halaman 5
kita menduga bahwa pneumotoraks spontan primer terjadi pada pasien dengan penyakit paru yang tidak terlihat ditambah kelainan anatomi seperti blebs atau bullae subpleura . Pemeriksaan torakoskopi dan CT scan area puncak paru diperoleh blebs pada 94% peristiwa PSP. Perokok berisiko pneumotoraks sebesar 16% pada healthy smoker dibandingkan 1% bukan perokok ,
Pneumotoraks spontan sekunder bisa dipicu oleh beberapa penyakit di antaranya proses infeksi (Pneumonitis carinii pneumonia, Tuberkulosis, Pneumonia necrotizing), penyakit paru interstitial, penyakit
jaringan ikat, histiositosis sel Langerhans, limfangio liomiomatosis, kistik fibrosis, PPOK bronkitis kronis, emfisema, asma bronkial, dan kanker paru
tabel pemicu pneumotoraks spontan sekunder.
Pneumotoraks traumatik bisa dipicu oleh trauma tumpul atau trauma tajam yang menembus dinding dada, esofagus, trakea, dan bronkus.
Pneumotoraks iatrogenik yaitu salah satu pemicu pneumotoraks traumatik, bisa terjadi pada prosedur diagnosa maupun terapi seperti .pemasangan CVC (Central Venous Catether), Torakosintesis, Ventilasi Mekanik .tekanan positif, atau Biopsi transtorakal Pneumotoraks sekunder kebanyakan dipicu oleh tuberkulosis
Pneumotoraks katamenial diperkirakan pemicu nya
yaitu implan endometrium pleura atau defek diafragma kecil ,Pneumotoraks spontan bisa menjadi pneumotoraks tension pada pasien dengan ventilator, resusitasi jantung-paru, atau pneumotoraks
spontan sekunder sebab trauma atau infeksi ,
Pneumotoraks spontan berulang dipicu oleh faktor risiko fibrosis paru, usia lebih dari 60 tahun, dan naiknya rasio tinggi dibandingkan berat badan Pneumotoraks spontan sekunder berulang dipicu oleh faktor risiko terkait usia, merokok, fibrosis paru, dan emfisema. sedang faktor risiko pneumotoraks spontan primer berulang
yaitu sama dengan faktor risiko PSS berulang ditambah dengan faktor tinggi badan pada laki-laki
Secara normal, dalam rongga pleura tidak ada udara. Tekanan intrapleura lebih negatif dibandingkan tekanan intraalveoli Patofisiologi munculnya pneumotoraks spontan masih belum dipahami secara jelas. Pneumotoraks primer dipicu oleh pecahnya blebs atau bullae subpleura ,Patofisiologi pneumotoraks
spontan primer bisa dipahami dengan mengetahui munculnya lesi emfisema paru . Faktor asap rokok yaitu salah satu pemicu munculnya emfisema itu . Asap rokok memicu munculnya rilis beberapa mediator neutrofil dan makrofag yang memicu degradasi serat elastis di paru. Degradasi itu memicu ketidakseimbangan antara protease-antiprotease dan oksidan-antioksidan, berakibat kerusakan menetap pada parenkim paru, emfisema, dan pembentukan bullae. Inflamasi pada saluran napas kecil memicu naiknya tekanan alveoli dan berakhir pecahnya alveoli. Udara akan masuk dari intertitial paru menuju
hilus dan terjadilah pneumotoraks ,Tekanan di
puncak paru lebih negatif dibandingkan tekanan di dasar paru sehingga distensi alveoli di puncak paru yang lebih besar. Ini yang menjelaskan bahwa sumber
pneumotoraks lebih sering berasal dari puncak paru ,
Patofisiologi pneumotoraks spontan sekunder bersifat banyak faktorial dan masih kurang dipahami. Nekrosis paru perifer pada penyakit paru memicu rupturnya alveoli sehingga udara bisa memasuki ruang pleura
dan terjadilah pneumotoraks , Mekanisme pneumotoraks
tension berkaitan dengan tipe katup satu arah yang akan membuka saat inspirasi dan menutup saat ekspirasi. Otot napas akan mengembangkan dinding dada saat inspirasi. ini memicu tekanan intrapleura makin negatif sehingga udara dari alveoli akan masuk ke intrapleura. Saat ekspirasi, .otot napas relaksasi dan tekanan pleura menjadi positif dan udara terjebak dalam rongga pleura ,
Pada penumotoraks ventil, tekanan intrapleura bisa tinggi sehingga memicu paru kolaps dan menekan mediastinum dan jantung ke kontralateral. Jantung yang terdesak memicu kontraksi dan “venous return” terganggu. Paru kolaps memicu gangguan pernapasan,
sedang jantung yang terdesak memicu gangguan hemodinamik
Gejala pertama pasien dengan pneumotoraks yaitu nyeri dada dan sesak napas pada 91% pasien. Nyeri dada bersifat nyeri pleuritik, akut, dan
terlokalisir pada sisi pneumotoraks , Gejala penyerta lain
di antaranya batuk, batuk darah, dan sesak bila berbaring. Keluhan sesak tergantung luas pneumotoraks. Pada kondisi yang jarang terjadi yaitu sindroma Horner. Beberapa pasien tidak bergejala atau hanya mengeluhkan
lemah badan,Pneumotoraks spontan sering dipicu oleh pemicu seperti batuk kuat, bersin, mengejan, kencing, dan mengangkat benda berat. Pasien akan merasa
makin sesak sesudah ada salah satu pemicu diatas. Pada pneumotoraks traumatik, gejala terjadi sesudah adanya trauma Pneumotoraks spontan sering terjadi saat istirahat (90% peristiwa ). Pada peristiwa pneumotoraks spontan primer, gejala sesak dan nyeri dada sering menghilang kurang dari 24 jam sehingga pasien tidak segera datang ke rumah sakit. sedang pasien pneumotoraks spontan sekunder akan mengalami gejala yang lebih berat dibandingkan PSP ,Gejala pernapasan yang berat dan adanya distress napas yaitu tanda
pneumotoraks tension atau ventil yang mengancam nyawa
Kondisi umum pasien terlihat sesak, ini tergantung luas
pneumotoraks. diperoleh kannya tanda takikardi berat (nadi >140x/menit), hipotensi, sianosis, deviasi trakea ke sisi sehat yaitu tanda pneumotoraks tension yang mengancam nyawa. Pemeriksaan fisik paru diperoleh pada sisi pneumotoraks gerak napas yang tertinggal, fremitus raba menghilang, perkusi hipersonor dan suara napas yang menghilang atau berkurang. Hamman
sign bisa ditemukan pada pasien pneumotoraks dan pneumomediastinum. Tanda itu berwujud suara mengunyah (crunching) atau suara klik yang mirip suara jantung dan dipengaruhi oleh pernapasan dan posisi badan
Berikut yaitu tanda pneumotoraks tension di antaranya: trakea bergeser ke sisi sehat, pada sisi pneumotoraks diperoleh dinding dada lebih membesar, pelebaran sela iga, penurunan gerak napas, fremitus raba menghilang, suara napas menurun atau menghilang, perkusi hipersonor, suara “anvil-clink” saat tes koin (memukulkan dua koin pada dinding dada), dan suara krepitasi
Pasien dengan luas pneumotoraks kecil (kurang dari 20%), biasanya pemeriksaan fisik normal. Pada pasien PPOK, walau pneumotoraksnya luas namun sering sulit dideteksi dari pemeriksaan fisik. Pada pasien
itu sudah diperoleh penurunan suara napas dan hipersonor
pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium: Pemeriksaan Analisis Gas Darah
Hasil analisis gas darah sering diperoleh hipoksemia (PO2 turun) dan kadang ditambah dengan hipokarbia (PCO2 turun) sebab munculnya hiperventilasi (frekuensi napas meningkat). Pada pasien PSP, hipoksemia
biasanya ringan bila luas pneumotoraks tidak lebih dari 25%. Namun bila luas pneumotoraks pada PSP lebih dari 25%, maka terjadi shunt paru yang memicu hipoksemia lebih berat. Pada peristiwa PSS sudah ada penyakit paru yang mendasari memicu hipoksemia lebih berat dan
mengancam nyawa sebab cadangan oksigen paru sudah berkurang sebelum terjadi pneumotoraks. Pasien dengan emfisema bisa terjadi PSS dengan hasil analisis gas darah hipoksemia dan hiperkarbia
b. EKG (Electrocardiography)
Pasien dengan pneumotoraks kiri bisa merubah pola EKG mirip infark miokard anterolateral. Perubahan aksis QRS frontal dan rotasi searah jarum jam memicu penurunan voltase gelombang R-prekordial, penurunan amplitudo QRS, dan inversi gelombang T-prekordial
c. Radiologi
1. Foto polos dada
diagnosa pneumotoraks secara klasik dilakukan dari foto polos dada. petunjuk yang terlihat yaitu terpisahnya pleura viseralis (paru) dari pleura parietalis (dinding dada) dan diisi oleh rongga kosong (lucent) tanpa adanya pembuluh darah paru. Garis kolaps yaitu tanda ada nya pneumotoraks, namun sering sulit terlihat pada pneumotoraks yang kecil Foto polos dada posisi berdiri dengan inspirasi maksimal yaitu posisi ideal untuk mendiagnosa pneumotoraks memakai foto
polos dada Tampilan pneumotoraks tergantung
gravitasi, foto posisi supinasi (AP - Anterior Posterior) atau pasien berbaring, maka pneumotoraks hanya akan terlihat bila ukurannya luas
melakukan diagnosa pneumotoraks ventil sering sulit dilakukan berdasar foto polos dada sebab sering kondisinya gawat dan mengancam
nyawa. keadaan dan pemeriksaan fisik cukup menjadi dasar melakukan diagnosa pneumotoraks ventil ,
Luas pneumotoraks bisa diukur dari foto polos dada. ada beberapa tehnik untuk mengukur luas pneumotoraks. Pengukuran pneumotoraks metode Light dengan cara mengukur rata-rata diameter paru yang kolaps dan panjang rongga dada. Hasil pengukuran itu dimasukkan dalam rumus berikut :
2. CT scan
CT scan toraks yaitu gold standard melakukan diagnosa pneumotoraks. Namun hal itu sering sulit dilakukan sebab beberapa alasan di antaranya: transportasi pasien ke ruang CT scan, tingkat radiasi yang lebih tinggi, dan harus diartikan oleh dokter yang ahli , HRCT (High Resolution Computed Tomography) lebih peka dibandingkan foto polos dada dalam mendiagnosa lesi emfisema di
puncak paru. Sekitar 85% peristiwa pneumotoraks spontan primer diperoleh adanya lesi emfisema di puncak paru , walau CT scan lebih peka , namun tidak semua peristiwa pneumotoraks spontan primer perlu pemeriksaan CT scan toraks. Pada pasien lakilaki muda yang sehat dan atletis yang terjadi PSP, CT chest jarang ditanda kan. Namun, CT scan perlu dilakukan pada pasien perokok berat berusia lebih dari 50
tahun yang belum pernah dinyatakan sebagai pasien PPOK. Selain itu, CT scan bisa membantu ahli bedah dalam menentukan jenis tindakan terutama jika pneumotoraks terlokalisir, bullae, kanker tersembunyi, atau patologi paru lainnya
3. USG toraks
Ultrasonografi menjadi salah satu pilihan lain alat diagnosa pneumotoraks. Beberapa review literatur menyebutkan bahwa USG toraks lebih peka dibandingkan foto polos dada posisi supinasi pada peristiwa pneumotoraks traumatik. Selain itu, USG toraks bisa dipakai juga untuk menganalisa luas pneumotoraks
pengobatan
Prinsip pertama pneumotoraks yaitu mengeluarkan udara dari rongga pleura, mengembangkan paru yang kolaps, menutup sumber kebocoran, dan mencegah munculnya pneumotoraks berulang. Pemilihan jenis terapi pneumotoraks dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya: klinis pasien, pemicu pneumotoraks, penyakit penyerta, riwayat pneumotoraks
sebelumnya, risiko berulang, dan pengalaman dokter yang menangani pasien
a. pengawasan
peristiwa pneumotoraks kecil < 20% dengan gejala yang tidak makin memberat dan luas pneumotoraks dipercaya tidak bertambah, biasanya hanya dilakukan pengawasan saja tanpa tindakan yang invasif. Pasien dirawat
inapkan dengan pemberian suplementasi oksigen agar bisa meningkatkan penyerapan udara dalam rongga pleura pengawasan hanya dilakukan pada pneumotoraks selain ventil ,
b. Dekompresi
Dekompresi yaitu tindakan untuk membuat hubungan antara rongga pleura dengan dunia luar sehingga tekanan positif intrapleura mengalir keluar menjadi negatif. ada beberapa cara diantaranya pemasangan jarum/
abbocath kontra ventil, aspirasi dengan selang infus atau pemasangan selang dada/chest tube dengan WSD (Water Sealed Drainage)
1. Pemasangan jarum/abbocath kontraventil
Tindakan ini dilakukan terutama pada peristiwa pneumotoraks ventil yang memerlukan mengatasi segera. Jarum atau abbocath ditusukkan pada
dinding dada pada sela iga sampai menembus pleura parietalis dan masuk ke dalam rongga pleura. Ujung jarum atau abbocath dibiarkan terbuka Lokasi pemasangan kontraventil biasanya pada sela iga kedua midklavikula depan. Panduan dari the American College of Surgeons menyarankan lokasi pemasangan kontraventil pada sela iga empat atau lima garis aksila anterior. Lokasi
kedua ini relatif aman sebab menghindari muskulus pectoralis dan latisimus dorsi
2. Aspirasi dengan selang infus
Jarum/abbocath yang sudah ditusukkan ke dalam rongga pleura disambungkan ke selang infus. Pipa plastik penetes dipotong dan dimasukkan ke dalam botol berisi air sedalam kurang lebih 2 cm. ini untuk menjaga agar udara dari luar tidak bisa masuk ke dalam rongga
pleura ,Tingkat keberhasilan tindakan ini berbeda tiap pasien . Panduan dari BTS (British Thoracic Society)
menyarankan aspirasi sederhana pada pasien dengan pneumotoraks pertama kali walau cukup luas pneumotoraksnya. ini berbeda dengan panduan dari Amerika yang menyarankan pemasangan
selang dada.
