Infeksi saluran kemih kompleks yaitu ISK yang ditambah dengan kelainan anatomi dan atau fungsional saluran kemih yang memicu stasis atau aliran balik (refluks) urin. Kelainan saluran kemih berwujud batu saluran kemih, uropati obstruksi, anomali saluran kemih, kista ginjal, buli-buli neurogenic, benda asing,
Infeksi saluran kemih yaitu pemicu infeksi bakteri pada bayi dan anak. Penegakkan analisa infeksi saluran kemih pada anak memiliki tantangan tersendiri sebab gejala yang tidak khusus , terutama pada bayi dan anak kurang
dari 3 tahun. Anak dengan anomali saluran kemih memiliki tendensi yang lebih tinggi untuk mengalami infeksi saluran kemih, 30% anak dengan anomali saluran kemih memiliki gejala awal berwujud infeksi saluran kemih. Identifikasi infeksi saluran kemih pada anak penting dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan struktural yang bisa berlanjut menjadi gangguan fungsi ginjal. Kegagalan identifikasi pada kondisi ini bisa
memicu kerusakan lebih lanjut pada saluran kemih bagian atas dan infeksi rekurenInfeksi saluran kemih digolongkan berdasar adanya faktor penyulit, dibagi menjadi infeksi saluran kemih simpleks dan infeksi saluran kemih kompleks. ISK simpleks diperoleh pada pasien dengan fungsi dan morfologi saluran kemih dan fungsi ginjal dalam batas normal. ISK kompleks diperoleh pada pasien dengan kelainan struktural
atau fungsional saluran kemih atas atau bawah yang bisa dipicu oleh pemicu intrinsik atau ekstrinsik. Pielonefritis digolongkan sebagai ISK kompleks, ISK kompleks sebagai sindrom
klinis yang disifat an dengan pyuria dan ditemukannya mikroba pathogen dalam kultur urine, ditambah oleh adanya tanda dan gejala lokal dan sistemik, terdiri dari demam (temperatur oral atau tympani > 38oC), menggigil, malaise, nyeri area flank, nyeri punggung, dan atau nyeri
tidak nyaman area costo-vertebral angle, yang terjadi sebab ketidaknormalan struktur atau fungsional pada saluran kemih yang dipicu oleh faktor intrinsik atau ekstrinsik.
Infeksi saluran kemih yaitu infeksi bakteri pada anak. Bayi dibawah usia 1 tahun, insiden pada anak prepubertal lebih banyak ditemukan pada
anak wanita dibandingkan lelaki , Kelainan anatomi yang sering ditemukan pada ISK kompleks yaitu ureteropelvic junction obstruction dengan angka insiden lebih tinggi pada anak lelaki dibandingkan anak wanita . pemicu lainnya berwujud ureterokel dan ureter ektopik yang
ditemukan pada anak wanita dibandingkan lelaki, posterior urethral valve yang terjadi pada 1 dari 8000 anak lelaki dan refluks vesikoureter yang terjadi pada 1% anak.Obstruksi saluran kemih terjadi sepanjang saluran kemih mulai dari pelvis sampai uretra. Adanya obstruksi ini memicu terjadi stasis urin yaitu media perkembangan kuman dalam saluran kemih. Obstruksi saluran kemih bisa terjadi sebab adanya kelainan anatomis antara lain: stenosis hubungan pelvis-ureter, stenosis hubungan vesiko-ureter, katup uretra posterior, batu saluran kemih , atau
kelainan fungsional antara lain: refluks vesiko-ureter, kandung kemih neurogenik . Gejala adanya obstruksi saluran kemih sulit diketahui, biasanya diketahui pada pelacakan pencitraan ginjal dan saluran kemih sesudah anak menderita ISK.
Dalam kondisi normal pada ureter ada dua tempat yang mengalami penyempitan yaitu pada peralihan antara pelvis dengan ureter dan pada peralihan antara ureter dan vesika. Tempat ini bisa terjadi stenosis sehingga terjadi hambatan aliran urin yang memicu terjadi hidroureter dan hidronefrosis, ini bisa terjadi unilateral atau bilateral, lebih sering kelainan kongenital.
Katup uretra posterior ditemukan pada anak laki-laki. Katup uretra posterior ini mengganggu pancaran aliran urin sehingga terjadi stasis urin. Katup uretra posterior dicurigai saat prenatal dengan USG dan analisa pasti melalui pemeriksaan VCUG (Voiding Cystourethrogram).
Batu saluran kemih bisa terjadi mulai dari ginjal sampai uretra. Batu saluran kemih bisa memicu obstruksi saluran kemih yaitu tempat bersembunyinya kuman sebaliknya adanya infeksi terutama oleh mikroorganisme penghasil urease bisa memicu terjadinya batu saluran kemih. analisa batu saluran kemih bisa melaui
pemeriksaan radiologi foto polos perut atau USG.Refluks vesiko ureter yaitu suatu kelainan traktus urinarius yaitu terjadinya aliran balik urin dari vesika urinaria ke ureter lalu menuju ginjal. pemicu RVU yaitu ketidaknormalan sistem katup ureterovesikal pada per uretervesika urinaria yaitu saluran bawah ureter yang masuk ke dalam otot vesika (ureter intramural) tidak cukup panjang, seperti kita ketahui ureter intramural yaitu
mekanisme alamiah antirefluks, namun sejalan dengan pertumbuhan kondisi ini akan terkoreksi. pemicu lain letak ureter terlalu ke lateral sehingga terbentuk saluran yang pendek dan sulit terkoreksi dengan pertumbuhan. pemicu lain yaitu bentuk muara ureter pada vesika seperti bentuk tapal kuda /lubang golf, syarat analisa standar untuk RVU yaitu x-ray voiding cystourethrogram (VCUG). Pemeriksaan radionuclide voiding cystography (RVC) dengan technetium TC 99 m memiliki kelebihan sebab dosis radiasi rendah dan lebih peka . ketebalan parenkim dan dilatasi
sistem duktus. Echo-enhanced voiding urosonography (VUS) dengan metode siklik, lebih
akurat dibanding RVC dalam penentuan derajat refluks. Neurogenic bladder yaitu suatu disfungsi kandung kemih akibat kerusakan sistem saraf yang terlibat dalam pengendalian berkemih. kondisi ini bisa berwujud kandung kemih tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk miksi atau kandung kemih terlalu aktif dan melakukan pengosongan kandung kemih berdasar refleks yang tak terkendali . Urografi intravena, sistografi atau uretrografi dilakukan untuk memperkuat analisa . Bisa juga dilakukan pemeriksaan USG atau sistoskopi. Dengan memasukkan kateter melalui uretra bisa diketahui jumlah air kemih yang tersisa. Untuk mengukur tekanan di dalam kandung kemih dan uretra bisa dilakukan dengan sistometografi. beberapa faktor yang mendasari terjadinya ISK kompleks, baik dari faktor intrinsik berwujud kelainan anatomi dan fungsional dari sistem saluran kemih, yang bisa
berwujud penyakit ginjal intrinsik (kista ginjal, batu ginjal), adanya uropathy obstruktif
(nephrolithiasis, fibrosis, striktur uretra, obstruksi pada pelviureteric junction, posterior urethral valve, bladder neck obstruction, tumor saluran kemih, benda asing, indwelling catheter), neurogenic bladder, dan dari faktor ekstrinsik berwujud anak dengan status immunocompromised dan adanya penyakit komorbid.Infeksi saluran kemih simpleks biasanya dipicu oleh satu bakteri patogen,
sedang pada ISK kompleks bisa dipicu oleh infeksi ganda yang bisa terdiri dari dua atau lebih bakteri patogen. pemicu ISK kompleks biasanya lebih beragam dan sulit untuk diprediksi. Escherichia coli masih menjadi bakteri patogen yang biasanya ditemukan pada ISK kompleks. Organisme lainnya bisa berwujud spesies Proteus, spesies Klebsiella, Enterococci, Pseudomonas aeruginosa, dan bahkan jamur.
ISK kompleks sama dengan ISK. Namun, pada ISK kompleks ada faktor risiko berwujud kelainan anatomi dan fungsional saluran kemih.
Infeksi saluran kemih bisa muncul sebab adanya kolonisasi bakteri secara asenden ataupun penyebaran secara hematogen yang terjadi pada kondisi septicemia. Bakteri yang berkolonisasi di perineum pada anak wanita atau di preputium pada anak lelaki, masuk ke saluran kemih mulai dari uretra secara asenden. Bakteri bermultiplikasi di dalam urin di saluran kemih dan menjadi koloni yang bisa memicu infeksi saluran kemih.
Saluran kemih memiliki mekanisme pertahanan yang bisa mencegah munculnya infeksi saluran kemih, yaitu terdiri dari mekanisme fungsional, anatomis dan imunologis. Ginjal memiliki mekanisme anti refluks yang bisa mencegah urin mengalir secara retrograde. Kandung kemih memiliki proses pengosongan kandung kemih yang regular, dengan drainase urin yang baik. Bakteri juga akan dihancurkan oleh leukosit
polimorfonuklear dan komplemen. Dengan adanya mekanisme pertahanan ini anak tidak mudah menderita ISK, namun pada anak dengan kelainan pada anatomi dan fungsional saluran kemih juga dengan status imunocompromised lebih berisiko untuk terjadinya ISK kompleks. dampak klinis infeksi saluran kemih bergantung pada usia anak.
Infeksi saluran kemih pada neonatus biasanya bagian dari sepsis dengan dampak klinis berwujud demam, letargis, mual , ikterik kejang. Infeksi saluran kemih pada anak usia kurang dari 2 tahun ditemukan gejala demam tanpa fokus infeksi yang jelas, bisa ditambah gejala penyerta berwujud mual mulas perih kembung , diare, nyeri perut dan berat badan sulit naik. Gejala pada anak lebih besar bisa berwujud demam yang ditambah disuria, urgensi, polakisuria dan nyeri pada perut dan area flank.Anak dengan infeksi saluran kemih kompleks berdampak sistemik yang
lebih berat. biasanya ditemukan demam suhu >39o C, tampak nyeri atau tidak nyaman pada costovertebral angle, peningkatan serum kreatinin, toksik, muntah persisten, dehidrasi,tidak menanggapi pengobatan selama 48 jam. ISK kompleks rekuren dan mengikutsertakan saluran kemih bagian atas.Anak dengan pemeriksaan fisik ditemukan spina bifida, dimple, riwayat pembedahan pada saluran kemih, malformasi anorektal, sinekia vagina, fimosis, hipospadia, epispadia, dilatasi kandung kemih, hidronefrosis, inkontinensia urine,
meningomyelocele yaitu faktor yang mengarahkan analisa ke ISK kompleks.
Anak dengan kecurigaan ISK harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan urinalisis dan kultur urine. Pengambilan sampel urine dilakukan dengan pemasangan kateter urine, aspirasi suprapubik dan urine pancar tengah. Neonatus dan bayi disarankan melalui kateter urine, anak yang lebih besar bisa dikerjakan dengan pengambilan urine pancar tengah. Interpretasi hasil pemeriksaan urinalisis yaitu adanya leukosituria (>5/LBP),
proteinuria, hematuria (eritrosit >5/LBP), nitrit, leukosit esterase, silinder dan antibody coated bacteria. Pemeriksaan lainnya diantaranya darah lengkap, C-reactive protein, procalcalcitonin. Procacitonin yaitu prediktor lebih kuat dibandingkan dengan hitung leukosit atau C-reactive protein untuk analisa pielonefritis akut. analisa ISK dilakukan jika pada pemeriksaan
kultur urin ditemukan adanya >105 koloni/ml urin
Pemeriksaan radiologi pada ISK untuk mencari adanya kelainan struktural dari sistem saluran kemih. Pemeriksaan USG ginjal dan saluran kemih urgent diperlukan bila ada kecurigaan ISK kompleks yaitu ISK pada neonatus dan anak dengan kandung kemih yang dilatasi dan ballotable kidney. Pemeriksaan USG disarankan untuk semua anak yang mengalami ISK pertama kalinya. Pemeriksaan radiologi lainnya yaitu
(Micturating Cystourethrogram) MCUG dan DMSA scan. Micturating Cystourethrogram yaitu pemeriksaan untuk mengevaluasi ketidaknormalan pada kandung kemih dan
uretra, pemeriksaan ini juga bisa mendeteksi adanya vesicouretral refluks. Micturating
Cystourethrogram sebaiknya dilakukan sesudah 6 minggu ISK teratasi, kecuali dalam kondisi
obstruksi pengeluaran kandung kemih, pemeriksaan ini bisa dilakukan secepatnya.
Pemeriksaan ini diterapkan pada anak kurang dari 1 tahun pada ISK pertama, dan pada anak kurang dari 5 tahun pada ISK kedua dengan gejala pielonefritis akut atau dimana pemeriksaan DMSA scan tidak tersedia. Dimercaptosuccinic acid (DMSA) scan untuk mendeteksi adanya scarring pada ginjal. DMSA scan diterapkan pada anak usia kurang dari 1 tahun untuk ISK pertama, dan pada anak kurang dari 5 tahun dengan ISK kedua atau gejala pielonefritis akut, ketidaknormalan USG ginjal dan saluran kemih.Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan yaitu pemeriksaan darah rutin bila ada demam, pemeriksaan urea darah dan serum kreatinin, dan kultur darah bila ada kecurigaan sepsis.
Infeksi saluran kemih kompleks memerlukan pengobatan yang komprehensif dibandingkan ISK simpleks. Deteksi awal adanya kelainan anatomi dan fungsional ginjal dan saluran kemih yaitu penting dalam pengobatan ISK kompleks.
biasanya pengobatan ISK kompleks terdiri dari pengobatan tahap akut yang terdiri dari pemberian antibiotika dan terapi pendukung , pengobatan pembedahan, dan pemberian
antibiotik profilaksis bila diperlukan.
pengobatan tahap akut
Kondisi ISK kompleks berisiko yang tinggi terjadinya komplikasi, baik komplikasi jangka pendek atau jangka panjang. Komplikasi jangka pendek bisa berwujud gagal ginjal akut, sepsis dan meningitis. Komplikasi jangka panjang bisa memicu parut ginjal, yang lalu bisa memicu insufisiensi ginjal, hipertensi, dan kondisi penyakit ginjal kronis. Infeksi saluran kemih sering berulang. Kejadian ISK berulang 50 % dan lebih sering pada bayi. sebagian besar terjadi dalam 3 bulan episode pertama. Faktor predisposisi ISK berulang anatara lain: pada anak wanita , anak
dibawah 6 bulan, adanya RVU, kebiasaan miksi yang kurag baik, konstipasi dan seringnya
melakukan kateter pada neurogenic bladder.
- Antibiotika profilaksis
Pemberian antibiotika profilaksis pada ISK kompleks masih yaitu suatu kontroversi. riset memperoleh adanya penurunan risiko ISK berulang dengan pemberian antibiotic profilaksis, penelitian lain gagal menunjukkan penurunan kejadian ISK berulang dengan pemberian antibiotic profilaksis bahkan terjadinya resistensi antibiotika masih menjadi permasalahan.
Pemberian antibitik profilaksis disarankan pada: anak bibawah 1 tahun sambil menunggu pemeriksaan pencitraan, ISK dengan RVU dan anak yang menderita ISK yang ditambah sering mengalami demam (3 atau lebih dalam setahun). Antibiotik profilakis diberikan dengan dosis 2/3 dosis terapi satu kali sehari dan diberikan pada
malam hari. Antibiotik profilaksis tidak disarankan pada ISK yang ditambah dengan obstruksi saluran kemih seperti pada katup uretra posterior, urolitiasis atau neurogenic bladder.
- pengobatan antimikroba
Pemberian antibiotika untuk untuk eradikasi infeksi akut dan mencegah terjadinya komplikasi berwujud urosepsis atau kerusakan parenkim ginjal. Antibiotik diberikan sesudah pengambilan sampel urine untuk pemeriksaan kultur urine.
