kesehatan anak 3









Infeksi saluran kemih kompleks yaitu  ISK yang ditambah  dengan kelainan anatomi dan atau fungsional saluran kemih yang memicu  stasis atau aliran balik (refluks) urin. Kelainan saluran kemih   berwujud  batu saluran kemih, uropati obstruksi, anomali saluran kemih, kista ginjal, buli-buli neurogenic, benda asing, 
 Infeksi saluran kemih yaitu  pemicu  infeksi bakteri pada bayi dan anak. Penegakkan analisa   infeksi saluran kemih pada anak memiliki tantangan tersendiri sebab  gejala yang tidak khusus , terutama pada bayi dan anak kurang 
dari 3 tahun. Anak dengan anomali saluran kemih memiliki tendensi yang lebih tinggi untuk mengalami infeksi saluran kemih,  30% anak dengan anomali saluran kemih memiliki gejala awal berwujud  infeksi saluran kemih. Identifikasi infeksi saluran kemih pada anak penting dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan struktural yang bisa  berlanjut menjadi gangguan fungsi ginjal. Kegagalan identifikasi pada kondisi ini bisa  
memicu  kerusakan lebih lanjut pada saluran kemih bagian atas dan infeksi rekurenInfeksi saluran kemih digolongkan  berdasar  adanya faktor penyulit, dibagi menjadi infeksi saluran kemih simpleks dan infeksi saluran kemih kompleks. ISK simpleks diperoleh  pada pasien dengan fungsi dan morfologi saluran kemih dan fungsi ginjal dalam batas normal. ISK kompleks diperoleh  pada pasien dengan kelainan struktural 
atau fungsional saluran kemih atas atau bawah yang bisa  dipicu  oleh pemicu  intrinsik atau  ekstrinsik. Pielonefritis digolongkan  sebagai ISK kompleks, ISK kompleks sebagai  sindrom 
klinis yang disifat an dengan pyuria dan ditemukannya mikroba pathogen dalam kultur urine, ditambah  oleh adanya tanda dan gejala lokal dan sistemik, terdiri dari demam (temperatur oral atau tympani > 38oC), menggigil, malaise, nyeri area flank, nyeri punggung, dan atau  nyeri
tidak nyaman area costo-vertebral angle, yang terjadi sebab  ketidaknormalan  struktur atau fungsional pada saluran kemih yang dipicu  oleh faktor intrinsik atau ekstrinsik.
Infeksi saluran kemih yaitu  infeksi bakteri  pada anak. Bayi dibawah usia 1 tahun,   insiden pada anak prepubertal lebih banyak ditemukan pada 
anak wanita  dibandingkan lelaki , Kelainan anatomi yang sering ditemukan pada ISK kompleks yaitu  ureteropelvic junction obstruction dengan angka insiden lebih tinggi pada anak lelaki dibandingkan anak wanita  . pemicu  lainnya   berwujud  ureterokel dan ureter ektopik yang  
 ditemukan pada anak wanita  dibandingkan lelaki, posterior urethral valve yang terjadi pada 1 dari 8000 anak lelaki dan refluks vesikoureter yang terjadi pada 1% anak.Obstruksi saluran kemih   terjadi sepanjang saluran kemih mulai dari pelvis sampai  uretra. Adanya obstruksi ini memicu  terjadi stasis urin yaitu   media perkembangan kuman dalam saluran kemih. Obstruksi saluran kemih bisa  terjadi  sebab  adanya kelainan anatomis antara lain: stenosis hubungan pelvis-ureter, stenosis hubungan vesiko-ureter, katup uretra posterior, batu saluran kemih , atau   
kelainan fungsional antara lain: refluks vesiko-ureter, kandung kemih neurogenik . Gejala adanya obstruksi saluran kemih   sulit diketahui,  biasanya diketahui pada pelacakan pencitraan ginjal dan saluran kemih sesudah  anak menderita ISK. 
Dalam kondisi  normal pada ureter ada    dua tempat yang mengalami penyempitan yaitu pada peralihan antara pelvis dengan ureter dan pada peralihan antara ureter dan vesika. Tempat ini bisa  terjadi stenosis sehingga terjadi hambatan aliran urin yang memicu  terjadi hidroureter dan hidronefrosis,   ini  bisa  terjadi unilateral atau  bilateral,  lebih sering    kelainan kongenital. 
Katup uretra posterior ditemukan pada anak laki-laki. Katup uretra posterior ini   mengganggu pancaran aliran urin sehingga terjadi stasis urin.  Katup uretra posterior   dicurigai saat prenatal dengan USG dan analisa   pasti melalui pemeriksaan VCUG (Voiding Cystourethrogram).
Batu saluran kemih bisa  terjadi mulai dari ginjal sampai uretra. Batu saluran kemih  bisa  memicu  obstruksi saluran kemih  yaitu  tempat bersembunyinya kuman sebaliknya adanya infeksi terutama oleh mikroorganisme penghasil urease bisa  memicu  terjadinya batu saluran kemih. analisa   batu saluran kemih bisa  melaui 
pemeriksaan radiologi foto polos perut  atau  USG.Refluks vesiko ureter yaitu  suatu kelainan traktus urinarius yaitu terjadinya aliran balik urin dari vesika urinaria ke ureter lalu  menuju ginjal.   pemicu  RVU yaitu  ketidaknormalan  sistem katup ureterovesikal pada per uretervesika urinaria yaitu saluran bawah ureter yang masuk ke dalam otot vesika (ureter intramural) tidak cukup panjang, seperti kita ketahui ureter intramural yaitu  
mekanisme alamiah antirefluks, namun  sejalan dengan pertumbuhan kondisi  ini akan  terkoreksi. pemicu  lain letak ureter terlalu ke lateral sehingga terbentuk saluran yang pendek dan sulit terkoreksi dengan pertumbuhan. pemicu  lain yaitu  bentuk muara ureter pada vesika seperti bentuk tapal kuda /lubang golf,  syarat  analisa   standar untuk RVU yaitu  x-ray voiding cystourethrogram (VCUG). Pemeriksaan radionuclide voiding cystography (RVC) dengan technetium TC 99 m memiliki  kelebihan sebab  dosis radiasi rendah dan lebih peka . ketebalan parenkim dan dilatasi 
sistem duktus. Echo-enhanced voiding urosonography (VUS) dengan metode siklik, lebih 
akurat dibanding RVC dalam penentuan derajat refluks. Neurogenic bladder yaitu  suatu disfungsi kandung kemih akibat kerusakan sistem saraf yang terlibat dalam pengendalian berkemih. kondisi  ini bisa berwujud  kandung kemih tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk miksi   atau  kandung kemih terlalu aktif dan melakukan pengosongan kandung kemih berdasar refleks yang tak terkendali  . Urografi intravena, sistografi atau  uretrografi  dilakukan untuk memperkuat analisa  . Bisa juga dilakukan pemeriksaan USG atau sistoskopi. Dengan memasukkan kateter melalui uretra bisa diketahui jumlah air kemih yang tersisa. Untuk mengukur tekanan di dalam kandung kemih dan uretra bisa dilakukan dengan sistometografi.  beberapa faktor  yang mendasari terjadinya ISK kompleks, baik dari faktor  intrinsik berwujud  kelainan anatomi dan fungsional dari sistem saluran kemih, yang bisa  
berwujud  penyakit ginjal intrinsik (kista ginjal, batu ginjal), adanya uropathy obstruktif 
(nephrolithiasis, fibrosis, striktur uretra, obstruksi pada pelviureteric junction, posterior urethral valve, bladder neck obstruction, tumor saluran kemih, benda asing, indwelling catheter), neurogenic bladder, dan dari faktor ekstrinsik berwujud  anak dengan status immunocompromised dan adanya penyakit komorbid.Infeksi saluran kemih simpleks biasanya  dipicu  oleh satu bakteri patogen, 
sedang  pada ISK kompleks bisa  dipicu  oleh infeksi ganda yang bisa  terdiri dari dua atau lebih bakteri patogen. pemicu  ISK kompleks biasanya lebih beragam  dan sulit untuk diprediksi. Escherichia coli masih menjadi bakteri patogen yang biasanya  ditemukan pada ISK kompleks. Organisme lainnya bisa  berwujud  spesies Proteus, spesies Klebsiella, Enterococci, Pseudomonas aeruginosa, dan bahkan jamur.
  ISK kompleks   sama dengan ISK. Namun, pada ISK kompleks ada    faktor risiko berwujud  kelainan anatomi dan fungsional saluran kemih. 
Infeksi saluran kemih bisa  muncul sebab  adanya kolonisasi bakteri secara asenden  ataupun penyebaran secara hematogen yang terjadi pada kondisi septicemia. Bakteri yang berkolonisasi di perineum pada anak wanita  atau di preputium pada anak lelaki, masuk ke saluran kemih mulai dari uretra secara asenden. Bakteri bermultiplikasi di dalam urin di saluran kemih dan menjadi koloni yang bisa  memicu  infeksi saluran kemih.
Saluran kemih memiliki mekanisme pertahanan yang bisa  mencegah munculnya infeksi saluran kemih, yaitu terdiri dari mekanisme fungsional, anatomis dan imunologis. Ginjal memiliki mekanisme anti refluks yang bisa  mencegah urin mengalir secara retrograde. Kandung kemih memiliki proses pengosongan kandung kemih yang regular, dengan drainase urin yang baik. Bakteri juga akan dihancurkan oleh leukosit 
polimorfonuklear dan komplemen. Dengan adanya mekanisme pertahanan ini   anak tidak mudah menderita ISK, namun pada anak dengan kelainan pada anatomi dan fungsional saluran kemih juga dengan status imunocompromised lebih berisiko  untuk terjadinya ISK kompleks. dampak  klinis infeksi saluran kemih   bergantung pada usia anak.
Infeksi saluran kemih pada neonatus biasanya    bagian dari sepsis dengan dampak  klinis berwujud  demam, letargis, mual , ikterik  kejang. Infeksi saluran kemih pada anak usia kurang dari 2 tahun ditemukan gejala demam tanpa  fokus infeksi yang jelas, bisa  ditambah  gejala penyerta berwujud  mual mulas perih kembung , diare, nyeri perut dan berat badan sulit naik. Gejala pada anak lebih besar bisa  berwujud  demam yang ditambah  disuria, urgensi, polakisuria dan nyeri pada perut  dan area flank.Anak dengan infeksi saluran kemih kompleks berdampak   sistemik yang 
lebih berat. biasanya  ditemukan demam  suhu >39o C, tampak  nyeri atau tidak nyaman pada costovertebral angle, peningkatan serum kreatinin, toksik, muntah persisten, dehidrasi,tidak menanggapi   pengobatan selama 48 jam. ISK kompleks   rekuren dan mengikutsertakan  saluran kemih bagian atas.Anak dengan pemeriksaan fisik ditemukan spina bifida,  dimple, riwayat pembedahan pada saluran kemih, malformasi anorektal,   sinekia vagina, fimosis, hipospadia, epispadia, dilatasi kandung kemih, hidronefrosis, inkontinensia urine, 

meningomyelocele yaitu  faktor  yang mengarahkan analisa   ke ISK kompleks.
Anak dengan kecurigaan ISK harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan urinalisis dan kultur urine. Pengambilan sampel urine   dilakukan dengan pemasangan kateter urine, aspirasi suprapubik dan urine pancar tengah. Neonatus dan bayi disarankan melalui kateter urine, anak yang lebih besar bisa  dikerjakan dengan pengambilan urine pancar tengah. Interpretasi hasil pemeriksaan urinalisis yaitu  adanya leukosituria (>5/LBP), 
proteinuria, hematuria (eritrosit >5/LBP), nitrit, leukosit esterase, silinder dan antibody coated bacteria. Pemeriksaan lainnya diantaranya darah lengkap, C-reactive protein, procalcalcitonin. Procacitonin yaitu  prediktor lebih kuat dibandingkan dengan hitung leukosit atau  C-reactive protein untuk analisa   pielonefritis akut. analisa   ISK dilakukan  jika  pada pemeriksaan 
kultur urin ditemukan adanya >105 koloni/ml urin
Pemeriksaan radiologi pada ISK untuk   mencari adanya kelainan struktural dari sistem saluran kemih. Pemeriksaan USG ginjal dan saluran kemih urgent diperlukan bila ada    kecurigaan ISK kompleks yaitu ISK pada neonatus dan anak dengan kandung kemih yang dilatasi dan ballotable kidney. Pemeriksaan USG disarankan  untuk semua anak yang mengalami ISK pertama kalinya. Pemeriksaan radiologi lainnya yaitu 
(Micturating Cystourethrogram) MCUG dan DMSA scan. Micturating Cystourethrogram yaitu  pemeriksaan untuk mengevaluasi ketidaknormalan  pada kandung kemih dan 
uretra, pemeriksaan ini juga bisa  mendeteksi adanya vesicouretral refluks. Micturating
Cystourethrogram sebaiknya dilakukan sesudah  6 minggu ISK teratasi, kecuali dalam kondisi 
obstruksi pengeluaran kandung kemih, pemeriksaan ini bisa  dilakukan secepatnya. 
Pemeriksaan ini diterapkan  pada anak kurang dari 1 tahun pada ISK pertama, dan pada anak kurang dari 5 tahun pada ISK kedua dengan gejala pielonefritis akut atau dimana pemeriksaan DMSA scan tidak tersedia. Dimercaptosuccinic acid (DMSA) scan  untuk mendeteksi adanya scarring pada ginjal. DMSA scan diterapkan  pada anak usia kurang dari 1 tahun untuk ISK pertama, dan pada anak kurang dari 5 tahun dengan ISK kedua atau gejala pielonefritis akut, ketidaknormalan  USG ginjal dan saluran kemih.Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan yaitu  pemeriksaan darah rutin bila ada    demam, pemeriksaan urea darah dan serum kreatinin, dan kultur darah bila ada    kecurigaan sepsis. 
  Infeksi saluran kemih kompleks memerlukan pengobatan  yang  komprehensif  dibandingkan ISK simpleks. Deteksi awal adanya kelainan anatomi dan fungsional ginjal  dan saluran kemih yaitu    penting dalam pengobatan  ISK kompleks. 
biasanya  pengobatan  ISK kompleks terdiri dari pengobatan  tahap  akut yang terdiri dari pemberian antibiotika dan terapi pendukung , pengobatan  pembedahan, dan pemberian 
antibiotik profilaksis bila diperlukan.
pengobatan  tahap  akut 
Kondisi ISK kompleks berisiko  yang tinggi terjadinya komplikasi, baik komplikasi jangka pendek atau  jangka panjang. Komplikasi jangka pendek bisa  berwujud  gagal ginjal akut, sepsis dan meningitis. Komplikasi jangka panjang bisa  memicu  parut ginjal, yang lalu  bisa  memicu  insufisiensi ginjal, hipertensi, dan kondisi penyakit ginjal kronis. Infeksi saluran kemih sering berulang. Kejadian ISK berulang 50 % dan lebih sering pada bayi. sebagian besar terjadi dalam 3 bulan episode pertama. Faktor predisposisi ISK berulang anatara lain: pada anak wanita , anak 
dibawah 6 bulan, adanya RVU, kebiasaan miksi yang kurag baik, konstipasi dan seringnya 
melakukan kateter pada neurogenic bladder.
- Antibiotika profilaksis
Pemberian antibiotika profilaksis pada ISK kompleks masih yaitu  suatu kontroversi. riset  memperoleh  adanya penurunan risiko ISK berulang dengan pemberian antibiotic profilaksis,  penelitian lain gagal menunjukkan penurunan kejadian ISK berulang dengan pemberian antibiotic profilaksis bahkan terjadinya resistensi antibiotika masih menjadi permasalahan. 
Pemberian antibitik profilaksis disarankan  pada: anak bibawah 1 tahun sambil menunggu pemeriksaan pencitraan, ISK dengan RVU dan anak yang menderita ISK yang ditambah  sering mengalami demam (3 atau lebih dalam setahun). Antibiotik profilakis diberikan dengan dosis 2/3 dosis terapi satu kali sehari dan diberikan pada 
malam hari. Antibiotik profilaksis tidak disarankan  pada ISK yang ditambah  dengan obstruksi saluran kemih seperti pada katup uretra posterior, urolitiasis atau neurogenic bladder.
- pengobatan  antimikroba
Pemberian antibiotika untuk  untuk eradikasi infeksi akut dan mencegah terjadinya komplikasi berwujud  urosepsis atau kerusakan parenkim ginjal. Antibiotik diberikan sesudah  pengambilan sampel urine untuk pemeriksaan kultur urine. 
Pemilihan antibiotika untuk ISK kompleks lebih beragam  sebab  kuman pemicu  ISK biasanya lebih dari satu mikroorganisme. Pemberian antibiotika secara parenteral yaitu  pilihan terapi pada ISK kompleks. Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat, dan lalu  diberikan sesuai hasil kultur urine. 
Sefalosporin generasi ketiga (cefotakxim, seftriason) bisa  dipakai  sebagai pilihan. Golongan aminoglikoside juga aman dan efektif untuk mengatasi ISK kompleks. Jika ada    resistensi terhadap sefalosporin, antibiotika golongan nitrofurantoin bisa  menjadi pilihan. Beberapa antibiotika parenteral yang dipakai  untuk penanganan ISK kompleks bisa  dilihat pada Tabel 3. Pengobatan ISK kompleks biasanya belum menanggapi   dalam 48-72 jam pertama sesudah  pemberian antibiotik. Lama pemberian antibiotik untuk ISK kompleks diberikan 10-14 hari, jika  dalam 48-72 hari kondisi pasien sudah membaik dan gejala sudah mereda maka 
antibiotik bisa  diganti melalui oral. - pengobatan  pendukung  pengobatan  pendukung  pada ISK kompleks meliputi pemberian cairan yang kuat  dan pengobatan  demam dan mual mulas perih kembung . Bila muntah persisten bisa  diberikan obat domperidone.
- pengobatan  pembedahan
pelaksanaan  pembedahan dilakukan bila ada    indikasi  uropati obstruktif, yang  harus bekerjasama dengan ahli bedah urologi. pelaksanaan  bedah   berwujud  drainase perkutaneus bila diperoleh  uropati obstruktif. Abses renal atau perirenal pada anak juga memerlukan intervensi pembedahan.



