halaman 3
kritis genitourinarius
kritis pada sistem genitourinarius terdiri dari beberapa
peristiwa antaralain :
- Cedera skrotum, bengkak, torsi testis, dan epididimitis (lakilaki ) kritis pada skrotum terjadi saat nyeri scrotum akut dan trauma testis. Modalitas yang dipakai untuk diagnosa yaitu US dengan Color Doppler .
-. Cedera uretra (lakilaki )
Cedera uretra saat adanya riwayat trauma tumpul pada area pelvis dan jatuh mengangkang. Modalitas yang dipakai untuk diagnosa yaitu foto polos saluran kemih, USG, urografi intravena, CT scan perut.
- Batu Ginjal (Kolik Renal)
tanda batu ginjal terjadi saat tiba-tiba adanya nyeri pinggang yang menjalar ke pangkal paha. Modalitas yang dipakai untuk melakukan diagnosa yaitu foto polos perut -pelvis, USG, dan urografi intravena dan CT perut .
-. Hematuria
pemicu hematuria antara lain infeksi saluran kemih yang berulang, tumor ginjal atau kandung kemih dan trauma. Modalitas yang dipakai untuk melakukan diagnosa hematuria yaitu foto polos perut -pelvis, USG, urografi intravena, CT scan perut dan sistogram.
-. Trauma Saluran Kemih
Trauma saluran kemih saat adanya riwayat trauma tumpul pada perut dan jatuh terjengkang. Modalitas yang dipakai untuk diagnosa yaitu foto polos perut -pelvis, USG, urografi intravena, CT scan perut dan ascending urethrocystography.
kritis ginekologi dan obstetrik
Kejadian kritis yang biasanya terjadi pada sistem ginekologi dan obstetrik yaitu kehamilan ektopik, plasenta previa. torsi ovarium, abses tuboovarial, Pelvic Inflammatory Disease (PID), aborsi,
kritis pada sistem muskuloskeletal yang terjadi yaitu
fraktur dan dislokasi pada ektremitas atas dan bawah, fraktur pelvis, cedera sendi, cedera ligament, tendon
kritis pada muskuloskeletal ditanda jika adanya riwayat trauma. Modalitas yang dipakai untuk diagnosa yaitu foto polos , CT scan , dan MRI
Dislokasi anteroinferior caput humerus kanan dengan fraktur pada glenoid labrum.
kritis pada peristiwa pediatrik terdiri dari kritis neonatal, benda asing jalan napas, dan cedera tulang
Modalitas yang dipakai untuk diagnosa yaitu foto polos
USG , dan CT scan. Buckling fracture (fraktur inkomplit) pada distal radius. Hypertrophic Pyloric Stenosis/HPS (USG).
kritis pada sistem ginekologi terjadi jika ditemukan
gejala klinis nyeri perut bawah, demam, dan vaginal discharge. Modalitas radiologi yang biasanya dipakai untuk diagnosa yaitu USG dan USG (Color Doppler).
2. Sistem Obstetrik
kritis obstetrik terjadi saat adanya gejala klinis
pendarahan pada kehamilan. Modalitas yang dipakai untuk melakukan diagnosa yaitu USG dan USG (Color Doppler)
Stroke yaitu hilangnya fungsi otak yang terjadi secara tiba-tiba baik fokal maupun global. pemicu stroke bisa terjadi akibat perdarahan di intrakranial maupun adanya penyumbatan di pembuluh darah sehingga terjadi hipoperfusi dan terjadi infark atau kematian jaringan otak ,
Kemampuan pencitraan modern untuk mendeteksi pemicu stroke saat ini memerlukan waktu tidak lebih dari 15 menit. Pada beberapa rumah sakit pusat pelayanan stroke, sudah ada sistem yang mengatur alur pasien
yang datang dengan dugaan stroke sehingga ada prioritas untuk pasien stroke sehingga keputusan untuk menjalankan prosedur pengobatan yang dilakukan bisa dilakukan dengan cepat pula
Kesuksesan hasil pengobatan stroke penyumbatan
bergantung kepada hasil pencitraan kritis . Dari hasil pencitraan akan ditentukan stroke akut itu akibat perdarahan ataukah penyumbatan, sehingga bisa ditentukan pengobatan yang cepat . CT Scan mudah
mendeteksi peristiwa perdarahan, yaitu dengan adanya area hyperdense dengan densitas berkisar +45 sampai +65 Hounsfiled Unit . sedang pada stroke penyumbatan, tahap awal CT Scan belum bisa mendeteksi dengan jelas walau melibatkan pembuluh darah besar. Maka dari itu,
diperlukan pengamatan memakai SPEC, yaitu metoda penghitungan pada area territory middle cerebral artery (MCA). MRI peka untuk menentukan adanya area infark yang ditunjukkan dengan ADC dan DWI ,ditambah sequence T2W maupun T2 FLAIR untuk menentukan apakah ini hiperakut atau akut ,
Pada stroke perdarahan, CT Scan bisa mendeteksi dengan baik . Hal yang perlu diperhatikan yaitu :
Lokasi pada intraparenkim maka harus melihat volume perdarahan dengan edema perifokal untuk menentukan apakah perlu tindakan pembedahan.
muncul nya hidrosefalus akibat adanya perdarahan.
Lokasi perdarahan, apakah intraparenkim atau di luar parenkim contoh di ruang subdural atau subarachnoid. Jika perdarahan di ruang subarachnoid maka perlu dipertimbangkan kelanjutan pemeriksaan dengan CT angiografi untuk mendeteksi adanya aneurisma
pencitraan pada stroke iskemia dan infark serebral
Infark serebral terjadi akibat otak mengalami hipoperfusi, aliran di dalam otak kurang dari 15ml/100gr jaringan per menit, yang disingkat rCBF. Stroke yaitu istilah umum gangguan fungsi otak mendadak apapun pemicu nya,
sedang infark menyangkut kematian jaringan otak permanen akibat hipoperfusi. Jika belum terjadi kematian jaringan yang permanen maka ini dinamakan iskemia. Iskemia ini masih memungkinkan diselamatkan agar tidak
terjadi kerusakan otak yang permanen
Stroke infark akut sekitar 0 sampai 6 jam, biasanya ditandai oleh iskemia simtomatis, dan berubah menjadi infark jika hipoperfusi meningkat. Jika tidak terjadi infark, baik CT maupun MRI tidak menandakan adanya lesi. Pada 6 jam pertama ini dengan pengobatan yang baik maka tidak menimbulkan kecacatan yang permanen
pertanyaan yang harus dijawab saat dihadapkan pada stroke akut:Apakah ada area penumbra?Seberapa luas area infark?Apakah ini stroke perdarahan?Apakah ada pembuluh darah besar yang buntu?
Apakah dengan CT Scan tanpa kontras sudah bisa menjawab pertanyaan di atas? CT Scan bisa dideteksi dengan mudah dengan mendeteksi adanya area hiperdense dengan densitas antara +45 sampai +65 Hounsfield Unit. kita bisa memakai metoda The Alberta stroke program early CT Score (ASPECT), yaitu dengan
membuat analisis 10 area segmental teritori area yang dialiri oleh arteri serebri media dengan memberi nilai 1 pada masing-masing segmen pada CT Scan tanpa kontras. Jika skor ini mencapai 7 atau lebih besar bisa dipastikan prognosisnya kurang baik , area segmental
itu yaitu nucleus caudatus, putamen, kapsula interna, korteks insula, dan area M1, M2, M3, M4, M5 dan M6 ,
CT Scan pada tahap akut sulit dilakukan, maka yang bisa dilakukan oleh ahli radiologi yaitu dengan mengerjakan
MRI memakai tehnik diffusion weighted images (DWI) yang bisa menentukan area infark beberapa menit sesudah kejadian. diteruskan dengan pemeriksaan sekuens T2W dan T2FLAIR untuk menentukan area itu
hiperakut stroke atau akut stroke. Adanya perubahan intensitas menjadi hiperintense pada T2W dan T2FLAIR menandakan area itu sudah akut, sedang kalau belum ada perubahan intensitas berarti area itu masih hiperakut.memerlukan pemeriksaan CT Scan advanced atau MRI advanced dengan tehnik perfusi. tehnik ini memerlukan bahan kontras media yang disuntikkan dalam dosis dobel. contoh untuk CT Scan kepala
diperlu kan 40 cc, maka untuk pemeriksaan perfusi perlu 80 cc. Untuk MRI dengan kontras perlu 7,5 cc, maka untuk perfusi perlu 15 cc.Jika identifikasi adanya pembuntuan pada pembuluh darah serebri media, maka tindakan thrombektomi bisa dilakukan. Sampai sejauh ini
banyak pusat pelayanan stroke komprehensif yang mengerjakan CT Scan untuk pemeriksaan pencitraan awal, namun beberapa pusat pelayanan stroke juga memasukkan pemeriksaan MRI, khususnya MR Angiography ,DWI, T2, T2FLAIR ,
Prosedur pemeriksaan di radiologi tidak boleh terlalu lama, apalagi kalau mengejar waktu emas, dalam waktu 20 menit sudah bisa menjawab pertanyaan apakah pemicu stroke perdarahan atau infark, apakah melibatkan pembuluh darah besar, dan area yang terkena mana saja. Untuk menentukan area penumbra waktu yang diperlu kan untuk tehnik perfusi akan lebih lama .
Hipertensi dalam kehamilan sekitar 3-16% dari seluruh
kehamilan, yaitu salah satu pemicu kematian dan kesakitan ibu hamil yang pertama . sedang preeklampsia yaitu sindrom yang khas pada kehamilan, memicu gangguan dan komplikasi multiorgan dan bisa membahayakan ibu dan janin. 15% kematian
ibu dipicu oleh hipertensi dalam kehamilan. sedang
di Amerika Serikat, 12 % kematian ibu dipicu preeklampsia- eklampsia ,1/100.000 kematian ibu dipicu preeklampsia-eklampsia, dengan case fatality rate 6,4 kematian/10.000 peristiwa ,peristiwa hipertensi dalam
kehamilan dari total 1502 persalinan dengan angka kematian dipicu hipertensi dalam kehamilan sebanyak 1 dari 60 peristiwa kematian ,Mortalitas dan morbiditas
hipertensi dalam kehamilan jauh lebih tinggi di negara sedang berkembang/miskin dibandingkan negara maju.
Banyak kriteria dan penggolongan hipertensi dalam kehamilan, namun mengacu pada organisasi hipertensi
dalam kehamilan dunia yang kredibel yaitu International Society for The Study of Hypertension in Pregnancy, (ISSHP), hipertensi dalam kehamilan digolongkan menjadi 4 : yaitu: 1. Hipertensi kerah putih (white coat hypertension)arti Preeklampsia ,2. Hipertensi Kronis, 3. Hipertensi Gestasional,4. Preeklampsia - de novo atau superimposed pada hipertensi kronis,
Hipertensi (tekanan darah > 140/90 mm Hg) yang baru muncul pada usia kehamilan 20 minggu ditambah salah satu gejala di bawah ini :
1. Disfungsi uteroplasenta: gawat janin dan gangguan pertumbuhan janin.
2. Proteinuria: (pemeriksaan spot protein urine sewaktu/creatinine > 30 mg/mmol [0,3 mg/mg] atau > 300 mg/hari atau minimal 1g/L (2+) pada dipstick test)
3. Gangguan organ lainnya:
- Gangguan neurologis: eklampsia, perubahan status mental, kebutaan, stroke, hiperrefleksia yang ditambah klonus, nyeri kepala hebat, scotomata visual persisten
- Gangguan hematologis (trombositopenia, DIC, hemolisis, sindroma HELLP)- Edema paru,
- Gangguan ginjal (Serum kreatin > 90 umol/L)
- Keterlibatan hepar (naiknya serum transaminase dan atau nyeri epigastium dan kuadran kanan atas)
Hipertensi yang muncul sebelum usia kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosa sesudah usia kehamilan 20 minggu dan kondisi hipertensi itu menetap sampai 12 minggu sesudah persalinan . Munculnya gejala hipertensi sebelum kehamilan, sebagian besar peristiwa ini dipicu hipertensi esensial, dengan riwayat keluarga hipertensi yang
kuat dan ditambah obesitas ,
Munculnya hipertensi sejak usia kehamilan 20 minggu, tanpa ditemukan ketidaknormalan lainnya (proteinuria dan gejala multi organ) dan menghilang sebelum 3 bulan sesudah persalinan . biasanya kondisi ini ringan, namun perlu diwaspadai sekitar 24% peristiwa akan menjadi preeklampsia sebelum 32 minggu Munculnya gejala hipertensi pada pemeriksaan tekanan darah di rumah sakit ,
Sindroma khas pada preeklampsia yang ditandai hemolisis, naiknya kadar enzim liver, dan penurunan kadar platelet (trombositopenia). Sindroma HELLP menandakan komplikasi berat dari preeklampsia, namun
pada sebagian kecil wanita bisa mengalami sindroma HELLP tanpa preeklampsia
munculnya kejang pada pasien preeklampsia. Eklampsia yaitu peristiwa akut pada pasien preeklampsia yang ditambah dengan kejang dan koma. Sama halnya dengan preeklampsia, eklampsia bisa muncul pada ante, intra,
dan postpartum. Eklampsia postpartum biasanya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama sesudah persalinan
Sejak lama patogenesis preeklampsia diduga antaralain: dua tahap. Tahap pertama yaitu munculnya gangguan proses plasentasi, sedang tahap kedua antaralain: munculnya gejala klinis sistemik (hipertensi dan proteinuria). Tahap pertama bersifat preklinis dan belum ada gejala, yang terjadi pada usia kehamilan 8-18 minggu, yang mana sirkulasi uteroplasenta dibentuk dari proses
remodelling arteri spiralis , ketidaknormalan pada tahap pertama ini bisa dipicu oleh banyak hal, seperti: . Maladaptasi maternal pada perubahan inf lamasi dan
kardiovaskular,, Faktor genetik melalui gen yang diturunkan dan pengaruh epigenetik,. Faktor metabolik maternal. Implantasi plasenta dengan invasi trofoblast tidaknormal pada pembuluh darah uterus, Gangguan toleransi adaptasi imunologi antara maternal, paternal, dan janin,Ketidakseimbangan faktor angiogenesis dan antiangiogenesis,sedang pada tahap kedua terjadi proses disfungsi endotel luas, yang memicu menurunnya perfusi ke seluruh organ badan ibu, dan munculnya gejala klinis preeklampsia (hipertensi, gangguan multi organ, proteinuria, dan gangguan janin,
sifat maternal yang dikaitkan kuat dengan risiko munculnya preeklampsia-eklampsia yaitu antaralain :
-Kondisi medis yang dimiliki (hipertensi kronis, penyakit ginjal, diabetes mellitus), -Sindroma Antifosfolipid antibodi [RR 9.72, 95% CI 4.23 - 21.75] - Riwayat preeklampsia sebelumnya, terutama jika terjadi < 34 minggu (early onset preeklampsia) [RR 7.19, 95% CI 5.85 - 8.83],- Kehamilan multipel.
