medis bedah 4














































































halaman   5

 kita  menduga bahwa pneumotoraks spontan primer terjadi pada pasien dengan penyakit paru yang tidak terlihat ditambah  kelainan anatomi seperti blebs atau bullae subpleura . Pemeriksaan torakoskopi dan CT scan area puncak paru diperoleh blebs pada 94% peristiwa  PSP. Perokok berisiko  pneumotoraks sebesar 16% pada healthy smoker dibandingkan  1% bukan perokok ,
Pneumotoraks spontan sekunder bisa  dipicu  oleh beberapa  penyakit di antaranya proses infeksi (Pneumonitis carinii pneumonia, Tuberkulosis, Pneumonia necrotizing), penyakit paru interstitial, penyakit 
jaringan ikat, histiositosis sel Langerhans, limfangio liomiomatosis, kistik fibrosis, PPOK bronkitis kronis, emfisema, asma bronkial, dan kanker paru 

  tabel pemicu  pneumotoraks spontan sekunder.
Pneumotoraks traumatik bisa  dipicu  oleh trauma tumpul atau  trauma tajam yang menembus dinding dada, esofagus, trakea, dan bronkus. 
Pneumotoraks iatrogenik yaitu  salah satu pemicu  pneumotoraks traumatik, bisa  terjadi pada prosedur diagnosa   maupun terapi seperti .pemasangan CVC (Central Venous Catether), Torakosintesis, Ventilasi Mekanik .tekanan positif, atau Biopsi transtorakal  Pneumotoraks sekunder kebanyakan dipicu  oleh tuberkulosis 
 Pneumotoraks katamenial diperkirakan pemicu nya 
yaitu  implan endometrium pleura atau defek   diafragma kecil  ,Pneumotoraks spontan bisa  menjadi pneumotoraks tension pada pasien dengan ventilator, resusitasi jantung-paru, atau pneumotoraks 
spontan sekunder sebab  trauma atau infeksi ,
Pneumotoraks spontan berulang dipicu  oleh faktor risiko fibrosis paru, usia lebih dari 60 tahun, dan naiknya  rasio tinggi dibandingkan berat badan  Pneumotoraks spontan sekunder berulang dipicu  oleh faktor risiko terkait usia, merokok, fibrosis paru, dan emfisema. sedang  faktor risiko pneumotoraks spontan primer berulang 
yaitu  sama dengan faktor risiko PSS berulang ditambah dengan faktor tinggi badan pada laki-laki 
 
Secara normal, dalam rongga pleura tidak ada   udara. Tekanan intrapleura lebih negatif dibandingkan tekanan intraalveoli Patofisiologi munculnya  pneumotoraks spontan masih belum dipahami secara jelas. Pneumotoraks primer dipicu  oleh pecahnya blebs atau bullae subpleura  ,Patofisiologi pneumotoraks 
spontan primer bisa  dipahami dengan mengetahui munculnya  lesi emfisema  paru . Faktor asap rokok yaitu  salah satu pemicu  munculnya  emfisema itu . Asap rokok memicu  munculnya  rilis beberapa  mediator neutrofil dan makrofag yang memicu  degradasi  serat elastis di paru. Degradasi itu  memicu  ketidakseimbangan  antara protease-antiprotease dan oksidan-antioksidan, berakibat kerusakan  menetap pada parenkim paru, emfisema, dan pembentukan bullae. Inflamasi  pada saluran napas kecil memicu  naiknya  tekanan alveoli dan  berakhir pecahnya alveoli. Udara akan masuk dari intertitial paru menuju 
hilus dan terjadilah pneumotoraks ,Tekanan di 
puncak paru lebih negatif dibandingkan  tekanan di dasar paru sehingga distensi  alveoli di puncak paru yang lebih besar. Ini yang menjelaskan bahwa sumber 
pneumotoraks lebih sering berasal dari puncak paru ,
Patofisiologi pneumotoraks spontan sekunder bersifat banyak faktorial  dan masih kurang dipahami. Nekrosis paru perifer pada penyakit paru memicu  rupturnya alveoli sehingga udara bisa  memasuki ruang pleura 
dan terjadilah pneumotoraks , Mekanisme pneumotoraks 
tension berkaitan  dengan tipe katup satu arah yang akan membuka saat inspirasi dan menutup saat ekspirasi. Otot napas akan mengembangkan dinding dada saat inspirasi. ini  memicu  tekanan intrapleura makin  negatif sehingga udara dari alveoli akan masuk ke intrapleura. Saat ekspirasi, .otot napas relaksasi dan tekanan pleura menjadi positif dan udara terjebak dalam rongga pleura ,
Pada penumotoraks ventil, tekanan intrapleura bisa    tinggi  sehingga memicu  paru kolaps dan menekan mediastinum dan  jantung ke kontralateral. Jantung yang terdesak memicu  kontraksi dan “venous return” terganggu. Paru kolaps memicu  gangguan pernapasan, 
sedang  jantung yang terdesak memicu  gangguan hemodinamik 
Gejala pertama  pasien dengan pneumotoraks yaitu  nyeri dada dan sesak napas pada 91% pasien. Nyeri dada bersifat nyeri pleuritik, akut, dan 
terlokalisir pada sisi pneumotoraks , Gejala penyerta lain 
di antaranya batuk, batuk darah, dan sesak bila berbaring. Keluhan sesak tergantung luas pneumotoraks. Pada kondisi yang jarang terjadi yaitu  sindroma Horner. Beberapa pasien tidak bergejala atau hanya mengeluhkan 
lemah badan,Pneumotoraks spontan sering dipicu oleh pemicu  seperti batuk kuat, bersin, mengejan, kencing, dan mengangkat benda berat. Pasien akan merasa 
makin sesak sesudah  ada   salah satu pemicu  diatas. Pada pneumotoraks traumatik, gejala terjadi sesudah  adanya trauma  Pneumotoraks spontan sering terjadi saat istirahat (90% peristiwa ). Pada peristiwa  pneumotoraks spontan primer, gejala sesak dan nyeri dada sering menghilang kurang dari 24 jam sehingga pasien tidak segera datang ke  rumah sakit. sedang  pasien pneumotoraks spontan sekunder akan mengalami gejala yang lebih berat dibandingkan PSP ,Gejala pernapasan yang berat dan adanya distress napas yaitu  tanda 
pneumotoraks tension atau ventil yang mengancam nyawa 
Kondisi umum pasien terlihat sesak, ini  tergantung luas 
pneumotoraks. diperoleh  kannya tanda takikardi berat (nadi >140x/menit), hipotensi, sianosis, deviasi trakea ke sisi sehat yaitu  tanda pneumotoraks tension yang mengancam nyawa. Pemeriksaan fisik paru diperoleh pada sisi pneumotoraks gerak napas yang tertinggal, fremitus raba menghilang, perkusi hipersonor dan  suara napas yang menghilang atau berkurang. Hamman 
sign bisa  ditemukan pada pasien pneumotoraks dan pneumomediastinum. Tanda itu  berwujud  suara mengunyah (crunching) atau suara klik yang mirip  suara jantung dan dipengaruhi oleh pernapasan dan posisi badan  
Berikut yaitu  tanda pneumotoraks tension di antaranya: trakea bergeser ke sisi sehat, pada sisi pneumotoraks diperoleh dinding dada lebih membesar, pelebaran sela iga, penurunan gerak napas, fremitus raba menghilang, suara napas menurun atau menghilang, perkusi hipersonor, suara “anvil-clink” saat tes koin (memukulkan dua koin pada dinding dada), dan suara krepitasi 
Pasien dengan luas pneumotoraks kecil (kurang dari 20%), biasanya  pemeriksaan fisik normal. Pada pasien PPOK, walau  pneumotoraksnya luas namun sering sulit dideteksi dari pemeriksaan fisik. Pada pasien 
itu  sudah diperoleh penurunan suara napas dan hipersonor 
pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium: Pemeriksaan Analisis Gas Darah 
Hasil analisis gas darah sering diperoleh hipoksemia (PO2 turun) dan kadang ditambah  dengan hipokarbia (PCO2 turun) sebab  munculnya  hiperventilasi (frekuensi napas meningkat). Pada pasien PSP, hipoksemia 
biasanya ringan bila luas pneumotoraks tidak lebih dari 25%. Namun bila luas pneumotoraks pada PSP lebih dari 25%, maka terjadi shunt paru yang memicu  hipoksemia lebih berat. Pada peristiwa  PSS sudah  ada   penyakit paru yang mendasari memicu  hipoksemia lebih berat dan 
mengancam nyawa sebab  cadangan oksigen paru sudah  berkurang sebelum terjadi pneumotoraks. Pasien dengan emfisema bisa  terjadi PSS dengan hasil  analisis gas darah hipoksemia dan hiperkarbia  

b. EKG (Electrocardiography)
Pasien dengan pneumotoraks kiri bisa  merubah pola EKG mirip  infark miokard anterolateral. Perubahan aksis QRS frontal dan rotasi searah jarum jam memicu  penurunan voltase gelombang R-prekordial, penurunan amplitudo QRS, dan inversi gelombang T-prekordial 

c. Radiologi
1. Foto polos dada
 diagnosa  pneumotoraks secara klasik dilakukan  dari foto polos  dada. petunjuk  yang terlihat yaitu  terpisahnya pleura viseralis (paru) dari pleura parietalis (dinding dada) dan diisi oleh rongga kosong (lucent) tanpa adanya pembuluh darah paru. Garis kolaps yaitu  tanda ada  nya pneumotoraks, namun sering sulit terlihat pada pneumotoraks yang kecil  Foto polos dada posisi berdiri dengan inspirasi maksimal yaitu  posisi ideal untuk mendiagnosa  pneumotoraks memakai  foto 
polos dada Tampilan pneumotoraks tergantung 
gravitasi, foto posisi supinasi (AP  -  Anterior Posterior) atau pasien  berbaring, maka pneumotoraks hanya akan terlihat bila ukurannya luas 
 melakukan  diagnosa  pneumotoraks ventil sering sulit dilakukan  berdasar foto polos dada sebab  sering kondisinya gawat dan mengancam 
nyawa. keadaan  dan pemeriksaan fisik cukup menjadi dasar melakukan  diagnosa  pneumotoraks ventil ,
 Luas pneumotoraks bisa  diukur dari foto polos dada. ada   beberapa tehnik  untuk mengukur luas pneumotoraks. Pengukuran pneumotoraks metode Light  dengan cara mengukur rata-rata diameter paru yang kolaps dan  panjang rongga dada. Hasil pengukuran itu   dimasukkan dalam rumus berikut : 

2. CT scan
 CT scan toraks yaitu  gold standard melakukan  diagnosa  pneumotoraks. Namun hal itu sering sulit dilakukan sebab  beberapa alasan di antaranya: transportasi pasien ke ruang CT scan, tingkat radiasi yang lebih tinggi, dan  harus diartikan  oleh dokter yang ahli , HRCT (High Resolution Computed Tomography) lebih peka  dibandingkan foto polos dada dalam mendiagnosa  lesi emfisema di 
puncak paru. Sekitar 85% peristiwa  pneumotoraks spontan primer diperoleh  adanya lesi emfisema di puncak paru , walau   CT scan lebih peka , namun tidak semua peristiwa  pneumotoraks spontan  primer perlu pemeriksaan CT scan toraks. Pada pasien lakilaki  muda yang  sehat dan atletis yang terjadi PSP, CT chest jarang ditanda kan. Namun,  CT scan perlu dilakukan pada pasien perokok berat berusia lebih dari 50 
tahun yang belum pernah dinyatakan sebagai pasien PPOK. Selain itu,  CT scan bisa  membantu ahli bedah dalam menentukan jenis tindakan terutama   jika pneumotoraks terlokalisir, bullae, kanker tersembunyi, atau patologi paru lainnya 
3. USG toraks 
 Ultrasonografi menjadi salah satu pilihan lain  alat diagnosa  pneumotoraks. Beberapa review literatur menyebutkan bahwa USG toraks lebih peka  dibandingkan foto polos dada posisi supinasi pada peristiwa  pneumotoraks traumatik. Selain itu, USG toraks bisa  dipakai  juga untuk menganalisa  luas pneumotoraks 

pengobatan 
Prinsip pertama  pneumotoraks yaitu  mengeluarkan udara dari rongga pleura, mengembangkan paru yang kolaps, menutup sumber kebocoran, dan  mencegah munculnya  pneumotoraks berulang. Pemilihan jenis terapi pneumotoraks dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya: klinis pasien, pemicu  pneumotoraks, penyakit penyerta, riwayat pneumotoraks 
sebelumnya, risiko berulang, dan pengalaman dokter yang menangani pasien 

a. pengawasan 
peristiwa  pneumotoraks kecil < 20% dengan gejala yang tidak makin memberat dan luas pneumotoraks dipercaya  tidak bertambah, biasanya  hanya dilakukan pengawasan  saja tanpa tindakan yang invasif. Pasien dirawat 
inapkan dengan pemberian suplementasi oksigen agar bisa  meningkatkan penyerapan udara dalam rongga pleura  pengawasan  hanya dilakukan pada pneumotoraks selain ventil ,

b. Dekompresi
Dekompresi yaitu  tindakan untuk membuat hubungan antara rongga pleura dengan dunia luar sehingga tekanan positif intrapleura mengalir keluar menjadi negatif. ada   beberapa cara diantaranya pemasangan jarum/
abbocath kontra ventil, aspirasi dengan selang infus atau pemasangan selang dada/chest tube dengan WSD (Water Sealed Drainage) 
1. Pemasangan jarum/abbocath kontraventil
 Tindakan ini dilakukan terutama   pada peristiwa  pneumotoraks ventil yang memerlukan  mengatasi  segera. Jarum atau abbocath ditusukkan pada 
dinding dada pada sela iga sampai menembus pleura parietalis dan masuk ke dalam rongga pleura. Ujung jarum atau abbocath dibiarkan terbuka  Lokasi pemasangan kontraventil biasanya pada sela iga kedua midklavikula depan. Panduan dari the American College of Surgeons menyarankan  lokasi pemasangan kontraventil pada sela iga empat atau lima garis aksila anterior. Lokasi 
kedua ini relatif aman sebab  menghindari muskulus pectoralis dan latisimus dorsi 
2. Aspirasi dengan selang infus
 Jarum/abbocath yang sudah  ditusukkan ke dalam rongga pleura  disambungkan ke selang infus. Pipa plastik penetes dipotong dan dimasukkan ke dalam botol berisi air sedalam kurang lebih 2 cm. ini   untuk menjaga agar udara dari luar tidak bisa  masuk ke dalam rongga 
pleura ,Tingkat keberhasilan tindakan ini berbeda tiap pasien . Panduan dari BTS (British Thoracic Society) 
menyarankan aspirasi sederhana pada pasien dengan pneumotoraks pertama kali walau  cukup luas pneumotoraksnya. ini  berbeda dengan panduan dari Amerika yang menyarankan  pemasangan 
selang dada.