kegemukan  yaitu  faktor risiko munculnya penyakit kronis degeneratif suatu saat , makin dini   anak mengalami kegemukan , makin rendah usia  hidupnya akibat menderita penyakitpenyakit kronis degeneratif seperti diabetes mellitus tipe 2, penyakit jantung, stroke,  kanker.Pada masa remaja, kegemukan     memicu  hipertensi, sleep apnea, pernapasan, perkembangan tulang ekstremitas, masalah psikososial, masalah hormonal,  sistem reproduksi, alergi,  hipersensitif   
dan masih banyak lagi. Efek samping kegemukan   yaitu  sindroma metabolik. Melalui efeknya pada metabolisme glukosa dan lemak, kegemukan  yaitu  faktor risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus tipe 2.kegemukan  sebagai faktor risiko  sindrom metabolik,  tingginya prevalensi pada usia yang lebih muda menunjukkan kemungkinan adanya cohort effect, prevalensi makin meningkat pada generasi yang lebih muda.  prevalensi kegemukan  pada usia 16-18 tahun meningkat dari 1,4%  menjadi 7,3% kegemukan  pada masa anak berisiko  tinggi menjadi kegemukan  di masa dewasa,  lalu  berpotensi menjadi sindrom metabolik dan penyakit degeneratif. kegemukan  sentral (perut ), yaitu  komponen kunci sindrom metabolik. Semua hal yaitu   faktor risiko kegemukan , seperti pola makan salah dan gaya hidup sedenter yaitu  faktor risiko sindroma metabolik.Hal-hal yang 
juga dianggap berperan meningkatkan resiko sindrom metabolik yaitu  riwayat diabetes 
gestasional pada ibu, berat badan lahir rendah dan pola pemberian makan pada masa bayi. 
Faktor genetik, sosioekonomi dan lingkungan kegemukan ogenik juga mungkin berpengaruh.
Resistensi insulin yaitu  mekanisme  terjadinya sindroma metabolik. Resistensi insulin dan hiperinsulinemia memicu  disregulasi metabolisme lipid di level seluler, peningkatan kadar asam lemak bebas dan penumpukan trigliserida pada area  ektopik, seperti pada otot, hepar dan lemak viseral.  , peningkatan kadar asam lemak bebas  menghambat transportasi glukosa yang distimulasi insulin sehingga 
akan memperberat kondisi resistensi insulin. Resistensi insulin dan peningkatan kadar 
asam lemak bebas  membentuk lingkaran setan pada sindroma metabolik. pemicu  lain sindroma metabolik yaitu  gangguan metabolisme asam lemak yang dipicu  oleh gangguan metabolism malonyl CoA, disfungsi mitokondria dan disfungsi AMP-Activated Protein Kinase.biasanya  mekanisme patofisiologi sindroma metabolik yaitu  bidang yang   cepat berkembang  , sindroma metabolik terdiri atas kegemukan  perut , hiperglikemia, hipertrigliseridemia, kadar HDL yang rendah dan hipertensi syarat  analisa   sindroma metabolik pada dewasa yaitu  adanya paling sedikit 3 komponen dari kelima komponen berikut: 
- Tekanan darah ≥130/85 mmHg atau riwayat pengobatan untuk hipertensi
- Gula darah puasa ≥100 mg/dl (5,6 mmol/L) atau riwayat pengobatan untuk hiperglikemia.
- Kadar kolesterol High Density Lipid (HDL) <40 mg/dl atau 1.0 mmol/L pada lakilaki dan <50 mg/dl atau 1.3 mmol/L pada wanita atau riwayat pengobatan untuk untuk HDL-C rendah
- Lingkar pinggang lebih besar dibandingkan  cut off > yang sesuai untuk populasi negara 
masing-masing. Bila belum ada, IDF memakai  batasan >90 cm untuk laki-laki, Asia dan > 80 cm untuk wanita Asia. 
- Hipertrigliseridemia (kadar trigliserida serum ≥150 mg/dl atau ≥1,7 mmol/L) atau 
riwayat pengobatan untuk hipertrigliseridemia
syarat  analisa   sindroma metabolik untuk anak dan remaja  sulit ditentukan. walau  faktor  risiko terjadinya penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus  tipe 2 suatu saat  relatif tetap, namun cut-off yang dipakai  tidak konsisten sebab  masih adanya perubahan kondisi metabolisme akibat pertumbuhan dan perkembangan anak dan remaja.  syarat  analisa   sindroma metabolik pada anak 
dan remaja berdasar  3 golongan  usia, yaitu 6-10 tahun, 10-16 tahun dan lebih dari 16 tahun. Pada ketiga golongan  usia ini , kegemukan  sentral atau kegemukan  perut  yaitu  syarat  kunci. tidak menyarankan mendiagnosa   sindrom metabolik pada anak yang berusia kurang dari 10 tahun, namun bila ditemukan kegemukan  perut  maka dokter perlu dengan tegas menyarankan perlunya kendali berat badan.analisa   sindrom metabolik bisa  dilakukan  pada anak usia 10 tahun atau lebih yang memenuhi syarat  berikut: kegemukan  sentral (perut ) ditambah dengan 2 dari  4 komponen lainnya (peningkatan kadar trigliserida, penurunan kadar kolesterol HDL, hipertensi dan peningkatan kadar glukosa plasma puasa). syarat  analisa   untuk remaja di atas 16 tahun sama dengan syarat  analisa   untuk dewasa. 
Tanpa pengobatan   remaja pengidap  sindrom metabolik   berisiko  mengalamai diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular yang bahkan sudah bisa terjadi sebelum mereka memasuki usia dewasa. kegemukan , intoleransi glukosa, dan 
hipertensi pada masa kanak-kanak yaitu  faktor risiko kematian dini. analisa   diabetes mellitus dibuat berdasar  ada/ tidaknya gejala diabetes 
mellitus dan hasil pengukuran kadar glukosa plasma. gejala klasik diabetes mellitus yaitu : poliuria, polidipsia, nokturia,  penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Tanpa adanya gejala diabetes mellitus, pemeriksaan harus diulang pada hari yang  berbeda.
Salah satu cara membedakan antara diabetes mellitus tipe 2 dan tipe 1 yang  bisa  dipakai  yaitu  pemeriksaan c-peptide sekitar 12-24 bulan sesudah  analisa   sebab    jarang pengidap  diabetes mellitus tipe 1 yang masih memiliki  kadar c-peptide normal pada saat ini .
 skrining glukosuria pada semua remaja  effective untuk mendeteksi diabetes mellitus tipe 2. 
analisa   diabetes mellitus tipe 2 dilakukan  melalui  tahap: melakukan  analisa   DM, menentukan tipe DM. analisa   diabetes mellitus dilakukan  dengan syarat  American Diabetes Association (ADA) (Boks 1). DM tipe 2 tidak selalu 
bisa  dibedakan dengan mudah dari DM tipe lain pada anak dan remaja.  :
- Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) tidak boleh dilakukan bila analisa   sudah  bisa  dilakukan  dengan syarat  glukosa plasma puasa atau saat  sebab  berisiko  memicu  hiperglikemia berat,
- pemeriksaan glukosa plasma saat  yang diambil pada saat stress (trauma, infeksi berat, .) tanpa gejala DM sebelumnya, tidak bisa  menjadi dasar analisa   DM. Pemeriksaan harus dikonfirmasi lagi.
- Adanya ketonemia atau ketonuria yang menyertai hiperglikemia berat menunjukkan 
analisa   DM dan memerlukan  pengobatan  segera. Membedakan diabetes mellitus tipe 2 dan diabetes mellitus tipe 1 Sesuai  nya, proses autoimun yang mendestruksi sel beta pankreas terjadi pada diabetes mellitus tipe 1 dan resistensi insulin terjadi pada diabetes mellitus tipe 2, kedua jenis diabetes mellitus ini  bisa dibedakan dari kadar insulin atau c-peptide-nya. Pada diabetes mellitus tipe 1, kadar insulin/ c-peptide akan rendah atau   rendah, sedang  pada diabetes mellitus tipe 2, kadar insulin/ c-peptide akan 
normal atau meningkat.  , pada diabetes mellitus tipe 1 akan terdeteksi autoantibodi terhadap sel beta pankreas sedang  pada diabetes mellitus tipe 2 tidak. Kedua hal ini  secara teoritis yaitu  pembeda antara diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 
2, namun , membedakan diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 tidak  mudah, sebab :
- kegemukan  dan resistensi insulin yaitu  faktor risiko penyakit autoimun sehingga 12-45% pengidap  diabetes mellitus tipe 2 terdeteksi memiliki  autoantibodi terkait diabetes mellitus tipe 1. kondisi  ini mempercepat pengidap  jatuh ke dalam kondisi  tergantung insulin.
- Seiring dengan makin meningkatnya prevalensi kegemukan  pada anak, bisa  dijumpai pengidap  diabetes mellitus tipe 1 yang kegemukan . pengidap  diabetes mellitus tipe 1 yang  kegemukan  mungkin memiliki  sisa kadar c-peptide yang lebih tinggi.
- pengidap  diabetes mellitus tipe 2 bisa  datang dalam kondisi ketosis atau ketoasidosis 
sehingga mirip  diabetes mellitus tipe 1. Pada kondisi  ini , kadar insulin atau c-peptide pengidap  bisa   rendah akibat adanya glukotoksisitas atau 
memang sudah ada ketergantungan insulin.






  bayi prematur memerlukan  perawatan neonatal intensive care unit (NICU) bisa diselamatkan. Bayi ini  berisiko mengalami  gangguan tumbuh kembang suatu saat  dibandingkan dengan bayi yang lahir  cukup bulan atau bayi sehat, Pada bayi  prematur, risiko gangguan  neurodevelopment, seperti gangguan perkembangan gerak, kognitif dan sikap , meningkat dengan semakin rendahnya usia gestasi. prevalensi palsi serebral paling sering terjadi pada bayi prematur dengan usia gestasi kurang dari 28 minggu, 
. Gangguan neurologis minor, seperti kesulitan belajar, gangguan kognitif, gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas (GPPH), dan gangguan 
perkembangan koordinasi juga  terjadi pada bayi-bayi prematur  riwayat perawatan di NICU.
Program intervensi dini pada bayi   memperbaiki   
 perkembangan.  menunjukan perbaikan luaran jangka panjang pada fungsi kognitif dan fungsi gerak pada masa bayi dan menetap sampai usia pra sekolah, Penilaian perkembangan dilakukan dalam 3 tahap yaitu surveillance, screening dan 
assessment perkembangan. Surveillance perkembangan yaitu   proses pemantauan 
perkembangan yang  fleksibel, longitudinal, berlanjut , dilakukan setiap kali anak datang ke petugas medis, memakai  milestone perkembangan. Screening perkembangan yaitu   penilaian  singkat  memakai  instrumen untuk mengidentifikasi anak yang berisiko  mengalami 
masalah perkembangan , dan apakah anak ini  memerlukan  penilaian perkembangan lebih lanjut. assesment perkembangan yaitu   penilaian perkembangan  pada anak yang dicurigai mengalami gangguan perkembangan  pada tahap skrining. Assessment perkembangan yaitu   penilaian perkembangan  analisa menentukan 
derajat  perkembangan   anak agar bisa  ditentukan apakah anak ini  memerlukan  bantuan Assessment perkembangan hanya bisa dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih, yang bisa  memberi  saran yang diperlukan   bisa  menilai kemajuan program intervensi yang sudah dilakukan . Assessment perkembangan   anak  meliputi seluruh aspek  perkembangan yaitu kognitif, bahasa, gerak,  emosi, sebab perkembangan satu aspek    tergantung dari aspek  lainnya.  contoh, kemampuan   anak untuk menyusun balok   dipengaruhi oleh kemampuan fungsi kognitif,  prinsip  yang harus diperhatikan dalam assessment perkembangan, yaitu
-Instrumen penilaian perkembangan memuat  interaraksi antara  keluarga dan anak. penilaian aspek bahasa, gerak halus dan personal sosial. Klinisi bersama dengan pengasuh bisa  memakai  alat untuk memperoleh  pemahaman mengenai : 
rentang perhatian, keikutsertaan  dengan pasien  dan objek, kemampuan  memulai interaksi dan permainan, keikutsertaan  dalam interaksi 
dan sikap  yang terarah, keterampilan memecahkan masalah, temperamen, rasa ingin tahu, dan kemampuan untuk mengatasi frustrasi dan emosi. Hasil assesment perkembangan biasanya berwujud  skor. Klinisi harus bisa mengintepretasikan hasil skor  ini kepada keluarga dan mencegah konsekwensi negatif contoh  stigmatisasi anak 
dengan skor suboptimal.
-Assessment perkembangan anak harus dikaitkan  dengan intervensi yang akan dilakukan. Klinisi harus mengidentifikasi kegiatan  apa saja yang sudah   lakukan. Klinisi bersama  keluarga  mengidentifikasi intervensi  apa yang akan dilakukan 
- Assessment perkembangan harus berdasar  prinsip family-centered care. Keluarga harus dilibatkan dalam seluruh proses assessment. Keluarga memberi informasi mengenai kemampuan fungsional dan kekuatan anak, Kelainan anak  kebutuhan anak  kekuatiran, Dalam proses assessment perkembangan, klinisi  tahu bahwa dia belajar bersama dengan keluarga, mengetahui kekuatan anak, keluarga dan komunitas,  mengetahui perannya dalam membantu anak dan keluarga mengenali dan memakai  kekuatan ini dalam mendukung proses 
assessment. 
-Assessment perkembangan mengikutsertakan  semua aspek perkembangan anak. menilai kesehatan fisik, pertumbuhan, penglihatan, pendengaran   menunjukkan etiologi gangguan perkembangan. apa yang sudah dilakukan oleh keluarga, pemahaman orangtua  terhadap perkembangan anak, 
- Identifikasi dukungan sosial dari pengasuh dan keluarga   penting dalam proses penilaian perkembangan untuk menentukan apakah keluarga bisa  mendorong perkembangan anak.
-Kesehatan fisik dan mental pengasuh harus diidentifikasi dalam proses penilaian 
perkembangan
-Klinisi harus menganamnesis secara lengkap riwayat perkembangan anak, faktor risiko dan protektif pada anak dan keluarga.
-pengawasan  mengenai interaksi antara pengasuh dengan anak saat bermain 
-Informasi mengenai pengasuhan dan stimulasi yang dilakukan   diperlukan dalam penilaian perkembangan anak. Penilaian di lingkungan rumah bisa memberi gambaran yang lebih reliable dan valid mengenai perkembangan anak. 
-. Test of Infant Motor Performance (TIMP)
TIMP yaitu  instrumen untuk menilai perkembangan neurobehavioral pada bayi mulai usia gestasi 32 minggu sampai 4 bulan usia koreksi. Penilaian TIMP dilakukan dengan melakukan pengawasan  pada bayi yang meliputi 
orientasi kepala, tanggapan  terhadap stimulasi suara dan visual, gerak kaki dan posisi tubuh.  Pemeriksaan TIMP memerlukan  waktu 40 menit.  TMIP yaitu  metode assessment neurobehavioral yang memiliki  validitas dan relaibilitas yang baik, bisa dilakukan di setting klinik, pemeriksa tidak memerlukan  training khusus, cukup dengan mempelajari melalui VCD. Pemeriksaan disarankan  dilakukan oleh klinisi yang terbiasa merawat bayi.
- Bayley Scales of Infant and Toddler Development (BSID) yaitu  instrument assessment perkembangan bayi yang paling banyak 
dipakai  menilai aspek perkembangan bahasa, kognitif, sosial-emosi, gerak dan sikap  adaptif (laporan pengasuh). BSID bisa dikerjakan pada bayi usia 2-42 bulan, namun  BSID lebih akurat dan reliable bila dikerjakan pada bayi diatas usia 6 bulan,  BSID sudah  tervalidasi dan memiliki  korelasi kuat terhadap pencapaian kemampuan akademik suatu saat . Pemeriksaan BSID harus dilakukan oleh klinisi yang terlatih,  memerlukan  waktu pemeriksaan sekitar 1 jam, 
-. General Movements: 
Penilaian general movements (GMs) berdasar  pengawasan  pola gerakan spontan dari rekaman video, yang terdiri dari 2 periode yaitu writhing movement yang muncul sampai usia koreksi 6- 9 minggu dan berubah menjadi fidgety movements
yang muncul sampai usia koreksi 15 sd 20 minggu.  menilai predictive validity beberapa instruments neurobehavioral assessment pada bayi prematur yang dilakukan sebelum usia aterm 
menyimpulkan GMs bisa  memprediksi luaran neurodevelopment jangka panjang, GMs bisa  memprediksi kejadian cerebral palsy (CP) pada bayi prematur dengan NPV dan PPV sampai 100%
ketidaknormalan  GMs pada bayi prematur  
bisa memprediksi terjadinya gangguan fungsi kognitif sampai setidaknya usia 10 tahun.  anak yang lahir prematur dengan GMs tidaknormal  sampai usia koreksi 8 minggu memiliki  IQ 
yang lebih rendah dibandingkan dengan anak dengan GM normal, GMs pada usia koreksi 3 sd 5 bulan memprediksi IQ pada usia 7 sd 10 tahun dan anak prematur dengan GM normal pada bulan pertama usia koreksi bisa  memprediksi IQ yang 
normal paling tidak sampai usia 10 tahun 10. Keterbatasan pemeriksaan GMs   diperlukan  waktu dan ahli yang sudah terbiasa melakukan pemeriksaan ini
-. Hammersmith Infant Neurological Examination (HINE) metode assessment    mirip   pemeriksaan neuologi Dubowitz. Pemeriksaan HINE bisa  dilakukan pada bayi usia 2-24 bulan.  HINE menilai beberapa aspek neurologi yaitu fungsi saraf kranial, postur, gerakan, tonus,  reflek, diskripsi perkembangan gerak,  diskripsi sikap  bayi selama pemeriksaan. Hasil pemeriksaan HINE berwujud  nilai skor Nilai skor global lebih rendah pada bayi yang lebih muda sebab  rendahnya nilai skor yang berkaitan  dengan trunk control pada usia yang lebih muda, Hasil  HINE bisa mengidentifikasi bayi-bayi yang memerlukan  intervensi. Pemeriksaan HINE sederhana, mudah dan bisa  dikerjakan oleh semua klinis, memerlukan  waktu 5 sd 10 menit dan memiliki  Inter observer reliability yang baik, HINE bisa  diimplementasikan dengan melakukan pelatihan 



