medis bedah 2






























































halaman  2

Pemeriksaan khusus yang dilakukan antaralain:  pemeriksaan tes fungsi hati, gula darah, analisa gas darah, skrining HIV,  VDRL. darah rutin, hitung jenis, profil pembekuan, ureum, kreatinin dan elektrolit, 
Penemuan tidaknormal , seperti anemia, trombositopenia, koagulopati, hiponatremia, dan naiknya  ureum dan kreatinin. Hipokalsemia mungkin terjadi pada beberapa peristiwa , sebagai akibat chelasi dari kalsium yang 
terionisasi oleh trigliserida yang dibebaskan oleh lipase bakterial.Leukositosis dengan hitung jenis lekosit di atas 15.000/mm3 dan .pergeseran ke kiri  ditemukan pada lebih dari 85% peristiwa .  Neutrofilia menunjukan  infeksi bakteri yang hebat. Perlu dilihat  bahwa leukositosis mungkin tidak ditemukan pada pasien dengan imunosupressi , Anemia mungkin tampak sebagai petunjuk  sepsis. Koagulopati bisa  ditanda kan dengan naiknya  Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT), dan trombositopenia. naiknya   nilai fibrinogen dan D-dimer positif menunjukan  onset dari Disseminated  Intravascular Coagulation (DIC).Kultur urin dan darah, bersamaan dengan apusan luka  dan spesimen dari kultur bakteri perlu . Status HIV harus dipastikan pada semua pasien, sebab Fournier’s gangrene mungkin yaitu  presentasi  pasien dengan HIV.  Imaging radiologis bisa  bermanfaat   jika diagnosa  meragukan, namun  
pemeriksaan ini jangan sampai menunda pengendalian  pembedahan. X-ray perut  dan pelvis mungkin akan memberi  petunjuk  gas pada lapisan fascia subkutan di area  perineum dan dinding perut . Ultrasonografi memberi  petunjuk  yang lebih baik pada area  
perineum dan skrotum. petunjuk  bayangan hiperakustik pada fascia yaitu  diagnosa   bagi pembentukan gas dan lebih peka  dibandingkan  evaluasi klinis untuk krepitasi . walau   demikian, pada pasien dengan nyeri yang hebat pada palpasi, pemeriksaan nultrasonografi akan dirasakan terlalu nyeri.Computerized Tomography (CT) lebih peka  dalam menunjukan  gas  subkutan dan retroperitoneal dan terkumpulnya cairan, namun  pemakaian   zat kontras sebaiknya  dihindari pada pasien dengan gagal ginjal. Magnetic  Resonance (MR) yaitu  modalitas imaging yang paling peka  untuk 
mengevaluasi patologi pada jaringan lunak, namun  pemeriksaan ini mahal  dan tidak semua rumah sakit memiliki modalitas ini.
diagnosa  Fournier’s gangrene dibuat berdasar  klinis. Biasanya diawali dengan gejala prodromal seperti demam, kelelahan, mual, dan muntah, rasa tidak nyaman di perineum, dan  gula darah yang buruk pada  penderita diabetes, selama 2 - 9 hari Rasa tidak nyaman di area  genital dan perineal semakin memburuk, menimbulkan nyeri, gatal, dan rasa terbakar, erythema, pembengkakan, dan nekrosis kulit yang nyata. Mungkin akan ada   discharge yang purulen dengan bau fekal. Nyeri mungkin akan mereda akibat munculnya  kerusakan saraf ,. Krepitasi mungkin sulit ditemukan sebab  nyeri pada saat palpasi, namun  krepitasi ditemukan pada 40 - 70% peristiwa  
petunjuk  klinis seperti meningkatnya suhu badan , takikardia, takipnea, ileus, kendalikan  gula darah yang buruk, dan kolaps vaskular mungkin ditemukan, namun  tidak selalu ada, terutama   pada pasien dengan gangguan 
immunosupresif yang mendasarinya. diagnosa  kadang terlambat akibat obesitas, komunikasi yang buruk (pada pasien stroke dan dementia) atau pemeriksaan fisik yang tidak kuat . Di Afrika, pasien biasanya mencari 
bantuan pertama kali ke dukun, sehingga pengobatan medis terlambat  dilakukan , Sekali ada   nekrosis di kulit, fascia yang berada di bawahnya sudah  mengalami nekrosis yang luas. ini  menjelaskan penemuan yang sering dari gejala sistemik yang berada di luar proporsi 
patologi yang tampak.Gejala dan tanda yang lain tergantung pada asal sumber infeksi. Adanya riwayat Lower Urinary Tract Syndrome (LUTS) menandakan  
adanya striktur uretra. Gejala anorektal yang mendahului seperti nyeri, fissura atau hemorrhoids menandakan  sumber infeksi dari anorektal. perlu  untuk mendatangi dokter jika  memiliki kecurigaan yang besar  dengan rasa tak nyaman di perineum ditambah  dengan gejala sistemik. diagnosa  yang salah atau terlambat akan berakibat fatal dan membahayakan.
diagnosa  banding untuk Fournier’s Gangrene antara lain:
, Hernia strangulate,Abses skrotum,Selulitis
Warfarin necrosis, Ecthyma gangrenosum (akibat septikemia Pseudomonas )
Streptococcal necrotizing fasciitis,Vascular occlusion syndrome, Herpes simplex,Gonococcal balanitis dan oedema,Pyoderma gangrenosum,Vasculitis allergy,. Polyarteritis nodosa,Necrolytic migratory erythema (glucagonoma syndrome), 

pengobatan  Fournier’s gangrene yaitu  resusitasi 
agresif bagi pasien, pemberian antibiotik berspektrum luas (Penicillin, Metronidazole, dan Cephalosporin generasi ketiga), dan  surgical debridement 
jaringan yang terinfeksi dan nekrosis. Debridement yaitu  hal yang paling penting, dan tujuannya yaitu  membawa pasien ke dalam ruang operasi 
sesegera mungkin . Diversi urin baik dengan pemasangan kateter per uretra maupun dengan pemasangan kateter suprapubik (sistostomi) juga diperlukan. Diversi 
fekal dengan colostomy diperlukan pada beberapa peristiwa , dengan tanda : Untuk menurunkan kontaminasi luka,. Bila luka meluas sampai sphincter ani . Perforasi colon atau rectum,Mengenai waktu yang cepat  untuk dilakukan colostomy belum ada  konsensus yang pasti, namun kecenderungan yang ada, dilakukan pada saat  debridement berikutnya, saat kondisi pasien sudah mulai membaik. pilihan lain  lain untuk diversi fekal yaitu  dengan memakai  rectal  catheter.  pengobatan  awal dan preoperasi  Jika ada   keraguan dalam diagnosa  Fournier’s gangrene, pemeriksaan imaging dan laboratorium diperlukan, namun  sebaiknya  jangan sampai menunda pembedahan. pemicu  infeksi sebaiknya  dipastikan, dan  diingat  bahwa pemicu  urogenital (striktur uretra)  dan infeksi anorektal yaitu  faktor pemicu  yang paling sering terjadi. .Pemasangan kateter transuretral 16Fr bisa  dipakai  untuk memastikan 
ada tidaknya striktur uretra dan adanya nyeri pada DRE menandakan  adanya abses ischiorectal. Jika pemeriksaan itu  dirasakan terlalu nyeri oleh penderita, bisa  dilakukan di ruang operasi di bawah anestesi umum, 
pada beberapa saat sebelum dilakukan debridement.
Resusitasi cairan yang agresif dengan cairan kristaloid atau koloid  perlu  untuk optimalisasi status hemodinamik pada pasien yang  mengalami kekurangan volume cairan atau pada pasien sepsis.Anemia sebaiknya  dikoreksi sampai Hb di atas 10 g/dl. Koagulopati 
(naiknya  International Normalized Ratio [INR], PT, PTT atau trombosit < 100.000) sebaiknya  didiagnosa  sebelum operasi dan trombosit harus  diberikan intraoperasi  jika pasien mengalami trombositopenia berat. Pasien  dengan diabetes biasanya memiliki hiperglikemia berat, yang bisa  dikoreksi  dengan glucose-insulin sliding scale. Nilai elektrolit yang tidaknormal  harus  dikoreksi sebisa  mungkin, tanpa menunda debridement.
Terapi antibiotik sebaiknya  sesegera mungkin diberikan secara cepat   sesuai kultur. Antibiotik parenteral dosis tinggi dan berspektrum luas yang antaralain:  bakteri Gram-positif dan Gram-negatif aerob, dan bakteri 
anaerob sebaiknya  dipakai   Antibiotik golongan aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga atau generasi keempat efektif  untuk melawan 
bakteri Gram-negatif, Metronidazole untuk melawan infeksi bakteri anaerob,  dan Penicillin melawan bakteri Gram-positif. Biasanya pemakaian  kombinasi 
ketiga antibiotik itu , masing-masing satu dari tiap kelompok, secara  klinis efektif . walau  demikian, untuk memastikan antibiotik yang kuat  melawan enterococci, menyarankan pemakaian  .kombinasi dari ureido-penicillin piperacillin dengan tazobactam inhibitor beta-
laktamase.  bahwa antibiotik tidak akan bisa  menembus 
jaringan yang nekrosis atau iskemik, dan hanya bisa  berfungsi sebagai  lanjutan dari pengobatan  bedah definitif , Tetanus toksoid sebaiknya diberikan pada semua pasien  Onset of Shock Septic ditandai antaralain :  perubahan sensorik, hipotensi, .hipoperfusi, oliguria,  asidosis laktat. Kegagalan multiorgan harus 
diatasi    dan dicegah dengan pengobatan  cairan yang agresif dan pemantauan  vaskular invasif. Tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure) lebih dari 65 mmHg dan tekanan vena sentral (CVP) sekitar 8 - 12 cm H2O 
harus tetap dipertahankan. ini  dilakukan dengan tujuan optimalisasi  penghantaran oksigen dengan:
Optimalisasi transpor oksigen dengan memakai  Packed Red Cell (PRC) untuk mempertahankan hemoglobin di atas 10 g/dl. Mempertahankan saturasi oksigen di atas 90% dengan memakai  masker oksigen, Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) atau ventilasi mekanik.
Optimalisasi cardiac output dengan meningkatkan heart rate dan stroke volume, dengan memakai  obat-obatan simpatomimetik dan volume ekspansi.