3. Pemasangan Selang dada (Chest Tube)
Dibuat insisi kulit di sela iga keempat pada garis aksila tengah atau belakang atau sela iga kedua di garis klavikula tengah. Lalu selang dada steril dimasukkan ke dalam rongga pleura dengan perantara trokar atau
pean /klem penjepit. Ujung selang dada itu disambungkan ke botol WSD Selang dada disambungkan ke botol WSD melalui selang penghubung. Selang dalam botol WSD berada di bawah air sedalam 2 cm. ini untuk
mempermudah gelembung udara keluar dari rongga pleura ke luar dan tidak bisa kembali lagi ke dalam rongga pleura. Pada kondisi pneumotoraks tidak bisa mengembang atau terjadi emfisema subkutis, bisa dilakukan penyambungan botol WSD dengan pompa continous suction dengan tekanan negatif 10 - 20 cm H2O. Penghisapan dilakukan agar udara dalam rongga
pleura segera bisa dikeluarkan Selang dada dicabut jika paru sudah mengembang sempurna, dibuktikan dengan melakukan foto polos dada evaluasi. Selang dada ditutup
dengan cara dijepit dengan klem atau ditekuk selama 24 jam. jika sesudah 24 jam, tidak ada keluhan sesak bertambah, maka selang dada bisa dicabut dengan mengeratkan jahitan lalu menutup dengan kassa steril
Perdarahan saluran makanan bagian atas (SMBA) yaitu perdarahan dari rongga pencernaan antara esofagus sampai ligamentum Treitz dengan beberapa macam pemicu dan yaitu salah satu kritis yang paling
banyak ditemui dan memicu kematian jika tidak memperoleh pengobatan yang baik. Gejala perdarahan SMBA antara lain yaitu hematemesis, melena ataupun hematoschezia ,Angka kejadian perdarahan SMBA di dunia berkisar 10 - 250 peristiwa per 100.000 populasi, dengan mortalitas antara 8- 16%. jika terjadi perdarahan ulang, angka mortalitas bisa menjadi 43%. pemicu tersering dari perdarahan SMBA yaitu gastritis erosif, varises, ulkus, esophagitis, dan keganasan
perdarahan SMBA bisa dipicu antara lain oleh beberapa faktor berikut ini:
Tukak Lambung
Tukak peptikus yaitu pemicu pertama perdarahan SMBA di luar negeri. Kemungkinan perdarahan ini yaitu gejala pertama tukak peptik sebelum gejala yang lain. sebaiknya kemungkinan perdarahan sebab tukak peptik selalu dipertimbangkan, walau tidak ada anamnesis mengenai tukak peptik. Tukak lambung lebih sering menimbulkan perdarahan terutama yang terletak di angulus dan pre-pilorus dibandingkan dengan tukak duodeni. Tukak lambung yang bersifat akut biasanya dangkal dan multiple yang bisa digolongkan sebagai erosif. biasanya tukak ini dipicu oleh obat-obatan sehingga muncul gastritis erosif. Perdarahan bisa juga terjadi pada
penderita yang pernah mengalami gastrektomi, yaitu adanya tukak di area anastomosis. Tukak seperti ini dinamakan tukak marginalis.
Varises
Perdarahan dari pecahnya varises biasanya mendadak dan masif. Perdarahan sebab pecahnya varises esofagus atau lambung biasanya akibat hipertensi portal sekunder dari sirosis hati. Selain sirosis hati, hal lain yang
bisa pula memicu munculnya varises esofagus atau lambung yaitu hepatitis akut dan perlemakan hati yang berat, yang bisa menghilang bila fungsi hati membaik. walau perdarahan SMBA penderita sirosis hati
biasanya diduga sebab pecahnya varises esofagus, bahwa sebagian perdarahan SMBA sebab tukak peptik
dan gastropati hipertensi portal.
Gastritis Erosif
pemicu terbanyak dari gastritis erosif yaitu pemakaian obat-obatan yang menimbulkan erosi pada mukosa lambung, antara lain NSAID, jamu, antibiotik, dan obat lain yang menimbulkan iritasi dan hiperasiditas lambung.
Gastritis
Gastritis bisa dipertimbangkan sebagai sebab pertama perdarahan SMBA pada penderita dengan anamnesa adanya dyspepsia,kebiasaan makan yang tidak teratur atau kebiasaan minum alkohol maupun obat NSAID. Erosi
mukosa lambung sering pula terjadi pada penderita dengan trauma berat, sesudah pembedahan, penyakit sistemik yang berat, luka bakar, dan penderita
dengan naiknya tekanan intra kranial (stress ulcer).
Robeknya mukosa esofago-gastrik (robekan Mallory-Weiss). ini sering terjadi pada penderita yang muntah terus menerus, yang semula tidak berdarah kemudian terjadi erosi mukosa esophago-gastric junction sehingga
bisa terjadi hematemesis. Contoh yang paling sering yaitu pada penderita hyperemesis gravidarum.
pemicu lain dari perdarahan SMBA yaitu esophagitis dan karsinoma. ini sering memicu perdarahan yang kronis dan jarang menybabkan perdarahan masif. Kanker atau tumor lambung/duodenum dan limfoma jarang memicu perdarahan.
patogenesis
Untuk mencari pemicu perdarahan saluran makan bisa dengan mencari faktor pemicu perdarahan, antara lain antaralain: :
- Faktor pembuluh darah (vasculopathy), seperti pada tukak peptik;
- Faktor trombosit (thrombopathy), seperti pada (ITP);
- Faktor kekurangan zat pembekuan darah (coagulopathy), seperti pada hemofilia, sirosis hati.
Perdarahan saluran makanan pada penderita sirosis hati terjadi sebab kombinasi dari ketiga faktor itu . Vasculopathy memicu pecahnya varises esofagus, trombopathy yakno pengurangan trombosit di sirkulasi
perifer sebab adanya hipersplenisme dan ada pula coagulopathy sebab kegagalan sel hati. ada 2 teori mengenai pecahnya varises esofagus, yaitu:
pertama yaitu teori erosi, yaitu pecahnya pembuluh darah sebab erosi makanan yang kasar (berserat tinggi dan kasar) atau sebab obat NSAID dan kedua yaitu teori erupsi, yaitu sebab tekanan vena porta yang terlalu
tinggi, yang bisa pula dicetuskan oleh naiknya tekanan intra perut yang tiba-tiba contoh pada keadaan mengejan, mengangkat benda berat, dan lain-lain.
Perdarahan saluran makanan bisa pula dibagi menjadi 2, yaitu sebagai berikut :
- Perdarahan primer, seperti pada hemofilia, ITP, hereditary haemorrhagic telangiectasis, dan lain-lain.
- Perdarahan sekunder, seperti pada kegagalan hati, uremia, (DIC), iatrogenik (pada penderita dengan terapi obat anti koagulan atau fibrinolitik), drug-induced thrombocytopenia, pemberian transfusi darah yang masif, dan lain-lain.
diagnosa
Anamnesis yang baik bermanfaat dalam menentukan pemicu perdarahan SMBA. Riwayat penyakit dahulu seperti tukak peptik riwayat keluhan antaralain: : nyeri perut, disfagia, mual, muntah, hematemesis, kotoran
kehitaman (tarry stool), riwayat pemakaian obat-obatan seperti: clopidogrel, warfarin, NSAID, aspirin, penghambat reuptake selektif serotonin juga
harus diketahui sehubungan perdarahan saluran cerna bagian atas ini, riwayat penyakit keluarga, dan lain-lain yaitu petunjuk yang penting. Pemeriksaan fisik juga menentukan. peralatan medis diagnosa lain yang bisa
membantu yaitu endoskopi, radiografi, angiografi dan juga radionuklir ,
pengobatan awal yang cepat dan resusitasi harus dilakukan dengan cepat bersamaan dengan diagnosa pada pasien dengan perdarahan masif. Beberapa pasien bisa memerlukan intubasi untuk mengurangi kemungkinan munculnya aspirasi. Pasien dengan perdarahan aktif, sebaiknya dirawat di ruang perawatan intensif dengan pengawasan ketat, dan segera dirujuk pada fasilitas diagnosa dan terapi perdarahan SMBA
pengobatan
Resusitasi harus dilakukan pada saat awal bersamaan dengan diagnosa perdarahan SMBA. sesudah kondisi hemodinamik stabil, maka endoskopi awal harus segera dilakukan (sebaiknya < 24 jam sesudah perdarahan) untuk konfirmasi diagnosa dan terapi, sehingga mencegah munculnya perdarahan ulang
Identifikasi dan pencegahan pada munculnya gangguan hemodinamik harus segera dilakukan. Pemasangan iv line paling sedikit 2 line disarankan pada perdarahan masif dan suplai oksigen yang cukup. Intake dan output harus
tercatat dan terprogram dan harus dipasang kateter urine. pemantau ketat vital sign sesuai dengan peralatan medis yang tersedia. Pemasangan nasogastrik tube untuk
melakukan bilas lambung agar memudahkan dalam melakukan tindakan endoskopi. Transfusi bisa dilakukan untuk mempertahankan sirkulasi dan suplai oksigen. Transfusi darah diperlukan untuk mencapai target hemoglobin
7 - 8 g/dL. Faktor individual bisa dipertimbangkan, seperti adanya proses perdarahan yang masih aktif, kelainan kardiovaskular, usia , dan status hemodinamik pasien , Pemeriksaan laboratorium segera diperlu kan pada peristiwa yang memerlukan transfusi masif. Pasien
yang stabil sesudah pemeriksaan dan dianggap cukup stabil, bisa cepat dirawat untuk terapi lanjutan atau persiapan endoskopi. Konsultasi ke dokter spesialis terkait dengan pemicu dari perdarahan. pengobatan
sesuai dengan pemicu perdarahan, yaitu:
Proton Pump Inhibitor diberikan untuk mengurangi sekresi asam lambung sehingga mempercepat penghentian perdarahan dan mencegah perdarahan
ulang. pemakaian antagonis reseptor H2 tidak disarankan pada perdarahan SMBA
Terapi bedah antaralain: total shunts, partial shunts,
selective shunts dan prosedur devaskularisasi. Total shunts mengendalikan dan mencegah perdarahan varises namun tidak meningkatkan survival dan kadang memicu ensefalopati ,Tirah baring, Puasa, Diet lunak, Sitoproteksif, atau sukralfat, pada pasien yang diduga kuat sebab ruptura varises gastroesoageal bisa diberikan somatostatin bolus dan drip. Pemberian diberikan sampai perdarahan berhenti dan pencegahan perdarahan ulang. Prosedur pembedahan juga bisa dilakukan untuk mencegah perdarahan ulang, Kumbah lambung biasanya segera dilakukan untuk membersihkan mukosa lambung dari darah sehingga membantu keberhasilan endoskopi (injeksi skleroterapi ataupun ligasi),
Komplikasi dari pedarahan SMBA yang paling berbahaya yaitu munculnya syok hipovolumik yang bisa memicu munculnya kerusakan organ lain seperti gagal ginjal akut, encephalopathy, gagal jantung, dan lain-lain yang
terkait dengan sirkulasi darah. Dengan pengobatan awal yang baik diharapkan gejala sisa dan kompliksi tidak terjadi ,Prognosis pada perdarahan SMBA biasanya terkait dengan pemicu dasarnya. pengobatan awal juga mempengaruhi prognosis pasien. Pada pasien dengan penyakit hati kronik, keganasan biasanya memiliki
prognosis yang buruk sedang pada gastritis erosif, ulkus peptik memiliki prognosis yang baik jika dilakukan pengobatan dengan optimal
Benda asing dalam suatu organ yaitu benda yang berasal dari luar badan atau dari dalam badan , yang dalam keadaan normal tidak ada. Benda asing di Telinga Hidung tenggirokan (THT) yaitu masalah yang sering ditemukan
oleh dokter layanan primer terutama di pelayanan gawat darurat ,Benda asing THT sering terjadi pada anak. Hal itu dipicu sebab anak cenderung mengeksplorasi badan nya, terutama area yang berlubang, termasuk telinga, hidung, dan mulut , diagnosa benda asing pada pasien sering terlambat sebab tidak terlihat, gejalanya tidak
menonjol , dan sering terjadi kesalahan diagnosa di saat awal pemeriksaan. Ekstraksi benda asing THT dilakukan dengan forceps, irigasi dengan air, dan kateter hisap. Ekstraksi benda asing harus dilakukan sedini mungkin untuk menghindari komplikasi yang bisa dimunculkan . Usaha ekstraksi benda asing sering mendorong benda asing lebih dalam sehingga ekstraksi harus dilakukan secara cepat dan hati-hati sebab akan berisiko menimbulkan trauma yang bisa merusak struktur organ yang lain dan memberi komplikasi yang lebih berat. Ekstraksi benda asing bergantung pada beberapa
factor, yaitu dari benda asing sendiri, dokter yang kompeten dengan alat-alat yang memadai, dan kerja sama dari pasien
peristiwa benda asing telinga dan hidung paling sering terjadi pada anak, terutama anak usia kurang dari 5 tahun, pada dewasa lebih jarang terjadi. sedang benda asing tenggirokan paling sering terjadi pada dewasa dibandingkan anak-anak Benda asing yang ditemukan di THT beragam , baik berwujud benda mati atau benda hidup, seperti binatang, komponen tumbuhan, atau mineral Benda asing telinga pada anak kecil yang sering ditemukan yaitu kacang hijau, manik, mainan, karet penghapus, dan kadang baterai. sedang pada pasien dewasa yang relatif sering ditemukan yaitu kapas cotton bud yang tertinggal, potongan korek api, patahan pensil, kadang ditemukan serangga kecil seperti kecoa, semut atau nyamuk Benda asing yang paling sering ditemukan dalam hidung yaitu sisa makanan, permen, manik-
