. Batu di duktus koledokus memicu pelebaran saluran bilier (ERCP).
Apendisitis (Ultrasonografi).
-Kolesistitis
tanda adanya koleksistitis diberikan saat adanya nyeri epigastrium secara tiba-tiba dan nyeri lepas. Modalitas yang dipakai untuk diagnosa yaitu USG (baku standar) Kolelitiasis dengan kolesistitis kronis (USG).
- Trauma perut
Trauma perut terjadi saat adanya riwayat trauma perut
dan cedera dalam berkendara. Modalitas yang dipakai untuk pemeriksaan yaitu arteriografi,foto polos dada dan perut , Focus Assesment Sonography for Trauma (FAST) , CT scan