Pembedahan Debridement yang segera dan agresif perlu , sebab  secara  menonjol  bisa  menurunkan angka kesakitan dan kematian  Prosedur ini sebaiknya  dilakukan dalam anestesi umum, sebab  penyebaran infeksi yang sesungguhnya biasanya tidak diketahui 
pada preoperasi . Pasien sebaiknya  diletakkan pada posisi dorsal lithotomy ,Tujuan debridement yaitu  untuk 
membuang sumber infeksi dan jaringan yang terinfeksi Ahli bedah dan pasien sebaiknya  disiapkan pada  kemungkinan debridement radikal.Insisi midline perineal dan scrotal biasanya memberi  paparan awal 
yang terbaik . Debridement diperluas secara radial dari insisi kulit, dengan tetap memperhatikan anatomi dari fascia. Hanya kulit yang  tampak nekrosis saja yang dieksisi. Kulit yang masih viabel harus dimobilisasi 
sehingga semua jaringan subkutan dan fascia di bawahnya yang mengalami  nekrosis bisa  dieksisi.
tanda  yang baik dari perluasan infeksi yaitu  yang mana fascia yang  terkena tidak bisa  dipisahkan dari fascia dan otot di sebelah dalamnya dengan diseksi tumpul . Tepi luka seharusnya berdarah seperti jaringan normal, yang 
menandakan  pembuluh darah yang patent.
Jika discharge purulent tidak bisa  diperoleh dari uretra, kateter 16 Fr bisa  dipasang sampai ke buli, ini  menandakan  bahwa uretra bukan yaitu  sumber infeksi. Bila kateter transuretra tidak bisa  dipasang 
dengan mudah, bisa  dilakukan pemasangan kateter suprapubik . Kateterisasi penting untuk pemantauan  cairan dan perawatan luka yang kuat 
Colostomy ditanda kan bila sphincter ani terkena, dan bila ada   perforasi rektal atau colon, pada pasien immunocompromized dengan inkontinense fekal, dan bila ada   infeksi yang luas yang mengenai segitiga 
perineal posterior. Colostomy memungkinkan perawatan luka yang lebih baik  ,bahwa pembuatan colostomy bisa  ditunda sampai debridement  kedua bila pasien sudah  diresusitasi dengan lebih baik dan lebih stabil, sebab  
sebagian besar pasien dengan penyakit yang akut mengalami ileus paling tidak sampai 48 jam sesudah  masuk rumah sakit Testis, sebab  suplai darahnya nonperineal, jarang terkena, dan orchidectomy diperlukan hanya pada sekitar 10 - 20% peristiwa , jika ada   infeksi 
yang luas atau adanya pemicu  testikuler sebagai sumber infeksi Selama scrotectomy, semua jaringan yang nekrosis kecuali testis dan spermatic cord harus didebridement. Testis bisa  dipendam/dimasukkan ke 
dalam kantung femoral lateral, atau di dalam subcutaneous perut  pouch, tergantung luasnya debridement yang dilakukan. Tindakan ini sebaiknya  
tidak dilakukan pada debridement awal, namun  dilakukan pada prosedur berikutnya, untuk menurunkan risiko abses femoral dan perluasan infeksi. Jika testis dibenamkan ke dalam kantung femoral, sebaiknya  diletakkan 
pada level yang berbeda, untuk mengeliminasi risiko testis saling bergesekan pada saat pasien berjalan  Pemindahan testis dari kantung dan rekonstruksi scrotal bisa  dipertimbangkan kemudian.
Management Post operasi 
Luka harus diamati tiap hari. Rata-rata diperlukan 2,5 kali debridement pada tiap pasien yang dikabarkan  dalam literatur  Kultur bakteri harus diperiksa untuk memastikan 
pemberian terapi antibiotik yang sesuai. Jika pasien mengalami gagal ginjal, pemberian aminoglycoside harus dihindari, dan bisa  diberikan golongan  sefalosporin generasi ketiga atau keempat.Infeksi nosokomial harus dicegah sebisa  mungkin. Komplikasi pulmonal (seperti atelektasis) harus dicegah. Jika pada pascaoperasi 
demam masih ditemukan atau secara klinis pasien tidak membaik, harus dicurigai adanya sumber infeksi yang persisten. CT scan atau MRI bisa   menunjukan  pemicu  infeksi yang berasal dari intraperut  atau 
retroperitoneal. walau  bila pada pemeriksaan itu  hasilnya negatif, sebaiknya  juga dipikirkan untuk reeksplorasi dan redebridement dalam anestesia. Gula darah dipertahankan pada level 4 - 6 mmol/l (74 - 110 mg/dl) untuk  optimalisasi imunitas seluler dan mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan sepsis, tanpa memperhatikan apakah pasien memiliki riwayat 
diabetes atau tidak  Pada pasien dengan infeksi akut, munculnya  ileus, stress ulcers dan  translokasi flora usus yaitu  komplikasi yang sering ditemukan. Stress 
ulcers bisa  dicegah dengan pemberian sucralfate (1g tiap 6 - 8 jam). Integritas  usus bisa  dipertahankan dengan dimulainya feeding gastrointestinal sedini 
mungkin dan memakai  enteral feeding dibandingkan  pemberian nutrisi  parenteral ,
Oksigen Hiperbarik
Hyperbaric Oxygen (HBO) sudah  dipakai  sebagai terapi dalam  pengobatan  Fournier’s gangrene. Protokol yang biasa dipakai  berwujud   sesi multipel pada 2,5 atm selama 90 menit dengan inhalasi oksigen 100% tiap 
20 menit ,HBO meningkatkan level tekanan oksigen di jaringan dan berdampak yang menguntungkan pada proses penyembuhan luka. Oxygen Free Radical 
dibebaskan dari jaringan yang hipoksia, yang bersifat toksik pada  bakteri  anaerobik. Aktivitas fibroblast meningkat dengan diikuti angiogenesis yang  akan mempercepat penyembuhan luka. Namun HBO ini mahal dan tidak nyaman. Kontratanda  metode ini 
yaitu  yang mana ruang udara tertutup pada badan  bisa  mengalami kerusakan  akibat ekspansi pada saat pengembalian ke tekanan atmosfer yang normal, 
seperti sinusitis, otitis media, asma, dan penyakit pulmonal bulosa (bullous pulmonary disease). Perhatian khusus harus diberikan pada penderita diabetes, 
yang mana hipoglikemia bisa  dieksaserbasi oleh HBO.
Beberapa kita  mempertanyakan efikasi empirik dari HBO, dan  menyarankan pasien sebaiknya  diseleksi, jika area permukaan badan   yang terinfeksi amat luas atau memberi  respon yang buruk pada  infeksi anaerob. Penting dicatat bahwa HBO ini hanya yaitu  terapi 
tambahan dan tidak menimbulkan penundaan pemberian antibiotik yang  sesuai dan debridement 
Perawatan luka yang sudah  di debridement memungkinkan debridement kimia sebagai tambahan, pencegahan reinfeksi, dan mempercepat penyembuhan alami dan granulasi. Hidrogen peroksida, Eusol, povidone 
iodine, dan sodium hipoklorit (Dakin solution) yaitu  agen yang paling sering dipakai  Eusol (Edinburgh University solution) yaitu  desinfektan  klorin yang termasuk di dalam kelompok agen terapeutik yang esensial 
dari WHO. Larutan ini terdiri dari calcium hypochlorite 1,25 g dan asam borat 1,25 g di dalam 100 ml air steril. walau  tidak tersedia secara komersial,  larutan ini mudah diperoleh   di rumah sakit, dan harganya tidak mahal dan  
yaitu  agen yang efektif  dipakai  di negara berkembang. Irigasi  sederhana dengan larutan NaCl steril menjaga dressing/balutan tetap lembab  dan bisa    efektif  dalam membersihkan luka terbuka yang luas. Madu juga bisa  dipakai , sebab  osmolaritasnya yang tinggi dan pH yang .rendah membuat madu yaitu  agen yang baik, yang mana madu bisa   meningkatkan konsentrasi oksigen lokal dan membantu epitelialisasi luka ,Infeksi luka Pseudomonas, ditandai dengan residu berwarna hijau dan bau khas pada balutan, bisa  secara efektif  diterapi dengan balutan  asam asetat 5%.
Bila pasien sudah stabil dan berada dalam status anabolik, dengan  granulasi pada luka, rekonstruksi area yang tanpa kulit itu  bisa  dilakukan. Skin graft hanya dilakukan bila luka bersih dan sehat dengan hasil kultur apus bakteri negatif.Pembedahan Rekonstruksi Tergantung dari luas ndampak  kulit, pilihan untuk rekonstruksi berwujud  
penjahitan luka, split thickness skin graft, atau myocutaneous vascularized pedicle flap. defek   yang kecil bisa  ditutup dengan penjahitan primer, khususnya 
bila hanya lipatan kulit scrotum yang terkena. Split thickness skin grafting yaitu  cara yang paling sering dipakai dan memberi  hasil yang baik, bahkan pada defek   yang luas  Kulit yang  sehat dari tungkai, bokong, dan lengan bisa  dipakai  sebagai donor, baik dalam setting tunggal atau multipel. defek   kulit pada shaft penis haruslah di graft secara bebas untuk mencegah pembentukan scar fibrotic yang bisa  menimbulkan masalah ereksi di kemudian hari.Pada defek   yang luas, khususnya bila ada   tendon ekspose, flap 
myokutan vaskuler bisa  dipakai . Flap femoral medial, contoh  gracilis myocutaneous pedicle flap, memberi  hasil yang terbaik, sebab    dekat dengan perineum, mobilitas yang baik, dan scar pada donor tersembunyi 
Flap lain yang memakai  arteri epigastica inferior bisa  dipertimbangkan. Pada lakilaki  dengan komorbid striktur uretra, urethroplasty mungkin akan   sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan akibat kehilangan kulit 
penoscrotal yang luas dan bahkan uretra itu sendiri. Mukosa bukal bisa  dipakai  untuk merekonstruksi uretra, namun pada beberapa peristiwa  dengan  kehilangan jaringan yang luas, urethrostomy perineal permanen bisa  menjadi pilihan terbaik.
Komplikasi
Sepsis yang tak teratasi mungkin akibat debridement yang tak sempurna, yang mungkin masih diperoleh sumber infeksi, atau pada pasien dengan  respon imun yang buruk. Kegagalan multiorgan tampaknya akibat dari sepsis yang tak teratasi dan sebagian besar mengenai sistem kardiovaskular pulmo dan sistem renal. Koagulopati, kolesistitis akalkuli dan cedera serebrovaskular sudah  dikabarkan   Myositis dan myonekrosis pada area  paha atas mungkin terjadi akibat sepsis yang berasal dari kantung testicular subkutan yang terjadi selama debridement pertama dibandingkan dengan debridement kedua 
Komplikasi lanjut bisa  berwujud :
 Kehilangan income/pemasukan dan permasalahan dalam kehidupan ,keluarga akibat masa perawatan yang lama.. Lymphedema pada tungkai akibat debridement pelvis dan bisa  diikuti dengan munculnya  thrombophlebitis
 Chordee, ereksi yang nyeri, dan disfungsi ereksi
. Infertilitas sebagai akibat dibenamkannya testis di kantung femoral (temperatur tinggi). Squamous cell carcinoma pada jaringan parut . Kontraktur akibat immobilisasi yang lama, Depresi akibat perubahan badan  dismorfik
Prognosis
dikabarkan  angka kematian pada Fournier’s gangrene berkisar antara  0% - 50% dengan rata-rata 25% - 30%. Faktor yang berkaitan  dengan outcome  yaitu  disabilitas fisik, perluasan infeksi, pengobatan  yang terlambat, 
status imunitas yang buruk, diabetes mellitus, usia tua, dan kegagalan multiorgan . Nilai laboratorium yang berkaitan   dengan meningkatnya angka kematian yaitu  leukositosis, naiknya  ureum, kreatinin, alkaline phosphatase (ALP) dan lactate dehydrogenase (LD), 
dan penurunan hemoglobin, albumin, bicarbonate, sodium, dan potasium 