manik, dan kertas , Jenis benda asing tenggirokan yang
paling sering yaitu tulang ikan ,
Faktor yang mempengaruhi munculnya benda asing THT antara lain personal, kegagalan mekanisme proteksi, benda asing, kejiwaan, neurogenik, dan proses menelan
Faktor personal antaralain: usia , jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial, dan tempat tinggal. Faktor kegagalan mekanisme proteksi normal antaralain:
kondisi tidur, penurunan kesadaran, alkoholisme, dan epilepsi. Faktor benda asing antaralain: ukuran, bentuk, dan sifat benda asing. segi psikologis
antaralain: faktor kejiwaan, antara lain emosi, gangguan psikis dan faktor kecerobohan. Faktor risiko benda asing pada tenggirokan , yaitu kelainan dan penyakit neurologik, proses menelan yang belum sempurna pada anak, faktor
gigi, dan belum tumbuhnya gigi molar pada anak yang berusia kurang dari 4 tahun dan gigi yang tanggal pada pasien tua ,Faktor yang juga berperan pada munculnya benda asing THT pada anak yaitu keinginan untuk mengeksplorasi rongga badan . ini terjadi akibat kurangnya pengawasan pasien tua pada anak dari benda yang berisiko masuk ke organ THT. Faktor lainnya antara lain rasa keingintahuan, ketertarikan pada benda kecil, keinginan untuk bermain, retardasi mental dan ADHD
Benda asing THT pada anak dan balita banyak dipicu oleh faktor kesengajaan, sebab pada tahun awal kehidupan anak akan mengalami periode penjelajahan dan interaksi dengan lingkungan. saat anak mulai
bisa merangkak dan berjalan, anak mulai berinteraksi dengan banyak benda yang biasanya anak suka memasukan benda itu ke dalam lubang telinga,
hidung, dan mulut Benda asing THT pada pasien dewasa sering dipicu oleh faktor kecerobohan dan kecelakaan. Faktor kecerobohan sering terjadi pada benda asing telinga, yaitu sewaktu memakai alat pembersih telinga
contoh kapas, tangkai korek api atau lidi yang tertinggal di dalam telinga. Benda asing hidung banyak terjadi secara kebetulan atau kecelakaan yang terjadi tanpa sengaja yang mana benda asing masuk ke dalam hidung atau tenggirokan contoh masuknya serangga, kecoa, lalat, dan nyamuk. Benda asing ,
diagnosa dilakukan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan laboratorium ataupun radiologi dilakukan pada peristiwa sulit yang memerlukan pemeriksaan mendalam dan pada peristiwa dengan penyulit. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yaitu alat diagnosa yang pertama
1. Anamnesis
Pasien dewasa bisa menyampaikan kepada pemeriksa bahwa ada benda asing dalam organ THT. Sementara pada anak, berdasar usianya, mungkin bisa mengetahui bahwa ada benda asing dalam organ THT atau
penderita sering merasakan ketidaknyamanan di organ THT, nyeri pada telinga, hidung dan tenggirokan yang bisa memicu anak rewel dan menangis dan sering diperoleh keluhan mual atau muntah pada peristiwa
benda asing tenggirokan ,Penderita dengan benda asing telinga sering memberi keluhan nyeri telinga atau telinga berair. Gejala lainnya bisa berwujud gangguan pendengaran atau rasa penuh di Meatus Akustikus Eksternus ,Penderita dengan benda asing hidung akan diperoleh anamnesis dan tanda khas, yaitu adanya sekret yang berbau di hidung yang bersifat unilateral
dengan atau tanpa keluhan hidung buntu, kadang diperoleh epistaksis. Keluhan benda asing di tenggirokan diperoleh rasa tidak nyaman dan nyeri pada lokasi menonjol dan menetap di lokasi benda asing yang bertambah di saat menelan dan diperoleh riwayat tertelan benda asing ,Gejala dan tanda benda asing hidung dan tenggirokan yang masuk ke dalam saluran napas dilakukan berdasar anamnesis adanya riwayat
tersedak sesuatu, tiba-tiba muncul rasa tercekik. Anamnesis yang cermat perlu dilakukan sebab peristiwa aspirasi benda asing sering tidak segera dibawa ke dokter saat kejadian. Perlu diketahui macam benda atau bahan
yang teraspirasi dan sudah berapa lama tersedak benda asing ,
Pemeriksaan fisik, temuan bisa beragam tergantung benda dan lama waktu benda itu sudah berada di organ THT. Benda asing yang baru saja masuk ke dalam organ THT sering muncul tanpa kelainan selain adanya
benda asing itu yang terlihat secara langsung atau dengan pemeriksaan status lokalis dengan otoskopi, rinoskopi dan faringoskopi
Pemeriksaan otoskopi status lokalis benda asing telinga sering diperoleh benda asing pada penyempitan MAE. Benda asing hidung biasanya ditemukan di anterior vestibulum atau pada meatus inferior sepanjang dasar
hidung. Benda asing tenggirokan sering ditemukan di tonsil, pangkal lidah, valekula dan dinding lateral tonsil ,
Pemeriksaan benda asing telinga menimbulkan bertambahnya nyeri, sering diperoleh perdarahan yang diakibatkan sebab benda asing yang melukai MAE atau jika terjadi ruptur membran timpani, atau akibat usaha
pasien yang memaksakan pengeluaran benda itu . Pada kondisi lanjut bisa ditemukan eritema, pembengkakan dan sekret berbau dalam MAE. Benda asing serangga di MAE bisa merusak MAE atau membran timpani
melalui gigitan atau sengatan ,
Pemeriksaan fisik hidung dan tindakan ekstraksi dengan rinoskopi anterior, diperlukan penyemprotan agen vasokonstriktor untuk memperkecil mukosa pada saat pemeriksaan dan tindakan ekstraksi, tindakan ini bisa
memberi petunjuk benda asing yang lebih jelas. Pada anak yang kurang kooperasi , kadang diberikan anestesi umum untuk mempermudah
Pemeriksaan fisik rongga hidung bisa ditemukan kelainan secara unilateral berwujud edema, granulasi mukosa menutupi benda asing, dan bisa ditemukan destruksi luas pada mukosa membran, tulang, dan
kartilago. Mukosa hidung menjadi lunak dan mudah berdarah sehingga bisa menimbulkan epistaksis. Benda asing tertutupi oleh mukopus, sehingga disangka sinusitis dan jika akan menghisap sekret harus berhati-hati agar
benda asing itu tidak terdorong ke arah nasofaring yang kemudian bisa masuk ke laring, trakea, dan bronkus sehingga bisa memicu komplikasi yang fatal ,
Pemeriksaan tenggirokan yang dicurigai adanya benda asing sering tidak diperoleh adanya kelainan kecuali diperoleh adanya riwayat tertelan benda asing dan diperoleh nyeri yang menetap dan bertambah jika
menelan. Pada tahap lanjut bisa ditemukan adanya tanda keradangan di sekitar benda asing
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada peristiwa benda asing THT, pemeriksaan radiologi jarang dilakukan namun bisa dilakukan untuk membantu melakukan diagnosa jika dengan pemeriksaan fisik lokalis diperoleh kesulitan untuk
mengindentifikasi benda asing, juga dilakukan pada benda asing yang dicurigai sudah masuk pada saluran napas atau saluran makan. Benda asing
yang bersifat radio opak bisa dibuat foto radiologik segera sesudah kejadian, sedang benda asing radiolusen (seperti kacang-kacangan) dibuatkan foto
radiologik sesudah 24 jam kejadian sebab sebelum 24 jam kejadian belum menandakan petunjuk radiologis yang berarti ,
Pemeriksaan dan tindakan memakai endoskopi dipakai untuk benda asing hidung dan tenggirokan , terutama untuk benda asing yang berukuran kecil. Endoskopi selain untuk diagnosa , pemakaian endoskopi ini juga bermanfaat dalam ekstraksi benda asing. Endoskopi itu yaitu nasal endoskopi untuk pemeriksaan dan tindakan pada hidung. Laringoskopi kaku maupun fleksibel untuk pemeriksaan dan tindakan pada tenggirokan
4. diagnosa banding
Benda asing di MAE perlu dibedakan dari beberapa penyakit di bawah ini yang memiliki manifestasi klinis yang mirip, antara lain abrasi MAE, serumen, hematoma, otitis eksterna, tumor, perforasi membran timpani
Benda asing hidung perlu dibedakan dengan sinusitis,
rinoskleroma, dan rinitis. Benda asing tenggirokan perlu dibedakan dengan tonsilitis dan faringitis
pengobatan
Benda asing THT harus dilakukan ekstraksi agar tidak memberi komplikasi yang fatal. Pemeriksaan dengan inspeksi yang cermat mengenai benda asing berwujud ukuran dan tekstur akan menentukan tehnik apa yang
dipakai . Visualisasi benda asing yang kuat yaitu hal yang penting untuk menentukan keberhasilan ekstraksi benda asing Peralatan untuk memperoleh visualisasi yang baik dan jelas yaitu otoskop, spekulum hidung, spekulum telinga, lampu kepala, kaca pembesar, dan mikroskop. Beberapa instrumen yang harus disiapkan yaitu angle hook, curved hook, curette, aligator forcep, hartman’s forcep, nasal dressing forceps, suction, dan irrigation equipment usaha tindakan pertama untuk melakukan ekstraksi benda asing yaitu tindakan yang penting dan menentukan keberhasilan.
Tindakan kemudian akan menjadi lebih sulit dipicu adanya udem, perdarahan, dan berkurangnya kerja sama penderita. Tindakan ektraksi benda asing pada anak yang gelisah dan tidak kooperasi maka diperlukan
tindakan untuk membuat anak menjadi tenang bahkan dilakukan fiksasi dengan metode straping boards atau tehnik mummy. Pasien anak dipangku, kemudian akan menahan tangan dan lengan pasien, dan seseorang yang lain membantu menahan kepala pasien dalam posisi ekstensi 30o. jika tetap tidak kooperasi maka bisa dipertimbangkan pemberian anestesi umum
Anestesi lokal sebelum tindakan ekstraksi benda asing akan membantu tindakan menjadi efektif . Anestesi lokal untuk hidung bisa dipakai lidokain 4% atau adrenalin (epinephrin) 1:200.000. Anestesi umum diberikan
pada penderita yang tidak koperasi atau pada benda asing yang sulit dikeluarkan. Sebanyak 30% penderita benda asing telinga dilakukan dengan .anestesi umum. Sebagian besar benda asing hidung dilakukan tindakan
dengan mudah di rawat jalan atau rawat darurat
usaha tindakan ekstraksi benda asing di telinga memerlukan keterampilan yang baik. ini sebab MAE terdiri dari bagian tulang rawan dan bagian tulang yang dilapisi oleh lapisan tipis dari kulit dan periosteum.
Bagian tulang peka sebab kulit hanya memberi sedikit
bantal yang melapisi periosteum. Dengan demikian, usaha mengeluarkan benda asing telinga bisa menyakitkan. MAE menyempit di bagian perbatasan antara bagian tulang rawan dan bagian tulang. Benda asing bisa semakin tersangkut di tempat itu sehingga meningkatkan kesulitan pada saat dikeluarkan. usaha untuk mengeluarkan benda asing mungkin akan mendorongnya lebih jauh ke dalam MAE dan tersangkut di titik yang sempit itu . Selain itu, membran timpani bisa rusak akibat penekanan benda asing yang terlalu dalam atau akibat peralatan yang dipakai selama proses pengangkatan. Oleh sebab itu, visualisasi yang kuat , peralatan yang memadai, pasien yang kooperasi , dan kemampuan dokter yaitu kunci untuk mengangkat benda asing telinga ,Tindakan pengangkatan benda asing dari telinga ditanda kan jika ada visualisasi yang baik dari benda asing yang teridentifikasi di dalam MAE. Kontratanda pengangkatan benda asing yaitu sebagai
berikut adanya perforasi membran timpani, kontak antara benda asing dengan membran timpani, atau tidak bagusnya visualisasi MAE, sehingga ditanda kan konsultasi dengan ahli THT untuk pengangkatan melalui
operasi mikroskopik dan spekulum. jika ada baterai alat bantu dengar, sehingga konsultasi emergensi THT selalu dilakukan sebab bisa memicu nekrosis dalam waktu singkat dan memicu perforasi membran timpani dan komplikasi lainnya. Irigasi MAE tidak boleh dilakukan
pada peristiwa seperti ini, sebab bisa memicu percepatan proses nekrotik Banyak tehnik untuk pengobatan benda asing di telinga yang tersedia.