Faktor lain yang juga dikaitkan dengan risiko preeklampsia, yaitu :
-. Obesitas,- Ras Afroamerika,-. Usia ibu semakin tua,
-Riwayat keluarga preeklampsia [RR 2.90, 95% CI 1.70 - 4.93].- Primiparitas [RR 2.91, 95% CI 1.28-6.61],
- Primipaternitas,-. Interval kehamilan > 5 tahun,
-Durasi hubungan seksual dengan kehamilan yang pendek (< 6 bulan),
penggolongan PE preeklampsia terbaru tidak lagi membagi ‘ringan’ dan ‘berat’, namun dibagi menjadi preeklampsia ‘ditambah gejala berat’ dan ‘tanpa ditambah gejala berat’ Hal itu untuk meningkatkan kewaspadaan pada seluruh peristiwa PE preeklampsia
yang bisa memburuk secara tiba-tiba. kemudian preeklampsia tanpa ditambah gejala berat dinamakan PE preeklampsia, sedang preeklampsia dengan gejala berat dinamakan preeklampsia berat (PEB) ,
dinamakan PEB jika memiliki kriteria antaralain :
. Trombosit < 100.000/μL,. naiknya fungsi liver (lebih dari dua kali normal),. Keluhan nyeri kepala, gangguan penglihatan dan nyeri ulu hati (impending eklampsia),. Gangguan pertumbuhan janin.. TD sistolik ≥ 160 mmHg, TD diastolik ≥ 110 mmHg,. Serum kreatinin > 1,1 mg/dl,
. Edema paru,
penggolongan preeklampsia terkait prognosis:
1. Preeklampsia Tipe Dini (Early Onset): petunjuk klinis preeklamsia bisa muncul sebelum usia kehamilan 34 minggu. ini dipicu proses patogenesis preeklamsia pada level plasenta amat kuat. ini memicu petunjuk klinis muncul lebih awal dan prognosis pada ibu dan janinnya lebih buruk.
2. Preeklampsia Tipe Lambat (Late Onset): petunjuk klinis preeklamsia muncul sesudah kehamilan 34 minggu. Pada tipe late onset, proses patogenesis preeklamsia di tingkat plasenta tidak terlalu parah dan diduga adanya faktor maternal. Prognosis ibu dan janinnya lebih baik.
Jarang ditemui adanya IUGR. Pada late onset muncul permasalahan baru, sebab tidak ada pertanda awal munculnya preeklamsia, sering pasien datang mendadak dalam kondisi preeklamsia walaupun pada pemeriksaan sebelumnya masih normal, sementara pada early onset, sebab adanya pertanda biomolekular dan klinis yang bisa dideteksi lebih awal, pasien dalam pengawasan lebih ketat. Di negara maju yang memiliki fasilitas NICU lebih baik, early onset preeklamsia memiliki insiden morbiditas dan mortalitas lebih rendah
Skrining preeklampsia wajib dilakukan pada semua ibu hamil yang melakukan pemeriksaan antenatal. Pada faskes tingkat satu/primer, bisa melakukan skrining sederhana dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Dari anamnesis harus dicari adanya faktor risiko Adanya 2 faktor risiko atau 1 faktor risiko
kuat, maka dikatakan hasil skrining positif.
Pada pemeriksaan fisik bisa dilakukan pengukuran Indeks Massa badan /Body Mass Index (BMI), Mean Arterial Pressure (MAP), dan juga Roll Over Test (ROT). Ketiga pemeriksaan bisa dilakukan di faskes primer. Kriteria pemeriksaan fisik positif, yaitu:
1. BMI > 30 kg/m2,
2. MAP > 90 mmHg terutama pada trimester kedua,
3. ROT, naiknya tekanan darah > 15 mmHg antara posisi terlentang dan tidur miring kiri.
diagnosa Preeklampsia Berat
. Proteinuria, standar baku untuk mendiagnosa proteinuria tidaknormal pada kehamilan yaitu dengan pemeriksaan protein urin 24 jam > 300 mg/hari. Dalam praktik sehari-hari pemeriksaan ini memerlukan waktu lebih lama, sehingga sering digantikan dengan
pemeriksaan rasio protein/kreatinin urin > 30 mg/mmol menandakan .proteinuria tidaknormal . Jika tidak bisa melakukan pemeriksaan ini, maka dipstick test masih bisa dipakai dengan nilai minimal +2
Pemeriksaan kesejahteraan janin: USG, NST perlu dilakukan mengingat gangguan pertumbuhan janin bisa yaitu komplikasi preeklampsia ,Pemeriksaan kardiotokografi pada saat awal harus dilakukan untuk menganalisa kesejahteraan janin. Jika pengobatan
preeklampsia direncanakan secara konservatif, maka pemeriksaan USG ukuran janin, Doppler pembuluh darah janin, dan cairan ketuban harus dilakukan . USG serial harus dilakukan sehingga saat persalinan bisa
ditentukan secara optimal ,Pemeriksaan laboratorium lengkap harus dilakukan untuk menganalisa gangguan multi organ, termasuk menganalisa adanya komplikasi sindroma HELLP ,naiknya tekanan darah (> 140/90 mm Hg) sesudah 20 minggu. Pemeriksaan tekanan darah memakai sphygmomanometry mercury masih yaitu standar baku pengukuran tekanan darah. Pengukuran memakai alat otomatis memiliki akurasi lebih rendah dibandingkan
merkuri Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan dalam kondisi istirahat dan ibu duduk dengan posisi 45 derajat. Cuff tekanan darah harus memiliki ukuran yang sesuai dengan lengan ibu dan diletakkan sejajar jantung ibu. Pemeriksaan harus dilakukan
berulang kali untuk mengkonfirmasi diagnosa . Suara Korotkoff tahap 5 menandakan tekanan darah diastolik yang benar. Metode ini harus dipakai secara konsisten dan dicatat secara baik ,
Kejang tonik klonik, bersifat menyeluruh yang baru muncul pada pasien PE. yaitu salah satu manifestasi klinis berat PE.
1. Gejala klinis eklampsia:
a. tahap Tonik
Otot lengan, kaki, dada, dan punggung menjadi kaku,
berlangsung 1 menit. Penurunan kesadaran, kadang ditambah jeritan, bisa menjadi sianotik.
b. tahap Klonik
Lidah bisa tergigit, hematoma lidah, perdarahan lidah.
1 - 2 menit sesudah tahap klonik, otot mulai menyentak dan berkedut, mulai terjadi kejang.
c. tahap Pascakejang
sesudah tahap klonik selesai. Dalam keadaan tidur dalam, bernafas dalam, dan bertahap sadar kembali ditambah nyeri kepala. Biasanya pasien kembali sadar dalam 10-20 menit sesudah kejang.
2. Gejala Neurologis
Defisit saraf kranial. naiknya refleks tendon dalam.
Defisit memori, defisit persepsi visual, gangguan status mental.
3. Kondisi janin
Fetal bradikardia bisa terjadi saat dan sesudah kejang.
4. Saat pasien sadar kembali, bisa terjadi fetal takikardia, hilangnya variabilitas dan kadang ditemukan deselerasi (pada pemeriksaan NST) ,
pengobatan preeklampsia berat harus dilakukan berdasar penilaian yang cermat, stabilisasi kondisi ibu, pemantauan ketat, dan melakukan persalinan dalam waktu dan kondisi yang cepat . Beberapa hal yang harus
dilakukan dalam mengatasi kritis preeklampsia berat:
Stabilisasi Tekanan Darah
mengatasi hipertensi akut bisa mencegah risiko komplikasi cerebrovascular dan cardiovascular pada ibu dengan preeklampsia, yang yaitu pemicu terbanyak mortalitas dan morbiditas maternal. Obat penurun tekanan darah harus diberikan pada kondisi:
1. Tekanan darah > 160/110 mmHg
2. Tekanan darah > 140/90 mmHg dengan komorbiditas (gangguan organ lain)
Pada ibu dengan hipertensi berat (> 160/110 mmHg), obat penurun tekanan darah diberikan dengan target menurunkan tekanan darah < 160/110 mmHg. Pada ibu dengan naiknya tekanan darah 140 - 159/90-
109 mmHg, target penurunan tekanan darah tergantung ada tidaknya komorbiditas. Jika ibu memiliki komorbiditas maka tekanan darah harus diturunkan < 140/90 mm Hg, sedang tanpa komorbiditas tekanan darah
bisa diturunkan sampai 130 - 155/80 - 105 mm Hg ,
Pada hipertensi berat, obat pilihan pertama : kapsul nifedipine short acting, hydralazine intravena atau parenteral labetolol. pilihan lain lain yaitu :
methyldopa oral, labetolol oral, atau clonidine oral , Nifedipine
bisa diberikan dengan dosis awal 3 × 10 mg per oral, dengan dosis maksimal 120 mg/hari. Nifedipine tidak boleh diberikan secara sublingual. Tidak diperbolehkan memberi obat jenis Atenolol, ACE inhibitor, Angiotensis
Receptor Blockers (ARB) dalam kehamilan,
Pencegahan Kejang penelitian MAGPIE sudah membuktikan bahwa pemberian Magnesium
Sulphate bisa menurunkan risiko eklampsia/kejang pada wanita dengan preeklampsia sebesar 59%. Magnesium Sulphate (MgSO4) yaitu obat pilihan pertama dalam mencegah kejang pada peristiwa preeklampsia berat. Diazepam dan Phenitoin tidak lagi menjadi obat pilihan pertama dalam pencegahan kejang
Syarat pemberian MgSO4 :
- Frekuensi pernafasan > 16 + / menit, dan tidak ada tanda-tanda distress nafas.
-. Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kg.bb./jam)
-. Harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu Calcium Gluconas 10% = 1 gr (10% dalam 10 cc) diberikan intra vena (iv) selama 3 menit.
-. Refleks patella (+) kuat.
Pemberian MgSO4 ,MGSO4 diberikan sebagai antikejang dengan dosis awal (loading dose) 4 - 5 gram/intra vena pelan dengan MgSO4 20%, diteruskan dengan 10 gram
MgSO4 40% intra muskular disuntikkan ke bokong kiri dan kanan dan diulang tiap 6 jam sebanyak 5 gram MgSO4 40%. Pemberian ini juga bisa dilakukan dengan memakai syringe pump sebesar 1 gram/jam/intravena
MgSO4 40% ,
pemberian sulfas magnesikus dihentikan bila:
sesudah 12-24 jam pasca persalinan, Ada tanda-tanda intoksikasi,
Tabel Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
Terhentinya pernafasan 15 mEq /liter 18 mg/dl
Terhentinya jantung > 30 mEq/liter > 36 mg/dl
Dosis terapeutik 4 - 7 mEq/liter 4,8 - 8,4 mg/dl
Hilangnya refleks tendon 10 mEq/liter 12 mg/dl
Pemberian MgSO4 pada Kejang Ulangan
Kejang ulangan pada wanita yang sudah memperoleh MgSO4 bisa diterapi dengan injeksi bolus MgSO4 2 gram, atau naiknya kecepatan tetesan syringe pump sampai 1.5-2.0 gram/jam. Jika sesudah pengobatan ini
masih terjadi kejang, maka obat pilihan lain seperti Diazepam atau Thiopentone bisa diberikan dosis tunggal, sebab pemberian Diazepam berkepanjangan dikaitkan dengan kematian maternal , keuntungan pemberian MgSO4 per injeksi yaitu :
---MgSO4 menambah aliran darah ke rahim dan menambah konsumsi oksigen ke dalam otak.
---Pasien tetap sadar, berbeda dengan pemberian barbiturates, obat penenang, dan narkotika, sehingga kecil kemungkinan terjadi gangguan pernapasan dan aspirasi asam lambung. ..
---.MgSO4 tidak menimbulkan akibat buruk bagi janin.
--- Pengobatan MgSO4 mudah pemberiannya dan bila terjadi keracunan mudah diatasi.
-Evaluasi syarat pemberian MgSO4 setiap akan memberi dosis pemeliharaan (IM, berkala/intermitten), pada pilihan lain 1, dan setiap jam jika memakai pilihan lain 2 (continous infusion, syringe pump/infusion pump)
-MgSO4 diberikan hingga 24 jam sesudah persalinan atau kejang terakhir.