Torsio apendiks testis atau apendiks epididimis yaitu  salah satu dari pemicu  akut skrotum dan sering terjadi kesalahan dalam mendiagnosa  
dengan epididimitis atau epididymo-orchitis. Torsio apendiks testis berasal dari sisa-sisa cranial mullerian sedang  apendiks eididimis berasal dari sisa-sisa 
duktus Wolfii. Anatomi dari apendiks beragam  . Apendiks testis terletak pada pole atas testis atau di antara testis dan epididimis, sedang  apendiks 
epididimis terletak di sepanjang caput itu  
Epidemiologi
Torsio apendiks paling sering muncul pada usia pubertas yaitu usia 7 - 14 tahun. pemicu  pasti torsio apendiks tidak diketahui dengan pasti, diduga sebab  adanya stimulasi hormon saat pebertas, memicu  munculnya  naiknya  ukuran dan membuat lebih mudah untuk berputar 
Faktor Risiko
munculnya  torsio apendiks biasanya  pada anak-anak usia pubertas PatogenesisDalam perjalanan torsio testis, lesi dari torsio bisa  berubah menjadi edema dan sumbatan sampai terjadi perdarahan dan nekrosis jaringan yang 
memicu  infiltrasi komponen inflamasi seperti neutrofil atau eosinofil. Akibatnya, terjadi fibrosis dan kalsifikasi jaringan yang mengalami torsio 
diagnosa  Manifestasi Klinis Nyeri pada torsio apendiks biasanya tidak separah nyeri pada torsio  testis dan biasanya rasa sakit dan pembengkakan muncul secara bertahap  selama beberapa hari. Gejala yang muncul bisa beragam   mulai nyeri yang  mendadak atau bertahap, mulai perasaan tidak nyaman, sampai nyeri yang 
hebat. Beberapa penelitian gagal menandakan  perbedaan yang menonjol   antara nyeri pada torsioapendiks dibandingkan dengan torsio testis, namun  
 pasien dengan torsio apendiks memiliki  gejala sistemik 
seperti mual, muntah atau nyeri tidak seberat pada torsio testis. Selain itu, rasa sakit bisa  meningkat dengan aktivitas dan menghilang saat istirahat 
Pemeriksaan Fisik
Pada proses awal kita bisa  merasakan adanya apendiks testis yang terpelintir dengan cara memalpasi pada area  yang nyeri atau ada   massa di pole atas testis (3 - 5 mm), ini  bisa  dilakukan sebelum terjadi edema dan inflamasi lokal pada testis. Pada pemeriksaan fisik diperoleh 
nodul di superior dari testis ditambah  nyeri, dengan atau menghilangnya reflek kremaster. Pada beberapa peristiwa , apendiks yang mengalami infark bisa  dilihat melalui kulit skrotum sebagai blue dot sign yang patognomonik untuk 
torsio apendiks Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung pada tingkat keparahan inflamasi dan waktu munculnya gejala. Blue dot sign pertama kali 
dideskripsikan oleh Dresner pada tahun 1973 sebagai perubahan warna yang terlihat pada dinding skrotum pada anak laki-laki prepubertas saat kulit ditarik pada awal perjalanan penyakit. Blue dot sign dikabarkan  muncul sekitar 0 - 52%. “Blue dot” bisa  terlihat sebelum terjadi edema skrotum, apendik yang  bengkak mungkin muncul sebagai “Blue dot”. sebab  proses inflamasi yang 
berlanjut, edema skrotum menghalangi apendiks yang bengkak, sehingga salah satu tandanya menghilang. Semakin lama waktu munculnya  apendiks  testis semakin susah untuk membedakan apendiks testis dari akut skrotum lainnya. sebab  beberapa gejala tidak menonjol  dan pemeriksaan fisik pada skrotum juga ditemui  pembengkakan dan nyeri ,Pemeriksaan reflek kremaster bisa  menunjukan hasil yang positif dan negatif, sebaiknya pemeriksaan reflek kremaster pada torsio apendiks tidak  dipakai  sebagai pedoman apakah pasien mengalami torsio atau tidak 
Pemeriksaan Penunjang
Pada USG akan nampak pembesaran pada apendiks testis. Pada suatu penelitian, ukuran torsio apendiks testis antara 5 - 10 mm (rata-rata 7 mm), dan 
ukuran normal apendiks antara 1,6 - 4,5 mm (rata-rata 3,1). bahwa ukuran testis apendiks normal berkisar antara 1 dan 7 mm. Oleh sebab  itu, kriteria cut off poin yaitu  5 mm atau lebih besar untuk ukuran torsio apendiks. Hasil ini sesuai dari penelitian lain, yang mengabarkan  
bahwa ukuran torsio apendiks testis berkisar antara 5 dan 16 mm . Pada USG testis diperoleh ekogenisitas yang normal, vaskularisasi yang normal, dan torsio appendiks akan tampak sebagai nodul dengan  ekogenisitas yang beragam   . Adanya hidrokel memicu  
pembesaran dari kepala epididimis dan terjadi penebalan kulit. petunjuk   testis yang normal bisa  mengabaikan  adanya torsio testis. sedang  pada  USG Doppler, tidak tampak aliran darah pada torsio apendiks, namun terlihat 
naiknya  aliran darah yang di sekelilingnya. petunjuk  hipoekoik pada  torsio apendiks dengan onset nyeri 24 jam pertama, sedang  petunjuk  Blue Dot Sign pada pasien dengan torsio apendiks kiri. 
isoekoik dan hiperekoik bisa  diamati pada pasien yang diperiksa lebih dari  24 jam sesudah  muncul  nya nyeri USG Doppler potongan aksial testis kanan pada laki-laki 3 tahun dengan nyeri skrotum yang berlangsung selama 5 jam. tampak petunjuk  testis  dengan bentuk, struktur, dan vaskularisasi yang normal Pada torsio apendiks nampak petunjuk  nodul avascular hipoechoic yang dikelilingi oleh naiknya  vaskularisasi. 
pengobatan 
Tata laksana pada torsio apendiks testis bisa  dilakukan tanpa pembedahan dan hanya dengan pengobatan pendukung  namun  sesudah  ada kepastian bahwa diagnosa torsio testis sudah  disingkirkan. Dari 800 pasien yang sudah  diteliti, hanya sekitar 5% yang memerlukan  pembedahan, sebab  pada torsio apendiks sering     gejalanya hilang secara spontan. Gejala akan 
berkurang sekitar 3-5 hari dengan pembatasan kegiatan untuk meminimalisasi rasa sakit, bed rest, dan pemakaian  NSAID seperti ibuprofen. Selain itu,  scrotal support dengan celana ketat bisa  mengurangi mobilitas dari testis  dan mengurangi nyeri. Nyeri yang berat dan berkepanjangan atau episode  yang berulang harus dilakukan pembedahan untuk mengurangi nyeri dan 
morbiditas 
Komplikasi Testis yang sudah  mengalami nekrosis jika tetap dibiarkan berada di  dalam skrotum akan merangsang terbentuknya antibodi antisperma sehingga 
mengurangi kemampuan fertilitas di kemudian hari 
Prognosis
sebab  torsio apendiks, yaitu  proses yang self-limited, maka campurtangan  pembedahan pun biasanya  jarang dilakukan, sehingga biasanya   prognosisnya baik. Tujuan terapi hanya untuk mengurangi proses inflamasi 
dengan kompres es atau dengan pemberian obat antiinflamasi, dan  mengurangi  aktifitas fisik 


Trauma pada testis biasanya  termasuk peristiwa  trauma yang jarang. peristiwa   trauma pada skrotum dan testis sering terjadi secara unilateral, hanya sekitar 1% dari semua peristiwa  dengan trauma skrotum dan testis bilateral  Pada trauma skrotum, penetrasi yang melibatkan kedua testis diperoleh 36% dari semua peristiwa . Sekitar 80% dari trauma testis diakibatkan 
oleh trauma tumpul Trauma testis bisa  dibagi menjadi tiga kategori berdasar   pemicu nya, yaitu trauma tumpul testis, trauma tusuk testis, dan degloving testis. Umunya kejadian nya pada usia  10 - 40 tahun. Trauma tumpul pada  skrotum bisa  memicu  dislokasi, rupture, dan hematom subkutaneus  skrotum. Ruptur testis bisa  terjadi sebanyak 55% dari seluruh trauma tumpul skrotum 
Patogenesis
Testis ditutupi oleh jaringan ikat yang dinamakan  tunika vaginalis dan tunika albuginea. Tunika albuginea yaitu  lapisan visceral yang menutupi testis sedang  tunika vaginalis yaitu  lapisan parietal yang berasal 
dari hydrocele sac. Tunika albuginea yaitu  lapisan yang melindungi testis jika  testis ruptur. Diperlu kan tekanan sekuat 50 kg untuk memicu  testis ruptur. 
Lapisan tunika albuginea memiliki jalur ke tunika vaginalis sehingga jika  terjadi perdarahan maka akan masuk ke tunika vaginalis yang dinamakan   hematocele. Kerusakan pada tunika vaginalis bisa  memicu  ekstravasasi 
darah ke dinding skrotum yang dinamakan  hematom skrotum ada   dua faktor yang melindungi testis dari trauma minor, yaitu lapisan tipis dari cairan serous, yang memisahkan tunika albuginea dengan tunika vaginalis sehingga testis bisa  bergerak bebas di dalam kantong 
skrotum. Yang kedua, testis tergantung di dalam skrotum oleh funikulus spermatikus, sehingga bisa  bergerak bebas di dalam area genitalia 
Trauma Tumpul Testis
Trauma tumpul pada skrotum bisa  memicu  dislokasi, ruptur  dan hematocele.  Dislokasi testis Secara keseluruhan kejadian dislokasi testis relatif jarang, biasanya  terjadi sebab  kecelakaan kendaraan bermotor dan lalu lintas di jalan  Dislokasi bilateral pernah dikabarkan  sebanyak 23% dari dislokasi testis, terdiri dari:
Dislokasi internal, pada peristiwa  ini posisi testis berpindah ke cincin inguinal eksternal, kanalis ingunalis, dan rongga perut  . Dislokasi subkutaneus, dengan perpindahan pada epifisial dari testis
Testis Ruptur
Testis ruptur ditemukan sebanyak 50% dari trauma tumpul pada skrotum. peristiwa  ini terjadi sebab  adanya kompresi yang kuat ke ramus pubis inferior sehingga memicu  rupture pada tunika albuginea pada 
testis. Sebuah penelitian oleh Wasko dan Goldstein memperkirakan bahwa perlu  kekuatan sekitar 50 kg untuk memicu  Testis ruptur 
Hematocele
Hematocele diarti kan sebagai kumpulan darah yang berada di antara lapisan parietal dan viseral tunika vaginalis yang memicu  naiknya  ukuran skrotum. Hematocele bisa  digolongkan  menjadi dua: idiopatik 
dan sekunder. Hematocele idiopatik atau spontan memberi  riwayat trauma pada testis, atau nyeri pada organ dan tampaknya lebih sering terjadi 
pada pasien lansia zHematocele  sekunder biasanya terkait  dengan riwayat trauma pada skrotum, 
operasi di area  sekitarnya, atau neoplasma. Hematocele sekunder non-traumatik bisa  dipicu  oleh perubahan hematologis atau vaskulitis 
diagnosa 
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yaitu  pemeriksaan dasar dalam melakukan  diagnosa  trauma testis. Testis Ruptur harus dipertimbangkan  dalam semua peristiwa  trauma tumpul skrotum. Kebanyakan pasien mengeluhkan rasa sakit skrotum dan mual. Pembengkakan dan echymosis bisa  terjadi secara beragam   dan derajat hematoma tidak berkaitan  dengan keparahan cedera, tidak ditemukannya bengkak, echymosis, dan atau hematoma tidak  sepenuhnya bisa  mengabaikan  ruptur testis, dan  kontusio tanpa fraktur 
bisa  memicu  pendarahan yang menonjol . Perdarahan skrotum dan hematocele bersamaan dengan nyeri tekan skrotum sering menghambat pemeriksaan fisik. Trauma uretra yang terjadi bersamaan dengan trauma 
testis juga harus dicurigai dan dievaluasi saat  diperoleh darah di meatus atau jika mekanisme cedera dan  adanya hematuria. Pada trauma tembus harus dilakukan pemeriksaan hati-hati pada struktur sekitarnya, terutama   
pada arteri femoralis. Pemeriksaan penunjang ultrasonografi (USG)   membantu dalam melakukan  diagnosa , khususnya pada peristiwa  trauma tumpul yang mana diperoleh kesulitan pada pemeriksaan fisiknya , USG  bisa  dilakukan untuk menentukan hematoma intra dan atau  ekstra-testis,  kontusio testis, atau testis ruptur 
Pasien biasanya akan datang dengan keluhan nyeri pada skrotum post trauma, mual, muntah, dan dengan kondisi lemah. Tanda - tanda yang sering muncul seperti edema skrotum dan testis tidak teraba ,Hasil USG yang normal tidak boleh menunda untuk dilakukan eksplorasi 
pembedahan saat  temuan pemeriksaan fisik menandakan  kerusakan testis; diagnosa  definitif sering dilakukan di ruang operasi.Pemeriksaan USG   bermanfaat  pada trauma testis, pada beberapa 
penelitian akurasi yang diperoleh   pada pemeriksaan ini mencapai 94%. Informasi yang diperoleh   dari pemeriksaan dengan USG bisa  ditingkatkan 
jika  memakai  USG Doppler, dengan USG Doppler ini bisa  
memeriksa perfusi pada testis. Pada peristiwa  yang mana tidak bisa  dipakai  USG, bisa  diganti dengan pemeriksaan CT-Scan atau MRI testis. namun   
pemeriksaan ini tidak bisa  meningkatkan secara menonjol  dalam mendeteksi ruptur testis 
pengobatan 
Trauma tumpul testis Dislokasi testis sebab  trauma bisa  ditangani dengan reposisi manual dan orchidopexy sekunder. Jika reposisi manual primer tidak bisa  dilakukan, maka segera lakukan orchidopexy Trauma tumpul pada skrotum bisa  memicu  hematocele tanpa adanya ruptur testis. mengatasi  konservatif  dengan memakai  es batu, analgetik non steroid, dan istirahat total  disarankan pada hematocele lebih kecil dari 3 kali ukuran testis kontralateral.  bahwa risiko mengatasi  konservatif pada trauma tumpul skrotum memerlukan campurtangan  > 3 hari pada banyak peristiwa , dengan dilakukannya orkidektomi bahkan pada testis non ruptur sebab  diperoleh  nya infeksi lokal dan nyeri. Sehingga mengatasi  secara operasi  kurang dari 72 jam menciptakan  hasil yang lebih baik dibandingkan  konservatif ,Nyeri dan perawatan di rumah sakit dalam waktu lama bisa   dikurangi dengan penaganan operasi  secara dini pada hematocele luas. Jika  penyembuhan yang lama pada Hematocele, maka operasi eksplorasi   
disarankan. Dengan mengevakuasi klot darah dari tunika vaginalis, nyeri testis bisa  disembuhkan dan dihilangkan lebih cepat. Pada peristiwa  dengan testis ruptur, operasi eksplorasi dengan eksisi tubulus testis yang nekrosis 
dan penutupan tunika albuginea bersifat wajib dan ditambah  drainase yang baik ,Dengan campurtangan  dini, 80% trauma pada testis bisa  diselamatkan dan 
berfungsi endokrin testis yang normal. Pemberian antibiotik intravena  dan NSAID dalam 6 jam sesudah  trauma memicu  pengurangan risiko infeksi. Dislokasi testis akibat trauma bisa  direposisi secara manual diikuti 
dengan operasi orchidopeksi ,
Trauma Tusuk Testis
Trauma penetrasi pada skrotum memerlukan operasi eksplorasi yang diikuti tindakan debridement pada jaringan yang sudah non viabel. Penyusunan kembali pada kerusakan testis akibat trauma tusuk bisa  dengan mudah  dilakukan pada sebagian besar peristiwa . namun   pada infeksi berat atau .necrotizing fasciitis akan dilakukan debridement. sesudah  terjadi granulasi pada 
luka, operasi rekonstruksi dengan penutupan sekunder kulit skrotum dan  penempatan testis bisa  dilakukan, jika memungkinkan bisa  dilakukan graft  dengan split thickness graft pada rekonstruksi skrotum 
Pada peristiwa  luka tembak, biasanya  sekitar 90% testis tidak bisa  diselamatkan pada semua peristiwa , gangguan total pada funikulus spermatikus 
ditangani dengan memperbaiki vaskularisasi jika memungkinkan. Operasi mikro pada rekonstruksi vas deferens dengan vasovasostomy atau 
tubulovasostomy harus dilakukan pada kondisi hemodinamik stabil jika  ada   kerusakan pada tunika albuginea, mobilisasi pada flap tunika vaginalis bisa  dipakai  dalam penutupan testis. jika  pasien dalam kondisi tidak stabil atau rekonstruksi tidak bisa  dilakukan, 
maka orkidektomi harus dilakukan. Tunika albuginea harus ditutup dengan jahitan benang kecil yang bisa  diserap sesudah  menghilangkan jaringan nekrotik. Bahkan defek   kecil pada tunika albuginea harus ditutup sebab  pembengkakan dan tekanan intratestis yang progresif bisa  merusak tubulus seminiferus.
jika  kedua testis rusak parah sesudah  dioperasi atau sesudah  orkidektomi, maka harus dilakukan ekstraksi sperma epididimis testis (TESE) untuk produksi di masa depan  Laserasi luas pada kulit skrotum memerlukan  campurtangan  bedah untuk  penutupan kulit sesudah  pembuangan benda asing. sebab  sifat kulit skrotum 
yang elastis, biasanya  sebagian besar defek   bisa  ditutup. Perawatan luka   penting dalam pemulihan 
tanda  operasi eksplorasi pada trauma skrotum:

. Ruptur testis, eksplorasi dengan melakukan evakuasi pada hematom, eksisi tubulus seminiferus yang rusak, dan memperbaiki kerusakan pada tunika albuginea.
. Trauma penetrasi, eksplorasi untuk melihat apakah ada trauma vaskular dan memperbaiki struktur jaringan yang rusak ,Pemberian antibiotik profilaksis disarankan  pada trauma penetrasi skrotum, walau  data yang mendukung kurang. Pemberian profilaksis tetanus harus diberikan Komplikasi dan Prognosis.Komplikasi pengendalian  nonoperasi  pada ruptur testis sering     
dipicu  oleh infeksi, atrofi, nekrosis, dan orkidektomi yang tertunda. Insiden testis yang bisa  diselamatkan melebihi 90% dengan eksplorasi  dan repair dalam waktu 3 hari sesudah  cedera  Nilai keselamatan testis 
dengan pengendalian  konservatif mencapai 30%, sedang  pada orkidektomi  yang tertunda antara 20% dan 50% 
. Sekitar 44% dari pasien awalnya diterapi secara 
konservatif, pada akhirnya akan menjalani eksplorasi pembedahan sebab  rasa sakit, infeksi, dan hematom persisten , saat  pemulihan dan waktu untuk kembali ke kegiatan normal secara menonjol  berkurang sesudah  dilakukan pembedahan dini.Tidak seperti ruptur testis pada trauma tumpul, trauma penetrasi testis terkait  dengan nilai keselamatan testis hanya 31% hingga 64% peristiwa  Mayoritas pasien yang melalui pembedahan, berfungsi hormonal dan kesuburan yang kuat .


Para tenaga medis di Instalasi Gawat Darurat (IGD) berpotensi menangani pasien gaduh gelisah setiap hari. biasanya , pasien gaduh gelisah dibawa ke IGD oleh pihak keluarga, tetangga, masyarakat , untuk menangani kondisi pasien itu . Pasien gaduh gelisah biasanya tidak memiliki insight terkait kondisinya saat itu, bahkan mengalami ketidakmampuan dalam menganalisa  realita, sehingga pasien tidak merasa dirinya sakit dan tidak merasa perlu 
mencari pertolongan medis. Pasien gaduh gelisah yang tidak segera ditangani dengan baik akan berisiko mencederai dirinya sendiri dan pasien -pasien  di sekitarnya. Kondisi gaduh gelisah bisa  diarti kan sebagai aktivitas psikomotor yang berlebihan, yang kadang  terkait  dengan kondisi ketegangan psikologis. gejala  ketegangan yang muncul   termasuk diam, berteriak,  membanting sesuatu , mengancam pasien  lain berlari tanpa tujuan, mencengkeramkan tangan, pandangan mata yang terus-menerus, mengepalkan tinjunya, perkataan yang mendesak, Kondisi gaduh gelisah yaitu  salah satu kritis  psikiatri, namun  pemicu nya bisa  terjadi sebab  kondisi medis umum pasien, atau akibat kondisi kejiwaan (psikiatri) pasien. Sayangnya, para tenaga medis saat ini masih sering terjebak dalam suatu stigma, yang mana pasien gaduh 
gelisah sering terkait  dengan kondisi kejiwaan pasien, dengan kata lain  sebab  pasien dianggap gila. Oleh sebab  itu, penting bagi para tenaga medis untuk lebih memahami akan adanya kemungkinan suatu kondisi organik yang melatarbelakangi kondisi pasien dan melakukan pemeriksaan secara holistik. Kondisi medis umum yang sering terkait  dengan kondisi gaduh 
gelisah yaitu  hipoglikemia, hipoksia, traumatic brain injury, intoksikasi zat, perdarahan masif, hipertermia, hipotermia, meningitis, ensefalitis, ensefalopati, sepsis, stroke, status epileptikus, kejang, tumor otak, gangguan kelenjar tiroid, Huntington’s disease, dan Wilson’s disease. sedang  kondisi psikiatri yang bisa  menimbulkan kondisi gaduh gelisah yaitu  delirium, gangguan mental organik, demensia, gangguan panik/cemas, gangguan 
kepribadian borderline/paranoid, gangguan depresi agitatif, gangguan mental dan perilaku akibat penyalahgunaan zat, skizofrenia, gangguan psikotik 
akut dan sementara, gangguan afektif bipolar episode kini manik dengan atau tanpa gejala psikotik, gangguan skizoafektif, autis, retardasi mental, ADHD, dan amok 
Pertama lakukan pemeriksaan awal yang akurat melalui pemeriksaan vital sign, mencari riwayat penyakit organik dan psikiatri bedan  pengobatan pasien sebelumnya, lalu melakukan pemeriksaan kesadaran dan kognitif 
pasien. Jika perlu, dilakukan pula pemeriksaan laboratorium darah lengkap,  kadar elektrolit, kadar gula darah, toksikologi urin, maupun tingkat oksigenasi 
pasien. Tes MMSE (Mini Mental State Examination) juga bisa  dilakukan jika pasien sudah dalam keadaan tenang dan kooperasi  untuk mendeteksi adakah gangguan kognitif. Kondisi gaduh gelisah sebaiknya ditangani 
dengan kecurigaan, dipicu  oleh adanya kondisi medik umum, terutama   pada pasien yang tidak memiliki riwayat penyakit psikiatri sebelumnya. Pemeriksaan ini  untuk mengetahui etiologi yang mendasari kondisi pasien, sekaligus untuk mengeksklusi kemungkinan adanya kondisi medis  umum yang mengancam nyawa pasien 
Dalam praktik sehari-hari, pasien sering salah terdiagnosa  sebagai gangguan psikotik, padahal pasien jatuh dalam kondisi delirium disebab kan pemeriksa tidak melakukan pemeriksaan secara holistik. Kondisi gaduh  gelisah juga bisa  dipicu  oleh adanya kondisi intoksikasi atau withdrawal,  sehingga wawancara akan riwayat pemakaian  zat pada pasien juga perlu dilakukan. Jika segala kemungkinan kondisi organik sudah tersingkirkan, 
maka bisa  dipertimbangkan adanya gangguan psikiatri pada pasien , ada empat poin penting dalam mengatasi  pasien gaduh gelisah yaitu, manipulasi lingkungan, verbal 
de-escalation, fiksasi mekanik, dan campurtangan  farmakologi, di antaranya Manipulasi Lingkungan
Perhatian pertama  dalam mengatasi  pasien gaduh gelisah yaitu  memastikan keselamatan pasien dan pasien -pasien  yang ada di sekitar pasien. Tenaga medis jangan menempatkan dirinya di situasi yang tak 
menguntungkan, contohnya melakukan pemeriksaan seorang yang   diri, melakukan pemeriksaan di ruang tertutup atau akses ke pintu keluar terhalang. Semua 
barang yang berpotensi mencederai diri pasien atau pasien  lain, sebaiknya dijauhkan dari jangkauan pasien. Tempatkan pasien di ruangan yang tenang dengan pencahayaan yang cukup, sambil ditemani oleh keluarga yang dikenal  oleh pasien ,tehnik  verbal de-escalation yaitu  suatu tehnik  untuk menenangkan  pasien yang terbukti bisa  mengurangi kondisi gaduh gelisah pasien dan potensi munculnya  tindak kekerasan pasien. Pemeriksa harus bisa  bersikap tenang, meyakinkan dan waspada akan apapun kemungkinan yang bisa  
terjadi ,tehnik  dasar verbal de-escalation
Buat batasan jelas , Tawarkan pilihan dan optimisme,Ada tanya jawab antara pasien dan petugas 
 Menghargai individu dan lingkungan, Tidak bersifat provokatif,Membina kontak verbal,Komunikasi singkat/ringkasan. Identifikasi keinginan dan perasaan, Dengarkan secara jelas apa yang diucapkan pasien
,Setuju atau setuju untuk tidak setuju, 
 tenaga medis sebaiknya  menghormati hak dan 
privasi pasien, tidak memprovokasi atau mengancam pasien sebab  akan makin memperparah kondisi gaduh gelisah pasien. Tenaga medis juga sebaiknya  mempertahankan kontak secara verbal dengan pasien, dengan  cara mengajukan pertanyaan secara singkat, tidak terlalu panjang. Tanyakan bagaimana perasaan pasien dan adakah hal yang diinginkan. Dengarkan dan 
pahami perkataan pasien, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Gunakan tehnik  agree to disagree jika hal itu  bisa  menenangkan pasien. Berikanlah 
keyakinan pada pasien bahwa kita berniat untuk membantunya, bukan untuk menyakitinya. Jika kondisi pasien sudah mulai tenang, terangkanlah kondisi 
pasien saat ini dan berikan penjelasan mengenai pemeriksaan dan terapi apa yang akan diberikan untuk pasien. Tenaga medis juga sebaiknya memberi  
penjelasan pada keluarga maupun tenaga medis lain yang terkait mengenai kondisi pasien saat ini dan kemungkinan kondisi gaduh gelisahnya saat ini .berisiko bisa  mencederai diri pasien dan pasien -pasien  di sekitarnya.
Fiksasi dilakukan untuk membatasi mobilitas fisik pasien, dengan cara mengikat pasien memakai  cloth bands agar pasien tidak mencederai  dirinya sendiri maupun pasien  lain. Fiksasi harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mencederai pasien. Komplikasi yang bisa  terjadi akibat fiksasi mekanik yaitu  trauma psikologis pasien, dehidrasi, fraktur ekstrimitas, depresi napas, bahkan kematian mendadak. Oleh sebab  itu, pasien juga  harus dipemantauan  secara ketat selama difiksasi 
Sedasi total dulunya yaitu  tujuan pertama  dalam mengatasi  pasien gaduh gelisah. namun  ini  ternyata menyulitkan membangun therapeutic alliance, penentuan diagnosa , dan pengawasan  kondisi pasien. pemakaian  
obat saat ini lebih bertujuan untuk menenangkan pasien dan mengurangi agresivitas pasien, namun  pemeriksa masih memungkinkan untuk melakukan  pemeriksaan yang diperlukan.  Obat yang paling sering dipakai  biasanya yaitu  obat injeksi antipsikotik tipikal (haloperidol), obat golongan benzodiazepine (diazepam, 
lorazepam) dan obat injeksi antipsikotik atipikal (Olanzapine, Aripiprazole).
Rash dan keluhan kulit sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan beberapa diantaranya termasuk dalam kritis  dermatologi, sehingga tenaga medis  perlu mengetahui tipe-tipe kelainan yang termasuk 
dalam kritis  dalam bidang dermatologi yang bisa  membahayakan  pasien.   perlu mengerti  pengobatan  yang  cepat  dalam menangani peristiwa  itu . juga  memahami waktu dan cara yang cepat  dalam merujuk pasien yang mengalami kritis  dalam bidang kulit. 