Penyakit jantung bawaan (PJB) yaitu  kelainan kongenital pada bayi dan anak  sepertiga dari seluruh kelainan  kongenital. Angka kejadian PJB yaitu  satu setiap 1.000 kelahiran hidup. Rumah sakit memadai untuk melakukan operasi  intervensi jantung  200 pasien setiap tahun di negara kita  Sebelum kardiologi intervensi berkembang, operasi   satu-satunya pilihan untuk menangani PJB. Selama ini operasi yaitu  pengobatan  PJB yang 
 efektif. Hanya saja pelaksanaan  operasi termasuk invasif sebab  pasien harus memakai  mesin jantung-paru untuk mengambil alih fungsi jantung selama operasi. sesudah bedah pasien harus dirawat di ruang rawat ICU sesudah bedah jantung. Kardiologi intervensi sama efektifnya dengan pelaksanaan  operasi, namun intervensi relatif kurang invasif, sebab  tidak memerlukan by-pass dan pasien tidak memerlukan perawatan ICU. Dengan adanya keterbatasan fasilitas bedah jantung dan kelangkaan ICU sesudah -bedah 
jantung di negara kita, pengembangan kardiologi intervensi yaitu  salah satu jalan keluar untuk meningkatkan  layanan PJB. PJB digolongkan menjadi 2 golongan  yaitu PJB non-sianotik dan 
PJB sianotik. Secara  , non-sianotik dan sianotik ditentukan oleh arah pirau. Pada PJB non-sianotik, arah pirau dari kiri ke kanan sehingga darah yang dipompakan ke aorta tetap mengandung saturasi oksigen yang tinggi. Pada PJB sianotik, arah pirau dari kanan ke kiri sehingga darah yang dipompakan ke aorta mengandung saturasi oksigen yang rendah. PJB sianotik   lebih kompleks Dibandingkan  PJB non-sianotik, PJB non-sianotik berdasar  aliran darah ke paru dibagi lagi menjadi 2 golongan  yaitu golongan  yang aliran darah ke paru normal dan golongan  yang aliran darah ke paru meningkat. golongan  yang aliran darah ke paru normal yaitu golongan  PJB yang ditandai 
dengan adanya sumbatan jalan keluar ventrikel kiri atau kanan seperti stenosis pulmoner, stenosis aorta atau koarktasio aorta. Pada golongan  ini walau  ada penyempitan, darah yang dipompakan ke paru tetap normal sebab  tidak ada jalan keluar alternatif darah dari ventrikel kanan. Pada golongan  ini bising biasanya  sudah terdengar sejak lahir. 
golongan  kedua dengan aliran darah ke paru meningkat, dipicu  sebab  adanya defek atau pirau kiri ke kanan seperti defek septum ventrikel, defek septum atrium atau duktus arteriosus persisten. golongan  PJB nonsianotik dengan lesi pirau ini, biasanya  saat lahir belum terdengar bising yang jelas sebab  tahanan paru masih tinggi. Bising baru 
jelas terdengar usia 2-3 bulan saat tahanan paru sudah turun. Sebagian dari golongan  PJB 
non-sianotik saat ini bisa  diobati   dengan kardiologi intervensi.Pada PJB sianotik berdasar  aliran darah ke paru, golongan  ini dibagi lagi ke 
dalam 3 golongan  yaitu PJB sianotik dengan aliran darah ke paru normal seperti pada  transposisi arteri besar tanpa defek septum ventrikel, golongan  dengan aliran darah ke paru meningkat seperti pada trunkus arteriosus dan golongan  dengan aliran darah ke paru berkurang seperti pada atresia pulmoner. Kegawatan pada PJB sianotik dengan 
aliran darah paru normal atau menurun yaitu  serangan sianotik. biasanya  sianosis pada golongan  ini sudah tampak sejak lahir. Pada golongan  PJB sianotik dengan aliran darah ke paru meningkat, biasanya datang dengan tanda atau gejala gagal jantung, justru sianosis tidak begitu nyata. Dalam pengobatan  PJB, analisa   dini berperan analisa   harus dilakukan  sedini mungkin agar pengobatan  tepat bisa dikerjakan. Jika pasien tergolong PJB kritis, ia perlu intervensi segera. Jika bukan termasuk PJB kritis, tata laksana lalu  tergantung keluhan, pengobatan  PJB meliputi pemberian obat-obatan, terapi bedah dan terapi intervensi  non-bedah. Pengobatan medikamentosa   berwujud  pengobatan awal seperti pemberian prostaglandin atau pengobatan komplikasi PJB seperti gagal jantung,  serangan 
sianotik. Terapi bedah atau intervensi non-bedah bersifat paliatif,  sedang , bersifat definitif,  korektif,  Pilihan terapi pada penyakit jantung bawaan
Pertimbangan untuk menentukan   anak untuk dilakukan operasi atau intervensi  yaitu  pertimbangan efektivitas dan invasivitas suatu prosedur. Terapi medikamentosa jelas hanya terapi sedang  bukan untuk menangani kelainan anatomis kecuali pemberian obat untuk menutup duktus arteriosus pada neonatus. Operasi  efektif 
mengoreksi kelainan pada PJB. Namun operasi   invasif, pasien memerlukan by-pass dan perawatan ICU sesudah -bedah. Intervensi non-bedah relatif kurang invasif dibandingkan operasi. pelaksanaan  kardiologi intervensi tidak memerlukan by-pass, juga tidak memerlukan ICU sesudah -pelaksanaan  dan secara kosmetik lebih baik sebab  tidak ada jaringan parut bekas operasi di dada pasien. Dari segi risiko, pelaksanaan  kardiologi intervensi relatif lebih kecil dibandingkan dengan bedah.2
Dari segi biaya pada awal pelaksanaan  intervensi baru mulai, peralatan seperi alat penutup dan kateter yang diperlukan masih   mahal sehingga dari segi biaya kardiologi intervensi relatif lebih mahal dibandingkan prosedur operasi. Namun dengan  banyaknya   intervensi yang ditangani, harga peralatan ini  sudah mulai turun sehingga saat ini harga yang diperlukan untuk kardiologi intervensi menjadi lebih murah dibandingkan dengan bedah sebab  lama rawat rata-rata sesudah -intervensi ratarata 3 hari.  semua pasien PJB sudah mulai memperoleh   biaya pemeriksaan sampai pengobatan sehingga mereka sudah bisa  ditangani secara merata.Kardiologi intervensi di negara kita  dimulai pada tahun 1996 berwujud  penutupan DAP  transkateter memakai  koil,  diikuti 
dengan pelaksanaan  septostomi atrium dan valvuloplasti balon pada SP pada tahun 1997.kardiologi intervensi pada tahun  1998 berwujud  septostomi balon pada pasien TAB dengan septum ventrikel intak tahun 1998.
 lalu  pada tahun 2002 mulai dilakukan  penutupan DAP dan DSA memakai  Amplatzer™ duct occluder. 




