medis bedah 3






























































halaman  3


kritis  genitourinarius
kritis  pada sistem genitourinarius terdiri dari beberapa 
peristiwa  antaralain : 
- Cedera skrotum, bengkak, torsi testis, dan epididimitis (lakilaki )  kritis  pada skrotum terjadi saat  nyeri scrotum akut dan trauma testis. Modalitas yang dipakai  untuk diagnosa  yaitu  US  dengan Color Doppler .
-. Cedera uretra (lakilaki )
 Cedera uretra saat  adanya riwayat trauma tumpul pada area  pelvis dan jatuh mengangkang. Modalitas yang dipakai  untuk diagnosa  yaitu  foto polos saluran kemih, USG, urografi intravena, CT scan perut.
- Batu Ginjal (Kolik Renal)
 tanda  batu ginjal terjadi saat  tiba-tiba adanya nyeri pinggang yang menjalar ke pangkal paha. Modalitas yang dipakai  untuk melakukan diagnosa  yaitu  foto polos perut -pelvis, USG, dan urografi intravena  dan CT perut . 
-. Hematuria
 pemicu  hematuria antara lain infeksi saluran kemih yang berulang, tumor ginjal atau kandung kemih dan trauma. Modalitas yang dipakai  untuk melakukan diagnosa  hematuria yaitu  foto polos perut -pelvis, USG, urografi intravena, CT scan perut  dan sistogram.
-. Trauma Saluran Kemih
 Trauma saluran kemih saat  adanya riwayat trauma tumpul pada perut dan jatuh terjengkang. Modalitas yang dipakai  untuk diagnosa  yaitu  foto polos perut -pelvis, USG, urografi intravena, CT scan perut  dan ascending urethrocystography.
kritis  ginekologi dan obstetrik
Kejadian kritis  yang biasanya terjadi pada sistem ginekologi dan obstetrik yaitu kehamilan ektopik,  plasenta previa. torsi ovarium, abses tuboovarial, Pelvic Inflammatory Disease (PID), aborsi, 
kritis  pada sistem muskuloskeletal yang terjadi yaitu  
fraktur dan dislokasi pada ektremitas atas dan bawah, fraktur pelvis, cedera sendi, cedera ligament,  tendon
 kritis  pada muskuloskeletal ditanda  jika  adanya riwayat trauma. Modalitas yang dipakai  untuk diagnosa  yaitu  foto polos , CT scan , dan MRI 
Dislokasi anteroinferior caput humerus kanan dengan fraktur pada glenoid labrum. 
kritis  pada peristiwa  pediatrik terdiri dari  kritis  neonatal, benda asing jalan napas, dan cedera tulang 
 Modalitas yang dipakai  untuk diagnosa  yaitu  foto polos 
 USG , dan CT scan. Buckling fracture (fraktur inkomplit) pada distal radius. Hypertrophic Pyloric Stenosis/HPS (USG). 
 kritis  pada sistem ginekologi terjadi jika  ditemukan 
gejala  klinis nyeri perut  bawah, demam, dan vaginal discharge. Modalitas radiologi yang biasanya dipakai  untuk diagnosa  yaitu  USG dan USG  (Color Doppler).
2. Sistem Obstetrik
 kritis  obstetrik terjadi saat  adanya gejala klinis 
pendarahan pada kehamilan. Modalitas yang dipakai  untuk melakukan diagnosa  yaitu  USG dan USG (Color Doppler) 





Stroke yaitu  hilangnya fungsi otak yang terjadi secara tiba-tiba baik fokal maupun global. pemicu  stroke bisa  terjadi akibat perdarahan di intrakranial maupun adanya penyumbatan di pembuluh darah sehingga terjadi hipoperfusi dan terjadi infark atau kematian jaringan otak ,
Kemampuan pencitraan modern untuk mendeteksi pemicu  stroke saat ini memerlukan waktu tidak lebih dari 15 menit. Pada beberapa rumah  sakit pusat pelayanan stroke, sudah ada sistem yang mengatur alur pasien 
yang datang dengan dugaan stroke sehingga ada prioritas untuk pasien stroke sehingga keputusan untuk menjalankan prosedur pengobatan yang dilakukan bisa  dilakukan  dengan cepat pula 
Kesuksesan hasil pengobatan   stroke penyumbatan   
bergantung kepada hasil pencitraan kritis . Dari hasil pencitraan akan ditentukan stroke akut itu  akibat perdarahan ataukah penyumbatan, sehingga bisa  ditentukan pengobatan yang cepat . CT Scan   mudah 
mendeteksi peristiwa  perdarahan, yaitu  dengan adanya area hyperdense dengan  densitas berkisar +45 sampai +65 Hounsfiled Unit . sedang  pada stroke penyumbatan, tahap  awal CT Scan belum bisa  mendeteksi dengan jelas walau  melibatkan pembuluh darah besar. Maka dari itu, 
diperlukan pengamatan memakai  SPEC, yaitu  metoda penghitungan pada area  territory middle cerebral artery (MCA). MRI   peka  untuk menentukan adanya area  infark yang ditunjukkan dengan ADC dan DWI ,ditambah sequence T2W maupun T2 FLAIR untuk menentukan apakah   ini hiperakut atau akut ,
Pada   stroke perdarahan, CT Scan bisa  mendeteksi dengan   baik . Hal yang perlu diperhatikan yaitu :
Lokasi pada intraparenkim maka harus melihat volume perdarahan dengan edema perifokal untuk menentukan apakah perlu tindakan pembedahan.
 muncul  nya hidrosefalus akibat adanya perdarahan.
Lokasi perdarahan, apakah intraparenkim atau di luar parenkim contoh  di ruang subdural atau subarachnoid. Jika perdarahan di ruang subarachnoid maka perlu dipertimbangkan kelanjutan pemeriksaan dengan CT angiografi untuk mendeteksi adanya aneurisma 
pencitraan pada stroke iskemia dan infark serebral
Infark serebral terjadi akibat otak mengalami hipoperfusi, aliran di dalam otak kurang dari 15ml/100gr jaringan per menit, yang disingkat rCBF. Stroke yaitu  istilah umum gangguan fungsi otak mendadak apapun pemicu nya, 
sedang  infark menyangkut kematian jaringan otak permanen akibat hipoperfusi. Jika belum terjadi kematian jaringan yang permanen maka ini dinamakan  iskemia. Iskemia ini masih memungkinkan diselamatkan agar tidak 
terjadi kerusakan otak yang permanen  
Stroke infark akut sekitar 0 sampai 6 jam, biasanya ditandai oleh iskemia simtomatis, dan berubah menjadi infark jika hipoperfusi meningkat. Jika tidak terjadi infark, baik CT maupun MRI tidak menandakan  adanya lesi. Pada 6 jam pertama ini dengan pengobatan yang baik maka tidak menimbulkan  kecacatan yang permanen 
 pertanyaan yang harus dijawab saat  dihadapkan pada stroke akut:Apakah ada area  penumbra?Seberapa luas area  infark?Apakah ini stroke perdarahan?Apakah ada pembuluh darah besar yang buntu?
Apakah dengan CT Scan tanpa kontras sudah bisa  menjawab pertanyaan di atas?  CT Scan bisa  dideteksi dengan mudah dengan mendeteksi adanya area  hiperdense dengan densitas antara +45 sampai +65 Hounsfield Unit. kita bisa  memakai  metoda The Alberta stroke program early CT Score (ASPECT), yaitu  dengan 
membuat analisis 10 area segmental teritori area  yang dialiri oleh arteri serebri media dengan memberi nilai 1 pada masing-masing segmen pada CT  Scan tanpa kontras. Jika skor ini mencapai 7 atau lebih besar bisa  dipastikan prognosisnya kurang baik , area  segmental 
itu  yaitu nucleus caudatus, putamen, kapsula interna, korteks insula, dan  area  M1, M2, M3, M4, M5 dan M6 ,
CT Scan pada tahap  akut sulit dilakukan, maka yang bisa  dilakukan  oleh ahli radiologi yaitu  dengan mengerjakan 
MRI memakai  tehnik  diffusion weighted images (DWI) yang bisa  menentukan area infark beberapa menit sesudah  kejadian. diteruskan  dengan pemeriksaan sekuens T2W dan T2FLAIR untuk menentukan area  itu  
hiperakut stroke atau akut stroke. Adanya perubahan intensitas menjadi  hiperintense pada T2W dan T2FLAIR menandakan  area  itu  sudah akut, sedang  kalau belum ada perubahan intensitas berarti area  itu  masih hiperakut.memerlukan pemeriksaan CT Scan advanced atau  MRI advanced dengan tehnik  perfusi. tehnik  ini memerlukan bahan kontras  media yang disuntikkan dalam dosis dobel. contoh  untuk CT Scan kepala 
diperlu kan 40 cc, maka untuk pemeriksaan perfusi perlu 80 cc. Untuk MRI  dengan kontras perlu 7,5 cc, maka untuk perfusi perlu 15 cc.Jika identifikasi adanya pembuntuan pada pembuluh darah serebri media, maka tindakan thrombektomi bisa  dilakukan. Sampai sejauh ini 
banyak pusat pelayanan stroke komprehensif yang mengerjakan CT Scan untuk pemeriksaan pencitraan awal, namun  beberapa pusat pelayanan stroke juga memasukkan pemeriksaan MRI, khususnya MR Angiography ,DWI, T2, T2FLAIR ,
Prosedur pemeriksaan di radiologi tidak boleh terlalu lama, apalagi kalau mengejar waktu emas, dalam waktu 20 menit sudah bisa  menjawab pertanyaan apakah pemicu  stroke perdarahan atau infark, apakah melibatkan pembuluh darah besar, dan area  yang terkena mana saja. Untuk menentukan area  penumbra waktu yang diperlu kan untuk tehnik  perfusi akan lebih lama .




Hipertensi dalam kehamilan  sekitar 3-16% dari seluruh 
kehamilan,  yaitu  salah satu pemicu  kematian dan kesakitan ibu hamil yang pertama . sedang  preeklampsia yaitu  sindrom yang khas pada kehamilan, memicu  gangguan dan komplikasi multiorgan dan bisa  membahayakan ibu dan janin.  15% kematian 
ibu dipicu  oleh hipertensi dalam kehamilan. sedang  
di Amerika Serikat, 12 %  kematian ibu dipicu  preeklampsia- eklampsia  ,1/100.000 kematian ibu dipicu  preeklampsia-eklampsia, dengan case  fatality rate 6,4 kematian/10.000 peristiwa  ,peristiwa  hipertensi dalam 
kehamilan dari total 1502 persalinan  dengan angka kematian  dipicu  hipertensi dalam kehamilan sebanyak 1 dari 60 peristiwa  kematian ,Mortalitas dan morbiditas 
hipertensi dalam kehamilan jauh lebih tinggi di negara sedang berkembang/miskin dibandingkan negara maju. 

Banyak kriteria  dan penggolongan  hipertensi dalam kehamilan, namun mengacu pada organisasi hipertensi 
dalam kehamilan dunia yang kredibel yaitu  International Society for The Study of Hypertension in Pregnancy, (ISSHP), hipertensi dalam kehamilan digolongkan  menjadi 4 :  yaitu: 1. Hipertensi kerah putih (white coat hypertension)arti  Preeklampsia ,2. Hipertensi Kronis, 3. Hipertensi Gestasional,4. Preeklampsia - de novo atau superimposed pada hipertensi kronis,


Hipertensi (tekanan darah > 140/90 mm Hg) yang baru muncul pada usia kehamilan 20 minggu ditambah  salah satu gejala  di bawah ini :
1. Disfungsi uteroplasenta: gawat janin dan gangguan pertumbuhan  janin.
2. Proteinuria: (pemeriksaan spot protein urine sewaktu/creatinine > 30 mg/mmol [0,3 mg/mg] atau > 300 mg/hari atau minimal 1g/L (2+) pada dipstick test) 
3. Gangguan organ lainnya:
- Gangguan neurologis: eklampsia, perubahan status mental, kebutaan, stroke, hiperrefleksia yang ditambah  klonus, nyeri kepala hebat,  scotomata visual persisten
- Gangguan hematologis (trombositopenia, DIC, hemolisis, sindroma HELLP)- Edema paru,
- Gangguan ginjal (Serum kreatin > 90 umol/L)
- Keterlibatan hepar (naiknya  serum transaminase dan atau nyeri epigastium dan kuadran kanan atas)



 
Hipertensi yang muncul   sebelum usia  kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosa  sesudah  usia kehamilan 20 minggu dan kondisi hipertensi itu  menetap sampai 12 minggu sesudah persalinan . Munculnya gejala hipertensi sebelum kehamilan, sebagian besar peristiwa  ini dipicu  hipertensi esensial, dengan riwayat keluarga hipertensi yang 
  kuat dan ditambah  obesitas ,

Munculnya hipertensi sejak usia kehamilan 20 minggu, tanpa ditemukan ketidaknormalan lainnya (proteinuria dan gejala multi organ) dan menghilang sebelum 3 bulan sesudah persalinan . biasanya  kondisi ini ringan, namun perlu diwaspadai sekitar 24% peristiwa  akan menjadi preeklampsia sebelum 32 minggu Munculnya gejala hipertensi pada pemeriksaan tekanan darah di rumah sakit ,


Sindroma khas pada preeklampsia yang ditandai hemolisis, naiknya  kadar enzim liver, dan penurunan kadar platelet (trombositopenia). Sindroma HELLP menandakan  komplikasi  berat dari preeklampsia, namun 
pada sebagian kecil wanita bisa  mengalami sindroma HELLP tanpa preeklampsia 

munculnya  kejang pada pasien preeklampsia. Eklampsia yaitu  peristiwa  akut pada pasien preeklampsia yang ditambah  dengan kejang dan koma. Sama halnya dengan preeklampsia, eklampsia bisa  muncul   pada ante, intra, 
dan postpartum. Eklampsia postpartum biasanya  hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama sesudah persalinan  