-Syarat pemberian MgSO4: laju nafas > 12×/menit, refleks patela (+), produksi urine minimal 100 cc/4 jam sebelum pemberian, tersedianya Calcium Glukonas 10%
sebagai antidotum
Pemakaian Diazepine (Valium) sebagai obat anti kejang ternyata mulai ditinggalkan, sebab yaitu :
Diazepine melewati plasenta dan berada dalam janin relatif lama, sehingga janin yang baru lahir sering mengalami hypotonia dan depresi.,Harga Diazepine mahal. Dizepine menurunkan kesadaran pasien, sehingga kedalaman gangguan kesadaran sukar dinilai dan kemungkinan muncul nya gangguan pernapasan dan aspirasi asam lambung lebih besar.. Untuk berkhasiat sebagai obat anti kejang diperlu kan dosis yang lebih tinggi.
Resitriksi cairan disarankan pada kondisi preeklampsia berat, dipicu meningkatnya risiko overload cairan pada intra atau postpartum. Total cairan masuk harus dibatasi sampai 80 ml/jam atau 1 ml/kg/jam . Diuretikum tidak boleh diberikan, kecuali jika ada gejala edema paru,
gagal jantung kongestif, atau edema anasarka. Pemberian diuretikum akan memperburuk kondisi ibu dan janin sebab memperberat hipovolemia,
mengurangi perfusi utero plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, dan menimbulkan dehidrasi pada janin ,
pemberian kortikosteroid untuk maturasi paru janin
Kortikosteroid harus diberikan pada ibu preeklamsia dengan usia kehamilan < 34 minggu. Pemberian steroid pada wanita yang terancam persalinan prematur (spontan atau iatrogenik) menonjol menurunkan mortalitas dan morbiditas neonatal ,Neonatus preterm yang memperoleh terapi steroid berisiko lebih rendah antaralain :
-Perdarahan intracranial (RR 0,54; 95% CI 0.43 - 0,69)
-Necrotizing Enterocolitis (RR 0,46; 95% CI 0,29 - 0,74)
-Kematian (RR 0,69; 95% CI 0,58 - 0,81) (ACOG, 2016).
-Respiratory Distress Syndrome (RR 0,66; 95% CI 0,59 - 0,59)
bahwa pilihan Steroid untuk maturasi paru janin ,yaitu:
--- Betamethasone 2 × 12 mg i.m (tiap 24 jam atau dalam 2 hari pemberian) ,
---Dexamethasone 4 × 6 mg i.m (tiap 12 jam atau dalam 2 hari pemberian) ,
langkah-langkah pengobatan kritis Preeklampsia Berat yaitu:
---Segera masuk rumah sakit
--- Tirah baring
--- Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5%
--- Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang. Regimen pemberian MgSO4 bisa mengacu pada tata cara pemberian di atas. Pilihan metode pemberian bisa disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya di faskes masing-masing.
--- Pemberian antihipertensi dan mempertahankan tekanan darah di bawah 160/110 mmHg bisa diberikan Nifedipin dan Metildopa.
---Pemberian antihipertensi par-enteral bila ditemui tekanan darah > 180/110. bisa dipakai Nicardipin drip
langkah-langkah pengobatan kritis Eklampsia,yaitu:
1. Panggil bantuan (dokter spesialis obgyn, dokter anestesi, bidan, perawat), sebaiknya tidak meninggalkan ibu sendiri.
2. Pastikan ibu tidak mengalami cedera saat kejang (akibat benturan dengan benda di lingkungannya, terjatuh, atau menggigit lidah), pasang sudap lidah.
3. sesudah selesai kejang, taruh ibu pada posisi miring kiri, posisi kepala dimiringkan dan diarahkan ke bawah untuk mencegah aspirasi, dan pasang oksigen.
4. Nilai jalan napas dan pernapasan, bebaskan jalan napas (ABC/Airway Breathing Circulation).
5. Jika memungkinkan, bisa dipasang pulse oximetry untuk menganalisa oksigenasi jaringan.
6. Berikan MgSO4 sesuai dosis awal jika ibu belum pernah menerima MgSO4 sebelumnya. Jika ibu sudah pernah memperoleh MgSO4, maka berikan sesuai dosis regimen ulangan kejang.
7. Jika kejang menetap dengan dosis ulangan, maka bisa dipertimbangkan pemberian obat pilihan lain lain (Diazepam dan Thiopentone).
8. Jika kejang masih ada perlu dipertimbangkan intubasi untuk melindungi jalan nafas dan mempertahankan oksigenasi.
9. Jika kondisi ibu sudah stabil, harus disiapkan perawatan lanjutan di faskes yang lebih tinggi (sekunder - tersier) yang memiliki fasilitas ICU dan NICU.
Preeklampsia bisa memicu naiknya mortalitas dan
morbiditas maternal perinatal terutama pada preeklampsia tipe dini ,pada ibu dengan penyakit dasar lainnya, Komplikasi Maternal,antaralain :
Gangguan liver (< 1%),. Stroke,Kematian, Penyakit jantung di masa mendatang. Solusio Plasenta (1 - 4%), Sindroma HELLP/DIC (10 - 20%),. Edema paru (2 - 5%),. Gangguan ginjal akut (2 - 5%),. Eklampsia (< 1%),
Komplikasi Neonatal:
Penyakit kardiovaskular yang dikaitkan dengan bayi berat badan lahir rendah.. Persalinan prematur (15 - 67%),Gangguan pertumbuhan janin (10 - 25%),. Lesi neurologis hipoksia (< 1%),. Kematian perinatal (1 - 2%),
prognosis
dampak jangka panjang: wanita yang pernah mengalami preeklampsia berisiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit kardiovaskular .di masa mendatang (antaralain: hipertensi, penyakit jantung iskemik,
stroke, dan thromboemboli vena)
Risiko komplikasi obsetrik: wanita dengan preeklampsia berisiko komplikasi gangguan pertumbuhan janin, kelahiran preterm, solusio
plasenta, dan kematian janin dalam rahim.
Risiko rekurensi: 25% akan mengalami hipertensi, dan 18% akan mengalami preeklampsia berulang pada kehamilan berikutnya. Wanita .dengan riwayat preeklamsia tipe dini berisiko rekurensi paling
besar 65%,
Perdarahan sesudah persalinan (PPP) > 500 ml yang diperoleh sesudah persalinan pervaginam atau > 1000 ml sesudah persalinan per abdominam berdasar waktu kejadian, perdarahan sesudah persalinan bisa dibagi menjadi tipe dini/primer, yaitu terjadi pada 24 jam sesudah persalinan dan tipe lambat/sekunder, yaitu terjadi pasca 24 jam sampai dengan 42 hari sesudah persalinan ,
dipengaruhi banyak faktor Beberapa faktor yang mempengaruhi bisa berwujud faktor klinis bahkan nonklinis. Secara keseluruhan 3 - 8% persalinan akan diikuti perdarahan sesudah persalinan ,ada 4 pemicu pertama munculnya PPP, yaitu: 4 T: Tone, Tissue,
Trauma, Thrombin
-Trauma, sebab adanya perlukaan jalan lahir mulai dari perineum, vagina, serviks (laserasi), sampai dengan robeknya dinding uterus (ruptura uteri).
-Tone, terjadi sebab lemahnya kontraksi (hipotoni) bahkan hilangnya kontraksi (atonia) uterus sesudah persalinan .
- Tissue yaitu adanya jaringan plasenta yang tertinggal sebagian maupun seluruhnya di dalam uterus
-Thrombin, yaitu adanya gangguan hemostasis yang bisa terjadi sejak sebelum persalinan maupun sesudah nya.Atonia uteri yaitu pemicu PPP yang kerap ditemui di kebanyakan peristiwa . Pada beberapa peristiwa walau tidak diperoleh faktor risiko, atonia uteri juga bisa terjadi sehingga pengawasan dan pemantau kontraksi uterus
sesudah persalinan wajib dilakukan. Atonia uteri bisa bersifat primer, yaitu berdiri sendiri tanpa ada pemicu PPP lainnya atau bersifat sekunder saat diperoleh pemicu lain PPP sehingga terjadi atonia uteri. Pada peristiwa laserasi jalan lahir yang tak tertangani dengan baik, atonia uteri sekunder bisa muncul sehingga pemeriksaan dan evaluasi jalan lahir menjadi suatu
pemeriksaan yang wajib dilakukan sesudah persalinan
Prediksi munculnya PPP bisa diketahui sebab adanya faktor risiko yang diketahui sebelumnya. Faktor risiko yang dimaksud yang bisa dikenali bersifat klinis dan terbagi menjadi dua ,
Selain itu diperoleh pula hal-hal yang bersifat nonklinis yang bisa mempengaruhi munculnya PPP. Faktor nonklinis itu hanya bisa diselesaikan bersama-sama dengan melibatkan kerja sama lintas sektor, di antaranya
Status ekonomi,. Pembiayaan,Akses rumah sakit
Sistem rujukan,Pendidikan,Budaya dan kultur,Geografi,,
saat kehamilan memasuki akhir bulan, aliran darah yang mengalir melalui low-resistance placental bed uterus bisa mencapai sekitar 500 - 800 ml/menit. Pembuluh darah yang menyuplai aliran darah ke placental bed melewati
sela-sela serabut miometrium yang berbentuk anyaman. Kontraksi miometrium sesudah terjadi persalinan akan diikuti retraksi miometrium. Retraksi miometrium yaitu sifat unik otot polos uterus yang ditandai dengan ukuran serabut otot yang lebih pendek dari panjang semula sesudah terjadi kontraksi. Pembuluh darah yang terletak di antara serabut miometrium akan terjepit dan terbuntu saat terjadi kontraksi dan retraksi sehingga aliran
darah terhenti. Susunan serabut miometrium yang berbentuk anyaman uterus ini dinamakan the living ligatures atau physiologic sutures,Mekanisme penghentian perdarahan sesudah persalinan berbeda dengan tempat lain yang peran faktor vasospasme dan pembekuan darah penting, pada perdarahan sesudah persalinan , penghentian perdarahan pada bekas implantasi plasenta terutama sebab adanya kontraksi dan retraksi miometrium sehingga menyempitkan dan membuntu lumen pembuluh darah. Adanya sisa plasenta atau bekuan darah dalam jumlah yang banyak bisa mengganggu efek kontraksi dan retraksi miometrium sehingga bisa memicu perdarahan tidak berhenti. Kontraksi dan retraksi miometrium yang kurang baik bisa memicu perdarahan walaupun sistem pembekuan darahnya normal, sebaliknya walaupun sistem pembekuan darah tidaknormal asalkan kontraksi dan retraksi miometrium baik, maka bisa menghentikan perdarahan ,
diagnosa dilakukan berdasar anamnesis dan tanda-tanda yang terjadi sesuai dengan jumlah perdarahan. Perdarahan sesudah persalinan biasanya tampak jelas, sebab perdarahan mengalir keluar dari vagina.
Pengecualian lain yaitu jika diperoleh perdarahan dalam rahim yang tidak terdeteksi atau ruptura uteri dengan perdarahan intra peritoneal. sebab pemicu perdarahan sesudah persalinan tersering yaitu atonia uteri,
penting untuk melakukan palpasi/masase uterus sesaat sesudah melahirkan. Adanya uterus yang lembek, kenyal, dan pada saat pemeriksaan dalam/bimanual dan keluarnya bekuan darah/darah dalam jumlah cukup banyak dari vagina menandakan adanya atonia uteri ,
Adanya perdarahan yang menetap walau diperoleh uterus
yang berkontraksi dengan kuat dan keras menandakan kemungkinan adanya laserasi jalan lahir. Untuk memastikan adanya laserasi jalan lahir, harus dilakukan pemeriksaan vagina, serviks, dan uterus dengan cermat.
kadang perdarahan bisa dipicu oleh atonia uteri dan trauma jalan lahir, biasanya sesudah persalinan dengan forceps atau vaccum. Penting pada kondisi ini untuk selalu rutin melakukan pemeriksaan jalan lahir dan serviks secara cermat. Jika tidak diperoleh laserasi jalan lahir, kontraksi uterus baik, namun tetap diperoleh perdarahan yang berasal dari dalam rahim, maka
perlu dilakukan eksplorasi manual uterus untuk mendiagnosa kemungkinan adanya ruptura uteri
pengobatan
pengobatan perdarahan sesudah persalinan ditujukan pada dua hal, yaitu: mengembalikan volume darah, mempertahankan oksigenasi, dan menghentikan perdarahan dengan menangani pemicu PPP. Idealnya,
stabilisasi dilakukan lebih dulu sebelum tindakan definitif dilakukan . Pada kenyataannya mengatasi PPP memerlukan tindakan yang simultan dan kerja sama tim. sering dilakukan perbaikan keadaan (resusitasi) sambil dilakukan tindakan untuk menghentikan
perdarahan itu sebab itu begitu diduga terjadi perdarahan sesudah persalinan , penolong persalinan harus segera memanggil bantuan tenaga medis lainnya. Setiap tenaga medis berperan masing-masing, sebab mengatasi perdarahan sesudah persalinan harus
dilakukan secara cepat, intensif, dan simultan,
Pada saat awal resusitasi cairan, ambil contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium sederhana hemoglobin (Hb), hematokrit (Hct/PCV), leukosit, trombosit, faal pembeku darah atau dilakukan pemeriksaan
waktu pembekuan darah dan waktu perdarahan secara langsung. juga mengambil contoh darah untuk keperluan transfusi ,pemicu PPP terbanyak yaitu atonia uteri, maka langkah pertama dari mengatasi yaitu dengan pemijatan uterus, kompresi bimanual interna , eksterna atau kompresi aorta perut , dan pemberian uterotonika.