Henoch-Schönlein purpura (HSP) yaitu  kelainan vaskulitis akut pada pembuluh darah kecil yang  ditemukan pada anak,   memicu  beragam  gejala pada beberapa organ. Etiologi HSP sampai saat ini 
masih belum jelas. gejala sifat  HSP ada    purpura tanpa ditambah  trombositopenia, arteritis, gangguan gastrointestinal,  nefritis,  keikutsertaan  ginjal pada HSP dinamakan  Henoch-Schönlein purpura nephritis (HSPN), 90% masalah  HSP terjadi pada anak usia kurang dari 10 tahun, rata-rata  kejadian HSP pada usia 6 tahun, dengan angka kejadian beragam . HSP lebih banyak 
pada anak lelaki Dibandingkan  wanita . 
45% anak HSP mengalami gangguan ginjal, dengan 
gejala hematuria mikroskopik_  30% ada    kelainan pada pemeriksaan urinalisis, 70% hematuria mikroskopik dengan atau tanpa proteinuria, dan 20% dengan gejala nefritik dan atau sindrom nefrotik.Prognosis anak HSP biasanya  baik dan yaitu  self limiting disease. namun  morbiditas dan mortalitas anak HSP tergantung beratnya komplikasi  pada ginjal. pengidap  HSPN memiliki  kesamaan dengan IgA nephropathy oleh sebab  
memiliki  kesamaan gambaran histopatologi, 
gejala HSP  yaitu adanya rash purpura, arteritis,  gangguan pada ginjal.  ada hubungan antara rash purpura, nyeri perut  ditambah  berak darah dan terjadinya proteinuria. 4 gejala utama HSP yaitu rash purpura, nyeri sendi, gangguan perut   gangguan pada ginjal, yaitu  gejala yang mengawali anak dengan HSP. Rash purpura yaitu  gejala yang harus ada,  Gangguan ginjal jarang ditemukan sebagai gejala awal anak HSP.  faktor risiko gangguan ginjal ditemukan pada anak usia lebih besar 8 tahun, ditambah  gejala nyeri perut  dan vaskulitis berulang. 50% ditemukan pada anak 
laki laki dan 24% gangguan pada ginjal ditemukan dalam kurun waktu 1 bulan dengan  gejala hematuria atau  proteinuria ringan. Gejala lain pada anak HSPN 3% dengan  proteinuria >1gram/L, 2% dengan sindrom nefrotik, 3% dengan hipertensi dan gangguan  fungsi ginjal ditemukan pada 2% anak dengan HSPN. gangguan ginjal pada anak HSP dengan jumlah yang berbeda yaitu berkisar 20-50%. Gangguan ginjal pada anak HSP 
memiliki  persentase dengan interval lebar sebab  tidak riset memakai  definisi yang sama baik sindrom nefrotik atau  nefritik.Gangguan ginjal pada anak HSP akut, 75% terjadi sesudah  4 minggu dari gejala awal HSPN, 80% terjadi sesudah  8 minggu, dan 90% terjadi sesudah  6 bulan, sehingga perlu  dilakukan pengawasan  jangka panjang. Anak HSP dengan gejala nefritik sering terjadi pada anak usia lebih besar.
penggolongan  Henoch-Schönlein Purpura Nefritis
ditentukan dengan pemeriksaan biopsi ginjal. Biopsi ginjal yaitu  standart  untuk menentukan beratnya HSPN dan prognosis. ada    korelasi antara penggolongan  HSPN dengan luaran.
 penggolongan  HSPN menurut International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) masih banyak dianut. Menurut ISKDC ada   kelas yang dibuat berdasar adanya glomerulus yang mengalami crescents ( persen). Pada tahap  akut ada    lesi pada glomerulus ditambah  peningkatan lekosit dan hiperseluler endokapiler. Terbentuknya crescents ditandai adanya nikrosis pada glomerulus. Gambaran histologi pada HSPN ini juga ditemukan pada anak IgA nephropathy. Pada 
anak HSPN, gambaran proliferasi endokapiler dan adanya infiltrasi sel radang poly-nuclear neutrophil dan bentukan crescents lebih sering ditemukan. Gangguan pada tubulus dan tubulus interstisial ditandai adanya edema, infiltrasi limfosit, makrofag dan sel plasma, menggambarkan keparahan glomerulus, penggolongan  ISKDC ini menurut para ahli kurang peka  untuk menentukan luaran dan pro7gnosis HSPN oleh sebab  penggolongan  ini hanya berdasar  proliferasi mesangial  dan jumlah glomerulus yang mengalami crescents (dalam persen). penggolongan  ISKDC tidak  mengevaluasi kondisi  tubulus, interstisial tubulus dan vaskularisasi. Koskela melakukan semiquantitative classification (SQC) dengan menambahkan evaluasi pada tubulus, tubuleinterstitial, perubahan kapiler dan  penjelasan kondisi  aktif atau kronik.
Nilai kondisi  kronis dan total skor biopsi   penting menentukan luaran. Skor SQC ≤10 memiliki  prognosis baik, sedang skor SQC ≥11 memiliki  luaran kurang baik dan beresiko terjadi gangguan ginjal lebih berat. namun  skor SQC juga 
harus memikirkan  terapi yang sudah  diberikan, sebab  bisa  mempengaruhi hasil  SQC. 
Gangguan ginjal pada anak HSP sering ditemukan sesudah  gejala awal HSP. Namun    HSPN masih belum jelas diketahui. HSP terjadi pada anak sesudah  memperoleh   infeksi saluran napas, infeksi virus dan bakteri patogen. Pada pemeriksaan ditemukan peningkatan kadar IgA, IgA immune complexes dan IgA rheumatoid faktor .   HSP diduga akibat peran immune-complexes
yang ditandai adanya polymeric IgA1 (pIgA1), yaitu  immune-complexes terutama  ada    di kulit, gastrointestinal dan kapiler glomerulus. Kesamaan anak HSPN dan  IgA nephropathy ada    timbunan IgA1 dan komplemen C3 pada mesangial. Demikian 
pula ada    kesamaan gambaran immunohistologi ginjal anak HSPN dengan dermatitis herpetiformis, sirosis hati, celiac disease dan penyakit kronik inflamasi pada paru.Peningkatan kadar serum IgA ditemukan sekitar 40% pada anak dengan HSP. 
namun  peningkatan kadar IgA bukan yaitu  petanda peka  anak HSP, sebab  peningkatan IgA juga ditemukan pada penyakit lain contoh  multiple myelomadan  tidak ada perbedaan menonjol  kadar serum IgA pada anak HSP dengan atau tanpa 
gangguan pada ginjal.tidaknormal  glikosilasi struktur IgA pada anak dengan HSPN,   HSPN dan IgA nephropathy (IgAN) diduga akibat glikosilasi tidaknormal  pada  IgA1. Normal, IgA terdiri dari dua subklas yaitu IgA1 dan IgA2. Kedua subklas ini 
dibedakan ada atau tidak adanya 13-amino-acid. Pada IgA1 ada    O-linked glycosylation 
dalam jumlah banyak dan berperan sebagai faktor patogen. Rantai IgA2 terutama polymeric, berperan pada kelenjar sel epitel, sehingga mampu melakukan sekresi. Pada kondisi  normal N-acetylgalactosamine (GalNAc) sebagai rantai IgA1, bisa  atau tidak mengalami sialisasi. Rantai IgA1 banyak mengandung GalNAc disaccharide. Pada HSPN, banyak ditemukan timbunan IgA1 polymeric ditambah  adanya J protein, sehingga tidak mampu  sekresi. kondisi  ini juga ditemukan pada anak dengan IgA nephropathy.
Peran IgA immune complexes dalam sirkulasi pada anak HSPN, Pada HSP diduga terjadi gangguan sistem imun yang ditandai peningkatan kadar IgA1, 
IgA1-containing circulating immune complexes, circulating IgA-antineutrophil cytoplasmic 
antibodies (ANCA) dan IgA-rheumatoid faktor s. pada  HSPN ada    IgA1-containing circulating immune complexes mengandung molekul 
besar selain molekul kecil.  pemeriksaan memakai  GalNAcspecific lectin ditemukan galactose-deficient IgA1 (Gd-IgA1) lebih banyak pada anak HSPN dibanding dengan anak C1q nephropathy. Sedang kadar GdIgA1 anak HSP tanpa nefritis 
tidak berbeda dengan  checkup  anak normal, Timbunan IgA 1 pada mesangial jaringan diduga sebab  peningkatan IgA-immune complexes dan 
menurunnya proses pembuangan atau pembersihan IgA1-immune complexes. Produksi 
IgA1polymeric diduga akibat antigen bakteri, virus atau  jamur. terjadi reaksi berlebihan pada sel B dan sel T terhadap rangsangan antigen,  sehingga terjadi IgA1polymeric atau  Gd-IgA1 pada mukosa dan sel pada tonsil. GdIgA1 diduga berperan penting pada   HSPN. Kerusakan ginjal pada HSPN diduga sebab  peran sel mesangial dan aktivasi komplemen. Timbunan Gd-IgA1 immune complexes di mesangial memicu   reaksi. Aktivasi sel mesangial terjadi akibat timbunan Gd-IgA1 immune complexes, lalu  terjadi kemokin proinflamasi  profibrogenik, proliferasi sel makrofag, limfosit, produksi sitokin, Reaksi ini   penting sebab  bisa  merusak ginjal,  sehingga terjadinya fibrosis ginjal.   bahwa akumulasi fibroblas pada ginjal yaitu  petanda prognosis kurang baik.Timbunan Gd-IgA1 immune complexes di area  mesangial juga akan mengaktivasi komplemen. Aktivasi komplemen diduga ikut berperan pada   HSPN. Aktivasi 
komplemen pada HSPN diduga melalui alternative dan lectin pathway sebab  pada biopsi kulit dan ginjal ditemukan timbunan komplemen C3 tanpa ditemukan komplemen C4  atau  C1q. Hisano dkk memperoleh , aktivasi komplemen melalui lectin pathwaymemicu  kerusakan glomerulus hebat dan memicu  urin tidaknormal  dalam waktu 
lama. Selain aktivasi sel mesangial dan komplemen, gangguan sel endotel ikut berperan merusak ginjal. memperoleh  kerusakan endotel pembuluh darah ditambah  peningkatan kadar serum IgA antiendothelial cells antibody dan serum thrombomodulin, sehingga peningkatan kadar serum IgA antiendothelial cells antibody dan serum 
thrombomodulin bisa  dipakai sebagai petanda kerusakan ginjal. Gangguan fungsi  endotel sebab  stress oksidatif, gangguan asetylcholine atau hiperemia, akan merangsang nitrit oxide dan memicu  vasodilatasi. faktor lain diduga berperan pada   HSPN yaitu  Peningkatan IgE, aktivasi eosinophil, alpha-smooth muscle actin (α-SMA), c-Met,  receptor hepatocyte growth faktor, nephritisassociated plasmin receptor (NAPlr), 
namun  faktor di atas masih memerlukan penelitian lebih lanjut.analisa   HSPN dibuat berdasar  gejala klinis, pemeriksaan penunjang dan biopsi 
ginjal. gejala HSP pertama kali dinyatakan oleh Schönlein (1837). analisa   HSP dibuat berdasar 3 gejala yaitu rash purpura, arteritis dan sedimen urin tidaknormal . lalu   ada hubungan antara rash purpura, nyeri perut dengan berak darah dan proteinuria.  gejala yaitu:
 Palpable purpura yaitu  gejala mutlak yang harus ada pada anak dengan HSP
- Palpable purpura sifat  ada    pada bagian ekstensor ekstrimitas bawah dan bokong.
- Palpable purpura bisa ditemukan pada tangan, wajah, muka dan telinga.Palpable purpura (mandatory) pada HSP ditambah satu dari empat gejala di bawah:. Nyeri perut yang menjalar. Akut arteritis atau atralgiaBiasanya atralgia pada sendi besar dari ektrimitas bawah,  Gangguan pada ginjal yaitu hematuria dengan atau proteinuria. Biopsi ginjal tampak timbunan IgA
Gejala lain yang menyertai antara lain
. Gejala gastrointestinal: muntah, perdarahan saluran cerna, intussusepsi, bowel 
ischemia. Neurologi: headache non khusus , ensefalopati, kejangPulmonary (jarang dan berat): Alveolar hemorrhage difuse, Genitourinary: Orchitis
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan yaitu urinalisis, pemeriksaan darah, pemeriksaan ultrasografi perut  dan pemeriksaan penunjang lain.
--Ultrasonografi perut 
Mengevaluasi apakah ada intususepsi pada masalah  dengan nyeri perut  berat, 
berak darah
--Pemeriksaan lain yang diperlukan
Pemeriksaan darah:- Komplemen C3, C4, 
- Anti-nuclear antibodies, anti couble stranded DNA antibodies- Kadar anti streptolisin O (ASTO) dan atau kadar anti-DNAase B dan atau 
streptozym test- Anti-neutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)Biopsi kulit pada area  yang mengalami purpura untuk melihat adanya 
timbunan IgA
--. Urinalisis
- Pemeriksaan urin secara mikroskopis untuk melihat sedimen urin, ada tidaknya 
eritrosit, casts- Pemeriksaan morfologi sel eritrosit untuk menentukan apakah eritrosi berasal 
dari glomerulus atau non glomerulus
- Rasio protein/kreatinin atau pemeriksaan ekskresi protein per 24 jam
--Pemeriksaan darah
- Darah lengkap- Laju endap darah
- Ureum, kreatinin, sodium, potasium, klorida, bikarbonat- Kalsium, fosfat, alkali fosfatase
- Asam urat- Fungsi liver, total protein, albumin, alanine amino-transaminase (ALT), 
aspartate aminotransferase (AST), bilirubin
- Serum IgA
 Biopsi ginjal
1. Indikasi
- Untuk memastikan analisa   HSPN dengan ditemukan timbunan IgA1 pada mesangial- Bila diperlukan, sebelum mengawali terapi dengan immunosupresan pada kondisi  berikut:
- Proteinuria menetap ≥1g/hari/1,73 m2
- Penyakit ginjal kronis dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG)- Gejala nefritik dan atau nefrotik- Penurunan LFG secara akut dan progresif, untuk membedakan tubular nikrosis akut dan crescents pada glomerulus
2. Menentukan penggolongan  HSPN berdasar ISKDCpengobatan   Terapi HSPN dilakukan dengan memikirkan  patofisiologi terjadinya HSP. Target 
terapi HSPN meliputi:
-Mencegah proliferasi mesangial, glomerulosklerosis dan proteinuria Anak HSPN, bisa  progres menjadi lebih berat, sebab  timbunan IgA1 pada mesangial, merangsang proliferasi sel mesangial, timbunan matrik ekstra sel dan 
terjadi glomerulosklerosis. Proteinuria terjadi akibat gangguan dan  penurunan jumlah podosit sebab  kemokin merangsang proliferasi sel mesangial pada podosit. Untuk mencegah mekanisme diatas dipakai  angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI). Kortikosteroid dipakai  untuk menghambat proliferasi sel mesangial 
dan progresivitas HSPN. pemakaian  cyclosporine A pada HSPN resisten terhadap kortikosteroid belum terbukti keberhasilannya dan bersifat nefrotoksik.
- Mencegah terbentuknya crescents glomerulus
Terjadinya crescents glomerulus yaitu  petanda kurang baik, sebab  crescents memicu  kerusakan ginjal menetap, sehingga pengidap  HSPN akan menjadi gagal ginjal terminal (GGT). usaha  mencegah terbentuknya crescents glomerulus 
perlu terapi agresif dengan melakukan plasmapheresis.   pemberian methyl 
prednisolone (MPNS) dosis tinggi secara pulse terbukti memiliki  luaran yang baik pada HSPN dibanding pemberian steroid secara oral saja.
penerapan  klinis terapi HSPN, 
-Mencegah penetrasi antigen pada tingkat mukosaInfeksi saluran nafas atas (ISPA) sering mendahului anak HSP. Infeksi bakteri kronis 
diduga sebagai pemicu  HSPN, sehingga pelaksanaan  tonsilektomi diharapkan bisa  
mencegah penetrasi antigen bakteri pada ISPA, namun bukti klinis masih belum jelas.
-Menekan produksi IgA1
Terapi imunosupresif dengan steroid, cyclophosphamide, azathioprine dan calcineurin
inhibitor pada HSPN terutama untuk mencegah penyakit ginjal kronis (PGK). Namun  belum ada penelitian yang membuktikan peran imunosupresif diatas dengan penurunan IgA1, GalNac-IgA1, plgA1. Terapi rituximab (RTX) pada HSP dengan gejala neurologi dan gastrointestinal yang resisten terhadap kortikosteroid dan cyclophosphamide
memiliki  tanggapan  terapi baik, tanpa ditambah  efek samping yang serius.
-Mencegah pembentukan fibrin
Fibrin pada HSPN diduga berperan terjadinya crescents pada glomerulus. Untuk mencegah terjadinya fibrin, peneliti memakai  warfarin, dipyridamole dan asam asetil salisilat disamping terapi imunosupresan. namun  belum ada 
bukti sahih luaran pemakaian  obat mencegah fibrin, sebab  pengobatan HSPN memakai  beberapa macam obat. pemakaian  obat mencegah fibrin dikhawatirkan memperberat perdarahan sebagai komplikasi HSPN, sehingga pemakaian  obat ini  tidak banyak dipakai .
-pembasmian  IgA1 dan IgA1komplek Pembersihan IgA1 dan IgA1 komplek dilakukan dengan plasma exchange (PE).  pengidap  HSP dengan gejala ekstra renal berat memberi tanggapan  baik.  pengidap  HSPN dengan gangguan ginjal akut (GgGA), proteinuria masif dengan atau sindrom nefrotik dan gambaran histopatologi setara dengan grade 3 atau grade
-pengawasan  selama 4-10 tahun, diperoleh hasil cukup baik. 13 dari 14 pasien, dan  6 dari 9 pasien LFG normal kembali.
-Menekan aktivasi komplemen
Aktivasi komplemen terbukti sebagai pemicu reaksi inflamasi, contoh  aktivasi C5a dan C5b9 berperan merusak membran. pemakaian  eculizumab terbukti bisa  mencegah terjadinya episode paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, demikian juga diduga berperan pada penyakit ginjal lain.Prognosis HSP biasanya  baik dan   penyakit self limiting, namun  komplikasi pada ginjal yaitu  pemicu   morbiditas dan mortalitas anak 
dengan HSP. Prognosis jangka panjang anak dengan HSP tergantung beratnya gangguan 
pada ginjal. 25% HSPN klas 2 (tanpa bentukan crescents pada glomerulus) dengan proteinuria menetap memiliki  resiko menjadi PGK.
Komplikasi HSP pada organ lain contoh  paru, saluran cerna, otak,  testis  kadang   berat. Sekitar 40% anak HSP akan mengalami rash dan HSP berulang.  anak HSP, gejala nefritik  ditemukan pada anak usia lebih besar. 34% anak HSP dengan gejala nefritik atau nefrotik  saat awal gejala HSP, akan mengalami gangguan fungsi ginjal /hipertensi, anak dengan gejala hematuria dengan atau tanpa proteinuria pada awal gejala HSP, 80% dengan urinalisis normal dan  tanpa ditambah  hipertensi / gangguan fungsi ginjal. Proteinuria  pada 1 tahun pertama   petanda prognosis jelek, 
Terapi HSPN menurut KDIGO3
- HSPN crescents dengan sindrom nefrotik dan atau penurunan fungsi ginjal, terapi dengan kortikosteroid pulses 6 bulan dan cyclophosphamide.
- Terapi kortikosteroid tidak bisa  dipakai untuk mencegah komplikasi pada ginjal anak HSP.
Terapi anak HSPN harus memikirkan  berat ringannya penyakit.
- HSPN dengan proteinuria persisten >0,5-1 gram/hari/1.73m2 terapi dengan ACE-I atau ARB
- HSPN proteinuria >1 gram/hari/1.73m2
 terapi dengan kortikosteroid pulses 6 bulan
I. pengidap  HSPN dengan kondisi berat
1. Terapi imunosupresan, indikasi:
HSPN dengan gejala sindrom nefrotik-nefritik 
- Penurunan fungsi ginjal akut bukan sebab  tubular nekrosis akut
- ada    bentukan crescents pada glomerulus
2. Imunosupresan memakai  protokol multi-target 
a. Kortikosteroid
- Prednisolone oral diturunkan bertahap selama 6-12 bulan, bisa diberikan secara alternate atau selang sehari bila proteinuria <1 gram/hari/1.73m2
- Sebagai terapi alternatif prednisolone bisa  diberikan 1-2 mg/kg berat badan /hari selama 3 bulan sebagai terapi awal
- Methyl prednisolon (MP) intravena / pulses diberikan setiap bulan dosis 10-30 mg/kg/dosis (maksimum 1 gram) selama tiga hari berturut turut ,
selama 6 siklus.
- Metylprednisolon pulses dihentikan bila
- Proteinuria membaik <0,3 gram/hari/1.73m2
- Fungsi ginjal membaik
- Prednisolone oral meneliti  MP pulses dengan dosis 0,5-1mg/kg/berat badan  dengan maksimum dosis 30 mg/hari. lalu  prednisolone diturunkan 5mg/hari tiap bulan meneliti  MP pulses
b. Mycophenolate mofetil (MPA)
- Bila komplikasi gastrointestinal menetap, MPA bisa  diganti dengan Myfortic
- MPA diberikan bersamaan dengan terapi kortikosteroid
- Efek samping  yaitu diare, perdarahan gastrointestinal,  neutropenia, gastritis, ulkus peptikum, kolik perut , 
- Ranitidin diberikan dengan dosis 3 mg/kg berat badan /malam hari untuk mencegah komplikasi. Terapi lain omeprazole 0,4-08 mg/kg berat badan /hari malam hari
- Dosis MPA 600mg/m2/dosis tiap 12 jam (15-23mg/kg/dosis) maksimum 1 gram tiap 12 jam
- pemantau  darah tepi tiap bulan. Bila neutrophil <1.5x109 MPA dihentikan
- Bila memungkinkan diperiksa kadar MPA dengan target 2-4mg/L
c. Terapi proteinuria
- ACEI dan angiotensin receptor blocker (ARB)
- Calcineurin inhibitor yaitu cyclosporine A atau tacrolimus
3. Protokol cyclophophamide dosis tinggi
- Terapi MP pulses dosis 10 mg/kg berat badan /hari (maksimum 1 gram per hari) selama 
3 hari berturut turut 
- Prednisolone oral diberikan meneliti  terapi MP pulses, dosis 0,5-1 mg/kg berat badan /
hari. Prednisolone diturunkan bertahap tiap bulan sampai dosis minimal untuk  mengendalikan  HSPNCyclophosphamide intravena 500-1000 mg/m2
/bulan selama enam siklus. 
lalu  diberi terapi azathioprine atau MPA
II. pengidap  HSPN dengan gejala ringan sampai sedang
1. ACEI dengan atau ARBACEI
- Ramipril 0,05 mg/kg berat badan /hari,  maksimum 0,2 mg/kg berat badan /hari, 
- Lisinopril 0,1 mg/kg berat badan /hari, 
- Enalapril 0,08 mg/kg berat badan /hari diberikan tiap 12-24 jam maksimum 1 mg/kg berat badan /hari, 
ARB
- Losartan 0,5-0,7 mg/kg berat badan /hari maksimum 1,4mg/kg berat badan /hari
- Valsartan 0,8-3,0 mg/kg berat badan /hari
Efeksamping: 
 Peningkatan serum kreatinin, Hiperkalemia
pemantau  serum kalium dan serum kreatinin tiga hari sesudah  pemberian ACEI / ARB sesudah  pemberian 3 - 6 bulan
2. Imunosupresan
Pemberian imunosupresan pada HSPN ringan / sedang bila ada    gejala seperti :
- Nyeri perut  hebat, rash berulang dan  gross hematuria, 
- Kortikosteroid dengan atau tanpa MPA selama    sebulan, 
- Proteinuria ≥1 gram/hari/1.73m2,
- Sindrom nefrotik, 
- Proteinuria menetap 0,5 - <1 gram/hari/1.73m2 meski  sudah  diberi terapi pendukung  selama    sebulan, 
Oral prednisolone 1-2 mg/kg berat badan /hari dengan dosis terbagi selama 2 minggu, 
lalu  dosis bisa  diberikan sekali sehari. Dosis prednisolone diturunkan 5mg tiap 2 minggu tergantung perbaikan urinalisis. Prednisolone   diberikan secara alternate bila proteinuria menurun sampai 0,3mg/kg berat badan /1.73m2
3. MPA   diberikan sebagai obat pendamping prednisolone
III. pengidap  HSP dengan gejala sistemik tanpa nefritik Kortikosteroid tidak diberikan bila tidak ada komplikasi pada ginjal. Pemberian  kortikosteroid   pada kondisi  jika:- Nyeri sendi hebat, - Arteritis berulang,  - Purpura berulang, - Nyeri perut  hebat. Steroid diberikan secara intravena. Bila gejala kolik perut  membaik, kortikosteroid intravena diganti oral