Pemilihan antibiotika untuk ISK kompleks lebih beragam sebab kuman pemicu ISK biasanya lebih dari satu mikroorganisme. Pemberian antibiotika secara parenteral yaitu pilihan terapi pada ISK kompleks. Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat, dan lalu diberikan sesuai hasil kultur urine.
Sefalosporin generasi ketiga (cefotakxim, seftriason) bisa dipakai sebagai pilihan. Golongan aminoglikoside juga aman dan efektif untuk mengatasi ISK kompleks. Jika ada resistensi terhadap sefalosporin, antibiotika golongan nitrofurantoin bisa menjadi pilihan. Beberapa antibiotika parenteral yang dipakai untuk penanganan ISK kompleks bisa dilihat pada Tabel 3. Pengobatan ISK kompleks biasanya belum menanggapi dalam 48-72 jam pertama sesudah pemberian antibiotik. Lama pemberian antibiotik untuk ISK kompleks diberikan 10-14 hari, jika dalam 48-72 hari kondisi pasien sudah membaik dan gejala sudah mereda maka
antibiotik bisa diganti melalui oral. - pengobatan pendukung pengobatan pendukung pada ISK kompleks meliputi pemberian cairan yang kuat dan pengobatan demam dan mual mulas perih kembung . Bila muntah persisten bisa diberikan obat domperidone.
- pengobatan pembedahan
pelaksanaan pembedahan dilakukan bila ada indikasi uropati obstruktif, yang harus bekerjasama dengan ahli bedah urologi. pelaksanaan bedah berwujud drainase perkutaneus bila diperoleh uropati obstruktif. Abses renal atau perirenal pada anak juga memerlukan intervensi pembedahan.
kegemukan yaitu faktor risiko munculnya penyakit kronis degeneratif suatu saat , makin dini anak mengalami kegemukan , makin rendah usia hidupnya akibat menderita penyakitpenyakit kronis degeneratif seperti diabetes mellitus tipe 2, penyakit jantung, stroke, kanker.Pada masa remaja, kegemukan memicu hipertensi, sleep apnea, pernapasan, perkembangan tulang ekstremitas, masalah psikososial, masalah hormonal, sistem reproduksi, alergi, hipersensitif
dan masih banyak lagi. Efek samping kegemukan yaitu sindroma metabolik. Melalui efeknya pada metabolisme glukosa dan lemak, kegemukan yaitu faktor risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus tipe 2.kegemukan sebagai faktor risiko sindrom metabolik, tingginya prevalensi pada usia yang lebih muda menunjukkan kemungkinan adanya cohort effect, prevalensi makin meningkat pada generasi yang lebih muda. prevalensi kegemukan pada usia 16-18 tahun meningkat dari 1,4% menjadi 7,3% kegemukan pada masa anak berisiko tinggi menjadi kegemukan di masa dewasa, lalu berpotensi menjadi sindrom metabolik dan penyakit degeneratif. kegemukan sentral (perut ), yaitu komponen kunci sindrom metabolik. Semua hal yaitu faktor risiko kegemukan , seperti pola makan salah dan gaya hidup sedenter yaitu faktor risiko sindroma metabolik.Hal-hal yang
juga dianggap berperan meningkatkan resiko sindrom metabolik yaitu riwayat diabetes
gestasional pada ibu, berat badan lahir rendah dan pola pemberian makan pada masa bayi.
Faktor genetik, sosioekonomi dan lingkungan kegemukan ogenik juga mungkin berpengaruh.
Resistensi insulin yaitu mekanisme terjadinya sindroma metabolik. Resistensi insulin dan hiperinsulinemia memicu disregulasi metabolisme lipid di level seluler, peningkatan kadar asam lemak bebas dan penumpukan trigliserida pada area ektopik, seperti pada otot, hepar dan lemak viseral. , peningkatan kadar asam lemak bebas menghambat transportasi glukosa yang distimulasi insulin sehingga
akan memperberat kondisi resistensi insulin. Resistensi insulin dan peningkatan kadar
asam lemak bebas membentuk lingkaran setan pada sindroma metabolik. pemicu lain sindroma metabolik yaitu gangguan metabolisme asam lemak yang dipicu oleh gangguan metabolism malonyl CoA, disfungsi mitokondria dan disfungsi AMP-Activated Protein Kinase.biasanya mekanisme patofisiologi sindroma metabolik yaitu bidang yang cepat berkembang , sindroma metabolik terdiri atas kegemukan perut , hiperglikemia, hipertrigliseridemia, kadar HDL yang rendah dan hipertensi syarat analisa sindroma metabolik pada dewasa yaitu adanya paling sedikit 3 komponen dari kelima komponen berikut:
- Tekanan darah ≥130/85 mmHg atau riwayat pengobatan untuk hipertensi
- Gula darah puasa ≥100 mg/dl (5,6 mmol/L) atau riwayat pengobatan untuk hiperglikemia.
- Kadar kolesterol High Density Lipid (HDL) <40 mg/dl atau 1.0 mmol/L pada lakilaki dan <50 mg/dl atau 1.3 mmol/L pada wanita atau riwayat pengobatan untuk untuk HDL-C rendah
- Lingkar pinggang lebih besar dibandingkan cut off > yang sesuai untuk populasi negara
masing-masing. Bila belum ada, IDF memakai batasan >90 cm untuk laki-laki, Asia dan > 80 cm untuk wanita Asia.
- Hipertrigliseridemia (kadar trigliserida serum ≥150 mg/dl atau ≥1,7 mmol/L) atau
riwayat pengobatan untuk hipertrigliseridemia
syarat analisa sindroma metabolik untuk anak dan remaja sulit ditentukan. walau faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus tipe 2 suatu saat relatif tetap, namun cut-off yang dipakai tidak konsisten sebab masih adanya perubahan kondisi metabolisme akibat pertumbuhan dan perkembangan anak dan remaja. syarat analisa sindroma metabolik pada anak
dan remaja berdasar 3 golongan usia, yaitu 6-10 tahun, 10-16 tahun dan lebih dari 16 tahun. Pada ketiga golongan usia ini , kegemukan sentral atau kegemukan perut yaitu syarat kunci. tidak menyarankan mendiagnosa sindrom metabolik pada anak yang berusia kurang dari 10 tahun, namun bila ditemukan kegemukan perut maka dokter perlu dengan tegas menyarankan perlunya kendali berat badan.analisa sindrom metabolik bisa dilakukan pada anak usia 10 tahun atau lebih yang memenuhi syarat berikut: kegemukan sentral (perut ) ditambah dengan 2 dari 4 komponen lainnya (peningkatan kadar trigliserida, penurunan kadar kolesterol HDL, hipertensi dan peningkatan kadar glukosa plasma puasa). syarat analisa untuk remaja di atas 16 tahun sama dengan syarat analisa untuk dewasa.
Tanpa pengobatan remaja pengidap sindrom metabolik berisiko mengalamai diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular yang bahkan sudah bisa terjadi sebelum mereka memasuki usia dewasa. kegemukan , intoleransi glukosa, dan
hipertensi pada masa kanak-kanak yaitu faktor risiko kematian dini. analisa diabetes mellitus dibuat berdasar ada/ tidaknya gejala diabetes
mellitus dan hasil pengukuran kadar glukosa plasma. gejala klasik diabetes mellitus yaitu : poliuria, polidipsia, nokturia, penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Tanpa adanya gejala diabetes mellitus, pemeriksaan harus diulang pada hari yang berbeda.
Salah satu cara membedakan antara diabetes mellitus tipe 2 dan tipe 1 yang bisa dipakai yaitu pemeriksaan c-peptide sekitar 12-24 bulan sesudah analisa sebab jarang pengidap diabetes mellitus tipe 1 yang masih memiliki kadar c-peptide normal pada saat ini .
skrining glukosuria pada semua remaja effective untuk mendeteksi diabetes mellitus tipe 2.
analisa diabetes mellitus tipe 2 dilakukan melalui tahap: melakukan analisa DM, menentukan tipe DM. analisa diabetes mellitus dilakukan dengan syarat American Diabetes Association (ADA) (Boks 1). DM tipe 2 tidak selalu
bisa dibedakan dengan mudah dari DM tipe lain pada anak dan remaja. :
- Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) tidak boleh dilakukan bila analisa sudah bisa dilakukan dengan syarat glukosa plasma puasa atau saat sebab berisiko memicu hiperglikemia berat,
- pemeriksaan glukosa plasma saat yang diambil pada saat stress (trauma, infeksi berat, .) tanpa gejala DM sebelumnya, tidak bisa menjadi dasar analisa DM. Pemeriksaan harus dikonfirmasi lagi.
- Adanya ketonemia atau ketonuria yang menyertai hiperglikemia berat menunjukkan
analisa DM dan memerlukan pengobatan segera. Membedakan diabetes mellitus tipe 2 dan diabetes mellitus tipe 1 Sesuai nya, proses autoimun yang mendestruksi sel beta pankreas terjadi pada diabetes mellitus tipe 1 dan resistensi insulin terjadi pada diabetes mellitus tipe 2, kedua jenis diabetes mellitus ini bisa dibedakan dari kadar insulin atau c-peptide-nya. Pada diabetes mellitus tipe 1, kadar insulin/ c-peptide akan rendah atau rendah, sedang pada diabetes mellitus tipe 2, kadar insulin/ c-peptide akan
normal atau meningkat. , pada diabetes mellitus tipe 1 akan terdeteksi autoantibodi terhadap sel beta pankreas sedang pada diabetes mellitus tipe 2 tidak. Kedua hal ini secara teoritis yaitu pembeda antara diabetes mellitus tipe 1 dan tipe
2, namun , membedakan diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 tidak mudah, sebab :
- kegemukan dan resistensi insulin yaitu faktor risiko penyakit autoimun sehingga 12-45% pengidap diabetes mellitus tipe 2 terdeteksi memiliki autoantibodi terkait diabetes mellitus tipe 1. kondisi ini mempercepat pengidap jatuh ke dalam kondisi tergantung insulin.
- Seiring dengan makin meningkatnya prevalensi kegemukan pada anak, bisa dijumpai pengidap diabetes mellitus tipe 1 yang kegemukan . pengidap diabetes mellitus tipe 1 yang kegemukan mungkin memiliki sisa kadar c-peptide yang lebih tinggi.
- pengidap diabetes mellitus tipe 2 bisa datang dalam kondisi ketosis atau ketoasidosis
sehingga mirip diabetes mellitus tipe 1. Pada kondisi ini , kadar insulin atau c-peptide pengidap bisa rendah akibat adanya glukotoksisitas atau
memang sudah ada ketergantungan insulin.
bayi prematur memerlukan perawatan neonatal intensive care unit (NICU) bisa diselamatkan. Bayi ini berisiko mengalami gangguan tumbuh kembang suatu saat dibandingkan dengan bayi yang lahir cukup bulan atau bayi sehat, Pada bayi prematur, risiko gangguan neurodevelopment, seperti gangguan perkembangan gerak, kognitif dan sikap , meningkat dengan semakin rendahnya usia gestasi. prevalensi palsi serebral paling sering terjadi pada bayi prematur dengan usia gestasi kurang dari 28 minggu,
. Gangguan neurologis minor, seperti kesulitan belajar, gangguan kognitif, gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas (GPPH), dan gangguan
perkembangan koordinasi juga terjadi pada bayi-bayi prematur riwayat perawatan di NICU.
Program intervensi dini pada bayi memperbaiki
perkembangan. menunjukan perbaikan luaran jangka panjang pada fungsi kognitif dan fungsi gerak pada masa bayi dan menetap sampai usia pra sekolah, Penilaian perkembangan dilakukan dalam 3 tahap yaitu surveillance, screening dan
assessment perkembangan. Surveillance perkembangan yaitu proses pemantauan
perkembangan yang fleksibel, longitudinal, berlanjut , dilakukan setiap kali anak datang ke petugas medis, memakai milestone perkembangan. Screening perkembangan yaitu penilaian singkat memakai instrumen untuk mengidentifikasi anak yang berisiko mengalami
masalah perkembangan , dan apakah anak ini memerlukan penilaian perkembangan lebih lanjut. assesment perkembangan yaitu penilaian perkembangan pada anak yang dicurigai mengalami gangguan perkembangan pada tahap skrining. Assessment perkembangan yaitu penilaian perkembangan analisa menentukan
derajat perkembangan anak agar bisa ditentukan apakah anak ini memerlukan bantuan Assessment perkembangan hanya bisa dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih, yang bisa memberi saran yang diperlukan bisa menilai kemajuan program intervensi yang sudah dilakukan . Assessment perkembangan anak meliputi seluruh aspek perkembangan yaitu kognitif, bahasa, gerak, emosi, sebab perkembangan satu aspek tergantung dari aspek lainnya. contoh, kemampuan anak untuk menyusun balok dipengaruhi oleh kemampuan fungsi kognitif, prinsip yang harus diperhatikan dalam assessment perkembangan, yaitu
-Instrumen penilaian perkembangan memuat interaraksi antara keluarga dan anak. penilaian aspek bahasa, gerak halus dan personal sosial. Klinisi bersama dengan pengasuh bisa memakai alat untuk memperoleh pemahaman mengenai :
rentang perhatian, keikutsertaan dengan pasien dan objek, kemampuan memulai interaksi dan permainan, keikutsertaan dalam interaksi
dan sikap yang terarah, keterampilan memecahkan masalah, temperamen, rasa ingin tahu, dan kemampuan untuk mengatasi frustrasi dan emosi. Hasil assesment perkembangan biasanya berwujud skor. Klinisi harus bisa mengintepretasikan hasil skor ini kepada keluarga dan mencegah konsekwensi negatif contoh stigmatisasi anak
dengan skor suboptimal.
-Assessment perkembangan anak harus dikaitkan dengan intervensi yang akan dilakukan. Klinisi harus mengidentifikasi kegiatan apa saja yang sudah lakukan. Klinisi bersama keluarga mengidentifikasi intervensi apa yang akan dilakukan
- Assessment perkembangan harus berdasar prinsip family-centered care. Keluarga harus dilibatkan dalam seluruh proses assessment. Keluarga memberi informasi mengenai kemampuan fungsional dan kekuatan anak, Kelainan anak kebutuhan anak kekuatiran, Dalam proses assessment perkembangan, klinisi tahu bahwa dia belajar bersama dengan keluarga, mengetahui kekuatan anak, keluarga dan komunitas, mengetahui perannya dalam membantu anak dan keluarga mengenali dan memakai kekuatan ini dalam mendukung proses
assessment.
-Assessment perkembangan mengikutsertakan semua aspek perkembangan anak. menilai kesehatan fisik, pertumbuhan, penglihatan, pendengaran menunjukkan etiologi gangguan perkembangan. apa yang sudah dilakukan oleh keluarga, pemahaman orangtua terhadap perkembangan anak,
- Identifikasi dukungan sosial dari pengasuh dan keluarga penting dalam proses penilaian perkembangan untuk menentukan apakah keluarga bisa mendorong perkembangan anak.
-Kesehatan fisik dan mental pengasuh harus diidentifikasi dalam proses penilaian
perkembangan
-Klinisi harus menganamnesis secara lengkap riwayat perkembangan anak, faktor risiko dan protektif pada anak dan keluarga.
-pengawasan mengenai interaksi antara pengasuh dengan anak saat bermain
-Informasi mengenai pengasuhan dan stimulasi yang dilakukan diperlukan dalam penilaian perkembangan anak. Penilaian di lingkungan rumah bisa memberi gambaran yang lebih reliable dan valid mengenai perkembangan anak.
-. Test of Infant Motor Performance (TIMP)
TIMP yaitu instrumen untuk menilai perkembangan neurobehavioral pada bayi mulai usia gestasi 32 minggu sampai 4 bulan usia koreksi. Penilaian TIMP dilakukan dengan melakukan pengawasan pada bayi yang meliputi
orientasi kepala, tanggapan terhadap stimulasi suara dan visual, gerak kaki dan posisi tubuh. Pemeriksaan TIMP memerlukan waktu 40 menit. TMIP yaitu metode assessment neurobehavioral yang memiliki validitas dan relaibilitas yang baik, bisa dilakukan di setting klinik, pemeriksa tidak memerlukan training khusus, cukup dengan mempelajari melalui VCD. Pemeriksaan disarankan dilakukan oleh klinisi yang terbiasa merawat bayi.