Pilihan tindakan tergantung pada situasi klinis, jenis benda asing yang dicurigai, dan pengalaman dokter. Tindakan ekstraksi benda asing telinga antaralain: irigasi air, forsep pengangkat, forsep alligator, loop cerumen, right-angle ball hooks, dan kateter hisap.
Benda asing telinga berwujud serangga hidup bisa dibunuh cepat dengan memberi alkohol 2%, lidokain (Xylocaine) atau minyak mineral ke MAE. ini sebaiknya dilakukan sebelum ekstraksi dilakukan, namun tidak
boleh dipakai jika membran timpani mengalami perforasi. Benda asing berbentuk bulat tidak bisa dilalukan eksraksi dengan forsep. Metode ini menimbulkan rasa nyeri dan bisa memicu laserasi di MAE juga bisa memicu benda asing masuk lebih dalam sehingga memerlukan bius umum untuk ekstraksi. tehnik irigasi bisa dilakukan untuk benda yang kecil dan dekat dengan membran timpani. Pemberian cairan aseton untuk
melarutkan benda asing styrofoam atau untuk melunakkan cyanoacrylate bisa diberikan Benda asing telinga yang lebih dari satu sering ditemui , terutama
pada anak sehingga perlu dilakukan evaluasi sesudah pengangkatan benda asing dari MAE baik di sisi yang sama maupun di MAE di kontralateral. Antibiotik tetes telinga diperlukan pada pasien dengan otitis eksterna dan
harus dipertimbangkan jika ada laserasi atau trauma MAE. Pemeriksaan garpu tala dan audiogram harus dipertimbangkan jika ada trauma pada membran timpani atau dicurigai adanya gangguan pendengaran (Heim dan
Ekstraksi benda asing di hidung harus dilakukan dengan cepat . Pemilihan tehnik untuk mengeluarkan benda asing sebaiknya didasarkan pada lokasi, bentuk, dan komposisi benda asing. Ekstraksi benda asing hidung jarang bersifat emergensi dan bisa menunggu saran dari spesialis terkait. Bahaya pertama pengeluaran benda asing pada hidung yaitu aspirasi, terutama pada anak-anak yang tidak kooperasi dan menangis, pasien gelisah
yang kemungkinan bisa menghirup benda asing ke dalam jalan napas dan melukai jaringan sekitar, sehingga menimbulkan keadaan emergensi
Beberapa persiapan ekstraksi benda asing pada hidung antara lain posisi ideal dan fiksasi yang baik. Visualisasi yang kuat penting untuk membantu proses ekstraksi benda asing pada hidung. Lampu kepala dan
kaca pembesar bisa membantu pemeriksa untuk memperoleh sumber pencahayaan yang baik dan tidak perlu dipegang, sehingga kedua tangan pemeriksa bisa dipakai untuk melakukan tindakan. Pemberian anestesi
lokal sebelum tindakan bisa memfasilitasi ekstraksi yang efektif . Xylokain yaitu pilihan yang biasa dipakai , walaupun kokain biasa dipakai dan bersifat vasokonstriktor. Namun, pemakaian kokain pada anak-anak bisa menimbulkan toksik, sehingga digantikan dengan adrenalin (epinefrin) 1:200.000. namun , pemakaian anestesi lokal tidak terlalu bermanfaat
pada pasien pediatrik, sehingga anestesi umum lebih sering dipakai pada peristiwa anak yang tidak kooperasi . Alat yang dipakai dalam proses
ekstraksi benda asing pada hidung yaitu forsep bayonet, serumen hook, kateter tuba eustasius, dan suction
pengobatan ekstraksi benda asing hidung yang berbentuk bulat yaitu hal yang sulit sebab tidak mudah untuk mencengkram benda asing itu . Serumen hook yang sedikit dibengkokkan yaitu alat yang paling cepat untuk dipakai . Pertama, pengait menyusuri hingga bagian
atap cavum nasi hingga belakang benda asing hingga terletak di belakangnya, kemudian pengait diputar ke samping dan diturunkan sedikit, lalu ke depan.
Dengan cara ini benda asing itu akan ikut terbawa keluar (
Mendorong benda asing hidung ke distal yaitu tindakan yang tidak boleh dilakukan. Mendorong benda asing dari hidung ke arah nasofaring dengan maksud susaha masuk ke dalam mulut namun benda asing juga
bisa masuk ke laring dan saluran napas bagian bawah yang memicu sumbatan jalan napas, sehingga menimbulkan keadaan yang gawat pemakaian suction dengan tehnik tekanan negatif pada ekstraksi benda asing hidung bisa dipakai jika ekstraksi dengan forsep atau hook tidak berhasil dan juga dipakai pada benda asing berbentuk bulat. Suction bisa dengan mudah ditemukan pada bagian emergensi dan kemudian diatur pada tekanan 100 dan 140 mmHg sebelum dipakai
Benda asing mati yang bersifat nonorganik pada hidung lainnya seperti spons dan potongan kertas bisa diekstraksi dengan memakai forsep. Benda asing mati lain yang bersifat organik seperti kacang-kacangan bisa
diekstraksi dengan memakai pengait tumpul. jika tidak ada peralatan atau instrument, bisa dipakai cara pasien bisa mengeluarkan benda asing hidung itu dengan cara menghembuskan napas kuat-kuat melalui hidung sementara lubang hidung yang satunya di tutup. Jika cara ini tidak berhasil atau benda asing pada hidung itu ada pada pasien anak yang tidak kooperasi , maka bisa dipakai ventilasi tekanan positif melalui mulut. Pada tehnik ini, pasien tua penderita melekatkan mulutnya ke
mulut anaknya, lalu menutup lubang hidung yang tidak ada benda asing dengan jari, lalu meniupkan udara secara lembut dan cepat melalui mulut. Walaupun secara reflex, epiglottis anak akan tertutup untuk melindungi
paru-paru dari tekanan, penting diperhatikan bahwa tidak boleh diberikan hembusan bertekanan tinggi dan volume yang banyak ,pengobatan benda asing hidung yang hidup berbeda diterapkan sesuai dengan jenis benda asing. Pada peristiwa benda asing hidup berwujud cacing,
larva, dan lintah, pemakaian kloroform 25% yang dimasukkan ke dalam hidung bisa membunuh benda asing hidup itu . ini mungkin harus kembali dilakukan 2-3 per minggu selama 6 minggu hingga semua
benda asing hidup mati. Setiap tindakan yang selesai dilakukan, ekstraksi bisa diteruskan dengan suction, irigasi, dan kuretase. Pada pasien dengan
myasis dengan angka komplikasi dan morbiditas yang tinggi, dilakukan noperasi debridement dan diberikan antibiotik parenteral, dan Ivermectin (antiparasit) bisa dipertimbangkan. sesudah proses ekstraksi selesai
dilakukan, pemeriksaan yang teliti harus dilakukan untuk mengeksklusi keberadaan benda asing lainnya. pasien tua juga harus diberikan edukasi untuk menjauhkan paparan benda asing potensial lainnya dari anak-anaknya.
Pemberian antibiotika sistemik selama 5-7 hari hanya diberikan pada peristiwa benda asing hidung yang sudah menimbulkan infeksi hidung maupun komplikasi pada sinus Benda asing tenggirokan harus dikeluarkan sesegera mungkin untuk mencegah komplikasi di area faring. Benda asing tenggirokan sering ditemukan pada dewasa dengan jenis benda asing antara lain tulang ikan,
bolus makanan, dan gigi palsu. Benda asing bisa tersangkut yang mana saja di bagian faring. Benda asing yang tersangkut di tonsil maka bisa diambil memakai forsep dengan visualisasi yang baik. Sebaiknya ekstraksi
benda asing tidak memakai anestesi lokal, pemberian anestesi lokal ini memicu hilangnya nyeri sehingga mengganggu penentuan lokasi benda asing berada jika benda asing berubah posisi. jika benda asing berada di hipofaring maka harus dipastikan letak benda asing dengan pemeriksaan laringoskopi kaku maupun fleksibel. Pencarian benda asing dilakukan sampai benda asing ditemukan atau dipastikan bahwa benda asing tidak ada. Adanya kesulitan visualisasi benda asing pada hipofaring
tanpa memakai endoskopi memicu perlunya konsultasi ke dokter spesialis THT-KL. Pada penderita anak atau yang tidak kooperasi bisa dilakukan tindakan dengan anestesi umum Benda asing tenggirokan harus terlihat dengan baik, tindakan ekstraksi harus dilakukan dengan cepat dan cermat jika ragu-ragu sebaiknya
dikonsultasikan ke dokter spesialis THT-KL, perlu persiapan penderita, alat yang baik untuk memperoleh hasil yang baik, dan pemeriksaan dilakukan sampai benda asing ditemukan atau memastikan bahwa benda asing tidak ada Komplikasi bisa muncul sebagai akibat dari benda asing itu sendiri, pemeriksaan, ataupun tehnik ekstraksi (baik oleh tenaga medis maupun pasien). Benda asing telinga yang tidak dilakukan pengobatan dengan baik maka bisa memicu beberapa macam komplikasi, seperti perforasi membran timpani, gangguan pendengaran dan edema pada MAE ,. Beberapa komplikasi benda asing hidung yang ditemukan, antara
lain abrasi, perdarahan, infeksi pada struktur sekitar, aspirasi, dan perforasi, dan pembentukan dan perkembangan rhinolith. Benda asing hidung juga
bisa memberi komplikasi berwujud sinusitis akut dan juga ditemukan pula infeksi sekunder lain, yaitu selulitis periorbital, meningitis, epiglositis akut, difteri, dan tetanus. Benda asing baterai bisa memicu ulserasi
dan nekrosis mukosa hidung. Sehingga tidak satupun benda asing boleh dibiarkan dalam hidung oleh sebab bahaya nekrosis dan infeksi sekunder yang mungkin muncul . Benda asing tenggirokan dan tindakan yang dilakukan bisa memberi komplikasi berwujud abrasi dan laserasi, bahkan jika diikuti adanya infeksi bisa memicu munculnya abses leher dalam. Tindakan ekstraksi pada hidung dan tenggirokan harus dilakukan secara hati-
hati dan cermat sebab bisa memberi komplikasi berwujud aspirasi ke dalam saluran pernapasan bawah maupun tertelan ke dalam jalan makan Prognosis benda asing THT biasanya baik, tergantung kepada jenis benda asing dan lokasi benda asing dan komplikasi yang terjadi baik dipicu oleh benda asing sendiri maupun akibat tindakan dokter saat melakukan usaha ekstraksi benda asing
Epistaksis yaitu perdarahan akut yang berasal dari rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis berasal dari kata epitazein yang berarti terus menerus menetes. Sinonim dari epistaksis antara lain bloody nose, nosebleed, atau nasal hemorrhage. Epistaksis bukan sebuah penyakit, melainkan gejala dari suatu
kelainan. Hampir 90% epistaksis bisa berhenti sendiri
Perdarahan dari hidung bisa menjadi sebuah gejala yang
mengganggu. Faktor etiologi epistaksis bisa bersifat lokal atau sistemik. Sumber perdarahan harus dicari dan jika perlu dicampurtangan untuk pengobatan
secara efektif
Epistaksis terjadi sekitar 50% dari populasi, namun hanya 20% saja yang datang ke dokter. Sebagian besar peristiwa epistaksis bersifat sederhana. Pada peristiwa yang berat, bisa pula memerlukan perawatan rumah sakit walaupun
jarang memerlukan tindakan pembedahan
Epistaksis memiliki penyebaran usia yang bersifat bimodal. peristiwa terbanyak diperoleh pada anak usia di bawah 10 tahun dan rentang usia 45 hingga 75 tahun. Epistaksis yang memerlukan rawat inap semakin sering
ditemui pada populasi usia tua atau pada pengguna antikaogulan. Penderita laki-laki mendominasi usia sebelum 49 tahun. Populasi menjadi seimbang
antara penderita laki-laki dan perempuan sesudah rentang usia itu ,Faktor yang mempengaruhi antara lain infeksi saluran napas atas, rinitis alergi, atau suhu maupun kelembaban udara yang berubah-ubah. Epistaksis anterior sering terjadi sebagai akibat dari trauma atau infeksi ,
-. Kecurigaan benda asing jika diperoleh epistaksis bercampur dengan discharged purulen.
-. Ekskoriasi kronik bisa memicu perforasi septum sehingga perdarahan bisa terjadi pada tepi jaringan granulasi.
- “Mengorek-ngorek” hidung yaitu salah satu pemicu tersering. Sumber perdarahan sering berada pada proksimal dari mucocutaneus junction.