3. Pemasangan Selang dada (Chest Tube)
 Dibuat insisi kulit di sela iga keempat pada garis aksila tengah atau belakang atau sela iga kedua di garis klavikula tengah. Lalu selang dada steril dimasukkan ke dalam rongga pleura dengan perantara trokar atau 
pean /klem penjepit. Ujung selang dada itu  disambungkan ke botol WSD  Selang dada disambungkan ke botol WSD melalui selang penghubung.  Selang dalam botol WSD berada di bawah air sedalam 2 cm. ini  untuk 
mempermudah gelembung udara keluar dari rongga pleura ke luar dan tidak  bisa  kembali lagi ke dalam rongga pleura. Pada kondisi pneumotoraks tidak bisa  mengembang atau terjadi emfisema subkutis, bisa  dilakukan penyambungan botol WSD dengan pompa continous suction dengan tekanan negatif 10 - 20 cm H2O. Penghisapan dilakukan agar udara dalam rongga 
pleura segera bisa  dikeluarkan Selang dada dicabut jika  paru sudah  mengembang sempurna, dibuktikan dengan melakukan foto polos dada evaluasi. Selang dada ditutup 
dengan cara dijepit dengan klem atau ditekuk selama 24 jam. jika  sesudah  24 jam, tidak ada   keluhan sesak bertambah, maka selang dada bisa  dicabut dengan mengeratkan jahitan lalu menutup dengan kassa steril 



Perdarahan saluran makanan bagian atas (SMBA) yaitu  perdarahan dari rongga pencernaan antara esofagus sampai ligamentum Treitz dengan beberapa  macam pemicu  dan yaitu  salah satu kritis  yang paling 
banyak ditemui  dan  memicu  kematian jika  tidak memperoleh  pengobatan  yang baik. Gejala perdarahan SMBA antara lain yaitu   hematemesis, melena ataupun hematoschezia ,Angka kejadian perdarahan SMBA di dunia berkisar 10 - 250 peristiwa   per 100.000 populasi, dengan mortalitas antara 8- 16%. jika  terjadi perdarahan ulang, angka mortalitas bisa  menjadi 43%. pemicu  tersering dari perdarahan SMBA yaitu  gastritis erosif, varises, ulkus, esophagitis, dan  keganasan 
perdarahan SMBA bisa  dipicu  antara lain oleh beberapa faktor berikut ini:

Tukak Lambung
Tukak peptikus yaitu  pemicu  pertama  perdarahan SMBA di luar negeri. Kemungkinan perdarahan ini yaitu  gejala pertama tukak peptik sebelum gejala yang lain. sebaiknya  kemungkinan perdarahan sebab  tukak peptik selalu dipertimbangkan, walau  tidak ada anamnesis mengenai  tukak peptik. Tukak lambung lebih sering menimbulkan perdarahan terutama   yang terletak di angulus dan pre-pilorus dibandingkan dengan tukak duodeni. Tukak lambung yang bersifat akut biasanya dangkal dan multiple yang bisa  digolongkan sebagai erosif. biasanya  tukak ini dipicu  oleh obat-obatan sehingga muncul   gastritis erosif. Perdarahan bisa  juga terjadi pada 
penderita yang pernah mengalami gastrektomi, yaitu adanya tukak di area   anastomosis. Tukak seperti ini dinamakan tukak marginalis. 

Varises
Perdarahan dari pecahnya varises biasanya  mendadak dan masif. Perdarahan sebab  pecahnya varises esofagus atau lambung biasanya  akibat hipertensi portal sekunder dari sirosis hati. Selain sirosis hati, hal lain yang 
bisa  pula memicu  munculnya  varises esofagus atau lambung yaitu  hepatitis akut dan perlemakan hati yang berat, yang bisa  menghilang bila fungsi hati membaik. walau  perdarahan SMBA penderita sirosis hati 
biasanya  diduga sebab  pecahnya varises esofagus,  bahwa sebagian perdarahan SMBA sebab  tukak peptik 
dan gastropati hipertensi portal. 

Gastritis Erosif
pemicu  terbanyak dari gastritis erosif yaitu  pemakaian  obat-obatan yang menimbulkan erosi pada mukosa lambung, antara lain NSAID, jamu, antibiotik, dan obat lain yang menimbulkan iritasi dan hiperasiditas lambung. 

Gastritis
Gastritis bisa  dipertimbangkan sebagai sebab pertama  perdarahan SMBA pada penderita dengan anamnesa adanya dyspepsia,kebiasaan makan yang tidak teratur atau kebiasaan minum alkohol maupun obat NSAID. Erosi 
mukosa lambung sering pula terjadi pada penderita dengan trauma berat, sesudah  pembedahan, penyakit sistemik yang berat, luka bakar, dan penderita 
dengan naiknya  tekanan intra kranial (stress ulcer).
Robeknya mukosa esofago-gastrik (robekan Mallory-Weiss). ini  sering terjadi pada penderita yang muntah terus menerus, yang semula tidak berdarah kemudian terjadi erosi mukosa esophago-gastric junction sehingga 
bisa  terjadi hematemesis. Contoh yang paling sering yaitu  pada penderita hyperemesis gravidarum.
pemicu  lain dari perdarahan SMBA yaitu  esophagitis dan karsinoma. ini  sering memicu  perdarahan yang kronis dan jarang menybabkan perdarahan masif. Kanker atau tumor lambung/duodenum dan limfoma   jarang memicu  perdarahan. 
patogenesis
Untuk mencari pemicu  perdarahan saluran makan bisa  dengan mencari faktor  pemicu  perdarahan, antara lain antaralain: : 
 -  Faktor pembuluh darah (vasculopathy), seperti pada tukak peptik;
 -  Faktor trombosit (thrombopathy), seperti pada (ITP);
 -  Faktor kekurangan zat pembekuan darah (coagulopathy), seperti pada hemofilia, sirosis hati. 
Perdarahan saluran makanan pada penderita sirosis hati terjadi sebab  kombinasi dari ketiga faktor itu . Vasculopathy memicu  pecahnya varises esofagus, trombopathy yakno pengurangan trombosit di sirkulasi 
perifer sebab  adanya hipersplenisme dan ada   pula coagulopathy sebab  kegagalan sel hati. ada   2 teori mengenai  pecahnya varises esofagus, yaitu: 
pertama yaitu  teori erosi, yaitu  pecahnya pembuluh darah sebab  erosi makanan yang kasar (berserat tinggi dan kasar) atau sebab  obat NSAID dan kedua yaitu  teori erupsi, yaitu  sebab  tekanan vena porta yang terlalu 
tinggi, yang bisa  pula dicetuskan oleh naiknya  tekanan intra perut  yang tiba-tiba contoh  pada keadaan mengejan, mengangkat benda berat, dan lain-lain.
Perdarahan saluran makanan bisa  pula dibagi menjadi 2, yaitu sebagai berikut : 
 -  Perdarahan primer, seperti pada hemofilia, ITP, hereditary haemorrhagic telangiectasis, dan lain-lain.
 -  Perdarahan sekunder, seperti pada kegagalan hati, uremia, (DIC), iatrogenik (pada penderita dengan terapi obat anti koagulan atau fibrinolitik), drug-induced thrombocytopenia, pemberian transfusi darah yang masif, dan lain-lain.
diagnosa 
Anamnesis yang baik   bermanfaat  dalam menentukan pemicu  perdarahan SMBA. Riwayat penyakit dahulu seperti tukak peptik riwayat keluhan antaralain: : nyeri perut, disfagia, mual, muntah, hematemesis, kotoran 
kehitaman (tarry stool), riwayat pemakaian  obat-obatan seperti: clopidogrel, warfarin, NSAID, aspirin, penghambat reuptake selektif serotonin juga 

harus diketahui sehubungan perdarahan saluran cerna bagian atas ini, riwayat penyakit keluarga, dan lain-lain yaitu  petunjuk yang penting. Pemeriksaan fisik juga   menentukan. peralatan medis  diagnosa   lain yang bisa  
membantu yaitu  endoskopi, radiografi, angiografi dan juga radionuklir ,
pengobatan  awal yang cepat dan resusitasi harus dilakukan dengan cepat bersamaan dengan diagnosa  pada pasien dengan perdarahan masif. Beberapa pasien bisa  memerlukan intubasi untuk mengurangi kemungkinan munculnya  aspirasi. Pasien dengan perdarahan aktif, sebaiknya dirawat di ruang perawatan intensif dengan pengawasan  ketat, dan segera dirujuk pada fasilitas diagnosa   dan terapi perdarahan SMBA 
pengobatan 
Resusitasi harus dilakukan pada saat awal bersamaan dengan diagnosa  perdarahan SMBA. sesudah  kondisi hemodinamik stabil, maka endoskopi awal harus segera dilakukan (sebaiknya < 24 jam sesudah  perdarahan) untuk konfirmasi diagnosa  dan terapi, sehingga mencegah munculnya  perdarahan ulang 
Identifikasi dan pencegahan   pada  munculnya gangguan hemodinamik harus segera dilakukan. Pemasangan iv line paling sedikit 2 line disarankan  pada perdarahan masif dan suplai oksigen yang cukup. Intake dan output harus 
tercatat dan terprogram dan harus dipasang kateter urine. pemantau  ketat vital sign sesuai dengan peralatan medis  yang tersedia. Pemasangan nasogastrik tube untuk 
melakukan bilas lambung agar memudahkan dalam melakukan tindakan endoskopi. Transfusi bisa  dilakukan untuk mempertahankan sirkulasi dan suplai oksigen. Transfusi darah diperlukan untuk mencapai target hemoglobin 
7 - 8 g/dL. Faktor individual bisa  dipertimbangkan, seperti adanya proses perdarahan yang masih aktif, kelainan kardiovaskular, usia , dan  status hemodinamik pasien , Pemeriksaan laboratorium segera diperlu kan pada peristiwa  yang memerlukan  transfusi masif. Pasien 
yang stabil sesudah  pemeriksaan dan dianggap cukup stabil, bisa cepat  dirawat untuk terapi lanjutan atau persiapan endoskopi. Konsultasi ke dokter spesialis terkait dengan pemicu  dari perdarahan. pengobatan  
sesuai dengan pemicu  perdarahan, yaitu: 
Proton Pump Inhibitor diberikan untuk mengurangi sekresi asam lambung sehingga mempercepat penghentian perdarahan dan mencegah perdarahan 
ulang. pemakaian  antagonis reseptor H2 tidak disarankan  pada perdarahan SMBA  
Terapi bedah antaralain:  total shunts, partial shunts, 
selective shunts dan prosedur devaskularisasi. Total shunts mengendalikan  dan mencegah perdarahan varises namun tidak meningkatkan survival dan  kadang  memicu ensefalopati ,Tirah baring,  Puasa,  Diet lunak, Sitoproteksif, atau sukralfat,  pada  pasien yang diduga kuat sebab  ruptura varises gastroesoageal bisa  diberikan somatostatin bolus dan drip. Pemberian diberikan sampai perdarahan berhenti dan pencegahan perdarahan ulang. Prosedur pembedahan juga bisa  dilakukan untuk mencegah perdarahan ulang,  Kumbah lambung biasanya  segera dilakukan untuk membersihkan mukosa lambung dari darah sehingga membantu keberhasilan endoskopi (injeksi skleroterapi ataupun ligasi), 




Komplikasi dari pedarahan SMBA yang paling berbahaya yaitu  munculnya  syok hipovolumik yang bisa  memicu munculnya  kerusakan organ lain seperti gagal ginjal akut, encephalopathy, gagal jantung, dan lain-lain yang 
terkait dengan sirkulasi darah. Dengan pengobatan  awal yang baik diharapkan gejala sisa dan kompliksi tidak terjadi ,Prognosis pada perdarahan SMBA biasanya terkait dengan pemicu  dasarnya. pengobatan  awal juga mempengaruhi  prognosis pasien. Pada pasien dengan penyakit hati kronik, keganasan biasanya memiliki  
prognosis yang buruk sedang  pada gastritis erosif, ulkus peptik memiliki  prognosis yang baik jika  dilakukan pengobatan dengan  optimal 