- Bayley Scales of Infant and Toddler Development (BSID) yaitu instrument assessment perkembangan bayi yang paling banyak
dipakai menilai aspek perkembangan bahasa, kognitif, sosial-emosi, gerak dan sikap adaptif (laporan pengasuh). BSID bisa dikerjakan pada bayi usia 2-42 bulan, namun BSID lebih akurat dan reliable bila dikerjakan pada bayi diatas usia 6 bulan, BSID sudah tervalidasi dan memiliki korelasi kuat terhadap pencapaian kemampuan akademik suatu saat . Pemeriksaan BSID harus dilakukan oleh klinisi yang terlatih, memerlukan waktu pemeriksaan sekitar 1 jam,
-. General Movements:
Penilaian general movements (GMs) berdasar pengawasan pola gerakan spontan dari rekaman video, yang terdiri dari 2 periode yaitu writhing movement yang muncul sampai usia koreksi 6- 9 minggu dan berubah menjadi fidgety movements
yang muncul sampai usia koreksi 15 sd 20 minggu. menilai predictive validity beberapa instruments neurobehavioral assessment pada bayi prematur yang dilakukan sebelum usia aterm
menyimpulkan GMs bisa memprediksi luaran neurodevelopment jangka panjang, GMs bisa memprediksi kejadian cerebral palsy (CP) pada bayi prematur dengan NPV dan PPV sampai 100%
ketidaknormalan GMs pada bayi prematur
bisa memprediksi terjadinya gangguan fungsi kognitif sampai setidaknya usia 10 tahun. anak yang lahir prematur dengan GMs tidaknormal sampai usia koreksi 8 minggu memiliki IQ
yang lebih rendah dibandingkan dengan anak dengan GM normal, GMs pada usia koreksi 3 sd 5 bulan memprediksi IQ pada usia 7 sd 10 tahun dan anak prematur dengan GM normal pada bulan pertama usia koreksi bisa memprediksi IQ yang
normal paling tidak sampai usia 10 tahun 10. Keterbatasan pemeriksaan GMs diperlukan waktu dan ahli yang sudah terbiasa melakukan pemeriksaan ini
-. Hammersmith Infant Neurological Examination (HINE) metode assessment mirip pemeriksaan neuologi Dubowitz. Pemeriksaan HINE bisa dilakukan pada bayi usia 2-24 bulan. HINE menilai beberapa aspek neurologi yaitu fungsi saraf kranial, postur, gerakan, tonus, reflek, diskripsi perkembangan gerak, diskripsi sikap bayi selama pemeriksaan. Hasil pemeriksaan HINE berwujud nilai skor Nilai skor global lebih rendah pada bayi yang lebih muda sebab rendahnya nilai skor yang berkaitan dengan trunk control pada usia yang lebih muda, Hasil HINE bisa mengidentifikasi bayi-bayi yang memerlukan intervensi. Pemeriksaan HINE sederhana, mudah dan bisa dikerjakan oleh semua klinis, memerlukan waktu 5 sd 10 menit dan memiliki Inter observer reliability yang baik, HINE bisa diimplementasikan dengan melakukan pelatihan
Penyakit jantung bawaan (PJB) yaitu kelainan kongenital pada bayi dan anak sepertiga dari seluruh kelainan kongenital. Angka kejadian PJB yaitu satu setiap 1.000 kelahiran hidup. Rumah sakit memadai untuk melakukan operasi intervensi jantung 200 pasien setiap tahun di negara kita Sebelum kardiologi intervensi berkembang, operasi satu-satunya pilihan untuk menangani PJB. Selama ini operasi yaitu pengobatan PJB yang
efektif. Hanya saja pelaksanaan operasi termasuk invasif sebab pasien harus memakai mesin jantung-paru untuk mengambil alih fungsi jantung selama operasi. sesudah bedah pasien harus dirawat di ruang rawat ICU sesudah bedah jantung. Kardiologi intervensi sama efektifnya dengan pelaksanaan operasi, namun intervensi relatif kurang invasif, sebab tidak memerlukan by-pass dan pasien tidak memerlukan perawatan ICU. Dengan adanya keterbatasan fasilitas bedah jantung dan kelangkaan ICU sesudah -bedah
jantung di negara kita, pengembangan kardiologi intervensi yaitu salah satu jalan keluar untuk meningkatkan layanan PJB. PJB digolongkan menjadi 2 golongan yaitu PJB non-sianotik dan
PJB sianotik. Secara , non-sianotik dan sianotik ditentukan oleh arah pirau. Pada PJB non-sianotik, arah pirau dari kiri ke kanan sehingga darah yang dipompakan ke aorta tetap mengandung saturasi oksigen yang tinggi. Pada PJB sianotik, arah pirau dari kanan ke kiri sehingga darah yang dipompakan ke aorta mengandung saturasi oksigen yang rendah. PJB sianotik lebih kompleks Dibandingkan PJB non-sianotik, PJB non-sianotik berdasar aliran darah ke paru dibagi lagi menjadi 2 golongan yaitu golongan yang aliran darah ke paru normal dan golongan yang aliran darah ke paru meningkat. golongan yang aliran darah ke paru normal yaitu golongan PJB yang ditandai
dengan adanya sumbatan jalan keluar ventrikel kiri atau kanan seperti stenosis pulmoner, stenosis aorta atau koarktasio aorta. Pada golongan ini walau ada penyempitan, darah yang dipompakan ke paru tetap normal sebab tidak ada jalan keluar alternatif darah dari ventrikel kanan. Pada golongan ini bising biasanya sudah terdengar sejak lahir.
golongan kedua dengan aliran darah ke paru meningkat, dipicu sebab adanya defek atau pirau kiri ke kanan seperti defek septum ventrikel, defek septum atrium atau duktus arteriosus persisten. golongan PJB nonsianotik dengan lesi pirau ini, biasanya saat lahir belum terdengar bising yang jelas sebab tahanan paru masih tinggi. Bising baru
jelas terdengar usia 2-3 bulan saat tahanan paru sudah turun. Sebagian dari golongan PJB
non-sianotik saat ini bisa diobati dengan kardiologi intervensi.Pada PJB sianotik berdasar aliran darah ke paru, golongan ini dibagi lagi ke
dalam 3 golongan yaitu PJB sianotik dengan aliran darah ke paru normal seperti pada transposisi arteri besar tanpa defek septum ventrikel, golongan dengan aliran darah ke paru meningkat seperti pada trunkus arteriosus dan golongan dengan aliran darah ke paru berkurang seperti pada atresia pulmoner. Kegawatan pada PJB sianotik dengan
aliran darah paru normal atau menurun yaitu serangan sianotik. biasanya sianosis pada golongan ini sudah tampak sejak lahir. Pada golongan PJB sianotik dengan aliran darah ke paru meningkat, biasanya datang dengan tanda atau gejala gagal jantung, justru sianosis tidak begitu nyata. Dalam pengobatan PJB, analisa dini berperan analisa harus dilakukan sedini mungkin agar pengobatan tepat bisa dikerjakan. Jika pasien tergolong PJB kritis, ia perlu intervensi segera. Jika bukan termasuk PJB kritis, tata laksana lalu tergantung keluhan, pengobatan PJB meliputi pemberian obat-obatan, terapi bedah dan terapi intervensi non-bedah. Pengobatan medikamentosa berwujud pengobatan awal seperti pemberian prostaglandin atau pengobatan komplikasi PJB seperti gagal jantung, serangan
sianotik. Terapi bedah atau intervensi non-bedah bersifat paliatif, sedang , bersifat definitif, korektif, Pilihan terapi pada penyakit jantung bawaan
Pertimbangan untuk menentukan anak untuk dilakukan operasi atau intervensi yaitu pertimbangan efektivitas dan invasivitas suatu prosedur. Terapi medikamentosa jelas hanya terapi sedang bukan untuk menangani kelainan anatomis kecuali pemberian obat untuk menutup duktus arteriosus pada neonatus. Operasi efektif
mengoreksi kelainan pada PJB. Namun operasi invasif, pasien memerlukan by-pass dan perawatan ICU sesudah -bedah. Intervensi non-bedah relatif kurang invasif dibandingkan operasi. pelaksanaan kardiologi intervensi tidak memerlukan by-pass, juga tidak memerlukan ICU sesudah -pelaksanaan dan secara kosmetik lebih baik sebab tidak ada jaringan parut bekas operasi di dada pasien. Dari segi risiko, pelaksanaan kardiologi intervensi relatif lebih kecil dibandingkan dengan bedah.2
Dari segi biaya pada awal pelaksanaan intervensi baru mulai, peralatan seperi alat penutup dan kateter yang diperlukan masih mahal sehingga dari segi biaya kardiologi intervensi relatif lebih mahal dibandingkan prosedur operasi. Namun dengan banyaknya intervensi yang ditangani, harga peralatan ini sudah mulai turun sehingga saat ini harga yang diperlukan untuk kardiologi intervensi menjadi lebih murah dibandingkan dengan bedah sebab lama rawat rata-rata sesudah -intervensi ratarata 3 hari. semua pasien PJB sudah mulai memperoleh biaya pemeriksaan sampai pengobatan sehingga mereka sudah bisa ditangani secara merata.Kardiologi intervensi di negara kita dimulai pada tahun 1996 berwujud penutupan DAP transkateter memakai koil, diikuti
dengan pelaksanaan septostomi atrium dan valvuloplasti balon pada SP pada tahun 1997.kardiologi intervensi pada tahun 1998 berwujud septostomi balon pada pasien TAB dengan septum ventrikel intak tahun 1998.
lalu pada tahun 2002 mulai dilakukan penutupan DAP dan DSA memakai Amplatzerâ„¢ duct occluder.
Henoch-Schönlein purpura (HSP) yaitu kelainan vaskulitis akut pada pembuluh darah kecil yang ditemukan pada anak, memicu beragam gejala pada beberapa organ. Etiologi HSP sampai saat ini
masih belum jelas. gejala sifat HSP ada purpura tanpa ditambah trombositopenia, arteritis, gangguan gastrointestinal, nefritis, keikutsertaan ginjal pada HSP dinamakan Henoch-Schönlein purpura nephritis (HSPN), 90% masalah HSP terjadi pada anak usia kurang dari 10 tahun, rata-rata kejadian HSP pada usia 6 tahun, dengan angka kejadian beragam . HSP lebih banyak
pada anak lelaki Dibandingkan wanita .
45% anak HSP mengalami gangguan ginjal, dengan
gejala hematuria mikroskopik_ 30% ada kelainan pada pemeriksaan urinalisis, 70% hematuria mikroskopik dengan atau tanpa proteinuria, dan 20% dengan gejala nefritik dan atau sindrom nefrotik.Prognosis anak HSP biasanya baik dan yaitu self limiting disease. namun morbiditas dan mortalitas anak HSP tergantung beratnya komplikasi pada ginjal. pengidap HSPN memiliki kesamaan dengan IgA nephropathy oleh sebab
memiliki kesamaan gambaran histopatologi,
gejala HSP yaitu adanya rash purpura, arteritis, gangguan pada ginjal. ada hubungan antara rash purpura, nyeri perut ditambah berak darah dan terjadinya proteinuria. 4 gejala utama HSP yaitu rash purpura, nyeri sendi, gangguan perut gangguan pada ginjal, yaitu gejala yang mengawali anak dengan HSP. Rash purpura yaitu gejala yang harus ada, Gangguan ginjal jarang ditemukan sebagai gejala awal anak HSP. faktor risiko gangguan ginjal ditemukan pada anak usia lebih besar 8 tahun, ditambah gejala nyeri perut dan vaskulitis berulang. 50% ditemukan pada anak
laki laki dan 24% gangguan pada ginjal ditemukan dalam kurun waktu 1 bulan dengan gejala hematuria atau proteinuria ringan. Gejala lain pada anak HSPN 3% dengan proteinuria >1gram/L, 2% dengan sindrom nefrotik, 3% dengan hipertensi dan gangguan fungsi ginjal ditemukan pada 2% anak dengan HSPN. gangguan ginjal pada anak HSP dengan jumlah yang berbeda yaitu berkisar 20-50%. Gangguan ginjal pada anak HSP
memiliki persentase dengan interval lebar sebab tidak riset memakai definisi yang sama baik sindrom nefrotik atau nefritik.Gangguan ginjal pada anak HSP akut, 75% terjadi sesudah 4 minggu dari gejala awal HSPN, 80% terjadi sesudah 8 minggu, dan 90% terjadi sesudah 6 bulan, sehingga perlu dilakukan pengawasan jangka panjang. Anak HSP dengan gejala nefritik sering terjadi pada anak usia lebih besar.
penggolongan Henoch-Schönlein Purpura Nefritis
ditentukan dengan pemeriksaan biopsi ginjal. Biopsi ginjal yaitu standart untuk menentukan beratnya HSPN dan prognosis. ada korelasi antara penggolongan HSPN dengan luaran.
penggolongan HSPN menurut International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) masih banyak dianut. Menurut ISKDC ada kelas yang dibuat berdasar adanya glomerulus yang mengalami crescents ( persen). Pada tahap akut ada lesi pada glomerulus ditambah peningkatan lekosit dan hiperseluler endokapiler. Terbentuknya crescents ditandai adanya nikrosis pada glomerulus. Gambaran histologi pada HSPN ini juga ditemukan pada anak IgA nephropathy. Pada
anak HSPN, gambaran proliferasi endokapiler dan adanya infiltrasi sel radang poly-nuclear neutrophil dan bentukan crescents lebih sering ditemukan. Gangguan pada tubulus dan tubulus interstisial ditandai adanya edema, infiltrasi limfosit, makrofag dan sel plasma, menggambarkan keparahan glomerulus, penggolongan ISKDC ini menurut para ahli kurang peka untuk menentukan luaran dan pro7gnosis HSPN oleh sebab penggolongan ini hanya berdasar proliferasi mesangial dan jumlah glomerulus yang mengalami crescents (dalam persen). penggolongan ISKDC tidak mengevaluasi kondisi tubulus, interstisial tubulus dan vaskularisasi. Koskela melakukan semiquantitative classification (SQC) dengan menambahkan evaluasi pada tubulus, tubuleinterstitial, perubahan kapiler dan penjelasan kondisi aktif atau kronik.
Nilai kondisi kronis dan total skor biopsi penting menentukan luaran. Skor SQC ≤10 memiliki prognosis baik, sedang skor SQC ≥11 memiliki luaran kurang baik dan beresiko terjadi gangguan ginjal lebih berat. namun skor SQC juga
harus memikirkan terapi yang sudah diberikan, sebab bisa mempengaruhi hasil SQC.
Gangguan ginjal pada anak HSP sering ditemukan sesudah gejala awal HSP. Namun HSPN masih belum jelas diketahui. HSP terjadi pada anak sesudah memperoleh infeksi saluran napas, infeksi virus dan bakteri patogen. Pada pemeriksaan ditemukan peningkatan kadar IgA, IgA immune complexes dan IgA rheumatoid faktor . HSP diduga akibat peran immune-complexes
yang ditandai adanya polymeric IgA1 (pIgA1), yaitu immune-complexes terutama ada di kulit, gastrointestinal dan kapiler glomerulus. Kesamaan anak HSPN dan IgA nephropathy ada timbunan IgA1 dan komplemen C3 pada mesangial. Demikian
pula ada kesamaan gambaran immunohistologi ginjal anak HSPN dengan dermatitis herpetiformis, sirosis hati, celiac disease dan penyakit kronik inflamasi pada paru.Peningkatan kadar serum IgA ditemukan sekitar 40% pada anak dengan HSP.
namun peningkatan kadar IgA bukan yaitu petanda peka anak HSP, sebab peningkatan IgA juga ditemukan pada penyakit lain contoh multiple myelomadan tidak ada perbedaan menonjol kadar serum IgA pada anak HSP dengan atau tanpa
gangguan pada ginjal.tidaknormal glikosilasi struktur IgA pada anak dengan HSPN, HSPN dan IgA nephropathy (IgAN) diduga akibat glikosilasi tidaknormal pada IgA1. Normal, IgA terdiri dari dua subklas yaitu IgA1 dan IgA2. Kedua subklas ini
dibedakan ada atau tidak adanya 13-amino-acid. Pada IgA1 ada O-linked glycosylation
dalam jumlah banyak dan berperan sebagai faktor patogen. Rantai IgA2 terutama polymeric, berperan pada kelenjar sel epitel, sehingga mampu melakukan sekresi. Pada kondisi normal N-acetylgalactosamine (GalNAc) sebagai rantai IgA1, bisa atau tidak mengalami sialisasi. Rantai IgA1 banyak mengandung GalNAc disaccharide. Pada HSPN, banyak ditemukan timbunan IgA1 polymeric ditambah adanya J protein, sehingga tidak mampu sekresi. kondisi ini juga ditemukan pada anak dengan IgA nephropathy.