Sejak lama patogenesis preeklampsia diduga antaralain:  dua tahap. Tahap pertama yaitu  munculnya  gangguan proses plasentasi, sedang  tahap kedua antaralain:  munculnya gejala klinis sistemik (hipertensi dan proteinuria). Tahap pertama bersifat preklinis dan belum ada gejala, yang terjadi pada usia kehamilan 8-18 minggu, yang mana sirkulasi uteroplasenta dibentuk dari proses 
remodelling arteri spiralis , ketidaknormalan pada tahap pertama ini bisa  dipicu  oleh banyak hal, seperti: . Maladaptasi maternal pada  perubahan inf lamasi dan 
kardiovaskular,, Faktor genetik melalui gen yang diturunkan dan pengaruh epigenetik,. Faktor metabolik maternal. Implantasi plasenta dengan invasi trofoblast tidaknormal  pada pembuluh darah uterus, Gangguan toleransi adaptasi imunologi antara maternal, paternal, dan janin,Ketidakseimbangan faktor angiogenesis dan antiangiogenesis,sedang  pada tahap kedua terjadi proses disfungsi endotel luas, yang memicu  menurunnya perfusi ke seluruh organ badan  ibu, dan munculnya gejala klinis preeklampsia (hipertensi, gangguan multi organ, proteinuria, dan gangguan janin,

sifat   maternal yang dikaitkan  kuat dengan risiko munculnya  preeklampsia-eklampsia yaitu antaralain : 
-Kondisi medis yang dimiliki (hipertensi kronis, penyakit ginjal, diabetes mellitus), -Sindroma Antifosfolipid antibodi [RR 9.72, 95% CI 4.23 - 21.75] - Riwayat preeklampsia sebelumnya, terutama   jika terjadi < 34 minggu (early onset preeklampsia) [RR 7.19, 95% CI 5.85 - 8.83],- Kehamilan multipel.
Faktor lain yang juga dikaitkan  dengan risiko preeklampsia, yaitu :
-. Obesitas,- Ras Afroamerika,-. Usia ibu semakin tua,
-Riwayat keluarga preeklampsia [RR 2.90, 95% CI 1.70 - 4.93].- Primiparitas [RR 2.91, 95% CI 1.28-6.61],
- Primipaternitas,-. Interval kehamilan > 5 tahun,
-Durasi hubungan seksual dengan kehamilan yang pendek (< 6 bulan),



 penggolongan  PE preeklampsia  terbaru tidak lagi membagi ‘ringan’ dan ‘berat’, namun dibagi menjadi preeklampsia ‘ditambah  gejala berat’ dan ‘tanpa ditambah  gejala berat’  Hal itu   untuk meningkatkan kewaspadaan pada seluruh peristiwa  PE preeklampsia
yang bisa  memburuk secara tiba-tiba. kemudian  preeklampsia tanpa ditambah  gejala berat dinamakan  PE preeklampsia, sedang  preeklampsia dengan  gejala berat dinamakan  preeklampsia berat (PEB) ,
 dinamakan  PEB jika memiliki kriteria antaralain : 
. Trombosit < 100.000/μL,. naiknya  fungsi liver (lebih dari dua kali normal),. Keluhan nyeri kepala, gangguan penglihatan dan nyeri ulu hati (impending eklampsia),. Gangguan pertumbuhan janin.. TD sistolik ≥ 160 mmHg, TD diastolik ≥ 110 mmHg,. Serum kreatinin > 1,1 mg/dl,
. Edema paru,



penggolongan  preeklampsia terkait prognosis:
1. Preeklampsia Tipe Dini (Early Onset): petunjuk  klinis preeklamsia bisa  muncul sebelum usia kehamilan 34 minggu. ini  dipicu  proses patogenesis preeklamsia pada level plasenta amat kuat. ini  memicu  petunjuk  klinis muncul lebih awal dan prognosis pada ibu dan janinnya lebih buruk. 
2. Preeklampsia Tipe Lambat (Late Onset): petunjuk  klinis preeklamsia muncul sesudah  kehamilan 34 minggu. Pada tipe late onset, proses patogenesis preeklamsia di tingkat plasenta tidak terlalu parah dan diduga adanya faktor maternal. Prognosis ibu dan janinnya lebih baik. 
Jarang ditemui  adanya IUGR. Pada late onset muncul permasalahan baru, sebab  tidak ada pertanda awal munculnya  preeklamsia, sering     pasien datang mendadak dalam kondisi preeklamsia walaupun pada pemeriksaan sebelumnya masih  normal, sementara pada early onset, sebab  adanya pertanda biomolekular dan klinis yang bisa  dideteksi lebih awal, pasien dalam pengawasan lebih ketat. Di negara maju yang memiliki  fasilitas NICU lebih baik, early onset preeklamsia memiliki  insiden morbiditas dan mortalitas lebih rendah 



Skrining preeklampsia wajib dilakukan  pada semua ibu hamil yang melakukan pemeriksaan antenatal. Pada faskes tingkat satu/primer,  bisa  melakukan skrining sederhana dengan melakukan anamnesis dan 
pemeriksaan fisik. Dari anamnesis harus dicari adanya faktor  risiko  Adanya 2 faktor risiko atau 1 faktor risiko 
kuat, maka dikatakan hasil skrining positif. 
Pada pemeriksaan fisik bisa  dilakukan pengukuran Indeks Massa  badan /Body Mass Index (BMI), Mean Arterial Pressure (MAP), dan juga Roll Over Test (ROT). Ketiga pemeriksaan bisa  dilakukan  di faskes primer. Kriteria pemeriksaan fisik positif, yaitu:
1. BMI > 30 kg/m2,
2. MAP > 90 mmHg terutama   pada trimester kedua,
3. ROT, naiknya  tekanan darah > 15 mmHg antara posisi terlentang dan tidur miring kiri.

diagnosa  Preeklampsia Berat
. Proteinuria, standar baku untuk mendiagnosa  proteinuria  tidaknormal  pada kehamilan yaitu  dengan pemeriksaan protein urin 24 jam > 300 mg/hari. Dalam praktik sehari-hari pemeriksaan ini memerlukan  waktu lebih lama, sehingga sering digantikan dengan 
pemeriksaan rasio protein/kreatinin urin > 30 mg/mmol menandakan  .proteinuria tidaknormal . Jika tidak bisa  melakukan pemeriksaan ini, maka dipstick test masih bisa  dipakai  dengan nilai minimal +2 
Pemeriksaan kesejahteraan janin: USG, NST perlu dilakukan mengingat gangguan pertumbuhan janin bisa  yaitu  komplikasi preeklampsia ,Pemeriksaan kardiotokografi pada saat awal harus  dilakukan  untuk menganalisa  kesejahteraan janin. Jika pengobatan  
preeklampsia direncanakan secara konservatif, maka pemeriksaan USG ukuran janin, Doppler pembuluh darah janin, dan cairan ketuban harus dilakukan . USG serial harus dilakukan  sehingga saat persalinan bisa  
ditentukan secara optimal ,Pemeriksaan laboratorium lengkap harus dilakukan  untuk menganalisa  gangguan multi organ, termasuk menganalisa  adanya komplikasi sindroma HELLP ,naiknya  tekanan darah (> 140/90 mm Hg) sesudah  20 minggu. Pemeriksaan tekanan darah memakai  sphygmomanometry mercury masih yaitu  standar baku pengukuran tekanan darah. Pengukuran memakai  alat otomatis memiliki akurasi lebih rendah dibandingkan 
merkuri Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan dalam kondisi istirahat dan ibu duduk dengan posisi 45 derajat. Cuff tekanan darah harus memiliki ukuran yang sesuai dengan lengan ibu dan diletakkan sejajar jantung ibu. Pemeriksaan harus dilakukan  
berulang kali  untuk mengkonfirmasi  diagnosa . Suara Korotkoff tahap  5 menandakan  tekanan darah diastolik yang benar. Metode ini harus dipakai  secara konsisten dan dicatat secara baik ,
 

Kejang tonik klonik, bersifat menyeluruh  yang baru muncul pada pasien PE. yaitu  salah satu manifestasi klinis berat PE. 
1. Gejala klinis eklampsia:
a. tahap  Tonik
Otot lengan, kaki, dada, dan punggung menjadi kaku, 
berlangsung 1 menit. Penurunan kesadaran, kadang ditambah  jeritan, bisa  menjadi sianotik.
b. tahap  Klonik
Lidah bisa  tergigit, hematoma lidah, perdarahan lidah.
 1 - 2 menit sesudah  tahap  klonik, otot mulai menyentak dan berkedut, mulai terjadi kejang. 
c. tahap  Pascakejang
 sesudah  tahap  klonik selesai. Dalam keadaan tidur dalam, bernafas dalam, dan bertahap sadar kembali ditambah  nyeri kepala. Biasanya pasien kembali sadar dalam 10-20 menit sesudah  kejang.
2. Gejala Neurologis
Defisit saraf kranial. naiknya  refleks tendon dalam.
Defisit memori, defisit persepsi visual, gangguan status mental.
3. Kondisi janin
Fetal bradikardia bisa  terjadi saat dan sesudah  kejang.
4. Saat pasien sadar kembali, bisa  terjadi fetal takikardia, hilangnya variabilitas dan kadang ditemukan deselerasi (pada pemeriksaan NST) ,


  
pengobatan  preeklampsia berat harus dilakukan  berdasar  penilaian yang cermat, stabilisasi kondisi ibu, pemantauan  ketat, dan melakukan persalinan dalam waktu dan kondisi yang cepat . Beberapa hal yang harus 
dilakukan  dalam mengatasi  kritis  preeklampsia berat:

Stabilisasi Tekanan Darah
mengatasi  hipertensi akut bisa  mencegah risiko komplikasi cerebrovascular dan cardiovascular pada ibu dengan preeklampsia, yang yaitu  pemicu  terbanyak mortalitas dan morbiditas maternal. Obat penurun tekanan darah harus diberikan pada kondisi:
1. Tekanan darah > 160/110 mmHg
2. Tekanan darah > 140/90 mmHg dengan komorbiditas (gangguan organ lain) 
Pada ibu dengan hipertensi berat (> 160/110 mmHg), obat penurun tekanan darah diberikan dengan target menurunkan tekanan darah < 160/110 mmHg. Pada ibu dengan naiknya  tekanan darah 140 - 159/90-
109 mmHg, target penurunan tekanan darah tergantung ada tidaknya komorbiditas. Jika ibu memiliki komorbiditas maka tekanan darah harus  diturunkan < 140/90 mm Hg, sedang  tanpa komorbiditas tekanan darah 
bisa  diturunkan sampai 130 - 155/80 - 105 mm Hg ,
Pada hipertensi berat, obat pilihan pertama : kapsul nifedipine short acting, hydralazine intravena atau parenteral labetolol. pilihan lain  lain yaitu : 
methyldopa oral, labetolol oral, atau clonidine oral , Nifedipine 
bisa  diberikan dengan dosis awal 3 × 10 mg per oral, dengan dosis maksimal 120 mg/hari. Nifedipine tidak boleh diberikan secara sublingual. Tidak  diperbolehkan memberi  obat jenis Atenolol, ACE inhibitor, Angiotensis 
Receptor Blockers (ARB) dalam kehamilan,
Pencegahan Kejang penelitian  MAGPIE sudah  membuktikan bahwa pemberian Magnesium 
Sulphate bisa  menurunkan risiko eklampsia/kejang pada wanita dengan  preeklampsia sebesar 59%. Magnesium Sulphate (MgSO4) yaitu  obat pilihan  pertama dalam mencegah kejang pada peristiwa  preeklampsia berat. Diazepam  dan Phenitoin tidak lagi menjadi obat pilihan pertama  dalam pencegahan kejang 
Syarat pemberian MgSO4 :
- Frekuensi pernafasan > 16 + / menit, dan tidak ada tanda-tanda distress nafas.
-. Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kg.bb./jam)
-. Harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu Calcium Gluconas 10% = 1 gr (10% dalam 10 cc) diberikan intra vena (iv) selama 3 menit.
-. Refleks patella (+) kuat. 


Pemberian MgSO4 ,MGSO4 diberikan sebagai antikejang dengan dosis awal (loading dose)  4 - 5 gram/intra vena pelan dengan MgSO4 20%, diteruskan  dengan 10 gram 
MgSO4 40% intra muskular disuntikkan ke bokong kiri dan kanan dan diulang tiap 6 jam sebanyak 5 gram MgSO4 40%. Pemberian ini juga bisa  dilakukan dengan memakai  syringe pump sebesar 1 gram/jam/intravena 
MgSO4 40% ,  
pemberian sulfas magnesikus  dihentikan bila:
sesudah  12-24 jam pasca persalinan, Ada tanda-tanda intoksikasi,


Tabel Dosis terapeutik dan toksis MgSO4 
Terhentinya pernafasan 15 mEq /liter 18 mg/dl
 Terhentinya jantung > 30 mEq/liter > 36 mg/dl
Dosis terapeutik 4 - 7 mEq/liter 4,8 - 8,4 mg/dl
Hilangnya refleks tendon 10 mEq/liter 12 mg/dl


Pemberian MgSO4 pada Kejang Ulangan 
Kejang ulangan pada wanita yang sudah  memperoleh  MgSO4 bisa  diterapi dengan injeksi bolus MgSO4 2 gram, atau naiknya  kecepatan tetesan syringe pump sampai 1.5-2.0 gram/jam. Jika sesudah  pengobatan  ini 
masih terjadi kejang, maka obat pilihan lain  seperti Diazepam atau Thiopentone bisa  diberikan dosis tunggal, sebab  pemberian Diazepam berkepanjangan  dikaitkan  dengan kematian maternal , keuntungan pemberian MgSO4 per injeksi yaitu : 
---MgSO4 menambah aliran darah ke rahim dan menambah konsumsi oksigen ke dalam otak.
---Pasien tetap sadar, berbeda dengan pemberian barbiturates, obat penenang, dan narkotika, sehingga kecil kemungkinan terjadi gangguan pernapasan dan aspirasi asam lambung. ..
---.MgSO4 tidak menimbulkan akibat buruk bagi janin. 
--- Pengobatan MgSO4 mudah pemberiannya dan bila terjadi keracunan mudah diatasi. 