7


Dalam pengobatan  hemofilia, profilaksis diartikan  sebagai pemberian konsentrat, faktor pembekuan intravena sebelum terjadi perdarahan atau untuk mencegah perdarahan sendi. Profilaksis  menjadi prinsip pengobatan hemofilia para ahli di Swedia, yang sudah  menjalankan profilaksis pada anak hemofilia A berat usia dini sejak tahun 1958
 pengidap  hemofilia derajat sedang (kadar faktor pembekuan >1-5%)  jarang mengalami artropati, perdarahan sendi spontan, sehingga memiliki fungsi muskuloskeletal yang lebih baik dan  lebih baik  jika dibandingkan dengan pengidap  hemofilia 
berat. bila kadar faktor VIII bisa  dinaikkan di atas 1%, gejala pengidap  hemofilia A berat bisa  dimanipulasi menjadi seperti pengidap  hemofilia A sedang atau ringan.  bahwa anak hemofilia A berat yang memperoleh   profilaksis sejak usia 1-2 tahun tidak mengalami kerusakan sendi dan  hidup normal. profilaksis yang dimulai pada usia lebih tua bisa  mencegah progresivitas kerusakan sendi, 
namun tidak bisa  memperbaiki kerusakan yang sudah  terjadi. 40% pasien hemofilia A berat 
mengalami perdarahan sendi pertama pada usia ≤ 1 tahun, dengan rata-rata usia yaitu  2 tahun.
  awitan terjadinya perdarahan sendi terjadi sekitar 6 bulan sesudah  perdarahan lainnya.  artropati hemofilik meningkat seiring bertambahnya usia. Pada usia < 10 tahun jarang pasien hemofilia A berat mengalami artropati, namun pada usia 10-19 tahun artropati makin sering ditemukan. Pada usia dekade ke-3 sering  ditemukan minimal 1 sendi besar  dengan artropati berat, dengan 1-2 sendi besar lainnya mengalami artropati sedang,  
1-2 sendi lainnya baru mulai memasuki tahap awal artropati.
1. Profilaksis primer
a. berdasar  usia: yaitu terapi profilaksis jangka panjang berlanjut  dimulai sebelum usia 2  tahun dan sebelum perdarahan sendi (klinis).
b. berdasar  terjadinya perdarahan sendi pertama: yaitu terapi profilaksis jangka panjang berlanjut  dimulai sebelum awitan kerusakan sendi (dianggap 
sesudah  perdarahan sendi yang pertama kali atau sebelum perdarahan kedua).
2. Profilaksis sekunder, yaitu terapi profilaksis jangka panjang berlanjut  yang tidak memenuhi syarat  profilaksis primer (contoh: profilaksis dimulai sesudah  perdarahan sendi ≥ 2 kali).
3. Profilaksis jangka pendek: profilaksis jangka pendek untuk mencegah perdarahan.
4.  jangka panjang pada nomor 1 dan 2 yaitu  pemberian terapi profilaksis  selama 52 minggu (minimal 46 minggu) per tahun, sampai mencapai 
usia dewasa. regimen yang dipakai  dalam praktek sehari-hari  tetap beragam , bahkan di satu negara sekali pun. 
 apakah semua pengidap  hemofilia sebaiknya tetap memperoleh   profilaksis sampai usia dewasa muda. sebagian pengidap  hemofilia berusia dewasa muda bisa  beraktivitas dengan baik tanpa 
profilaksis, Kesulitan menentukan usia awitan atau waktu optimal untuk memulai profilaksis dipicu  variabilitas usia awitan terjadinya perdarahan pada pengidap  hemofilia A berat. Sebanyak 15% masalah  hemofilia A berat menunjukkan fenotipe perdarahan seperti hemofilia ringan atau sedang.Dengan beragam nya dampak  klinis hemofilia 
A berat, bahwa profilaksis sebaiknya dimulai sesudah  pola gejala perdarahan sendi lebih jelas. 
Masalah keamanan terapi profilaksis terutama mengenai penularan  penyakit infeksi melalui konsentrat faktor pembekuan dan  risiko infeksi dan trombosis akibat pemakaian  kateter implan vena sentral.Di satu sisi, regimen profilaksis idealnya sebisa  mungkin ditentukan secara tiap pasien , sesuai dengan farmakokinetik, aktivitas fisik ,  ketersediaan konsentrat faktor pembekuan, usia, akses vena, fenotip perdarahan, Di sisi lain belum ada cukup data yang menandakan  efikasi dan keamanan jangka  panjang beragam ragam  regimen profilaksis di beragam negara. definisi terapi profilaksis yaitu:
-Profilaksis intermiten atau periodik, yaitu pengobatan untuk mencegah perdarahan tidak lebih dari 45 minggu dalam setahun.  terapi profilaksis untuk mencegah perdarahan dan destruksi sendi, untuk mempertahankan fungsi muskuloskeletal yang normal, Bahkan bila kadar faktor pembekuan dalam plasma  tidak bisa  mencapai > 1% setiap waktu, profilaksis tetap berguna  untuk mencegah kerusakan sendi. Pada pengidap  hemofilia yang mengalami perdarahan sendi berulang  ≥ 4 kali dalam 6 bulan pada sendi yang sama (sendi target), disarankan  pemberian profilaksis jangka pendek selama 4-8 minggu untuk menginterupsi perdarahan berulang, 
 Profilaksis jangka pendek ini bisa  dikombinasi dengan fisioterapi intensif atau sinoviortesisx Bila sudah  terjadi kerusakan sendi, profilaksis tidak bisa  memperbaiki kerusakan sendi yang sudah  terjadi, namun bisa  mencegah perdarahan 
lalu , memperlambat terjadinya artropati, dan memperbaiki kualitas hidup.
- Profilaksis berlanjut  
a. Profilaksis primer, yaitu pengobatan terus-menerus  secara teratur dimulai sebelum  ada kelainan osteokondral pada sendi (dibuktikan dengan pemeriksaan fisik  dan/atau radiologis), diberikan sebelum ada    bukti klinis perdarahan pada sendi besar (pergelangan kaki, bahu, siku, lutut, pinggul)  di bawah usia 3 tahun.
b. Profilaksis sekunder, yaitu pengobatan terus-menerus  secara teratur dimulai sesudah  ada    perdarahan 2 kali/lebih pada sendi besar, namun belum terjadi awitan kerusakan sendi yang dibuktikan dengan pemeriksaan fisik  dan 
radiologis.
c. Profilaksis tersier, yaitu pengobatan terus-menerus  secara teratur sesudah  adanya 
kerusakan sendi yang dibuktikan dengan pemeriksaan fisik  dan radiologis. terapi profilaksis belum menjadi pilihan utama bagi pengidap  
hemofilia. namun  cost effectiveness jangka panjang perlu dipikirkan , dibandingkan dengan biaya pengobatan  artropati hemofilik kronik yang seringkali memerlukan  operasi berulang dan konsumsi faktor pembekuan yang   besar, 
kualitas hidup dan  produktivitas para pengidap  hemofiliaSaat ini ada    dua regimen standar profilaksis primer di negara tanpa keterbatasan 
sumber daya, dengan efikasi jangka panjang yang sudah  terbukti, yaitu protokol Malmö dan 
protokol Utrecht. Protokol Malmö memakai  dosis faktor VIII 25-40 IU/kg berat badan  3 kali 
seminggu sedang  protokol Utrecht memakai  dosis faktor VIII 15-30 IU/kg berat badan  3 
kali seminggu,  Profilaksis sekunder   diberikan pada rentang usia yang cukup besar, dengan 
luaran beragam  bergantung pada jumlah kumulatif perdarahan sendi sebelumnya dan tahap kerusakan sendi yang sudah  terjadi pada saat dimulainya terapi.luaran  cukup menjanjikan yaitu  berkurangnya jumlah perdarahan sendi. profilaksis 
dengan dosis lebih rendah,  masih perlu diteliti efektivitas dan keamanannya. ada    penurunan jumlah perdarahan sendi sebesar 93% dengan terapi profilaksis, juga perbaikan fungsi sendi dan kualitas hidup, diperoleh  penurunan jumlah perdarahan sendi dengan terapi profilaksis (p < 0,001) dan penurunan  jumlah  perdarahan serius yang mengancam jiwa sebesar 69%. Penurunan 
jumlah perdarahan sendi lebih bermakna pada subjek yang memperoleh   profilaksis lebih 
dari 10 minggu (p = 0,001), subjek hemofilia berat (p = 0,005) dan subjek berusia lebih dari 12 tahun (p = 0,024). jumlah perdarahan sendi golongan  profilaksis lebih rendah dibandingkan golongan  on-demand (p < 0,05), demikian pula skor HJHS dan skor Pettersson pada enam sendi utama (siku, lutut dan mata kaki, bilateral). terapi on-demand. Kekerapan perdarahan sendi pada golongan  profilaksis (5 ± 4,3) lebih baik secara bermakna 
dibandingkan  golongan  on-demand (8(3-30)), IK95% 0.9-6.99,   p = 0,009. Demikian pula 
hasil ultrasonografi sendi yang dinilai dengan skor HEAD-US golongan  profilaksis lebih baik dibandingkan golongan  on-demand (IK95% 2- 8,81,   p = 0,003). Tidak diperoleh  subjek yang mengalami inhibitor faktor VIII pada kedua golongan ,  bahwa terapi profilaksis sekunder 
dosis rendah efektif mengurangi kekerapan perdarahan sendi dan memperbaiki hasil 
ultrasonografi sendi dibandingkan terapi on-demand. Inhibitor faktor VIII yaitu  antibodi IgG yang dibentuk oleh tubuh sebagai tanggapan  
terhadap terapi sulih. Antibodi ini bersifat menetralisasi faktor VIII. Inhibitor lebih sering ditemukan pada hemofilia A, terutama hemofilia A berat, dengan insidens sekitar 20%.bahwa profilaksis sejak usia dini dan penghindaran terapi intensif pada awal pajanan faktor VIII kemungkinan memiliki  efek protektif terhadap munculnya inhibitor. Dugaan ini diperkuat oleh rendahnya 
insidens inhibitor di Swedia. Mekanisme yang mendasari hal itu belum sepenuhnya  jelas, diduga profilaksis faktor VIII secara teratur sejak usia dini tanpa adanya pemicu  danger signal  tanggapan  imun, akan memicu  anergi limfosit T khusus  faktor VIII  sehingga mencegah pembentukan antibodi. pasien yang memperoleh   terapi on-demand ternyata muncul  inhibitor, sedang  dari 31 anak dengan terapi profilaksis tidak ditemukan inhibitor (p < 0,05).30 Analisis subgolongan  berdasar  jenis mutasi genetik menandakan  bahwa 
dari 20 anak dengan mutasi genetik risiko tinggi terhadap munculnya inhibitor, 9  anak yang memperoleh   profilaksis tidak satu pun yang terdeteksi memiliki  inhibitor, sedang  13 anak lainnya memperoleh   terapi on-demand dan 12 di antaranya muncul inhibitor (0% vs. 92%, p < 0,05). 
Analisis subgolongan  pada anak  yang memperoleh   profilaksis usia < 3 tahun menunjukkan risiko inhibitor berkurang sebesar 
70%.Penelitian   riset  kohort retrospektif multisenter, untuk  mengevaluasi hubungan antara sifat  pengobatan dengan munculnya inhibitor pada pasien hemofilia A berat yang belum pernah memperoleh   terapi faktor VIII. Subjek penelitian ini sebanyak 399 anak berasal dari 14 pusat hemofilia di Eropa dan Canada. 90 subjek  muncul inhibitor yang bermakna secara klinis dan 60 di antaranya yaitu  high tanggapan ders (titer inhibitor ≥ 5 BU). munculnya inhibitor  berkaitan erat dengan pelaksanaan  bedah dan terapi intensif faktor VIII pada awal pengobatan. Pasien yang memperoleh   terapi profilaksis menandakan  risiko munculnya inhibitor 50% lebih rendah dibandingkan pasien dengan terapi on-demand. penelitian yang 
menunjukkan bukti protektif profilaksis primer terhadap munculnya inhibitor pada  hemofilia A berat semakin banyak, tapis ampai saat ini belum ada uji klinis  dengan randomisasi, yang sulit dilakukan sebab  masalah etika. juga risiko 
munculnya inhibitor pada profilaksis sekunder, tersier atau  intermiten masih perlu diteliti, 





Istilah  nyeri perut berulang  yaitu nyeri perut yang terjadi 3 episode minimal dalam 3 bulan yang memicu  gangguan fungsi.  nyeri perut berulang  
mendeskripsikan  nyeri perut fungsional . Terminologi lain seperti nyeri perut psikogenik   nyeri perut kronik ,  nyeri perut non-organik ,    ketiga istilah ini  dipakai   untuk menggambarkan nyeri perut pada anak. 
Nyeri perut kronik yaitu  nyeri perut intermiten yang  berlangsung lama  konstan,  pemicu nya 
tergantung dari pemicu  atau etiologi khusus  bisa  ditemukan atau tidak. Nyeri perut non-organik atau nyeri perut fungsional menunjukkan etiologi nyeri terbukti akibat kelainan metabolik,  neoplastik anatomi, inflamasi, terminologi  nyeri perut berulang  hanya dipakai  untuk mendeskripsikan kondisi dan tidak dipakai  lagi sebagai analisa  .
Nyeri perut kronik (NPK) pada anak  sering 
dijumpai di klinik gastroenterologi anak,  Etiologi tersering nyeri perut kronik organik yaitu kelainan ginekologik (dismenore, penyakit inflamasil rongga pelvik), kelainan neurologis (epilepsi perut, 
migrain), alergi,   infeksi, inflamasi, obstruksi (malrotasi dengan atau tanpa malrotasi), sindrom malpenyerapan  (penyakit celiac), 
 syarat  ROME IV membagi pediatric
functional gastrointestinal disorder (pediatric FGIDs) menjadi 3 golongan  kelainan yaitu:
Kelainan defekasi,  Nausea dan muntah,  Nyeri perut, 
saat mengevaluasi anak dengan nyeri perut kronik, perlu ditentukan apakah etiologi nyeri perut kronik ini  organik atau fungsional. Langkah awal yaitu  mencari etiologi organik sebelum menentukan  analisa  nya yaitu  nyeri perut fungsional (nonorganik),  Pasien dengan nyeri perut perlu dievaluasi pemeriksaan fisik dengan mencari gejala, Dengan adanya gejala maka pemeriksaan lanjut   bisa  dilakukan.Stresor yang terjadi pada anak bisa  meningkatkan episode nyeri, meski  tidak 
terbukti bahwa masalah psikologis bisa  membedakan apakah pemicu  nyeri perut kronik ini  yaitu  organik atau non-organik. Saat mengatasi nyeri perut kronik, masalah psikologis perlu dicari sebab  terbukti anak dengan nyeri perut kronik memiliki ansietas yang tinggi  menunjukkan gejala depresi. Namun  apakah  ini  sebagai pemicu  atau akibat nyeri perut kronik belum   diketahui.