 
Benda asing dalam suatu organ yaitu  benda yang berasal dari luar badan   atau dari dalam badan , yang dalam keadaan normal tidak ada. Benda asing di Telinga Hidung tenggirokan  (THT) yaitu  masalah yang sering ditemukan 
oleh dokter layanan primer terutama   di pelayanan gawat darurat ,Benda asing THT sering terjadi pada anak. Hal itu dipicu  sebab  anak cenderung mengeksplorasi badan nya, terutama   area  yang berlubang, termasuk telinga, hidung, dan mulut , diagnosa  benda asing pada pasien sering terlambat sebab  tidak terlihat, gejalanya tidak 
menonjol , dan sering terjadi kesalahan diagnosa  di saat awal pemeriksaan. Ekstraksi benda asing THT dilakukan dengan forceps, irigasi dengan air, dan kateter hisap. Ekstraksi benda asing harus dilakukan sedini mungkin untuk menghindari komplikasi yang bisa  dimunculkan . Usaha ekstraksi benda asing sering     mendorong benda asing lebih dalam sehingga ekstraksi harus dilakukan secara cepat  dan hati-hati sebab  akan berisiko menimbulkan trauma yang bisa  merusak struktur organ yang lain dan memberi  komplikasi yang lebih berat. Ekstraksi benda asing bergantung pada beberapa 
factor, yaitu dari benda asing sendiri, dokter yang kompeten dengan alat-alat yang memadai, dan kerja sama dari pasien 
peristiwa  benda asing telinga dan hidung paling sering terjadi pada anak, terutama   anak usia kurang dari 5 tahun, pada dewasa lebih jarang terjadi. sedang  benda asing tenggirokan  paling sering terjadi pada dewasa dibandingkan  anak-anak  Benda asing yang ditemukan di THT beragam  , baik berwujud  benda mati atau benda hidup, seperti binatang, komponen tumbuhan, atau mineral Benda asing telinga pada anak kecil yang sering ditemukan yaitu  kacang hijau, manik, mainan, karet penghapus, dan kadang  baterai. sedang  pada pasien  dewasa yang relatif sering ditemukan yaitu  kapas cotton bud yang tertinggal, potongan korek api, patahan pensil, kadang ditemukan serangga kecil seperti kecoa, semut atau nyamuk  Benda asing yang paling sering ditemukan dalam hidung yaitu  sisa makanan, permen, manik-
manik, dan kertas , Jenis benda asing tenggirokan  yang 
paling sering yaitu  tulang ikan ,
Faktor yang mempengaruhi munculnya  benda asing THT antara lain personal, kegagalan mekanisme proteksi, benda asing, kejiwaan, neurogenik, dan proses menelan 
Faktor personal antaralain:  usia , jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial, dan tempat tinggal. Faktor kegagalan mekanisme proteksi normal antaralain:  
kondisi tidur, penurunan kesadaran, alkoholisme, dan epilepsi. Faktor benda asing antaralain:  ukuran, bentuk, dan  sifat benda asing. segi  psikologis 
antaralain:  faktor kejiwaan, antara lain emosi, gangguan psikis dan  faktor kecerobohan. Faktor risiko benda asing pada tenggirokan , yaitu kelainan dan penyakit neurologik, proses menelan yang belum sempurna pada anak, faktor 
gigi, dan belum tumbuhnya gigi molar pada anak yang berusia  kurang dari 4 tahun dan  gigi yang tanggal pada pasien  tua ,Faktor yang juga berperan pada  munculnya  benda asing THT pada anak yaitu  keinginan untuk mengeksplorasi rongga badan . ini  terjadi akibat kurangnya pengawasan pasien  tua pada  anak dari benda yang berisiko masuk ke organ THT. Faktor lainnya antara lain rasa keingintahuan,  ketertarikan pada benda kecil, keinginan untuk bermain, retardasi mental dan ADHD 
Benda asing THT pada anak dan balita banyak dipicu  oleh faktor kesengajaan, sebab  pada tahun awal kehidupan anak akan mengalami  periode penjelajahan dan interaksi dengan lingkungan. saat  anak mulai 
bisa  merangkak dan berjalan, anak mulai berinteraksi dengan banyak benda yang biasanya anak suka memasukan benda itu  ke dalam lubang telinga, 
hidung, dan mulut Benda asing THT pada pasien  dewasa sering dipicu  oleh faktor kecerobohan dan kecelakaan. Faktor kecerobohan sering terjadi pada benda asing telinga, yaitu sewaktu memakai  alat pembersih telinga 
contoh  kapas, tangkai korek api atau lidi yang tertinggal di dalam telinga. Benda asing hidung banyak terjadi secara kebetulan atau kecelakaan yang terjadi tanpa sengaja yang mana benda asing masuk ke dalam hidung atau tenggirokan  contoh masuknya serangga, kecoa, lalat, dan nyamuk. Benda asing ,
 diagnosa  dilakukan  dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan laboratorium ataupun radiologi dilakukan pada peristiwa  sulit yang memerlukan  pemeriksaan mendalam dan pada peristiwa  dengan penyulit. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yaitu  alat diagnosa   yang pertama  
1. Anamnesis
Pasien dewasa bisa  menyampaikan kepada pemeriksa bahwa ada benda asing dalam organ THT. Sementara pada anak, berdasar  usianya, mungkin bisa  mengetahui bahwa ada benda asing dalam organ THT atau 
penderita sering merasakan ketidaknyamanan di organ THT, nyeri pada telinga, hidung dan tenggirokan  yang bisa  memicu  anak rewel dan menangis dan  sering diperoleh keluhan mual atau muntah pada peristiwa  
benda asing tenggirokan  ,Penderita dengan benda asing telinga sering memberi keluhan nyeri telinga atau telinga berair. Gejala lainnya bisa  berwujud  gangguan pendengaran  atau rasa penuh di Meatus Akustikus Eksternus ,Penderita dengan benda asing hidung akan diperoleh anamnesis dan tanda khas, yaitu adanya sekret yang berbau di hidung yang bersifat unilateral 
dengan atau tanpa keluhan hidung buntu, kadang  diperoleh epistaksis. Keluhan benda asing di tenggirokan  diperoleh rasa tidak nyaman dan nyeri pada lokasi menonjol  dan menetap di lokasi benda asing yang bertambah di saat menelan dan  diperoleh riwayat tertelan benda asing ,Gejala dan tanda benda asing hidung dan tenggirokan  yang masuk ke dalam saluran napas dilakukan  berdasar  anamnesis adanya riwayat 
tersedak sesuatu, tiba-tiba muncul rasa tercekik. Anamnesis yang cermat perlu dilakukan  sebab  peristiwa  aspirasi benda asing sering tidak segera dibawa ke dokter saat kejadian. Perlu diketahui macam benda atau bahan 
yang teraspirasi dan sudah  berapa lama tersedak benda asing ,
Pemeriksaan fisik, temuan bisa  beragam   tergantung benda dan lama waktu benda itu  sudah berada di organ THT. Benda asing yang baru saja masuk ke dalam organ THT sering muncul tanpa kelainan selain adanya 
benda asing itu  yang terlihat secara langsung atau dengan pemeriksaan status lokalis dengan otoskopi, rinoskopi dan faringoskopi 
Pemeriksaan otoskopi status lokalis benda asing telinga sering diperoleh benda asing pada penyempitan MAE. Benda asing hidung biasanya  ditemukan di anterior vestibulum atau pada meatus inferior sepanjang dasar 
hidung. Benda asing tenggirokan  sering ditemukan di tonsil, pangkal lidah, valekula dan dinding lateral tonsil ,
Pemeriksaan benda asing telinga menimbulkan bertambahnya nyeri, sering diperoleh perdarahan yang diakibatkan sebab  benda asing yang melukai MAE atau jika terjadi ruptur membran timpani, atau akibat usaha 
pasien yang memaksakan pengeluaran benda itu . Pada kondisi lanjut bisa  ditemukan eritema, pembengkakan dan sekret berbau dalam MAE. Benda asing serangga di MAE bisa  merusak MAE atau membran timpani 
melalui gigitan atau sengatan ,
Pemeriksaan fisik hidung dan tindakan ekstraksi dengan rinoskopi anterior, diperlukan penyemprotan agen vasokonstriktor untuk memperkecil mukosa pada saat pemeriksaan dan tindakan ekstraksi, tindakan ini bisa  
memberi  petunjuk  benda asing yang lebih jelas. Pada anak yang kurang kooperasi , kadang diberikan anestesi umum untuk mempermudah 
Pemeriksaan fisik rongga hidung bisa  ditemukan kelainan secara unilateral berwujud  edema, granulasi mukosa menutupi benda asing, dan bisa  ditemukan destruksi luas pada mukosa membran, tulang, dan 
kartilago. Mukosa hidung menjadi lunak dan mudah berdarah sehingga bisa  menimbulkan epistaksis. Benda asing tertutupi oleh mukopus, sehingga disangka sinusitis dan jika  akan menghisap sekret harus berhati-hati agar 
benda asing itu  tidak terdorong ke arah nasofaring yang kemudian bisa  masuk ke laring, trakea, dan bronkus sehingga bisa  memicu  komplikasi yang fatal ,
Pemeriksaan tenggirokan  yang dicurigai adanya benda asing sering     tidak diperoleh adanya kelainan kecuali diperoleh adanya riwayat tertelan benda asing dan diperoleh nyeri yang menetap dan  bertambah jika  
menelan. Pada tahap  lanjut bisa  ditemukan adanya tanda keradangan di sekitar benda asing 
3. Pemeriksaan Penunjang 
Pada peristiwa  benda asing THT, pemeriksaan radiologi jarang dilakukan namun  bisa  dilakukan  untuk membantu melakukan  diagnosa  jika  dengan pemeriksaan fisik lokalis diperoleh kesulitan untuk 
mengindentifikasi benda asing, juga dilakukan pada benda asing yang dicurigai sudah  masuk pada saluran napas atau saluran makan. Benda asing
yang bersifat radio opak bisa  dibuat foto radiologik segera sesudah  kejadian, sedang  benda asing radiolusen (seperti kacang-kacangan) dibuatkan foto 
radiologik sesudah  24 jam kejadian sebab  sebelum 24 jam kejadian belum menandakan  petunjuk  radiologis yang berarti ,
Pemeriksaan dan tindakan memakai  endoskopi dipakai  untuk benda asing hidung dan tenggirokan , terutama   untuk benda asing yang berukuran kecil. Endoskopi selain untuk diagnosa , pemakaian  endoskopi ini juga bermanfaat  dalam ekstraksi benda asing. Endoskopi itu  yaitu  nasal endoskopi untuk pemeriksaan dan tindakan pada hidung. Laringoskopi kaku maupun fleksibel untuk pemeriksaan dan tindakan pada tenggirokan  

4. diagnosa  banding
Benda asing di MAE perlu dibedakan dari beberapa penyakit di bawah ini yang memiliki manifestasi klinis yang mirip, antara lain abrasi MAE, serumen, hematoma, otitis eksterna, tumor, perforasi membran timpani 
Benda asing hidung perlu dibedakan dengan sinusitis, 
rinoskleroma, dan rinitis. Benda asing tenggirokan  perlu dibedakan dengan tonsilitis dan faringitis 