Peran IgA immune complexes dalam sirkulasi pada anak HSPN, Pada HSP diduga terjadi gangguan sistem imun yang ditandai peningkatan kadar IgA1,
IgA1-containing circulating immune complexes, circulating IgA-antineutrophil cytoplasmic
antibodies (ANCA) dan IgA-rheumatoid faktor s. pada HSPN ada IgA1-containing circulating immune complexes mengandung molekul
besar selain molekul kecil. pemeriksaan memakai GalNAcspecific lectin ditemukan galactose-deficient IgA1 (Gd-IgA1) lebih banyak pada anak HSPN dibanding dengan anak C1q nephropathy. Sedang kadar GdIgA1 anak HSP tanpa nefritis
tidak berbeda dengan checkup anak normal, Timbunan IgA 1 pada mesangial jaringan diduga sebab peningkatan IgA-immune complexes dan
menurunnya proses pembuangan atau pembersihan IgA1-immune complexes. Produksi
IgA1polymeric diduga akibat antigen bakteri, virus atau jamur. terjadi reaksi berlebihan pada sel B dan sel T terhadap rangsangan antigen, sehingga terjadi IgA1polymeric atau Gd-IgA1 pada mukosa dan sel pada tonsil. GdIgA1 diduga berperan penting pada HSPN. Kerusakan ginjal pada HSPN diduga sebab peran sel mesangial dan aktivasi komplemen. Timbunan Gd-IgA1 immune complexes di mesangial memicu reaksi. Aktivasi sel mesangial terjadi akibat timbunan Gd-IgA1 immune complexes, lalu terjadi kemokin proinflamasi profibrogenik, proliferasi sel makrofag, limfosit, produksi sitokin, Reaksi ini penting sebab bisa merusak ginjal, sehingga terjadinya fibrosis ginjal. bahwa akumulasi fibroblas pada ginjal yaitu petanda prognosis kurang baik.Timbunan Gd-IgA1 immune complexes di area mesangial juga akan mengaktivasi komplemen. Aktivasi komplemen diduga ikut berperan pada HSPN. Aktivasi
komplemen pada HSPN diduga melalui alternative dan lectin pathway sebab pada biopsi kulit dan ginjal ditemukan timbunan komplemen C3 tanpa ditemukan komplemen C4 atau C1q. Hisano dkk memperoleh , aktivasi komplemen melalui lectin pathwaymemicu kerusakan glomerulus hebat dan memicu urin tidaknormal dalam waktu
lama. Selain aktivasi sel mesangial dan komplemen, gangguan sel endotel ikut berperan merusak ginjal. memperoleh kerusakan endotel pembuluh darah ditambah peningkatan kadar serum IgA antiendothelial cells antibody dan serum thrombomodulin, sehingga peningkatan kadar serum IgA antiendothelial cells antibody dan serum
thrombomodulin bisa dipakai sebagai petanda kerusakan ginjal. Gangguan fungsi endotel sebab stress oksidatif, gangguan asetylcholine atau hiperemia, akan merangsang nitrit oxide dan memicu vasodilatasi. faktor lain diduga berperan pada HSPN yaitu Peningkatan IgE, aktivasi eosinophil, alpha-smooth muscle actin (α-SMA), c-Met, receptor hepatocyte growth faktor, nephritisassociated plasmin receptor (NAPlr),
namun faktor di atas masih memerlukan penelitian lebih lanjut.analisa HSPN dibuat berdasar gejala klinis, pemeriksaan penunjang dan biopsi
ginjal. gejala HSP pertama kali dinyatakan oleh Schönlein (1837). analisa HSP dibuat berdasar 3 gejala yaitu rash purpura, arteritis dan sedimen urin tidaknormal . lalu ada hubungan antara rash purpura, nyeri perut dengan berak darah dan proteinuria. gejala yaitu:
Palpable purpura yaitu gejala mutlak yang harus ada pada anak dengan HSP
- Palpable purpura sifat ada pada bagian ekstensor ekstrimitas bawah dan bokong.
- Palpable purpura bisa ditemukan pada tangan, wajah, muka dan telinga.Palpable purpura (mandatory) pada HSP ditambah satu dari empat gejala di bawah:. Nyeri perut yang menjalar. Akut arteritis atau atralgiaBiasanya atralgia pada sendi besar dari ektrimitas bawah, Gangguan pada ginjal yaitu hematuria dengan atau proteinuria. Biopsi ginjal tampak timbunan IgA
Gejala lain yang menyertai antara lain
. Gejala gastrointestinal: muntah, perdarahan saluran cerna, intussusepsi, bowel
ischemia. Neurologi: headache non khusus , ensefalopati, kejangPulmonary (jarang dan berat): Alveolar hemorrhage difuse, Genitourinary: Orchitis
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan yaitu urinalisis, pemeriksaan darah, pemeriksaan ultrasografi perut dan pemeriksaan penunjang lain.
--Ultrasonografi perut
Mengevaluasi apakah ada intususepsi pada masalah dengan nyeri perut berat,
berak darah
--Pemeriksaan lain yang diperlukan
Pemeriksaan darah:- Komplemen C3, C4,
- Anti-nuclear antibodies, anti couble stranded DNA antibodies- Kadar anti streptolisin O (ASTO) dan atau kadar anti-DNAase B dan atau
streptozym test- Anti-neutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)Biopsi kulit pada area yang mengalami purpura untuk melihat adanya
timbunan IgA
--. Urinalisis
- Pemeriksaan urin secara mikroskopis untuk melihat sedimen urin, ada tidaknya
eritrosit, casts- Pemeriksaan morfologi sel eritrosit untuk menentukan apakah eritrosi berasal
dari glomerulus atau non glomerulus
- Rasio protein/kreatinin atau pemeriksaan ekskresi protein per 24 jam
--Pemeriksaan darah
- Darah lengkap- Laju endap darah
- Ureum, kreatinin, sodium, potasium, klorida, bikarbonat- Kalsium, fosfat, alkali fosfatase
- Asam urat- Fungsi liver, total protein, albumin, alanine amino-transaminase (ALT),
aspartate aminotransferase (AST), bilirubin
- Serum IgA
Biopsi ginjal
1. Indikasi
- Untuk memastikan analisa HSPN dengan ditemukan timbunan IgA1 pada mesangial- Bila diperlukan, sebelum mengawali terapi dengan immunosupresan pada kondisi berikut:
- Proteinuria menetap ≥1g/hari/1,73 m2
- Penyakit ginjal kronis dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG)- Gejala nefritik dan atau nefrotik- Penurunan LFG secara akut dan progresif, untuk membedakan tubular nikrosis akut dan crescents pada glomerulus
2. Menentukan penggolongan HSPN berdasar ISKDCpengobatan Terapi HSPN dilakukan dengan memikirkan patofisiologi terjadinya HSP. Target
terapi HSPN meliputi:
-Mencegah proliferasi mesangial, glomerulosklerosis dan proteinuria Anak HSPN, bisa progres menjadi lebih berat, sebab timbunan IgA1 pada mesangial, merangsang proliferasi sel mesangial, timbunan matrik ekstra sel dan
terjadi glomerulosklerosis. Proteinuria terjadi akibat gangguan dan penurunan jumlah podosit sebab kemokin merangsang proliferasi sel mesangial pada podosit. Untuk mencegah mekanisme diatas dipakai angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI). Kortikosteroid dipakai untuk menghambat proliferasi sel mesangial
dan progresivitas HSPN. pemakaian cyclosporine A pada HSPN resisten terhadap kortikosteroid belum terbukti keberhasilannya dan bersifat nefrotoksik.
- Mencegah terbentuknya crescents glomerulus
Terjadinya crescents glomerulus yaitu petanda kurang baik, sebab crescents memicu kerusakan ginjal menetap, sehingga pengidap HSPN akan menjadi gagal ginjal terminal (GGT). usaha mencegah terbentuknya crescents glomerulus
perlu terapi agresif dengan melakukan plasmapheresis. pemberian methyl
prednisolone (MPNS) dosis tinggi secara pulse terbukti memiliki luaran yang baik pada HSPN dibanding pemberian steroid secara oral saja.
penerapan klinis terapi HSPN,
-Mencegah penetrasi antigen pada tingkat mukosaInfeksi saluran nafas atas (ISPA) sering mendahului anak HSP. Infeksi bakteri kronis
diduga sebagai pemicu HSPN, sehingga pelaksanaan tonsilektomi diharapkan bisa
mencegah penetrasi antigen bakteri pada ISPA, namun bukti klinis masih belum jelas.
-Menekan produksi IgA1
Terapi imunosupresif dengan steroid, cyclophosphamide, azathioprine dan calcineurin
inhibitor pada HSPN terutama untuk mencegah penyakit ginjal kronis (PGK). Namun belum ada penelitian yang membuktikan peran imunosupresif diatas dengan penurunan IgA1, GalNac-IgA1, plgA1. Terapi rituximab (RTX) pada HSP dengan gejala neurologi dan gastrointestinal yang resisten terhadap kortikosteroid dan cyclophosphamide
memiliki tanggapan terapi baik, tanpa ditambah efek samping yang serius.
-Mencegah pembentukan fibrin
Fibrin pada HSPN diduga berperan terjadinya crescents pada glomerulus. Untuk mencegah terjadinya fibrin, peneliti memakai warfarin, dipyridamole dan asam asetil salisilat disamping terapi imunosupresan. namun belum ada
bukti sahih luaran pemakaian obat mencegah fibrin, sebab pengobatan HSPN memakai beberapa macam obat. pemakaian obat mencegah fibrin dikhawatirkan memperberat perdarahan sebagai komplikasi HSPN, sehingga pemakaian obat ini tidak banyak dipakai .
-pembasmian IgA1 dan IgA1komplek Pembersihan IgA1 dan IgA1 komplek dilakukan dengan plasma exchange (PE). pengidap HSP dengan gejala ekstra renal berat memberi tanggapan baik. pengidap HSPN dengan gangguan ginjal akut (GgGA), proteinuria masif dengan atau sindrom nefrotik dan gambaran histopatologi setara dengan grade 3 atau grade
-pengawasan selama 4-10 tahun, diperoleh hasil cukup baik. 13 dari 14 pasien, dan 6 dari 9 pasien LFG normal kembali.
-Menekan aktivasi komplemen
Aktivasi komplemen terbukti sebagai pemicu reaksi inflamasi, contoh aktivasi C5a dan C5b9 berperan merusak membran. pemakaian eculizumab terbukti bisa mencegah terjadinya episode paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, demikian juga diduga berperan pada penyakit ginjal lain.Prognosis HSP biasanya baik dan penyakit self limiting, namun komplikasi pada ginjal yaitu pemicu morbiditas dan mortalitas anak
dengan HSP. Prognosis jangka panjang anak dengan HSP tergantung beratnya gangguan
pada ginjal. 25% HSPN klas 2 (tanpa bentukan crescents pada glomerulus) dengan proteinuria menetap memiliki resiko menjadi PGK.
Komplikasi HSP pada organ lain contoh paru, saluran cerna, otak, testis kadang berat. Sekitar 40% anak HSP akan mengalami rash dan HSP berulang. anak HSP, gejala nefritik ditemukan pada anak usia lebih besar. 34% anak HSP dengan gejala nefritik atau nefrotik saat awal gejala HSP, akan mengalami gangguan fungsi ginjal /hipertensi, anak dengan gejala hematuria dengan atau tanpa proteinuria pada awal gejala HSP, 80% dengan urinalisis normal dan tanpa ditambah hipertensi / gangguan fungsi ginjal. Proteinuria pada 1 tahun pertama petanda prognosis jelek,
Terapi HSPN menurut KDIGO3
- HSPN crescents dengan sindrom nefrotik dan atau penurunan fungsi ginjal, terapi dengan kortikosteroid pulses 6 bulan dan cyclophosphamide.
- Terapi kortikosteroid tidak bisa dipakai untuk mencegah komplikasi pada ginjal anak HSP.
Terapi anak HSPN harus memikirkan berat ringannya penyakit.
- HSPN dengan proteinuria persisten >0,5-1 gram/hari/1.73m2 terapi dengan ACE-I atau ARB
- HSPN proteinuria >1 gram/hari/1.73m2
terapi dengan kortikosteroid pulses 6 bulan
I. pengidap HSPN dengan kondisi berat
1. Terapi imunosupresan, indikasi:
HSPN dengan gejala sindrom nefrotik-nefritik
- Penurunan fungsi ginjal akut bukan sebab tubular nekrosis akut
- ada bentukan crescents pada glomerulus
2. Imunosupresan memakai protokol multi-target
a. Kortikosteroid
- Prednisolone oral diturunkan bertahap selama 6-12 bulan, bisa diberikan secara alternate atau selang sehari bila proteinuria <1 gram/hari/1.73m2
- Sebagai terapi alternatif prednisolone bisa diberikan 1-2 mg/kg berat badan /hari selama 3 bulan sebagai terapi awal
- Methyl prednisolon (MP) intravena / pulses diberikan setiap bulan dosis 10-30 mg/kg/dosis (maksimum 1 gram) selama tiga hari berturut turut ,
selama 6 siklus.