-. Rendahnya kelembaban udara yang memicu mukosa menjadi kering dan iritasi. Sering terjadi pada ruangan yang diatur suhunya namun kurang kelembapan.
3. Kelainan di rongga hidung, contoh rinitis alergi dan rinosinusitis.
- Trauma kepala bisa memicu epistaksis dari anterior.
Beberapa faktor risiko yang bisa memicu epistaksis anterior dan posterior :
- Penderita dengan hipertensi. Hipertensi memicu vaskulopatik sehingga meningkatkan risiko epistaksis.
-. pemakaian alkohol dan steroid intranasal pada penderita rinitis alergi.
- Penderita dengan gagal jantung
-pemakaian obat-obatan antikoagulan seperti koumarin, warfarin, aspirin, NSAID, heparin, dan tiklopidin.
- Kelainan perdarahan herediter, seperti hemorrhagic telengiectasis atau Osler’s disease. Perdarahan pada penderita itu kadang sulit untuk dikendalikan . Diperlukan status hemostatik untuk memulai perawatan.
- Penderita dengan familial blood dyscrasia, khususnya gangguan trombosit, von Willebrand disease dan hemofilia.
- Perdarahan berulang berasal dari posterior dan masif yang dipicu oleh aneurisma arteri karotis. bisa didahului oleh riwayat operasi di kepala dan leher atau trauma, namun bisa juga bersifat spontan.
-Epistaksis sebagai bagian dari neoplasma rongga hidung. Contoh keganasan antara lain squamous cell carcinoma, adeno cystic carcinoma, melanoma, dan inverted papilloma. Kanker nasofaring sering diperoleh
pada ras Asia..
-pemakaian aspirin
Epistaksis bisa dipenggolongan menjadi epistaksis anterior dan posterior berdasar sumber perdarahan
1. Epistaksis Anterior
Epistaksis anterior paling sering berasal dari pleksus Kiesselbach, yang yaitu sumber perdarahan paling sering ditemui pada anak-anak. bisa berasal dari arteri ethmoidalis anterior. Perdarahan bisa berhenti sendiri (spontan) atau dengan tindakan sederhana. yaitu kelompok epistaksis paling sering ditemui dan sebagian
besar bersifat self-limited dan bisa diterapi di peralatan medis kesehatan tingkat 1 atau primary care.
Hampir 90% perdarahan anterior terjadi pada sistem vaskuler pada septum yang dikenal dengan pleksus Kiesselbach. Anastomosis yang membentuk pleksus itu antara lain: cabang septum arteri etmodalis,
cabang lateral arteri sfenopalatina, dan cabang septum dari labialis superior arteri fasialis. Arteri sfenopalatina juga memberi suplai pada dinding poterolateral dan dinding atau koana.
2. Epistaksis Posterior
Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien dewasa dengan hipertensi, arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan bisa terjadi dengan hebat dan jarang
berhenti spontan. Dokter umum yang ahli mungkin bisa
menghentikan sementara dengan memakai tampon, namun sebagian besar penderita memerlukan rujukan ke Instalasi Gawat Darurat untuk konsultasi dengan ahli THT-KL. Untuk memahami epistaksis perlu mengetahui anatomi rongga hidung. Patogenesis epistaksis yang berhenti spontan belum jelas dan jumlah kejadian hanya 1 hingga 3 dalam 4 peristiwa
diagnosa
Initial assesment - asesmen awal peristiwa epistaksis difokuskan pada evaluasi jalan napas dan status kardiovaskular. campurtangan jalan napas, resusitasi cairan, dan konsultasi emergensi pada ahli THT-KL diperlukan pada peristiwa yang berat
diagnosa bisa dilakukan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis antaralain: hal antaralain:
1. Keluar darah dari hidung atau riwayat keluar darah dari hidung.
2. Perlu ditanyakan secara menonjol :
a. Lokasi keluarnya darah (dari depan rongga hidung atau ke tenggirokan )
b. Kondisi yang yaitu faktor risiko munculnya epistaksis, antaralain: tumor, gangguan koagulasi, trauma atau pembedahan, pemakaian
medikasi (aspirin, warfarin, steroid intranasal) atau kondisi lain
c. Lamanya perdarahan, frekuensi, dan jumlah darah yang keluar
d. Gejala dan tanda kehilangan darah kronis, seperti sesak, sakit kepala, rasa tidak nyaman di dada, dan lain-lain.
Pemeriksaan fisik bisa dilakukan antaralain: :
1. Pemeriksaan umum. Penting untuk evaluasi status vital dan jalan napas pada peristiwa epistaksis berat. Perlu diperhatikan adanya sumbatan jalan napas akibat darah yang profus atau syok hipovolemik, khususnya pada
penderita usia tua dengan penyakit sistemik. Pada penderita epistaksis berulang, bisa dievaluasi status koagulasi (ekimosis, ptekie, lesi telengangiektasis).
2. Pemeriksaan berikut yaitu kondisi rongga hidung. Sebelum pemeriksaan, jika bisa dilakukan anestesi untuk kenyamanan. Anestesi bisa diperoleh dengan memakai topikal anestesi dan vasokonstriksi yang dioleskan memakai cutton swab. Obat yang
lazim dipakai yaitu lidokain dan epinefrin 2%. Selain dengan swab, bisa pula memakai kapas yang sudah dibasahi dengan obat dan diletakkan di rongga hidung memakai forsep. Oxymetazoline nasal tidak berdampak anestesi, hanya bersifat vasokonstriksi. Penderita diperiksa dalam posisi duduk di kursi dental. Jika tidak tersedia bisa duduk di kursi biasa dengan kepala di atas meja pemeriksaan dengan kepala tidak boleh banyak bergerak. Pemeriksaan memerlukan cahaya yang baik memakai lampu kepala atau cermin. Pemeriksaan
rongga hidung memakai spekulum hidung. Kepala penderita dalam posisi sniffing. Jika tampak bekuan darah di rongga hidung, maka dilakukan penghisapan untuk membersihkan..
a. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan secara berurutan dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat untuk mengetahui sumber perdarahan.
b. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk mengabaikan neoplasma.
Dilakukan inspeksi pada area Little sebagai tempat terbanyak sumber perdarahan. Evaluasi adanya ulserasi atau erosi. Selain itu evaluasi juga mukosa pada vestibulum, septum, konka sebagai lokasi sumber perdarahan
Membedakan epistaksis anterior dengan posterior bisa juga menyulitkan. Jumlah darah yang keluar maupun frekuensi kekambuhan bisa menjadi tambahan informasi. Menekan ala nasi akan menghentikan perdarahan yang berasal dari anterior, namun interpretasi menjadi lebih sulit jika perdarahan dari posterior berhenti spontan. Cara praktis menentukan sumber perdarahan yaitu dengan memasang tampon di kedua rongga
hidung. jika masih terjadi perdarahan maka dugaan sumber perdarahan berasal dari posterior
pengobatan
Sebagian besar epistaksis anterior akan berhenti spontan tanpa campurtangan , atau mungkin cukup dengan pemasangan tampon saja. jika perdarahan yang terjadi sudah berhenti, tampon tidak perlu dipasang kecuali ada
risiko perdarahan berulang. Evaluasi efek tampon dan risiko munculnya perdarahan ulang setidaknya memerlukan waktu 30 menit. Tampon yang
ditinggal di hidung penderita harus diberi lapisan antibiotik
Tiga prinsip pertama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu: Mencegah berulangnya epistaksis.Menghentikan perdarahan,Mencegah komplikasi,
Tahapan pengobatan epistaksis yaitu antaralain: :
1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita lemah atau keadaan syok, pasien bisa berbaring dengan kepala dimiringkan.
2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan bisa dihentikan dengan cara duduk dengan kepala dilakukan , kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama 3 - 5 menit (metode Trotter).
3. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap (suction) dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku.
4. Bila perdarahan tidak berhenti, kapas dimasukkan ke dalam hidung yang dibasahi dengan larutan anestesi local, yaitu 2 cc larutan pantokain 2% atau 2 cc larutan lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc larutan adrenalin 1/1000. ini bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat
vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan bisa berhenti sementara untuk mencari sumber perdarahan. Sesudah 10 - 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
5. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan bisa dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan lidi kapas yang dibasahi larutan nitrasargenti 20 - 30% atau asam trikloroasetat 10%. Sesudahnya, area itu diberi salep untuk mukosa dengan antibiotik.
6. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. bisa juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga mirip
pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan bisa dipertahankan selama
2 24 jam. Selama 2 hari dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor pemicu epistaksis. Selama pemakaian tampon, diberikan antibiotik sistemik dan analgetik.
7. Untuk perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang dinamakan tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon ini
ada 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus bisa menutupi koana (nares posterior). tehnik
pemasangan tampon posterior, yaitu:
--Masukkan kateter karet melalui kedua nares anterior sampai tampak di orofaring, lalu tarik keluar melalui mulut. --Kaitkan kedua ujung kateter masing-masing pada 2 buah benang tampon Bellocq, kemudian tarik kembali kateter itu melalui hidung.
-- Tarik kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior dengan bantuan jari telunjuk, dorong tampon ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka bisa pula dimasukkan tampon anterior ke dalam cavum nasi.
--Ikat kedua benang yang keluar dari nares anterior pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, susaha tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak.
-- Lekatkan benang yang ada di rongga mulut dan terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq pada pipi pasien. Gunanya yaitu untuk menarik tampon keluar melalui mulut sesudah 2-3 hari.
--Berikan juga obat hemostatik selain dari tindakan penghentian perdarahan itu.
Konseling dan Edukasi Memberitahu individu dan keluarga untuk
Menghindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari sehingga diperlu kan pengawasan yang lebih ketat pada pasien anak.Membatasi pemakaian obat-obatan yang bisa meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen.Mengidentifikasi pemicu epistaksis, sebab ini yaitu gejala suatu penyakit sehingga bisa mencegah muncul nya kembali epistaksis.
mengendalikan tekanan darah pada penderita dengan hipertensi.Menghindari membuang lendir melalui hidung terlalu keras.
Kriteria Rujukan di antaranya:
Epistaksis yang terus berulang atau massif.. Bila perlu mencari sumber perdarahan dengan modalitas yang tidak tersedia di layanan primer, contoh naso-endoskopi.Pasien dengan epistaksis yang curiga akibat tumor di rongga hidung atau nasofaring.
Komplikasi bisa terjadi pada 3% penderita epistaksis. Komplikasi yang mungkin muncul yaitu :
Aspirasi,Angina, Miokard infark,Hipovolemia.
Sinekia (perlekatan mukosa rongga hidung)
halaman 6
Trauma medula spinalis diarti kan cedera yang terjadi pada medula spinalis, dipicu oleh trauma langsung maupun tak langsung yang mengenai medula spinalis
kejadian trauma medula spinalis diperkirakan 10 - 70 peristiwa per 1 juta penduduk seluruh dunia. Didominasi oleh laki-laki (sampai 80%) dengan rata-rata usia 38 tahun. tercatat ada 21.000 peristiwa baru tiap tahunnya.
pemicu terbanyak trauma medula spinalis termasuk kecelakaan sepeda motor, olahraga, dan kecelakaan kerja. Trauma komplit terjadi 55% dari total kejadian. yang mana enam puluh tiga persen (63%) terjadi pada servikal, 16%
pada torakal dan 20% pada torakolumbal
Sistem susunan saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. Untuk medula spinalis sendiri terbentang mulai dari foramen magnum sampai dengan setinggi vertebra L1 - 2 dan ada bagian yang melonjong dan agak
melebar yang dinamakan conus terminalis atau conus medullaris, biasanya mulai pada medula spinalis level L1. Di bawah conus terminalis ada serabut-serabut bukan saraf yang dinamakan filum terminale yang yaitu jaringan ikat. Medula spinalis berakhir setinggi L1-2
Setiap manusia ada 31 pasang saraf spinal yang terdiri atas 8 pasang saraf servikal, 12 pasang saraf torakal, 5 pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf sakral dan 1 pasang saraf koksigeal. Akar (radiks) saraf lumbal dan sakral
terkumpul dinamakan dengan cauda equina. Struktur medula spinalis terdiri dari substansi abu-abu (grisea) dan substansi putih (alba), yang mana substansi abu-abu
(grisea) membentuk seperti kupu-kupu, terdiri dari tiga bagian yaitu: anterior,
posterior dan komisura abu-abu, dan substansi putih (alba) mengelilingi di bagian luarnya. Substansi abu-abu (grisea) mengandung badan sel saraf, dendrit, glia, akson tak bermyelin, dan akson terminal dari neuron. ada
posterior median septum pada bagian dorsal dan anterior median fissure pada bagian anterior yang mana membagi medula spinalis menjadi dua sisi, yaitu sisi kanan dan kiri. Sisi posterior sebagai input/afferent, sisi anterior sebagai output/efferent. Substansia putih (alba) hanya berisi jaras-jaras dari beberapa traktus
penggolongan
Cedera medula spinalis dibedakan menjadi dua, yaitu cedera medula spinalis parsial (inkomplit) dan total (komplit). Pada inkomplit, fungsi motorik dan sensorik masih baik pada tiga level atau lebih dari letak lesi,
diperoleh sacral sparring (masih ada sensasi pada perianal, sphincter volunter rectal atau fleksi ibu jari kaki). sedang pada komplit, hilangnya fungsi
motorik, sensorik, dan otonom lebih dari tiga segmen di bawah dari tingkat lesi juga digolongkan oleh The American Spinal Injury Association (ASIA).