pengobatan 
Benda asing THT harus dilakukan ekstraksi agar tidak memberi  komplikasi yang fatal. Pemeriksaan dengan inspeksi yang cermat mengenai  benda asing berwujud  ukuran dan tekstur akan menentukan tehnik  apa yang 
dipakai . Visualisasi benda asing yang kuat  yaitu  hal yang penting untuk menentukan keberhasilan ekstraksi benda asing Peralatan untuk memperoleh  visualisasi yang baik dan jelas yaitu  otoskop, spekulum hidung, spekulum telinga, lampu kepala, kaca pembesar, dan mikroskop. Beberapa instrumen yang harus disiapkan yaitu   angle hook, curved hook, curette, aligator forcep, hartman’s forcep, nasal dressing forceps, suction, dan irrigation equipment  usaha  tindakan pertama untuk melakukan ekstraksi benda asing  yaitu  tindakan yang   penting dan menentukan keberhasilan. 
Tindakan kemudian  akan menjadi lebih sulit dipicu  adanya udem,  perdarahan, dan berkurangnya kerja sama penderita. Tindakan ektraksi benda asing pada anak yang gelisah dan tidak kooperasi  maka diperlukan 
tindakan untuk membuat anak menjadi tenang bahkan dilakukan fiksasi dengan metode straping boards atau tehnik  mummy. Pasien anak dipangku, kemudian akan menahan tangan dan lengan pasien, dan seseorang yang   lain  membantu menahan kepala pasien dalam posisi ekstensi 30o. jika  tetap  tidak kooperasi  maka bisa  dipertimbangkan pemberian anestesi umum 
Anestesi lokal sebelum tindakan ekstraksi benda asing akan membantu tindakan menjadi efektif . Anestesi lokal untuk hidung bisa  dipakai   lidokain 4% atau adrenalin (epinephrin) 1:200.000. Anestesi umum diberikan 
pada penderita yang tidak koperasi  atau pada benda asing yang sulit dikeluarkan. Sebanyak 30% penderita benda asing telinga dilakukan dengan .anestesi umum. Sebagian besar benda asing hidung dilakukan tindakan 
dengan mudah di rawat jalan atau rawat darurat 
usaha  tindakan ekstraksi benda asing di telinga memerlukan  keterampilan yang baik. ini  sebab  MAE terdiri dari bagian tulang rawan dan bagian tulang yang dilapisi oleh lapisan tipis dari kulit dan periosteum. 
Bagian tulang   peka  sebab  kulit hanya memberi  sedikit 
bantal yang melapisi periosteum. Dengan demikian, usaha  mengeluarkan  benda asing telinga bisa    menyakitkan. MAE menyempit di bagian  perbatasan antara bagian tulang rawan dan bagian tulang. Benda asing bisa   semakin tersangkut di tempat itu  sehingga meningkatkan kesulitan  pada saat dikeluarkan. usaha  untuk mengeluarkan benda asing mungkin akan mendorongnya lebih jauh ke dalam MAE dan tersangkut di titik yang sempit itu . Selain itu, membran timpani bisa  rusak akibat penekanan  benda asing yang terlalu dalam atau akibat peralatan yang dipakai  selama  proses pengangkatan. Oleh sebab itu, visualisasi yang kuat , peralatan  yang memadai, pasien yang kooperasi , dan kemampuan dokter yaitu  kunci  untuk mengangkat benda asing telinga ,Tindakan pengangkatan benda asing dari telinga ditanda kan jika  ada   visualisasi yang baik dari benda asing yang teridentifikasi  di dalam MAE. Kontratanda  pengangkatan benda asing yaitu  sebagai 
berikut adanya perforasi membran timpani, kontak antara benda asing dengan membran timpani, atau tidak bagusnya visualisasi MAE, sehingga ditanda kan konsultasi dengan ahli THT untuk pengangkatan melalui 
operasi mikroskopik dan spekulum. jika  ada   baterai alat bantu dengar, sehingga konsultasi emergensi THT selalu dilakukan sebab  bisa  memicu  nekrosis dalam waktu singkat dan memicu  perforasi  membran timpani dan komplikasi lainnya. Irigasi MAE tidak boleh dilakukan 
pada peristiwa  seperti ini, sebab  bisa  memicu  percepatan proses nekrotik  Banyak tehnik  untuk pengobatan  benda asing di telinga yang tersedia. 
Pilihan tindakan tergantung pada situasi klinis, jenis benda asing yang dicurigai, dan pengalaman dokter. Tindakan ekstraksi benda asing telinga  antaralain:  irigasi air, forsep pengangkat, forsep alligator, loop cerumen, right-angle ball hooks, dan kateter hisap. 
Benda asing telinga berwujud  serangga hidup bisa  dibunuh cepat dengan  memberi  alkohol 2%, lidokain (Xylocaine) atau minyak mineral ke MAE.  ini  sebaiknya dilakukan sebelum ekstraksi dilakukan, namun  tidak 
boleh dipakai  jika membran timpani mengalami perforasi. Benda asing  berbentuk bulat tidak bisa  dilalukan eksraksi dengan forsep. Metode ini menimbulkan rasa nyeri dan bisa  memicu  laserasi di MAE juga bisa  memicu  benda asing masuk lebih dalam sehingga memerlukan  bius umum untuk ekstraksi. tehnik  irigasi bisa  dilakukan untuk benda yang  kecil dan dekat dengan membran timpani. Pemberian cairan aseton untuk 
melarutkan benda asing styrofoam atau untuk melunakkan cyanoacrylate bisa  diberikan Benda asing telinga yang lebih dari satu sering     ditemui , terutama   
pada anak sehingga perlu dilakukan evaluasi sesudah  pengangkatan benda asing dari MAE baik di sisi yang sama maupun di MAE di kontralateral. Antibiotik tetes telinga diperlukan pada pasien dengan otitis eksterna dan 
harus dipertimbangkan jika ada   laserasi atau trauma MAE. Pemeriksaan garpu tala dan audiogram harus dipertimbangkan jika ada   trauma pada membran timpani atau dicurigai adanya gangguan pendengaran (Heim dan 
Ekstraksi benda asing di hidung harus dilakukan dengan cepat  . Pemilihan tehnik  untuk mengeluarkan benda asing sebaiknya didasarkan pada lokasi, bentuk, dan komposisi benda asing. Ekstraksi benda asing hidung jarang bersifat emergensi dan bisa  menunggu saran dari spesialis terkait. Bahaya pertama  pengeluaran benda asing pada hidung yaitu  aspirasi, terutama   pada anak-anak yang tidak kooperasi  dan menangis, pasien gelisah 
yang kemungkinan bisa  menghirup benda asing ke dalam jalan napas dan melukai jaringan sekitar, sehingga menimbulkan keadaan emergensi 
Beberapa persiapan ekstraksi benda asing pada hidung antara lain posisi ideal dan fiksasi yang baik. Visualisasi yang kuat  penting untuk membantu proses ekstraksi benda asing pada hidung. Lampu kepala dan 
kaca pembesar bisa  membantu pemeriksa untuk memperoleh sumber pencahayaan yang baik dan tidak perlu dipegang, sehingga kedua tangan pemeriksa bisa  dipakai  untuk melakukan tindakan. Pemberian anestesi 
lokal sebelum tindakan bisa  memfasilitasi ekstraksi yang efektif . Xylokain yaitu  pilihan yang biasa dipakai , walaupun kokain biasa dipakai  dan bersifat vasokonstriktor. Namun, pemakaian  kokain pada anak-anak bisa  menimbulkan toksik, sehingga digantikan dengan adrenalin (epinefrin) 1:200.000. namun  , pemakaian  anestesi lokal tidak terlalu bermanfaat   
pada pasien pediatrik, sehingga anestesi umum lebih sering dipakai  pada peristiwa  anak yang tidak kooperasi . Alat yang dipakai  dalam proses 
ekstraksi benda asing pada hidung yaitu  forsep bayonet, serumen hook, kateter tuba eustasius, dan suction 
pengobatan  ekstraksi benda asing hidung yang berbentuk bulat yaitu  hal yang sulit sebab  tidak mudah untuk mencengkram benda asing itu . Serumen hook yang sedikit dibengkokkan yaitu  alat yang paling cepat  untuk dipakai . Pertama, pengait menyusuri hingga bagian 
atap cavum nasi hingga belakang benda asing hingga terletak di belakangnya, kemudian pengait diputar ke samping dan diturunkan sedikit, lalu ke depan. 
Dengan cara ini benda asing itu akan ikut terbawa keluar (
Mendorong benda asing hidung ke distal yaitu  tindakan yang tidak boleh dilakukan. Mendorong benda asing dari hidung ke arah nasofaring dengan maksud susaha  masuk ke dalam mulut namun   benda asing juga 
bisa  masuk ke laring dan saluran napas bagian bawah yang memicu  sumbatan jalan napas, sehingga menimbulkan keadaan yang gawat pemakaian  suction dengan tehnik  tekanan negatif pada ekstraksi benda asing hidung bisa  dipakai  jika  ekstraksi dengan forsep atau hook tidak berhasil dan juga dipakai  pada benda asing berbentuk bulat. Suction bisa  dengan mudah ditemukan pada bagian emergensi dan kemudian diatur pada tekanan 100 dan 140 mmHg sebelum dipakai  
Benda asing mati yang bersifat nonorganik pada hidung lainnya seperti spons dan potongan kertas bisa  diekstraksi dengan memakai  forsep. Benda asing mati lain yang bersifat organik seperti kacang-kacangan bisa  
diekstraksi dengan memakai  pengait tumpul. jika  tidak ada   peralatan atau instrument, bisa  dipakai  cara pasien bisa  mengeluarkan benda asing hidung itu  dengan cara menghembuskan napas kuat-kuat melalui hidung sementara lubang hidung yang satunya di tutup. Jika cara ini tidak berhasil atau benda asing pada hidung itu  ada   pada pasien anak yang tidak kooperasi , maka bisa  dipakai  ventilasi tekanan positif melalui mulut. Pada tehnik  ini, pasien  tua penderita melekatkan mulutnya ke 
mulut anaknya, lalu menutup lubang hidung yang tidak ada   benda asing dengan jari, lalu meniupkan udara secara lembut dan cepat melalui mulut. Walaupun secara reflex, epiglottis anak akan tertutup untuk melindungi 
paru-paru dari tekanan, penting diperhatikan bahwa tidak boleh diberikan hembusan bertekanan tinggi dan volume yang banyak ,pengobatan  benda asing hidung yang hidup berbeda diterapkan sesuai dengan jenis benda asing. Pada peristiwa  benda asing hidup berwujud  cacing, 
larva, dan lintah, pemakaian  kloroform 25% yang dimasukkan ke dalam  hidung bisa  membunuh benda asing hidup itu . ini  mungkin  harus kembali dilakukan 2-3 per minggu selama 6 minggu hingga semua 
benda asing hidup mati. Setiap tindakan yang selesai dilakukan, ekstraksi  bisa  diteruskan  dengan suction, irigasi, dan kuretase. Pada pasien dengan 
myasis dengan angka komplikasi dan morbiditas yang tinggi, dilakukan noperasi debridement dan diberikan antibiotik parenteral, dan  Ivermectin (antiparasit) bisa  dipertimbangkan. sesudah  proses ekstraksi selesai 
dilakukan, pemeriksaan yang teliti harus dilakukan untuk mengeksklusi keberadaan benda asing lainnya. pasien  tua juga harus diberikan edukasi untuk menjauhkan paparan benda asing potensial lainnya dari anak-anaknya. 
Pemberian antibiotika sistemik selama 5-7 hari hanya diberikan pada peristiwa  benda asing hidung yang sudah  menimbulkan infeksi hidung maupun komplikasi pada sinus Benda asing tenggirokan  harus dikeluarkan sesegera mungkin untuk  mencegah komplikasi di area  faring. Benda asing tenggirokan  sering ditemukan pada dewasa dengan jenis benda asing antara lain tulang ikan, 
bolus makanan, dan gigi palsu. Benda asing bisa  tersangkut yang mana saja di bagian faring. Benda asing yang tersangkut di tonsil maka bisa  diambil memakai  forsep dengan visualisasi yang baik. Sebaiknya ekstraksi 
benda asing tidak memakai  anestesi lokal, pemberian anestesi lokal ini memicu  hilangnya nyeri sehingga mengganggu penentuan lokasi benda asing berada jika  benda asing berubah posisi. jika  benda asing berada di hipofaring maka harus dipastikan letak benda asing dengan pemeriksaan laringoskopi kaku maupun fleksibel. Pencarian benda asing dilakukan sampai benda asing ditemukan atau dipastikan bahwa benda asing tidak ada. Adanya kesulitan visualisasi benda asing pada hipofaring 
tanpa memakai  endoskopi memicu  perlunya konsultasi ke dokter spesialis THT-KL. Pada penderita anak atau yang tidak kooperasi  bisa  dilakukan tindakan dengan anestesi umum Benda asing tenggirokan  harus terlihat dengan baik, tindakan ekstraksi harus dilakukan dengan cepat  dan cermat jika  ragu-ragu sebaiknya 
dikonsultasikan ke dokter spesialis THT-KL, perlu persiapan penderita, alat yang baik untuk memperoleh  hasil yang baik, dan pemeriksaan dilakukan sampai benda asing ditemukan atau memastikan bahwa benda asing tidak ada Komplikasi bisa  muncul sebagai akibat dari benda asing itu sendiri,  pemeriksaan, ataupun tehnik  ekstraksi (baik oleh tenaga medis  maupun  pasien). Benda asing telinga yang tidak dilakukan pengobatan  dengan baik maka bisa  memicu  beberapa  macam komplikasi, seperti perforasi  membran timpani, gangguan pendengaran dan edema pada MAE ,. Beberapa komplikasi benda asing hidung yang ditemukan, antara 
lain abrasi, perdarahan, infeksi pada struktur sekitar, aspirasi, dan perforasi,  dan  pembentukan dan perkembangan rhinolith. Benda asing hidung juga 
bisa  memberi  komplikasi berwujud  sinusitis akut dan juga ditemukan pula infeksi sekunder lain, yaitu selulitis periorbital, meningitis, epiglositis akut, difteri, dan tetanus. Benda asing baterai bisa  memicu  ulserasi 
dan nekrosis mukosa hidung. Sehingga tidak satupun benda asing boleh dibiarkan dalam hidung oleh sebab  bahaya nekrosis dan infeksi sekunder yang mungkin muncul  . Benda asing tenggirokan  dan tindakan yang dilakukan bisa  memberi  komplikasi berwujud  abrasi dan laserasi, bahkan jika  diikuti adanya infeksi bisa  memicu  munculnya  abses leher dalam. Tindakan ekstraksi pada hidung dan tenggirokan  harus dilakukan secara hati-
hati dan cermat sebab  bisa  memberi  komplikasi berwujud  aspirasi ke  dalam saluran pernapasan bawah maupun tertelan ke dalam jalan makan Prognosis benda asing THT biasanya baik, tergantung kepada jenis benda asing dan lokasi benda asing dan  komplikasi yang terjadi  baik dipicu  oleh benda asing sendiri maupun akibat tindakan dokter saat  melakukan usaha ekstraksi benda asing 


Epistaksis yaitu  perdarahan akut yang berasal dari rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis berasal dari kata epitazein yang berarti terus menerus menetes. Sinonim dari epistaksis antara lain bloody nose, nosebleed, atau nasal hemorrhage. Epistaksis bukan sebuah penyakit, melainkan gejala dari suatu 
kelainan. Hampir 90% epistaksis bisa  berhenti sendiri 
Perdarahan dari hidung bisa  menjadi sebuah gejala yang   
mengganggu. Faktor etiologi epistaksis bisa  bersifat lokal atau sistemik. Sumber perdarahan harus dicari dan jika perlu dicampurtangan  untuk pengobatan  
secara efektif  

Epistaksis terjadi sekitar 50% dari populasi, namun hanya 20% saja yang datang ke dokter. Sebagian besar peristiwa  epistaksis bersifat sederhana. Pada peristiwa  yang berat, bisa  pula memerlukan perawatan rumah sakit walaupun 
jarang memerlukan tindakan pembedahan 
Epistaksis memiliki penyebaran  usia yang bersifat bimodal. peristiwa  terbanyak diperoleh pada anak usia di bawah 10 tahun dan  rentang usia 45 hingga 75 tahun. Epistaksis yang memerlukan rawat inap semakin sering 
ditemui  pada populasi usia tua atau pada pengguna antikaogulan. Penderita laki-laki mendominasi usia sebelum 49 tahun. Populasi menjadi seimbang 
antara penderita laki-laki dan perempuan sesudah  rentang usia itu   ,Faktor yang mempengaruhi  antara lain infeksi saluran napas atas, rinitis alergi, atau suhu maupun kelembaban udara yang berubah-ubah. Epistaksis anterior sering terjadi sebagai akibat dari trauma atau infeksi ,
-. Kecurigaan benda asing jika  diperoleh epistaksis bercampur dengan discharged purulen.
-. Ekskoriasi kronik bisa  memicu  perforasi septum sehingga perdarahan bisa  terjadi pada tepi jaringan granulasi.
- “Mengorek-ngorek” hidung yaitu  salah satu pemicu  tersering. Sumber perdarahan sering berada pada proksimal dari mucocutaneus junction.
-. Rendahnya kelembaban udara yang memicu  mukosa menjadi kering dan iritasi. Sering terjadi pada ruangan yang diatur suhunya namun kurang kelembapan.
3. Kelainan di rongga hidung, contoh  rinitis alergi dan rinosinusitis.
- Trauma kepala bisa  memicu  epistaksis dari anterior.
Beberapa faktor risiko yang bisa  memicu  epistaksis anterior dan posterior : 