Steven-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) yaitu  reaksi akut berwujud  nekrosis dan epidermolisis yang berat pada kulit dan mukosa yang berbahaya   terutama   diturunkan  oleh obat , TEN dan SJS  yaitu  erupsi alergi obat yang paling berat ,
Epidemiologi kejadian  SJS sekitar 1 - 8 peristiwa  persejuta pasien/tahun  dan TEN sekitar  0,9 - 1,9 peristiwa  persejuta pasien/tahun . bisa  terjadi pada semua usia ,   lebih sering pada wanita. Mortalitas SJS sekitar 3- 17% sedang  TEN sekitar 39% ,Beberapa faktor  seperti usia lanjut, kondisi komorbiditas yang dimiliki ,  luasnya lesi menentukan prognosis pasien 
Patofisiologi TEN dan SJS  secara pasti belum diketahui, namun  diduga faktor  paling sering yaitu  obat-obatan. Lebih dari 1000 obat bisa  memicu  TEN dan SJS  . Terjadi reaksi sitotoksik yang memicu  nekrosis epidermis yang ditambah  dengan infiltrat mononuklear akibat reaksi sel imun terutama   Sel T sitotoksik pada  bentuk native obat. 
Sekitar 30% TEN dan SJS  pemicu nya idiopatik. Agen pemicu  infeksi lebih sering memicu  eritema multiforme, walaupun bisa  berkaitan dengan TEN dan SJS  namun  jarang .
Kerentanan genetik yaitu HLA-B*1502 dan HLA-B*5801 
berperan pada  beberapa obat ,

 Obat-obatan yang berisiko memicu  TEN dan SJS  : 
Sulfapyridine Quinolones Other NSAIDs ,
(except aspirin),Furosemide,Sulfadoxine Cyclins Sertraline Aldactone,sulfasalazine Macrolides Calcium channel ,
blockers,Carbamazepine β Blockers,Lamotrigine Angiotensin,converting enzyme ,inhibitors,
Phenobarbital Angiotensin II ,receptor antagonists,
Phenytoin Statins,Phenylbutazone Harmones,
Nevirapine Vitamins,Oxicam NSAIDs,Thiacetazone,
Paracetamol ,(acetaminophen),Aspirin,
Sulfamethoxazole Aminopenicillins Pyrazolone ,
analgesics,Sulfonylurea,Sulfadiazine Cephalosporins Corticosteroids Thiazide, dluretics,


bahwa pemicu  terbanyak TEN dan SJS  terbanyak yaitu  obat antimikrobial sebesar 52%, NSAID sebesar 21%, dan anti kejang sebesar 19 % 
Beberapa obat masih diduga berisiko memicu  TEN dan SJS  (parasetamol, pirasolon, kortikosteroid, 
beberapa NSAID kecuali aspirin, sertraline). 
Beberapa obat  berisiko rendah memicu  TEN dan SJS  , contoh  NSAID golongan asam asetat (diklofenak), beberapa antibiotik (aminopenisilin, sefalosporin, 
kuinolon, siklin, dan makrolid). 
Beberapa obat tidak terbukti berisiko  memicu  TEN dan SJS  , contoh  aspirin, sulfonilurea, beberapa diuretik, beberapa hormon, beberapa antihipertensi, dan vitamin 

  beberapa obat  berisiko   sering memicu  TEN dan SJS  , antara lain alopurinol, obat-obat golongan sulfa, obat-obat neuroleptik, dan beberapa non-steroid  anti-inflammation (NSAID) golongan oxicam. 





Manifestasi klinis dimulai dalam 8 minggu (biasanya 4 - 35 hari) sesudah  terpajan obat pertama kali, namun  ada yang terjadi dalam beberapa jam. Gejala tidakkhusus  contoh  demam, nyeri kepala, rhinitis, batuk, malaise bisa  
mendahului lesi mukokutan 1 - 3 hari sebelumnya. Kemudian disusul nyeri telan atau rasa terbakar atau menyengat pada mata 

 Manifestasi klinis TEN dan SJS  yang mengalami nekrolisis epidermal beragam  . Pedoman dalam 
merujuk pasien ke tempat rumahsakit  yang sesuai yaitu   
mempertimbangkan keadaan  masing-masing pasien 
sesudah  didiagnosa  TEN, dievaluasi BSA yang terkena. Jika BSA < 10%  dan progresivitas penyakit lambat dan  tidak diperoleh pertanda yang berat,  kemudian kondisi pasien stabil, maka pasien dirawat inap standar. Jika pasien mengalami progresifitas penyakit, maka pasien sebaiknya dirujuk ke rumahsakit    Jika BSA yang terkena ≥ 10% ditambah   beberapa kelainan laboratorium contoh  bikarbonat serum, kadar urea,  kadar glukosa, respiratory rate meningkat, dan tekanan O2 < 80 mmHg, maka 
sebaiknya pasien langsung dirujuk ke rumahsakit .

Erupsi kulit diawali pada wajah, badan bagian atas, dan ekstremitas bagian proksimal, dan  penyebaran  simetris. Ekstremitas bagian distal jarang terkena walaupun bisa  terjadi. Lesi menyebar dengan cepat dalam beberapa 
hari bahkan dalam beberapa jam. Lesi awal berwujud  bercak eritematosa berwarna merah keunguan atau purpura, berbentuk tidak beraturan dengan kecenderungan bergabung. Sering muncul lesi atipik dengan bagian tengah lebih gelap. Lesi nekrotik cenderung meluas, bisa  terbentuk bula dengan 
Nikolsky sign positif dan mudah pecah meninggalkan lesi yang oozing. Purpura dan makula eritematosa berkembang menjadi bula yang rapuh dan epidermolisis, terutama   di badan dan tungkai atas , berdasar  luasnya lesi kulit berdasar  Body Surface Area (BSA) dibedakan 
menjadi :
1. SJS: kurang dari 10% (BSA)
2. SJS/TEN overlap: 10% - 30% BSA
3. TEN: lebih dari 30% BSA

Keterlibatan membran mukosa terjadi sekitar 90% peristiwa . Diawali  dengan erupsi eritematosa kemudian menjadi erosi di mukosa mulut, mata, dan genitalia yang   nyeri. Hal itu  memicu  fotofobia,  konjungtivitis, dan nyeri saat miksi .

 bisa  terjadi komplikasi di saluran pernapasan contoh  batuk, bronkiolitis, bahkan bisa  terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Komplikasi di saluran pencernaan akibat nekrosis epitel pada esophagus, usus, 
atau kolon yang bermanifestasi diare, malabsorbsi, melena, bahkan perforasi. bisa  terjadi gangguan ginjal berwujud  proteinuria, mikroalbuminemia, 
hematuria, azotemia .
Lesi awal berwujud  bercak eritematosa  berwarna merah keunguan atau purpura; bentuknya tidak beraturan dengan  kecenderungan bergabung. Sering diperoleh lesi di mukosa. 
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang memastikan diagnosa . Pemeriksaan laboratorium  untuk mengevaluasi keparahan dan untuk kepentingan pengobatan . Pemeriksaan yang diperlukan yaitu  darah 
lengkap, urin lengkap, gas darah, elektrolit, albumin, fungsi ginjal, fungsi liver, gula darah. Pemeriksaan histopatologi diperlukan jika diagnosa  meragukan. 
Pada pemeriksaan histopatologis diperoleh apoptosis keratinosit, nekrosis, bula, infiltrat mononuklear, dan eosinofil .
 
TEN dan SJS  yaitu  penyakit yang berbahaya . diagnosa  segera dan penghentian obat-obatan yang diduga menjadi pemicu ,  terapi  pendukung  yang dilakukan di rumah sakit diperlukan segera. Perlu diberikan  terapi simtomatis untuk meningkatkan kualitas pasien. Keseimbangan  elektrolit, hemodinamik,  nutrisi yang cukup juga berperan  penting untuk kesembuhan. Perawatan lesi kulit dan mukosa dan  gejala  lain yang dimiliki  juga penting dilakukan dengan cepat . Jika diduga ada infeksi yang dimiliki , maka perlu diberikan antibiotik dengan pemilihan  antibiotik yang cepat  atau antibiotik yang bukan yaitu  pemicu  SJS 
dan TEN ,Terapi kortikosteroid masih kontroversial. 
TEN dan SJS  yaitu  kondisi yang berbahaya  sehingga perlu pengendalian  yang optimal ,
Beberapa terapi diperlukan untuk pengobatan  TEN dan SJS  , yaitu:
 Perawatan mata jika ada lesi di mukosa mata.,
Perawatan mukosa rongga mulut,Perawatan genitalia, Kortikosteroid,Intravenous immunoglobulin (IVIG),Siklosporin,Plasmapharesis atau hemodilisis,Anti TNF-α ,
Segera hentikan obat yang dicurigai, Terapi pendukung  dan simptomatis, Dijaga keseimbangan elektrolit dan hemodinamik,,Menjamin nutrisi yang cukup,Terapi antibiotik jika dicurigai ada infeksi sekunder, pilih antibiotik yang jarang memicu  TEN dan SJS  ,,

kortikosteroid bisa  mencegah perluasan penyakit saat  
diberikan selama tahap  awal, terutama   pemberian intravena dalam beberapa hari. kortikosteroid tidak bisa  menghentikan proses penyakit dan bisa  memicu  dampak  samping terutama   sepsis. 

 penelitian  kohor  dengan desain penelitian  yang besar menyarankan  terapi steroid pada TEN dan SJS  dengan hasil yang bagus ,Usulan pemakaian  IVIG berdasar  hipotesis bahwa kematian sel melalui perantaraan Fas bisa  dicegah atau diputus rantainya dengan anti-Fas 
yang ada pada immunoglobulin (Ig). Hasil penelitian masih belum konsisten, sebagian menandakan  hasil baik, sebagian menolak pemakaian IVIG untuk TEN dan SJS. Mekanisme Fas-L/Fas juga bukan yaitu  mekanisme pertama  munculnya  TEN dan SJS ,