-Evaluasi syarat pemberian MgSO4 setiap akan memberi  dosis pemeliharaan (IM, berkala/intermitten), pada pilihan lain  1, dan setiap jam jika memakai  pilihan lain  2 (continous infusion, syringe pump/infusion pump)
-MgSO4 diberikan hingga 24 jam sesudah  persalinan atau kejang terakhir.
-Syarat pemberian MgSO4: laju nafas > 12×/menit, refleks patela (+), produksi urine minimal 100 cc/4 jam sebelum pemberian, tersedianya Calcium Glukonas 10% 
sebagai antidotum





Pemakaian Diazepine (Valium) sebagai obat anti kejang ternyata mulai ditinggalkan, sebab yaitu : 
Diazepine melewati plasenta dan berada dalam janin relatif lama, sehingga janin yang baru lahir sering mengalami hypotonia dan depresi.,Harga Diazepine  mahal.  Dizepine menurunkan kesadaran pasien, sehingga kedalaman gangguan kesadaran sukar dinilai dan kemungkinan muncul  nya gangguan pernapasan dan  aspirasi asam lambung lebih besar.. Untuk berkhasiat sebagai obat anti kejang diperlu kan dosis yang lebih tinggi.


Resitriksi cairan disarankan  pada kondisi preeklampsia berat, dipicu  meningkatnya risiko overload cairan pada intra atau postpartum. Total cairan masuk harus dibatasi sampai 80 ml/jam atau 1 ml/kg/jam . Diuretikum tidak boleh diberikan, kecuali jika ada gejala edema paru, 
gagal jantung kongestif, atau edema anasarka. Pemberian diuretikum akan  memperburuk kondisi ibu dan janin sebab  memperberat hipovolemia, 
mengurangi perfusi utero plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, dan menimbulkan dehidrasi pada janin ,

pemberian kortikosteroid untuk maturasi paru janin
Kortikosteroid harus diberikan pada ibu preeklamsia dengan usia kehamilan < 34 minggu. Pemberian steroid pada wanita yang terancam persalinan prematur (spontan atau iatrogenik)   menonjol  menurunkan  mortalitas dan morbiditas neonatal ,Neonatus preterm yang memperoleh   terapi steroid berisiko  lebih rendah  antaralain : 
-Perdarahan intracranial (RR 0,54; 95% CI 0.43 - 0,69)
-Necrotizing Enterocolitis (RR 0,46; 95% CI 0,29 - 0,74)
-Kematian (RR 0,69; 95% CI 0,58 - 0,81) (ACOG, 2016).
-Respiratory Distress Syndrome (RR 0,66; 95% CI 0,59 - 0,59)



 bahwa pilihan Steroid untuk maturasi paru janin ,yaitu: 
--- Betamethasone 2 × 12 mg i.m (tiap 24 jam atau dalam 2 hari pemberian) ,
---Dexamethasone 4 × 6 mg i.m (tiap 12 jam atau dalam 2 hari pemberian) ,


 langkah-langkah pengobatan  kritis  Preeklampsia Berat yaitu: 
---Segera masuk rumah sakit
--- Tirah baring 
--- Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5%
--- Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang. Regimen pemberian MgSO4 bisa  mengacu pada tata cara pemberian di atas. Pilihan metode pemberian bisa  disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya di faskes masing-masing. 
--- Pemberian antihipertensi dan mempertahankan tekanan darah di bawah 160/110 mmHg bisa  diberikan Nifedipin dan Metildopa.
---Pemberian antihipertensi par-enteral bila ditemui  tekanan darah > 180/110. bisa  dipakai  Nicardipin drip

 
langkah-langkah pengobatan  kritis  Eklampsia,yaitu: 
1. Panggil bantuan (dokter spesialis obgyn, dokter anestesi, bidan, perawat), sebaiknya  tidak meninggalkan ibu sendiri.
2. Pastikan ibu tidak mengalami cedera saat kejang (akibat benturan dengan benda di lingkungannya, terjatuh, atau menggigit lidah), pasang sudap  lidah.
3. sesudah  selesai kejang, taruh ibu pada posisi miring kiri, posisi kepala dimiringkan dan diarahkan ke bawah untuk mencegah aspirasi, dan pasang oksigen. 
4. Nilai jalan napas dan pernapasan, bebaskan jalan napas (ABC/Airway Breathing Circulation).
5. Jika memungkinkan, bisa  dipasang pulse oximetry untuk menganalisa  oksigenasi jaringan.
6. Berikan MgSO4 sesuai dosis awal jika ibu belum pernah menerima MgSO4 sebelumnya. Jika ibu sudah pernah memperoleh  MgSO4, maka berikan sesuai dosis regimen ulangan kejang.
7. Jika kejang menetap dengan dosis ulangan, maka bisa  dipertimbangkan pemberian obat pilihan lain  lain (Diazepam dan Thiopentone).
8. Jika kejang masih ada  perlu dipertimbangkan intubasi untuk melindungi jalan nafas dan mempertahankan oksigenasi.
9. Jika kondisi ibu sudah stabil, harus disiapkan perawatan lanjutan di faskes yang lebih tinggi (sekunder - tersier) yang memiliki fasilitas ICU  dan NICU.

Preeklampsia bisa  memicu  naiknya  mortalitas dan 
morbiditas maternal perinatal terutama   pada preeklampsia tipe dini ,pada ibu dengan penyakit dasar lainnya, Komplikasi Maternal,antaralain : 
Gangguan liver (< 1%),. Stroke,Kematian, Penyakit jantung di masa mendatang. Solusio Plasenta (1 - 4%), Sindroma HELLP/DIC (10 - 20%),. Edema paru (2 - 5%),. Gangguan ginjal akut (2 - 5%),. Eklampsia (< 1%),


Komplikasi Neonatal:
Penyakit kardiovaskular yang dikaitkan  dengan bayi berat badan lahir rendah.. Persalinan prematur (15 - 67%),Gangguan pertumbuhan janin (10 - 25%),. Lesi neurologis hipoksia (< 1%),. Kematian perinatal (1 - 2%),

prognosis
dampak  jangka panjang: wanita yang pernah mengalami preeklampsia  berisiko  lebih tinggi untuk mengalami penyakit kardiovaskular .di masa mendatang (antaralain:  hipertensi, penyakit jantung iskemik, 
stroke, dan thromboemboli vena) 
Risiko komplikasi obsetrik: wanita dengan preeklampsia berisiko  komplikasi gangguan pertumbuhan janin, kelahiran preterm, solusio 
plasenta, dan kematian janin dalam rahim.
 Risiko rekurensi: 25% akan mengalami hipertensi, dan 18% akan  mengalami preeklampsia berulang pada kehamilan berikutnya. Wanita .dengan riwayat preeklamsia tipe dini berisiko  rekurensi paling 
besar  65%,





Perdarahan sesudah persalinan  (PPP) > 500 ml yang diperoleh   sesudah  persalinan pervaginam atau > 1000 ml sesudah  persalinan per abdominam berdasar  waktu kejadian, perdarahan sesudah persalinan  bisa  dibagi menjadi tipe dini/primer, yaitu  terjadi pada 24 jam sesudah persalinan  dan tipe lambat/sekunder, yaitu  terjadi pasca 24 jam sampai dengan 42 hari sesudah  persalinan ,

 dipengaruhi banyak faktor Beberapa faktor yang mempengaruhi  bisa  berwujud  faktor klinis bahkan nonklinis. Secara keseluruhan 3 - 8% persalinan akan diikuti  perdarahan sesudah persalinan ,ada   4 pemicu  pertama  munculnya  PPP, yaitu: 4 T: Tone, Tissue, 
Trauma, Thrombin 
-Trauma, sebab  adanya perlukaan jalan lahir mulai dari perineum, vagina, serviks (laserasi), sampai dengan robeknya dinding uterus (ruptura uteri).
-Tone, terjadi sebab  lemahnya kontraksi (hipotoni) bahkan hilangnya kontraksi (atonia) uterus sesudah persalinan . 
- Tissue yaitu adanya jaringan plasenta yang tertinggal sebagian maupun seluruhnya  di dalam uterus
-Thrombin, yaitu adanya gangguan hemostasis yang bisa  terjadi sejak sebelum persalinan maupun sesudah nya.Atonia uteri yaitu  pemicu  PPP yang kerap ditemui di kebanyakan peristiwa . Pada beberapa peristiwa  walau  tidak diperoleh faktor risiko, atonia uteri juga bisa  terjadi sehingga pengawasan  dan pemantau  kontraksi uterus 
sesudah persalinan  wajib dilakukan. Atonia uteri bisa  bersifat primer, yaitu  berdiri sendiri tanpa ada pemicu  PPP lainnya atau bersifat sekunder saat   diperoleh pemicu  lain PPP sehingga terjadi atonia uteri. Pada peristiwa  laserasi jalan lahir yang tak tertangani dengan baik, atonia uteri sekunder  bisa  muncul sehingga pemeriksaan dan evaluasi jalan lahir menjadi suatu 
pemeriksaan yang wajib dilakukan  sesudah  persalinan 
Prediksi munculnya  PPP bisa  diketahui sebab  adanya faktor risiko yang diketahui sebelumnya. Faktor risiko yang dimaksud yang bisa  dikenali bersifat klinis dan terbagi menjadi dua ,


Selain itu diperoleh pula hal-hal yang bersifat nonklinis yang bisa   mempengaruhi  munculnya  PPP. Faktor nonklinis itu   hanya bisa  diselesaikan bersama-sama dengan melibatkan  kerja sama lintas sektor, di antaranya 
Status ekonomi,. Pembiayaan,Akses rumah sakit  
 Sistem rujukan,Pendidikan,Budaya dan kultur,Geografi,,



saat  kehamilan memasuki akhir bulan, aliran darah yang mengalir melalui low-resistance placental bed uterus bisa  mencapai sekitar 500 - 800 ml/menit. Pembuluh darah yang menyuplai aliran darah ke placental bed melewati 
sela-sela serabut miometrium yang berbentuk anyaman. Kontraksi miometrium  sesudah  terjadi persalinan akan diikuti retraksi miometrium. Retraksi  miometrium yaitu  sifat   unik otot polos uterus yang ditandai  dengan ukuran serabut otot yang lebih pendek dari panjang semula sesudah   terjadi kontraksi. Pembuluh darah yang terletak di antara serabut miometrium  akan terjepit dan terbuntu saat terjadi kontraksi dan retraksi sehingga aliran 
darah terhenti. Susunan serabut miometrium yang berbentuk anyaman uterus  ini dinamakan  the living ligatures atau physiologic sutures,Mekanisme penghentian perdarahan sesudah persalinan  berbeda dengan tempat lain yang peran faktor vasospasme dan pembekuan darah   penting, pada perdarahan sesudah persalinan , penghentian perdarahan pada bekas implantasi plasenta terutama   sebab  adanya kontraksi dan retraksi miometrium sehingga menyempitkan dan membuntu lumen pembuluh darah. Adanya sisa plasenta atau bekuan darah dalam jumlah yang banyak  bisa  mengganggu efek kontraksi dan retraksi miometrium sehingga  bisa  memicu  perdarahan tidak berhenti. Kontraksi dan retraksi  miometrium yang kurang baik bisa  memicu  perdarahan walaupun  sistem pembekuan darahnya normal, sebaliknya walaupun sistem pembekuan darah tidaknormal  asalkan kontraksi dan retraksi miometrium baik, maka bisa  menghentikan perdarahan ,
diagnosa  dilakukan  berdasar  anamnesis dan tanda-tanda yang terjadi sesuai dengan jumlah perdarahan. Perdarahan sesudah persalinan   biasanya tampak jelas, sebab  perdarahan mengalir keluar dari vagina. 
Pengecualian lain yaitu  jika diperoleh perdarahan dalam rahim yang tidak  terdeteksi atau ruptura uteri dengan perdarahan intra peritoneal. sebab  pemicu  perdarahan sesudah persalinan  tersering yaitu  atonia uteri, 