- Penderita dengan hipertensi. Hipertensi memicu  vaskulopatik sehingga meningkatkan risiko epistaksis.
-. pemakaian  alkohol dan steroid intranasal pada penderita rinitis alergi.
- Penderita dengan gagal jantung 
-pemakaian  obat-obatan antikoagulan seperti koumarin, warfarin, aspirin, NSAID, heparin, dan tiklopidin.
 - Kelainan perdarahan herediter, seperti hemorrhagic telengiectasis atau Osler’s disease. Perdarahan pada penderita itu  kadang sulit untuk dikendalikan . Diperlukan status hemostatik untuk memulai perawatan.
- Penderita dengan familial blood dyscrasia, khususnya gangguan trombosit, von Willebrand disease dan hemofilia.
- Perdarahan berulang berasal dari posterior dan masif yang dipicu  oleh aneurisma arteri karotis. bisa  didahului oleh riwayat operasi di kepala dan leher atau trauma, namun bisa  juga bersifat spontan.
-Epistaksis sebagai bagian dari neoplasma rongga hidung. Contoh keganasan antara lain squamous cell carcinoma, adeno cystic carcinoma, melanoma, dan inverted papilloma. Kanker nasofaring sering diperoleh 
pada ras Asia..
-pemakaian  aspirin





Epistaksis bisa  dipenggolongan  menjadi epistaksis anterior dan posterior berdasar  sumber perdarahan 

1. Epistaksis Anterior
 Epistaksis anterior paling sering berasal dari pleksus Kiesselbach, yang yaitu  sumber perdarahan paling sering ditemui  pada anak-anak.   bisa  berasal dari arteri ethmoidalis anterior. Perdarahan bisa  berhenti sendiri (spontan) atau dengan tindakan sederhana.  yaitu  kelompok epistaksis paling sering ditemui  dan sebagian 
besar bersifat self-limited dan bisa  diterapi di peralatan medis  kesehatan tingkat 1 atau primary care.
 Hampir 90% perdarahan anterior terjadi pada sistem vaskuler pada septum yang dikenal dengan pleksus Kiesselbach. Anastomosis yang membentuk pleksus itu  antara lain: cabang septum arteri etmodalis, 
cabang lateral arteri sfenopalatina, dan cabang septum dari labialis superior arteri fasialis. Arteri sfenopalatina juga memberi suplai pada dinding poterolateral dan dinding atau koana.



2. Epistaksis Posterior
 Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi  pada pasien  dewasa dengan hipertensi, arteriosklerosis, atau penyakit  kardiovaskuler. Perdarahan bisa  terjadi dengan hebat dan jarang 
berhenti spontan. Dokter umum yang ahli  mungkin bisa  
menghentikan sementara dengan memakai  tampon, namun sebagian besar penderita memerlukan rujukan ke Instalasi Gawat Darurat untuk konsultasi dengan ahli THT-KL.  Untuk memahami epistaksis   perlu mengetahui anatomi rongga  hidung. Patogenesis epistaksis yang berhenti spontan belum jelas dan  jumlah kejadian hanya 1 hingga 3 dalam 4 peristiwa  
diagnosa 
Initial assesment - asesmen awal peristiwa  epistaksis difokuskan pada evaluasi jalan napas dan status kardiovaskular. campurtangan  jalan napas, resusitasi cairan, dan konsultasi emergensi pada ahli THT-KL   diperlukan pada peristiwa  yang berat 
diagnosa  bisa  dilakukan  berdasar  anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis antaralain:  hal antaralain:


1. Keluar darah dari hidung atau riwayat keluar darah dari hidung.
2. Perlu ditanyakan secara menonjol :
a. Lokasi keluarnya darah (dari depan rongga hidung atau ke tenggirokan )
b. Kondisi yang yaitu  faktor risiko munculnya  epistaksis, antaralain:   tumor, gangguan koagulasi, trauma atau pembedahan, pemakaian  
medikasi (aspirin, warfarin, steroid intranasal) atau kondisi lain 
c. Lamanya perdarahan, frekuensi, dan jumlah darah yang keluar
d. Gejala dan tanda kehilangan darah kronis, seperti sesak, sakit kepala, rasa tidak nyaman di dada, dan lain-lain.
Pemeriksaan fisik bisa  dilakukan antaralain: : 
1. Pemeriksaan umum. Penting untuk evaluasi status vital dan jalan napas pada peristiwa  epistaksis berat. Perlu diperhatikan adanya sumbatan jalan napas akibat darah yang profus atau syok hipovolemik, khususnya pada 
penderita usia tua dengan penyakit sistemik. Pada penderita epistaksis berulang, bisa  dievaluasi status koagulasi (ekimosis, ptekie, lesi telengangiektasis).
2. Pemeriksaan berikut yaitu  kondisi rongga hidung. Sebelum  pemeriksaan, jika bisa  dilakukan anestesi untuk kenyamanan.  Anestesi bisa  diperoleh dengan memakai  topikal anestesi dan vasokonstriksi yang dioleskan memakai  cutton swab. Obat yang 
lazim dipakai  yaitu  lidokain dan epinefrin 2%. Selain dengan swab, bisa  pula memakai  kapas yang sudah  dibasahi dengan obat dan diletakkan di rongga hidung memakai  forsep. Oxymetazoline nasal tidak berdampak anestesi, hanya bersifat vasokonstriksi. Penderita diperiksa dalam posisi duduk di kursi dental. Jika tidak tersedia bisa  duduk di kursi biasa dengan kepala di atas meja pemeriksaan dengan kepala tidak boleh banyak bergerak. Pemeriksaan memerlukan  cahaya yang baik memakai  lampu kepala atau cermin. Pemeriksaan 
rongga hidung memakai  spekulum hidung. Kepala penderita dalam posisi sniffing. Jika tampak bekuan darah di rongga hidung, maka dilakukan penghisapan untuk membersihkan..

a. Rinoskopi anterior
 Pemeriksaan harus dilakukan secara berurutan dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat untuk mengetahui sumber perdarahan.

b. Rinoskopi posterior
 Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk  mengabaikan  neoplasma.
Dilakukan inspeksi pada area Little sebagai tempat terbanyak sumber perdarahan. Evaluasi adanya ulserasi atau erosi. Selain itu evaluasi juga mukosa pada vestibulum, septum, konka sebagai lokasi sumber perdarahan 
Membedakan epistaksis anterior dengan posterior bisa  juga menyulitkan. Jumlah darah yang keluar maupun frekuensi kekambuhan  bisa  menjadi tambahan informasi. Menekan ala nasi akan menghentikan  perdarahan yang berasal dari anterior, namun interpretasi menjadi lebih sulit  jika  perdarahan dari posterior berhenti spontan. Cara praktis menentukan sumber perdarahan yaitu  dengan memasang tampon di kedua rongga 
hidung. jika  masih terjadi perdarahan maka dugaan sumber perdarahan berasal dari posterior 
pengobatan 
Sebagian besar epistaksis anterior akan berhenti spontan tanpa campurtangan , atau mungkin cukup dengan pemasangan tampon saja. jika  perdarahan yang terjadi sudah  berhenti, tampon tidak perlu dipasang kecuali ada  
risiko perdarahan berulang. Evaluasi efek tampon dan risiko munculnya  perdarahan ulang setidaknya memerlukan waktu 30 menit. Tampon yang 
ditinggal di hidung penderita harus diberi lapisan antibiotik  
Tiga prinsip pertama  dalam menanggulangi epistaksis, yaitu:   Mencegah berulangnya epistaksis.Menghentikan perdarahan,Mencegah komplikasi, 
Tahapan pengobatan  epistaksis yaitu  antaralain: : 
1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita   lemah atau keadaan syok, pasien bisa  berbaring dengan kepala dimiringkan.
2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan bisa  dihentikan dengan cara duduk dengan kepala dilakukan , kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama 3 - 5 menit (metode Trotter).
3. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap (suction) dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku.
4. Bila perdarahan tidak berhenti, kapas dimasukkan ke dalam hidung yang dibasahi dengan larutan anestesi local, yaitu 2 cc larutan pantokain 2% atau 2 cc larutan lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc larutan adrenalin 1/1000. ini  bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat 
vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan bisa  berhenti sementara untuk mencari sumber perdarahan. Sesudah 10 - 15 menit  kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
5. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan bisa  dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan lidi kapas yang dibasahi larutan nitrasargenti 20 - 30% atau asam trikloroasetat 10%. Sesudahnya, area itu  diberi salep untuk mukosa dengan antibiotik. 
6. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. bisa  juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga mirip  
pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan bisa  dipertahankan selama 
2  24 jam. Selama 2 hari dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor pemicu  epistaksis. Selama pemakaian tampon, diberikan antibiotik sistemik dan analgetik.
7. Untuk perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang dinamakan  tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon ini 
ada   3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus bisa  menutupi koana (nares posterior). tehnik  
pemasangan tampon posterior, yaitu: 
--Masukkan kateter karet melalui kedua nares anterior sampai tampak di orofaring, lalu tarik keluar melalui mulut. --Kaitkan kedua ujung kateter masing-masing pada 2 buah benang tampon Bellocq, kemudian tarik kembali kateter itu melalui hidung. 
-- Tarik kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior dengan bantuan jari telunjuk, dorong tampon ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka bisa  pula dimasukkan tampon anterior ke dalam cavum nasi. 
--Ikat kedua benang yang keluar dari nares anterior pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, susaha  tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. 
-- Lekatkan benang yang ada   di rongga mulut dan terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq pada pipi pasien. Gunanya yaitu  untuk menarik tampon keluar melalui mulut sesudah  2-3 hari. 
--Berikan juga obat hemostatik selain dari tindakan penghentian perdarahan itu.
Konseling dan Edukasi Memberitahu individu dan keluarga untuk 
Menghindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari sehingga diperlu kan pengawasan yang lebih ketat pada pasien anak.Membatasi pemakaian  obat-obatan yang bisa  meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen.Mengidentifikasi pemicu  epistaksis, sebab  ini  yaitu  gejala suatu penyakit sehingga bisa  mencegah muncul  nya kembali epistaksis.
mengendalikan  tekanan darah pada penderita dengan hipertensi.Menghindari membuang lendir melalui hidung terlalu keras.
Kriteria Rujukan di antaranya:
Epistaksis yang terus berulang atau massif.. Bila perlu mencari sumber perdarahan dengan modalitas yang tidak tersedia di layanan primer, contoh  naso-endoskopi.Pasien dengan epistaksis yang curiga akibat tumor di rongga hidung atau nasofaring.
Komplikasi bisa  terjadi pada 3% penderita epistaksis. Komplikasi yang mungkin muncul   yaitu : 
Aspirasi,Angina, Miokard infark,Hipovolemia.
 Sinekia (perlekatan mukosa rongga hidung)
halaman 6



Trauma medula spinalis diarti kan cedera yang terjadi pada medula spinalis, dipicu  oleh trauma langsung maupun tak langsung yang  mengenai medula spinalis
kejadian  trauma medula spinalis diperkirakan 10 - 70 peristiwa  per 1 juta penduduk seluruh dunia. Didominasi oleh laki-laki (sampai 80%) dengan rata-rata usia 38 tahun.  tercatat ada 21.000 peristiwa  baru tiap tahunnya. 
pemicu  terbanyak trauma medula spinalis termasuk kecelakaan sepeda motor, olahraga, dan kecelakaan kerja. Trauma komplit terjadi 55% dari total kejadian. yang mana enam puluh tiga persen (63%) terjadi pada servikal, 16% 
pada torakal dan 20% pada torakolumbal 
Sistem susunan saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. Untuk medula spinalis sendiri terbentang mulai dari foramen magnum sampai dengan setinggi vertebra L1 - 2 dan ada   bagian yang melonjong dan agak 
melebar yang dinamakan  conus terminalis atau conus medullaris, biasanya mulai pada medula spinalis level L1. Di bawah conus terminalis ada   serabut-serabut bukan saraf yang dinamakan  filum terminale yang yaitu  jaringan ikat. Medula spinalis berakhir setinggi L1-2 
Setiap manusia ada   31 pasang saraf spinal yang terdiri atas 8 pasang saraf servikal, 12 pasang saraf torakal, 5 pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf sakral dan 1 pasang saraf koksigeal. Akar (radiks) saraf lumbal dan sakral 
terkumpul dinamakan  dengan cauda equina. Struktur medula spinalis terdiri dari substansi abu-abu (grisea) dan substansi putih (alba), yang mana substansi abu-abu 
(grisea) membentuk seperti kupu-kupu, terdiri dari tiga bagian yaitu: anterior, 
posterior dan komisura abu-abu, dan  substansi putih (alba) mengelilingi di bagian luarnya. Substansi abu-abu (grisea) mengandung badan sel saraf, dendrit, glia, akson tak bermyelin, dan  akson terminal dari neuron. ada   
posterior median septum pada bagian dorsal dan anterior median fissure pada bagian anterior yang mana membagi medula spinalis menjadi dua sisi, yaitu sisi kanan dan kiri. Sisi posterior sebagai input/afferent, sisi anterior sebagai output/efferent. Substansia putih (alba) hanya berisi jaras-jaras dari beberapa  traktus 
penggolongan 
Cedera medula spinalis dibedakan menjadi dua, yaitu cedera medula spinalis parsial (inkomplit) dan total (komplit). Pada inkomplit, fungsi motorik dan sensorik masih baik pada tiga level atau lebih dari letak lesi, 
diperoleh sacral sparring (masih ada sensasi pada perianal, sphincter volunter rectal atau fleksi ibu jari kaki). sedang  pada komplit, hilangnya fungsi 
motorik, sensorik, dan otonom lebih dari tiga segmen di bawah dari tingkat lesi  juga digolongkan  oleh The American Spinal Injury Association (ASIA).
Berikut penggolongan  menurut Impairment Scale (modified from the Frankel classification) untuk menganalisa  penggolongan  cedera spinal :
A = Komplit : Tidak ada fungsi motorik maupun sensorik di seluruh segmen dermatom dari titik lesi hingga S4 - S5
B = Inkomplit : Fungsi motorik di bawah lesi (termasuk segmen S4 - S5) terganggu, namun fungsi sensorik masih berjalan dengan baik. 
C = Inkomplit : Fungsi sensorik masih baik. Fungsi motorik di bawah lesi  masih berfungsi dan mayoritas otot-otot di bawah lesi memiliki kekuatan motorik kurang dari 3.
D = Inkomplit : Fungsi sensorik masih baik. Fungsi motorik di bawah lesi 
dan mayoritas otot-otot memiliki kekuatan motorik ≥ 3.
E = Normal : Fungsi motorik dan sensorik normal.
ada   6 sindrom pada cedera medula spinalis inkomplet menurut  American Spinal Cord Injury Association yaitu: Central Cord Syndrome, Anterior Cord Syndrome, Brown Sequard Syndrome, Posterior Cord Syndrome, Cauda Equina Syndrome, dan Conus Medularis Syndrome.
 