- Metylprednisolon pulses dihentikan bila
- Proteinuria membaik <0,3 gram/hari/1.73m2
- Fungsi ginjal membaik
- Prednisolone oral meneliti MP pulses dengan dosis 0,5-1mg/kg/berat badan dengan maksimum dosis 30 mg/hari. lalu prednisolone diturunkan 5mg/hari tiap bulan meneliti MP pulses
b. Mycophenolate mofetil (MPA)
- Bila komplikasi gastrointestinal menetap, MPA bisa diganti dengan Myfortic
- MPA diberikan bersamaan dengan terapi kortikosteroid
- Efek samping yaitu diare, perdarahan gastrointestinal, neutropenia, gastritis, ulkus peptikum, kolik perut ,
- Ranitidin diberikan dengan dosis 3 mg/kg berat badan /malam hari untuk mencegah komplikasi. Terapi lain omeprazole 0,4-08 mg/kg berat badan /hari malam hari
- Dosis MPA 600mg/m2/dosis tiap 12 jam (15-23mg/kg/dosis) maksimum 1 gram tiap 12 jam
- pemantau darah tepi tiap bulan. Bila neutrophil <1.5x109 MPA dihentikan
- Bila memungkinkan diperiksa kadar MPA dengan target 2-4mg/L
c. Terapi proteinuria
- ACEI dan angiotensin receptor blocker (ARB)
- Calcineurin inhibitor yaitu cyclosporine A atau tacrolimus
3. Protokol cyclophophamide dosis tinggi
- Terapi MP pulses dosis 10 mg/kg berat badan /hari (maksimum 1 gram per hari) selama
3 hari berturut turut
- Prednisolone oral diberikan meneliti terapi MP pulses, dosis 0,5-1 mg/kg berat badan /
hari. Prednisolone diturunkan bertahap tiap bulan sampai dosis minimal untuk mengendalikan HSPNCyclophosphamide intravena 500-1000 mg/m2
/bulan selama enam siklus.
lalu diberi terapi azathioprine atau MPA
II. pengidap HSPN dengan gejala ringan sampai sedang
1. ACEI dengan atau ARBACEI
- Ramipril 0,05 mg/kg berat badan /hari, maksimum 0,2 mg/kg berat badan /hari,
- Lisinopril 0,1 mg/kg berat badan /hari,
- Enalapril 0,08 mg/kg berat badan /hari diberikan tiap 12-24 jam maksimum 1 mg/kg berat badan /hari,
ARB
- Losartan 0,5-0,7 mg/kg berat badan /hari maksimum 1,4mg/kg berat badan /hari
- Valsartan 0,8-3,0 mg/kg berat badan /hari
Efeksamping:
Peningkatan serum kreatinin, Hiperkalemia
pemantau serum kalium dan serum kreatinin tiga hari sesudah pemberian ACEI / ARB sesudah pemberian 3 - 6 bulan
2. Imunosupresan
Pemberian imunosupresan pada HSPN ringan / sedang bila ada gejala seperti :
- Nyeri perut hebat, rash berulang dan gross hematuria,
- Kortikosteroid dengan atau tanpa MPA selama sebulan,
- Proteinuria ≥1 gram/hari/1.73m2,
- Sindrom nefrotik,
- Proteinuria menetap 0,5 - <1 gram/hari/1.73m2 meski sudah diberi terapi pendukung selama sebulan,
Oral prednisolone 1-2 mg/kg berat badan /hari dengan dosis terbagi selama 2 minggu,
lalu dosis bisa diberikan sekali sehari. Dosis prednisolone diturunkan 5mg tiap 2 minggu tergantung perbaikan urinalisis. Prednisolone diberikan secara alternate bila proteinuria menurun sampai 0,3mg/kg berat badan /1.73m2
3. MPA diberikan sebagai obat pendamping prednisolone
III. pengidap HSP dengan gejala sistemik tanpa nefritik Kortikosteroid tidak diberikan bila tidak ada komplikasi pada ginjal. Pemberian kortikosteroid pada kondisi jika:- Nyeri sendi hebat, - Arteritis berulang, - Purpura berulang, - Nyeri perut hebat. Steroid diberikan secara intravena. Bila gejala kolik perut membaik, kortikosteroid intravena diganti oral
7
Dalam pengobatan hemofilia, profilaksis diartikan sebagai pemberian konsentrat, faktor pembekuan intravena sebelum terjadi perdarahan atau untuk mencegah perdarahan sendi. Profilaksis menjadi prinsip pengobatan hemofilia para ahli di Swedia, yang sudah menjalankan profilaksis pada anak hemofilia A berat usia dini sejak tahun 1958
pengidap hemofilia derajat sedang (kadar faktor pembekuan >1-5%) jarang mengalami artropati, perdarahan sendi spontan, sehingga memiliki fungsi muskuloskeletal yang lebih baik dan lebih baik jika dibandingkan dengan pengidap hemofilia
berat. bila kadar faktor VIII bisa dinaikkan di atas 1%, gejala pengidap hemofilia A berat bisa dimanipulasi menjadi seperti pengidap hemofilia A sedang atau ringan. bahwa anak hemofilia A berat yang memperoleh profilaksis sejak usia 1-2 tahun tidak mengalami kerusakan sendi dan hidup normal. profilaksis yang dimulai pada usia lebih tua bisa mencegah progresivitas kerusakan sendi,
namun tidak bisa memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi. 40% pasien hemofilia A berat
mengalami perdarahan sendi pertama pada usia ≤ 1 tahun, dengan rata-rata usia yaitu 2 tahun.
awitan terjadinya perdarahan sendi terjadi sekitar 6 bulan sesudah perdarahan lainnya. artropati hemofilik meningkat seiring bertambahnya usia. Pada usia < 10 tahun jarang pasien hemofilia A berat mengalami artropati, namun pada usia 10-19 tahun artropati makin sering ditemukan. Pada usia dekade ke-3 sering ditemukan minimal 1 sendi besar dengan artropati berat, dengan 1-2 sendi besar lainnya mengalami artropati sedang,
1-2 sendi lainnya baru mulai memasuki tahap awal artropati.
1. Profilaksis primer
a. berdasar usia: yaitu terapi profilaksis jangka panjang berlanjut dimulai sebelum usia 2 tahun dan sebelum perdarahan sendi (klinis).
b. berdasar terjadinya perdarahan sendi pertama: yaitu terapi profilaksis jangka panjang berlanjut dimulai sebelum awitan kerusakan sendi (dianggap
sesudah perdarahan sendi yang pertama kali atau sebelum perdarahan kedua).
2. Profilaksis sekunder, yaitu terapi profilaksis jangka panjang berlanjut yang tidak memenuhi syarat profilaksis primer (contoh: profilaksis dimulai sesudah perdarahan sendi ≥ 2 kali).
3. Profilaksis jangka pendek: profilaksis jangka pendek untuk mencegah perdarahan.
4. jangka panjang pada nomor 1 dan 2 yaitu pemberian terapi profilaksis selama 52 minggu (minimal 46 minggu) per tahun, sampai mencapai
usia dewasa. regimen yang dipakai dalam praktek sehari-hari tetap beragam , bahkan di satu negara sekali pun.
apakah semua pengidap hemofilia sebaiknya tetap memperoleh profilaksis sampai usia dewasa muda. sebagian pengidap hemofilia berusia dewasa muda bisa beraktivitas dengan baik tanpa
profilaksis, Kesulitan menentukan usia awitan atau waktu optimal untuk memulai profilaksis dipicu variabilitas usia awitan terjadinya perdarahan pada pengidap hemofilia A berat. Sebanyak 15% masalah hemofilia A berat menunjukkan fenotipe perdarahan seperti hemofilia ringan atau sedang.Dengan beragam nya dampak klinis hemofilia
A berat, bahwa profilaksis sebaiknya dimulai sesudah pola gejala perdarahan sendi lebih jelas.
Masalah keamanan terapi profilaksis terutama mengenai penularan penyakit infeksi melalui konsentrat faktor pembekuan dan risiko infeksi dan trombosis akibat pemakaian kateter implan vena sentral.Di satu sisi, regimen profilaksis idealnya sebisa mungkin ditentukan secara tiap pasien , sesuai dengan farmakokinetik, aktivitas fisik , ketersediaan konsentrat faktor pembekuan, usia, akses vena, fenotip perdarahan, Di sisi lain belum ada cukup data yang menandakan efikasi dan keamanan jangka panjang beragam ragam regimen profilaksis di beragam negara. definisi terapi profilaksis yaitu:
-Profilaksis intermiten atau periodik, yaitu pengobatan untuk mencegah perdarahan tidak lebih dari 45 minggu dalam setahun. terapi profilaksis untuk mencegah perdarahan dan destruksi sendi, untuk mempertahankan fungsi muskuloskeletal yang normal, Bahkan bila kadar faktor pembekuan dalam plasma tidak bisa mencapai > 1% setiap waktu, profilaksis tetap berguna untuk mencegah kerusakan sendi. Pada pengidap hemofilia yang mengalami perdarahan sendi berulang ≥ 4 kali dalam 6 bulan pada sendi yang sama (sendi target), disarankan pemberian profilaksis jangka pendek selama 4-8 minggu untuk menginterupsi perdarahan berulang,
Profilaksis jangka pendek ini bisa dikombinasi dengan fisioterapi intensif atau sinoviortesisx Bila sudah terjadi kerusakan sendi, profilaksis tidak bisa memperbaiki kerusakan sendi yang sudah terjadi, namun bisa mencegah perdarahan
lalu , memperlambat terjadinya artropati, dan memperbaiki kualitas hidup.
- Profilaksis berlanjut
a. Profilaksis primer, yaitu pengobatan terus-menerus secara teratur dimulai sebelum ada kelainan osteokondral pada sendi (dibuktikan dengan pemeriksaan fisik dan/atau radiologis), diberikan sebelum ada bukti klinis perdarahan pada sendi besar (pergelangan kaki, bahu, siku, lutut, pinggul) di bawah usia 3 tahun.
b. Profilaksis sekunder, yaitu pengobatan terus-menerus secara teratur dimulai sesudah ada perdarahan 2 kali/lebih pada sendi besar, namun belum terjadi awitan kerusakan sendi yang dibuktikan dengan pemeriksaan fisik dan
radiologis.
c. Profilaksis tersier, yaitu pengobatan terus-menerus secara teratur sesudah adanya
kerusakan sendi yang dibuktikan dengan pemeriksaan fisik dan radiologis. terapi profilaksis belum menjadi pilihan utama bagi pengidap
hemofilia. namun cost effectiveness jangka panjang perlu dipikirkan , dibandingkan dengan biaya pengobatan artropati hemofilik kronik yang seringkali memerlukan operasi berulang dan konsumsi faktor pembekuan yang besar,
kualitas hidup dan produktivitas para pengidap hemofiliaSaat ini ada dua regimen standar profilaksis primer di negara tanpa keterbatasan
sumber daya, dengan efikasi jangka panjang yang sudah terbukti, yaitu protokol Malmö dan
protokol Utrecht. Protokol Malmö memakai dosis faktor VIII 25-40 IU/kg berat badan 3 kali
seminggu sedang protokol Utrecht memakai dosis faktor VIII 15-30 IU/kg berat badan 3
kali seminggu, Profilaksis sekunder diberikan pada rentang usia yang cukup besar, dengan
luaran beragam bergantung pada jumlah kumulatif perdarahan sendi sebelumnya dan tahap kerusakan sendi yang sudah terjadi pada saat dimulainya terapi.luaran cukup menjanjikan yaitu berkurangnya jumlah perdarahan sendi. profilaksis
dengan dosis lebih rendah, masih perlu diteliti efektivitas dan keamanannya. ada penurunan jumlah perdarahan sendi sebesar 93% dengan terapi profilaksis, juga perbaikan fungsi sendi dan kualitas hidup, diperoleh penurunan jumlah perdarahan sendi dengan terapi profilaksis (p < 0,001) dan penurunan jumlah perdarahan serius yang mengancam jiwa sebesar 69%. Penurunan
jumlah perdarahan sendi lebih bermakna pada subjek yang memperoleh profilaksis lebih
dari 10 minggu (p = 0,001), subjek hemofilia berat (p = 0,005) dan subjek berusia lebih dari 12 tahun (p = 0,024). jumlah perdarahan sendi golongan profilaksis lebih rendah dibandingkan golongan on-demand (p < 0,05), demikian pula skor HJHS dan skor Pettersson pada enam sendi utama (siku, lutut dan mata kaki, bilateral). terapi on-demand. Kekerapan perdarahan sendi pada golongan profilaksis (5 ± 4,3) lebih baik secara bermakna
dibandingkan golongan on-demand (8(3-30)), IK95% 0.9-6.99, p = 0,009. Demikian pula
hasil ultrasonografi sendi yang dinilai dengan skor HEAD-US golongan profilaksis lebih baik dibandingkan golongan on-demand (IK95% 2- 8,81, p = 0,003). Tidak diperoleh subjek yang mengalami inhibitor faktor VIII pada kedua golongan , bahwa terapi profilaksis sekunder
dosis rendah efektif mengurangi kekerapan perdarahan sendi dan memperbaiki hasil
ultrasonografi sendi dibandingkan terapi on-demand. Inhibitor faktor VIII yaitu antibodi IgG yang dibentuk oleh tubuh sebagai tanggapan
terhadap terapi sulih. Antibodi ini bersifat menetralisasi faktor VIII. Inhibitor lebih sering ditemukan pada hemofilia A, terutama hemofilia A berat, dengan insidens sekitar 20%.bahwa profilaksis sejak usia dini dan penghindaran terapi intensif pada awal pajanan faktor VIII kemungkinan memiliki efek protektif terhadap munculnya inhibitor. Dugaan ini diperkuat oleh rendahnya
insidens inhibitor di Swedia. Mekanisme yang mendasari hal itu belum sepenuhnya jelas, diduga profilaksis faktor VIII secara teratur sejak usia dini tanpa adanya pemicu danger signal tanggapan imun, akan memicu anergi limfosit T khusus faktor VIII sehingga mencegah pembentukan antibodi. pasien yang memperoleh terapi on-demand ternyata muncul inhibitor, sedang dari 31 anak dengan terapi profilaksis tidak ditemukan inhibitor (p < 0,05).30 Analisis subgolongan berdasar jenis mutasi genetik menandakan bahwa
dari 20 anak dengan mutasi genetik risiko tinggi terhadap munculnya inhibitor, 9 anak yang memperoleh profilaksis tidak satu pun yang terdeteksi memiliki inhibitor, sedang 13 anak lainnya memperoleh terapi on-demand dan 12 di antaranya muncul inhibitor (0% vs. 92%, p < 0,05).
Analisis subgolongan pada anak yang memperoleh profilaksis usia < 3 tahun menunjukkan risiko inhibitor berkurang sebesar
70%.Penelitian riset kohort retrospektif multisenter, untuk mengevaluasi hubungan antara sifat pengobatan dengan munculnya inhibitor pada pasien hemofilia A berat yang belum pernah memperoleh terapi faktor VIII. Subjek penelitian ini sebanyak 399 anak berasal dari 14 pusat hemofilia di Eropa dan Canada. 90 subjek muncul inhibitor yang bermakna secara klinis dan 60 di antaranya yaitu high tanggapan ders (titer inhibitor ≥ 5 BU). munculnya inhibitor berkaitan erat dengan pelaksanaan bedah dan terapi intensif faktor VIII pada awal pengobatan. Pasien yang memperoleh terapi profilaksis menandakan risiko munculnya inhibitor 50% lebih rendah dibandingkan pasien dengan terapi on-demand. penelitian yang
menunjukkan bukti protektif profilaksis primer terhadap munculnya inhibitor pada hemofilia A berat semakin banyak, tapis ampai saat ini belum ada uji klinis dengan randomisasi, yang sulit dilakukan sebab masalah etika. juga risiko
munculnya inhibitor pada profilaksis sekunder, tersier atau intermiten masih perlu diteliti,
Istilah nyeri perut berulang yaitu nyeri perut yang terjadi 3 episode minimal dalam 3 bulan yang memicu gangguan fungsi. nyeri perut berulang
mendeskripsikan nyeri perut fungsional . Terminologi lain seperti nyeri perut psikogenik nyeri perut kronik , nyeri perut non-organik , ketiga istilah ini dipakai untuk menggambarkan nyeri perut pada anak.
Nyeri perut kronik yaitu nyeri perut intermiten yang berlangsung lama konstan, pemicu nya
tergantung dari pemicu atau etiologi khusus bisa ditemukan atau tidak. Nyeri perut non-organik atau nyeri perut fungsional menunjukkan etiologi nyeri terbukti akibat kelainan metabolik, neoplastik anatomi, inflamasi, terminologi nyeri perut berulang hanya dipakai untuk mendeskripsikan kondisi dan tidak dipakai lagi sebagai analisa .
Nyeri perut kronik (NPK) pada anak sering
dijumpai di klinik gastroenterologi anak, Etiologi tersering nyeri perut kronik organik yaitu kelainan ginekologik (dismenore, penyakit inflamasil rongga pelvik), kelainan neurologis (epilepsi perut,
migrain), alergi, infeksi, inflamasi, obstruksi (malrotasi dengan atau tanpa malrotasi), sindrom malpenyerapan (penyakit celiac),
syarat ROME IV membagi pediatric
functional gastrointestinal disorder (pediatric FGIDs) menjadi 3 golongan kelainan yaitu:
Kelainan defekasi, Nausea dan muntah, Nyeri perut,
saat mengevaluasi anak dengan nyeri perut kronik, perlu ditentukan apakah etiologi nyeri perut kronik ini organik atau fungsional. Langkah awal yaitu mencari etiologi organik sebelum menentukan analisa nya yaitu nyeri perut fungsional (nonorganik), Pasien dengan nyeri perut perlu dievaluasi pemeriksaan fisik dengan mencari gejala, Dengan adanya gejala maka pemeriksaan lanjut bisa dilakukan.Stresor yang terjadi pada anak bisa meningkatkan episode nyeri, meski tidak
terbukti bahwa masalah psikologis bisa membedakan apakah pemicu nyeri perut kronik ini yaitu organik atau non-organik. Saat mengatasi nyeri perut kronik, masalah psikologis perlu dicari sebab terbukti anak dengan nyeri perut kronik memiliki ansietas yang tinggi menunjukkan gejala depresi. Namun apakah ini sebagai pemicu atau akibat nyeri perut kronik belum diketahui.