penting untuk melakukan palpasi/masase uterus sesaat sesudah  melahirkan. Adanya uterus yang lembek, kenyal, dan  pada saat pemeriksaan dalam/bimanual dan keluarnya bekuan darah/darah dalam jumlah cukup banyak dari vagina menandakan  adanya atonia uteri ,
Adanya perdarahan yang menetap walau  diperoleh uterus 
yang berkontraksi dengan kuat dan keras menandakan  kemungkinan  adanya laserasi jalan lahir. Untuk memastikan adanya laserasi jalan lahir, harus dilakukan pemeriksaan vagina, serviks, dan uterus dengan cermat. 
kadang  perdarahan bisa  dipicu  oleh atonia uteri dan trauma jalan lahir, biasanya  sesudah  persalinan dengan forceps atau vaccum. Penting pada  kondisi ini untuk selalu rutin melakukan pemeriksaan jalan lahir dan serviks secara cermat. Jika tidak diperoleh laserasi jalan lahir, kontraksi uterus baik, namun tetap diperoleh perdarahan yang berasal dari dalam rahim, maka 
perlu dilakukan eksplorasi manual uterus untuk mendiagnosa  kemungkinan adanya ruptura uteri 
pengobatan  
pengobatan  perdarahan sesudah persalinan  ditujukan pada dua hal, yaitu: mengembalikan volume darah, mempertahankan oksigenasi, dan menghentikan perdarahan dengan menangani pemicu  PPP. Idealnya, 
stabilisasi dilakukan lebih dulu sebelum tindakan definitif dilakukan . Pada kenyataannya mengatasi  PPP memerlukan tindakan yang  simultan dan   kerja sama tim. sering     dilakukan  perbaikan  keadaan  (resusitasi) sambil dilakukan tindakan untuk menghentikan 
perdarahan itu   sebab  itu begitu diduga terjadi perdarahan sesudah persalinan , penolong persalinan harus segera memanggil bantuan tenaga medis lainnya. Setiap tenaga medis berperan  masing-masing, sebab  mengatasi  perdarahan sesudah persalinan  harus 
dilakukan secara cepat, intensif, dan simultan,
Pada saat awal resusitasi cairan, ambil contoh  darah untuk pemeriksaan laboratorium sederhana hemoglobin (Hb), hematokrit (Hct/PCV), leukosit, trombosit, faal pembeku darah atau dilakukan  pemeriksaan 
waktu pembekuan darah dan waktu perdarahan secara langsung.  juga mengambil contoh  darah untuk keperluan transfusi ,pemicu  PPP terbanyak yaitu  atonia uteri, maka langkah pertama dari mengatasi  yaitu  dengan pemijatan uterus, kompresi bimanual interna  , eksterna atau kompresi aorta perut , dan pemberian uterotonika. 
Bila mengatasi  ini gagal, maka diteruskan  dengan pemasangan tampon  utero-vaginal, sementara obat uterotonika tetap diberikan. Bila mengatasi  dengan nonoperasi  ini tetap tidak berhasil maka dilakukan   secara operasi  secara laparotomi dengan pengikatan kompresi uterus (metode B-Lynch atau rekayasanya), pengikatan arteri uterina, ovarika  atau hipogastrika (iliaka interna). Bila dengan cara ini juga belum berhasil menghentikan perdarahan, baru dilakukan histerektomi ,
Pemakaian tampon (packing) uterovagina dengan kasa gulung bisa  merugikan sebab  memerlukan waktu untuk pemasangannya dan  bisa  memicu  perdarahan yang tersembunyi atau bila ada perembesan berarti banyak darah yang sudah terserap di tampon itu  sebelumnya dan bisa  memicu  infeksi. namun  bisa  pula menguntungkan bila dengan tampon ,perdarahan bisa  berhenti sehingga tidak diperlukan tindakan operasi  atau tampon dipakai  untuk menurunkan perdarahan sementara  sambil menunggu mengatasi  operasi . pilihan lain  dari pemakaian tampon  selain dengan kasa, juga dipakai beberapa cara, yaitu dengan memakai  Sengstaken-Blakemore Tube, Rusch Urologic Hydrostatic Balloon Catheter (Folley Catheter), atau SOS Bakri Tamponade Balloon Catheter  pilihan lain   dengan pemasangan 
kondom yang diikatkan pada kateter. angka 
keberhasilannya 100% (22 berhasil dari 25 PPP), kondom dilepas 24 - 48 jam kemudian dan tidak diperoleh komplikasi yang berat. tanda  pemasangan  kondom sebagai tampon itu  yaitu  untuk PPP dengan pemicu  atonia uteri. Cara ini kemudian dinamakan   Metode Sayeba. Metode ini dipakai  sebagai pilihan lain  mengatasi  PPP terutama   sambil menunggu perbaikan 
 atau rujukan. tahun 2005  penelitian dengan metode Sayeba dengan melibatkan 15  peristiwa  PPP, sesudah  dilakukan  pemasangan kondom kateter metode 
Sayeba, 13  peristiwa  berhasil dihentikan perdarahannya sedang  1 peristiwa  gagal sebab  diperoleh ruptura uteri inkomplet ,Sebelum melakukan pemasangan tampon kondom kateter, maka harus disiapkan terlebih dahulu peralatan kesehatan dan bahan yang akan dipakai. 
 di tiap kamar bersalin (PONEK) sudah menyiapkan kontak darurat yang berisi alat kesehatan dan bahan-bahan untuk pemasangan tampon kondom kateter, sehingga dalam keadaan darurat penolong tidak 
perlu lagi mencari-cari  alat kesehatan itu  yang juga bisa  menjadi sumber keterlambatan  pertolongan pasien perdarahan Persiapan Alat Kesehatan dan Bahan:
 Kondom,Kateter (kalau bisa  yang besar, no 18 atau lebih),
Cairan antiseptik,. Spekulul Sims,. Ring (ovum) tang,. Cairan PZ (normal saline), Infusion set.Benang pengikat,. Kassa gulung,,


Langkah-Langkah Pemasangan
Kateter dimasukkan ke kondom, lalu diikat dengan benang steril. Infusion set yang sudah  terpasang pada cairan infus disambungkan dengan pangkal kateter. Perineum, vulva, dan vagina di-desinfeksi dengan cairan anti septik. Speculum dimasukkan ke jalan lahir, tampak portio cervix, portio bisa  dicengkram dengan ring (ovum) tang atau secara langsung tanpa dicengkram, kateter kondom dimasukkan ke cavum uteri sampai menyentuh fundus cavum uteri. Kateter dipertahankan sambil cairan infus dialirkan. sesudah  kondom  mengembang dan memenuhi cavum uteri, cairan dihentikan. Kemudian kasa 
dipasang sebagai tampon untuk menahan agar kondom tidak keluar. Infusion set dilepas dari pangkal kateter, kateter diikat ,Embolisasi arteri secara selektif bisa  
pula menghentikan perdarahan pada PPP secara efektif  ,
Jahitan Uterus Metoda B-LynchPertama, uterus dikeluarkan dari cavum perut  (exteriorized), dengan 
memakai  benang chromic catgut no. 2, lalu jarum ditusukkan 3 cm kanan bawah irisan sumbu bawah rahim (SBR) dan 3 cm dari dinding lateral kanan uterus. Jarum dikeluarkan di cavum uteri, kemudian dipegang dan ditusukkan dari cavum uteri keluar ke sisi anterior uterus 3 cm di atas irisan dan 4 cm medial dari tepi lateral uterus. Jarum jahit ditarik ke atas sampai melewati 
3 - 4 cm medial cornu uteri. Jahitan dibawa ke bawah secara vertikal dan dari sisi posterior uterus jarum ditusukkan ke arah cavum uteri sejajar tusukan 
pertama. Jarum dibawa secara horizontal ke sisi kiri sejauh 3 cm dari tepi lateral, dijahitkan kembali dari cavum uteri keluar uterus pada sisi posterior.  Jahitan dibawa naik vertikal sampai 3 - 4 cm medial cornu uteri sebelah kiri dan diturunkan vertikal untuk ditusukkan dari sisi anterior uterus pada bidang yang sama seperti sisi kanan sampai akhirnya jarum keluar dari cavum uteri 
menuju dinding anterior uterus 3 cm di bawah irisan dan 3 cm dari tepi lateral SBR kiri. Dilakukan penjahitan untuk menutup irisan SBR. Dua ujung benang jahitan B-Lynch ditarik, bersamaan dengan perawat  mengerjakan kompresi 
uterus bimanual, perawat  lain melakukan evaluasi perdarahan pervagina. Bila perdarahan tidak ada maka dilakukan pengikatan benang pada SBR anterior. 
Pada pasien dengan plasenta previa, bisa  dilakukan jahitan angka 8 (figure of 8) yang terpisah secara lebih dulu pada area  anterior, posterior, atau 
keduanya sebelum jahitan B-Lynch 
  rekayasa  B-Lynch dengan tehnik  operasi yang lebih sederhana, efektif , dan mudah dilakukan sehingga waktu yang diperlukan untuk mengatasi nya lebih  cepat, tehnik  ini kemudian  dinamakan  “Jahitan rekayasa  ”. 
Salah satu hal yang penting untuk menanganani keadaan darurat seperti syok sebab  perdarahan sesudah persalinan  yaitu  kecepatan dari tindakan yang 
dilakukan dan metode   ini memenuhi syarat untuk kriteria itu . Penelitian dengan metode ini melibatkan 12 peristiwa  operasi konservasi uterus pada PPP sesudah  gagal dengan mengatasi  medikamentosa ataupun mekanis dengan tampon. Dari 12 peristiwa , 8 peristiwa  dilakukan  jahitan rekayasa   sedang sisanya dengan metode B-Lynch. Semua peristiwa  yang dilakukan  dengan 
rekayasa   berhasil dihentikan perdarahannya dalam waktu kurang dari 5 menit, sedang  4 peristiwa  PPP yang dilakukan  dengan metode B-Lynch ada 2 peristiwa  yang gagal dan akhirnya dilakukan  histerektomi. Penjahitan 
uterus metode   dilakukan  dengan 3 jahitan longitudinal memakai benang chromic catgut no. 2 dan jarum yang dipakai  yaitu  jarum lurus atau jarum lengkung yang sudah  diluruskan secara manual. Jahitan dimulai 
dari SBR bagian depan sebelah kanan kemudian benang dilingkarkan ke atas sampai ke fundus uteri, kemudian dilakukan  jahitan kedua dengan jarum.dan benang baru pada sisi kontra lateral dan yang terakhir di antara kedua 
jahitan itu . perawat melakukan penekanan (kompresi) uterus  ke arah anterior inferior dan ketiga benang dilakukan pengikatan secara  terpisah satu demi satu sehingga uterus tetap tertekuk ke anterior inferior 
secara mekanis. Dengan ikatan ini rongga rahim akan tertutup dan saling .menempel sehingga perdarahan segera berhenti. Langkah-langkah tehnik  operasi jahitan rekayasa   untuk PPP, antaralain : 
1. Uterus di-eksteriorisasi dari rongga perut  sesudah  dilakukan irisan di dinding perut  bila PPP sesudah persalinan  pervaginam atau sesudah  dilakukan penjahitan pada irisan SBR bila PPP terjadi pada pascaseksio sesar.
2. perawat memegang corpus uteri sebelah kanan dan kiri, kemudian menarik uterus ke arah cranial sehingga dinding SBR menjadi lebih tipis.
3. Jahitan pertama dilakukan  pada ± 2 cm di bawah jahitan irisan SBR sesudah  operasi sesar atau pada bidang yang sejajar dengannya bila pada PPP sesudah persalinan  pervaginam.
4. Jarum ditusukkan dari ventral menembus dinding uterus sampai keluar dari dinding dorsal SBR, benang jahitan dibawa ke atas fundus dan diklem.
5. Jahitan kedua dilakukan  seperti pada jahitan pertama namun  pada sisi kontralateral dengan memakai  benang yang baru.
6. Jahitan ketiga juga dengan benang yang baru dijahitkan di antara kedua jahitan.
7. perawat  yang awalnya menarik uterus, sekarang disarankan  untuk melakukan kompresi uterus ke arah anterior inferior (kaudal) sehingga posisi uterus menjadi antefleksi.
8. Operator melakukan pengikatan jahitan di area  fundus ± 3 cm dari tepi lateral sedemikian rupa sambil perawat  tetap mempertahankan posisi antefleksi uterus. Demikian juga pada ikatan kontralateral dan bagian yang tengah. Dengan 3 ikatan kompresi ini maka kompresi awal yang 
dilakukan  oleh perawat  bisa  digantikan oleh ikatan ke 3 benang ini.
9. Untuk menganalisa  efek pengikatan kompresi uterus, sebelum dinding perut  ditutup dilakukan pemeriksaan perdarahan pervaginam dengan cara ibu diposisikan litotomi dan perawat  yang lain memeriksa  vagina apakah masih ada   perdarahan. Bila tidak diperoleh  perdarahan yang mengalir, berarti tehnik  penjahitan berhasil dan 
dinding perut  ditutup, bila masih perdarahan banyak berarti tehnik  penjahitan tidak berhasil, maka perlu dilakukan tindakan operasi yang  kemudian , yaitu  ligasi arteri hypogastrica atau histerektomi 
Komplikasi perdarahan pascasalin   beragam  , dari yang ringan sampai berat. Komplikasi yang bisa  terjadi yaitu  hipotensi ortostatik, kelelahan, anemia (risiko transfusi darah), depresi (postpartum blues), sindroma 
Sheehan (iskemia kelenjar hipofisis anterior), edema paru, gagal jantung, gagal ginjal, gangguan faal pembekuan darah, dan syok perdarahan sampai kematian .




1.000 pasien anak-anak mengalami kritis  berwujud  henti jantung setiap tahunnya.  sebagai akibat dari gagal napas yang progresif, gagal sirkulasi atau keduanya. Pada pasien yang lebih muda, penelitian  yang mengevaluasi anak-anak yang mengalami henti jantung memiliki  harapan hidup 10%, yang mana 65% dari pasien itu  memiliki  luaran neurologis yang baik.  bahwa pasien yang mengalami henti jantung di rumah sakit  memiliki harapan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan pasien henti 
jantung di luar rumah sakit ,Kondisi kritis  pada bayi dan anak bisa  dipicu  oleh beberapa  faktor yang bergantung pada usia. Pada bayi baru lahir pemicu  terbanyak yaitu  gagal napas, sedang  pada masa bayi pemicu nya 
antara lain sindrom bayi mati mendadak (SIDS/Sudden Infant Death Syndrome), penyakit pernapasan, sumbatan saluran napas (termasuk benda asing), tenggelam, sepsis, renjatan, dan penyakit neurologis. Pada anak lebih dari 
1 tahun selain penyakit infeksi, renjatan, pemicu  terbanyak lain yaitu  cedera senjata api,  tenggelam ,cedera, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan sepeda, luka bakar, Sebagian besar peristiwa  kritis  pada anak yang memicu  henti jantung sering dipicu  oleh hipoksia, pada anak jarang ditemui  gangguan primer jantung yang bisa  memicu  henti jantung mendadak. Hipoksia jaringan bisa  berawal dari gagal napas dengan kurangnya 
oksigenasi yang kuat  atau terjadi hipoperfusi berat yang dipicu  oleh gagal sirkulasi. Gagal napas dan gagal sirkulasi yang tidak teratasi dengan baik, ditambah kondisi anak yang semakin memburuk, memicu munculnya  henti napas dan sirkulasi , Penilaian kritis  pada bayi dan anak yang sakit berat sering     tidak mudah. Gangguan sistem respirasi dan sirkulasi pada bayi dan anak  bisa  memburuk dalam waktu singkat. Diperlukan penilaian yang cepat dan terintegrasi untuk membuat keputusan terapi dalam waktu cepat tanpa atau 
dengan adanya pengalaman klinis perawatan anak-anak yang sakit kritis  
Penilaian umum pengawasan  cepat (< 60 detik) dengan memakai  Pediatric Assesment Triangle (PAT) yaitu  penilaian kritis  tanpa memegang anak yang berdasar  pada 3 komponen klinis yaitu :Circulatory status/status sirkulasi,Appearance/penampilan,Breathing/pernapasan
Penampilan anak antaralain:  penilaian tonus otot, status mental, dan petunjuk  sistem respiratorik, sirkulasi dan fungsi otak yang kuat . Penampilan anak sering     yaitu  cerminan kecukupan ventilasi dan oksigenasi otak. Namun demikian beberapa keadaan lain, bisa  pula 
mempengaruhi  penampilan anak seperti hipoglikemi, keracunan, infeksi otak, perdarahan atau edema otak atau juga penyakit kronik pada susunan saraf pusat ,
Penampilan anak bisa  dinilai dengan beberapa  skala. Metoda “Ticles” antaralain:  penilaian tonus (T = Tone), interaksi (I = Interactiveness), konsolabilitas 
(C = Consolability), cara melihat (L = look/Gaze), dan berbicara atau menangis (S=Speech/cry).
Apakah anak fokus pada pasien  atau objek di lingkungannya atau pandangan mata tidak fokus? Tatapan yang tidak tanggap , pandangan kosong menandakan  gangguan status mental (kesadaran).
 Apakah menangis nyaring dan kuat atau lemah? Tangisan lemah yaitu  tanda  penting penyakit serius.  suara serak atau redup menandakan  obstruksi saluran napas atas. Kita harus waspada pada anak yang lemas, tidak interaktif, lesu, dan menangis lemah 
Bagaimana tonus otot bayi, baik, atau lumpuh? Apakah 
anak bergerak aktif atau menolak pemeriksaan? Pada anak yang sakit kritis sering ditemui  tonus otot yang menurun atau tampak lemas dan lemah.
 Apakah anak bergerak dan interaktif, atau 
acuh tak acuh pada lingkungan? Anak yang meraih mainan atau menandakan  kecemasan pada lingkungan baru namun sesuai dengan perkembangannya tidak mengkhawatirkan, lain halnya bila anak tidak tanggap     pengasuh atau tidak menolak saat  dilakukan pemeriksaan fisik lengkap. Apakah suara mempengaruhi nya?Apakah anak bisa  ditenangkan atau dialihkan perhatiannya oleh pasien  tua atau pengasuh? Atau anak 
menangis terus? Menangis mungkin yaitu  gejala non menonjol  yang tidak menandakan  kecemasan atau rasa lapar, bukan rasa tidak nyaman yang hebat.