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Patofisiologi yang pertama yaitu  kerusakan primer akibat mekanis dan kemudian  kerusakan sekunder yang diakibatkan oleh beberapa  faktor 
Kerusakan PrimerMekanisme cedera berwujud  kompresi, fleksi, ekstensi, dislokasi atau distraksi yang disebab kan rotasi memicu  luka yang dalam, regangan 
atau sobekan pada jaringan saraf dan pembuluh darah. Kemungkinan lain  yaitu  dampak  struktur tulang yaitu  ligamen atau dampak  yang berkaitan  dengan kompresi yang mana menimbulkan hematome pada medula spinalis 
Perdarahan pada trauma medula spinalis terjadi pada tahap  awal dan gangguan aliran darah pada pembuluh darah terjadi pada tahap  kemudian . Gangguan aliran darah itu  memicu  hipoksia dan infark pada area  lesi dan sekitarnya, terutama   memicu  kerusakan pada substansia abu-abu (grisea) yang mana tingkat metabolismenya lebih tinggi. Sel saraf yang 
berada pada area  lesi itu  terjadi gangguan secara fisik dan ketebalan myelinnya berkurang. muncul  nya edema dan makrofag sebab  proses inflamasi juga menjadi faktor lain pemicu  penurunan transmisi saraf. Pada 
permulaan munculnya  cedera, memicu muncul  nya kaskade yang menjadi dasar dari kerusakan sekunder pada medula spinalis  Kerusakan Sekunder
Proses dimulai saat munculnya  kerusakan primer. Berkembang dalam  hitungan jam sampai hari sesudah  muncul  nya trauma, mekanisme yang terjadi 
beragam   terutama   yaitu  kekurangan energi sebab  adanya gangguan perfusi pada tingkat seluler dan iskemia. munculnya  iskemia segera dalam 
3 jam pertama sesudah  trauma terjadi, jika tidak dilakukan terapi. Ada beberapa proses yang terjadi sesudah  trauma itu , yaitu  hemorrhage, edema, 
demyelinisasi, muncul   bentukan kavitas pada akson dan neuronal necrosis yang berujung pada infark. Pada tahap  sekunder ini terjadi naiknya  glpertama t, 
eksitotoksisitas, influks calcium berlebihan, radikal bebas, lipid peroksidase pada membran sel 
Faktor sistemik juga berperan pada trauma medula spinalis, ada beberapa di antaranya hipotensi disebab kan syok neurogenik, penurunan cardiac output dan kegagalan pernapasan, ketidaknormalan dari kadar elektrolit, dan tanggap    inflamasi sistemik. Makrofag dan mikroglia berperan pada reaksi inflamasi ini sebab  melepaskan sitokin (TNF, IL-1, IL-6, dan IL-10). 
Mediator inflamasi yang lain seperti bradikinin, prostaglandin, leukotriene, platelet activating factor, dan serotonin berkumpul pada tempat lesi di medula 
spinalis 
Tanda dan Gejala
Pada trauma medula spinalis komplit, area  di bawah lesi akan kehilangan fungsi saraf. ada   tahap  awal dari syok spinal, yaitu hilangnya reflek pada segmen di bawah lesi, termasuk bulbokavernosus, kremasterika, kontraksi perianal (tonus spinchter ani) dan reflek tendon dalam. Makin berat cedera medula spinalis dan makin tinggi level cedera, durasi syok spinal makin lama dan makin besar pula. Fenomena ini terjadi sementara sebab  perubahan aliran darah dan kadar ion pada lesi. Pada trauma medula spinalis tipe inkomplit, masih ada   beberapa fungsi di bawah lesi, sehingga prognosisnya lebih baik. Fungsi medula spinalis bisa  kembali seperti semula segera sesudah  syok spinal teratasi, atau fungsi kembali membaik secara bertahap dalam beberapa bulan atau tahun sesudah  trauma ,Gejala bisa  muncul   sesuai dengan tingkat lesi pada myelum, pasien dengan lesi di bawah C5 biasanya  bisa  bernapas spontan secara kuat , 
kecuali jika mereka memiliki permasalahan pernapasan sebelumnya. Pada trauma servikal dan torakal atas bisa  memicu  paralisa otot-otot interkosta dan hilangnya tonus otot pernapasan mendadakz
Gejala pada Sistem Otonom terutama   terjadi pada lesi servikal dan torakal atas, sebab  hilangnya 
fungsi saraf simpatis akibat kerusakan pada saraf simpatis, sehingga muncul    vasodilatasi perifer dan hipotensi (syok neurogenik), bradikardi berat bisa  
juga terjadi. Hipotensi ortostatik terjadi sebab  hilangnya kendalikan  simpatis pada supra spinal. sesudah  terjadi trauma pada spinal cord, hipotalamus tidak bisa  mengendalikan  aliran darah pada kulit atau berkeringat, sehingga kemampuan untuk menggigil hilang. Selain itu, bisa  pula terjadi gangguan pada fungsi kandung kemih dan usus dan  gangguan ereksi (disfungsi ereksi) 
Evaluasi dan terapi awal harus segera dilakukan saat terjadi trauma. Deteksi awal cedera medula spinalis akan mencegah muncul  nya gejala sisa (sequele) pada fungsi neurologik. Pasien yang diduga mengalami cedera 
medula spinalis harus dilakukan imobilisasi dengan memakai  collar servikal (collar brace) dan papan (backboards). Di tempat rumahsakit   (rumah sakit/ puskesmas) dilakukan mengatasi  awal pada  “ABCs” 
(Airway dengan perlindungan pada tulang servikal, Breathing, Circulation). Pada Airway dipastikan terjaga bebas Breathing, diberikan oksigenasi terbaik 
yang kita punya dengan target tidak terjadi distress nafas dengan target Respiratory Rate (12 - 20 kali per menit), hipoksia (Saturasi Oksigen diatas 94%), Circulation, Mean Arterial Pressure (MAP) dipertahankan minimal 80 mmHg 
dengan harapan Cerebral Perfusion Pressure (CPP) tetap di atas 50 mmHg (Acute Spinal Cord Injury (Quadriplegia/Paraplegia) Untuk menjaga akses cairan yang baik, diperlukan dua IV line. Pasien bisa terjadi hipotensi yang ditambah  bradikardi, akibat hilangnya inervasi 
simpatik pada jantung saat terjadi cedera medula servikal yang dinamakan  syok neurogenik. bisa  juga mengalam hilangnya inervasi parasimpatik yang bisa  memicu  ileus paralitik ditambah  sekuestrasi cairan perut , 
distensi kandung kemih, dan hipotermi ,
Empat keadaan yang mengancam nyawa harus diidentifikasi secara cepat  dan cepat, yaitu: Hematoraks masif, Cardiac Tamponade, Hemoperitoneum masif dan fraktur pelvis yang tidak stabil. Pada setiap pasien tidak sadar harus dipikirkan adanya fraktur vertebra yang tidak stabil hingga dibuktikan sebaliknya dengan x-rays (foto rontgen). Jika pasien sadar, riwayat kejadian  harus ditanyakan, termasuk mekanisme munculnya  cedera, dan gejala yang muncul   sesudah nya, contoh  adanya nyeri dan gejala neurologik lain yang muncul  . Sakit kepala hebat, ditambah  muntah proyektil terutama   sakit kepala area   
oksipital, biasanya ditambah  fraktur odontoid atau hangman’s fracture (fraktur bilateral dari pedikel). Palpasi pada pasien dengan menggerakkan vertebra 
minimal diperoleh nyeri tekan atau deformitas juga harus diperhatikan adanya fraktur vertebra yang tidak stabil. Adanya keluhan berwujud  parestesi, adanya setinggi segmen myelum dan pola lesinya membantu menentukan 
topis, paralisis juga harus diperhatikan, untuk paralisis diminta untuk menggerakkan tangan dan kakinya sendiri dan dinilai kekuatan motorik pada lengan dan tungkai dengan skala Medical Research Council (MRC). 
Refleks tendon dalam fisiologis harus dievaluasi pada lengan dan kaki, hilangnya, berkurang atau meningkatnya reflek itu  dan diperoleh refleks patologis atau tidak pada tangan dan kaki bisa  membantu pemeriksa 
mengetahui letak lesi. Pada fungsi otonom, kita bisa  memeriksa keringat pada kulit pasien (pada kulit yang sedikit/tidak berkeringat kulit cenderung 
kering) memakai  punggung tangan  Bila tidak diperoleh refleks superfisial perut  (kontraksi akibat 
stimulasi kulit perut  bagian bawah), menandakan  adanya lesi setinggi torakal 7 - 12. Tidak adanya refleks kremaster (kontraksi otot skrotal sebagai  tanggap    dari rangsangan yang diberikan di medial paha) menandakan  adanya  lesi setinggi lumbal 1 - 2. Beevor’s sign: pasien diminta untuk mengangkat .kepala dengan pemeriksa secara gently menekan pada dahi, jika otot pada 
perut bagian bawah lebih lemah (di bawah torakal 9), maka umbilikus bergerak ke atas. lakilaki pismus mengtanda  hilangnya tonus simpatis dan prognosis 
buruk. Adanya refleks bulbokavernosus (S2 - S4) (kontraksi sphincter ani dengan melakukan kompresi pada penis atau klitoris atau dengan menurunkan 
tekanan trigonum bladder dengan balon kateter foley saat  kateter secara gentle ditarik keluar) dengan hasil yang normal adanya kontrasi pada sphincter ani,  menandakan  bahwa jalur sensorik dan motorik sakrum masih berfungsi. Tidak adanya refleks bulbokavernosus terjadi pada syok spinal atau cedera pada radiks dorsalis conus medullaris atau cauda equina. Pemeriksaan sensoris 
pada ekstrimitas, dada leher, dan wajah harus dilakukan untuk mengetahui  tingkat sistem sensorik yang berkurang atau hilang. Kelainan sensorik pada 
sebagian region sakral hampir selalu dipicu  oleh cedera medula spinalis  inkomplet 
sesudah  melakukan pemeriksaan secara cepat dan cermat, kita perlu  memindahkan pasien dengan memakai  tehnik  log-roll, yaitu diperlu kan  minimal tiga pasien  pada masing-masing sisi dengan pasien  keempat pada kepala  dan yang memimpin gerakan sekaligus mempertahankan posisi kepala dengan  sudah terpasang cervical spine immobilization. Gerakan dilakukan bersamaan  untuk memindahkan pasien ke dalam ambulans 
pemeriksaan penunjang
Foto x-ray polos yaitu  pemeriksaan penunjang yang penting pada trauma vertebra. Posisi anteroposterior, lateral, dan open mouth odontoid views bisa  
dipakai  untuk penilaian cepat mengenai  kondisi tulang belakang. Foto lateral paling bisa  memberi  informasi dan harus dilakukan pemeriksaan pada  alignment (kelurusan) posisi anterior dan posterior yang berbatasan dengan 
vertebra torakalis dan  pemeriksaan angulasi spinal di setiap level. Jaringan lunak paravertebra yang bengkak biasanya terlihat menandakan  adanya perdarahan pada area  yang fraktur atau ligamen yang rusak, penyempitan 
celah diskus, anter, atau retrolisthesis. Selain itu, fraktur dengan tipe chip dan tear drop bisa  juga terlihat pada posisi lateral. Foto anterioposterior regio toraks 
dan level lainnya yang bisa  menandakan  vertebra torakalis yang bergeser ke lateral menandakan  luasnya pedikel yang rusak dan menunjukan  kondisi 
korpus vertebra. petunjuk  oblique dari servikal akan menandakan  pedikel, tahap t superior dan inferior, lamina dan  adanya fraktur atau dislokasi secara 
lebih jelas Kita bisa  melakukan pemeriksaan penunjang berwujud  Computed Tomography (CT scan) potongan sagital dan koronal yang bisa  menunjukan  
anatomi tulang dan fraktur terutama   C7 - T1 yang tidak tampak pada foto polos.  mengabarkan  pada pemeriksaan radiografi tulang belakang servikal, diperoleh false negative sebesar 29%. Oleh sebab  itu, perlu dilakukan Spine CT dengan tingkat kepekaan  98% dan 
mendeteksi 45% cedera tambahan pada pasien dengan hasil positif pada foto polos tulang servikal. MRI memberi  petunjuk  lebih detail dari vertebra, diskus, ligamen, soft tissue, dan medula spinalis, dan  yaitu  prosedur 
diagnosa   pilihan pada pasien dengan cedera medula spinalis. Kanalis yang  mengalami subluksasi, herniasi diskus akut atau rusaknya ligamen, tampak 
jelas pada MRI. Selain itu, MRI juga bisa  mendeteksi kerusakan medula  spinalis itu sendiri, termasuk kontusio atau area  yang mengalami iskemia  melakukan MRI pada 
pasien dengan tampilan klinis meragukan, yang mana ada cedera yang terjadi, namun  dari foto polos menandakan  hasil normal. ketidaknormalan , termasuk di  dalamnya gangguan dan cedera ligamen diketemukan 36%. MRI sebaiknya dilakukan dalam waktu 24 - 72 jam sesudah  onset 
diagnosa 
Dalam melakukan  diagnosa  pada cedera medula spinalis, dilakukan anamnesis yang lengkap, yang mana keluhan dan riwayat adanya trauma atau kelainan tulang belakang ataupun adanya osteoporosis meningkatkan risiko 
munculnya  cedera medula spinalis. Selain itu, dilakukan pemeriksaan fisik neurologi yang lengkap dan penunjang yang sesuai untuk melakukan  diagnosa . seorang yang   Dokter Spesialis Neurologi bisa  melakukan  diagnosa  
sementara bila hasil pemeriksaan penunjang belum keluar.
Tanda penting untuk diagnosa  antara lain 
-. Kelemahan atau paralisis pada anggota gerak atas, bawah, atau kedua-duanya-. Pergerakan dinding dada yang paradoksikal-. lakilaki pismus pada laik-laki
- Syok neurogenik dengan manifestasi hipotensi dan bradikardi. - Nyeri leher atau punggung pascatrauma
- Mati rasa atau kesemutan (parestesi) pada tangan atau kaki
pengobatan : 
ABCs (Airway, Breathing, dan Circulation)
Airway dengan perlindungan pada tulang servikal bisa  langsung dipasang hard collar atau kantung pasir pada kedua sisi kepala dengan bagian dahi pasien difiksasi dengan namun ng melewati kantung-kantung dan backboards. Soft collar tidak efektif  untuk imobilisasi tulang belakang servikal. Alat bantu untuk membebaskan Airway bisa  dipakai  (Nasopharyngeal Airway, 
Oropharyngeal Airway, dan Endotracheal Tube). Bila diperlukan, bisa  dilakukan prosedur Cricothyroideotomy. Breathing, diberikan oksigenasi terbaik yang kita 
punya dengan target tidak terjadi distress napas dengan target Respiratory Rate (12 - 20 kali per menit) dan tidak terjadi hipoksia (saturasi oksigen di atas 94%).  Alat bantu pernapasan yang bisa  dipakai  mulai dari nasal canule (O2 4 liter per menit), simple mask (O2 6 - 8 liter per menit), masker dengan reservoir (O2 10 liter per menit), dan ventilator mekanik. Circulation, Mean Arterial Pressure (MAP) dipertahankan minimal 80 mmHg dengan harapan Cerebral Perfusion Pressure (CPP) tetap di atas 50 mmHg. Beri oksigen bila ada keadaan sesak, beri 
cairan infus 2 line untuk mencegah munculnya  syok (Acute Spinal Cord Injury  Imobilisasi 
Tindakan imobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat. Hal pertama yang dilakukan pertama yaitu  imobilisasi dan menstabilkan leher dalam posisi normal  dengan memakai  cervical collar (hard collar). Leher dicegah agar tidak terputar (rotation). Pasien dibaringkan dalam posisi terlentang (supine) pada tempat atau alas yang keras 
Steroid,Menurut National Acute Spinal Cord Injury penelitian es (NASCIS-2) dan  NASCIS-3, pasien dewasa dengan trauma akut nonpenetrating yang mengalami 
cedera medula spinalis bisa  diterapi dengan methylprednisolon segera, saat  diketahui mengalami cedera medula spinalis. Onset kurang dari 3 jam 
diberikan bolus IV dengan dosis 30 mg/kg/BB, diteruskan  dengan infus dosis 5,4 mg/kgBB/jam yang diberikan selama 24 jam jika  onset di antara 3 - 8 jam, maka infus diberikan dengan durasi lebih lama yaitu  selama 24 - 48 jam. Untuk trauma dengan onset di atas 8 jam, NASCIS tidak menyarankan  pemakaian  steroid. sebab  pemberian methyprednisolone 8 jam pascatrauma 
memberi  hasil pengobatan yang lebih buruk dibandingkan plasebo   Methylprednisolone dosis tinggi berdampak samping berwujud  perdarahan gastrointestinal, pneumonia, sepsis, ulkus peptik, dan 
hiperglikemia , Penelitian menandakan  akan terjadi pemulihan motorik dan sensorik  dalam 6 minggu, 6 bulan, dan 1 tahun pada pasien yang menerima  methylprednisolone 
Alat bantu orthosis eksternal yang rigid (kaku) bisa  menstabilkan tulang belakang dengan cara mengurangi Range of Motion (ROM) dan  meminimalkan beban pada tulang belakang. biasanya , pemakaian   cervical collars (colar brace) tidak kuat  untuk cedera pada C1, C2, atau 
servikal-torakal yang tidak stabil. Cervicothoracic Orthoses Brace yang dipasang  di atas torak dan leher, bisa  meningkatkan stabilisasi area  servikal-torakal, 
sehingga cepat  dipakai  pada pasien dengan lesi pada area  servikal yang tinggi. Alat ini mencegah gerakan fleksi dan rotasi selama cedera pada  C1 hingga Th7. Cervicothoracic Orthoses Brace ini ada   juga jenis Sternal-
Occipital-Mandibular immobilizer (SOMI), sehingga membatasi gerakan pada  bagian bawah dari tulang servikal. Minerva braces meningkatkan stabilisasi 
servikal pada area  toraks bagian atas hingga dagu dan oksipital. Alat ini  juga membatasi gerakan fleksi, ekstensi, dan rotasi. Pemasangan alat lain yang  dinamakan  halo-vest paling banyak memberi  stabilisasi servikal eksternal. 
Halo-vest paling sering dipakai untuk external splinting pada cedera tulang belakang servikal. Alat ini bisa  mengurangi gerakan secara menonjol . Oleh sebab  itu, Halo vest paling cepat  untuk fraktur tulang servikal yang tidak  stabil (tulang servikal bagian atas). Kontratanda  pemakaian  Halo-vest bila ada   infeksi pada kulit kepala dan tulang tengkorak, dan  patah tulang  tengkorak kepala yang menghambat untuk dilakukan fiksasi. Untuk cedera 
pada tulang area  lumbal yang sering dipakai  yaitu  The Boston Overlap  Brace (BOB). Tujuannya untuk mencegah gerakan fleksi, lateral bending, dan rotasi. Model ini dipakai  pada fraktur yang terletak antara L1 dan L5 