Infeksi saluran cerna pada masa anak bisa memicu konsekuensi jangka panjang berwujud nyeri perut kronik fungsional (contoh: sindrom usus iritabel, IBS), pada masa dewasa. Hubungan sebab akibat antara infeksi saluran cerna pada anak dan IBS pertama kali pada tahun 1962. menunjukkan hubungan antara infeksi saluran cerna pada masa anak sebagai faktor risiko IBS sesudah infeksi. bahwa infeksi Salmonella pada masa anak memiliki nilai untuk menjadi IBS sesudah infeksi. rasio Odds terjadinya IBS
sesudah infeksi gastroenteritis, gejala nyeri
perut kronik ditambah nyeri kepala, back-pain, nyeri pada lengan dan atau tungkai, dan nyeri dada pada anak yang mengalami riwayat infeksi bakteri (Salmonella). 85% pasien dengan IBS yang mengalami nyeri perut kronik mengalami pertumbuhan lampau bakteri di usus halus dibandingkan dengan 20% checkup . pemicu infeksi tertinggi pada anak dengan gejala nyeri perut kronik yaitu infeksi H. pylori, infeksi
H. pylori terjadi pada usia muda. Infeksi H. pylori memicu gastritis, ulkus peptikum, ditambah gangguan pertumbuhan, muntah, anemia defisiensi besi refrakter, prevalens H. pylori lebih tinggi di
golongan usia 6-8, dan 9-11 tahun dibandingkan dengan golongan usia 12-15 tahun. data analisis PCR terhadap saliva ibu menandakan 79%
ibu yang terinfeksi H. pylori memiliki anak yang terinfeksi H. pylori. Faktor risiko yang berkaitan dengan infeksi H. pylori yaitu tingkat pendidikan ibu, higienitas sumber air minum, analisa akurat memakai endoskopi dan biopsi jaringan dengan uji CLO atau pemeriksaan patologi anatomi. Pemeriksaan urea breath test (UBT) pada anak memiliki akurasi sebab peluang hasil positif palsu yang cukup tinggi pada anak yang usianya di
bawah 6 tahun, nilai cut-off untuk anak <6 tahun
yaitu 7% untuk mengurangi nilai positif palsu. bahwa saudara kandung yang lebih muda memiliki 8 kali peluang terinfeksi bila saudara kandung yang
lebih tua menderita infeksi H. pylori yang persisten.
analisa EoE berdasar eosinofil di esofagus tanpa eosinofil di perut atau duodenum. pemicu nyeri perut kronik yang terkait alergi pada bayi
atau anak besar yaitu gastroenteritis eosinofilik alergi (GEA). Infeksi D. fragilis yang berlangsung kronik bisa memberi gejala antara lain tidak nafsu makan, gangguan nutrisi, flatulens, gejala mirip IBS, nyeri perut kronik, diare persisten, bahwa Blastocystis spp bisa memicu nyeri perut pada anak dan ini masih kontroversi.Esofagitis eosinofilik (EoE) pada anak dan remaja berdampak sebagai gagal tumbuh, nyeri perut kronik, disfagia, muntah (penyakit refluks gastroesofageal), muntah, diare, gagal tumbuh, hilang protein melalui saluran cerna, anak yang menderita GEA yaitu anak yang atopi dan memiliki antibodi IgE terhadap makanan. namun uji kulit tusuk dan kadar serum IgEmakanan menunjukkan korelasi yang buruk dengan eliminasi makanan. pengobatan
esofagitis eosinofilik pada anak yaitu diet, pemberian steroid, gejala dan atau gambaran histologis akan mengalami perbaikan tergantung
gejala, biasanya gejala nyeri perut kronik lebih
sulit diatasi dibandingkan gejala disfagia.Diet elemental berbasis formula asam amino selama 6 minggu berdampak pada perbaikan inflamasi eosinofil di saluran cerna, Sindrom usus iritabel dengan inflamasi rendah yaitu dampak kelainan
alergi sistemik (atopi) yang diinduksi oleh makanan (alergi makanan atau hipersensitif terhadap makanan).Anak atopi dengan nyeri perut akibat kelainan gastrointestinal memiliki peningkatan eosinofil dan sel mast di antrum. Akumulasi sel-sel ini mengalami degranulasi saat diberikan susu sapi, memicu stimulasi persarafan dan kontraksi otot halus, lalu memberi gejala gastrointestinal seperti kram perut, flatus., pemeriksaan dilakukan bila pada anamnesis dan pemeriksaan fisik diperoleh gejala bahaya, Pemeriksaan awal berwujud pemeriksaan darah tepi lengkap, hitung jenis, urinalisis. Tergantung anamnesis maka pemeriksaan laju endap darah, C-reactive protein, evaluasi etiologi infeksi (parasit, bakteri, virus) perlu dilakukan, termasuk 13 C-urea breath test jika H. pylori diduga sebagai etiologi. Uji hidrogen napas memberi informasi adanya malpenyerapan karbohidrat ataupun bakteri tumbuh lampau, pada keluhan nyeri perut kronik. Kecurigaan kepada sindrom usus halus iritabel (IBS) perlu dilakukan uji tapis calprotectin untuk mengabaikan keterkaitan inflamasi mukosa
usus (nilai <50mg/g tinja). Bila tidak ada tanda bahaya maka pemeriksaan USG perut hanya mendeteksi kelainan sebesar 1%. pemakaian CT-scan perut dibatasi sebagai alat analisa sebab risiko kanker suatu saat Pemeriksaan endoskopi
saluran cerna pada nyeri perut kronik berguna untuk menemukan kelainan pada masalah yang memiliki gejala
Asma yaitu penyakit paru kronik yang sering dijumpai pada anak. Asma yang berkembang menjadi asma persisten memerlukan pengobatan jangka panjang, pemantauan dan penghindaran terhadap faktor pemicu. Kendala yang dihadapi yaitu tanggapan pengobatan yang kurang
baik akibat terjadinya kekeliruan (pitfalls) dalam proses pengobatan . Beberapa kekeliruan
yang sering ditemui yaitu pemakaian bronkodilator kerja pendek (SABA) sebagai
pengendaliBronkodilator yaitu obat pilihan saat terjadinya serangan asma. Pada asma persisten
serangan asma bisa terjadi hampir setiap bulan sehingga bisa mengganggu aktivitas sehari-hari. Oleh sebab itu perlu diberikan bronkodilator setiap hari. pemakaian bronkodilator kerja pendek dalam waktu lama tidak disarankan sebab akan memicu
takifilaksis dan pengurangan reseptor agonis β2 yang berakibat kurang efektif terhadap
bronkodilator. Perlu pertimbangan khusus pada asma yang sering memakai bronkodilator dalam waktu lama apakah asmanya sudah termasuk asma persisten yang memerlukan obat pengendali atau tidak ( steroid inhalasi).Obat asma dalam bentuk inhalasi berbahaya, Prinsip dasar terapi inhalasi yaitu pemberian obat dalam bentuk aerosol melalui hirupan langsung ke saluran respiratori. Pemberian obat secara inhalasi diharapkan bahwa obat langsung ke organ target (saluran respiratori). dosis obat bisa dikurangi sehingga efek sistemik kecil namun efek di organ target maksimal, dan awitan kerja obat lebih cepat.Pitfalls dalam pengobatan asma anak wanita usia 6 tahun, datang dengan keluhan batuk asma yang tidak membaik meski sudah diberi pengobatan dengan MDI steroid dan LABA selama 8 minggu. Faktor pemicu sudah dihindari semaksimal mungkin namun batuk tidak membaik. Obat inhalasi diberikan setiap hari dibantu oleh ibunya.Ibu menjadi khawatir dan mengatakan bahwa obatnya tidak mempan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan wheezing namun anak tetap aktif. Pada pemantauan, diminta anak memperagakan cara pemakaian MDI dan tampak anak tidak bisa menghirup dan tidak pula menahan napasnya sesudah obat disemprotkan.ini yang memicu pengobatan menjadi tidak efektif.
Penyakit penyerta pada asma anak terdeteksi asma persisten ringan. Ia memiliki keluhan batuk 1-2 kali dalam sebulan, terutama pada malam hari dan biasanya dipicu oleh common cold. Pengobatan yang diberikan yaitu steroid inhaler yang dipakai dengan spacer. Pemantauan selama 3 bulan keluhan tidak membaik. Gejala asma tetap ada dengan episode > 1 kali perminggu, namun tidak setiap hari. Ia batuk bersin setiap pagi. Oleh dokter ia diberikan pengobatan tambahan anti leukotrien yang diminum setiap hari dan pada pemantauan gejala asma berkurang dan membaik.
Dalam menghadapi pasien asma yang tidak bisa mencapai derajat kendali, kadang hanya dipikirkan bahwa gejala respiratori yang berkelanjutan dipicu semata-mata oleh asmanya. Salah satu yang harus dipikirkan yaitu adanya kondisi komorbid atau
penyakit penyerta yang sering terjadi bersama dengan asmanya. Penyakit penyerta atau
komorbid yang sering ditemukan pada pasien asma diantaranya kegemukan , infeksi respiratori, rinitis alergi, rinosinusitis, penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease=GERD), anak usia 13 tahun dengan keluhan batuk pilek sejak 2 hari yang lalu memicu kambuhnya asma. anak mengalami serangan asma.
Anak masih bisa berjalan dan berbicara sering mengalami batuk berulang disusul oleh sesak napas, Batuk berdahak, warna kekuningan. ditambah pilek tidak demam. sesak bisa dipicu oleh udara dingin, aktivitas berat, kacang, es, cokelat. Dalam seminggu, mengalami sesak, meski tidak setiap hari,
Asma ditandai oleh penyempitan saluran napas dengan beragam gejala mulai dari batuk,
rasa berat di dada, bunyi mengi dan sesak napas.
Asma yaitu penyakit saluran napas yang ditandai oleh hiperreaktifitas saluran napas, kepekaan saluran napas terhadap beragam rangsangan.
multifaktor dengan perjalanan klinis yang beragam tidak terduga pada setiap anak, bisa berubah seiring berjalannya waktu, Bebas gejala penyakit asma bukan berarti penyakit asma ini sudah hilang. Beberapa anak bisa saja mengalami remisi atau berkurangnya gejala, sehingga dianggap bahwa penyakitnya sudah hilang dan tidak memerlukan perhatian. namun , pada saat berhenti memantau penyakitnya, mengabaikan pengobatan maka penyakit asma ini bisa kembali lagi dengan keparahan dan gejala lebih berat lagi.
Untuk menanggulangi asma dibuat panduan/konsensus memiliki prinsip dan komponen pengobatan asma yang terkendali dengan frekuensi serangan seminimal mungkin. ini menekankan pengobatan asma persisten pada anak.Anamnesis berperan mengingat analisa asma pada anak sebagian besar dilakukan secara
klinis.Keluhan wheezing dan atau batuk berulang yaitu dampak klinis yang diterima luas sebagai titik awal analisa asma. Gejala respiratori asma berwujud batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, produksi sputum. Batuk kronik berulang (BKB) menjadi petunjuk analisa asma. sifat yang mengarah ke asma yaitu :
- Reversibilitas, yaitu gejala membaik secara spontan atau dengan pemberian obat pereda asma
- Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya, - Episodisitas, yaitu gejala berulang. muncul bila ada faktor pemicu - Variabilitas, yaitu intensitas gejala beragam dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam. gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal) penggolongan asma dibagi berdasar derajat penyakitnya (aspek kronik) dan serangannya (aspek akut). berdasar penggolongan derajat penyakitnya, asma digolongkan berdasar kekerapan munculnya gejala, yaitu:
- Asma intermiten- Asma persisten ringan
- Asma persisten sedang- Asma persisten berat
penggolongan berdasar kekerapan gejala dipakai sebagai dasar penilaian awal pasien, sesuai dengan mayoritas pedoman internasional asma yang ada saat ini. penggolongan ini berubah dari PNAA sebelumnya yang membagi asma menjadi asma episodik jarang, asma episodik sering, dan asma persisten.syarat penentuan derajat asma atau penggolongan kekerapan asma juga bisa dibuat
pada kunjungan awal berdasar anamnesis. penggolongan berdasar kekerapan gejala dibuat sesudah dibuat analisa kerja asma dan dilakukan pengobatan biasa (pengendalian lingkungan, penghindaran pemicu ) selama 6 minggu
Penilaian derajat asma ditentukan oleh gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi
β-2 agonis dan uji faal paru) dan obat-obat yang dipakai untuk mengendalikan asma (jenis obat, kombinasi obat, frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang bisa menentukan derajat penyakit asma. Dengan adanya pemeriksaan uji faal paru bisa menentukan penggolongan derajat asma, penilaian derajat asma :
- memerlukan SABA (short-acting beta agonis, contoh salbutamol) untuk meredakan gejala dengan cepat: jika anak memerlukan pemakaian SABA lebih dari 2 hari dalam seminggu untuk gejala asma, mereka memiliki asma persisten.
(Tidak termasuk yang memakai SABA untuk pencegahan EIB- exercise induced bronchospasm)
- Gangguan aktivitas normal ( olahraga): jika anak mengalami keterbatasan apapun dalam aktivitas normal (meski keterbatasan kecil) sebab memiliki gejala asma, mereka memiliki asma persisten.
- Gejala: jika anak mengalami batuk, mengi, sesak napas, dada tertekan lebih dari 2 hari dalam seminggu maka mereka menderita asma persisten
- Gejala malam hari: jika anak terbangun di malam hari lebih dari 2 kali dalam sebulan sebab gejala asma, maka mereka memiliki asma persisten
- Fungsi paru diukur dengan spirometri: pemakaian FEV1 / FVC dipakai pada pedoman terbaru untuk menggolongkan tingkat keparahan pada anak sebab menjadi ukuran yang lebih peka dari FEV1.