Anak yang memiliki gangguan oksigenasi dan atau ventilasi mungkin memiliki masalah pernapasan, ini  ditunjukkan dengan naiknya  usaha  bernapas. Penurunan usaha napas tampak saat pasien tampak kelelahan 
berisiko mengalami gagal napas dan henti napas. sifat   hal yang dinilai yaitu : 
Pasien bayi dan anak dengan oksigenasi atau 
ventilasi yang tidak kuat  sering memakai  otot napas tambahan (kelompok otot supraklavikula, interkosta, dan atau substernum) untuk meningkatkan volume tidal sehingga memperbaiki ventilasi semenit. Retraksi terjadi sebab  pemakaian  otot napas tambahan, baik 
supraklavikula, interkostal, dan atau substernum. 
Head bobbing (ekstensi kepala saat inhalasi dan bergerak ke depan saat ekshalasi) dan napas cuping hidung yaitu  penunjuk  lain pemakaian  otot napas tambahan dan munculnya  distres napas ,
Suara napas tidaknormal  yang bisa  didengar tanpa 
stetoskop sering yaitu  tanda  munculnya  distress napas. Contohnya stridor, mendengkur, merintih, dan mengi.
Agar jalan napas lebih bebas saat terjadi obstruksi, anak mungkin memposisikan diri dengan posisi menghidu/“sniffing position“ (leher fleksi, kepala sedikit ekstensi) untuk meluruskan poros saluran napas 
dan memperbaiki aliran udara. Untuk anak yang lebih besar, posisi tripod - anak duduk dan condong ke depan, dengan kedua lengan bertumpu di samping sehingga tampak lebih nyaman.
halaman  4


Pucat atau sianosis yaitu  salah satu tanda munculnya  hipoksemia atau gangguan perfusi ke kulit. Waktu pengisian kapiler yang buruk atau kulit yang teraba dingin juga menandakan  keadaan perfusi yang buruk. Suhu 
lingkungan yang dingin bisa  memicu  vasokonstriksi perifer pada anak sehat yang memicu  tampak bercak kebiruan (mottling) di kulit anak dengan sirkulasi normal. Acrocyanosis (sebagai akibat instabilitas vasomotor) 
mungkin yaitu  kondisi normal pada anak berusia < 2 bulan ,sesudah  dilakukan penilaian umum, pengawasan  awal cepat < 1 menit (PAT)  dan pemberian terapi pendukung  awal yang cepat , dilakukan pemeriksaan fisik 
menyeluruh, susaha  bisa  mengidentifikasi kondisi yang mendasarinya dan memberi penanganan cepat ,
Berat badan akurat mungkin tidak bisa  diperiksa pada anak yang memerlukan  campurtangan  berdasar  berat badan seperti pemberian obat dan resusitasi cairan. Metode untuk memperkirakan berat badan sebagai berikut:

a. Formula perhitungan berat badan berdasar  usia, yaitu BB (kg) = 2 
(usia dalam tahun + 4)

b. Pengukuran panjang badan dengan pita Broselow. Metode ini kurang akurat dibanding berat badan aktual anak terutama   bila berat badan > 25 kg. sebab  banyak obat resusitasi memiliki volume penyebaran  berkaitan 
dengan berat badan kering, maka formulasi penghitungan estimasi berat badan penting bila berat badan tidak bisa  diukur Penilaian pertama 

Pemeriksaan fisik pertama  mencakup hal berikut ini:
-derajat kesadaran memberi  petunjuk penting perfusi otak. Derajat kesadaran bisa  dipilah secara cepat memakai  skala AVPU (A = alert/siaga-waspada, V = verbal/tanggap  pada perintah 
verbal, P = pain/tanggap  pada rangsang nyeri, dan U = untanggap   ive/tidak menanggapi   pada rangsang fisik. Status mental yang tidaknormal  bisa  dipicu  oleh pemicu  nonneurologi (seperti hipoksia atau syok hipovolemik) atau sebab  gangguan neurologi primer. Diperiksa 
juga ketidaknormalan tanggap    pupil, gerakan ekstraokuli atau gangguan aktivitas motorik.
-pemeriksaan kulit bisa  memberi informasi status sirkulasi pasien bayi dan anak, sesuai dengan kondisi khusus yang mendasarinya. Contohnya, petekie atau purpura menandakan  proses infeksi seperti 
meningokokseia sementara urtikaria mungkin menandakan  munculnya  anafilaksis 
-laju napas dan pola napas harus diamati. Pemeriksaan auskultasi untuk mengevaluasi suara saluran napas atas atau bawah, suara napas simetri atau tidak. 
- denyut jantung, tekanan darah, dan evaluasi perfusi organ akhir memberi  evaluasi yang lebih cepat  mengenai status sirkulasi anak. Suara jantung tidaknormal  (seperti irama gallop atau  murmur) bisa  menandakan  kelainan jantung seperti gagal jantung.
Bila ada  ketidaknormalan atau gangguan pada pemeriksaan PAT maka anak yang sakit kritis memerlukan  campurtangan  segera 
Pemberian oksigen harus selalu dipikirkan pada setiap anak yang tampak sakit berat menurut penilaian PAT. Sebagai acuan umum, setiap pasien bayi  dan anak dengan dua atau lebih ketidaknormalan pada PAT memerlukan  terapi  oksigen. Sebagian besar pasien dengan saturasi oksigen SpO2 ≤ 94% harus diberi suplementasi oksigen ,Pada anak yang bernapas spontan, pemberian oksigen konsentrasi rendah bisa  diberikan dengan memakai  nasal kanul atau sungkup wajah sederhana. Sungkup wajah nonrebreathing dengan reservoir dipakai untuk pemberian oksigen kadar tinggi. Pulse oximetry harus dipakai untuk memantau pasien yang memperoleh   terapi oksigen ,
Anak yang mengalami apnea atau bradipnea memerlukan  bantuan ventilator. Pemberian dukungan ventilator sebaiknya didahului dengan pemberian ventilasi balon-sungkup (Bag Mask Ventilation/BMV). Intubasi 
endotrakea mungkin diperlukan pada pasien dengan keadaan yang diperkirakan tidak bisa  membaik dengan segera 
Pasien bayi dan anak dengan perfusi tidak kuat  yang tampak dari penurunan status mental perfusi kulit yang buruk, waktu pengisian kapiler memanjang dan atau  diperoleh ketidaknormalan tanda vital (takikardi dan 
takipnea) dianggap mengalami renjatan. Akses vaskular harus segera tersedia  dan dilakukan resusitasi cairan. Pada keadaan ini pengobatan  awal renjatan harus segera diberikan pemantauan Anak yang mengalami sakit kritis memerlukan  penilaian klinis yang berulang dan dilakukan pemantauan tanda vital terus menerus, terutama   
denyut jantung dan pulse oximetry. ini  penting untuk mengevaluasi  efek tata laksana dan identifikasi penurunan keadaan ,Pasien bayi dan anak yang mengalami kondisi gawat darurat berisiko mengalami henti napas dan henti jantung. Pasien yang memperoleh   resusitasi bantuan hidup lanjut memiliki  risiko kematian yang lebih tinggi. Interval 
waktu saat melakukan resusitasi yaitu  prediktor kematian dan harapan hidup. Resusitasi yang dilakukan lebih dari 20 menit memiliki  risiko kematian 48% 
Pasien yang mengalami gawat darurat yang tidak segera ditangani berisiko terjadi henti napas dan henti jantung. Beberapa penelitian  mengemukakan hubungan dengan insiden kerusakan otak dengan henti jantung, yaitu  
semakin lama bayi mengalami henti jantung, semakin berat kerusakan otak yang akan dialaminya. Hal itu  disebab kan henti jantung yang lama memicu  tidak kuat nya Cerebral Perfusion Pressure (CPP) yang 
kemudian  akan berdampak pada kejadian iskemik yang menetap dan infark kecil di suatu bagian otak. Komplikasi yang berat yaitu  kematian otak dan kegagalan multiorgan 





Batuk darah dan serangan asma yaitu  salah satu faktor yang memicu  seseorang yang   datang ke rumahsakit  bahkan unit gawat darurat untuk mencari pertolongan. Seseorang yang   yang mengalami batuk saja walaupun berlangsung lama, akan cenderung mengabaikan keluhan itu   atau sudah lazim di masyarakat menganggap sebagai batuk biasa. Namun  begitu mengalami batuk darah walaupun hanya ditemukan sebagai bercak  darah sedikit bercampur dalam dahak, hal itu sudah mampu membuat 
seseorang yang   itu  takut dan segera ke rumahsakit  untuk mencari pertolongan.Pada kejadian batuk darah, selain bisa  memicu  gangguan hemodinamik (jika perdarahan masif), batuk darah (hemoptisis) masif juga 
bisa  mengganggu pertukaran udara di alveoli dan bisa  menimbulkan gangguan asfiksia yang angka mortalitasnya cukup tinggi. Angka kejadian hemoptisis sekitar 3-14% namun harus ditanggap    sebagai peristiwa  mengancam jiwa yang memerlukan mengatasi  khusus. penanganan cepat   akan bisa  mengurangi angka mortalitas kejadian batuk darah ,Perbedaan etiologi hemoptisis terkait letak geografis terutama   dipengaruhi tingginya angka kejadian tuberkulosis di suatu negara. pemicu  pertama  hemoptisis di negara-negara Barat yaitu  keganasan dan kelainan nontuberkulosis lainnya 
tuberkulosis paru yaitu  penyakit terbanyak yang mendasari hemoptisis  ,.Selain batuk darah, serangan asma/asma akut juga yaitu  salah satu pemicu  pertama  peristiwa  kritis  dan rawat inap di sebagian besar penjuru dunia dan yaitu  salah satu alasan pertama  pasien untuk 
mencari pertolongan. beberapa  strategi dikerahkan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian yang dimunculkan nya. walau  pemahaman mengenai  
patofisiologi dan pilihan farmakologi meningkat, namun komplikasi itu  masih tetap saja terjadi. Asma yaitu  penyakit yang umum dan berpotensi menjadi kronik 
yang serius dan membebani pasien, keluarga, dan komunitas. Asma akan memicu  gejala respirasi, keterbatasan aktivitas, dan kekambuhan  yang memerlukan   rumahsakit  dan kemungkinan  akan berakibat fatal. Asma memicu  munculnya keluhan mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk terutama   malam dan atau dini hari. Episodik itu  berkaitan  dengan obstruksi jalan napas yang beragam  , 
arti  eksaserbasi asma atau bisa  dinamakan  serangan asma (asthma attack), asma akut atau flare up  yaitu   suatu episode perburukan gejala atau fungsi paru. 