Operasi
Prosedur operasi baik dilakukan dalam jangka waktu 24 jam sampai dengan 3 minggu sesudah  munculnya  trauma dengan tanda  adanya fraktur dan pecahan tulang yang menekan medula spinalis, petunjuk  defisit 
neurologis yang progresif memburuk, fraktur atau dislokasi yang tidak stabil, dan munculnya  herniasi diskus intervertebralis yang menekan medula spinalis 
Keputusan untuk dilakukan operasi dibuat berdasar  peristiwa  per peristiwa  dengan tujuan pertama  yaitu dekompresi bagian saraf yang diharapkan 
mengembalikan atau meningkatkan fungsi saraf itu , membentuk tulang belakang yang stabil sehingga mencegah penurunan fungsi saraf dan atau 
munculnya  deformitas, dan mengembalikan pasien agar memiliki kapasitas fungsional lebih tinggi dengan cara membuat pasien bisa  mobilisasi kembali 
Tujuan pertama  operasi meringankan tekanan pada medula spinalis yang bisa  berwujud  patah tulang, spondylosis, spondylolisthesis, herniasi disk, dan hipertrofi ligamen. Dekompresi sudah  dipikirkan sebagai cara mencegah cedera primer yang lebih lanjut, sebagaimana cedera sekunder mulai terjadi 
juga dari proses iskemia, vasospasme, edema, inflamasi, radikal bebas, dan 
Jenis tindakan operasi tergantung dari area  tulang belakang yang terkena dan tipe cedera nya. contoh  pada area  yang paling atas, yaitu  craniovertebral junction termasuk tulang oksipital dan condyles, the atlas dan the 
axis ada beberapa tipe cedera 
Pada cedera craniovertebral junction, pilihan operasi bisa  dilakukan dengan beberapa tehnik  berikut:
1. Posterior Fusion Technique
-- Jeanneret and Magerl Transarticular Screw Technique
 tehnik  ini menawarkan stabilitas biomekanik tulang belakang yang baik dan bisa  melakukan gerakan segala arah dibandingkan dengan tehnik  yang memakai  wire 
--. Goel and Laheri/Harms and Melcher Fixation
 Pilihan tehnik  ini dipakai  untuk pasien dengan subluksasi C1 - C2 atau ada   arteri verterbral abberant yang mana tehnik  transarticular screws sulit atau bahaya untuk dilakukan.
-- Wiring Technique  tehnik  ini memakai  braided cable yang memiliki keuntungan  fleksibel, kuat, dan tahan pada  distorsi dan kelelahan. disarankan  bahwa kekuatan untuk menekannya tidak melebihi 8 - 12 lb untuk lamina yang normal dan 6 - 8 lb untuk tulang 
yang mengalami osteoporosis 
--. Gallie’s Technique 
 Gallie menjelaskan metodenya pada arthrodesis C1 - C2 pada tahun 1939. Kelemahan tehnik nya yaitu  fiksasi soliter, fiksasi pada garis tengah, dan fusi yang rentan bila dipakai  untuk rotasi.
--Brook’s And Jenkin’s Technique
 tehnik  ini melibatkan dua bone graft yang dipasang di antara C1 dan C2 dengan cable sublaminar. Mereka merancangnya untuk mengatasi  kekurangan kemampuan rotasi pada metode Gallie.
2. Anterior Fusion Technique
a. Odontoid Screw Fixation
 Kontratanda  untuk tehnik  ini yaitu  disruption ligamen 
transversus. Displacement lebih dari 6 mm, usia lebih dari 50 tahun, fraktur lebih dari 6 bulan, dan kebiasaan jelek pasien berisiko tinggi terjadi non-union.
b. Anterior Atlantoaxial Facet Screw Fixation
 tehnik  ini dipakai  jika terjadi kegagalan pada proses 
penggabungan atlantoaksial dari posterior atau adanya 
ketidakstabilan C1 - C2 dengan kerusakan struktur posterior pada C1 dan C2.  Pada cedera servikal dan fraktur vertebra servikal ada   dua cara , yaitu cara  dari anterior dan posterior. dokter  bedah saraf biasanya  memakai  cara  dari anterior saja untuk melakukan tindakan atau cara  kombinasi (anterior dan 
posterior), namun  hanya pada tahap  awal saja jika diperoleh herniasi diskus, dislokasi pada tahap t bilateral 
Trauma pada tulang belakang area  lumbal dan dengan adanya fraktur vertebra torakolumbal yang mana lima puluh persen terjadi pada thoracolumbar junction T12 - L2, disebab kan proses biomekanik transisi dari kaku ke elastis dan dengan bentuk kifosis pada area  torakal menjadi lordosis pada tulang belakang area  lumbal 
Ada beberapa metode untuk dekompresi dan penggabungan pada cedera area  torakolumbal : 
--. Anterior
 cara  dari depan ini paling aman untuk medula spinalis dan cara rekonstruksi terbaik untuk kolumna anterior.
--Laminektomi
 Tidak sebagai prosedur tunggal pada trauma, khususnya jika ada cedera pada kolumna anterior vertebra.
Selain beberapa metode itu , juga ada   beberapa tehnik  
atau metode untuk dekompresi dan penggabungan pada cedera area  torakolumbal yang lain, yaitu Transpedicular, cara  extended costo-trasversectomy atau lateral extracavitar 
--. Indirect
 Yaitu memakai  ligamentoaxis untuk memaksa bagian yang cedera agar keluar dari kanal dan mengurangi cedera dengan metode postural atau dengan fiksasi segmen posterior (segmen pendek atau panjang).
-- Direk
 Tindakan operasi dengan tehnik  langsung bertujuan untuk menghilangkan potongan tulang pada kanal.
Komplikasi akut dibagi menjadi komplikasi hiperakut dan komplikasi subakut. Beberapa komplikasi hiperakut yaitu  dampak  simpatektomi, perdarahan, bradikardia (dengan atau tanpa hipovolemia), hipotermia atau demam (dengan atau tanpa infeksi), dan hipoventilasi atau gagal nafas. Tergantung letak lesi, pada occiput-C2 bisa  terjadi kehilangan seluruh fungsi respirasi, kelemahan nervus kranialis. Pada C3 - C4 yang terganggu yaitu  
diafragma dan interkostal, yang berfungsi mempertahankan fungsi farings dan larings. C5 - Th1 pada interkostal berfungsi mempertahankan diafragma, 
bila Th2-Th12 terkena maka mengganggu fungsi interkostal yang beragam   (bisa  muncul   ARDS sekunder) Beberapa komplikasi subakut yaitu  gagal nafas sekunder (sumbatan lendir, atelektasis, pneumonia, dan emboli paru), Deep Vein Trombosis (DVT), 
disfungsi bladder dan bowel (lakilaki pismus, retensi urin dengan overdistensi bladder), dekubitus, nutrisi yang tidak kuat , dan disrefleks otonom. 
Dengan tindakan pencegahan yang cepat  diharapkan bisa  meminimalisir munculnya  komplikasi di atas 
Prognosis lebih baik pada cedera medula spinalis yang tidak komplet. Sebanyak 80% pasien cedera medula spinalis bisa  membaik dan hidup mandiri, namun kurang dari 5% yang mengalami cedera medula spinalis 
komplet. Jika paralisis komplet bertahan sampai 72 jam sesudah  cedera, maka kemungkinan pulih yaitu  0% ,