Beberapa komplikasi yang bisa  terjadi antara lain infeksi bahkan sampai sepsis, gagal organ, komplikasi pada paru, kekeringan konjungtiva, dan gangguan lakrimasi. Lesi pada kulit bisa  meninggalkan hipopigmentasi 
atau hiperpigmentasi 

Siklosporin yaitu  agen imunosupresif kuat yang  bisa  mengaktifkan sitokin Th2, menghambat sel T CD8+ sitotoksik, dan antiapoptosis  melalui hambatan Fas-L, nuclear factor-κβ (NF- κβ), dan TNF-α. kabar   efek siklosporin A dalam menghambat progresi TEN dan SJS jika diberikan di tahap  awal, namun  masih perlu pembuktian yang lebih lanjut  Laporan peristiwa  yang terbatas memakai  plasmapharesis atau hemodialisis untuk TEN dan SJS  . namun  keterbatasan penelitian  dan pemakaian  kateter intravaskular yang diperlukan untuk terapi memicu  terapi ini  tidak disarankan . Anti TNF-α antibodi monoklonal pernah dipakai  
untuk terapi TEN dan SJS  , namun  sebab  keterbatasan bukti ilmiah belum disarankan  lebih lanjut ,
diagnosa  banding SJS antara lain eritema multifome, varicela, Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP), generalized bullous drug eruption, 
pemfigus paraneoplastik, reaksi fototoksik, graft-versus-host disease, toksisitas kimia, dan luka bakar 


Eritrodermi (Exfoliative Dermatitis/ED) yaitu  eritema dan skuama pada kulit difus yang melibatkan lebih dari 98% area permukaan badan . ED yaitu  salah satu kondisi kulit yang berpotensi memiliki  komplikasi sistemik dan mengancam nyawa sebab  gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan termoregulator, demam, takikardi, kegagalan cardiac output, hipoalbuminemia, dan sepsis ( Dermatosis yang diderita sebelumnya berperan dengan  munculnya  ED. Psoriasis yaitu  dermatosis yang paling 
sering mendasari munculnya  ED ,
Beberapa faktor kulit yang mendasari munculnya  ED yaitu :
yang. Jarang: penyakit imun bulosa, penyakit jaringan ikat, infeksi (scabies, dermatofitosis), piryriasis rubra pilaris (PRP),  keganasan.. Idiopatik (20%),Psoriasis,Dermatitis atopik,Dermatitis seboroik,Spongiosis dermatoses,Reaksi hiperkepekaan ,Cutaneous T-cell lymphoma (CTCL),Obat-obatan, Kelainan kongenital (iktiosis),
Di antara pemicu -pemicu  itu  yang sering mendasari sebagai Underlying Diseases ED yaitu  psoriasis, dermatitis atopik,  dermatitis spongiosis yang lain, reaksi hiperkepekaan  sebab  obat,  CTCL ,
Penting dicari penyakit atau kondisi kulit yang mendasari sebelumnya dan  faktor risiko yang memicu muncul  nya ED. Anamnesis yang cermat pada  dermatosis sebelumnya yang diderita   membantu diagnosa . 
Kondisi-kondisi yang yaitu  faktor pemicu  juga perlu dicari. Onset munculnya  ED juga bermanfaat   untuk menentukan penyakit dasarnya. contoh , dermatosis primer biasanya memiliki  onset lambat. namun , jika 
pemicu nya reaksi obat, maka memiliki  perjalanan penyakit yang cepat. ED sebab  antikonvulsan, antibiotik, dan alopurinol biasanya terjadi dalam waktu 2 - 5 minggu sesudah  konsumsi obat 
Patogenesis Masih belum diketahui dengan pasti mekanisme penyakit yang  mendasari  munculnya  ED. Beberapa sitokin dan kemokin yang berperan dalam patogenesis ED yaitu  sel Th1 dan sitokinnya, sel Th2 dan 
sitokinnya, reseptor kemokin CCR4, CCR5, dan  CXCR3. Interaksi molekul adesi (ICAM 1, VCAM 1, E-selektin) dengan ligan penting dalam menentukan 
tanggap    imunologis. Interaksi molekul adesi dan sitokin meningkatkan mitosis dan kecepatan turn over epidermis. Skuama memicu  kehilangan  protein, asam amino, dan asam nukleat. Kolonisasi Staphylococcus aureus atau antigen lain seperti toxic shock syndrome toxin-1 berperan pada patogenesis ED 
 munculnya  ED biasanya perlu faktor pemicu . Faktor 
pemicu  ED yaitu  :
Obat-obatan: litium, terbinafin, antimalaria, antiepilepsi, antibiotik (penisilin, sulfonamide,  vancomycin), alopurinol, gold, cimetidine,  dapson..Agen biologi (efalizumab),Infeksi contoh  HIV (Human Immunodeficiency Virus),Kehamilan,stres depresi Fototerapi Iritan topikal misaltar, Penyakit sistemik, Penghentian kortikosteroid topikal yang poten atau kortikosteroid oral, Metroteksat,
Presentasi klasik ED berwujud  bercak eritematosa yang meluas dan menyatu menjadi generalisata. arti  ED yaitu  jika melibatkan lebih dari 96% permukaan kulit pasien. Beberapa hari sesudah  muncul eritematosa, 
skuama tipis keputihan atau kekuningan muncul. Lesi bisa  mengenai  rambut dan kuku. Skuama pada kulit kepala, alopesia, efluvium yang  difus bisa  terjadi. bisa  juga terjadi onikolisis, subungual hiperkeratosis, 
splinter hemorrhages, paronikia, Beau’s line. petunjuk  menonjol  penyakit yang mendasari   membantu diagnosa , namun sering     sulit diperoleh petunjuk  khas dermatosis sebelumnya jika sudah terjadi ED 
diagnosa  ED antaralain: 
Dermatohistopatologi, Laboratorium lain yang diperlukan sesuai kondisi pasien ,
Riwayat penyakit,Pemeriksaan fisik,Mencari kelainan kulit yang mendasari  atau sebagai pemicu , 
ED bisa ditambah  gejala  seperti takikardia, gagal jantung, gangguan termoregulator, limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, dan pretibial edematosa 
Pemeriksaan laboratorium tidak menonjol . bisa  terjadi anemia, leukositosis, limfositosis, eosinophilia, IgE meningkat, albuminemia, naiknya  sedimentasi eritrosit, ketidakseimbangan elektrolit, gangguan 
fungsi ginjal dan liver. Perlu dilakukan pemeriksaan lain yang menunjang diagnosa  atau mengabaikan  diagnosa  dari kelainan yang muncul  . Pemeriksaan histopatologi ED sebagian besar tidak menonjol , sebagian 
tergantung penyakit yang mendasari. Kebanyakan petunjuk  histopatologi sulit untuk menandakan  penyakit dasarnya. Pemeriksaan penunjang lain diperlukan sesuai dengan kemungkinan penyakit yang sebelumnya mendasari 
pengobatan  ED antaralain:  
Antibiotik diberikan jika terjadi infeksi sekunder,
Terapi sesuai kelainan kulit sebelumnya yang mendasari,Terapi kondisi yang yaitu  komorbiditas,Kortikosteroid sistemik bermanfaat   untuk ED sebab  reaksi hiperkepekaan .Nutrisi yang baik,Antihistamin bisa  diberikan jika diperlukan untuk tujuan sedasi atau menurunkan gejala pruritus,Perawatan di rumah sakit untuk peristiwa  yang akut Menurunkan gejala simptomatis yang diarahkan ke faktor yang mendasari atau sebagai pemicu pengobatan  komplikasi sistemik yang potensial terjadi,Keseimbangan hemodinamik dan elektrolit, Terapi lain yang bisa  dipertimbangkan sesuai kondisi pasien: beberapa agen biologis contoh  infliximab, etanercept namun  perlu pembuktian ilmiah yang lebih banyak. metotreksat, siklosporin, asitretin, myophenolate mofetil, azathriopin,  
Prognosis beragam   dan tergantung terutama   pada pemicu  yang mendasari. ED sebab  obat memiliki  prognosis lebih baik dibandingkan  ED sebab  keganasan 
Pasien sebaiknya dirawat di ruangan dengan suhu 30 - 32oC dan  lingkungan yang kelembabannya terjaga untuk menjamin kenyamanan. Perlu  diberikan pelembab kulit. Hal itu  penting untuk mencegah hipotermia.  Perawatan kulit yang baik, emolien, dan kortikosteroid topikal potensi rendah bisa  diberikan ,
Pasien dengan ED yang akut dan lesi aktif memerlukan perawatan di  rumah sakit untuk keseimbangan cairan dan elektrolit, hemodinamik,  menjaga kardiorespirasi tetap baik. Keperlu an nutrisi juga perlu tercukupi. 
Beberapa pasien yang kronis dan lesi tidak aktif bisa  dilakukan rawat jalan 
Jika penyakit yang mendasari tidak diketahui, terapi empiris dengan  agen sistemik contoh  metotreksat, siklosporin, asitretin, myophenolate mofetil, dan kortikosteroid sistemik bisa  dipakai . Jika diduga kuat sebab  psoriasis, pemberian kortikosteroid sistemik sebaiknya dihindari sebab  potensi memicu  rebound flare. Agen imunosupresif bisa  diberikan sesudah  mengabaikan  pemicu  keganasan seperti CTCL 