Asma yaitu  penyakit yang umum dan berpotensi menjadi penyakit kronis yang serius. Asma bisa  dikendalikan  namun tidak bisa  disembuhkan. Inflamasi itu  bersifat persisten walau  gejalanya bersifat episodik. Hambatan aliran udara pada asma dipicu  oleh beberapa  perubahan dalam saluran napas seperti berikut : 
Bronkokonstriksi ,Airway remodelling ., Edema saluran napas/penebalan dinding saluran napas.naiknya  sekresi mukus dan airway hypertanggap   iveness,
Inflamasi kronis pada asma memicu  suatu proses kerusakan jaringan yang akan diikuti oleh suatu proses penyembuhan dan siklus ini akan terjadi terus menerus sehingga muncul   suatu keadaan perubahan struktur yang dinamakan  airway remodelling. Perubahan struktur yang muncul   akan makin meningkatkan hambatan aliran udara saluran napas dan bisa  memicu  pasien kurang tanggap  pada pengobatan 

Eksaserbasi asma yaitu  suatu episode perburukan gejala baik akut maupun sub-akut. Pemicu paling sering yaitu  bakteri (M. Pneumoniae, C. Pneumoniae), alergen, polutan (seperti SO2, NO2, O3, dan partikulat), krisis emosi, maupun obat (aspirin, NSAID, beta-adrenergik blocker).  bahwa adanya antibodi IgE menonjol  dari C. pneumoniae memfasilitasi keluarnya mediator yang menimbulkan bronkospasme, dan inflamasi saluran napas. walau  infeksi teratasi, stimulasi antigen IgE menonjol  terus berlangsung sehingga pada beberapa 
pasien bisa mengalami tahap  akut yang lebih lama dan tidak tanggap  pada bronkodilator dan steroid. Antigen mayor C. pneumoniae yaitu  heat-shock protein 60 (cHSP60). Mycoplasma pneumoniae akan menurunkan  inflamasi saluran napas melalui jalur Th2 dan neuropeptida. Yang menarik, diketahui bahwa pasien asma dengan infeksi M. Pneumoniae akan meningkatkan kadar neurokinin-1 yang memicu  penurunan tanggap  pada antibiotik macrolide 
Selain itu ada beberapa faktor lain yang turut berperan dalam muncul  nya asma akut yang fatal, antara lain :
-Riwayat pemakaian kortikosteroid oral sebagai pengendali  .Eksaserbasi biasanya  terjadi secara progresif, namun pada beberapa kejadian bisa  berlangsung secara   akut dan biasanya  ditambah  tanda 
distress napas. sifat   eksaserbasi ditandai dengan penurunan aliran udara ekspirasi yang bisa  diketahui dengan mengukur FEV1 atau PEF. 
- kendalikan  asma yang jelek 
-Riwayat rawat inap akibat asma sebelumnya, termasuk perawatan ICU dan intubasi-. Disfungsi psikologis (psikosis, kecemasan, depresi) -ekonomi-Perokok, obesitas, eosinofilia dalam darah.. Pemakaian bronkodilator dengan dosis yang makin meningkat termasuk juga pemakaian  obat inhalasi namun dengan tehnik  pemakaian  yang kurang cepat 


Hasil pemeriksaan ini lebih reliable dibanding derajat gejala, sebab pada  sebagian pasien mengalami penurunan faal paru namun tidak merasakan gejala  Eksaserbasi juga bisa  berlangsung secara singkat dan 
gejala berkurang spontan jika  agent pemicu  disingkirkan. Bila stimulus  berlangsung intensif, maka gejala bisa  berlangsung lebih lama, namun  masalah ini ,  gejala bisa  menanggapi     baik dengan pemberian  bronkodilator. Alasan yang bisa  menjelaskan berkembangnya gejala asma  secara persisten sampai saat ini belum bisa  diungkapkan secara pasti ,Mekanisme seluler dan molekuler yang mendasari munculnya  eksaserbasi 
sudah diusahakan untuk diungkap secara jelas meski belum lengkap untuk dipahami. Secara garis besar mekanisme itu  muncul   akibat interaksi antara agent pemicu  dengan sel-sel inflamasi yang memicu  makin 
beragam  nya mediator inflamasi dan sitokin. Sel yang berperan pada muncul  nya gejala akut yaitu  sel mast dan sel epithelial bronkial. Beberapa mediator yang dilepaskan sel mast antara lain histamin, bradikinin, leukotrien 
C, D, dan E, platelet-activating factor, prostaglandin (PG) E2, F2 alpha, dan D2 yang dirilis secara intens. Interaksi itu  akan membangkitkan muncul  nya kontraksi otot polos saluran napas dan edema mukosa. Leukotrien juga akan meningkatkan produksi mukus dan melemahnya transport mukosilier. Faktor-faktor kemotaktik (eosinophil, neutrophil chemotactic factor of anaphylaxis, dan 
leukotrien-B4) memicu  sel-sel inflamasi akan bergerak menuju tempat reaksi. Epitel saluran napas akan semakin mengamplikfikasi bronkokonstriksi dengan adanya endothelin-1 dan mempromosikan adanya 
vasodilatasi dengan dirilisnya NO, PGE2, dan 15-hydroxyeicosotetraenoic acid yang yaitu  produk metabolisme asam arakidonat.   akan  membangkitkan sitokin seperti granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), interleukin-8, RANTES dan eotaxin ,diagnosa  dan Manifestasi Klinis Serangan Asma
biasanya , seseorang yang   yang sedang mengalami asma akut, secara simultan akan mengalami gejala batuk, dyspnea, dan wheezing.  bahwa 15% pasien asma akut tidak merasakan sesak napas, namun  hanya merasakan batuk dan diperoleh wheezing. Beberapa yang 
lain malah hanya merasakan sesak napas atau batuk 
Pemeriksaan fisik yang terkait dengan obstruksi saluran napas akut antara lain takikardi, takipnea, mengi, hiperinflasi thoraks, pemakaian  otot aksesori pernapasan, pulsus paradoksus, diaphoresis. Pasien biasanya 
menyadari muncul  nya serangan asma ini jika  FEV1 sudah mencapai 55% atau lebih dari nilai normal atau saat residual volume mencapai hingga 200% nilai normal. Suatu fakta dalam penelitian, diperoleh hasil, 90% pasien yang merasa dirinya asimtomatik, ternyata 40% dari mereka diperoleh wheezing ,Adanya naiknya  airway resistance pada akhirnya akan menimbulkan 
penurunan FEV dan flow rate, hiperinflasi paru dan hemithoraks, naiknya  work of breathing, perubahan elastic recoil. ini  memungkinkan munculnya  perubahan penyebaran  ventilasi dan perfusi yang pada akhirnya akan terjadi perubahan kadar gas darah arterial. Pola khas gas darah pada saat tahap  akut asma terjadi yaitu hipoksemia, hiperventilasi, dan alkalosis respiratorik. 
Retensi karbondioksida akan muncul   pada keadaan yang tidak teratasi atau bila FEV1 turun hingga 17 - 24% dari normal. Pada peristiwa  obstruksi yang   .berat, wheezing malah tidak terdengar (silent chest) dan asidosis metabolik bisa  muncul   akibat pemberian simpatomimetik yang agresif,
pengobatan  serangan asma/asma eksaserbasi dimulai dengan penilaian derajat serangan dan untuk itu diperlukan suatu ukuran objektif yang bisa  dipakai  untuk memberi  penilaian terkait dengan obstruksi saluran 
napas, fungsi jantung dan memastikan kuat  tidaknya pertukaran gas dengan melihat saturasi oksigen. Evaluasi pasien secara cepat   yaitu  suatu hal penting dan   membantu jika  ada   suatu algoritma bertindak yang memungkinkan tidak ada hal penting yang terlewatkan. Namun, pada keadaan serangan berat, pemberian oksigen dan bronkodilator harus didahulukan ,
Evaluasi pada  faktor risiko juga harus diperhatikan, antara lain dari riwayat penyakit yang ada. Salah satu prediktor kuat yang berpotensi menimbulkan serangan asma yang fatal yaitu  riwayat rawat inap termasuk 
perawatan intensif dan riwayat ventilasi mekanik akibat asma. Pasien yang memiliki riwayat itu  perlu pengawasan secara ketat selama 1 - 2 jam pertama tiba di unit gawat darurat. Riwayat kendalikan  asma yang jelek,
overdependent pada  rapid-acting inhaled β2 agonist juga memerlukan terapi yang lebih agresif. Faktor psikososial juga   berpengaruh pada  kendalikan  asma yang jelek dan berpotensi fatal. Kegagalan dokter dalam  menganalisa  derajat serangan asma dan memulai terapi yang lebih agresif bisa   memberi  output yang jelek mengatasi  serangan asma yang tidak cepat  antara lain penilaian berat serangan di darurat gawat yang tidak cepat  dan berakibat pada pengobatan  yang tidak kuat , memulangkan pasien terlalu dini dari darurat gawat, 
pemberian pengobatan (saat pulang) yang tidak cepat , penilaian tanggap     pengobatan yang kurang cepat  memicu  tindakan kemudian  menjadi tidak cepat . Kondisi mengatasi  itu  di atas memicu  perburukan 
asma yang menetap, memicu  serangan berulang dan semakin berat sehingga berisiko jatuh dalam keadaan asma akut berat bahkan fatal ,Beberapa kemungkinan penyakit lain yang mirip  asma akut juga 
harus diwaspadai. Berikut ini diantaranya 
 keadaan yang mirip  asma akut/serangan asma
Edema paru,PPOK eksaserbasi akut,Reaksi Konversi Histerik, Aspirasi benda asing,Obstruksi jalan napas atas, Syndroma Dysfungsi Korda Vokalis, 

Penilaian dan evaluasi derajat berat serangan bisa  dipakai  untuk membantu penentuan setting pengobatan  asma akut, yaitu  community setting (di rumah maupun non Yankes) atau acute care setting (pengobatan  
di rumah sakit). dibawah  ini yaitu  pembagian derajat serangan asma berdasar  gejala dan tanda yang ditemukan 




Evaluasi pada  pasien eksaserbasi di rumah sakit harus segera dilakukan. Evaluasi antaralain:  fungsi paru (FEV1, FVC, PEFR, pulse oxymetry), pemeriksaan fisik (tanda vital, kesadaran, pemakaian  otot napas bantuan, auskultasi thoraks), laboratorium (analisis gas darah, darah rutin termasuk hitung jenis, rongent thoraks, EKG, elektrolit). Foto rongent thoraks diperlukan jika  tidak ada tanggap    terapi untuk mencari kemungkinan suatu proses 
kardiopulmoner atau mencari kemungkinan suatu proses parenkim maupun kemungkinan komplikasi yang mungkin muncul seperti pneumothoraks.  Pasien serangan asma sedang-berat yang memiliki faktor risiko tertentu harus dipemantauan  secara ketat paling tidak antara 1 hingga 2 jam pertama walau  kondisi yang terlihat tampak membaik dengan terapi awal. tanggap    
dini pada pemeriksaan Volume Ekspirasi Paksa detik 1 ( FEV1) atau Angka Puncak ekspirasi (PEF) pada menit ke-30 dan 60 sesudah  terapi awal yaitu   prediktor terbaik 
Pengobatan yang diberikan antara lain antaralain:  oksigenasi, inhalasi β2  agonist kerja singkat, glukokortikoid sistemik. Suplementasi oksigen harus 
diberikan pada pasien serangan asma sebab hipoksia yaitu  pemicu   pertama  kematian pada peristiwa  asma akut. Saturasi oksigen dipertahankan  minimal 92 - 96% (pada anak-anak 94 - 98%). walau  naiknya  ringan 
pCO2 bisa  muncul   sebagai tanggap    terapi oksigen, ini  tidak secara penting  pada konsekuensi klinis ,
β2 agonist kerja singkat yaitu  medikasi lini pertama pada 
serangan asma. Pemberian secara inhalasi yaitu  pilihan pertama. Pemberian secara injeksi dipertimbangkan jika  pada pasien sulit dilakukan inhalasi atau jika tidak tanggap    dengan pemberian secara inhalasi. walau  
Ipratropium bromida, suatu bronkodilator antikolinergik kerja singkat, memiliki  onset yang lebih lambat dibandingkan  Î²2-adrenergik, suatu randomized 
controlled trial dan meta analisis menandakan  bahwa kombinasi kedua obat ini memberi  perbaikan fungsi paru dan menurunkan angka rawat inap dibandingkan dengan pemberian β2-adrenergik tunggal.  Ipratropium bromide bisa  ditambahkan bila serangan asma termasuk 
kategori berat atau katergori ringan/sedang namun tidak ada perbaikan sesudah  diberikan SABA saja. Pemberian Long-Acting Beta 2 Agonist pada  keadaan eksaserbasi tidak disarankan  Kortikosteroid oral bisa  diberikan sejak awal pada serangan ringan/sedang , sedang  Kortikosteroid sistemik harus diberikan pada semua derajat eksaserbasi, kecuali pada serangan ringan. Pada keadaan itu , glukokortikoid sistemik diberikan jika : 
 -  tidak tanggap    dengan inhalasi β2 agonist
 -  eksaserbasi yang muncul pada pasien dengan pemakaian glukokortikoid  oral sebelumnya.
Magnesium sulfat intravena tidak disarankan  secara rutin 
pada asma eksaserbasi, namun dalam keadaan serangan asma berat yang  tidak menandakan  tanggap  pada pemberian maksimal β2-agonis dan kortikosteroid sistemik, justru disarankan  sebab  pertimbangan 
efikasi, keamanan, dan murah. Nebulisasi salbutamol dengan magnesium sulfat isotonis memberi  keuntungan lebih dibandingkan nebulisasi salbutamol dengan normal saline. Beberapa terapi lain yang dipakai  pada 
eksaserbasi yaitu  helium-oksigen, leukotriene modifier. Pemakaian sedatif   tidak disarankan  sebab  dampak  depresi otot napas ,Pada pasien yang mengalami perburukan atau tanda-tanda gagal napas, maka intubasi dan perawatan di ruang intensif yaitu  suatu tindakan 
yang harus dilakukan. Pemberian antibiotika dipertimbangkan jika  ada   kecurigaan suatu infeksi bakterial yang dimiliki . biasanya pemicu  infeksi pemicu  eksaserbasi asma yaitu  virus. Bagaimana dengan rehidrasi? The Expert Panel dari American Academy of Allergy, Asthma dan  Immunology dan the American Thoracic Society tahun 2009 tidak menyarankan  hidrasi agresif untuk dewasa dan anak kelompok usia  tinggi, namun perlu ditekankan pada bayi dan kelompok anak usia muda 
yang lebih memungkinkan muncul   dehidrasi sebab  kombinasi naiknya  frekuensi napas dan penurunan intake oral   
Pasien yang tanggap     terapi dengan baik, sebaiknya dipengawasan  selama  60 menit untuk memastikan stabilitas tanggap ,pasien bisa  dipulangkan jika  VEP1 atau APE minimal 70% prediksi atau nilai terbaik 
personal. Pada pasien sebaiknya diberikan kortikosteroid sistemik (oral) selama 3 - 10 hari sesudah pemulangan . Pasien dengan kecenderungan kepatuhan yang rendah, injeksi kortikosteroid depo intramuskuler lebih efektif  dibandingkan  pemberian per oral. Tidak boleh dilupakan yaitu  memberi  edukasi pada pasien  Komplikasi yang bisa  dimunculkan  akibat serangan asma antara lain gagal napas, pneumothoraks, dan pneumomediastinum.