Bila mengatasi ini gagal, maka diteruskan dengan pemasangan tampon utero-vaginal, sementara obat uterotonika tetap diberikan. Bila mengatasi dengan nonoperasi ini tetap tidak berhasil maka dilakukan secara operasi secara laparotomi dengan pengikatan kompresi uterus (metode B-Lynch atau rekayasanya), pengikatan arteri uterina, ovarika atau hipogastrika (iliaka interna). Bila dengan cara ini juga belum berhasil menghentikan perdarahan, baru dilakukan histerektomi ,
Pemakaian tampon (packing) uterovagina dengan kasa gulung bisa merugikan sebab memerlukan waktu untuk pemasangannya dan bisa memicu perdarahan yang tersembunyi atau bila ada perembesan berarti banyak darah yang sudah terserap di tampon itu sebelumnya dan bisa memicu infeksi. namun bisa pula menguntungkan bila dengan tampon ,perdarahan bisa berhenti sehingga tidak diperlukan tindakan operasi atau tampon dipakai untuk menurunkan perdarahan sementara sambil menunggu mengatasi operasi . pilihan lain dari pemakaian tampon selain dengan kasa, juga dipakai beberapa cara, yaitu dengan memakai Sengstaken-Blakemore Tube, Rusch Urologic Hydrostatic Balloon Catheter (Folley Catheter), atau SOS Bakri Tamponade Balloon Catheter pilihan lain dengan pemasangan
kondom yang diikatkan pada kateter. angka
keberhasilannya 100% (22 berhasil dari 25 PPP), kondom dilepas 24 - 48 jam kemudian dan tidak diperoleh komplikasi yang berat. tanda pemasangan kondom sebagai tampon itu yaitu untuk PPP dengan pemicu atonia uteri. Cara ini kemudian dinamakan Metode Sayeba. Metode ini dipakai sebagai pilihan lain mengatasi PPP terutama sambil menunggu perbaikan
atau rujukan. tahun 2005 penelitian dengan metode Sayeba dengan melibatkan 15 peristiwa PPP, sesudah dilakukan pemasangan kondom kateter metode
Sayeba, 13 peristiwa berhasil dihentikan perdarahannya sedang 1 peristiwa gagal sebab diperoleh ruptura uteri inkomplet ,Sebelum melakukan pemasangan tampon kondom kateter, maka harus disiapkan terlebih dahulu peralatan kesehatan dan bahan yang akan dipakai.
di tiap kamar bersalin (PONEK) sudah menyiapkan kontak darurat yang berisi alat kesehatan dan bahan-bahan untuk pemasangan tampon kondom kateter, sehingga dalam keadaan darurat penolong tidak
perlu lagi mencari-cari alat kesehatan itu yang juga bisa menjadi sumber keterlambatan pertolongan pasien perdarahan Persiapan Alat Kesehatan dan Bahan:
Kondom,Kateter (kalau bisa yang besar, no 18 atau lebih),
Cairan antiseptik,. Spekulul Sims,. Ring (ovum) tang,. Cairan PZ (normal saline), Infusion set.Benang pengikat,. Kassa gulung,,
Langkah-Langkah Pemasangan
Kateter dimasukkan ke kondom, lalu diikat dengan benang steril. Infusion set yang sudah terpasang pada cairan infus disambungkan dengan pangkal kateter. Perineum, vulva, dan vagina di-desinfeksi dengan cairan anti septik. Speculum dimasukkan ke jalan lahir, tampak portio cervix, portio bisa dicengkram dengan ring (ovum) tang atau secara langsung tanpa dicengkram, kateter kondom dimasukkan ke cavum uteri sampai menyentuh fundus cavum uteri. Kateter dipertahankan sambil cairan infus dialirkan. sesudah kondom mengembang dan memenuhi cavum uteri, cairan dihentikan. Kemudian kasa
dipasang sebagai tampon untuk menahan agar kondom tidak keluar. Infusion set dilepas dari pangkal kateter, kateter diikat ,Embolisasi arteri secara selektif bisa
pula menghentikan perdarahan pada PPP secara efektif ,
Jahitan Uterus Metoda B-LynchPertama, uterus dikeluarkan dari cavum perut (exteriorized), dengan
memakai benang chromic catgut no. 2, lalu jarum ditusukkan 3 cm kanan bawah irisan sumbu bawah rahim (SBR) dan 3 cm dari dinding lateral kanan uterus. Jarum dikeluarkan di cavum uteri, kemudian dipegang dan ditusukkan dari cavum uteri keluar ke sisi anterior uterus 3 cm di atas irisan dan 4 cm medial dari tepi lateral uterus. Jarum jahit ditarik ke atas sampai melewati
3 - 4 cm medial cornu uteri. Jahitan dibawa ke bawah secara vertikal dan dari sisi posterior uterus jarum ditusukkan ke arah cavum uteri sejajar tusukan
pertama. Jarum dibawa secara horizontal ke sisi kiri sejauh 3 cm dari tepi lateral, dijahitkan kembali dari cavum uteri keluar uterus pada sisi posterior. Jahitan dibawa naik vertikal sampai 3 - 4 cm medial cornu uteri sebelah kiri dan diturunkan vertikal untuk ditusukkan dari sisi anterior uterus pada bidang yang sama seperti sisi kanan sampai akhirnya jarum keluar dari cavum uteri
menuju dinding anterior uterus 3 cm di bawah irisan dan 3 cm dari tepi lateral SBR kiri. Dilakukan penjahitan untuk menutup irisan SBR. Dua ujung benang jahitan B-Lynch ditarik, bersamaan dengan perawat mengerjakan kompresi
uterus bimanual, perawat lain melakukan evaluasi perdarahan pervagina. Bila perdarahan tidak ada maka dilakukan pengikatan benang pada SBR anterior.
Pada pasien dengan plasenta previa, bisa dilakukan jahitan angka 8 (figure of 8) yang terpisah secara lebih dulu pada area anterior, posterior, atau
keduanya sebelum jahitan B-Lynch
rekayasa B-Lynch dengan tehnik operasi yang lebih sederhana, efektif , dan mudah dilakukan sehingga waktu yang diperlukan untuk mengatasi nya lebih cepat, tehnik ini kemudian dinamakan “Jahitan rekayasa ”.
Salah satu hal yang penting untuk menanganani keadaan darurat seperti syok sebab perdarahan sesudah persalinan yaitu kecepatan dari tindakan yang
dilakukan dan metode ini memenuhi syarat untuk kriteria itu . Penelitian dengan metode ini melibatkan 12 peristiwa operasi konservasi uterus pada PPP sesudah gagal dengan mengatasi medikamentosa ataupun mekanis dengan tampon. Dari 12 peristiwa , 8 peristiwa dilakukan jahitan rekayasa sedang sisanya dengan metode B-Lynch. Semua peristiwa yang dilakukan dengan
rekayasa berhasil dihentikan perdarahannya dalam waktu kurang dari 5 menit, sedang 4 peristiwa PPP yang dilakukan dengan metode B-Lynch ada 2 peristiwa yang gagal dan akhirnya dilakukan histerektomi. Penjahitan
uterus metode dilakukan dengan 3 jahitan longitudinal memakai benang chromic catgut no. 2 dan jarum yang dipakai yaitu jarum lurus atau jarum lengkung yang sudah diluruskan secara manual. Jahitan dimulai
dari SBR bagian depan sebelah kanan kemudian benang dilingkarkan ke atas sampai ke fundus uteri, kemudian dilakukan jahitan kedua dengan jarum.dan benang baru pada sisi kontra lateral dan yang terakhir di antara kedua
jahitan itu . perawat melakukan penekanan (kompresi) uterus ke arah anterior inferior dan ketiga benang dilakukan pengikatan secara terpisah satu demi satu sehingga uterus tetap tertekuk ke anterior inferior
secara mekanis. Dengan ikatan ini rongga rahim akan tertutup dan saling .menempel sehingga perdarahan segera berhenti. Langkah-langkah tehnik operasi jahitan rekayasa untuk PPP, antaralain :
1. Uterus di-eksteriorisasi dari rongga perut sesudah dilakukan irisan di dinding perut bila PPP sesudah persalinan pervaginam atau sesudah dilakukan penjahitan pada irisan SBR bila PPP terjadi pada pascaseksio sesar.
2. perawat memegang corpus uteri sebelah kanan dan kiri, kemudian menarik uterus ke arah cranial sehingga dinding SBR menjadi lebih tipis.
3. Jahitan pertama dilakukan pada ± 2 cm di bawah jahitan irisan SBR sesudah operasi sesar atau pada bidang yang sejajar dengannya bila pada PPP sesudah persalinan pervaginam.
4. Jarum ditusukkan dari ventral menembus dinding uterus sampai keluar dari dinding dorsal SBR, benang jahitan dibawa ke atas fundus dan diklem.
5. Jahitan kedua dilakukan seperti pada jahitan pertama namun pada sisi kontralateral dengan memakai benang yang baru.
6. Jahitan ketiga juga dengan benang yang baru dijahitkan di antara kedua jahitan.
7. perawat yang awalnya menarik uterus, sekarang disarankan untuk melakukan kompresi uterus ke arah anterior inferior (kaudal) sehingga posisi uterus menjadi antefleksi.
8. Operator melakukan pengikatan jahitan di area fundus ± 3 cm dari tepi lateral sedemikian rupa sambil perawat tetap mempertahankan posisi antefleksi uterus. Demikian juga pada ikatan kontralateral dan bagian yang tengah. Dengan 3 ikatan kompresi ini maka kompresi awal yang
dilakukan oleh perawat bisa digantikan oleh ikatan ke 3 benang ini.
9. Untuk menganalisa efek pengikatan kompresi uterus, sebelum dinding perut ditutup dilakukan pemeriksaan perdarahan pervaginam dengan cara ibu diposisikan litotomi dan perawat yang lain memeriksa vagina apakah masih ada perdarahan. Bila tidak diperoleh perdarahan yang mengalir, berarti tehnik penjahitan berhasil dan
dinding perut ditutup, bila masih perdarahan banyak berarti tehnik penjahitan tidak berhasil, maka perlu dilakukan tindakan operasi yang kemudian , yaitu ligasi arteri hypogastrica atau histerektomi
Komplikasi perdarahan pascasalin beragam , dari yang ringan sampai berat. Komplikasi yang bisa terjadi yaitu hipotensi ortostatik, kelelahan, anemia (risiko transfusi darah), depresi (postpartum blues), sindroma
Sheehan (iskemia kelenjar hipofisis anterior), edema paru, gagal jantung, gagal ginjal, gangguan faal pembekuan darah, dan syok perdarahan sampai kematian .
1.000 pasien anak-anak mengalami kritis berwujud henti jantung setiap tahunnya. sebagai akibat dari gagal napas yang progresif, gagal sirkulasi atau keduanya. Pada pasien yang lebih muda, penelitian yang mengevaluasi anak-anak yang mengalami henti jantung memiliki harapan hidup 10%, yang mana 65% dari pasien itu memiliki luaran neurologis yang baik. bahwa pasien yang mengalami henti jantung di rumah sakit memiliki harapan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan pasien henti
jantung di luar rumah sakit ,Kondisi kritis pada bayi dan anak bisa dipicu oleh beberapa faktor yang bergantung pada usia. Pada bayi baru lahir pemicu terbanyak yaitu gagal napas, sedang pada masa bayi pemicu nya
antara lain sindrom bayi mati mendadak (SIDS/Sudden Infant Death Syndrome), penyakit pernapasan, sumbatan saluran napas (termasuk benda asing), tenggelam, sepsis, renjatan, dan penyakit neurologis. Pada anak lebih dari
1 tahun selain penyakit infeksi, renjatan, pemicu terbanyak lain yaitu cedera senjata api, tenggelam ,cedera, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan sepeda, luka bakar, Sebagian besar peristiwa kritis pada anak yang memicu henti jantung sering dipicu oleh hipoksia, pada anak jarang ditemui gangguan primer jantung yang bisa memicu henti jantung mendadak. Hipoksia jaringan bisa berawal dari gagal napas dengan kurangnya
oksigenasi yang kuat atau terjadi hipoperfusi berat yang dipicu oleh gagal sirkulasi. Gagal napas dan gagal sirkulasi yang tidak teratasi dengan baik, ditambah kondisi anak yang semakin memburuk, memicu munculnya henti napas dan sirkulasi , Penilaian kritis pada bayi dan anak yang sakit berat sering tidak mudah. Gangguan sistem respirasi dan sirkulasi pada bayi dan anak bisa memburuk dalam waktu singkat. Diperlukan penilaian yang cepat dan terintegrasi untuk membuat keputusan terapi dalam waktu cepat tanpa atau
dengan adanya pengalaman klinis perawatan anak-anak yang sakit kritis
Penilaian umum pengawasan cepat (< 60 detik) dengan memakai Pediatric Assesment Triangle (PAT) yaitu penilaian kritis tanpa memegang anak yang berdasar pada 3 komponen klinis yaitu :Circulatory status/status sirkulasi,Appearance/penampilan,Breathing/pernapasan
Penampilan anak antaralain: penilaian tonus otot, status mental, dan petunjuk sistem respiratorik, sirkulasi dan fungsi otak yang kuat . Penampilan anak sering yaitu cerminan kecukupan ventilasi dan oksigenasi otak. Namun demikian beberapa keadaan lain, bisa pula
mempengaruhi penampilan anak seperti hipoglikemi, keracunan, infeksi otak, perdarahan atau edema otak atau juga penyakit kronik pada susunan saraf pusat ,
Penampilan anak bisa dinilai dengan beberapa skala. Metoda “Ticles” antaralain: penilaian tonus (T = Tone), interaksi (I = Interactiveness), konsolabilitas
(C = Consolability), cara melihat (L = look/Gaze), dan berbicara atau menangis (S=Speech/cry).