Kusta yaitu  penyakit kronik, dalam perjalanannya sering  terjadi kondisi yang bisa  memicu  kecatatan  komplikasi  serius sehingga memerlukan diagnosa  yang cepat dan pengobatan  ,Kusta (Morbus Hansen/MH) yaitu  infeksi granulomatosa  kronik yang dipicu  oleh Mycobacterium leprae yang bisa  mengenai kulit dan saraf.  MH dibedakan menjadi 5 tipe yaitu: TT (Polar Tuberkuloid), BT (Borderline Tuberkuloid), BB (Borderline), BL (Borderline Leprosy), dan LL (Polar Lepromatous)  Reaksi kusta yaitu  proses keradangan akibat proses imunologis,  yang memicu  kerusakan jaringan. Reaksi kusta meningkatkan 
morbiditas. Reaksi kusta   sering terjadi selama atau sesudah pengobatan kusta, namun  bisa  terjadi sebelum pengobatan. Hal itu  memicu  pasien mengeluh bahwa sudah patuh pada  pengobatan, namun  justru mengalami kondisi yang tidak menyenangkan sebab  reaksi kusta yang  dialaminya sehingga memerlukan pengobatan  Reaksi kusta bisa  memicu  nyeri pada saraf, kehilangan sensoris, dan kehilangan fungsi, 
jenis reaksi kusta: 
Reaksi Tipe I (Reaksi Reversal/Rr),RR biasanya terjadi pada pasien tipe BL, namun  bisa terjadi pada tipe LL, BB, atau BT. RR yaitu  reaksi hiperkepekaan  tipe lambat (Delayed-Type Hypersensitivity/DTH) pada  antigen M. lepra,Pasien bisa  beralih dari tipe MH lepromatosa ke tipe yang mengarah ke tuberkuloid (upgrading). Pada RR terjadi naiknya  Cell-Mediated Immunity (CMI). Pasien tipe LL tidak pernah berkembang menjadi DTH ,
Secara klinis, reaksi DTH ditandai dengan lesi lama menjadi lebih tampak atau muncul lesi baru. Warna khasnya yaitu  eritematosa keunguan gelap. Kadang muncul lesi anular, konsentrik, dan eksematosa. Lesi sering     soliter walaupun bisa  multipel. Bisa terjadi iritis dan limfedema. Neuritis terjadi mulai dari ringan sampai berat, dan potensi memicu  kerusakan, terutama   jika melibatkan beberapa saraf. bisa  terjadi gangguan sensoris berbentuk stocking glove dan kelemahan motoris 
Reaksi Tipe II (Eritema Nodosum Leprosum /ENL)
ENL terjadi paling sering pada MH tipe LL, namun  bisa  terjadi pada MH tipe BL walaupun lebih jarang. ENL bisa  terjadi sebelum, selama, dan sesudah  pengobatan. Manifestasi klinis berwujud  nodul-nodul di dermis dan 
subkutis, berwarna pink muda, dan nyeri. bisa  ditambah  demam, anoreksia, dan malaise. Atralgia dan artritis lebih sering terjadi dibandingkan  neuritis, adenitis, orchitis/epidimitis, atau iritis. Sering diperoleh di ekstremitas atas 
dan bawah, lesi di wajah diperoleh pada separuh pasien. Lesi mungkin bersifat targetoid, vesikular, pustular, ulseratif, atau nekrotik 
Pemeriksaan histopatologis ENL berwujud  “a bottom-heavy”, menandakan  gradien sel inflamasi, jarang atau hampir tidak ada di papila dermis, namun  banyak di dermis bagian bawah atau subkutis. Infiltrat diperoleh di dermis dengan edema papila dermis. Neutrofil banyak ditemukan,   diperoleh limfosit, penebalan epidermis, panikulitis lobular, dan fibrosis.  sering diperoleh vaskulitis 
Lucio phenomenon yaitu  infark hemoragis pada kulit, lesi berwujud  infiltrasi difus pada kulit, keunguan pada tangan dan tungkai, teleangiektasis, perforasi septum nasi, alopesia totalis, dan kadang diperoleh glove-stocking 
anestesi. Lesi nyeri dan sering ditambah  krusta,  bisa  sembuh dengan meninggalkan jaringan parut. Beberapa lesi berwujud  bula. Sering terjadi ulserasi, beragam   dalam ukuran dan derajat beratnya .
Jika reaksi kusta ringan, pengobatan simtomatis dengan analgesik bisa  diberikan. Pada pasien dengan reaksi tipe 2 yang parah, yang tidak tanggap  kortikosteroid atau terjadi kontratanda  kortikosteroid, klofazimin pada 
dosis tinggi atau thalidomide bisa  dipakai  dengan pengawasan medis yang ketat. Clofazimine memerlukan  4 - 6 minggu sebelum dampak  terlihat,   oleh sebab  itu tidak boleh dipakai  sebagai obat tunggal untuk pengobatan  reaksi tipe 2 yang parah. Namun, clofazimine bermanfaat  untuk mengurangi  ketergantungan pada kortikosteroid. Dosis clofazimine untuk pengobatan 
reaksi tipe 2 yang parah yaitu  300 mg per hari, yang harus diberikan dalam 3 dosis 100 mg masing-masing. Durasi total dosis tinggi clofazimine ini tidak boleh melebihi 12 bulan. Thalidomide harus dihindari pada wanita usia subur 
sebab  memiliki  dampak  teratogen . Agen lainnya yang 
bisa  dipakai  yaitu  pentoksifilin yaitu  derivat methylxanthine yang bisa  menghambat produksi Tumor 
Terapi Komplikasi Lain Tergantung komplikasi yang terjadi, contoh  komplikasi pada mata dan lain-lain sebaiknya diberikan tata laksana yang baik sesuai dengan jenis 
komplikasi yang terjadi
Neuritis bisa  terjadi selama reaksi lepra atau bisa  terjadi sesudah  reaksi lepra. Neuritis yaitu  radang akut saraf yang nyeri, terjadi edema lokal, dan hilangnya fungsi yang terjadi secara cepat. Neuritis bisa  terjadi sebelum kusta didiagnosa , selama perawatan kusta, atau sampai beberapa tahun sesudah  perawatan kusta sudah  selesai. Semua neuritis dengan durasi kurang dari 6 bulan harus diobati dengan rejimen prednisolon oral 12 minggu 
standar. Pengobatan prednisolon oral yang biasa dimulai dengan 40 - 60 mg setiap hari sampai maksimum 1 mg/kg berat badan per hari, biasanya bisa   mengendalikan neuritis dalam beberapa hari. Sebagian besar neuritis bisa 
diobati dengan baik dengan terapi standar prednisolon oral 12 minggu. Jika pasien dengan neuritis tidak tanggap     terapi kortikosteroid, maka harus dikirim ke pusat rujukan yang ada   tenaga spesialis 


 
peristiwa  urtikaria akut dan angioedema sekitar 4 - 33% dari seluruh peristiwa  dermatologi yang ada di IGD 
Sebagian besar pemicu  urtikaria akut tidak diketahui. Namun, beberapa pemicu  yang bisa  diketahui antara lain berwujud  makanan,   obat-obatan,  lingkungan (pollen, zat kimiawi, tanaman, jamur, dan lain-lain), paparan pada  lateks, tekanan pada kulit, paparan dingin atau panas , stres depresi  kehamilan, infeksi, malaria, dan infeksi parasit 
Urtikaria yaitu  bercak  merah dan atau angioedema yang 
muncul secara mendadak dan tiba-tiba. petunjuk  urtikaria berwujud  edema superfisial sirkumskripta pada kulit yang berwarna merah terang, biasanya   ditambah  dengan rasa   gatal atau sensasi terbakar. sedang  angioedema yaitu  edema pada dermis bagian dalam, subkutis, dan membrane  mukosa yang ditandai dengan adanya bercak kemerahan yang berbatas tidak tegas. Keluhan pada angioedema biasanya berwujud  sensasi nyeri dan 
terbakar. Angioedema pada faring dan laring bisa  yaitu  suatu peristiwa  kritis , dipicu  adanya risiko kejadian asfiksia ,Urtikaria akut dan angioedema yaitu  dermatologi 
yang memicu  pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD). sebab  rasa gatal yang mengganggu aktivitas 
dan tidur. sedang  angioedema pada faring dan laring bisa  yaitu  suatu peristiwa  kritis , dipicu  adanya risiko kejadian asfiksia ,
Lesi urtikaria bisa  muncul dalam beberapa menit dan bisa  bertahan beberapa menit, lalu kembali normal dalam waktu 1 - 24 jam. Angioedema bisa  memberi  gejala berwujud  sensasi nyeri, terbakar, tidak gatal, berwujud  
edema yang berbatas tidak tegas pada dermis dalam dan subkutis atau membran mukosa. biasanya angioedema sewarna dengan kulit, dan biasanya muncul secara perlahan bisa  bertahan sampai beberapa hari. Pada tipe angioedema tertentu selain kulit dan mukosa, saluran pencernaan juga bisa  mengalami hal sejenis . Angioedema pada faring dan laring bisa  yaitu  suatu peristiwa  kritis , dipicu  adanya risiko kejadian 
asfiksia,
Urtikaria akut ada   ikatan antara antigen dengan IgE yang memicu  degranulasi sel Mast, diikuti oleh pelepasan histamin dan mediator kimiawi lainnya seperti Platelet-Activating Factor (PAF), dan juga sitokin yang akan 
memicu  adanya aktivasi saraf sensoris, vasodilatasi, dan ekstravasasi plasma ,ada   dua mediator pada angioedema yang bertanggung jawab yaitu  histamin dan bradikinin. Sebagian besar angioedema yang terjadi yaitu  
dimediatori oleh histamin, namun perlu diwaspadai gejala angioedema  yang dimediatori oleh bradikinin ,
pada urtikaria nampak adanya edema pada dermis bagian atas yang ditambah  dengan dilatasi pembuluh darah vena dan limfatik. Pada angioedema perubahan sejenis  terjadi pada dermis bagian bawah dan subkutis 
  
Urtikaria akut dan angioedema yaitu  peristiwa  kritis  di 
bidang dermatologi yang bisa  ditemukan. diagnosa  dan pengobatan  awal yang cepat  dalam mengenali dan mengatasi kritis    diperlukan. Sehingga komplikasi yang tidak diinginkan bisa  dihindari, dan pasien memperoleh  terapi yang sesuai.
diagnosa  pada lesi urtikaria akut biasanya cukup dengan 
anamnesis dan pemeriksaan klinis. Pada urtikaria akut, keluhan khas secara tiba-tiba dan sembuh sempurna dalam waktu kurang dari 6 minggu. Keluhan ini bisa  ditambah  atau tanpa angioedema. Pada peristiwa  urtikaria yang tidak menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam dan gejala menetap lebih dari 6 minggu, maka pasien bisa  dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ,

Lesi berwujud  wheals bisa  muncul pada seluruh bagian badan , berubah bentuk, muncul dan muncul   kembali pada beberapa  tempat, dan  bisa  mengalami perluasan. Lesi biasanya   gatal dan memiliki ukuran beragam   dari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter dan membentuk  petunjuk  berwujud  pulau-pulau lebar. Lesi biasanya menghilang dalam 1 - 24 jam dan kulit akan kembali seperti semula ,
Sebagian besar keluhan pasien urtikaria akut hanya terbatas pada kulit, namun pada beberapa peristiwa  ditemukan gejala sistemik berwujud  susah napas 
(5%), pusing (3%), nyeri kepala (8%), nausea (9%),  diare (0,2%).  demam (8%), gejala saluran pernapasan 
(6%), gejala saluran pencernaan (5%), hipotensi atau takikardi (1%), nyeri sendi (10%), konjungtivitis (1%), Reaksi anafilaksis  bisa  ditemukan ,Pada angioedema, lesi bisa  berwarna kemerahan maupun sewarna 
kulit yang muncul secara tiba-tiba. Hal itu dipicu  adanya pembengkakan kulit pada dermis bagian bawah dan subkutis dan sering terjadi pada membran mukosa. Keluhan subjektif pada pasien sering berwujud  nyeri 
dibandingkan dengan rasa gatal. Lesi angioedema mengalami resolusi lebih lambat dibandingkan dengan urtikaria. Lesi biasanya akan menghilang perlahan dalam rentang waktu 72 jam. Lesi angioedema sering  ditemukan pada area bibir, pipi, area periorbital, genitalia, ekstrimitas distal, lidah, dan faring. Angioedema pada faring dan laring bisa  yaitu  suatu peristiwa  kritis , dipicu  adanya risiko kejadian asfiksia. 

Pemeriksaan laboratorium rutin pada urtikaria banyak dipelajari pada beberapa  penelitian . Namun pada urtikaria akut, tidak ada pemeriksaan laboratorium rutin yang diperlukan 
pengobatan  Pada pasien dengan urtikaria akut dan angioedema yang datang ke  Instalasi Gawat Darurat perlu dilakukan penilaian untuk menganalisa  ada tidaknya  kritis .adanya perubahan  suara, suara parau atau serak, dyspnea, dan stidor yaitu  prediktor 
diperlu kannya bantuan pernapasan  Pada pasien angioedema, perlu dilakukan penilaian saluran napas bagian atas, jika  ditemukan adanya  gangguan pada jalan napas, maka bisa  dilakukan intubasi nasotrakheal 
maupun krikotiroidektomi. pengobatan  medikamentosa pada angioedema disesuaikan dengan patogenesis yang mendasari 

Pada peristiwa  urtikaria, jika  tidak memberi  perbaikan 
gejala simptomatik dan tanggap    klinis dalam waktu 2 minggu maka bisa  diberikan terapi lini kedua yaitu, pemberian AH-1 generasi 2 ditingkatkan secara bertahap sampai 4 kali dosis normal dengan memperhatikan dampak  samping yang bisa  muncul 
 pemakaian  steroid yang dikombinasikan dengan AH pada peristiwa  urtikaria akut pada beberapa  penelitian , tidak menandakan  perbedaan yang penting  jika dibandingkan dengan pemakaian  antihistamin saja. , pasien urtikaria akut tanpa angioedema yang 
diterapi dengan prednison dan levocetirizin tidak menandakan  perbaikan gejala simptomatik dan tanggap    klinis dibandingkan dengan levocetirizin saja 