Infeksi saluran cerna pada masa anak bisa  memicu  konsekuensi jangka panjang berwujud  nyeri perut kronik fungsional (contoh: sindrom usus iritabel, IBS), pada masa dewasa. Hubungan sebab akibat antara infeksi saluran cerna pada anak  dan IBS pertama kali  pada tahun 1962. menunjukkan hubungan antara infeksi saluran cerna pada masa anak sebagai faktor risiko IBS sesudah  infeksi. bahwa infeksi Salmonella pada masa anak memiliki nilai  untuk menjadi IBS sesudah  infeksi. rasio Odds terjadinya IBS 
sesudah  infeksi gastroenteritis,   gejala nyeri 
perut kronik ditambah   nyeri kepala, back-pain, nyeri pada lengan dan atau  tungkai, dan nyeri dada pada anak yang mengalami riwayat infeksi bakteri (Salmonella). 85% pasien dengan IBS yang mengalami nyeri perut kronik  mengalami pertumbuhan lampau bakteri di usus halus dibandingkan dengan 20%  checkup . pemicu  infeksi tertinggi  pada anak dengan gejala nyeri perut kronik yaitu  infeksi H. pylori,  infeksi 
H. pylori terjadi pada usia muda. Infeksi H. pylori   memicu  gastritis,  ulkus peptikum, ditambah   gangguan pertumbuhan, muntah, anemia defisiensi   besi refrakter,   prevalens H. pylori lebih tinggi di 
golongan  usia 6-8, dan 9-11 tahun dibandingkan dengan golongan  usia 12-15 tahun.   data analisis PCR terhadap saliva ibu menandakan  79% 
ibu yang terinfeksi H. pylori memiliki anak yang terinfeksi H. pylori. Faktor risiko yang berkaitan  dengan infeksi H. pylori yaitu  tingkat pendidikan  ibu, higienitas sumber air minum, analisa  akurat memakai  endoskopi dan biopsi jaringan dengan uji CLO atau  pemeriksaan patologi anatomi. Pemeriksaan urea breath test (UBT) pada anak memiliki akurasi sebab  peluang hasil positif palsu yang cukup tinggi pada anak yang usianya di 
bawah 6 tahun,   nilai cut-off untuk anak <6 tahun 
yaitu  7% untuk mengurangi nilai positif palsu.  bahwa saudara kandung yang lebih muda memiliki 8 kali peluang terinfeksi bila saudara kandung yang 
lebih tua menderita infeksi H. pylori yang persisten.
 analisa   EoE berdasar   eosinofil di esofagus tanpa eosinofil di perut  atau  duodenum. pemicu  nyeri perut kronik  yang terkait alergi pada bayi 
atau  anak besar yaitu  gastroenteritis eosinofilik alergi (GEA). Infeksi D. fragilis yang berlangsung kronik bisa  memberi  gejala antara lain  tidak nafsu makan, gangguan nutrisi,  flatulens,  gejala mirip IBS, nyeri perut kronik, diare persisten, bahwa Blastocystis spp bisa  memicu  nyeri perut pada anak dan ini masih kontroversi.Esofagitis eosinofilik (EoE) pada anak dan remaja   berdampak  sebagai gagal tumbuh,  nyeri perut kronik,  disfagia, muntah (penyakit refluks gastroesofageal),  muntah, diare,  gagal tumbuh, hilang protein melalui saluran cerna, anak yang menderita GEA yaitu  anak yang atopi dan  memiliki antibodi IgE terhadap   makanan. namun  uji kulit tusuk  dan kadar serum IgEmakanan menunjukkan korelasi yang buruk dengan eliminasi makanan. pengobatan  
esofagitis eosinofilik pada anak yaitu  diet, pemberian steroid,  gejala dan atau  gambaran histologis akan mengalami perbaikan  tergantung 
  gejala,  biasanya  gejala nyeri perut kronik lebih 
sulit diatasi dibandingkan  gejala disfagia.Diet elemental berbasis formula asam amino selama 6 minggu berdampak pada perbaikan inflamasi eosinofil di saluran cerna, Sindrom usus iritabel dengan inflamasi rendah yaitu  dampak  kelainan 
alergi sistemik (atopi) yang diinduksi oleh makanan (alergi makanan atau hipersensitif   terhadap makanan).Anak atopi dengan nyeri perut akibat kelainan gastrointestinal memiliki peningkatan eosinofil dan sel mast di antrum. Akumulasi sel-sel ini  mengalami degranulasi saat diberikan susu sapi, memicu  stimulasi persarafan dan kontraksi otot halus,  lalu  memberi  gejala gastrointestinal seperti kram perut,  flatus., pemeriksaan  dilakukan bila pada anamnesis dan pemeriksaan fisik diperoleh  gejala  bahaya,  Pemeriksaan awal berwujud  pemeriksaan darah tepi lengkap, hitung jenis,  urinalisis. Tergantung anamnesis maka pemeriksaan laju endap darah, C-reactive protein,  evaluasi etiologi infeksi (parasit, bakteri,  virus) perlu dilakukan, termasuk 13 C-urea breath test jika H. pylori diduga sebagai etiologi. Uji hidrogen napas  memberi  informasi  adanya malpenyerapan  karbohidrat ataupun bakteri tumbuh lampau, pada keluhan nyeri perut kronik. Kecurigaan kepada sindrom usus halus iritabel (IBS) perlu dilakukan uji tapis  calprotectin untuk mengabaikan  keterkaitan inflamasi mukosa 
usus (nilai <50mg/g tinja). Bila tidak ada tanda bahaya maka pemeriksaan USG perut  hanya mendeteksi kelainan sebesar 1%. pemakaian  CT-scan perut    dibatasi sebagai alat analisa  sebab  risiko kanker suatu saat Pemeriksaan endoskopi 
saluran cerna pada nyeri perut kronik berguna  untuk menemukan kelainan pada masalah  yang memiliki gejala 