Apakah anak fokus pada pasien atau objek di lingkungannya atau pandangan mata tidak fokus? Tatapan yang tidak tanggap , pandangan kosong menandakan gangguan status mental (kesadaran).
Apakah menangis nyaring dan kuat atau lemah? Tangisan lemah yaitu tanda penting penyakit serius. suara serak atau redup menandakan obstruksi saluran napas atas. Kita harus waspada pada anak yang lemas, tidak interaktif, lesu, dan menangis lemah
Bagaimana tonus otot bayi, baik, atau lumpuh? Apakah
anak bergerak aktif atau menolak pemeriksaan? Pada anak yang sakit kritis sering ditemui tonus otot yang menurun atau tampak lemas dan lemah.
Apakah anak bergerak dan interaktif, atau
acuh tak acuh pada lingkungan? Anak yang meraih mainan atau menandakan kecemasan pada lingkungan baru namun sesuai dengan perkembangannya tidak mengkhawatirkan, lain halnya bila anak tidak tanggap pengasuh atau tidak menolak saat dilakukan pemeriksaan fisik lengkap. Apakah suara mempengaruhi nya?Apakah anak bisa ditenangkan atau dialihkan perhatiannya oleh pasien tua atau pengasuh? Atau anak
menangis terus? Menangis mungkin yaitu gejala non menonjol yang tidak menandakan kecemasan atau rasa lapar, bukan rasa tidak nyaman yang hebat.
Anak yang memiliki gangguan oksigenasi dan atau ventilasi mungkin memiliki masalah pernapasan, ini ditunjukkan dengan naiknya usaha bernapas. Penurunan usaha napas tampak saat pasien tampak kelelahan
berisiko mengalami gagal napas dan henti napas. sifat hal yang dinilai yaitu :
Pasien bayi dan anak dengan oksigenasi atau
ventilasi yang tidak kuat sering memakai otot napas tambahan (kelompok otot supraklavikula, interkosta, dan atau substernum) untuk meningkatkan volume tidal sehingga memperbaiki ventilasi semenit. Retraksi terjadi sebab pemakaian otot napas tambahan, baik
supraklavikula, interkostal, dan atau substernum.
Head bobbing (ekstensi kepala saat inhalasi dan bergerak ke depan saat ekshalasi) dan napas cuping hidung yaitu penunjuk lain pemakaian otot napas tambahan dan munculnya distres napas ,
Suara napas tidaknormal yang bisa didengar tanpa
stetoskop sering yaitu tanda munculnya distress napas. Contohnya stridor, mendengkur, merintih, dan mengi.
Agar jalan napas lebih bebas saat terjadi obstruksi, anak mungkin memposisikan diri dengan posisi menghidu/“sniffing position“ (leher fleksi, kepala sedikit ekstensi) untuk meluruskan poros saluran napas
dan memperbaiki aliran udara. Untuk anak yang lebih besar, posisi tripod - anak duduk dan condong ke depan, dengan kedua lengan bertumpu di samping sehingga tampak lebih nyaman.
halaman 4
Pucat atau sianosis yaitu salah satu tanda munculnya hipoksemia atau gangguan perfusi ke kulit. Waktu pengisian kapiler yang buruk atau kulit yang teraba dingin juga menandakan keadaan perfusi yang buruk. Suhu
lingkungan yang dingin bisa memicu vasokonstriksi perifer pada anak sehat yang memicu tampak bercak kebiruan (mottling) di kulit anak dengan sirkulasi normal. Acrocyanosis (sebagai akibat instabilitas vasomotor)
mungkin yaitu kondisi normal pada anak berusia < 2 bulan ,sesudah dilakukan penilaian umum, pengawasan awal cepat < 1 menit (PAT) dan pemberian terapi pendukung awal yang cepat , dilakukan pemeriksaan fisik
menyeluruh, susaha bisa mengidentifikasi kondisi yang mendasarinya dan memberi penanganan cepat ,
Berat badan akurat mungkin tidak bisa diperiksa pada anak yang memerlukan campurtangan berdasar berat badan seperti pemberian obat dan resusitasi cairan. Metode untuk memperkirakan berat badan sebagai berikut:
a. Formula perhitungan berat badan berdasar usia, yaitu BB (kg) = 2
(usia dalam tahun + 4)
b. Pengukuran panjang badan dengan pita Broselow. Metode ini kurang akurat dibanding berat badan aktual anak terutama bila berat badan > 25 kg. sebab banyak obat resusitasi memiliki volume penyebaran berkaitan
dengan berat badan kering, maka formulasi penghitungan estimasi berat badan penting bila berat badan tidak bisa diukur Penilaian pertama
Pemeriksaan fisik pertama mencakup hal berikut ini:
-derajat kesadaran memberi petunjuk penting perfusi otak. Derajat kesadaran bisa dipilah secara cepat memakai skala AVPU (A = alert/siaga-waspada, V = verbal/tanggap pada perintah
verbal, P = pain/tanggap pada rangsang nyeri, dan U = untanggap ive/tidak menanggapi pada rangsang fisik. Status mental yang tidaknormal bisa dipicu oleh pemicu nonneurologi (seperti hipoksia atau syok hipovolemik) atau sebab gangguan neurologi primer. Diperiksa
juga ketidaknormalan tanggap pupil, gerakan ekstraokuli atau gangguan aktivitas motorik.
-pemeriksaan kulit bisa memberi informasi status sirkulasi pasien bayi dan anak, sesuai dengan kondisi khusus yang mendasarinya. Contohnya, petekie atau purpura menandakan proses infeksi seperti
meningokokseia sementara urtikaria mungkin menandakan munculnya anafilaksis
-laju napas dan pola napas harus diamati. Pemeriksaan auskultasi untuk mengevaluasi suara saluran napas atas atau bawah, suara napas simetri atau tidak.
- denyut jantung, tekanan darah, dan evaluasi perfusi organ akhir memberi evaluasi yang lebih cepat mengenai status sirkulasi anak. Suara jantung tidaknormal (seperti irama gallop atau murmur) bisa menandakan kelainan jantung seperti gagal jantung.
Bila ada ketidaknormalan atau gangguan pada pemeriksaan PAT maka anak yang sakit kritis memerlukan campurtangan segera
Pemberian oksigen harus selalu dipikirkan pada setiap anak yang tampak sakit berat menurut penilaian PAT. Sebagai acuan umum, setiap pasien bayi dan anak dengan dua atau lebih ketidaknormalan pada PAT memerlukan terapi oksigen. Sebagian besar pasien dengan saturasi oksigen SpO2 ≤ 94% harus diberi suplementasi oksigen ,Pada anak yang bernapas spontan, pemberian oksigen konsentrasi rendah bisa diberikan dengan memakai nasal kanul atau sungkup wajah sederhana. Sungkup wajah nonrebreathing dengan reservoir dipakai untuk pemberian oksigen kadar tinggi. Pulse oximetry harus dipakai untuk memantau pasien yang memperoleh terapi oksigen ,
Anak yang mengalami apnea atau bradipnea memerlukan bantuan ventilator. Pemberian dukungan ventilator sebaiknya didahului dengan pemberian ventilasi balon-sungkup (Bag Mask Ventilation/BMV). Intubasi
endotrakea mungkin diperlukan pada pasien dengan keadaan yang diperkirakan tidak bisa membaik dengan segera
Pasien bayi dan anak dengan perfusi tidak kuat yang tampak dari penurunan status mental perfusi kulit yang buruk, waktu pengisian kapiler memanjang dan atau diperoleh ketidaknormalan tanda vital (takikardi dan
takipnea) dianggap mengalami renjatan. Akses vaskular harus segera tersedia dan dilakukan resusitasi cairan. Pada keadaan ini pengobatan awal renjatan harus segera diberikan pemantauan Anak yang mengalami sakit kritis memerlukan penilaian klinis yang berulang dan dilakukan pemantauan tanda vital terus menerus, terutama
denyut jantung dan pulse oximetry. ini penting untuk mengevaluasi efek tata laksana dan identifikasi penurunan keadaan ,Pasien bayi dan anak yang mengalami kondisi gawat darurat berisiko mengalami henti napas dan henti jantung. Pasien yang memperoleh resusitasi bantuan hidup lanjut memiliki risiko kematian yang lebih tinggi. Interval
waktu saat melakukan resusitasi yaitu prediktor kematian dan harapan hidup. Resusitasi yang dilakukan lebih dari 20 menit memiliki risiko kematian 48%
Pasien yang mengalami gawat darurat yang tidak segera ditangani berisiko terjadi henti napas dan henti jantung. Beberapa penelitian mengemukakan hubungan dengan insiden kerusakan otak dengan henti jantung, yaitu
semakin lama bayi mengalami henti jantung, semakin berat kerusakan otak yang akan dialaminya. Hal itu disebab kan henti jantung yang lama memicu tidak kuat nya Cerebral Perfusion Pressure (CPP) yang
kemudian akan berdampak pada kejadian iskemik yang menetap dan infark kecil di suatu bagian otak. Komplikasi yang berat yaitu kematian otak dan kegagalan multiorgan
Batuk darah dan serangan asma yaitu salah satu faktor yang memicu seseorang yang datang ke rumahsakit bahkan unit gawat darurat untuk mencari pertolongan. Seseorang yang yang mengalami batuk saja walaupun berlangsung lama, akan cenderung mengabaikan keluhan itu atau sudah lazim di masyarakat menganggap sebagai batuk biasa. Namun begitu mengalami batuk darah walaupun hanya ditemukan sebagai bercak darah sedikit bercampur dalam dahak, hal itu sudah mampu membuat
seseorang yang itu takut dan segera ke rumahsakit untuk mencari pertolongan.Pada kejadian batuk darah, selain bisa memicu gangguan hemodinamik (jika perdarahan masif), batuk darah (hemoptisis) masif juga
bisa mengganggu pertukaran udara di alveoli dan bisa menimbulkan gangguan asfiksia yang angka mortalitasnya cukup tinggi. Angka kejadian hemoptisis sekitar 3-14% namun harus ditanggap sebagai peristiwa mengancam jiwa yang memerlukan mengatasi khusus. penanganan cepat akan bisa mengurangi angka mortalitas kejadian batuk darah ,Perbedaan etiologi hemoptisis terkait letak geografis terutama dipengaruhi tingginya angka kejadian tuberkulosis di suatu negara. pemicu pertama hemoptisis di negara-negara Barat yaitu keganasan dan kelainan nontuberkulosis lainnya
tuberkulosis paru yaitu penyakit terbanyak yang mendasari hemoptisis ,.Selain batuk darah, serangan asma/asma akut juga yaitu salah satu pemicu pertama peristiwa kritis dan rawat inap di sebagian besar penjuru dunia dan yaitu salah satu alasan pertama pasien untuk
mencari pertolongan. beberapa strategi dikerahkan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian yang dimunculkan nya. walau pemahaman mengenai
patofisiologi dan pilihan farmakologi meningkat, namun komplikasi itu masih tetap saja terjadi. Asma yaitu penyakit yang umum dan berpotensi menjadi kronik
yang serius dan membebani pasien, keluarga, dan komunitas. Asma akan memicu gejala respirasi, keterbatasan aktivitas, dan kekambuhan yang memerlukan rumahsakit dan kemungkinan akan berakibat fatal. Asma memicu munculnya keluhan mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik itu berkaitan dengan obstruksi jalan napas yang beragam ,
arti eksaserbasi asma atau bisa dinamakan serangan asma (asthma attack), asma akut atau flare up yaitu suatu episode perburukan gejala atau fungsi paru.
Asma yaitu penyakit yang umum dan berpotensi menjadi penyakit kronis yang serius. Asma bisa dikendalikan namun tidak bisa disembuhkan. Inflamasi itu bersifat persisten walau gejalanya bersifat episodik. Hambatan aliran udara pada asma dipicu oleh beberapa perubahan dalam saluran napas seperti berikut :
Bronkokonstriksi ,Airway remodelling ., Edema saluran napas/penebalan dinding saluran napas.naiknya sekresi mukus dan airway hypertanggap iveness,
Inflamasi kronis pada asma memicu suatu proses kerusakan jaringan yang akan diikuti oleh suatu proses penyembuhan dan siklus ini akan terjadi terus menerus sehingga muncul suatu keadaan perubahan struktur yang dinamakan airway remodelling. Perubahan struktur yang muncul akan makin meningkatkan hambatan aliran udara saluran napas dan bisa memicu pasien kurang tanggap pada pengobatan
Eksaserbasi asma yaitu suatu episode perburukan gejala baik akut maupun sub-akut. Pemicu paling sering yaitu bakteri (M. Pneumoniae, C. Pneumoniae), alergen, polutan (seperti SO2, NO2, O3, dan partikulat), krisis emosi, maupun obat (aspirin, NSAID, beta-adrenergik blocker). bahwa adanya antibodi IgE menonjol dari C. pneumoniae memfasilitasi keluarnya mediator yang menimbulkan bronkospasme, dan inflamasi saluran napas. walau infeksi teratasi, stimulasi antigen IgE menonjol terus berlangsung sehingga pada beberapa
pasien bisa mengalami tahap akut yang lebih lama dan tidak tanggap pada bronkodilator dan steroid. Antigen mayor C. pneumoniae yaitu heat-shock protein 60 (cHSP60). Mycoplasma pneumoniae akan menurunkan inflamasi saluran napas melalui jalur Th2 dan neuropeptida. Yang menarik, diketahui bahwa pasien asma dengan infeksi M. Pneumoniae akan meningkatkan kadar neurokinin-1 yang memicu penurunan tanggap pada antibiotik macrolide
Selain itu ada beberapa faktor lain yang turut berperan dalam muncul nya asma akut yang fatal, antara lain :
-Riwayat pemakaian kortikosteroid oral sebagai pengendali .Eksaserbasi biasanya terjadi secara progresif, namun pada beberapa kejadian bisa berlangsung secara akut dan biasanya ditambah tanda
distress napas. sifat eksaserbasi ditandai dengan penurunan aliran udara ekspirasi yang bisa diketahui dengan mengukur FEV1 atau PEF.