Urtikaria akut berbeda dari tipe urtikaria yang lain dan bisa 
sembuh sendiri. Terapi biasanya bertujuan untuk meredakan gejala simptomatik  pengobatan  pertama  pada urtikaria akut dan angioedema yaitu  identifikasi dan menghindari paparan pada  faktor pemicu  
Untuk mengurangi rasa gatal dan gejala simptomatik pada urtikaria akut bisa  diberikan terapi medikamentosa. pemakaian  antihistamin-1 (AH-1) yang bekerja pada reseptor histamin-1 yang terutama   berada pada 
sel endotel dan ujung saraf sensoris akan bisa  mengurangi gejala berwujud  urtikaria dan rasa gatal .
 menyarankan  pemakaian  AH-1 generasi kedua 
sebagai terapi lini pertama pada urtikaria. ini  disebab kan AH-1 generasi  2 memiliki beberapa keunggulan dibandingkan AH-1 generasi sebelumnya.  Antihistamin generasi 2 (AH-2) memiliki keunggulan antara lain minimal  atau tidak berdampak sedasi dan  bebas dampak  anti kolinergik. Antihistamin  generasi 2 seperti cetirizin, loratadin, dan fexofenadine memiliki  
keamanan yang lebih baik jika dibandingkan dengan golongan sebelumnya  yang berdampak sedatif. Pada saat ini, jenis antihistamin yang tersedia di pasaran jumlahnya beragam, namun hanya ada   7 jenis AH yang 
sudah  diuji pada peristiwa  urtikaria yaitu ruptadin,  bilastin ,cetirizin, desloratadin, fexofenadine, levocetirizin, loratadine, 

Urtikaria akut yang luas dan mengenai sebagian besar kulit bisa  terjadi bersamaan dengan reaksi anafilaksis. Tenaga medis yang menangani urtikaria akut sebaiknya bisa  menentukan ada tidaknya reaksi anafilaksis ,
Reaksi anafilaksis bisa  dicurigai jika  ada   lesi 
kulit yang   luas, ditambah  dengan bengkak pada area  mata, bibir, dan ekstrimitas. Keluhan pasien berwujud  adanya urtikaria atau angioedema yang ditambah  dengan suara napas berwujud  wheezing, stridor, kepala yang terasa ringan dan melayang, mual, muntah,   bisa  diikuti dengan pingsan dan hilangnya kesadaran ,Rasa gatal yang menetap dalam waktu yang lama pada urtikaria 
bisa  memberi  gangguan baik pada pola hidup maupun pola tidur pasien sehingga mengganggu mood dan  keadaan emosional pasien. Namun hal itu  biasanya jarang ditemukan pada peristiwa  urtikaria akut 


kritis  yaitu  suatu kejadian mendadak, tidak terduga dan  
tidak diharapkan, namun  memerlukan pengobatan  segera secara cepat,   yang termasuk dalam 
kritis  antaralain: :genitourinarius lakilaki , kritis  pelvis. kritis  muskuloskeletal,kritis  pediatri . kritis  CNS,kritis  kepala leher, kritis  tulang belakang . kritis  toraks , kritis  kardiovaskular. kritis  perut . kritis  ginekologi dan obstetri,kritis ,


Pemeriksaan radiologi   berperan dalam melakukan diagnosa   dengan memakai  sinar  (pengion atau nonpengion). sinar nonpengion ditemukan pada modalitas ultrasonografi (USG),  Magnetic Resonance Imaging (MRI).  Sinar pengion ditemukan dalam sinar X atau sinar gamma,,Radiologi diagnosa   terdiri dari foto X-ray konvensional, Computed Tomography Scan (CT Scan), MRI, kedokteran  nuklir, dan arteriografi. Satu modalitas radiologi saja tidak bisa  dipakai   untuk mendiagnosa  semua peristiwa  kritis . Setiap peristiwa   radiologi berbeda memerlukan modalitas radiologi yang berbeda pula ,Hal-hal yang harus diketahui saat pasien gawat darurat akan dilakukan pemeriksaan radiologi :
Mempersiapkan pasien ,Pemilihan modalitas pencitraan yang cepat  untuk menjawab pertanyaan  klinis secara menonjol :
Mengetahui kemampuan alat-alat radiologi yang dimiliki oleh IGD ,Mengetahui tanda  pemeriksaan , Mengetahui evaluasi struktur apa yang diharapkan pada masing-masing modalitas pencitraan,. Mengecek kontratanda  pemeriksaan radiologi . Berdiskusi dengan dokter jaga radiologi/radiolog



kritis  central nervous system (cns) terdiri dari :
1. Perdarahan (Trauma maupun Nontrauma)
 tanda  adanya perdarahan dilakukan saat  terjadi trauma kepala dan adanya defisit neurologi. Perdarahan bisa  terjadi sebab  traumatik maupun nontraumatik. Perdarahan traumatik terdiri dari pendarahan 
ekstradural, subdural maupun memar cerebral. sedang  perdarahan nontraumatik terdiri dari pendarahan subarachnoid, intraparenkimal, 
2. Patah Tulang Kepala
 tanda  adanya patah tulang kepala, jika  terjadi riwayat trauma dan adanya cedera kulit kepala. Modalitas yang biasanya dipakai  pada  patah tulang kepala  yaitu :
 CT scan otak kondisi tulang pada irisan aksial dan koronal ,Foto polos kepala/ skull (AP/lateral) 
Pencitraan yang dipakai  untuk    perdarahan (traumatik maupun nontraumatik) yaitu  CT scan otak.
3. Infark Serebral
 tanda  adanya infark serebral, jika  ada   kerusakan neurologi fokal dan stroke. Modalitas pencitraan yang dipakai  untuk infark serebral yaitu  CT scan otak dan MRI: DWI (Diffusion Weighted Imaging) dan MR Angiografi ,
4. Trauma Spinal
 tanda  trauma spinal terjadi saat  adanya riwayat trauma dan terjatuh dari tempat tinggi. Trauma spinal bisa  berwujud  fraktur vertebra maupun cedera myelum. Modalitas yang dipakai  untuk trauma spinal yaitu  
foto polos vertebra (proyeksi lateral dan AP) CT scan 
 



kritis  maksilofasial terjadi saat  adanya riwayat trauma 
pada wajah, perusakan wajah, maupun luka memar pada sebagian wajah. Modalitas yang dipakai  untuk kritis  maksilofasial yaitu  foto polos kepala/ skull (proyeksi lateral dan PA), CT scan tulang wajah  dengan rekonstruksi tiga dimensi (3D) dan CT scan kondisi tulang pada  risan aksial dan koronal 


Cedera orbital terjadi saat  adanya riwayat trauma orbital dan riwayat benda asing pada mata. Pencitraan yang dipakai  yaitu  foto polos kepala/ skull (proyeksi lateral dan PA), foto polos water’s  dan CT scan 
orbita dengan rekonstruksi tiga dimensi (3D) dan CT scan kondisi tulang pada irisan aksial dan koronal 

kritis  toraks terdiri dari trauma dada dan benda asing jalan napas ,

1. Trauma Dada 
 Trauma dada bisa  berwujud  fraktur kosta, hematotoraks, pneumotoraks, pneumomediastinum, memar, laserasi, dan hematoma paru, cedera esofagus, dan cedera diafragma. tanda  adanya trauma dada, jika  ditemukan adanya riwayat trauma ditambah  kesulitan bernapas. Modalitas pencitraan yang dipakai  antara lain foto polos dada (proyeksi PA dan lateral)  CT scan toraks, dan angiografi. Contusional pulmonum kanan dengan fraktur kosta multipel. 
2. Benda asing jalan napas/Airway foreign body
 tanda  adanya benda asing jalan napas jika  kejadian itu  
terjadi pada anak-anak, adanya kesulitan bernapas, dan pasien tidak sadarkan diri. Modalitas yang dipakai  yaitu  foto polos leher dan dada (proyeksi PA dan lateral) dan CT scan toraks. 

kritis  kardiovaskular terbagi menjadi beberapa peristiwa  
emergensi , antara lain:
1. Edema Paru
 Edema paru yaitu  akumulasi cairan pada ruang udara dan parenkim paru. Gejala edema paru yaitu  kesulitan bernapas, batuk darah, dan sesak. Modalitas pencitraan yang dipakai  yaitu  foto  polos dada (proyeksi PA dan lateral), CT scan arteriografi MR angiografi, dan aortografi ,
2. Emboli Paru
 Emboli paru yaitu  penyumbatan arteri pulmonal oleh suatu embolus yang terjadi secara tiba-tiba. Gejala emboli paru yaitu  kesulitan  bernapas dan sesak, dan  bisa  memicu  kematian mendadak. Modalitas pencitraan yang dipakai  yaitu  CT scan toraks, CT scan 
arteriografi  dan arteriografi 
3. Emboli Jantung 
 tanda  ditemukannya adanya emboli jantung, jika  ada   keluhan dyspneu dan cardiac output (COP) rendah. Modalitas yang dipakai  yaitu  foto polos dada (proyeksi PA dan lateral) dan ekokardiografi.
4. Efusi Perikardial
 Efusi perikardial terjadi saat  adanya nyeri pada dada, pergeseran tulang rusuk, dan detak jantung melemah saat auskultasi. Modalitas yang dipakai  pada kejadian efusi perikardia yaitu  foto polos dada 
(proyeksi PA dan lateral)  dan ekokardiografi.
5. Diseksi Aorta 
 Diseksi aorta terjadi saat  nyeri dada substernal secara tiba-tiba. Modalitas pencitraan yang dipakai  yaitu  foto polos dada (proyeksi  PA dan lateral), CT scan arteriografi 
6. Iskemi Perifer (Akut)
 Iskemi perifer akut terjadi saat  adanya keluhan nyeri hebat mendadak, kedinginan, mati rasa atau pucat pada sebagian ektremitas. Modalitas pencitraan yang dipakai  yaitu  CT scan arteriografi ,arteriografi, dan Color Doppler US (kronik).
7. Deep Vein Thrombosis (DVT)
 DVT terjadi saat  ada gejala khusus nyeri, edema, dan kulit pucat. Modalitas pencitraan yang dipakai  untuk melakukan diagnosa  yaitu  Color Doppler US ,CT scan venografi , dan venografi.
 




peristiwa  kritis  perut  terbagi menjadi dua, yaitu sebab  
riwayat trauma dan nontrauma. kritis  perut  sebab  
trauma bisa  berwujud  hematoperitonium, cedera viseral (hati, limfa, ginjal, dan lain-lain. kritis  perut  nontrauma bisa  berwujud  obstruksi intestinal, apendisitis, perforasi usus, asites, ikterus, peritonitis, dan pendarahan gastrointestinalis ,
- Ikterus
 Ikterus terjadi saat  adanya perubahan warna kulit menjadi kekuning-kuningan, urin gelap, dan tinja pucat. Modalitas yang dipakai  yaitu  USG , CT scan, dan Endoscopic Retro tingkat  Cholangiopancreaticography (ERCP) ,
-Obstruksi Intestinal
 Obstruksi intestinal terjadi saat  adanya nyeri di area  perut, mual, dan muntah, dan  perut  tenderness. Modalitas yang dipakai  untuk diagnosa  yaitu  foto polos perut  (supine, erek, dan Left Lateral Decubitus/LLD)  dan CT scan.Ultrasonografi FAST menandakan  cairan bebas di morison pouch. Laserasi Liver (CT scan dan USG)
 Obstruksi ileus (Foto polos perut  dan LLD)
-Perforasi Gastrointestinal
 Perforasi gastrointestinal terjadi saat  adanya riwayat ulkus peptikum maupun peritonitis. Modalitas yang dipakai  untuk melakukan  diagnosa  yaitu  foto polos perut  (supine, erek, dan left lateral  decubitus/LLD) dan CT scan ,
-Apendisitis 
 Dugaan apendisitis diberikan saat  adanya nyeri kuadran kanan bawah yang muncul secara tiba-tiba dan nyeri lepas. Modalitas yang dipakai  untuk melakukan diagnosa  yaitu  foto polos perut , US, dan CT scan. Batu di duktus koledokus memicu  pelebaran saluran bilier  (ERCP). 
 Apendisitis (Ultrasonografi).
-Kolesistitis 
 tanda  adanya koleksistitis diberikan saat  adanya nyeri epigastrium secara tiba-tiba dan nyeri lepas. Modalitas yang dipakai  untuk diagnosa  yaitu  USG (baku standar) Kolelitiasis dengan kolesistitis kronis (USG).
- Trauma perut 
 Trauma perut  terjadi saat  adanya riwayat trauma perut  
dan cedera dalam berkendara. Modalitas yang dipakai  untuk pemeriksaan yaitu  arteriografi,foto polos dada dan perut , Focus Assesment Sonography for Trauma (FAST) , CT scan 

medis bedah 2 medis bedah    2 Reviewed by bayi on Mei 20, 2022 Rating: 5

About

LINK VIDEO