Asma yaitu  penyakit paru kronik yang sering dijumpai pada anak. Asma yang berkembang menjadi asma persisten memerlukan  pengobatan jangka panjang, pemantauan dan penghindaran terhadap faktor  pemicu. Kendala yang dihadapi yaitu  tanggapan  pengobatan yang kurang 
baik akibat terjadinya kekeliruan (pitfalls) dalam proses pengobatan . Beberapa kekeliruan 
yang sering ditemui yaitu  pemakaian  bronkodilator kerja pendek (SABA) sebagai 
pengendaliBronkodilator yaitu  obat pilihan saat terjadinya serangan asma. Pada asma persisten 
serangan asma bisa  terjadi hampir setiap bulan sehingga bisa  mengganggu aktivitas sehari-hari. Oleh sebab itu perlu diberikan bronkodilator setiap hari. pemakaian  bronkodilator kerja pendek dalam waktu lama tidak disarankan  sebab  akan memicu  
takifilaksis dan pengurangan reseptor agonis β2 yang berakibat kurang efektif terhadap 
bronkodilator. Perlu pertimbangan khusus pada asma yang sering memakai  bronkodilator dalam waktu lama apakah asmanya sudah termasuk asma persisten yang memerlukan  obat pengendali atau tidak (  steroid inhalasi).Obat asma dalam bentuk inhalasi berbahaya, Prinsip dasar terapi inhalasi yaitu  pemberian obat dalam bentuk aerosol melalui hirupan langsung ke saluran respiratori. Pemberian obat secara inhalasi diharapkan bahwa obat langsung ke organ target (saluran respiratori).   dosis obat bisa  dikurangi  sehingga efek sistemik kecil namun  efek di organ target maksimal, dan  awitan kerja obat lebih cepat.Pitfalls dalam pengobatan  asma anak wanita  usia 6 tahun, datang dengan keluhan batuk asma yang tidak membaik meski  sudah  diberi pengobatan dengan MDI steroid dan LABA selama 8 minggu. Faktor pemicu sudah  dihindari semaksimal mungkin namun batuk tidak membaik. Obat inhalasi diberikan setiap hari dibantu oleh ibunya.Ibu menjadi khawatir dan mengatakan bahwa obatnya tidak mempan. Pada pemeriksaan fisik  ditemukan wheezing namun anak tetap aktif. Pada pemantauan, diminta anak memperagakan cara pemakaian MDI dan tampak anak tidak bisa  menghirup dan tidak pula menahan napasnya sesudah  obat disemprotkan.ini yang memicu  pengobatan menjadi tidak efektif.
Penyakit penyerta pada asma  anak terdeteksi   asma persisten ringan. Ia memiliki  keluhan batuk 1-2 kali dalam sebulan, terutama pada malam hari dan biasanya dipicu oleh common cold. Pengobatan yang diberikan yaitu  steroid inhaler yang dipakai  dengan spacer. Pemantauan selama 3 bulan keluhan tidak membaik. Gejala asma tetap ada dengan episode > 1 kali perminggu, namun tidak setiap hari. Ia batuk bersin setiap pagi. Oleh dokter ia diberikan pengobatan tambahan anti leukotrien yang diminum setiap hari dan pada pemantauan gejala asma berkurang dan membaik.
Dalam menghadapi pasien asma yang tidak bisa  mencapai derajat kendali, kadang hanya dipikirkan bahwa gejala respiratori yang berkelanjutan dipicu  semata-mata oleh asmanya. Salah satu yang harus dipikirkan yaitu  adanya kondisi komorbid atau 
penyakit penyerta yang sering terjadi bersama dengan asmanya. Penyakit penyerta atau 
komorbid yang sering ditemukan pada pasien asma diantaranya kegemukan ,  infeksi respiratori, rinitis alergi, rinosinusitis, penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease=GERD), anak  usia 13 tahun  dengan keluhan batuk pilek sejak 2 hari yang lalu  memicu kambuhnya asma. anak mengalami serangan asma.
Anak masih bisa  berjalan dan berbicara  sering mengalami batuk berulang  disusul oleh sesak napas,  Batuk  berdahak, warna kekuningan.  ditambah  pilek  tidak   demam.  sesak  bisa  dipicu oleh udara dingin, aktivitas berat,  kacang, es,  cokelat. Dalam seminggu, mengalami sesak, meski  tidak setiap hari, 
Asma ditandai oleh penyempitan saluran napas dengan beragam gejala mulai dari batuk, 
rasa berat di dada, bunyi mengi dan sesak napas.
Asma yaitu  penyakit  saluran napas yang ditandai oleh hiperreaktifitas saluran napas,  kepekaan saluran napas terhadap beragam rangsangan. 
 multifaktor dengan perjalanan  klinis yang beragam  tidak terduga pada setiap anak,  bisa  berubah seiring berjalannya waktu,  Bebas gejala penyakit asma bukan berarti  penyakit asma ini sudah hilang. Beberapa anak bisa  saja mengalami  remisi atau berkurangnya gejala, sehingga dianggap bahwa penyakitnya sudah hilang dan tidak memerlukan  perhatian. namun , pada saat berhenti memantau   penyakitnya, mengabaikan pengobatan  maka penyakit asma ini bisa  kembali lagi dengan keparahan dan  gejala lebih berat lagi. 
Untuk menanggulangi asma   dibuat  panduan/konsensus  memiliki  prinsip dan komponen pengobatan asma yang terkendali dengan frekuensi serangan seminimal mungkin.  ini menekankan pengobatan  asma persisten pada anak.Anamnesis berperan   mengingat analisa   asma pada anak sebagian besar dilakukan  secara 
klinis.Keluhan wheezing dan atau batuk berulang yaitu  dampak  klinis yang diterima luas sebagai titik awal analisa   asma. Gejala respiratori asma berwujud   batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan,  produksi sputum. Batuk kronik berulang (BKB)   menjadi petunjuk  analisa   asma. sifat  yang mengarah ke asma yaitu :
- Reversibilitas, yaitu gejala   membaik secara spontan atau dengan pemberian obat pereda asma
- Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya, - Episodisitas, yaitu gejala  berulang. muncul bila ada faktor pemicu - Variabilitas, yaitu intensitas gejala beragam  dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam.  gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal) penggolongan  asma dibagi berdasar  derajat penyakitnya (aspek kronik) dan serangannya (aspek akut). berdasar  penggolongan derajat penyakitnya, asma digolongkan  berdasar  kekerapan munculnya gejala, yaitu:
- Asma intermiten- Asma persisten ringan
- Asma persisten sedang- Asma persisten berat
penggolongan  berdasar  kekerapan gejala dipakai sebagai dasar penilaian awal pasien, sesuai dengan mayoritas pedoman internasional asma yang ada saat ini. penggolongan  ini berubah dari PNAA sebelumnya yang membagi asma menjadi asma episodik jarang, asma  episodik sering, dan asma persisten.syarat  penentuan derajat asma atau penggolongan  kekerapan asma juga bisa  dibuat 
pada kunjungan awal berdasar  anamnesis. penggolongan  berdasar  kekerapan gejala dibuat sesudah  dibuat analisa   kerja asma dan dilakukan pengobatan  biasa  (pengendalian lingkungan, penghindaran pemicu ) selama 6 minggu
Penilaian derajat asma ditentukan oleh  gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari,  pemberian obat inhalasi 
β-2 agonis dan uji faal paru) dan  obat-obat yang dipakai  untuk mengendalikan  asma (jenis obat, kombinasi obat,  frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang bisa  menentukan derajat penyakit asma. Dengan adanya pemeriksaan  uji faal paru bisa menentukan penggolongan  derajat asma, penilaian derajat asma :
- memerlukan  SABA (short-acting beta agonis, contoh salbutamol) untuk meredakan gejala dengan cepat: jika anak memerlukan  pemakaian  SABA lebih dari 2 hari dalam seminggu  untuk gejala asma, mereka memiliki asma persisten. 
(Tidak termasuk yang memakai  SABA untuk pencegahan EIB- exercise induced bronchospasm)
- Gangguan aktivitas normal ( olahraga): jika anak mengalami keterbatasan apapun dalam aktivitas normal (meski  keterbatasan kecil) sebab  memiliki gejala asma, mereka memiliki asma persisten.
- Gejala: jika anak mengalami batuk, mengi, sesak napas, dada tertekan lebih dari 2 hari dalam seminggu maka mereka menderita asma persisten
- Gejala malam hari: jika anak terbangun di malam hari lebih dari 2 kali dalam sebulan sebab  gejala asma, maka mereka memiliki asma persisten
- Fungsi paru diukur dengan spirometri: pemakaian  FEV1 / FVC dipakai pada pedoman terbaru untuk menggolongkan  tingkat keparahan pada anak sebab  menjadi ukuran yang lebih peka  dari FEV1.
- Jika FEV1>80% dari prediksi dan rasio FEV1/FVC normal atau>80%, anak digolongkan  memiliki asma persisten ringan
- Jika FEV1 yaitu  antara 70-80% dari prediksi, atau FEV1/FVC yaitu 70-80%, anak ini  memiliki asma persisten sedang
- Jika FEV1 <60% dariprediksi, atau FEV1 / FVC <75%, anak ini  memiliki asma persisten berat
Jika penilaian dilakukan selama waktu dimana anak dirawat sebab  eksaserbasi akut, maka diminta anak untuk mengingat gejala pada periode sebelum munculnya eksaserbasi saat ini yang memadai sampai kunjungan lanjutan bisa  dilakukan.
pengobatan  asma  yaitu:
- Menjaga fungsi paru senormal mungkin
- Menjaga agar aktivitas normal tidak terganggu, 
- Mencegah terjadinya penurunan kualitas hidup anak asma:- Mencegah gejala asma kronik yang menyulitkan- Mengurangi kebutuhan pemakaian  agonis beta  short-acting (SABA) (2 hari/minggu)
 Mengurangi risiko perjalanan asma:
- Mencegah eksaserbasi  mengurangi  kebutuhan kunjungan di gawat darurat atau  rawat inap
- Mencegah penurunan fungsi paru atau pertumbuhan paru yang sehat- memakai  farmakoterapi secara optimal dengan efek samping minimal atau tidak ada sama sekali, 
pengobatan  medikamentosa
Obat asma dibagi menjadi dua golongan  besar yaitu obat pereda dan pengendali, Obat pereda  dinamakan  juga  obat pelega atau obat serangan sebab  dipakai  untuk meredakan serangan atau gejala asma yang muncul dan bila serangan 
sudah teratasi maka obat ini dihentikan. Obat pengendali dipakai  untuk mencegah serangan asma dengan mengatasi masalah inflamasi respiratori kronik sehingga tidak muncul serangan dan gejala asma. Obat pengendali ini dipakai secara terus menerus dalam jangka waktu yang relatiflama tergantung pada kekerapan gejala asma dan tanggapan  terhadap pengobatan, Obat pengendali asma terdiri dari steroid anti-inflamasi 
inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid-agonis B2 kerja panjang, teofilin 
lepas lambat, dan anti-imunoglobulin E.1,2
Pemberian obat asma   secara inhalasi. Teknik pemberian inhalasi disesuaikan dengan usia  dan kemampuan anak sehingga pemilihan alat inhalasi harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak dan memikirkan  efikasi , keamanan, 
kenyamanan, biaya. Inhalasi dosis terukur/ metered dose inhaler (MDI) dengan spacer yaitu  pilihan  sebab  memberi  kenyamanan pada pasien, 
jumlah obat yang mencapai paru lebih banyak, risiko dan efek samping minimal dan biaya lebih murah.  50% anak asma tidak bisa  memakai  alat hirupan tanpa spacer. Spacer mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring) yang memicu  jumlah 
obat yang tertelan berkurang sehingga mengurangi efek sistemik. Deposisi obat dalam paru lebih baik sehingga diperoleh  efek terapeutik yang baik. Pemakaian spacer bisa  mengatasi masalah kesulitan teknik pemakaian obat MDI. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering inhaler (DPI) seperti turbuhaler,  easyhalerdiskhaler, swinghaler, memerlukan inspirasi yang kuat dan bentuk ini disarankan  untuk anak usia sekolah.   spacer seperti babyhaler, autohaler,  volumatic, nebuhaler, aerochamber sulit diperoleh. Spacer bisa  dibuat sendiri dari gelas plastic atau botol plastic dengan volume 500ml yang dikatakan sama efektif dengan MDI.Jika sudah yakin analisa   asma, dibuat analisa   kerja asma dan penggolongan  sejak kunjungan awal, lalu  pengobatan  bisa  dilakukan sesuai 
penggolongan . Penilaian penggolongan  derajat penyakit atau kekerapan gejala  sebagai acuan awal penetapan jenjang pengobatan  jangka panjang. Jika ada keraguan dalam menentukan penggolongan  kekerapan, masukkan ke dalam penggolongan  lebih berat. Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk memulai pengobatan jangka panjang.  Asma 
terkendali yaitu  asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan kualitas hidup pasien baik. 
- Asma terkendali penuh 
- Tanpa obat pengendali: pada asma intermiten
- Dengan obat pengendali: pada asma persisten (ringan/sedang/berat)
- Asma terkendali sebagian 
- Asma tidak terkendali 
Derajat kendali dipakai  untuk penentuan naik jenjang,  pemeliharaan  atau turun jenjang pengobatan  yang akan diberikan. Untuk turun 
atau naik jenjang harus dinilai kepatuhan terhadap pengobatan, teknik inhalasi, dosis obat inhalasi dan mengendalikan faktor pemicu  asma. Untuk menilai derajat kendali asma, biasanya  pasien asma dipantau setiap bulan dan pencapaian perbaikan sesudah  3  bulan. Selain jenis dan dosis obat dan  cara pemberian dan kepatuhan pasien juga harus 
dipantau usaha  penghindaran terhadap pemicu  dan penyakit penyerta.
- Asma intermitten tidak memerlukan  pengobatan  asma jangka panjang sesuai dengan jenjang 
- Asma persisten dilakukan pengobatan  jangka panjang sesuai dengan jenjang 2 sampai 
4 lalu  dievaluasi secara berkala untuk menaikkan atau menurunkan jenjang dalam pemakaian obat pengendali asma. 
- Bila suatu jenjang sudah berlangsung 6-8 minggu dan asma belum terkendali maka 
pengobatan  naik ke atasnya 
- Bila suatu jenjang dalam pengobatan  sudah berlangsung selama 8-12 minggu dan 
asma terkendali penuh, maka pengobatan  turun jenjang ke bawahnya, Penurunan dosis sebesar 25-50%.
- Pada setiap jenjang pengendalian, jika  terjadi serangan/ eksaserbasi asma, pasien harus memperoleh  obat pereda asma yaitu obat inhalasi agonis beta2 kerja pendek.
- Perubahan jenjang pengobatan  harus memperhatikan aspek  penghindaran, 
penyakit penyerta,  keteraturan pemakaian  obat.Jenjang 1
Pasien dengan kondisi terkendali penuh dengan atau tanpa obat pengendali, hanya mengalami gejala ringan ≤ 2 kali/ minggu dan diantara serangan tidak mengalami gangguan tidur atau  aktivitas sehari-hari. Pada saat ini pasien hanya memperoleh  obat pereda berwujud  inhalasi agonis β2 kerja pendek jika  mengalami serangan asma. bisa diberikan inhalasi agonis β2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium  bromide, agonis β2 kerja pendek oral, atau teofilin kerja pendek oral. jika  pemakaian  obat pereda asma melebihi 2 kanister setiap bulannya menandakan anak memerlukan obat pengendali asma.
Jenjang 2
yaitu  steroid inhalasi dosis rendah. Pilihan lain yaitu  antileukotrien yang diberikan pada pasien asma yang tidak memungkinkan memakai  
steroid inhalasi atau pasien asma ditambah  rinitis alergi.pemberian steroid inhalasi  efektif dibandingkan dengan pemberian leukotrien yang 
dipakai  sebagai obat pengendali tunggal.
Jenjang 3
untuk anak > 5 tahun yaitu  kombinasi steroid dosis rendah - agonis β2 kerja panjang. Pilihan lainnya dengan menaikkan dosis steroid inhalasi 
pada dosis menengah. Pemberian inhalasi dosis terukur dengan spacer akan memperbaiki 
deposisi obat di paru.   bisa  diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis rendah 
- antileukotrien atau kombinasi inhalasi steroid dosis rendah - teofilin lepas lambat. jika  tidak berhasil dikendalikan pada jenjang ini sebaiknya pasien dirujuk ke dokter spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan lebih lanjut.1,menaikkan dosis steroid inhalasi lebih disarankan  untuk anak < 12 tahun namun  menambah dengan agonis β2 kerja panjang lebih disarankan  pada anak >12 tahun. turun ke jenjang bawah (step down) pada kombinasi steroid dosis rendah - agonis β2 kerja panjang  memicu  asma tidak terkendali  lagi. penurunan jenjang pengobatan   memperbaiki asma dan penurunan dosis dari 2 kali menjadi sekali sehari tidak memicu  asma menjadi tidak terkendali .
Jenjang 4 
Pada jenjang ini dikategorikan sebagai asma sulit,  Pilihan pertama pada jenjang ini yaitu  kombinasi steroid inhalasi dari dosis sedang ke tinggi hanya 
memberi  sedikit perbaikan.  ini   dilaksanakan sesudah  pemberian steroid inhalasi dosis sedang - agonis β2 kerja panjang diberikan selama 6-8 minggu. Pilihan lain yaitu  kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi - antileukotrien atau kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi - teofilin lepas lambat. Pada jenjang ini   dipikirkan  
penambahan anti immunoglobulin E (omalizumab).
Jenjang 5
Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus sudah dirujuk ke dokter spesialis respirologi 
untuk pengobatan  lebih lanjut. Pada jenjang ini mulai dipikirkan  pemberian steroid oral sehingga pasien harus dijelaskan efek samping yang dimunculkan steroid oral jangka panjang
Sebagian besar pasien asma bisa  mencapai derajat kendali yang baik, namun  beberapa ada yang tidak bisa  mencapai derajat kendali walau  sudah dengan terapi yang optimal. Pasien yang tidak bisa  mencapai derajat kendali pada tahap 4 pengobatan  asma jangka panjang (obat pereda dan dua atau lebih obat pengendali) dikategorikan 
sebagai difficult-to-treat asthma. Pasien difficult-to-treat asthma yaitu  pasien asma yang 
memiliki tanggapan  buruk atau parsial terhadap pengobatan, baik sebab  pengaruh asma itu 
sendiri atau  sebab  adanya pengaruh faktor- faktor lain.Pemberian obat jangka panjang tidak berbahaya, justru dengan mengendalikan inflamasi kronik dan mengendalikan  gejala asma, anak bisa  
beraktivitas normal dan memiliki tumbuh kembang yang baik. Obat asma memicu  ketergantungan
Tidaklah benar bahwa obat pengendali asma akan dipakai selama hidupnya. Pada anak asma pemakaian  obat pengendali bisa  dihentikan jika  selama pengobatan dan proses penurunan obat pengendali, anak bisa  normal tanpa obat. Dikenal istilah stepup dan step down yaitu pada asma yang memerlukan  obat pengendali bisa  diberikan 
dengan dosis tinggi lalu diturunkan bertahap sampai tidak memakai obat bila mungkin 
(stepdown). dinamakan  step up jika  dimulai dengan dosis kecil dan tidak ada tanggapan  maka 
dinaikkan sampai dosis yang optimal dan dipertahankan sampai akhirnya diturunkan 
secara bertahap.Steroid oral sebagai pengendali
Obat pengendali yang berwujud  steroid inhalasi biasanya  diberikan dalam waktu yang lama. 
Namun pemberian secara inhalasi memerlukan  teknik yang khusus dan kadangkadang sulit bagi anak sehingga diberikan dalam bentuk sistemik (oral). Pemberian steroid sistemik dalam jangka panjang berefek  samping yang berbahaya seperti 
hipertensi, gangguan pertumbuhan, dan osteoporosis. maka  pemberian steroid 
sistemik jangka panjang tidak disarankan  sebab  efek sampingnya dan pemberian steroid 
jangka panjang harus dalam bentuk inhalasi.
menduga   bahwa udara pantai bisa  mengurangi kejadian  serangan asma sebab  tungau debu rumah akan berkurang jumlahnya pada lingkungan pantai. ini tidak benar sebab  ternyata prevalens asma di area  pantai tetap tinggi dibanding area  non pantai. Tungau debu rumah memang kurang bisa  hidup dan berkembang biak pada udara pantai, namun  pemicu  asma yaitu  multi faktor sehingga  tidak ada perbedaan antara area  pantai dan non pantai.Bagian tubuh binatang tertentu bisa  dipakai  sebagai obat asma, ada kepercayaan bahwa konsumsi daging kalong  kelinci,   rambut binatang bisa menyembuhkan asma. anggapan   ini  tidak didukung dengan bukti ilmiah.  pengobatan  asma 
yaitu  penghindaran pemicu  serangan asma, pemberian pereda saat serangan,   yang perlu diwaspadai yaitu  bagian tubuh hewan ini  justru berperan sebagai pemicu  asma pada anak tertentu. Kekeliruan pada terapi inhalasi Agar efek terapi inhalasi bisa  optimal dan efektif, maka kesalahan-kesalahan berikut bisa  dikurangi  seperti:
- Pada pemakaian  MDI kesalahan yang sering terjadi yaitu  lupa untuk mengocok kanisternya, sehingga  homogenisasi antara zat aktif dan propelan kurang merata.   mengocok kanister dilakukan sesaat sebelum dipakai . Tujuan pengocokan   agar obat yang ada menjadi merata sebab  proses penyimpanan akan memicu  adanya perubahan ke larutan cairan. 
-jenis obat yang diberikan juga berperan pada terapi inhalasi. Inhalasi dengan agonis β2 sering diberikan pada masalah  rinitis padahal pemberian agonis β2 berguna  pada saluran napas intratorakal, sebab  pdefisiensi kel yang dihasilkan lebih mencapai saluran napas kecil.
- teknik pemberian terapi inhalasi perlu diperhatikan, pemakaian  spacer pada anak yang lebih kecil pemakaian  MDI. Tanpa pemakaian  spacer, hasil yang diperoleh   tidak akan maksimal. Langkah-langkah pemakaian  terapi inhalasi baik 
MDI, DPI atau  nebuliser harus dipahami sesuai dengan prosedur baku
-Spacer harus dibersihkan dengan cara yang benar. Hindari membersihkan spacer dengan cara digosok, sebab  memicu  gaya elektrostatis yang memicu  pdefisiensi kel obat inhalasi menempel pada spacer sehingga tidak bisa  mencapai saluran napas yang kecil. Spacer dibersihkan dengan memakai  air mengalir dan air sabun lalu diletakkan hingga kering dengan sendirinya.
-Ada pemahaman yang keliru bahwa pemakaian  masker saat terapi inhalasi lebih baik dibandingkan mouth piece. Yang benar yaitu  pemakaian  mouth piece lebih baik dibandingkan masker pada pemakaian  nebulisasi kecuali pada bayi yang kurang kooperatif. Pada bayi pemakaian  masker lebih baik dibandingkan mouth piece sebab  
kesulitan teknik pada bayi yang harus berkoordinasi.
-Pemilihan alat inhalasi yang sesuai usia menjadi penting sebab  tidak semua anak bisa  memakai  beragam jenis alat. Anak yang kecil harus memakai  MDI  dengan spacer atau nebuliser sedang  anak yang lebih besar bisa  memakai  DPI. Pada anak   disarankan  memakai  spacer jika  alat inhalasi yang dipilih yaitu  MDI. sedang , nebuliser bisa  dipakai  pada semua usia . 