- kendalikan asma yang jelek
-Riwayat rawat inap akibat asma sebelumnya, termasuk perawatan ICU dan intubasi-. Disfungsi psikologis (psikosis, kecemasan, depresi) -ekonomi-Perokok, obesitas, eosinofilia dalam darah.. Pemakaian bronkodilator dengan dosis yang makin meningkat termasuk juga pemakaian obat inhalasi namun dengan tehnik pemakaian yang kurang cepat
Hasil pemeriksaan ini lebih reliable dibanding derajat gejala, sebab pada sebagian pasien mengalami penurunan faal paru namun tidak merasakan gejala Eksaserbasi juga bisa berlangsung secara singkat dan
gejala berkurang spontan jika agent pemicu disingkirkan. Bila stimulus berlangsung intensif, maka gejala bisa berlangsung lebih lama, namun masalah ini , gejala bisa menanggapi baik dengan pemberian bronkodilator. Alasan yang bisa menjelaskan berkembangnya gejala asma secara persisten sampai saat ini belum bisa diungkapkan secara pasti ,Mekanisme seluler dan molekuler yang mendasari munculnya eksaserbasi
sudah diusahakan untuk diungkap secara jelas meski belum lengkap untuk dipahami. Secara garis besar mekanisme itu muncul akibat interaksi antara agent pemicu dengan sel-sel inflamasi yang memicu makin
beragam nya mediator inflamasi dan sitokin. Sel yang berperan pada muncul nya gejala akut yaitu sel mast dan sel epithelial bronkial. Beberapa mediator yang dilepaskan sel mast antara lain histamin, bradikinin, leukotrien
C, D, dan E, platelet-activating factor, prostaglandin (PG) E2, F2 alpha, dan D2 yang dirilis secara intens. Interaksi itu akan membangkitkan muncul nya kontraksi otot polos saluran napas dan edema mukosa. Leukotrien juga akan meningkatkan produksi mukus dan melemahnya transport mukosilier. Faktor-faktor kemotaktik (eosinophil, neutrophil chemotactic factor of anaphylaxis, dan
leukotrien-B4) memicu sel-sel inflamasi akan bergerak menuju tempat reaksi. Epitel saluran napas akan semakin mengamplikfikasi bronkokonstriksi dengan adanya endothelin-1 dan mempromosikan adanya
vasodilatasi dengan dirilisnya NO, PGE2, dan 15-hydroxyeicosotetraenoic acid yang yaitu produk metabolisme asam arakidonat. akan membangkitkan sitokin seperti granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), interleukin-8, RANTES dan eotaxin ,diagnosa dan Manifestasi Klinis Serangan Asma
biasanya , seseorang yang yang sedang mengalami asma akut, secara simultan akan mengalami gejala batuk, dyspnea, dan wheezing. bahwa 15% pasien asma akut tidak merasakan sesak napas, namun hanya merasakan batuk dan diperoleh wheezing. Beberapa yang
lain malah hanya merasakan sesak napas atau batuk
Pemeriksaan fisik yang terkait dengan obstruksi saluran napas akut antara lain takikardi, takipnea, mengi, hiperinflasi thoraks, pemakaian otot aksesori pernapasan, pulsus paradoksus, diaphoresis. Pasien biasanya
menyadari muncul nya serangan asma ini jika FEV1 sudah mencapai 55% atau lebih dari nilai normal atau saat residual volume mencapai hingga 200% nilai normal. Suatu fakta dalam penelitian, diperoleh hasil, 90% pasien yang merasa dirinya asimtomatik, ternyata 40% dari mereka diperoleh wheezing ,Adanya naiknya airway resistance pada akhirnya akan menimbulkan
penurunan FEV dan flow rate, hiperinflasi paru dan hemithoraks, naiknya work of breathing, perubahan elastic recoil. ini memungkinkan munculnya perubahan penyebaran ventilasi dan perfusi yang pada akhirnya akan terjadi perubahan kadar gas darah arterial. Pola khas gas darah pada saat tahap akut asma terjadi yaitu hipoksemia, hiperventilasi, dan alkalosis respiratorik.
Retensi karbondioksida akan muncul pada keadaan yang tidak teratasi atau bila FEV1 turun hingga 17 - 24% dari normal. Pada peristiwa obstruksi yang .berat, wheezing malah tidak terdengar (silent chest) dan asidosis metabolik bisa muncul akibat pemberian simpatomimetik yang agresif,
pengobatan serangan asma/asma eksaserbasi dimulai dengan penilaian derajat serangan dan untuk itu diperlukan suatu ukuran objektif yang bisa dipakai untuk memberi penilaian terkait dengan obstruksi saluran
napas, fungsi jantung dan memastikan kuat tidaknya pertukaran gas dengan melihat saturasi oksigen. Evaluasi pasien secara cepat yaitu suatu hal penting dan membantu jika ada suatu algoritma bertindak yang memungkinkan tidak ada hal penting yang terlewatkan. Namun, pada keadaan serangan berat, pemberian oksigen dan bronkodilator harus didahulukan ,
Evaluasi pada faktor risiko juga harus diperhatikan, antara lain dari riwayat penyakit yang ada. Salah satu prediktor kuat yang berpotensi menimbulkan serangan asma yang fatal yaitu riwayat rawat inap termasuk
perawatan intensif dan riwayat ventilasi mekanik akibat asma. Pasien yang memiliki riwayat itu perlu pengawasan secara ketat selama 1 - 2 jam pertama tiba di unit gawat darurat. Riwayat kendalikan asma yang jelek,
overdependent pada rapid-acting inhaled β2 agonist juga memerlukan terapi yang lebih agresif. Faktor psikososial juga berpengaruh pada kendalikan asma yang jelek dan berpotensi fatal. Kegagalan dokter dalam menganalisa derajat serangan asma dan memulai terapi yang lebih agresif bisa memberi output yang jelek mengatasi serangan asma yang tidak cepat antara lain penilaian berat serangan di darurat gawat yang tidak cepat dan berakibat pada pengobatan yang tidak kuat , memulangkan pasien terlalu dini dari darurat gawat,
pemberian pengobatan (saat pulang) yang tidak cepat , penilaian tanggap pengobatan yang kurang cepat memicu tindakan kemudian menjadi tidak cepat . Kondisi mengatasi itu di atas memicu perburukan
asma yang menetap, memicu serangan berulang dan semakin berat sehingga berisiko jatuh dalam keadaan asma akut berat bahkan fatal ,Beberapa kemungkinan penyakit lain yang mirip asma akut juga
harus diwaspadai. Berikut ini diantaranya
keadaan yang mirip asma akut/serangan asma
Edema paru,PPOK eksaserbasi akut,Reaksi Konversi Histerik, Aspirasi benda asing,Obstruksi jalan napas atas, Syndroma Dysfungsi Korda Vokalis,
Penilaian dan evaluasi derajat berat serangan bisa dipakai untuk membantu penentuan setting pengobatan asma akut, yaitu community setting (di rumah maupun non Yankes) atau acute care setting (pengobatan
di rumah sakit). dibawah ini yaitu pembagian derajat serangan asma berdasar gejala dan tanda yang ditemukan
Evaluasi pada pasien eksaserbasi di rumah sakit harus segera dilakukan. Evaluasi antaralain: fungsi paru (FEV1, FVC, PEFR, pulse oxymetry), pemeriksaan fisik (tanda vital, kesadaran, pemakaian otot napas bantuan, auskultasi thoraks), laboratorium (analisis gas darah, darah rutin termasuk hitung jenis, rongent thoraks, EKG, elektrolit). Foto rongent thoraks diperlukan jika tidak ada tanggap terapi untuk mencari kemungkinan suatu proses
kardiopulmoner atau mencari kemungkinan suatu proses parenkim maupun kemungkinan komplikasi yang mungkin muncul seperti pneumothoraks. Pasien serangan asma sedang-berat yang memiliki faktor risiko tertentu harus dipemantauan secara ketat paling tidak antara 1 hingga 2 jam pertama walau kondisi yang terlihat tampak membaik dengan terapi awal. tanggap
dini pada pemeriksaan Volume Ekspirasi Paksa detik 1 ( FEV1) atau Angka Puncak ekspirasi (PEF) pada menit ke-30 dan 60 sesudah terapi awal yaitu prediktor terbaik
Pengobatan yang diberikan antara lain antaralain: oksigenasi, inhalasi β2 agonist kerja singkat, glukokortikoid sistemik. Suplementasi oksigen harus
diberikan pada pasien serangan asma sebab hipoksia yaitu pemicu pertama kematian pada peristiwa asma akut. Saturasi oksigen dipertahankan minimal 92 - 96% (pada anak-anak 94 - 98%). walau naiknya ringan
pCO2 bisa muncul sebagai tanggap terapi oksigen, ini tidak secara penting pada konsekuensi klinis ,
β2 agonist kerja singkat yaitu medikasi lini pertama pada
serangan asma. Pemberian secara inhalasi yaitu pilihan pertama. Pemberian secara injeksi dipertimbangkan jika pada pasien sulit dilakukan inhalasi atau jika tidak tanggap dengan pemberian secara inhalasi. walau
Ipratropium bromida, suatu bronkodilator antikolinergik kerja singkat, memiliki onset yang lebih lambat dibandingkan β2-adrenergik, suatu randomized
controlled trial dan meta analisis menandakan bahwa kombinasi kedua obat ini memberi perbaikan fungsi paru dan menurunkan angka rawat inap dibandingkan dengan pemberian β2-adrenergik tunggal. Ipratropium bromide bisa ditambahkan bila serangan asma termasuk
kategori berat atau katergori ringan/sedang namun tidak ada perbaikan sesudah diberikan SABA saja. Pemberian Long-Acting Beta 2 Agonist pada keadaan eksaserbasi tidak disarankan Kortikosteroid oral bisa diberikan sejak awal pada serangan ringan/sedang , sedang Kortikosteroid sistemik harus diberikan pada semua derajat eksaserbasi, kecuali pada serangan ringan. Pada keadaan itu , glukokortikoid sistemik diberikan jika :
- tidak tanggap dengan inhalasi β2 agonist
- eksaserbasi yang muncul pada pasien dengan pemakaian glukokortikoid oral sebelumnya.
Magnesium sulfat intravena tidak disarankan secara rutin
pada asma eksaserbasi, namun dalam keadaan serangan asma berat yang tidak menandakan tanggap pada pemberian maksimal β2-agonis dan kortikosteroid sistemik, justru disarankan sebab pertimbangan
efikasi, keamanan, dan murah. Nebulisasi salbutamol dengan magnesium sulfat isotonis memberi keuntungan lebih dibandingkan nebulisasi salbutamol dengan normal saline. Beberapa terapi lain yang dipakai pada
eksaserbasi yaitu helium-oksigen, leukotriene modifier. Pemakaian sedatif tidak disarankan sebab dampak depresi otot napas ,Pada pasien yang mengalami perburukan atau tanda-tanda gagal napas, maka intubasi dan perawatan di ruang intensif yaitu suatu tindakan
yang harus dilakukan. Pemberian antibiotika dipertimbangkan jika ada kecurigaan suatu infeksi bakterial yang dimiliki . biasanya pemicu infeksi pemicu eksaserbasi asma yaitu virus. Bagaimana dengan rehidrasi? The Expert Panel dari American Academy of Allergy, Asthma dan Immunology dan the American Thoracic Society tahun 2009 tidak menyarankan hidrasi agresif untuk dewasa dan anak kelompok usia tinggi, namun perlu ditekankan pada bayi dan kelompok anak usia muda
yang lebih memungkinkan muncul dehidrasi sebab kombinasi naiknya frekuensi napas dan penurunan intake oral
Pasien yang tanggap terapi dengan baik, sebaiknya dipengawasan selama 60 menit untuk memastikan stabilitas tanggap ,pasien bisa dipulangkan jika VEP1 atau APE minimal 70% prediksi atau nilai terbaik
personal. Pada pasien sebaiknya diberikan kortikosteroid sistemik (oral) selama 3 - 10 hari sesudah pemulangan . Pasien dengan kecenderungan kepatuhan yang rendah, injeksi kortikosteroid depo intramuskuler lebih efektif dibandingkan pemberian per oral. Tidak boleh dilupakan yaitu memberi edukasi pada pasien Komplikasi yang bisa dimunculkan akibat serangan asma antara lain gagal napas, pneumothoraks, dan pneumomediastinum.
batuk darah dinamakan hemoptoe atau hemoptysis.
Hemoptysis berasal dari bahasa Yunani yaitu haima yang berarti darah dan ptysis yang berarti diludahkan.
Menurut kamus kedokteran Dorland, hemoptysis atau batuk darah yaitu ekspektorasi darah atau mukus yang berdarah. perdarahan yang terjadi harus berasal dari
saluran napas bagian bawah (dari glottis ke bawah), bukan berasal dari saluran napas bagian atas atau saluran pencernaan. Jadi perlu dibedakan antara batuk
darah dan muntah darah berdasar jumlah darah yang keluar, Pursel membagi batuk darah menjadi:
Derajat 1 : bloodstreak,2 : 1 - 30 cc ,3 : 30 - 150 cc
, 4 : 150 - 500 cc, Massive : 500 - 1000 cc atau lebih.