- Jika FEV1>80% dari prediksi dan rasio FEV1/FVC normal atau>80%, anak digolongkan memiliki asma persisten ringan
- Jika FEV1 yaitu antara 70-80% dari prediksi, atau FEV1/FVC yaitu 70-80%, anak ini memiliki asma persisten sedang
- Jika FEV1 <60% dariprediksi, atau FEV1 / FVC <75%, anak ini memiliki asma persisten berat
Jika penilaian dilakukan selama waktu dimana anak dirawat sebab eksaserbasi akut, maka diminta anak untuk mengingat gejala pada periode sebelum munculnya eksaserbasi saat ini yang memadai sampai kunjungan lanjutan bisa dilakukan.
pengobatan asma yaitu:
- Menjaga fungsi paru senormal mungkin
- Menjaga agar aktivitas normal tidak terganggu,
- Mencegah terjadinya penurunan kualitas hidup anak asma:- Mencegah gejala asma kronik yang menyulitkan- Mengurangi kebutuhan pemakaian agonis beta short-acting (SABA) (2 hari/minggu)
Mengurangi risiko perjalanan asma:
- Mencegah eksaserbasi mengurangi kebutuhan kunjungan di gawat darurat atau rawat inap
- Mencegah penurunan fungsi paru atau pertumbuhan paru yang sehat- memakai farmakoterapi secara optimal dengan efek samping minimal atau tidak ada sama sekali,
pengobatan medikamentosa
Obat asma dibagi menjadi dua golongan besar yaitu obat pereda dan pengendali, Obat pereda dinamakan juga obat pelega atau obat serangan sebab dipakai untuk meredakan serangan atau gejala asma yang muncul dan bila serangan
sudah teratasi maka obat ini dihentikan. Obat pengendali dipakai untuk mencegah serangan asma dengan mengatasi masalah inflamasi respiratori kronik sehingga tidak muncul serangan dan gejala asma. Obat pengendali ini dipakai secara terus menerus dalam jangka waktu yang relatiflama tergantung pada kekerapan gejala asma dan tanggapan terhadap pengobatan, Obat pengendali asma terdiri dari steroid anti-inflamasi
inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid-agonis B2 kerja panjang, teofilin
lepas lambat, dan anti-imunoglobulin E.1,2
Pemberian obat asma secara inhalasi. Teknik pemberian inhalasi disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak sehingga pemilihan alat inhalasi harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak dan memikirkan efikasi , keamanan,
kenyamanan, biaya. Inhalasi dosis terukur/ metered dose inhaler (MDI) dengan spacer yaitu pilihan sebab memberi kenyamanan pada pasien,
jumlah obat yang mencapai paru lebih banyak, risiko dan efek samping minimal dan biaya lebih murah. 50% anak asma tidak bisa memakai alat hirupan tanpa spacer. Spacer mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring) yang memicu jumlah
obat yang tertelan berkurang sehingga mengurangi efek sistemik. Deposisi obat dalam paru lebih baik sehingga diperoleh efek terapeutik yang baik. Pemakaian spacer bisa mengatasi masalah kesulitan teknik pemakaian obat MDI. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering inhaler (DPI) seperti turbuhaler, easyhalerdiskhaler, swinghaler, memerlukan inspirasi yang kuat dan bentuk ini disarankan untuk anak usia sekolah. spacer seperti babyhaler, autohaler, volumatic, nebuhaler, aerochamber sulit diperoleh. Spacer bisa dibuat sendiri dari gelas plastic atau botol plastic dengan volume 500ml yang dikatakan sama efektif dengan MDI.Jika sudah yakin analisa asma, dibuat analisa kerja asma dan penggolongan sejak kunjungan awal, lalu pengobatan bisa dilakukan sesuai
penggolongan . Penilaian penggolongan derajat penyakit atau kekerapan gejala sebagai acuan awal penetapan jenjang pengobatan jangka panjang. Jika ada keraguan dalam menentukan penggolongan kekerapan, masukkan ke dalam penggolongan lebih berat. Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk memulai pengobatan jangka panjang. Asma
terkendali yaitu asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan kualitas hidup pasien baik.
- Asma terkendali penuh
- Tanpa obat pengendali: pada asma intermiten
- Dengan obat pengendali: pada asma persisten (ringan/sedang/berat)
- Asma terkendali sebagian
- Asma tidak terkendali
Derajat kendali dipakai untuk penentuan naik jenjang, pemeliharaan atau turun jenjang pengobatan yang akan diberikan. Untuk turun
atau naik jenjang harus dinilai kepatuhan terhadap pengobatan, teknik inhalasi, dosis obat inhalasi dan mengendalikan faktor pemicu asma. Untuk menilai derajat kendali asma, biasanya pasien asma dipantau setiap bulan dan pencapaian perbaikan sesudah 3 bulan. Selain jenis dan dosis obat dan cara pemberian dan kepatuhan pasien juga harus
dipantau usaha penghindaran terhadap pemicu dan penyakit penyerta.
- Asma intermitten tidak memerlukan pengobatan asma jangka panjang sesuai dengan jenjang
- Asma persisten dilakukan pengobatan jangka panjang sesuai dengan jenjang 2 sampai
4 lalu dievaluasi secara berkala untuk menaikkan atau menurunkan jenjang dalam pemakaian obat pengendali asma.
- Bila suatu jenjang sudah berlangsung 6-8 minggu dan asma belum terkendali maka
pengobatan naik ke atasnya
- Bila suatu jenjang dalam pengobatan sudah berlangsung selama 8-12 minggu dan
asma terkendali penuh, maka pengobatan turun jenjang ke bawahnya, Penurunan dosis sebesar 25-50%.
- Pada setiap jenjang pengendalian, jika terjadi serangan/ eksaserbasi asma, pasien harus memperoleh obat pereda asma yaitu obat inhalasi agonis beta2 kerja pendek.
- Perubahan jenjang pengobatan harus memperhatikan aspek penghindaran,
penyakit penyerta, keteraturan pemakaian obat.Jenjang 1
Pasien dengan kondisi terkendali penuh dengan atau tanpa obat pengendali, hanya mengalami gejala ringan ≤ 2 kali/ minggu dan diantara serangan tidak mengalami gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari. Pada saat ini pasien hanya memperoleh obat pereda berwujud inhalasi agonis β2 kerja pendek jika mengalami serangan asma. bisa diberikan inhalasi agonis β2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium bromide, agonis β2 kerja pendek oral, atau teofilin kerja pendek oral. jika pemakaian obat pereda asma melebihi 2 kanister setiap bulannya menandakan anak memerlukan obat pengendali asma.
Jenjang 2
yaitu steroid inhalasi dosis rendah. Pilihan lain yaitu antileukotrien yang diberikan pada pasien asma yang tidak memungkinkan memakai
steroid inhalasi atau pasien asma ditambah rinitis alergi.pemberian steroid inhalasi efektif dibandingkan dengan pemberian leukotrien yang
dipakai sebagai obat pengendali tunggal.
Jenjang 3
untuk anak > 5 tahun yaitu kombinasi steroid dosis rendah - agonis β2 kerja panjang. Pilihan lainnya dengan menaikkan dosis steroid inhalasi
pada dosis menengah. Pemberian inhalasi dosis terukur dengan spacer akan memperbaiki
deposisi obat di paru. bisa diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis rendah
- antileukotrien atau kombinasi inhalasi steroid dosis rendah - teofilin lepas lambat. jika tidak berhasil dikendalikan pada jenjang ini sebaiknya pasien dirujuk ke dokter spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan lebih lanjut.1,menaikkan dosis steroid inhalasi lebih disarankan untuk anak < 12 tahun namun menambah dengan agonis β2 kerja panjang lebih disarankan pada anak >12 tahun. turun ke jenjang bawah (step down) pada kombinasi steroid dosis rendah - agonis β2 kerja panjang memicu asma tidak terkendali lagi. penurunan jenjang pengobatan memperbaiki asma dan penurunan dosis dari 2 kali menjadi sekali sehari tidak memicu asma menjadi tidak terkendali .
Jenjang 4
Pada jenjang ini dikategorikan sebagai asma sulit, Pilihan pertama pada jenjang ini yaitu kombinasi steroid inhalasi dari dosis sedang ke tinggi hanya
memberi sedikit perbaikan. ini dilaksanakan sesudah pemberian steroid inhalasi dosis sedang - agonis β2 kerja panjang diberikan selama 6-8 minggu. Pilihan lain yaitu kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi - antileukotrien atau kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi - teofilin lepas lambat. Pada jenjang ini dipikirkan
penambahan anti immunoglobulin E (omalizumab).
Jenjang 5
Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus sudah dirujuk ke dokter spesialis respirologi
untuk pengobatan lebih lanjut. Pada jenjang ini mulai dipikirkan pemberian steroid oral sehingga pasien harus dijelaskan efek samping yang dimunculkan steroid oral jangka panjang
Sebagian besar pasien asma bisa mencapai derajat kendali yang baik, namun beberapa ada yang tidak bisa mencapai derajat kendali walau sudah dengan terapi yang optimal. Pasien yang tidak bisa mencapai derajat kendali pada tahap 4 pengobatan asma jangka panjang (obat pereda dan dua atau lebih obat pengendali) dikategorikan
sebagai difficult-to-treat asthma. Pasien difficult-to-treat asthma yaitu pasien asma yang
memiliki tanggapan buruk atau parsial terhadap pengobatan, baik sebab pengaruh asma itu
sendiri atau sebab adanya pengaruh faktor- faktor lain.Pemberian obat jangka panjang tidak berbahaya, justru dengan mengendalikan inflamasi kronik dan mengendalikan gejala asma, anak bisa
beraktivitas normal dan memiliki tumbuh kembang yang baik. Obat asma memicu ketergantungan
Tidaklah benar bahwa obat pengendali asma akan dipakai selama hidupnya. Pada anak asma pemakaian obat pengendali bisa dihentikan jika selama pengobatan dan proses penurunan obat pengendali, anak bisa normal tanpa obat. Dikenal istilah stepup dan step down yaitu pada asma yang memerlukan obat pengendali bisa diberikan
dengan dosis tinggi lalu diturunkan bertahap sampai tidak memakai obat bila mungkin
(stepdown). dinamakan step up jika dimulai dengan dosis kecil dan tidak ada tanggapan maka
dinaikkan sampai dosis yang optimal dan dipertahankan sampai akhirnya diturunkan
secara bertahap.Steroid oral sebagai pengendali
Obat pengendali yang berwujud steroid inhalasi biasanya diberikan dalam waktu yang lama.
Namun pemberian secara inhalasi memerlukan teknik yang khusus dan kadangkadang sulit bagi anak sehingga diberikan dalam bentuk sistemik (oral). Pemberian steroid sistemik dalam jangka panjang berefek samping yang berbahaya seperti
hipertensi, gangguan pertumbuhan, dan osteoporosis. maka pemberian steroid
sistemik jangka panjang tidak disarankan sebab efek sampingnya dan pemberian steroid
jangka panjang harus dalam bentuk inhalasi.
menduga bahwa udara pantai bisa mengurangi kejadian serangan asma sebab tungau debu rumah akan berkurang jumlahnya pada lingkungan pantai. ini tidak benar sebab ternyata prevalens asma di area pantai tetap tinggi dibanding area non pantai. Tungau debu rumah memang kurang bisa hidup dan berkembang biak pada udara pantai, namun pemicu asma yaitu multi faktor sehingga tidak ada perbedaan antara area pantai dan non pantai.Bagian tubuh binatang tertentu bisa dipakai sebagai obat asma, ada kepercayaan bahwa konsumsi daging kalong kelinci, rambut binatang bisa menyembuhkan asma. anggapan ini tidak didukung dengan bukti ilmiah. pengobatan asma
yaitu penghindaran pemicu serangan asma, pemberian pereda saat serangan, yang perlu diwaspadai yaitu bagian tubuh hewan ini justru berperan sebagai pemicu asma pada anak tertentu. Kekeliruan pada terapi inhalasi Agar efek terapi inhalasi bisa optimal dan efektif, maka kesalahan-kesalahan berikut bisa dikurangi seperti:
- Pada pemakaian MDI kesalahan yang sering terjadi yaitu lupa untuk mengocok kanisternya, sehingga homogenisasi antara zat aktif dan propelan kurang merata. mengocok kanister dilakukan sesaat sebelum dipakai . Tujuan pengocokan agar obat yang ada menjadi merata sebab proses penyimpanan akan memicu adanya perubahan ke larutan cairan.
-jenis obat yang diberikan juga berperan pada terapi inhalasi. Inhalasi dengan agonis β2 sering diberikan pada masalah rinitis padahal pemberian agonis β2 berguna pada saluran napas intratorakal, sebab pdefisiensi kel yang dihasilkan lebih mencapai saluran napas kecil.
- teknik pemberian terapi inhalasi perlu diperhatikan, pemakaian spacer pada anak yang lebih kecil pemakaian MDI. Tanpa pemakaian spacer, hasil yang diperoleh tidak akan maksimal. Langkah-langkah pemakaian terapi inhalasi baik
MDI, DPI atau nebuliser harus dipahami sesuai dengan prosedur baku
-Spacer harus dibersihkan dengan cara yang benar. Hindari membersihkan spacer dengan cara digosok, sebab memicu gaya elektrostatis yang memicu pdefisiensi kel obat inhalasi menempel pada spacer sehingga tidak bisa mencapai saluran napas yang kecil. Spacer dibersihkan dengan memakai air mengalir dan air sabun lalu diletakkan hingga kering dengan sendirinya.
-Ada pemahaman yang keliru bahwa pemakaian masker saat terapi inhalasi lebih baik dibandingkan mouth piece. Yang benar yaitu pemakaian mouth piece lebih baik dibandingkan masker pada pemakaian nebulisasi kecuali pada bayi yang kurang kooperatif. Pada bayi pemakaian masker lebih baik dibandingkan mouth piece sebab
kesulitan teknik pada bayi yang harus berkoordinasi.
-Pemilihan alat inhalasi yang sesuai usia menjadi penting sebab tidak semua anak bisa memakai beragam jenis alat. Anak yang kecil harus memakai MDI dengan spacer atau nebuliser sedang anak yang lebih besar bisa memakai DPI. Pada anak disarankan memakai spacer jika alat inhalasi yang dipilih yaitu MDI. sedang , nebuliser bisa dipakai pada semua usia .
Gen yaitu perangkat pembuat protein, komponen penyusun manusia secara lengkap.
Gen akan menghasilkan protein yang menyusun makhluk ini sehingga bisa hidup dan berfungsi normal. Manusia bisa dikatakan lebih sederhana
jumlah gen yang bertanggung jawab untuk menghasilkan protein ini . Namun yang membedakan antara manusia dan mahluk hidup lainnya yaitu tak satu pun dari makhluk hidup lainnya memiliki pikiran cerdas seperti manusia.
manusia tersusun dari 21.000 gen. Bila dibandingkan cacing memiliki 20.500 gen, kutu air, makhluk hidup yang sederhana memiliki 31.000 gen, tikus memiliki 23.000 gen, tanaman gandum memiliki 26.000 gen, sebab ada superorganisme , mikrobiota yang selalu hidup memdampingi, menjaga menjamin fungsi seluruh komponen organ bisa berjalan sempurna, hidup berdampingan dengan mikroba yang ada sejak
dilahirkan. Jumlah mikroba lebih 100 triliun, dikenal sebagai mikrobiota mayoritas yaitu bakteri di saluran cerna. virus, jamur, archaea, Virus bergantung sepenuhnya pada sel-sel makhluk lainnya untuk mereplikasi diri. Jamur lebih kompleks dibandingkan bakteri, kecil, bersel tunggal. Archaea yang mirip dengan bakteri, namun mereka berbeda evolusioner seperti bakteri, tanaman atau binatang. mikroba ini hidup di tubuh manusia mengandung 4,3 juta gen. Kumpulan dari gen dinamakan mikrobium, yaitu kumpulan genome dari mikrobiota. Gen ini berkolaborasi dalam menjalankan tubuh kita bersama 21.000 gen-gen manusia. yang dinamakan manusia hanya setengah persen manusia, manusia hanya disusun oleh 10% gen, sedang 90% manusia disusun oleh gen mikrobiota. Mikrobiota yang mayoritas di dalam saluran cerna menjaga, menjamin fungsi fisiologi manusia berjalan normal Fungsi fisiologi, atau kelainan organik yang terjadi pada manusia, sebagai akibat gangguan keseimbangan mikrobiota yang ada, Mikrobiota dan peran untuk pertahanan saluran cerna Mikrobiota penting dalam memberi pertahanan saluran cerna dengan cara menghambat kolonisasi kuman patogen, Peningkatan jumlah mikrobiota seperti kuman bifidobakteria pada bayi yang memperoleh ASI yang mengandung bifidus faktor, yaitu faktor penting untuk menghambat kolonisasi kuman patogen pada bayi yang memperoleh ASI,
Gangguan keseimbangan mikroba saluran cerna dinamakan disbiosis. sebagai akibat perubahan lingkungan
Kolonisasi mikrobiota saluran cerna saat lahir, saluran cerna bayi yang pada awalnya steril, lalu terkontaminasi (terkolonisasi) oleh bakteri yang diawali dengan berkembangnya kuman Bifidobacteria, Clostridia, dan Cocci gram positive berada di jalan lahir (vagina) dan saluran cerna ibu.