batuk darah dinamakan  hemoptoe atau hemoptysis. 
Hemoptysis berasal dari bahasa Yunani yaitu haima yang berarti darah dan  ptysis yang berarti diludahkan.
Menurut kamus kedokteran Dorland, hemoptysis atau batuk darah yaitu  ekspektorasi darah atau mukus yang berdarah.  perdarahan yang terjadi harus berasal dari 
saluran napas bagian bawah (dari glottis ke bawah), bukan berasal dari saluran napas bagian atas atau saluran pencernaan. Jadi perlu dibedakan antara batuk 
darah dan muntah darah berdasar  jumlah darah yang keluar, Pursel membagi batuk darah menjadi: 
Derajat 1 : bloodstreak,2 : 1 - 30 cc ,3 : 30 - 150 cc
, 4 : 150 - 500 cc, Massive : 500 - 1000 cc atau lebih.
Batuk darah yaitu  suatu gejala atau tanda dari suatu penyakit.  Volume darah yang dibatukkan beragam   dan dahak bercampur darah dalam jumlah minimal hingga masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi 
perdarahan. Batuk darah atau hemoptisis yaitu  ekspektorasi darah akibat  perdarahan pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar 
melalui saluran napas bawah laring. Batuk darah lebih sering yaitu   tanda atau gejala dari penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti. Batuk darah masif bisa  digolongkan  
berdasar  volume darah yang dikeluarkan pada periode tertentu. Batuk darah masif memerlukan mengatasi  segera sebab  bisa  mengganggu  pertukaran gas di paru dan bisa  mengganggu kestabilan hemodinamik 
pasien sehingga bila tidak ditangani dengan baik bisa  berbahaya  ,Batuk darah perlu dibedakan dengan muntah darah. Kadang pasien sulit membedakan antara kedua keluhan itu  sehingga kita perlu menanyakan beberapa hal untuk bisa  menentukan darah yang keluar lewat mulut itu 
batuk darah atau muntah darah. Sirkulasi darah paru berasal dari 2 sistem sirkulasi yaitu sirkulasi 
pulmoner dan sirkulasi bronkial. Arteri bronkial biasanya tidak tervisualisasi pada aortografi pada pasien tanpa penyakit paru. 80% individu memperlihatkan 
petunjuk  intercostobronchial trunk (ICBT) saat dilakukan pemeriksaan  angiografi, petunjuk  ICBT sering ditemui  pada sisi posterolateral aorta sedang  letak normal arteri bronkial pada sisi anterolateral aorta kanan dan kiri. Diameter normal arteri bronkial kurang dari 1,5 mm dan ukurannya 0,5 mm saat masuk ke dalam segmen bronkopulmoner  ,Sumber perdarahan hemoptisis bisa  berasal dari sirkulasi pulmoner atau sirkulasi bronkial. Hempotisis masif sumber perdarahan biasanya  
berasal dari sirkulasi bronkial (93%). Sirkulasi pulmoner mengalirkan darah ke alveol dan duktus alveol, sistem sirkulasi ini bertekanan rendah dengan dinding pembuluh darah yang tipis. Sirkulasi bronkial mengalirkan darah 
ke trakea, bronkus pertama  sampai bronkiolus dan jaringan penunjang paru, esofagus, mediastinum posterior, dan vasa vasorum arteri pulmoner 
Patogenesis munculnya  perdarahan berbeda tiap proses patologik tertentu :
- infeksi kronik akibat inflamasi sehingga terjadi pembesaran dan  proliferasi  arteri bronchial contoh : bronkiektasis, aspergilosis atau fibrosis kistik. 
 Mukosa bronkus yang sembab mengalami infeksi dan trauma batuk memicu  perdarahan. bisa  pula terjadi anastomosis antara pembuluh darah bronkhial dan pulmonal dan juga terjadi aneurisma, bila pecah teriadi perdarahan. Pada bronkiektasis juga bisa  memicu  
pembuluh darah pecah dari jaringan granulasi pada dinding bronkus yang mengalami ektasis.
 Pada infeksi jamur bisa  terjadi friksi pada pergerakan mycetoma dan terjadi pelepasan antikoagulan dan  enzim proteolitik yang mirip   tripsin dari jamur
-kanker paru akibat pembuluh darah yang terbentuk rapuh sehingga  mudah berdarah.pemicu  batuk darah   beragam. 
-bronkitis akibat pecahnya pembuluh darah superfisial di mukosa yang sembab dan pecah akibat terkena tekanan batuk yang keras.
-TB paru akibat aneurisma arteri pulmoner yang ruptur (dinding kaviti “aneurisma Rassmussen”) atau akibat pecahnya anastomosis bronkopulmoner atau proses erosif pada arteri bronkialis.


 sebanyak 100 pasien hemoptisis rawat inap  rumahsakit amerika  diperoleh mengidap TB paru 75 %, bekas TB paru 16%, dan bronkiektasis 7%. pengobatan  
hemoptisis masif memerlukan mengatasi  khusus agar tidak berakibat fatal dengan angka mortaliti hemoptisis masif 75% dipicu  oleh asfiksia ,
Tujuan  pengobatan  batuk darah antaralain:  mencegah aspirasi, menghentikan perdarahan, dan pengobatan penyakit pemicu  batuk darah. mengatasi  awal pasien batuk darah antara lain :
- Pemberian obat hemostatik pada pasien batuk darah yang tidak ditambah  kelainan faal hemostatik masih ada   perbedaan penbisa .
 - Obat dengan dampak  sedasi ringan bisa  diberikan jika pasien gelisah. Obat antitusif ringan bisa  diberikan sebab  bila batuk berlebihan akan merangsang muncul  nya batuk darah.
-.Transfusi darah diberikan jika hematokrit < 25 - 30% atau Hb < 10 gr/dL sedang  perdarahan masih berlangsung.
-. Tenangkan dan beritahu pasien agar jangan takut untuk membatukkan darahnya.
-. Pasien berbaring pada posisi lateral dekubitus ke sisi paru yang sakit. Pasien diposisikan sedikit trendelenberg terutama   bila refleks batuknya tidak kuat .
-. Lakukan pemantauan kesadaran, tanda vital yaitu tekanan darah, frekuensi nadi, laju pernapasan, dan saturasi oksigen, dan  pantau jumlah darah yang dibatukkan.
- Jaga agar jalan napas tetap terbuka. Pasien yang mengalami kemungkinan sumbatan jalan napas perlu dilakukan pengisapan/suction.
- Pemberian oksigen dengan kanul atau masker bila jalan napas bebas hambatan/sumbatan. Bila pasien mengalami desaturasi, maka perlu dilakukan intubasi. Endotracheal tube dipilih ukuran diameter yang besar 
agar bisa  dipakai  pada bronkoskopi.
- Pemasangan infus dilakukan untuk penggantian cairan maupun jalur pemberian obat parenteral dan tranfusi bila diperlukan.Pasien dengan hemoptisis masif seharusnya dirawat di unit perawatan  intensif untuk memantau   status hemodinamik dan penilaian jumlah darah 
yang hilang.  pengobatan  dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:
1. Proteksi jalan napas dan stabilisasi pasien
2. Lokalisasi sumber perdarahan dan pemicu  perdarahan
3. Terapi menonjol 
Tahap 1: yaitu  mempertahankan jalan napas yang kuat , pemberian suplementasi oksigen, koreksi koagulapati, resusitasi cairan, dan berusaha ,melokalisir sumber perdarahan. Pada tahap ini, penenangan pasien juga 
  penting.Tahap 2 sesudah  pasien dalam keaadan stabil perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut mencari sumber perdarahan dan pemicu  perdarahan. Pemeriksaan yang bisa  dilakukan antara lain: foto toraks, CT scan toraks, angiografi, dan bronkoskopi rigid.  Tahap 3 yaitu  menghentikan perdarahan dan mencegah perdarahan 
berulang. Terapi ini dibagi 2, yaitu: (a) dengan bronkoskop antara lain  melakukan bilasan garam fisiologis, epinefrin, pemberian trombin fibrinogen,  tamponade dengan balon, dan (b) tanpa bronkoskopi antara lain pemberian 
obat dan antifibrinolitik pengobatan penyakit primernya.
Embolisasi arteri bronkialis dan pulmoner (Bronchial Artery Embolization (BAE)) . tehnik  ini  melakukan oklusi pembuluh darah yang menjadi sumber perdarahan dengan embolisasi transkateter. Embolisasi ini bisa  dilakukan pada arteri bronkialis  dan sirkulasi pulmoner. tehnik  ini terutama   dipilih untuk pasien dengan 
kelainan paru bilateral, fungsi paru sisa yang minimal, menolak operasi,  ataupun memiliki kontratanda  tindakan operasi. BAE saat ini sudah  dianggap sebagai lini pertama dalam terapi hemoptisis. Sebagian kecil peristiwa  hemoptisis dipicu  oleh sistem arteri pulmonalis.
Pada peristiwa  ini, BAE mungkin tidak akan memberi  resolusi klinis yang kuat  dan memerlukan  beberapa campurtangan . Menurut Rasmin, rekurensi 
hemoptisis dalam 6 bulan pertama selama follow up yaitu  sebesar 21%. Tingkat kesuksesan BAE post embolisasi mencapai 70 - 99%. Walaupun begitu, 
rekurensi masih bisa  terjadi pada 10 - 55% dalam 46 bulan follow up. Dahulu, operasi yaitu  terapi definitif, namun campurtangan  bedah memiliki mortalitas 
± 18% bila dilakukan elektif dan meningkat hingga 40% bila dilakukan dalam keadaan darurat. Tindakan konservatif seperti pengawasan  dan obat-obatan juga 
meningkatkan angka mortalitas hingga 50%  
Tindakan bedah dilakukan bila pengobatan  di atas masih belum mengatasi keadaan hemoptisis dan pasien memenuhi persyaratan sebagai berikut :
-. sesudah  dilakukan pembedahan sisa paru masih memiliki  fungsi yang kuat  (faal paru kuat ), 
- pasien bersedia dilakukan tindakan bedah.
-. diketahui jelas sumber perdarahan, 
-. tidak ada kontra tanda  medik, 
Prognosis pasien dengan batuk darah tergantung dari banyaknya perdarahan yang terjadi dan mengatasi  awal dan penyakit yang mendasari.Komplikasi yang bisa  dimunculkan  batuk darah antara lain asfiksia, atelektasis, syok dan hipovolemik.

Jejas inhalasi yaitu  salah satu kritis  di bidang respirasi 
yang sering ditemui . Risiko yang diakibatkan bisa sekadar iritasi tenggirokan  hingga peristiwa  yang berujung pada kematian. , lebih dari 1 juta pasien  mengalami gangguan pernapasan akibat asap pembakaran 
rumah tangga, kebakaran hutan, dan pembakaran lahan , Salah satu peristiwa yang menunjukan  dampak  partikel berbahaya bagi sistem pernapasan yaitu  tragedi peledakan gedung WTC di Amerika  tahun 2001. 
Partikel toksik bisa  masuk ke badan  melalui kontak langsung dengan kulit dan mata, tertelan melalui saluran pencernaan dan ada yang terhirup ke dalam saluran pernapasan. Zat bentuk gas paling mudah terhirup walau  
benda cair dan padat bisa juga terdeposisi hingga parenkim paru ,
Ada beberapa istilah yang sering dipakai  untuk menjelaskan interaksi zat toksik dalam sistem pernapasan. kita  lebih cenderung dengan inhalation 
injury atau jejas inhalasi sebab  jelas proses masuknya partikel bersamaan udara pernapasan dan pemicu nya tidak terbatas hanya pada satu jenis partikel. ini  berbeda istilah paparan gas toksik atau keracunan gas yang 
terkesan pemicu  kerusakan hanya benda gas. 
Jejas inhalasi diarti kan sebagai spektrum dampak  klinis yang luas akibat paparan partikel berbahaya yang bisa berwujud  asap panas, debu, atau zat toksik lainnya baik benda padat, gas, cair, atau kombinasi . dampak  yang dimunculkan  bisa terbatas lokasinya (localized) dan atau 
sistemik. Kerusakan organ pun beragam seperti supraglottic thermal injury, iritasi mukosa epitel saluran nafas, dan gangguan sistemik akibat keracunan 
karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) atau gabungan lebih dari satu kelainan ,
Derajat kerusakan epitel saluran napas dan parenkim paru tergantung pada beberapa faktor, antara lain: jenis dan sifat   partikel, kadar atau lama paparan, kelarutan dalam air, faktor inang, dan lingkungan. Perbedaan 
sifat   partikel berdampak pada kelainan patologis yang beragam   dan lokasi jejas yang berbeda. Partikel besar lebih mudah mengendap di saluran napas atas sementara yang lebih kecil bisa mencapai saluran napas kecil dan 
berdampak  sistemik.membagi partikel-partikel ini dalam 
bentuk gas, fume, aerosol, vapor, dan asap.
- Fume: bentuk aerosol dari partikel padat yang berukuran < 0.1 μm. Zat ini muncul dari reaksi kimia atau kondensasi dari partikel vapor. 
-. Asap: produk dari pembakaran yang bisa berwujud  gas volatile dan partikel.  ukuran partikelnya < 0.5 μm.
 255Bab 19  -  Jejas Inhalasi: arti , Patofisiologi, 
- Gas: zat tak berbentuk yang molekulnya bergerak bebas dan bisa  
mengisi ruangan secara penuh.
-. Aerosol: bentuk suspensi yang relatif stabil dari partikel cair atau padat dalam media gas.
-Coarse particles: partikel dengan ukuran 1 - 10 μm
-Fine particles: partikel dengan ukuran 0.1 - 1 μm
-Ultrafine particles: partikel dengan ukuran kurang dari 0.1 μm
- Vapor: bentuk gas dari partikel awal yang bisa berwujud  benda padat atau cair dan bisa berubah kembali ke bentuk asal sebab  perbedaan tekanan. 


pengobatan 
Kadar kelarutan dalam air berperan menonjol  menentukan kelainan patologis.  bahwa gas mudah larut seperti amoniak, sulfur dioksida, dan hidrogen klorida bisa  memicu  iritasi akut pada membran mukosa mata dan saluran napas atas. Sifat iritan kuat dari zat-zat ini memicu  reaksi berwujud  nyeri dan sakit hebat sehingga 
ada kemungkinan korban akan menghindari dan mencari tempat yang lebih aman. Di samping itu, gas ini juga merangsang reseptor bronkokonstriksi sehingga akan membatasi jalannya gas ke saluran napas yang lebih dalam Derajat kerusakan jadi berbeda dan bisa  lebih parah jika terhirup gas yang sulit larut seperti ozon dan fosgen. Gas-gas ini relatif tidak memicu iritasi namun  akan berada lebih lama dan mudah masuk sampai ke saluran napas yang lebih dalam hingga parenkim paru 