Berikut penggolongan menurut Impairment Scale (modified from the Frankel classification) untuk menganalisa penggolongan cedera spinal :
A = Komplit : Tidak ada fungsi motorik maupun sensorik di seluruh segmen dermatom dari titik lesi hingga S4 - S5
B = Inkomplit : Fungsi motorik di bawah lesi (termasuk segmen S4 - S5) terganggu, namun fungsi sensorik masih berjalan dengan baik.
C = Inkomplit : Fungsi sensorik masih baik. Fungsi motorik di bawah lesi masih berfungsi dan mayoritas otot-otot di bawah lesi memiliki kekuatan motorik kurang dari 3.
D = Inkomplit : Fungsi sensorik masih baik. Fungsi motorik di bawah lesi
dan mayoritas otot-otot memiliki kekuatan motorik ≥ 3.
E = Normal : Fungsi motorik dan sensorik normal.
ada 6 sindrom pada cedera medula spinalis inkomplet menurut American Spinal Cord Injury Association yaitu: Central Cord Syndrome, Anterior Cord Syndrome, Brown Sequard Syndrome, Posterior Cord Syndrome, Cauda Equina Syndrome, dan Conus Medularis Syndrome.
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Patofisiologi yang pertama yaitu kerusakan primer akibat mekanis dan kemudian kerusakan sekunder yang diakibatkan oleh beberapa faktor
Kerusakan PrimerMekanisme cedera berwujud kompresi, fleksi, ekstensi, dislokasi atau distraksi yang disebab kan rotasi memicu luka yang dalam, regangan
atau sobekan pada jaringan saraf dan pembuluh darah. Kemungkinan lain yaitu dampak struktur tulang yaitu ligamen atau dampak yang berkaitan dengan kompresi yang mana menimbulkan hematome pada medula spinalis
Perdarahan pada trauma medula spinalis terjadi pada tahap awal dan gangguan aliran darah pada pembuluh darah terjadi pada tahap kemudian . Gangguan aliran darah itu memicu hipoksia dan infark pada area lesi dan sekitarnya, terutama memicu kerusakan pada substansia abu-abu (grisea) yang mana tingkat metabolismenya lebih tinggi. Sel saraf yang
berada pada area lesi itu terjadi gangguan secara fisik dan ketebalan myelinnya berkurang. muncul nya edema dan makrofag sebab proses inflamasi juga menjadi faktor lain pemicu penurunan transmisi saraf. Pada
permulaan munculnya cedera, memicu muncul nya kaskade yang menjadi dasar dari kerusakan sekunder pada medula spinalis Kerusakan Sekunder
Proses dimulai saat munculnya kerusakan primer. Berkembang dalam hitungan jam sampai hari sesudah muncul nya trauma, mekanisme yang terjadi
beragam terutama yaitu kekurangan energi sebab adanya gangguan perfusi pada tingkat seluler dan iskemia. munculnya iskemia segera dalam
3 jam pertama sesudah trauma terjadi, jika tidak dilakukan terapi. Ada beberapa proses yang terjadi sesudah trauma itu , yaitu hemorrhage, edema,
demyelinisasi, muncul bentukan kavitas pada akson dan neuronal necrosis yang berujung pada infark. Pada tahap sekunder ini terjadi naiknya glpertama t,
eksitotoksisitas, influks calcium berlebihan, radikal bebas, lipid peroksidase pada membran sel
Faktor sistemik juga berperan pada trauma medula spinalis, ada beberapa di antaranya hipotensi disebab kan syok neurogenik, penurunan cardiac output dan kegagalan pernapasan, ketidaknormalan dari kadar elektrolit, dan tanggap inflamasi sistemik. Makrofag dan mikroglia berperan pada reaksi inflamasi ini sebab melepaskan sitokin (TNF, IL-1, IL-6, dan IL-10).
Mediator inflamasi yang lain seperti bradikinin, prostaglandin, leukotriene, platelet activating factor, dan serotonin berkumpul pada tempat lesi di medula
spinalis
Tanda dan Gejala
Pada trauma medula spinalis komplit, area di bawah lesi akan kehilangan fungsi saraf. ada tahap awal dari syok spinal, yaitu hilangnya reflek pada segmen di bawah lesi, termasuk bulbokavernosus, kremasterika, kontraksi perianal (tonus spinchter ani) dan reflek tendon dalam. Makin berat cedera medula spinalis dan makin tinggi level cedera, durasi syok spinal makin lama dan makin besar pula. Fenomena ini terjadi sementara sebab perubahan aliran darah dan kadar ion pada lesi. Pada trauma medula spinalis tipe inkomplit, masih ada beberapa fungsi di bawah lesi, sehingga prognosisnya lebih baik. Fungsi medula spinalis bisa kembali seperti semula segera sesudah syok spinal teratasi, atau fungsi kembali membaik secara bertahap dalam beberapa bulan atau tahun sesudah trauma ,Gejala bisa muncul sesuai dengan tingkat lesi pada myelum, pasien dengan lesi di bawah C5 biasanya bisa bernapas spontan secara kuat ,
kecuali jika mereka memiliki permasalahan pernapasan sebelumnya. Pada trauma servikal dan torakal atas bisa memicu paralisa otot-otot interkosta dan hilangnya tonus otot pernapasan mendadakz
Gejala pada Sistem Otonom terutama terjadi pada lesi servikal dan torakal atas, sebab hilangnya
fungsi saraf simpatis akibat kerusakan pada saraf simpatis, sehingga muncul vasodilatasi perifer dan hipotensi (syok neurogenik), bradikardi berat bisa
juga terjadi. Hipotensi ortostatik terjadi sebab hilangnya kendalikan simpatis pada supra spinal. sesudah terjadi trauma pada spinal cord, hipotalamus tidak bisa mengendalikan aliran darah pada kulit atau berkeringat, sehingga kemampuan untuk menggigil hilang. Selain itu, bisa pula terjadi gangguan pada fungsi kandung kemih dan usus dan gangguan ereksi (disfungsi ereksi)
Evaluasi dan terapi awal harus segera dilakukan saat terjadi trauma. Deteksi awal cedera medula spinalis akan mencegah muncul nya gejala sisa (sequele) pada fungsi neurologik. Pasien yang diduga mengalami cedera
medula spinalis harus dilakukan imobilisasi dengan memakai collar servikal (collar brace) dan papan (backboards). Di tempat rumahsakit (rumah sakit/ puskesmas) dilakukan mengatasi awal pada “ABCs”
(Airway dengan perlindungan pada tulang servikal, Breathing, Circulation). Pada Airway dipastikan terjaga bebas Breathing, diberikan oksigenasi terbaik
yang kita punya dengan target tidak terjadi distress nafas dengan target Respiratory Rate (12 - 20 kali per menit), hipoksia (Saturasi Oksigen diatas 94%), Circulation, Mean Arterial Pressure (MAP) dipertahankan minimal 80 mmHg
dengan harapan Cerebral Perfusion Pressure (CPP) tetap di atas 50 mmHg (Acute Spinal Cord Injury (Quadriplegia/Paraplegia) Untuk menjaga akses cairan yang baik, diperlukan dua IV line. Pasien bisa terjadi hipotensi yang ditambah bradikardi, akibat hilangnya inervasi
simpatik pada jantung saat terjadi cedera medula servikal yang dinamakan syok neurogenik. bisa juga mengalam hilangnya inervasi parasimpatik yang bisa memicu ileus paralitik ditambah sekuestrasi cairan perut ,
distensi kandung kemih, dan hipotermi ,
Empat keadaan yang mengancam nyawa harus diidentifikasi secara cepat dan cepat, yaitu: Hematoraks masif, Cardiac Tamponade, Hemoperitoneum masif dan fraktur pelvis yang tidak stabil. Pada setiap pasien tidak sadar harus dipikirkan adanya fraktur vertebra yang tidak stabil hingga dibuktikan sebaliknya dengan x-rays (foto rontgen). Jika pasien sadar, riwayat kejadian harus ditanyakan, termasuk mekanisme munculnya cedera, dan gejala yang muncul sesudah nya, contoh adanya nyeri dan gejala neurologik lain yang muncul . Sakit kepala hebat, ditambah muntah proyektil terutama sakit kepala area
oksipital, biasanya ditambah fraktur odontoid atau hangman’s fracture (fraktur bilateral dari pedikel). Palpasi pada pasien dengan menggerakkan vertebra
minimal diperoleh nyeri tekan atau deformitas juga harus diperhatikan adanya fraktur vertebra yang tidak stabil. Adanya keluhan berwujud parestesi, adanya setinggi segmen myelum dan pola lesinya membantu menentukan
topis, paralisis juga harus diperhatikan, untuk paralisis diminta untuk menggerakkan tangan dan kakinya sendiri dan dinilai kekuatan motorik pada lengan dan tungkai dengan skala Medical Research Council (MRC).
Refleks tendon dalam fisiologis harus dievaluasi pada lengan dan kaki, hilangnya, berkurang atau meningkatnya reflek itu dan diperoleh refleks patologis atau tidak pada tangan dan kaki bisa membantu pemeriksa
mengetahui letak lesi. Pada fungsi otonom, kita bisa memeriksa keringat pada kulit pasien (pada kulit yang sedikit/tidak berkeringat kulit cenderung
kering) memakai punggung tangan Bila tidak diperoleh refleks superfisial perut (kontraksi akibat
stimulasi kulit perut bagian bawah), menandakan adanya lesi setinggi torakal 7 - 12. Tidak adanya refleks kremaster (kontraksi otot skrotal sebagai tanggap dari rangsangan yang diberikan di medial paha) menandakan adanya lesi setinggi lumbal 1 - 2. Beevor’s sign: pasien diminta untuk mengangkat .kepala dengan pemeriksa secara gently menekan pada dahi, jika otot pada
perut bagian bawah lebih lemah (di bawah torakal 9), maka umbilikus bergerak ke atas. lakilaki pismus mengtanda hilangnya tonus simpatis dan prognosis
buruk. Adanya refleks bulbokavernosus (S2 - S4) (kontraksi sphincter ani dengan melakukan kompresi pada penis atau klitoris atau dengan menurunkan
tekanan trigonum bladder dengan balon kateter foley saat kateter secara gentle ditarik keluar) dengan hasil yang normal adanya kontrasi pada sphincter ani, menandakan bahwa jalur sensorik dan motorik sakrum masih berfungsi. Tidak adanya refleks bulbokavernosus terjadi pada syok spinal atau cedera pada radiks dorsalis conus medullaris atau cauda equina. Pemeriksaan sensoris
pada ekstrimitas, dada leher, dan wajah harus dilakukan untuk mengetahui tingkat sistem sensorik yang berkurang atau hilang. Kelainan sensorik pada
sebagian region sakral hampir selalu dipicu oleh cedera medula spinalis inkomplet
sesudah melakukan pemeriksaan secara cepat dan cermat, kita perlu memindahkan pasien dengan memakai tehnik log-roll, yaitu diperlu kan minimal tiga pasien pada masing-masing sisi dengan pasien keempat pada kepala dan yang memimpin gerakan sekaligus mempertahankan posisi kepala dengan sudah terpasang cervical spine immobilization. Gerakan dilakukan bersamaan untuk memindahkan pasien ke dalam ambulans
pemeriksaan penunjang
Foto x-ray polos yaitu pemeriksaan penunjang yang penting pada trauma vertebra. Posisi anteroposterior, lateral, dan open mouth odontoid views bisa
dipakai untuk penilaian cepat mengenai kondisi tulang belakang. Foto lateral paling bisa memberi informasi dan harus dilakukan pemeriksaan pada alignment (kelurusan) posisi anterior dan posterior yang berbatasan dengan
vertebra torakalis dan pemeriksaan angulasi spinal di setiap level. Jaringan lunak paravertebra yang bengkak biasanya terlihat menandakan adanya perdarahan pada area yang fraktur atau ligamen yang rusak, penyempitan
celah diskus, anter, atau retrolisthesis. Selain itu, fraktur dengan tipe chip dan tear drop bisa juga terlihat pada posisi lateral. Foto anterioposterior regio toraks
dan level lainnya yang bisa menandakan vertebra torakalis yang bergeser ke lateral menandakan luasnya pedikel yang rusak dan menunjukan kondisi
korpus vertebra. petunjuk oblique dari servikal akan menandakan pedikel, tahap t superior dan inferior, lamina dan adanya fraktur atau dislokasi secara
lebih jelas Kita bisa melakukan pemeriksaan penunjang berwujud Computed Tomography (CT scan) potongan sagital dan koronal yang bisa menunjukan
anatomi tulang dan fraktur terutama C7 - T1 yang tidak tampak pada foto polos. mengabarkan pada pemeriksaan radiografi tulang belakang servikal, diperoleh false negative sebesar 29%. Oleh sebab itu, perlu dilakukan Spine CT dengan tingkat kepekaan 98% dan
mendeteksi 45% cedera tambahan pada pasien dengan hasil positif pada foto polos tulang servikal. MRI memberi petunjuk lebih detail dari vertebra, diskus, ligamen, soft tissue, dan medula spinalis, dan yaitu prosedur
diagnosa pilihan pada pasien dengan cedera medula spinalis. Kanalis yang mengalami subluksasi, herniasi diskus akut atau rusaknya ligamen, tampak
jelas pada MRI. Selain itu, MRI juga bisa mendeteksi kerusakan medula spinalis itu sendiri, termasuk kontusio atau area yang mengalami iskemia melakukan MRI pada
pasien dengan tampilan klinis meragukan, yang mana ada cedera yang terjadi, namun dari foto polos menandakan hasil normal. ketidaknormalan , termasuk di dalamnya gangguan dan cedera ligamen diketemukan 36%. MRI sebaiknya dilakukan dalam waktu 24 - 72 jam sesudah onset
diagnosa
Dalam melakukan diagnosa pada cedera medula spinalis, dilakukan anamnesis yang lengkap, yang mana keluhan dan riwayat adanya trauma atau kelainan tulang belakang ataupun adanya osteoporosis meningkatkan risiko
munculnya cedera medula spinalis. Selain itu, dilakukan pemeriksaan fisik neurologi yang lengkap dan penunjang yang sesuai untuk melakukan diagnosa . seorang yang Dokter Spesialis Neurologi bisa melakukan diagnosa
sementara bila hasil pemeriksaan penunjang belum keluar.