Gen yaitu  perangkat pembuat protein, komponen penyusun manusia secara lengkap. 
Gen   akan menghasilkan  protein yang menyusun makhluk ini  sehingga bisa  hidup dan berfungsi normal. Manusia bisa dikatakan lebih sederhana 
jumlah gen yang bertanggung jawab untuk menghasilkan  protein ini . Namun  yang membedakan antara manusia dan mahluk hidup lainnya yaitu tak satu pun dari  makhluk hidup lainnya   memiliki  pikiran  cerdas seperti manusia. 
manusia tersusun dari 21.000 gen. Bila dibandingkan cacing memiliki 20.500 gen,   kutu air, makhluk  hidup yang sederhana memiliki  31.000 gen,  tikus memiliki 23.000 gen, tanaman gandum memiliki 26.000 gen, sebab  ada  superorganisme , mikrobiota yang selalu hidup memdampingi, menjaga  menjamin fungsi seluruh komponen organ bisa berjalan sempurna,  hidup berdampingan dengan mikroba yang ada sejak  
dilahirkan. Jumlah mikroba  lebih 100 triliun, dikenal sebagai mikrobiota  mayoritas yaitu  bakteri di saluran cerna. virus, jamur,  archaea,  Virus  bergantung sepenuhnya pada sel-sel makhluk lainnya untuk mereplikasi diri. Jamur lebih kompleks dibandingkan  bakteri, kecil, bersel tunggal. Archaea  yang mirip  dengan bakteri, namun  mereka berbeda evolusioner seperti bakteri, tanaman atau binatang.  mikroba ini hidup di tubuh manusia mengandung 4,3 juta gen. Kumpulan dari gen  dinamakan  mikrobium, yaitu  kumpulan genome dari mikrobiota. Gen ini berkolaborasi dalam menjalankan tubuh kita bersama 21.000 gen-gen manusia. yang dinamakan  manusia hanya setengah persen manusia,   manusia hanya disusun oleh 10% gen, sedang  90% manusia disusun oleh gen mikrobiota. Mikrobiota yang mayoritas di dalam saluran cerna  menjaga, menjamin fungsi fisiologi manusia berjalan normal Fungsi fisiologi, atau  kelainan organik yang terjadi pada manusia, sebagai akibat gangguan keseimbangan mikrobiota yang ada,  Mikrobiota dan peran untuk pertahanan saluran cerna Mikrobiota   penting dalam memberi  pertahanan saluran cerna dengan cara menghambat kolonisasi kuman patogen,  Peningkatan jumlah mikrobiota seperti   kuman bifidobakteria pada bayi yang memperoleh  ASI yang mengandung bifidus faktor, yaitu   faktor penting untuk menghambat kolonisasi kuman patogen pada bayi yang memperoleh  ASI, 
Gangguan keseimbangan mikroba saluran cerna dinamakan   disbiosis. sebagai akibat perubahan lingkungan 
Kolonisasi mikrobiota saluran cerna saat lahir, saluran cerna bayi yang pada awalnya steril, lalu  terkontaminasi (terkolonisasi) oleh bakteri yang diawali dengan berkembangnya kuman Bifidobacteria, Clostridia, dan Cocci gram positive berada di jalan lahir (vagina) dan saluran cerna ibu. 
Mikroba prokariotik dan eukariotik bisa  ditemukan, pada saluran cerna bayi dengan dominasi oleh spesies bakteri, sebagian besar spesies bakteri anaerob (90%), 3% yaitu  aerobik (fakultatif anaerob),  Genera anaerobik biasa  dalam konsentrasi dalam saluran pencernaan  yaitu  Fusobacterium, Clostridium,  Lactobacillus, Bacteroides, Bifidobacterium, Eubacterium, 
Koloni mikrobiota aerob yaitu  bakteri gram-positif cocci (Enterococcus, Staphylococcus dan Streptococcus) dan bakteri Gram-negatif enterik (Escherichia coli dan Salmonella spp.) Selain bakteri aerob, spesies jamur aerobik, seperti Candida albicans, yang juga termasuk anggota mikrobiota normal. Bayi yang memperoleh  ASI sejak awal kehidupan, Bifidobacteria yaitu  flora normal yang paling dominant, dibandingkan 
dengan golongan  bayi yang memperoleh  susu formula. Sesudah  itu, terjadi perubahan yang pesat dari flora normal usus,  dalam  perkembangan kolonisasi ini juga dipengaruhi oleh nutrisi pada kehidupan   bayi. Pola mikrobiota usus akan mengalami rekayasa  yang besar pada tahap awal kehidupan dan kondisi  in berperan  dalam perkembangan fungsi fisiologi sistem imun innate dan adaptif saluran cerna yang penting untuk pertahanan mukosa saluran cerna, Faktor lingkungan seperti antibiotik, diet,  inokulasi 
mikroba,   memicu  perubahan dalam stabilitas mikrobiota,    perkembangan mikrobiota normal yang seimbang pada masa neonatal khususnya pada saluran pencernaan berperan ,  Terjadinya gangguan keseimbangan mikrobiota pada 
masa ini  mempengaruhi perkembangan system imunitas neonatal. Gangguan perkembangan sistem imunitas ini yaitu  faktor predisposisi terjadingan infeksi dan masalah kesehatan lainnya.
Interaksi mikrobiota saluran cerna dan host, yaitu  interaksi yang saling menguntungkan. Host  menyediakan nutrisi sebagai sumber yang menguntungkan, demikian juga  sebaliknya bahwa mikrobiota akan merubah nutrisi menjadi komponen yang memberi  manfaat  untuk kesehatan penjamu.  beberapa mikrobiota dalam 
jumlah berlebihan contoh  Clostridium difficile bisa  menghasilkan   toksin yang merugikan.  mikrobiota tertentu akan berubah menjadi patogen pada 
kondisi  kerusakan mukosa usus  contoh  kuman gram negatip Enterobacteriaceae, hewan ujicoba tanpa mikrobiota saluran cerna  menunjukan adanya perbedaan  dalam hal struktur anatomi dan fungsi organ, bila dibandingkan dengan hewan ujicoba dengan kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang normal. Perbedaan dalam hal berat organ saluran cerna, fungsi fisiologi,  kerentanan saluran cerna terhadap infeksi, yaitu   perbedaan yang nyata,  juga organ lainnya  contoh  cardiac output, kelenjar getah bening, jantung, hati,  akan berkurang pada golongan  free germ animal model. 
keseimbangan mikrobiota saluran cerna  diperlukan untuk keseimbangan fisiologi 
pasien , Beberapa cara eliminasi kuman patogen oleh bifidobakteria  dengan meningkatnya status imun mukosa usus, proses inhibisi, mengeluarkan hasil akhir metabolik seperti contoh  asam yang menurunkan  pH lingkungan saluran cerna, 
dalam suasana asam bakteri probotik bisa  hidup dengan subur sedang  bakteri patogen tak bisa  hidup. Banyak spesies kuman laktobaksilus, dan bifidobakteria, mampu untuk menghasilkan  antibiotika alamiah, yang berefek  bakteriostatik 
atau bakteriosidik spektrum luas seperti lactacins, curvacins, nisin  bifidocin, lactocins, helveticins, Kuman bifidobakteria  mampu  mensekresi 
antimikrobial yang bisa  mengeliminasi beragam macam kuman pathogen gram  negatif saluran cerna termasuk salmonella, campylobacters dan E. coli, Mikrobiota di dalam saluran cerna  mampu menurunkan konsentrasi endotoksin bakteri  , ini sebab  kemampuannya meningkatkan pertahanan 
mukosa untuk mencegah translokasi kuman. Beberapa spesies bifidobakteria, seperti 
Bifidobacterium infantis,  B. longum berefek  yang kuat untuk eliminasi kumanE. coli ,  bahwa dengan meningkatnya jumlah bifidobakteria dengan spesies tertentu akan meningkatnya sistem imun mukosa dan akan memberi  proteksi terhadap infeksi saluran cerna, indigenous microbiota
Mikrobiota dan perkembangan sistem imunitas mukosa saluran cerna, Saluran cerna bayi baru lahir steril dan belum sempurna  yaitu  masa kritis bagi perkembangan sistem imunitas saluran cerna bayi. Mikrobiota komensal (non-patogen) yang diperoleh   pada saat proses kehamilan dan kelahiran   berperan untuk perkembangan fungsi saluran cerna kehidupan  . Kolonisasi mikrobiota di dalam saluran cerna dengan mikrobiota non-patogen (komensal)   penting bagi pembentukan struktur normal saluran cerna untuk menjalankan fungsi imunitas saluran cerna yang optimal, 
Sistem imun bawaan tidak khusus  belum sepenuhnya dibangun  atau aktif dalam tahun pertama kehidupan   bayi. Sistem imun mampu  membedakan spesies mikroba berbahaya atau yang berguna  yang dipengaruhi oleh paparan pada 
ibu masa prenatal dan postnatal. tanggapan  induksi sistem imun pada saluran pencernaan 
berkorelasi dengan folikel dari gut associated lymphoid tissue (GALT) khususnya M cell pada 
Peyer patches melalui kemampuan mengikat antigen, makromolekul dan mikroorganisme. 
maka  sistem kekebalan tubuh inang harus menjaga keseimbangan lingkungan  pencernaan yang menguntungkan bagi komunitas mikrobiota untuk melindungi invasi atau perkembangan dari spesies patogen. Mukosa intestinal dilengkapi dengan trans-membrane atau reseptor intra sitoplasmik (intra-cytoplasmic receptors) dinamakan  pattern recognition receptors (PRRs) yang mampu mengenali, membedakan dan berikatan dengan ligan mikroba. Microbial-associated molecular patterns (MAMPs) seperti formylated peptides, lipopolysakarida,  flagelin, peptidoglikan,  Mikroba alami dan patogen pada permukaan mukosa bisa  menginduksi sinyal MAMPs untuk menstimulasi PRRs yang meliputi  formylated peptide receptors (FPRs), Toll-like receptors (TLRs), atau nucleotide-binding oligomerization aspek like receptors (NODs) yang akan menentukan  keluaran sinyal yang didasarkan pada stimulasi awal. tanggapan  yang bisa  terjadi bisa  berwujud  tanggapan  proteksi terhadap bakteri komensal, tanggapan  inflamasi terhadap organisme patogen atau stimulasi reaksi apoptosis. ketidaknormalan  yang terjadi pada proses ligan PRRsdan MAMPs berkaitan dengan penyakit inflamasi pada saluran pencernaan, Mikrobiota saluran cerna juga berperan  menjamin produksi 
immunoglobulin. Sintesis awal IgG dan IgM awalnya terjadi di limpa pada masa kehamilan sekitar 10 minggu, lalu  mengalami peningkatan hingga masa kehamilan 26 minggu. Level ini meningkat dengan drastis pada saat kelahiran. Bayi yang baru lahir, memiliki  level serum IgM, IgA, IgE yang rendah. Proteksi awal bayi diperoleh dari ASI dimana bayi yang memperoleh  asupan ASI akan memperoleh IgA khususnya sebagai proteksi terhadap mikroba saluran pencernaan dan juga IgG dipindahkan dari ibu melalui plasenta sebagai proteksi selama 1 tahun pertama kehidupan bayi. Belum matangnya sel limphosit T dan B dan juga Antigen Presenting Cell (APC)  berperan pada rendahnya produksi antibodi pada bayi yang baru lahir. Produksi immunoglobulin ini akan terus bertambah, seiring dengan kolonisasi normal saluran cerna optimal hingga usia 3-5 tahun, 
 Gangguan saluran cerna fungsional (functional gastrointestinal disorders/FGIDs) yaitu  gangguan fungsi saluran cerna tanpa diketahui adanya kelainan organik saluran cerna.  hal yang mempengaruhi prevalensi FGIDs pada anak antara lain Riwayat alergi, diet, proses 
kelahiran (persalinan normal atau  sectio secaria),  lama menyusui, pola infeksi dan pelayanan kesehatan , pemakaian  antibiotik  dalam 2 tahun pertama kehidupan, infeksi saluran cerna,  infeksi ekstraintestina,  yaitu  faktor  terjadinya masalah gangguan fungsional saluran cerna, 
  terjadinya FGIDs belum diketahui dengan jelas. Namun  unsur-unsur psikogenik, hormonal, neuronal,   berperan dalam munculnya gejala FGIDs.  faktor  yang  berpengaruh  pada  FGIDs antara lain mikrosirkulasi,  sistem saraf enterik (ENS), motilitas, sekresi enzim, tanggapan  imun dan proses inflamasi saluran cerna, Kemampuan tanggapan  adaptif dari ENS sebagai pemicu fisiologis dan stres psikologi mempengaruhi terjadinya FGIDs, Gangguan kolonisasi mikrobiota dan atau kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang 
belum optimal pada usia awal kehidupan hingga usia 2 tahun pertama yaitu  faktor  terjadinya gangguan fungsional saluran cerna pada anak Gangguan saluran cerna fungsional seperti kolik regurgitasi, konstipasi, Saluran cerna pada bayi baru lahir steril. Namun, beberapa faktor internal dan ekternal akan mempengaruhi fungsi fisiologi saluran cerna dan ekosistem kolonisasi 
mikrobiota pada saat bayi lahir. Beberapa faktor prenatal, seperti pemakaian  antibiotika 
pada ibu hamil berpengaruh  terhadap kolonisasi mikrobiota saluran cerna bayi . Segera sesudah  lahir, mikrobiota secara aktip melakukan kolonisasi diseluruh permukan tubuh bayi, termasuk saluran cerna. Kolonisasi ini berlangsung secara bertahap sesuai usia kehamilan dan usia bayi. contoh bayi yang sering mengalami kolik, memiliki  gambaran kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang berbeda bila dibandingkan dengan golongan  bayi tanpa kolik, bayi prematur memiliki  gambaran kolonisasi mikrobiota yang berbeda dengan bayi dengan cukup bulan , Kolonisasi mikrobiota pada golongan  usia bayi ini   berperan 
terhadap fungsi motilitas saluran cerna. Intestinal mikrobiota  menghasilkan  bahan  untuk menstimulasi sistem saraf saluran cerna yang berperan untuk fungsi motilitas saluran cerna yang terjadi pada kondisi sehat atau  sakit, 
Mikrobiota dan fungsi digesti nutrisi saluran cerna
Digesti bermula dari  kejadian intraluminal yang memerlukan enzim oral, gastrik,  pankreatik dan  asam empedu. Pembuluh darah,  limfa,  sel ganglion dan serat saraf dari pleksus Meissner,  kelenjar asinar bercabang Brunner (di duodenum bagian atas), yaitu  komponen  fungsi digesti. penyerapan  memerlukan luas permukaan mukosa yang cukup, enzim yang ada didalam tepi brush border,  intraseluler  dan  mekanisme yang khusus . Untuk menjalankan fungsi penyerapan  yang optimal, brush border yang baik memerlukan susunan protein yang baik. Diantara dasar vili penyusun  brush border ada    kripta dari Liberkuhn yang menjorok sampai ke lapisan submukosa 
dimana berlokasi sel yang tidak berdiferensiasi dan sel sekretori. Sel ini berasal dari dasar  kripta dan bergerak ke arah puncak vili, menjadi matur dalam bentuk dan fungsi digestif  atau  fungsi penyerapan . Pada membran sel usus, terjadi proses hidrolisis dari disakarida dan peptida oleh enzim yang ada    pada tepi brush border. Proses ini akan  diteruskan  dengan proses penyerapan  seluler dari asam amino, peptida kecil, monogliserida, monosakarida dan asam lemak. Nutrien yang diserap   lalu  kirim  ke dalam darah dan limfa dan akhirnya dibawa ke organ yang jauh untuk disimpan atau 
dimetabolisasi,  Kolonisasi mikrobiota yang optimal,  menjamin terjadinya proses digesti secara optimal. Gangguan keseimbangan kolonisasi  mengganggu fungsi digesti, yang   akan menganggu fungi penyerapan  yang sempurna  
Hubungan antara mikrobiota saluran cerna dengan masalah metabolik seperti kegemukan  dan diabetes pada anak, yaitu Mikrobiota saluran cerna diperlukan untuk mempertahankan fungsi normal saluran cerna. Mikrobiota saluran cerna yaitu  bakteri hidup atau bakteri campuran yang berefek  menguntungkan pada saluran cerna hostmelalui kemampuannya menjaga keseimbangan mikroflora usus secara keseluruhan dan berguna  mempertahankan kesehatan host,  ada    lebih dari 10 spesies dan sekitar 1 juta bakteri dalam usus manusia. Bakteri dalam usus manusia bisa  
dibagi menjadi 2 golongan  yaitu golongan  bakteri yang berguna dan golongan  yang berbahaya, 
. Gangguan keseimbangan kolonisasi mikrobiota saluran cerna dalam kehidupan anak,  berdampak   merugikan, seperti gangguan funsional saluran cerna di awal kehidupan. mikrobiota saluran cerna 
memberi  membantu dalam proses metabolisme nutrisi hingga perannya untuk memberi  modulasi ekspresi gen untuk semua aspek kehidupan, perbedaan komposisi mikrobiota pada hewan coba 
atau  manusia, memberi  pengaruh pada berat badan. Pada golongan  anak gemuk dan langsing, memiliki  komposisi mikrobiota yang berbeda. ini menunjukan adanya hubungan antara berat badan dan komposisi mikrobiota saluran cerna 
dan energi homeostasis.Hasil fermentasi polisakarida dan protein menjadi short chain fatty acid (SCFA) yang terdiri dari komponen acetate propionate dan butyrate, dipengaruhi oleh kolonisasi mikrobiotas saluran cerna di usus besar. SCFA yaitu  sumber energi  60%  untuk epitel usus area  kolon. Pada kondisi  berlebihan, akan memicu  deposit lemak secara keseluruhan. penyerapan  SCFA yang berlebihan, bersama dengan pola hidup yang kurang baik dan lingkungan yaitu  faktor terjadinya kegemukan,  Ada perbedaan komposisi,  pasien dengan diabetes tipe 2 dan  pasien normal. Pada  dibaters tipe 2, mikrobiota pathogen lebih dominan dibandingkan dengan mikrobiota komensal. sedang  pada diabetes tipe 1, secara menonjol  memiliki  jumlah Clostridium, Bifidobakterium, Lactobaccillus  yang dominan dibandingkan dengan Bacteroidetes. Perbedaan ini berpengaruh  untuk menjaga integritas usus yang lebih rendah yang bisa  diaktifkan dengan masalah tingkat glikemik pada golongan  diabetes.  
ini bisa  dipakai  sebagai salah satu startegi pengobatan  diabetes tipe 1.Kolonisasi mikrobiota saluran cerna berperan yang sagat penting untuk menjamin perkembangan dan fungsi otak yang baik. Gangguan keseimbangan mikrobiota saluran 
cerna sebagai akibat faktor diluar otak bisa  mempengaruhi keseimbangan kolonisasi 
mikrobiota saluran cerna. Peran penting mikrobiota ini diperankan oleh sebab  produk biokimiawi mikrobiota yang bisa  menjaga permeabilitas blood brain barrier, sehingga maka bloob brain barrier secara selektif melaksanakan fungsi proteksi terhadap bahan-bahan pathogen bisa  bisa  mempengaruhi fungsi fiologis otak. Hubungan dua 
arah antara saluran cerna dan otak (gut-brain axis) sudah  banyak diketahui. Hubungan 2  arah ini bisa  terjadi oleh sebab  produksi beberapa neurotransmiter dari saluran cerna 
berpengaruh  terhadap fungsi otak, demikian juga produk neurotransmiter juga berpengaruh  terhadap funsi saluran cerna secara langsung. 
Beberapa kondisi  klinis gangguan perkembangan otak dengan dampak  gangguan sikap  pada anak, seperti contoh  ADHD dan autis, yaitu  contoh adanya  pengaruh fungsi otak oleh sebab  gangguan kolinisasi mikrobiota saluran cerna. Pada hewan coba dengan free microbiota, memiliki  kadar kortikosteron, brain-derived neurotrophic faktor  BDNF,   suatu protein yang berfungsi untuk menstimulasi neurogenesis dan synaptic growth, dan modulasi synaptic plasticity dan penularan 









kesehatan anak 3 kesehatan anak 3 Reviewed by bayi on Oktober 11, 2023 Rating: 5

About

LINK VIDEO