Faktor lingkungan, lama pajanan, dan kondisi pejamu juga 
menentukan kadar keparahan. Pasien tua atau memiliki  penyakit komorbid seperti PPOK (Penyakit Paru Obstruksi 0Kronik) atau gangguan metabolik lainnya memiliki prognosis yang lebih jelek. Occupational Health and Safety Administration (OSHA) sudah  menentukan batas minimal pajanan gas yang masih ditoleransi, tidak melebihi 8 jam perhari. Dalam beberapa peristiwa , 
pajanan kurang dari 15 menit jadi acuan OSHA 
berdasar  atas sifat fisik dan kimiawi zat toksik maka jejas inhalasi bisa dibagi menjadi tiga kelainan ,

-. dampak  sistemik toksik
 Gas CO hasil dari pembakaran tidak sempurna dan  sianida yaitu  partikel yang bersifat asfiksan sebab  mengganggu proses oksigenasi di tingkat seluler. Afinitas CO dengan hemoglobin yang 200 kali lebih kuat dibandingkan dengan oksigen akan menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin bergeser ke kiri. sedang  CN lebih berperan dalam hambatan proses sitokrom oksidase dan memicu  hipoksia seluler 
- Jejas akibat panas (thermal injury)
 Kerusakan yang dimunculkan  oleh hawa panas yaitu  kombinasi dari beberapa dampak .  bahwa panas  yang tertahan dalam saluran napas, kapasitas panas udara yang rendah dan  reflek penutupan laring menjadi pemicu  pertama nya.
- Iritasi kimiawi pada saluran napas dan parenkim paru
 Membran epitel pernapasan mengalami luka akibat zat-zat yang bersifat asam atau basa. Mukosiliar klirens terganggu dan kerusakan surfaktan berakibat pada kolapsnya alveoli dan atelektasis. Jejas akan 
mengaktifkan alveolar makrofag sebagai tanggap    inflamasi akut dan terjadi naiknya  permeabilitas kapiler, edema bronkus, dan bronkokonstriksi yang mengarah ke gagal napas sesudah  terinhalasi  kurang lebih 12 - 48 jam 
berdasar  predominan lokasi  menggolongkan   
jejas inhalasi menjadi kerusakan pada saluran napas atas, trakeobronkial, dan dampak  sistemik.

a) Saluran napas atas
 Kelainan yang sering terjadi biasanya dipicu  oleh suhu yang tinggi. dampak  panas akan merusak sel epitel, terjadi denaturasi protein, dan mengaktifkan sistem komplemen sehingga merangsang sel-sel inflamasi seperti histamin dan xantin oksidase  dan 
neuropeptida seperti substansi P dan calcitonin gene-related peptide . Sel inflamasi ini kemudian  memicu bronkokonstriksi dan menurunkan  nitric oxide synthase (NOS) dan reactive oxygen species (ROS) yang memicu  edema dan ulserasi saluran napas atas  Obstruksi saluran napas terjadi sebab  bronkokonstriksi atau laringospasme, edema mukosa, naiknya  sekret, dan kerusakan sel 
epitel.  ROS akan menginisiasi peroksidasi lemak dan kerusakan pada epithelial cell tight junctions, naiknya  sel dan mediator inflamasi, dan akumulasi cairan interstisial. Meski kerusakan bersifat sementara dan bisa sembuh sendiri namun  sebagian peristiwa  berdisosiasi menjadi peristiwa  kronis yaitu reactive upper airway disfunction syndrome (RUDS) seperti yang terjadi pada korban 
tragedi WTC 11 September (Dickson dan Schwartz, 2008).


b) Trakeobronkial
 Proses inflamasi pada sistem trakeobronkial juga merangsang bronkokonstriksi. Kerusakan mukosa dan inflamasi sepanjang peribronkial yaitu  kelainan yang diperoleh secara histologis 

c) Parenkim paru
 dampak  zat toksik pada parenkim paru biasanya muncul dalam waktu yang lebih lama. Partikel yang sulit larut seperti fosgen dan nitrogen dioksida lebih berpotensi merusak parenkim. Akumulasi dari kerusakan alveoli, surfaktan yang hilang, dan vasokonstriksi akan memicu  
gangguan oksigenasi. Acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan pneumonia menjadi komplikasi tersering.

d) dampak  sistemik
 Gas CO dan CN   mudah memberi  dampak  toksik sistemik. naiknya  kadar karboksihemoglobin dan penurunan fungsi jantung disinyalir sebagai pemicu  pertama  rendahnya oksigenasi ke seluruh badan . Sementara itu CN menghambat kerja sitokrom C oksidase   yaitu  unsur penting dalam rangkaian oksidasi pernapasan sel 

Iritasi yang terjadi pada mata dan membran saluran napas atas bisa  menunjukan  mengenai  kelarutan zat toksik.  kelainan klinis yang dialami korban   tergantung pada 
sifat dan jenis partikel dan  intensitas pajanan.
-Pemeriksaan fisik
 Gejala klinis yang sering ditemukan dalam pemeriksaan fisik korban jejas inhalasi antara lain: batuk dan sesak napas, ronkie dan wheezing, suara parau dan edema saluran napas atas hingga mengantuk sampai 
tidak sadar.
-Pemeriksaan penunjang
a. Darah
 Pemeriksaan analisis gas darah (AGD) bermanfaat  untuk mengetahui status oksigenasi dan keasaman darah. Kadar laktat plasma yang meningkat menunjukan  tingkat keracunan sianida. 
b. Radiologi
 Foto polos dada bisa normal pada awal kejadian. petunjuk  infiltrat bilateral menandakan  pneumonitis sementara itu atelektasis dan obstruksi bisa  dicurigai dengan munculnya air trapping 
c. Faal paru dan Bronkoskopi
 Dalam penilaian awal setidaknya bisa dilakukan pemeriksaan arus puncak respirasi dan spirometri dasar. petunjuk  awal jejas inhalasi dan kadar obstruksi bisa  dinilai melalui bronkoskopi ,

d. ECG
 petunjuk  aritmia dan iskemik akan memberi  informasi 
munculnya  hipoksia jaringan dan inflamasi. 
 

TERAPI
a) Lokasi kejadian
 Prioritas pertama  yaitu  mengevakuasi korban dan memutus pajanan dengan zat toksik. Dalam peristiwa  keracunan CO, oksigenasi bisa mengurangi risiko hipoksemia. Pemasangan intubasi dan trakeostomi 
pada korban yang diduga mengalami obstruksi akan memastikan jalan nafas tetap,
b) Rumah sakit
 Terapi pendukung  dengan memastikan jalan nafas tetap intak dan terbuka dan  mempertahankan hemodinamik tetap stabil menjadi syarat mutlak keberhasilan.  mengingatkan bahaya pemberian cairan intravena. ARDS paska infus kristaloid dan tranfusi darah beberapa kali dikabarkan  sehingga harus dievaluasi selama 24 - 48 jam 
sesudah  penambahan cairan badan  dan memantau oksigenasi.

Ventilasi mekanik dengan setting tidal volume rendah yaitu  standar dan dianggap sebagai cara yang lebih efektif  dalam mengurangi ventilator-induced lung injury. Penentuan posisi pronasi tidak banyak memberi  
dampak  dalam menurunkan mortalitas dan hanya memperbaiki hipoksemia  Nebulisasi
Pemberian terapi melalui nebulizer berwujud  bronkodilator, steroid, antikoagulan, dan antioksidan memberi  hasil yang baik. Bronkodilator seperti β2-agonists bisa  menurunkan resistensi aliran udara dan tekanan jalan napas. Inhalasi nitrit oksida (NO) akan memperbaiki oksigenasi dan menurunkan resistensi vaskuler pulmoner sebab  NO bisa  membalikkan 
proses ketidakseimbangan ventilasi-perfusi  Mukolitik, 
N-acetylcysteine (NAC), memberi  banyak manfaat dan bisa  diberikan bersamaan dengan bronkodilator  
Antikoagulan dalam bentuk aerosol bisa meningkatan aktivitas prokoagulasi. Pemberian heparin pada tikus model ternyata   bermanfaat  . Antioksidan juga berperan dalam mengatasi ketidakseimbangan antara oksidan-antioksidan sebab  naiknya  ROS. Pemberian vitamin E, 
α-tocopherol (5 mg/kg oral), pada kambing selama 24 jam sebelum dipajan dengan asap memberi  hasil bagus berwujud  naiknya  permeabilitas vaskuler 
Terapi Intravena Kortikosteroid intravena memberi  hasil yang lebih bagus  dibandingkan pemberian secara inhalasi. Vitamin C juga sudah  terbukti bisa   memperbaiki kerusakan sebab  oksidatif stress 
Bronkoskopi bisa  dipakai  untuk menentukan derajat keparahan  sekaligus modalitas terapi. pemakaian  bronkoskopi   efektif  dalam  mengambil benda asing dan sekret 
Terapi menonjol  pada Keracunan CO dan CN
Gangguan neurologis akibat hipoksemia kronis dalam peristiwa  keracunan CO dan CN harus sedini mungkin dihambat. Pemberian oksigenasi flow tinggi  bisa  meningkatkan saturasi oksigen dan menggeser ikatan karbon monoksida dengan hemoglobin. Terapi hiperbarik oksigen bisa  dipertimbangkan meski  masih ada kontroversi. Pada peristiwa  murni keracunan CN maka pemakaian  antidote sianida; yang berisi amyl nitrite, thiosulfate dan sodium nitrite;   disarankan . Methemoglobin berikatan dengan CN untuk membentuk cyanomethemoglobin. Saat terdisosiasi, CN bebas akan dikonversi menjadi thiocyanite oleh enzim mitokondria hati dengan memakai  thiosulfate sebagai substrat. Thiocyanite  akan dieksresikan dalam urin  Hanya saja jika korban  juga dicurigai mengalami keracunan CO maka pemakaian  antidote yang  mengandung unsur nitrat tidak disarankan  dan menjadi kontratanda .  ini  sebab  korban keracunan CN kadang  juga mengalami intoksikasi 
CO  Dengan cara yang berbeda seperti kerja antidote CN, hydroxycobalamin, turunan dari vitamin B12, secara aktif berikatan dengan CN membentuk cyanocobalamin. Zat ini akan langsung diekskresikan melalui ginjal 
 
Pneumotoraks yaitu  terisinya rongga pleura dengan udara dengan beberapa  pemicu  yang diketahui maupun tidak diketahui. peristiwa  pneumotoraks lebih banyak diderita laki-laki dibandingkan wanita. Data mortalitas sebab  pneumotoraks beragam  , cenderung lebih besar pada peristiwa  pneumotoraks ventil   Pneumotoraks berdasar  pemicu , lokasi, jenis fistel, dan luasnya. Pneumotoraks spontan primer bila tidak diketahui pemicu nya dan sekunder bila diketahui pemicu nya. 
Tuberkulosis, pneumonia, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yaitu  beberapa pemicu  pneumotoraks spontan sekunder  Pneumotoraks iatrogenik dipicu  
oleh CVC (Central Venous Catether), torakosintesis, ventilasi mekanik tekanan positif, atau biopsi transtorakal 
Pneumotoraks bisa  menjadi ventil dan mengancam nyawa sebab  udara dalam rongga pleura terus bertambah sebab  adanya fistel yang bersifat ventil 
epidemiologi
Pneumotoraks menjadi permasalahan dunia dengan kejadian  sebesar 78 peristiwa /1000.000 laki-laki dan   6 peristiwa /1000.000 perempuan ,Laki-laki berusia lebih dari 40 tahun lebih banyak menderita pneumotoraks dibanding wanita ,Tingkat rawat inap pasien Pneumotoraks spontan primer ataupun 
sekunder di Inggris sebesar 19 peristiwa /200.000 laki-laki dan  8  peristiwa /200.000 perempuan. 
Pneumotoraks yaitu  adanya udara di dalam rongga pleura, sebuah ruangan antara dinding dada dan paru. Pembagian pneumotoraks terdiri dari beberapa penggolongan  di antaranya pemicu , lokasi, derajat kolaps, dan jenis fistelnya ,Pneumotoraks dikelompok berdasar  pemicu nya menjadi tiga, yaitu .pneumotoraks artifisial, pneumotoraks spontan, dan pneumotoraks traumatik. Pneumotoraks artifial yaitu  pneumotoraks yang disengaja sebagai bagian dari terapi, contoh  terapi kolaps untuk menghentikan perdarahan atau melindungi paru dari radioterapi. Pneumotoraks artifisial bisa  juga sebagai tindakan diagnosa   untuk menentukan lokasi tumor pleura ,Pneumotoraks spontan dibagi menjadi pneumotoraks spontan primer (PSP) dan pneumotoraks spontan sekunder (PSS) , Pneumotoraks spontan primer jika  tidak diketahui pemicu nya. sedang  pneumotoraks spontan sekunder jika  diketahui penyakit dasar yang memicu  munculnya  pneumotoraks. Pneumotoraks 
katamenial terjadi saat menstruasi ,Pneumotoraks traumatik dipicu  oleh jejas dinding dada baik 
tumpul maupun tajam. Pneumotoraks Iatrogenik yaitu  pneumotoraks sebagai akibat dari prosedur medis . berdasar  lokasi, pneumotoraks dibagi menjadi pneumotoraks parietalis, medialis, dan basalis. Berdasar derajat kolaps dibagi menjadi totalis dan parsialis. 
berdasar  jenis fistel, pneumotoraks dibagi menjadi terbuka, tertutup, dan ventil. Pneumotoraks terbuka bila ada   hubungan rongga pleura  dan udara luar sehingga tekanannya sama. Pneumotoraks tertutup bila 
udara masuk dalam rongga pleura dan terjebak sebab  tidak ada hubungan dengan udara luar  Pneumotoraks tension atau 
ventil terjadi jika  tekanan intrapleura lebih besar dibandingkan tekanan atmosfer saat ekspirasi dan inspirasi. Tekanan dalam rongga pleura makin lama makin positif dan terus bertambah sebab  adanya fistel yang bersifat ventil. Pneumotoraks inilah yang mengancam nyawa seseorang yang  pemicu Pneumotoraks spontan primer tidak berkaitan  dengan pemicu  tertentu dan terjadi pada pasien  yang secara teoritis tidak memiliki penyakit 







medis bedah 3 medis bedah    3 Reviewed by bayi on Mei 20, 2022 Rating: 5

About

LINK VIDEO