Tanda penting untuk diagnosa antara lain
-. Kelemahan atau paralisis pada anggota gerak atas, bawah, atau kedua-duanya-. Pergerakan dinding dada yang paradoksikal-. lakilaki pismus pada laik-laki
- Syok neurogenik dengan manifestasi hipotensi dan bradikardi. - Nyeri leher atau punggung pascatrauma
- Mati rasa atau kesemutan (parestesi) pada tangan atau kaki
pengobatan :
ABCs (Airway, Breathing, dan Circulation)
Airway dengan perlindungan pada tulang servikal bisa langsung dipasang hard collar atau kantung pasir pada kedua sisi kepala dengan bagian dahi pasien difiksasi dengan namun ng melewati kantung-kantung dan backboards. Soft collar tidak efektif untuk imobilisasi tulang belakang servikal. Alat bantu untuk membebaskan Airway bisa dipakai (Nasopharyngeal Airway,
Oropharyngeal Airway, dan Endotracheal Tube). Bila diperlukan, bisa dilakukan prosedur Cricothyroideotomy. Breathing, diberikan oksigenasi terbaik yang kita
punya dengan target tidak terjadi distress napas dengan target Respiratory Rate (12 - 20 kali per menit) dan tidak terjadi hipoksia (saturasi oksigen di atas 94%). Alat bantu pernapasan yang bisa dipakai mulai dari nasal canule (O2 4 liter per menit), simple mask (O2 6 - 8 liter per menit), masker dengan reservoir (O2 10 liter per menit), dan ventilator mekanik. Circulation, Mean Arterial Pressure (MAP) dipertahankan minimal 80 mmHg dengan harapan Cerebral Perfusion Pressure (CPP) tetap di atas 50 mmHg. Beri oksigen bila ada keadaan sesak, beri
cairan infus 2 line untuk mencegah munculnya syok (Acute Spinal Cord Injury Imobilisasi
Tindakan imobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat. Hal pertama yang dilakukan pertama yaitu imobilisasi dan menstabilkan leher dalam posisi normal dengan memakai cervical collar (hard collar). Leher dicegah agar tidak terputar (rotation). Pasien dibaringkan dalam posisi terlentang (supine) pada tempat atau alas yang keras
Steroid,Menurut National Acute Spinal Cord Injury penelitian es (NASCIS-2) dan NASCIS-3, pasien dewasa dengan trauma akut nonpenetrating yang mengalami
cedera medula spinalis bisa diterapi dengan methylprednisolon segera, saat diketahui mengalami cedera medula spinalis. Onset kurang dari 3 jam
diberikan bolus IV dengan dosis 30 mg/kg/BB, diteruskan dengan infus dosis 5,4 mg/kgBB/jam yang diberikan selama 24 jam jika onset di antara 3 - 8 jam, maka infus diberikan dengan durasi lebih lama yaitu selama 24 - 48 jam. Untuk trauma dengan onset di atas 8 jam, NASCIS tidak menyarankan pemakaian steroid. sebab pemberian methyprednisolone 8 jam pascatrauma
memberi hasil pengobatan yang lebih buruk dibandingkan plasebo Methylprednisolone dosis tinggi berdampak samping berwujud perdarahan gastrointestinal, pneumonia, sepsis, ulkus peptik, dan
hiperglikemia , Penelitian menandakan akan terjadi pemulihan motorik dan sensorik dalam 6 minggu, 6 bulan, dan 1 tahun pada pasien yang menerima methylprednisolone
Alat bantu orthosis eksternal yang rigid (kaku) bisa menstabilkan tulang belakang dengan cara mengurangi Range of Motion (ROM) dan meminimalkan beban pada tulang belakang. biasanya , pemakaian cervical collars (colar brace) tidak kuat untuk cedera pada C1, C2, atau
servikal-torakal yang tidak stabil. Cervicothoracic Orthoses Brace yang dipasang di atas torak dan leher, bisa meningkatkan stabilisasi area servikal-torakal,
sehingga cepat dipakai pada pasien dengan lesi pada area servikal yang tinggi. Alat ini mencegah gerakan fleksi dan rotasi selama cedera pada C1 hingga Th7. Cervicothoracic Orthoses Brace ini ada juga jenis Sternal-
Occipital-Mandibular immobilizer (SOMI), sehingga membatasi gerakan pada bagian bawah dari tulang servikal. Minerva braces meningkatkan stabilisasi
servikal pada area toraks bagian atas hingga dagu dan oksipital. Alat ini juga membatasi gerakan fleksi, ekstensi, dan rotasi. Pemasangan alat lain yang dinamakan halo-vest paling banyak memberi stabilisasi servikal eksternal.
Halo-vest paling sering dipakai untuk external splinting pada cedera tulang belakang servikal. Alat ini bisa mengurangi gerakan secara menonjol . Oleh sebab itu, Halo vest paling cepat untuk fraktur tulang servikal yang tidak stabil (tulang servikal bagian atas). Kontratanda pemakaian Halo-vest bila ada infeksi pada kulit kepala dan tulang tengkorak, dan patah tulang tengkorak kepala yang menghambat untuk dilakukan fiksasi. Untuk cedera
pada tulang area lumbal yang sering dipakai yaitu The Boston Overlap Brace (BOB). Tujuannya untuk mencegah gerakan fleksi, lateral bending, dan rotasi. Model ini dipakai pada fraktur yang terletak antara L1 dan L5
Operasi
Prosedur operasi baik dilakukan dalam jangka waktu 24 jam sampai dengan 3 minggu sesudah munculnya trauma dengan tanda adanya fraktur dan pecahan tulang yang menekan medula spinalis, petunjuk defisit
neurologis yang progresif memburuk, fraktur atau dislokasi yang tidak stabil, dan munculnya herniasi diskus intervertebralis yang menekan medula spinalis
Keputusan untuk dilakukan operasi dibuat berdasar peristiwa per peristiwa dengan tujuan pertama yaitu dekompresi bagian saraf yang diharapkan
mengembalikan atau meningkatkan fungsi saraf itu , membentuk tulang belakang yang stabil sehingga mencegah penurunan fungsi saraf dan atau
munculnya deformitas, dan mengembalikan pasien agar memiliki kapasitas fungsional lebih tinggi dengan cara membuat pasien bisa mobilisasi kembali
Tujuan pertama operasi meringankan tekanan pada medula spinalis yang bisa berwujud patah tulang, spondylosis, spondylolisthesis, herniasi disk, dan hipertrofi ligamen. Dekompresi sudah dipikirkan sebagai cara mencegah cedera primer yang lebih lanjut, sebagaimana cedera sekunder mulai terjadi
juga dari proses iskemia, vasospasme, edema, inflamasi, radikal bebas, dan
Jenis tindakan operasi tergantung dari area tulang belakang yang terkena dan tipe cedera nya. contoh pada area yang paling atas, yaitu craniovertebral junction termasuk tulang oksipital dan condyles, the atlas dan the
axis ada beberapa tipe cedera
Pada cedera craniovertebral junction, pilihan operasi bisa dilakukan dengan beberapa tehnik berikut:
1. Posterior Fusion Technique
-- Jeanneret and Magerl Transarticular Screw Technique
tehnik ini menawarkan stabilitas biomekanik tulang belakang yang baik dan bisa melakukan gerakan segala arah dibandingkan dengan tehnik yang memakai wire
--. Goel and Laheri/Harms and Melcher Fixation
Pilihan tehnik ini dipakai untuk pasien dengan subluksasi C1 - C2 atau ada arteri verterbral abberant yang mana tehnik transarticular screws sulit atau bahaya untuk dilakukan.
-- Wiring Technique tehnik ini memakai braided cable yang memiliki keuntungan fleksibel, kuat, dan tahan pada distorsi dan kelelahan. disarankan bahwa kekuatan untuk menekannya tidak melebihi 8 - 12 lb untuk lamina yang normal dan 6 - 8 lb untuk tulang
yang mengalami osteoporosis
--. Gallie’s Technique
Gallie menjelaskan metodenya pada arthrodesis C1 - C2 pada tahun 1939. Kelemahan tehnik nya yaitu fiksasi soliter, fiksasi pada garis tengah, dan fusi yang rentan bila dipakai untuk rotasi.
--Brook’s And Jenkin’s Technique
tehnik ini melibatkan dua bone graft yang dipasang di antara C1 dan C2 dengan cable sublaminar. Mereka merancangnya untuk mengatasi kekurangan kemampuan rotasi pada metode Gallie.
2. Anterior Fusion Technique
a. Odontoid Screw Fixation
Kontratanda untuk tehnik ini yaitu disruption ligamen
transversus. Displacement lebih dari 6 mm, usia lebih dari 50 tahun, fraktur lebih dari 6 bulan, dan kebiasaan jelek pasien berisiko tinggi terjadi non-union.
b. Anterior Atlantoaxial Facet Screw Fixation
tehnik ini dipakai jika terjadi kegagalan pada proses
penggabungan atlantoaksial dari posterior atau adanya
ketidakstabilan C1 - C2 dengan kerusakan struktur posterior pada C1 dan C2. Pada cedera servikal dan fraktur vertebra servikal ada dua cara , yaitu cara dari anterior dan posterior. dokter bedah saraf biasanya memakai cara dari anterior saja untuk melakukan tindakan atau cara kombinasi (anterior dan
posterior), namun hanya pada tahap awal saja jika diperoleh herniasi diskus, dislokasi pada tahap t bilateral
Trauma pada tulang belakang area lumbal dan dengan adanya fraktur vertebra torakolumbal yang mana lima puluh persen terjadi pada thoracolumbar junction T12 - L2, disebab kan proses biomekanik transisi dari kaku ke elastis dan dengan bentuk kifosis pada area torakal menjadi lordosis pada tulang belakang area lumbal
Ada beberapa metode untuk dekompresi dan penggabungan pada cedera area torakolumbal :
--. Anterior
cara dari depan ini paling aman untuk medula spinalis dan cara rekonstruksi terbaik untuk kolumna anterior.
--Laminektomi
Tidak sebagai prosedur tunggal pada trauma, khususnya jika ada cedera pada kolumna anterior vertebra.
Selain beberapa metode itu , juga ada beberapa tehnik
atau metode untuk dekompresi dan penggabungan pada cedera area torakolumbal yang lain, yaitu Transpedicular, cara extended costo-trasversectomy atau lateral extracavitar
--. Indirect
Yaitu memakai ligamentoaxis untuk memaksa bagian yang cedera agar keluar dari kanal dan mengurangi cedera dengan metode postural atau dengan fiksasi segmen posterior (segmen pendek atau panjang).
-- Direk
Tindakan operasi dengan tehnik langsung bertujuan untuk menghilangkan potongan tulang pada kanal.
Komplikasi akut dibagi menjadi komplikasi hiperakut dan komplikasi subakut. Beberapa komplikasi hiperakut yaitu dampak simpatektomi, perdarahan, bradikardia (dengan atau tanpa hipovolemia), hipotermia atau demam (dengan atau tanpa infeksi), dan hipoventilasi atau gagal nafas. Tergantung letak lesi, pada occiput-C2 bisa terjadi kehilangan seluruh fungsi respirasi, kelemahan nervus kranialis. Pada C3 - C4 yang terganggu yaitu
diafragma dan interkostal, yang berfungsi mempertahankan fungsi farings dan larings. C5 - Th1 pada interkostal berfungsi mempertahankan diafragma,
bila Th2-Th12 terkena maka mengganggu fungsi interkostal yang beragam (bisa muncul ARDS sekunder) Beberapa komplikasi subakut yaitu gagal nafas sekunder (sumbatan lendir, atelektasis, pneumonia, dan emboli paru), Deep Vein Trombosis (DVT),
disfungsi bladder dan bowel (lakilaki pismus, retensi urin dengan overdistensi bladder), dekubitus, nutrisi yang tidak kuat , dan disrefleks otonom.