Batuk darah yaitu suatu gejala atau tanda dari suatu penyakit. Volume darah yang dibatukkan beragam dan dahak bercampur darah dalam jumlah minimal hingga masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi
perdarahan. Batuk darah atau hemoptisis yaitu ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar
melalui saluran napas bawah laring. Batuk darah lebih sering yaitu tanda atau gejala dari penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti. Batuk darah masif bisa digolongkan
berdasar volume darah yang dikeluarkan pada periode tertentu. Batuk darah masif memerlukan mengatasi segera sebab bisa mengganggu pertukaran gas di paru dan bisa mengganggu kestabilan hemodinamik
pasien sehingga bila tidak ditangani dengan baik bisa berbahaya ,Batuk darah perlu dibedakan dengan muntah darah. Kadang pasien sulit membedakan antara kedua keluhan itu sehingga kita perlu menanyakan beberapa hal untuk bisa menentukan darah yang keluar lewat mulut itu
batuk darah atau muntah darah. Sirkulasi darah paru berasal dari 2 sistem sirkulasi yaitu sirkulasi
pulmoner dan sirkulasi bronkial. Arteri bronkial biasanya tidak tervisualisasi pada aortografi pada pasien tanpa penyakit paru. 80% individu memperlihatkan
petunjuk intercostobronchial trunk (ICBT) saat dilakukan pemeriksaan angiografi, petunjuk ICBT sering ditemui pada sisi posterolateral aorta sedang letak normal arteri bronkial pada sisi anterolateral aorta kanan dan kiri. Diameter normal arteri bronkial kurang dari 1,5 mm dan ukurannya 0,5 mm saat masuk ke dalam segmen bronkopulmoner ,Sumber perdarahan hemoptisis bisa berasal dari sirkulasi pulmoner atau sirkulasi bronkial. Hempotisis masif sumber perdarahan biasanya
berasal dari sirkulasi bronkial (93%). Sirkulasi pulmoner mengalirkan darah ke alveol dan duktus alveol, sistem sirkulasi ini bertekanan rendah dengan dinding pembuluh darah yang tipis. Sirkulasi bronkial mengalirkan darah
ke trakea, bronkus pertama sampai bronkiolus dan jaringan penunjang paru, esofagus, mediastinum posterior, dan vasa vasorum arteri pulmoner
Patogenesis munculnya perdarahan berbeda tiap proses patologik tertentu :
- infeksi kronik akibat inflamasi sehingga terjadi pembesaran dan proliferasi arteri bronchial contoh : bronkiektasis, aspergilosis atau fibrosis kistik.
Mukosa bronkus yang sembab mengalami infeksi dan trauma batuk memicu perdarahan. bisa pula terjadi anastomosis antara pembuluh darah bronkhial dan pulmonal dan juga terjadi aneurisma, bila pecah teriadi perdarahan. Pada bronkiektasis juga bisa memicu
pembuluh darah pecah dari jaringan granulasi pada dinding bronkus yang mengalami ektasis.
Pada infeksi jamur bisa terjadi friksi pada pergerakan mycetoma dan terjadi pelepasan antikoagulan dan enzim proteolitik yang mirip tripsin dari jamur
-kanker paru akibat pembuluh darah yang terbentuk rapuh sehingga mudah berdarah.pemicu batuk darah beragam.
-bronkitis akibat pecahnya pembuluh darah superfisial di mukosa yang sembab dan pecah akibat terkena tekanan batuk yang keras.
-TB paru akibat aneurisma arteri pulmoner yang ruptur (dinding kaviti “aneurisma Rassmussen”) atau akibat pecahnya anastomosis bronkopulmoner atau proses erosif pada arteri bronkialis.
sebanyak 100 pasien hemoptisis rawat inap rumahsakit amerika diperoleh mengidap TB paru 75 %, bekas TB paru 16%, dan bronkiektasis 7%. pengobatan
hemoptisis masif memerlukan mengatasi khusus agar tidak berakibat fatal dengan angka mortaliti hemoptisis masif 75% dipicu oleh asfiksia ,
Tujuan pengobatan batuk darah antaralain: mencegah aspirasi, menghentikan perdarahan, dan pengobatan penyakit pemicu batuk darah. mengatasi awal pasien batuk darah antara lain :
- Pemberian obat hemostatik pada pasien batuk darah yang tidak ditambah kelainan faal hemostatik masih ada perbedaan penbisa .
- Obat dengan dampak sedasi ringan bisa diberikan jika pasien gelisah. Obat antitusif ringan bisa diberikan sebab bila batuk berlebihan akan merangsang muncul nya batuk darah.
-.Transfusi darah diberikan jika hematokrit < 25 - 30% atau Hb < 10 gr/dL sedang perdarahan masih berlangsung.
-. Tenangkan dan beritahu pasien agar jangan takut untuk membatukkan darahnya.
-. Pasien berbaring pada posisi lateral dekubitus ke sisi paru yang sakit. Pasien diposisikan sedikit trendelenberg terutama bila refleks batuknya tidak kuat .
-. Lakukan pemantauan kesadaran, tanda vital yaitu tekanan darah, frekuensi nadi, laju pernapasan, dan saturasi oksigen, dan pantau jumlah darah yang dibatukkan.
- Jaga agar jalan napas tetap terbuka. Pasien yang mengalami kemungkinan sumbatan jalan napas perlu dilakukan pengisapan/suction.
- Pemberian oksigen dengan kanul atau masker bila jalan napas bebas hambatan/sumbatan. Bila pasien mengalami desaturasi, maka perlu dilakukan intubasi. Endotracheal tube dipilih ukuran diameter yang besar
agar bisa dipakai pada bronkoskopi.
- Pemasangan infus dilakukan untuk penggantian cairan maupun jalur pemberian obat parenteral dan tranfusi bila diperlukan.Pasien dengan hemoptisis masif seharusnya dirawat di unit perawatan intensif untuk memantau status hemodinamik dan penilaian jumlah darah
yang hilang. pengobatan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:
1. Proteksi jalan napas dan stabilisasi pasien
2. Lokalisasi sumber perdarahan dan pemicu perdarahan
3. Terapi menonjol
Tahap 1: yaitu mempertahankan jalan napas yang kuat , pemberian suplementasi oksigen, koreksi koagulapati, resusitasi cairan, dan berusaha ,melokalisir sumber perdarahan. Pada tahap ini, penenangan pasien juga
penting.Tahap 2 sesudah pasien dalam keaadan stabil perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut mencari sumber perdarahan dan pemicu perdarahan. Pemeriksaan yang bisa dilakukan antara lain: foto toraks, CT scan toraks, angiografi, dan bronkoskopi rigid. Tahap 3 yaitu menghentikan perdarahan dan mencegah perdarahan
berulang. Terapi ini dibagi 2, yaitu: (a) dengan bronkoskop antara lain melakukan bilasan garam fisiologis, epinefrin, pemberian trombin fibrinogen, tamponade dengan balon, dan (b) tanpa bronkoskopi antara lain pemberian
obat dan antifibrinolitik pengobatan penyakit primernya.
Embolisasi arteri bronkialis dan pulmoner (Bronchial Artery Embolization (BAE)) . tehnik ini melakukan oklusi pembuluh darah yang menjadi sumber perdarahan dengan embolisasi transkateter. Embolisasi ini bisa dilakukan pada arteri bronkialis dan sirkulasi pulmoner. tehnik ini terutama dipilih untuk pasien dengan
kelainan paru bilateral, fungsi paru sisa yang minimal, menolak operasi, ataupun memiliki kontratanda tindakan operasi. BAE saat ini sudah dianggap sebagai lini pertama dalam terapi hemoptisis. Sebagian kecil peristiwa hemoptisis dipicu oleh sistem arteri pulmonalis.
Pada peristiwa ini, BAE mungkin tidak akan memberi resolusi klinis yang kuat dan memerlukan beberapa campurtangan . Menurut Rasmin, rekurensi
hemoptisis dalam 6 bulan pertama selama follow up yaitu sebesar 21%. Tingkat kesuksesan BAE post embolisasi mencapai 70 - 99%. Walaupun begitu,
rekurensi masih bisa terjadi pada 10 - 55% dalam 46 bulan follow up. Dahulu, operasi yaitu terapi definitif, namun campurtangan bedah memiliki mortalitas
± 18% bila dilakukan elektif dan meningkat hingga 40% bila dilakukan dalam keadaan darurat. Tindakan konservatif seperti pengawasan dan obat-obatan juga
meningkatkan angka mortalitas hingga 50%
Tindakan bedah dilakukan bila pengobatan di atas masih belum mengatasi keadaan hemoptisis dan pasien memenuhi persyaratan sebagai berikut :
-. sesudah dilakukan pembedahan sisa paru masih memiliki fungsi yang kuat (faal paru kuat ),
- pasien bersedia dilakukan tindakan bedah.
-. diketahui jelas sumber perdarahan,
-. tidak ada kontra tanda medik,
Prognosis pasien dengan batuk darah tergantung dari banyaknya perdarahan yang terjadi dan mengatasi awal dan penyakit yang mendasari.Komplikasi yang bisa dimunculkan batuk darah antara lain asfiksia, atelektasis, syok dan hipovolemik.
Jejas inhalasi yaitu salah satu kritis di bidang respirasi
yang sering ditemui . Risiko yang diakibatkan bisa sekadar iritasi tenggirokan hingga peristiwa yang berujung pada kematian. , lebih dari 1 juta pasien mengalami gangguan pernapasan akibat asap pembakaran
rumah tangga, kebakaran hutan, dan pembakaran lahan , Salah satu peristiwa yang menunjukan dampak partikel berbahaya bagi sistem pernapasan yaitu tragedi peledakan gedung WTC di Amerika tahun 2001.
Partikel toksik bisa masuk ke badan melalui kontak langsung dengan kulit dan mata, tertelan melalui saluran pencernaan dan ada yang terhirup ke dalam saluran pernapasan. Zat bentuk gas paling mudah terhirup walau
benda cair dan padat bisa juga terdeposisi hingga parenkim paru ,
Ada beberapa istilah yang sering dipakai untuk menjelaskan interaksi zat toksik dalam sistem pernapasan. kita lebih cenderung dengan inhalation
injury atau jejas inhalasi sebab jelas proses masuknya partikel bersamaan udara pernapasan dan pemicu nya tidak terbatas hanya pada satu jenis partikel. ini berbeda istilah paparan gas toksik atau keracunan gas yang
terkesan pemicu kerusakan hanya benda gas.
Jejas inhalasi diarti kan sebagai spektrum dampak klinis yang luas akibat paparan partikel berbahaya yang bisa berwujud asap panas, debu, atau zat toksik lainnya baik benda padat, gas, cair, atau kombinasi . dampak yang dimunculkan bisa terbatas lokasinya (localized) dan atau
sistemik. Kerusakan organ pun beragam seperti supraglottic thermal injury, iritasi mukosa epitel saluran nafas, dan gangguan sistemik akibat keracunan
karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) atau gabungan lebih dari satu kelainan ,
Derajat kerusakan epitel saluran napas dan parenkim paru tergantung pada beberapa faktor, antara lain: jenis dan sifat partikel, kadar atau lama paparan, kelarutan dalam air, faktor inang, dan lingkungan. Perbedaan
sifat partikel berdampak pada kelainan patologis yang beragam dan lokasi jejas yang berbeda. Partikel besar lebih mudah mengendap di saluran napas atas sementara yang lebih kecil bisa mencapai saluran napas kecil dan
berdampak sistemik.membagi partikel-partikel ini dalam
bentuk gas, fume, aerosol, vapor, dan asap.
- Fume: bentuk aerosol dari partikel padat yang berukuran < 0.1 μm. Zat ini muncul dari reaksi kimia atau kondensasi dari partikel vapor.
-. Asap: produk dari pembakaran yang bisa berwujud gas volatile dan partikel. ukuran partikelnya < 0.5 μm.
255Bab 19 - Jejas Inhalasi: arti , Patofisiologi,
- Gas: zat tak berbentuk yang molekulnya bergerak bebas dan bisa
mengisi ruangan secara penuh.
-. Aerosol: bentuk suspensi yang relatif stabil dari partikel cair atau padat dalam media gas.
-Coarse particles: partikel dengan ukuran 1 - 10 μm
-Fine particles: partikel dengan ukuran 0.1 - 1 μm
-Ultrafine particles: partikel dengan ukuran kurang dari 0.1 μm
- Vapor: bentuk gas dari partikel awal yang bisa berwujud benda padat atau cair dan bisa berubah kembali ke bentuk asal sebab perbedaan tekanan.
pengobatan
Kadar kelarutan dalam air berperan menonjol menentukan kelainan patologis. bahwa gas mudah larut seperti amoniak, sulfur dioksida, dan hidrogen klorida bisa memicu iritasi akut pada membran mukosa mata dan saluran napas atas. Sifat iritan kuat dari zat-zat ini memicu reaksi berwujud nyeri dan sakit hebat sehingga
ada kemungkinan korban akan menghindari dan mencari tempat yang lebih aman. Di samping itu, gas ini juga merangsang reseptor bronkokonstriksi sehingga akan membatasi jalannya gas ke saluran napas yang lebih dalam Derajat kerusakan jadi berbeda dan bisa lebih parah jika terhirup gas yang sulit larut seperti ozon dan fosgen. Gas-gas ini relatif tidak memicu iritasi namun akan berada lebih lama dan mudah masuk sampai ke saluran napas yang lebih dalam hingga parenkim paru
Faktor lingkungan, lama pajanan, dan kondisi pejamu juga
menentukan kadar keparahan. Pasien tua atau memiliki penyakit komorbid seperti PPOK (Penyakit Paru Obstruksi 0Kronik) atau gangguan metabolik lainnya memiliki prognosis yang lebih jelek. Occupational Health and Safety Administration (OSHA) sudah menentukan batas minimal pajanan gas yang masih ditoleransi, tidak melebihi 8 jam perhari. Dalam beberapa peristiwa ,
pajanan kurang dari 15 menit jadi acuan OSHA
berdasar atas sifat fisik dan kimiawi zat toksik maka jejas inhalasi bisa dibagi menjadi tiga kelainan ,
-. dampak sistemik toksik
Gas CO hasil dari pembakaran tidak sempurna dan sianida yaitu partikel yang bersifat asfiksan sebab mengganggu proses oksigenasi di tingkat seluler. Afinitas CO dengan hemoglobin yang 200 kali lebih kuat dibandingkan dengan oksigen akan menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin bergeser ke kiri. sedang CN lebih berperan dalam hambatan proses sitokrom oksidase dan memicu hipoksia seluler
- Jejas akibat panas (thermal injury)
Kerusakan yang dimunculkan oleh hawa panas yaitu kombinasi dari beberapa dampak . bahwa panas yang tertahan dalam saluran napas, kapasitas panas udara yang rendah dan reflek penutupan laring menjadi pemicu pertama nya.