Mikroba prokariotik dan eukariotik bisa ditemukan, pada saluran cerna bayi dengan dominasi oleh spesies bakteri, sebagian besar spesies bakteri anaerob (90%), 3% yaitu aerobik (fakultatif anaerob), Genera anaerobik biasa dalam konsentrasi dalam saluran pencernaan yaitu Fusobacterium, Clostridium, Lactobacillus, Bacteroides, Bifidobacterium, Eubacterium,
Koloni mikrobiota aerob yaitu bakteri gram-positif cocci (Enterococcus, Staphylococcus dan Streptococcus) dan bakteri Gram-negatif enterik (Escherichia coli dan Salmonella spp.) Selain bakteri aerob, spesies jamur aerobik, seperti Candida albicans, yang juga termasuk anggota mikrobiota normal. Bayi yang memperoleh ASI sejak awal kehidupan, Bifidobacteria yaitu flora normal yang paling dominant, dibandingkan
dengan golongan bayi yang memperoleh susu formula. Sesudah itu, terjadi perubahan yang pesat dari flora normal usus, dalam perkembangan kolonisasi ini juga dipengaruhi oleh nutrisi pada kehidupan bayi. Pola mikrobiota usus akan mengalami rekayasa yang besar pada tahap awal kehidupan dan kondisi in berperan dalam perkembangan fungsi fisiologi sistem imun innate dan adaptif saluran cerna yang penting untuk pertahanan mukosa saluran cerna, Faktor lingkungan seperti antibiotik, diet, inokulasi
mikroba, memicu perubahan dalam stabilitas mikrobiota, perkembangan mikrobiota normal yang seimbang pada masa neonatal khususnya pada saluran pencernaan berperan , Terjadinya gangguan keseimbangan mikrobiota pada
masa ini mempengaruhi perkembangan system imunitas neonatal. Gangguan perkembangan sistem imunitas ini yaitu faktor predisposisi terjadingan infeksi dan masalah kesehatan lainnya.
Interaksi mikrobiota saluran cerna dan host, yaitu interaksi yang saling menguntungkan. Host menyediakan nutrisi sebagai sumber yang menguntungkan, demikian juga sebaliknya bahwa mikrobiota akan merubah nutrisi menjadi komponen yang memberi manfaat untuk kesehatan penjamu. beberapa mikrobiota dalam
jumlah berlebihan contoh Clostridium difficile bisa menghasilkan toksin yang merugikan. mikrobiota tertentu akan berubah menjadi patogen pada
kondisi kerusakan mukosa usus contoh kuman gram negatip Enterobacteriaceae, hewan ujicoba tanpa mikrobiota saluran cerna menunjukan adanya perbedaan dalam hal struktur anatomi dan fungsi organ, bila dibandingkan dengan hewan ujicoba dengan kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang normal. Perbedaan dalam hal berat organ saluran cerna, fungsi fisiologi, kerentanan saluran cerna terhadap infeksi, yaitu perbedaan yang nyata, juga organ lainnya contoh cardiac output, kelenjar getah bening, jantung, hati, akan berkurang pada golongan free germ animal model.
keseimbangan mikrobiota saluran cerna diperlukan untuk keseimbangan fisiologi
pasien , Beberapa cara eliminasi kuman patogen oleh bifidobakteria dengan meningkatnya status imun mukosa usus, proses inhibisi, mengeluarkan hasil akhir metabolik seperti contoh asam yang menurunkan pH lingkungan saluran cerna,
dalam suasana asam bakteri probotik bisa hidup dengan subur sedang bakteri patogen tak bisa hidup. Banyak spesies kuman laktobaksilus, dan bifidobakteria, mampu untuk menghasilkan antibiotika alamiah, yang berefek bakteriostatik
atau bakteriosidik spektrum luas seperti lactacins, curvacins, nisin bifidocin, lactocins, helveticins, Kuman bifidobakteria mampu mensekresi
antimikrobial yang bisa mengeliminasi beragam macam kuman pathogen gram negatif saluran cerna termasuk salmonella, campylobacters dan E. coli, Mikrobiota di dalam saluran cerna mampu menurunkan konsentrasi endotoksin bakteri , ini sebab kemampuannya meningkatkan pertahanan
mukosa untuk mencegah translokasi kuman. Beberapa spesies bifidobakteria, seperti
Bifidobacterium infantis, B. longum berefek yang kuat untuk eliminasi kumanE. coli , bahwa dengan meningkatnya jumlah bifidobakteria dengan spesies tertentu akan meningkatnya sistem imun mukosa dan akan memberi proteksi terhadap infeksi saluran cerna, indigenous microbiota
Mikrobiota dan perkembangan sistem imunitas mukosa saluran cerna, Saluran cerna bayi baru lahir steril dan belum sempurna yaitu masa kritis bagi perkembangan sistem imunitas saluran cerna bayi. Mikrobiota komensal (non-patogen) yang diperoleh pada saat proses kehamilan dan kelahiran berperan untuk perkembangan fungsi saluran cerna kehidupan . Kolonisasi mikrobiota di dalam saluran cerna dengan mikrobiota non-patogen (komensal) penting bagi pembentukan struktur normal saluran cerna untuk menjalankan fungsi imunitas saluran cerna yang optimal,
Sistem imun bawaan tidak khusus belum sepenuhnya dibangun atau aktif dalam tahun pertama kehidupan bayi. Sistem imun mampu membedakan spesies mikroba berbahaya atau yang berguna yang dipengaruhi oleh paparan pada
ibu masa prenatal dan postnatal. tanggapan induksi sistem imun pada saluran pencernaan
berkorelasi dengan folikel dari gut associated lymphoid tissue (GALT) khususnya M cell pada
Peyer patches melalui kemampuan mengikat antigen, makromolekul dan mikroorganisme.
maka sistem kekebalan tubuh inang harus menjaga keseimbangan lingkungan pencernaan yang menguntungkan bagi komunitas mikrobiota untuk melindungi invasi atau perkembangan dari spesies patogen. Mukosa intestinal dilengkapi dengan trans-membrane atau reseptor intra sitoplasmik (intra-cytoplasmic receptors) dinamakan pattern recognition receptors (PRRs) yang mampu mengenali, membedakan dan berikatan dengan ligan mikroba. Microbial-associated molecular patterns (MAMPs) seperti formylated peptides, lipopolysakarida, flagelin, peptidoglikan, Mikroba alami dan patogen pada permukaan mukosa bisa menginduksi sinyal MAMPs untuk menstimulasi PRRs yang meliputi formylated peptide receptors (FPRs), Toll-like receptors (TLRs), atau nucleotide-binding oligomerization aspek like receptors (NODs) yang akan menentukan keluaran sinyal yang didasarkan pada stimulasi awal. tanggapan yang bisa terjadi bisa berwujud tanggapan proteksi terhadap bakteri komensal, tanggapan inflamasi terhadap organisme patogen atau stimulasi reaksi apoptosis. ketidaknormalan yang terjadi pada proses ligan PRRsdan MAMPs berkaitan dengan penyakit inflamasi pada saluran pencernaan, Mikrobiota saluran cerna juga berperan menjamin produksi
immunoglobulin. Sintesis awal IgG dan IgM awalnya terjadi di limpa pada masa kehamilan sekitar 10 minggu, lalu mengalami peningkatan hingga masa kehamilan 26 minggu. Level ini meningkat dengan drastis pada saat kelahiran. Bayi yang baru lahir, memiliki level serum IgM, IgA, IgE yang rendah. Proteksi awal bayi diperoleh dari ASI dimana bayi yang memperoleh asupan ASI akan memperoleh IgA khususnya sebagai proteksi terhadap mikroba saluran pencernaan dan juga IgG dipindahkan dari ibu melalui plasenta sebagai proteksi selama 1 tahun pertama kehidupan bayi. Belum matangnya sel limphosit T dan B dan juga Antigen Presenting Cell (APC) berperan pada rendahnya produksi antibodi pada bayi yang baru lahir. Produksi immunoglobulin ini akan terus bertambah, seiring dengan kolonisasi normal saluran cerna optimal hingga usia 3-5 tahun,
Gangguan saluran cerna fungsional (functional gastrointestinal disorders/FGIDs) yaitu gangguan fungsi saluran cerna tanpa diketahui adanya kelainan organik saluran cerna. hal yang mempengaruhi prevalensi FGIDs pada anak antara lain Riwayat alergi, diet, proses
kelahiran (persalinan normal atau sectio secaria), lama menyusui, pola infeksi dan pelayanan kesehatan , pemakaian antibiotik dalam 2 tahun pertama kehidupan, infeksi saluran cerna, infeksi ekstraintestina, yaitu faktor terjadinya masalah gangguan fungsional saluran cerna,
terjadinya FGIDs belum diketahui dengan jelas. Namun unsur-unsur psikogenik, hormonal, neuronal, berperan dalam munculnya gejala FGIDs. faktor yang berpengaruh pada FGIDs antara lain mikrosirkulasi, sistem saraf enterik (ENS), motilitas, sekresi enzim, tanggapan imun dan proses inflamasi saluran cerna, Kemampuan tanggapan adaptif dari ENS sebagai pemicu fisiologis dan stres psikologi mempengaruhi terjadinya FGIDs, Gangguan kolonisasi mikrobiota dan atau kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang
belum optimal pada usia awal kehidupan hingga usia 2 tahun pertama yaitu faktor terjadinya gangguan fungsional saluran cerna pada anak Gangguan saluran cerna fungsional seperti kolik regurgitasi, konstipasi, Saluran cerna pada bayi baru lahir steril. Namun, beberapa faktor internal dan ekternal akan mempengaruhi fungsi fisiologi saluran cerna dan ekosistem kolonisasi
mikrobiota pada saat bayi lahir. Beberapa faktor prenatal, seperti pemakaian antibiotika
pada ibu hamil berpengaruh terhadap kolonisasi mikrobiota saluran cerna bayi . Segera sesudah lahir, mikrobiota secara aktip melakukan kolonisasi diseluruh permukan tubuh bayi, termasuk saluran cerna. Kolonisasi ini berlangsung secara bertahap sesuai usia kehamilan dan usia bayi. contoh bayi yang sering mengalami kolik, memiliki gambaran kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang berbeda bila dibandingkan dengan golongan bayi tanpa kolik, bayi prematur memiliki gambaran kolonisasi mikrobiota yang berbeda dengan bayi dengan cukup bulan , Kolonisasi mikrobiota pada golongan usia bayi ini berperan
terhadap fungsi motilitas saluran cerna. Intestinal mikrobiota menghasilkan bahan untuk menstimulasi sistem saraf saluran cerna yang berperan untuk fungsi motilitas saluran cerna yang terjadi pada kondisi sehat atau sakit,
Mikrobiota dan fungsi digesti nutrisi saluran cerna
Digesti bermula dari kejadian intraluminal yang memerlukan enzim oral, gastrik, pankreatik dan asam empedu. Pembuluh darah, limfa, sel ganglion dan serat saraf dari pleksus Meissner, kelenjar asinar bercabang Brunner (di duodenum bagian atas), yaitu komponen fungsi digesti. penyerapan memerlukan luas permukaan mukosa yang cukup, enzim yang ada didalam tepi brush border, intraseluler dan mekanisme yang khusus . Untuk menjalankan fungsi penyerapan yang optimal, brush border yang baik memerlukan susunan protein yang baik. Diantara dasar vili penyusun brush border ada kripta dari Liberkuhn yang menjorok sampai ke lapisan submukosa
dimana berlokasi sel yang tidak berdiferensiasi dan sel sekretori. Sel ini berasal dari dasar kripta dan bergerak ke arah puncak vili, menjadi matur dalam bentuk dan fungsi digestif atau fungsi penyerapan . Pada membran sel usus, terjadi proses hidrolisis dari disakarida dan peptida oleh enzim yang ada pada tepi brush border. Proses ini akan diteruskan dengan proses penyerapan seluler dari asam amino, peptida kecil, monogliserida, monosakarida dan asam lemak. Nutrien yang diserap lalu kirim ke dalam darah dan limfa dan akhirnya dibawa ke organ yang jauh untuk disimpan atau
dimetabolisasi, Kolonisasi mikrobiota yang optimal, menjamin terjadinya proses digesti secara optimal. Gangguan keseimbangan kolonisasi mengganggu fungsi digesti, yang akan menganggu fungi penyerapan yang sempurna
Hubungan antara mikrobiota saluran cerna dengan masalah metabolik seperti kegemukan dan diabetes pada anak, yaitu Mikrobiota saluran cerna diperlukan untuk mempertahankan fungsi normal saluran cerna. Mikrobiota saluran cerna yaitu bakteri hidup atau bakteri campuran yang berefek menguntungkan pada saluran cerna hostmelalui kemampuannya menjaga keseimbangan mikroflora usus secara keseluruhan dan berguna mempertahankan kesehatan host, ada lebih dari 10 spesies dan sekitar 1 juta bakteri dalam usus manusia. Bakteri dalam usus manusia bisa
dibagi menjadi 2 golongan yaitu golongan bakteri yang berguna dan golongan yang berbahaya,
. Gangguan keseimbangan kolonisasi mikrobiota saluran cerna dalam kehidupan anak, berdampak merugikan, seperti gangguan funsional saluran cerna di awal kehidupan. mikrobiota saluran cerna
memberi membantu dalam proses metabolisme nutrisi hingga perannya untuk memberi modulasi ekspresi gen untuk semua aspek kehidupan, perbedaan komposisi mikrobiota pada hewan coba
atau manusia, memberi pengaruh pada berat badan. Pada golongan anak gemuk dan langsing, memiliki komposisi mikrobiota yang berbeda. ini menunjukan adanya hubungan antara berat badan dan komposisi mikrobiota saluran cerna
dan energi homeostasis.Hasil fermentasi polisakarida dan protein menjadi short chain fatty acid (SCFA) yang terdiri dari komponen acetate propionate dan butyrate, dipengaruhi oleh kolonisasi mikrobiotas saluran cerna di usus besar. SCFA yaitu sumber energi 60% untuk epitel usus area kolon. Pada kondisi berlebihan, akan memicu deposit lemak secara keseluruhan. penyerapan SCFA yang berlebihan, bersama dengan pola hidup yang kurang baik dan lingkungan yaitu faktor terjadinya kegemukan, Ada perbedaan komposisi, pasien dengan diabetes tipe 2 dan pasien normal. Pada dibaters tipe 2, mikrobiota pathogen lebih dominan dibandingkan dengan mikrobiota komensal. sedang pada diabetes tipe 1, secara menonjol memiliki jumlah Clostridium, Bifidobakterium, Lactobaccillus yang dominan dibandingkan dengan Bacteroidetes. Perbedaan ini berpengaruh untuk menjaga integritas usus yang lebih rendah yang bisa diaktifkan dengan masalah tingkat glikemik pada golongan diabetes.
ini bisa dipakai sebagai salah satu startegi pengobatan diabetes tipe 1.Kolonisasi mikrobiota saluran cerna berperan yang sagat penting untuk menjamin perkembangan dan fungsi otak yang baik. Gangguan keseimbangan mikrobiota saluran
cerna sebagai akibat faktor diluar otak bisa mempengaruhi keseimbangan kolonisasi
mikrobiota saluran cerna. Peran penting mikrobiota ini diperankan oleh sebab produk biokimiawi mikrobiota yang bisa menjaga permeabilitas blood brain barrier, sehingga maka bloob brain barrier secara selektif melaksanakan fungsi proteksi terhadap bahan-bahan pathogen bisa bisa mempengaruhi fungsi fiologis otak. Hubungan dua
arah antara saluran cerna dan otak (gut-brain axis) sudah banyak diketahui. Hubungan 2 arah ini bisa terjadi oleh sebab produksi beberapa neurotransmiter dari saluran cerna
berpengaruh terhadap fungsi otak, demikian juga produk neurotransmiter juga berpengaruh terhadap funsi saluran cerna secara langsung.
Beberapa kondisi klinis gangguan perkembangan otak dengan dampak gangguan sikap pada anak, seperti contoh ADHD dan autis, yaitu contoh adanya pengaruh fungsi otak oleh sebab gangguan kolinisasi mikrobiota saluran cerna. Pada hewan coba dengan free microbiota, memiliki kadar kortikosteron, brain-derived neurotrophic faktor BDNF, suatu protein yang berfungsi untuk menstimulasi neurogenesis dan synaptic growth, dan modulasi synaptic plasticity dan penularan