Dengan tindakan pencegahan yang cepat diharapkan bisa meminimalisir munculnya komplikasi di atas
Prognosis lebih baik pada cedera medula spinalis yang tidak komplet. Sebanyak 80% pasien cedera medula spinalis bisa membaik dan hidup mandiri, namun kurang dari 5% yang mengalami cedera medula spinalis
komplet. Jika paralisis komplet bertahan sampai 72 jam sesudah cedera, maka kemungkinan pulih yaitu 0% ,
Ketulian mendadak atau Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSNHL) yaitu gangguan pendengaran yang ditandai dengan gejala hilangnya atau penurunan pendengaran yang terjadi secara mendadak.
Biasanya pemicu ketulian tidak bisa diketahui secara langsung. Ketulian biasanya terjadi pada satu telinga, namun pada beberapa peristiwa bisa terjadi bilateral
Kriteria umum yang dipakai untuk diagnosa ketulian mendadak ini yaitu diperoleh gangguan pendengaran sensorineural yang lebih besar dari 30 dB lebih dari 3 frekuensi pada hasil audiogram yang berdekatan dan terjadi lamanya kurang lebih 3 hari. Sebagian besar peristiwa kehilangan pendengaran mendadak unilateral dan prognosis untuk pemulihan pendengaran cukup
baik. Ketulian mendadak termasuk ke dalam salah satu kritis di bidang THT, sebab kerusakan terutama di area koklea dan biasanya bersifat permanen walaupun bisa kembali normal atau mendekati normal
Faktor risiko ketulian mendadak akan meningkat pada penderita dengan kelainan darah, diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi, dan stres
Teori ruptur
Hal yang berpotensi memicu ketulian mendadak yaitu ruptur labirin membran intrakoklea. Membaran basalis dan membran reissner yaitu selaput tipis yang membatasi endolimfe dan perilimfe. Ruptur salah satu dari membran atau keduanya bisa memicu
ketulian mendadak ,
Teori autoimun
Ketulian mendadak yang dipicu oleh proses autoimun telinga dalam masih belum jelas. Proses yang mendasari yaitu aktivitas imunologis intrakoklea
Teori infeksi virus
Pada peristiwa penyakit yang dipicu oleh virus seperti mumps, measles, rubella, dan influenza terutama yang dipicu oleh infeksi adenovirus dan Cytomegalovirus (CMV), bisa memicu ketulian mendadak. Dari pemeriksaan serologis pada penderita ketulian
mendadak idiopatik, diperoleh naiknya titer antibodi pada
beberapa virus. Pemeriksaan histopatologi tulang temporal penderita ketulian mendadak diperoleh atrofi organ corti, atrofi stria vaskularis, dan membran tektorial dan hilangnya sel rambut dan sel penyokong
dari koklea ,
Teori vaskuler
Bila terjadi gangguan pembuluh darah di koklea akan mudah mengalami kerusakan sebab pembuluh darah ini yaitu ujung arteri. Sehingga pada peristiwa emboli, trombosis, vasospasme, dan hiperkoagulasi atau viskositas yang meningkat bisa memicu iskemia yang mempengaruhi degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria vaskularis dan ligament spiralis ,
diagnosa ketulian mendadak diperoleh berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang audiologi dan laboratorium
Anamnesis yang teliti mengenai onset, perjalanan penyakit, gejala yang dimiliki , dan faktor predisposisi penting untuk mengarahkan diagnosa . Hilangnya pendengaran secara tiba-tiba biasanya satu telinga yang tidak jelas pemicu nya, berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari. Gejala bisa
ditambah dengan tinnitus dan vertigo
Pemeriksaan fisik termasuk tekanan darah diperlukan. Pada pemeriksaan otoskopi tidak ditemui kelainan pada telinga yang sakit. Pemeriksaan pendengaran, tes garpu tala: Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang normal, Schwabach memendek, dan kesan tuli sensorineural ,Pada audiometri nada murni menandakan tuli sensorineural ringan sampai berat. Pemeriksaan audiometri nada tutur memberi hasil tuli
sensorineural sedang pada audiometri impedans ada kesan tuli sensorineural koklea. Pada anak-anak bisa dilakukan tes OAE (Otoacoustic Emission) dan BERA (Brainstem Evoked tanggap e Audiometry) sesuai tanda ,
hasilnya menandakan tuli sensorineural ringan sampai berat. Pada pemeriksaan audiometri khusus diperoleh Audiometri tutur: SDS (Speech
Discrimination Treshold) < 90%, SRT (Speech Reception Treshold) > 30 dB, dan
Tes Tone Decay: bisa positif atau negatif
Pemeriksaan laboratorium untuk memeriksa kemungkinan infeksi virus, bakteri, hiperlipidemia, hiperfibrinogen, hipotiroid, penyakit autoimun, dan
faal hemostasis,
pengobatan ketulian mendadak tergantung dari pemicu nya. Pada banyak peristiwa tidak ditemukan pemicu secara menonjol , sehingga terapi secara empiris bisa diberikan. pengobatan nya yaitu antaralain: :
- Vasodilator: betahistin 2 24 mg/hari,
- Terapi vertigo atas tanda ,
- Kortikosteroid oral diberikan 7 sampai 14 hari, Prednisone 40 - 60 mg/hari, dosis tunggal pagi hari dengan tappering off 20 mg tiap 5 hari atau
Metilprednisolone: 48 mg/hari, tappering off 16 mg tiap 5 hari. sedang Steroid intravena atau intratimpani (atas tanda ),
- Evaluasi audiometri ulangan untuk follow up kemajuan,
- Bila ketulian menetap, memerlukan evaluasi untuk rehabilitasi pendengaran.
- Tirah baring bila ditambah vertigo dan terjadi pada tahap akut,
pengobatan berhasi jika memenuhi berikut:
- Slight improvement, bila perbaikan PTA: 10 - 30 dB,
- No recovery, bila tidak ada perbaikan PTA atau membaik: < 10 dB.
- Complete recovery, bila PTA sesudah terapi: < 25 dB,
- Marked improvement, bila perbaikan PTA: > 30 dB,
Prognosis tergantung pada faktor usia, derajat gangguan pendengaran, pengobatan dini dan ada tidaknya gejala vestibuler dan faktor predisposisi lainnya. Pemulihan spontan bisa terjadi sekitar 32 - 70%. Keterlambatan
mengatasi bisa memicu ketulian permanen. Penderita dengan usia lanjut, hipertensi, diabetes, dan hiperlipidemi yang ada hubungannya dengan disfungsi pembuluh darah koklea memiliki prognosis buruk .
Beberapa kelainan neurologis bisa memicu gangguan pernapasan, antara lain kelainan sistem saraf pusat seperti myelopati servikal, cedera batang otak, kelainan difus bihemisfer, ataupun kelainan neuromuskular.
Kelemahan itu bisa dipicu sebab kelemahan otot pernapasan atau saraf yang menginervasi otot napas. ini penting untuk dideteksi awal sebab kelemahan otot pernapasan bisa memicu gagal napas, yang mana berkaitan juga dengan pneumoni dan aspirasi. Bahasan kali ini akan terfokus pada gangguan pernapasan yang dipicu kelainan neuromuskular
pemicu kelainan neuromuskular memicu gagal
napasDiafragma yaitu otot pertama yang berperan dalam pernapasan dan berkontribusi kurang lebih 70% pada volume tidal inspirasi pada pasien normal. Otot ini diinervasi oleh saraf phrenicus yang berasal dari radiks
C3 - C5. Otot intercostal eksternal dan otot asesori (sternocleidomastoideus, scalene, trapezius, latissimus dorsi, pectoralis mayor dan minor, dan platysma) membantu inspirasi, bila ada naiknya beban sistem respirasi, contohnya pada saat istirahat dan serangan asma. Otot intercostal internal dan otot perut
menyokong ekshalasi dan membantu refleks batuk. Otot bulbar menjaga saluran napas atas tetap paten.
Fungsi otot pernapasan atas yang kuat diperlukan untuk menghindari kolapsnya dinding faring saat inspirasi, dan mencegah aspirasi pada jalan napas saat menelan. Kelemahan otot bulbar meningkatkan risiko obstruksi
jalan napas dan aspirasi, yang mana ini bisa memicu gagal napas pada pasien kelainan neuromuskular .
pemicu pasien dengan kelainan neurologis mudah terjadi
infeksi paruPneumonia sering terjadi pada kelainan neurologis baik akut maupun kronik, contohnya pada parkinson, diperkirakan 10% pemicu kematian
yaitu sebab pneumonia, kemungkinan sebab gangguan fungsi batuk dan kelemahan otot saluran napas atas. Kelemahan otot fasial, orofaring, dan laring bisa memicu gangguan menelan dan sekresi mukus. Kelemahan otot itu bisa memicu obstruksi jalan napas, terutama
saat berbaring. Refleks batuk juga menurun akibat kelemahan otot perut sehingga meningkatkan risiko munculnya aspirasi. Hal itu memicu munculnya infeksi dan penyembuhan yang lebih lama ,
Saat anamnesis perlu ditanyakan apakah ada kelemahan atau riwayat mudah lelah, diplopia, gangguan menelan, dan disfoni. Onset dan progresivitas gejala juga penting diketahui, sebab semakin cepat progresivitas kelemahan
terjadi, maka gangguan pernapasan bisa terjadi lebih dini dan meningkatkan kemungkinan keperlu an pemakaian ventilator. Sifat kelemahan ascending biasanya terjadi pada pasien Guillain Barre Syndrome (GBS), fluktuatif dan
terjadi sesudah aktivitas bisa terjadi pada pasien Myasthenia Gravis (MG). Adanya kelemahan yang bersifat descending (diawali parese saraf kranialis lalu
berlanjut ke lengan dan tungkai) bisa yaitu tanda botulismus. Pada peristiwa itu perlu ditanyakan riwayat makan makanan yang terkontaminasi ataupun adanya luka yang kemungkinan terinfeksi Clostridium botulinum
Pemeriksaan fisik diperoleh pasien nampak lemah, gelisah, sesak saat istirahat atau aktivitas ringan, napas menjadi cepat dan dangkal, berkeringat, bicara staccato (tidak bisa menyelesaikan kalimat tanpa berhenti untuk
mengambil napas), disfagi, batuk sesudah menelan, disfoni, adanya gerakan otot bantu napas, dan gerakan napas paradoksikal (otot perut tertarik ke
dalam saat inspirasi). Adanya kelemahan fleksi otot leher bisa yaitu tanda kelemahan otot diafragma. Tes napas tunggal (single-breath test) bisa dilakukan untuk menganalisa kapasitas vital, dengan cara menyuruh pasien mengambil napas maksimal dan mulai berhitung 1 sampai 50. Pada gangguan berat pernapasan pasien hanya bisa menghitung kurang dari 15 dengan satu
kali napas ,Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan antara lain foto polos dada, bisa ditemukan adanya infeksi (termasuk pneumoni aspirasi), edema paru, dan atelektasis. Adanya diafragma letak tinggi pada foto thorax bisa yaitu tanda kelemahan saraf phrenicus unilateral. Analisis gas darah bisa menentukan adanya hipoksia dan tipe gagal napas. Tes menelan perlu dilakukan untuk melihat risiko munculnya aspirasi. Pemeriksaan fungsi pernapasan bisa dilakukan antara lain dengan tes spirometri Prediktor pemakaian ventilator yaitu onset parese bulbar, kemampuan berdiri atau mengangkat lengan (khususnya pada pasien GBS), progresivitas kelemahan otot yang cepat, kapasitas vital < 15 mL/kg, penurunan kapasitas
vital sebesar 50%, tekanan inspirasi maksimal > -30 cm H20, dan tekanan ekspirasi maksimal < 40 cm H20
Prioritas mengatasi pasien dengan gagal napas yaitu memastikan jalan napas bebas, oksigenasi baik, dan mengatasi segera faktor pemicu, contoh pneumonia, selain terapi khusus menurut penyakit dasar. Adapun
pilihan pemakaian alat bantu napas bisa berwujud ventilasi invasif dengan intubasi, ventilasi noninvasif dengan pemakaian alat CPAP pada malam hari
untuk pasien-pasien dengan kelainan neuromuskular, dan ventilasi jangka waktu lama dengan trakoestomi
Ventilasi invasif harus dipertimbangkan untuk pasien yang kemungkinan perlu perawatan di unit perawatan intensif, contoh pada pasien dengan kelemahan otot akut dan progresif seperti pada Guillain-Barre syndrome
Ventilasi noninvasif nokturnal pada pasien dengan kelainan neuromuskular banyak dikembangkan selama 20 tahun terakhir. Ventilasi noninvasif bisa memperpanjang harapan hidup pada pasien dengan gagal napas hiperkapnia. Diperkirakan ventilasi noninvasif bekerja dengan cara meningkatkan ventilasi mekanik, mengistirahatkan otot napas sehingga meningkatkan kekuatan dan daya tahan, dan meningkatkan kepekaan ventilasi pada CO2. Ventilasi noninvasif bisa dipakai secara akut untuk gagal napas tipe 2, untuk
menghindari intubasi endotrakeal
Ventilasi Jangka Lama
Pemasangan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan kelainan neuromuskular jangka lama yang mana ventilasi noninvasif gagal. Sisi negatif trakeostomi pada komunikasi yang mengganggu pita suara dan perawatan
yang cukup rumit ditambah masalah psikologis, memicu pilihan ini sering ditolak oleh pasien. Namun penelitian menandakan bahwa pada pasien dengan amyotropic lateral sclerosis, pemakaian trakeostomi bisa memperpanjang harapan hidup sampai 10 tahun