Ketulian mendadak atau Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSNHL) yaitu  gangguan pendengaran yang ditandai dengan gejala hilangnya atau  penurunan pendengaran yang terjadi secara mendadak. 
Biasanya pemicu  ketulian tidak bisa  diketahui secara langsung. Ketulian biasanya terjadi pada satu telinga, namun  pada beberapa peristiwa  bisa  terjadi bilateral 
Kriteria umum yang dipakai  untuk diagnosa  ketulian mendadak ini yaitu  diperoleh gangguan pendengaran sensorineural yang lebih besar dari 30 dB lebih dari 3 frekuensi pada hasil audiogram yang berdekatan dan terjadi lamanya kurang lebih 3 hari. Sebagian besar peristiwa  kehilangan pendengaran mendadak unilateral dan prognosis untuk pemulihan pendengaran cukup 
baik. Ketulian mendadak termasuk ke dalam salah satu kritis  di bidang THT, sebab  kerusakan terutama   di area  koklea dan biasanya bersifat permanen walaupun bisa  kembali normal atau mendekati normal 
Faktor risiko ketulian mendadak akan meningkat pada penderita dengan kelainan darah, diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi, dan stres 
Teori ruptur
 Hal yang berpotensi memicu  ketulian mendadak yaitu  ruptur labirin membran intrakoklea. Membaran basalis dan membran reissner yaitu  selaput tipis yang membatasi endolimfe dan perilimfe. Ruptur salah satu dari membran atau keduanya bisa  memicu  
ketulian mendadak ,
Teori autoimun
 Ketulian mendadak yang dipicu  oleh proses autoimun telinga dalam masih belum jelas. Proses yang mendasari yaitu  aktivitas imunologis intrakoklea 
 Teori infeksi virus
 Pada peristiwa  penyakit yang dipicu  oleh virus seperti mumps, measles, rubella, dan influenza terutama   yang dipicu  oleh infeksi adenovirus dan Cytomegalovirus (CMV), bisa  memicu  ketulian mendadak. Dari pemeriksaan serologis pada penderita ketulian 
mendadak idiopatik, diperoleh naiknya  titer antibodi pada  
beberapa  virus. Pemeriksaan histopatologi tulang temporal penderita ketulian mendadak diperoleh atrofi organ corti, atrofi stria vaskularis, dan membran tektorial dan  hilangnya sel rambut dan sel penyokong 
dari koklea ,
 Teori vaskuler
 Bila terjadi gangguan pembuluh darah di koklea akan   mudah mengalami kerusakan sebab  pembuluh darah ini yaitu  ujung arteri. Sehingga pada peristiwa  emboli, trombosis, vasospasme, dan hiperkoagulasi atau viskositas yang meningkat bisa  memicu  iskemia yang mempengaruhi  degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria vaskularis dan ligament spiralis ,
diagnosa  ketulian mendadak diperoleh berdasar  anamnesis dan pemeriksaan fisik dan  pemeriksaan penunjang audiologi dan laboratorium 
Anamnesis yang teliti mengenai onset, perjalanan penyakit, gejala yang dimiliki , dan  faktor predisposisi penting untuk mengarahkan diagnosa . Hilangnya pendengaran secara tiba-tiba biasanya satu telinga yang tidak jelas pemicu nya, berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari. Gejala bisa  
ditambah  dengan tinnitus dan vertigo 
Pemeriksaan fisik termasuk tekanan darah   diperlukan. Pada pemeriksaan otoskopi tidak ditemui  kelainan pada telinga yang sakit. Pemeriksaan pendengaran, tes garpu tala: Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang normal, Schwabach memendek, dan kesan tuli sensorineural ,Pada audiometri nada murni menandakan  tuli sensorineural ringan sampai berat. Pemeriksaan audiometri nada tutur memberi hasil tuli 
 sensorineural sedang  pada audiometri impedans ada   kesan tuli  sensorineural koklea. Pada anak-anak bisa  dilakukan tes OAE (Otoacoustic  Emission) dan BERA (Brainstem Evoked tanggap   e Audiometry) sesuai tanda , 
hasilnya menandakan  tuli sensorineural ringan sampai berat. Pada pemeriksaan audiometri khusus diperoleh Audiometri tutur: SDS (Speech 
Discrimination Treshold) < 90%, SRT (Speech Reception Treshold) > 30 dB, dan 
Tes Tone Decay: bisa  positif atau negatif 
Pemeriksaan laboratorium untuk memeriksa kemungkinan infeksi virus, bakteri, hiperlipidemia, hiperfibrinogen, hipotiroid, penyakit autoimun, dan 
faal hemostasis,
pengobatan  ketulian mendadak tergantung dari pemicu nya. Pada banyak peristiwa  tidak ditemukan pemicu  secara menonjol , sehingga terapi secara empiris bisa  diberikan. pengobatan nya yaitu  antaralain: : 
 -  Vasodilator: betahistin 2  24 mg/hari,
 -  Terapi vertigo atas tanda ,
 -  Kortikosteroid oral diberikan 7 sampai 14 hari, Prednisone 40 - 60 mg/hari, dosis tunggal pagi hari dengan tappering off 20 mg tiap 5 hari atau 
Metilprednisolone: 48 mg/hari, tappering off 16 mg tiap 5 hari. sedang  Steroid intravena atau intratimpani (atas tanda ),
 -  Evaluasi audiometri ulangan untuk follow up kemajuan,
 -  Bila ketulian menetap, memerlukan  evaluasi untuk rehabilitasi pendengaran.
 -  Tirah baring bila ditambah  vertigo dan terjadi pada tahap  akut,
pengobatan  berhasi  jika  memenuhi  berikut:
- Slight improvement, bila perbaikan PTA: 10 - 30 dB,
- No recovery, bila tidak ada perbaikan PTA atau membaik: < 10 dB.
- Complete recovery, bila PTA sesudah  terapi: < 25 dB,
- Marked improvement, bila perbaikan PTA: > 30 dB,
Prognosis tergantung pada faktor usia, derajat gangguan pendengaran, pengobatan dini dan ada tidaknya gejala vestibuler dan faktor predisposisi lainnya. Pemulihan spontan bisa  terjadi sekitar 32 - 70%. Keterlambatan 
mengatasi  bisa  memicu  ketulian permanen. Penderita dengan usia lanjut, hipertensi, diabetes, dan hiperlipidemi yang ada hubungannya dengan disfungsi pembuluh darah koklea memiliki prognosis buruk .


Beberapa kelainan neurologis bisa  memicu  gangguan pernapasan, antara lain kelainan sistem saraf pusat seperti myelopati servikal, cedera batang otak, kelainan difus bihemisfer, ataupun kelainan neuromuskular. 
Kelemahan itu  bisa  dipicu  sebab  kelemahan otot pernapasan atau saraf yang menginervasi otot napas. ini  penting untuk dideteksi awal sebab  kelemahan otot pernapasan bisa  memicu  gagal napas, yang mana berkaitan  juga dengan pneumoni dan aspirasi. Bahasan kali ini akan terfokus pada gangguan pernapasan yang dipicu  kelainan  neuromuskular 

pemicu  kelainan neuromuskular memicu  gagal 
napasDiafragma yaitu  otot pertama  yang berperan dalam pernapasan dan berkontribusi kurang lebih 70% pada volume tidal inspirasi pada pasien  normal. Otot ini diinervasi oleh saraf phrenicus yang berasal dari radiks 
C3 - C5. Otot intercostal eksternal dan otot asesori (sternocleidomastoideus, scalene, trapezius, latissimus dorsi, pectoralis mayor dan minor, dan  platysma) membantu inspirasi, bila ada   naiknya  beban sistem respirasi, contohnya pada saat istirahat dan serangan asma. Otot intercostal internal dan otot perut 
menyokong ekshalasi dan membantu refleks batuk. Otot bulbar menjaga saluran napas atas tetap paten.
Fungsi otot pernapasan atas yang kuat  diperlukan untuk menghindari kolapsnya dinding faring saat inspirasi, dan mencegah aspirasi pada jalan napas saat menelan. Kelemahan otot bulbar meningkatkan risiko obstruksi 
jalan napas dan aspirasi, yang mana ini  bisa  memicu  gagal napas pada pasien kelainan neuromuskular .
pemicu  pasien dengan kelainan neurologis mudah terjadi 
infeksi paruPneumonia sering terjadi pada kelainan neurologis baik akut maupun kronik, contohnya pada parkinson, diperkirakan 10% pemicu  kematian 
yaitu  sebab  pneumonia, kemungkinan sebab  gangguan fungsi batuk dan kelemahan otot saluran napas atas. Kelemahan otot fasial, orofaring, dan laring bisa  memicu  gangguan menelan dan  sekresi mukus. Kelemahan otot itu  bisa  memicu  obstruksi jalan napas, terutama   
saat berbaring. Refleks batuk juga menurun akibat kelemahan otot perut sehingga meningkatkan risiko munculnya  aspirasi. Hal itu memicu  munculnya  infeksi dan penyembuhan yang lebih lama , 
Saat anamnesis perlu ditanyakan apakah ada kelemahan atau riwayat mudah lelah, diplopia, gangguan menelan, dan disfoni. Onset dan progresivitas gejala juga penting diketahui, sebab  semakin cepat progresivitas kelemahan 
terjadi, maka gangguan pernapasan bisa  terjadi lebih dini dan meningkatkan kemungkinan keperlu an pemakaian ventilator. Sifat kelemahan ascending biasanya terjadi pada pasien Guillain Barre Syndrome (GBS), fluktuatif dan 
terjadi sesudah  aktivitas bisa  terjadi pada pasien Myasthenia Gravis (MG). Adanya kelemahan yang bersifat descending (diawali parese saraf kranialis lalu 
berlanjut ke lengan dan tungkai) bisa  yaitu  tanda botulismus. Pada peristiwa  itu  perlu ditanyakan riwayat makan makanan yang terkontaminasi ataupun adanya luka yang kemungkinan terinfeksi Clostridium botulinum 
Pemeriksaan fisik diperoleh pasien nampak lemah, gelisah, sesak saat istirahat atau aktivitas ringan, napas menjadi cepat dan dangkal, berkeringat, bicara staccato (tidak bisa  menyelesaikan kalimat tanpa berhenti untuk 
mengambil napas), disfagi, batuk sesudah  menelan, disfoni, adanya gerakan otot bantu napas, dan gerakan napas paradoksikal (otot perut tertarik ke 
dalam saat inspirasi). Adanya kelemahan fleksi otot leher bisa  yaitu  tanda kelemahan otot diafragma. Tes napas tunggal (single-breath test) bisa  dilakukan untuk menganalisa  kapasitas vital, dengan cara menyuruh pasien mengambil napas maksimal dan mulai berhitung 1 sampai 50. Pada gangguan  berat pernapasan pasien hanya bisa  menghitung kurang dari 15 dengan satu 
kali napas ,Pemeriksaan penunjang yang bisa  dilakukan antara lain foto polos dada, bisa  ditemukan adanya infeksi (termasuk pneumoni aspirasi), edema paru, dan atelektasis. Adanya diafragma letak tinggi pada foto thorax bisa  yaitu  tanda kelemahan saraf phrenicus unilateral. Analisis gas darah bisa  menentukan adanya hipoksia dan tipe gagal napas. Tes menelan perlu dilakukan untuk melihat risiko munculnya  aspirasi. Pemeriksaan fungsi pernapasan bisa  dilakukan antara lain dengan tes spirometri Prediktor pemakaian  ventilator yaitu  onset parese bulbar, kemampuan berdiri atau mengangkat lengan (khususnya pada pasien GBS), progresivitas  kelemahan otot yang cepat, kapasitas vital < 15 mL/kg, penurunan kapasitas 
vital sebesar 50%, tekanan inspirasi maksimal > -30 cm H20, dan tekanan  ekspirasi maksimal < 40 cm H20 
Prioritas mengatasi  pasien dengan gagal napas yaitu  memastikan jalan napas bebas, oksigenasi baik, dan mengatasi  segera faktor pemicu,  contoh  pneumonia, selain terapi khusus menurut penyakit dasar. Adapun 
pilihan pemakaian  alat bantu napas bisa  berwujud  ventilasi invasif dengan intubasi, ventilasi noninvasif dengan pemakaian  alat CPAP pada malam hari 
untuk pasien-pasien dengan kelainan neuromuskular, dan ventilasi jangka waktu lama dengan trakoestomi 
Ventilasi invasif harus dipertimbangkan untuk pasien yang kemungkinan perlu perawatan di unit perawatan intensif, contoh  pada pasien dengan kelemahan otot akut dan progresif seperti pada Guillain-Barre syndrome 
Ventilasi noninvasif nokturnal pada pasien dengan kelainan neuromuskular banyak dikembangkan selama 20 tahun terakhir. Ventilasi noninvasif bisa   memperpanjang harapan hidup pada pasien dengan gagal napas hiperkapnia. Diperkirakan ventilasi noninvasif bekerja dengan cara meningkatkan ventilasi mekanik, mengistirahatkan otot napas sehingga meningkatkan kekuatan dan daya tahan, dan meningkatkan kepekaan  ventilasi pada  CO2. Ventilasi noninvasif bisa  dipakai  secara akut untuk gagal napas tipe 2, untuk 
menghindari intubasi endotrakeal 
Ventilasi Jangka Lama
Pemasangan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan kelainan neuromuskular jangka lama yang mana ventilasi noninvasif gagal. Sisi negatif trakeostomi pada komunikasi yang mengganggu pita suara dan perawatan 
yang cukup rumit ditambah  masalah psikologis, memicu  pilihan ini sering ditolak oleh pasien. Namun penelitian  menandakan  bahwa pada pasien dengan amyotropic lateral sclerosis, pemakaian  trakeostomi bisa  memperpanjang harapan hidup sampai 10 tahun 



medis bedah 4 medis bedah 4 Reviewed by bayi on Mei 20, 2022 Rating: 5

About

LINK VIDEO