- Iritasi kimiawi pada saluran napas dan parenkim paru
Membran epitel pernapasan mengalami luka akibat zat-zat yang bersifat asam atau basa. Mukosiliar klirens terganggu dan kerusakan surfaktan berakibat pada kolapsnya alveoli dan atelektasis. Jejas akan
mengaktifkan alveolar makrofag sebagai tanggap inflamasi akut dan terjadi naiknya permeabilitas kapiler, edema bronkus, dan bronkokonstriksi yang mengarah ke gagal napas sesudah terinhalasi kurang lebih 12 - 48 jam
berdasar predominan lokasi menggolongkan
jejas inhalasi menjadi kerusakan pada saluran napas atas, trakeobronkial, dan dampak sistemik.
a) Saluran napas atas
Kelainan yang sering terjadi biasanya dipicu oleh suhu yang tinggi. dampak panas akan merusak sel epitel, terjadi denaturasi protein, dan mengaktifkan sistem komplemen sehingga merangsang sel-sel inflamasi seperti histamin dan xantin oksidase dan
neuropeptida seperti substansi P dan calcitonin gene-related peptide . Sel inflamasi ini kemudian memicu bronkokonstriksi dan menurunkan nitric oxide synthase (NOS) dan reactive oxygen species (ROS) yang memicu edema dan ulserasi saluran napas atas Obstruksi saluran napas terjadi sebab bronkokonstriksi atau laringospasme, edema mukosa, naiknya sekret, dan kerusakan sel
epitel. ROS akan menginisiasi peroksidasi lemak dan kerusakan pada epithelial cell tight junctions, naiknya sel dan mediator inflamasi, dan akumulasi cairan interstisial. Meski kerusakan bersifat sementara dan bisa sembuh sendiri namun sebagian peristiwa berdisosiasi menjadi peristiwa kronis yaitu reactive upper airway disfunction syndrome (RUDS) seperti yang terjadi pada korban
tragedi WTC 11 September (Dickson dan Schwartz, 2008).
b) Trakeobronkial
Proses inflamasi pada sistem trakeobronkial juga merangsang bronkokonstriksi. Kerusakan mukosa dan inflamasi sepanjang peribronkial yaitu kelainan yang diperoleh secara histologis
c) Parenkim paru
dampak zat toksik pada parenkim paru biasanya muncul dalam waktu yang lebih lama. Partikel yang sulit larut seperti fosgen dan nitrogen dioksida lebih berpotensi merusak parenkim. Akumulasi dari kerusakan alveoli, surfaktan yang hilang, dan vasokonstriksi akan memicu
gangguan oksigenasi. Acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan pneumonia menjadi komplikasi tersering.
d) dampak sistemik
Gas CO dan CN mudah memberi dampak toksik sistemik. naiknya kadar karboksihemoglobin dan penurunan fungsi jantung disinyalir sebagai pemicu pertama rendahnya oksigenasi ke seluruh badan . Sementara itu CN menghambat kerja sitokrom C oksidase yaitu unsur penting dalam rangkaian oksidasi pernapasan sel
Iritasi yang terjadi pada mata dan membran saluran napas atas bisa menunjukan mengenai kelarutan zat toksik. kelainan klinis yang dialami korban tergantung pada
sifat dan jenis partikel dan intensitas pajanan.
-Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang sering ditemukan dalam pemeriksaan fisik korban jejas inhalasi antara lain: batuk dan sesak napas, ronkie dan wheezing, suara parau dan edema saluran napas atas hingga mengantuk sampai
tidak sadar.
-Pemeriksaan penunjang
a. Darah
Pemeriksaan analisis gas darah (AGD) bermanfaat untuk mengetahui status oksigenasi dan keasaman darah. Kadar laktat plasma yang meningkat menunjukan tingkat keracunan sianida.
b. Radiologi
Foto polos dada bisa normal pada awal kejadian. petunjuk infiltrat bilateral menandakan pneumonitis sementara itu atelektasis dan obstruksi bisa dicurigai dengan munculnya air trapping
c. Faal paru dan Bronkoskopi
Dalam penilaian awal setidaknya bisa dilakukan pemeriksaan arus puncak respirasi dan spirometri dasar. petunjuk awal jejas inhalasi dan kadar obstruksi bisa dinilai melalui bronkoskopi ,
d. ECG
petunjuk aritmia dan iskemik akan memberi informasi
munculnya hipoksia jaringan dan inflamasi.
TERAPI
a) Lokasi kejadian
Prioritas pertama yaitu mengevakuasi korban dan memutus pajanan dengan zat toksik. Dalam peristiwa keracunan CO, oksigenasi bisa mengurangi risiko hipoksemia. Pemasangan intubasi dan trakeostomi
pada korban yang diduga mengalami obstruksi akan memastikan jalan nafas tetap,
b) Rumah sakit
Terapi pendukung dengan memastikan jalan nafas tetap intak dan terbuka dan mempertahankan hemodinamik tetap stabil menjadi syarat mutlak keberhasilan. mengingatkan bahaya pemberian cairan intravena. ARDS paska infus kristaloid dan tranfusi darah beberapa kali dikabarkan sehingga harus dievaluasi selama 24 - 48 jam
sesudah penambahan cairan badan dan memantau oksigenasi.
Ventilasi mekanik dengan setting tidal volume rendah yaitu standar dan dianggap sebagai cara yang lebih efektif dalam mengurangi ventilator-induced lung injury. Penentuan posisi pronasi tidak banyak memberi
dampak dalam menurunkan mortalitas dan hanya memperbaiki hipoksemia Nebulisasi
Pemberian terapi melalui nebulizer berwujud bronkodilator, steroid, antikoagulan, dan antioksidan memberi hasil yang baik. Bronkodilator seperti β2-agonists bisa menurunkan resistensi aliran udara dan tekanan jalan napas. Inhalasi nitrit oksida (NO) akan memperbaiki oksigenasi dan menurunkan resistensi vaskuler pulmoner sebab NO bisa membalikkan
proses ketidakseimbangan ventilasi-perfusi Mukolitik,
N-acetylcysteine (NAC), memberi banyak manfaat dan bisa diberikan bersamaan dengan bronkodilator
Antikoagulan dalam bentuk aerosol bisa meningkatan aktivitas prokoagulasi. Pemberian heparin pada tikus model ternyata bermanfaat . Antioksidan juga berperan dalam mengatasi ketidakseimbangan antara oksidan-antioksidan sebab naiknya ROS. Pemberian vitamin E,
α-tocopherol (5 mg/kg oral), pada kambing selama 24 jam sebelum dipajan dengan asap memberi hasil bagus berwujud naiknya permeabilitas vaskuler
Terapi Intravena Kortikosteroid intravena memberi hasil yang lebih bagus dibandingkan pemberian secara inhalasi. Vitamin C juga sudah terbukti bisa memperbaiki kerusakan sebab oksidatif stress
Bronkoskopi bisa dipakai untuk menentukan derajat keparahan sekaligus modalitas terapi. pemakaian bronkoskopi efektif dalam mengambil benda asing dan sekret
Terapi menonjol pada Keracunan CO dan CN
Gangguan neurologis akibat hipoksemia kronis dalam peristiwa keracunan CO dan CN harus sedini mungkin dihambat. Pemberian oksigenasi flow tinggi bisa meningkatkan saturasi oksigen dan menggeser ikatan karbon monoksida dengan hemoglobin. Terapi hiperbarik oksigen bisa dipertimbangkan meski masih ada kontroversi. Pada peristiwa murni keracunan CN maka pemakaian antidote sianida; yang berisi amyl nitrite, thiosulfate dan sodium nitrite; disarankan . Methemoglobin berikatan dengan CN untuk membentuk cyanomethemoglobin. Saat terdisosiasi, CN bebas akan dikonversi menjadi thiocyanite oleh enzim mitokondria hati dengan memakai thiosulfate sebagai substrat. Thiocyanite akan dieksresikan dalam urin Hanya saja jika korban juga dicurigai mengalami keracunan CO maka pemakaian antidote yang mengandung unsur nitrat tidak disarankan dan menjadi kontratanda . ini sebab korban keracunan CN kadang juga mengalami intoksikasi
CO Dengan cara yang berbeda seperti kerja antidote CN, hydroxycobalamin, turunan dari vitamin B12, secara aktif berikatan dengan CN membentuk cyanocobalamin. Zat ini akan langsung diekskresikan melalui ginjal
Pneumotoraks yaitu terisinya rongga pleura dengan udara dengan beberapa pemicu yang diketahui maupun tidak diketahui. peristiwa pneumotoraks lebih banyak diderita laki-laki dibandingkan wanita. Data mortalitas sebab pneumotoraks beragam , cenderung lebih besar pada peristiwa pneumotoraks ventil Pneumotoraks berdasar pemicu , lokasi, jenis fistel, dan luasnya. Pneumotoraks spontan primer bila tidak diketahui pemicu nya dan sekunder bila diketahui pemicu nya.
Tuberkulosis, pneumonia, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yaitu beberapa pemicu pneumotoraks spontan sekunder Pneumotoraks iatrogenik dipicu
oleh CVC (Central Venous Catether), torakosintesis, ventilasi mekanik tekanan positif, atau biopsi transtorakal
Pneumotoraks bisa menjadi ventil dan mengancam nyawa sebab udara dalam rongga pleura terus bertambah sebab adanya fistel yang bersifat ventil
epidemiologi
Pneumotoraks menjadi permasalahan dunia dengan kejadian sebesar 78 peristiwa /1000.000 laki-laki dan 6 peristiwa /1000.000 perempuan ,Laki-laki berusia lebih dari 40 tahun lebih banyak menderita pneumotoraks dibanding wanita ,Tingkat rawat inap pasien Pneumotoraks spontan primer ataupun
sekunder di Inggris sebesar 19 peristiwa /200.000 laki-laki dan 8 peristiwa /200.000 perempuan.
Pneumotoraks yaitu adanya udara di dalam rongga pleura, sebuah ruangan antara dinding dada dan paru. Pembagian pneumotoraks terdiri dari beberapa penggolongan di antaranya pemicu , lokasi, derajat kolaps, dan jenis fistelnya ,Pneumotoraks dikelompok berdasar pemicu nya menjadi tiga, yaitu .pneumotoraks artifisial, pneumotoraks spontan, dan pneumotoraks traumatik. Pneumotoraks artifial yaitu pneumotoraks yang disengaja sebagai bagian dari terapi, contoh terapi kolaps untuk menghentikan perdarahan atau melindungi paru dari radioterapi. Pneumotoraks artifisial bisa juga sebagai tindakan diagnosa untuk menentukan lokasi tumor pleura ,Pneumotoraks spontan dibagi menjadi pneumotoraks spontan primer (PSP) dan pneumotoraks spontan sekunder (PSS) , Pneumotoraks spontan primer jika tidak diketahui pemicu nya. sedang pneumotoraks spontan sekunder jika diketahui penyakit dasar yang memicu munculnya pneumotoraks. Pneumotoraks
katamenial terjadi saat menstruasi ,Pneumotoraks traumatik dipicu oleh jejas dinding dada baik
tumpul maupun tajam. Pneumotoraks Iatrogenik yaitu pneumotoraks sebagai akibat dari prosedur medis . berdasar lokasi, pneumotoraks dibagi menjadi pneumotoraks parietalis, medialis, dan basalis. Berdasar derajat kolaps dibagi menjadi totalis dan parsialis.
berdasar jenis fistel, pneumotoraks dibagi menjadi terbuka, tertutup, dan ventil. Pneumotoraks terbuka bila ada hubungan rongga pleura dan udara luar sehingga tekanannya sama. Pneumotoraks tertutup bila
udara masuk dalam rongga pleura dan terjebak sebab tidak ada hubungan dengan udara luar Pneumotoraks tension atau
ventil terjadi jika tekanan intrapleura lebih besar dibandingkan tekanan atmosfer saat ekspirasi dan inspirasi. Tekanan dalam rongga pleura makin lama makin positif dan terus bertambah sebab adanya fistel yang bersifat ventil. Pneumotoraks inilah yang mengancam nyawa seseorang yang pemicu Pneumotoraks spontan primer tidak berkaitan dengan pemicu tertentu dan terjadi pada pasien yang secara teoritis tidak memiliki penyakit
medis bedah 3
Reviewed by bayi
on
Mei 20, 2022
Rating:
About
LINK VIDEO